Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Obsesiku

wahh, wahh ilmunya makin nambah nih dari sekian lama bertapa.
:mantap:
Saya akan menanti kelanjutannya :suhu:
 
yukkk.. Mari dorong biar makin bertengger di atas ! :banzai:
Biar suhu nya semangat buat menulis karya yang selalu kita tunggu tunggu ini :beer:
 
Ane setia menunggu.... :D
Karya suhu pemanah rajawali paling ane nantikan..
 
Akhirnya,, suhu pemanah rajawali udah turun gunung :ampun:
Juaranya cerita sedarah udah bikin cerita baru :jempol:
Ga sabar buat :baca: ceritanya suhu yg satu ini.. :))
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
KELAS TIGA - DI KAMPUNG

Kamar Mbak Ela hanya berpintukan kain, sehingga aku hanya boleh mengendusi punggung ibu ketika sudah malam saja. Namun, ada kejadian tak mengenakkan suatu ketika. Waktu itu siang hari di rumah nenek. Pagi-pagi kami berkunjung ke bibiku yang satu lagi. Ibuku tiga bersaudara. Kami kembali ke rumah nenek ketika sudah siang. Saat itu ibu letih sehingga memutuskan tidur siang. Aku ikut.

Waktu itu aku tidak tahan sehingga mengendusi punggung ibu. Namun ibu memarahiku dan melarangku meneruskan kegiatanku dengan ancaman ga dikasih lagi. Maka aku menurut. Kami yang kelelahan akhirnya tidur. Aku bangun duluan. Kulihat ibu masih tidur telungkup dan punggungnya seakan menatap aku menantang, sementara kepalanya menoleh aku yang berarti membelakangi pintu. Aku mulai memeluk ibu setengah menindih dan mengendusi tubuhnya. Mula-mula lama di punggung, kemudian ke lengan dan bahunya juga. Akhirnya ibu bangun dan menyadari aku sedang mengendusinya berkata,

"Jangan terlalu lama..... Nanti ketahuan......"

Ketika itu, Mbak Ela menyibak pintu kamar dengan memakai handuk saja. Ia terpaku melihat aku dengan posisi begitu. Kemudian seakan tak melihat aku, menutup pintu itu dan kemudian pergi tanpa berbicara apapun. Pada saat itu aku tak banyak pikir, karena sedang horny sehingga aku melanjutkan untuk mengendusi ibu hingga aku tertidur.

Barulah ketika sore hari telah tiba, aku menjadi takut. Apakah Mbak Ela akan mengadukan kami ke nenek? Atau ia akan memberitahukan kelainanku ini kepada orang lain? Namun, ketika aku bertemu Mbak Ela, dengan kikuk ia berkata bahwa ia ingin berbicara kepadaku malam harinya.

Malamnya Mbak Ela dan aku berbicara di kebun belakang di mana tidak ada orang yang dapat mendengar.

"Tadi Mas Hendra ngapain Mbak Mila (nama ibuku)?"

Dengan terbata-bata aku berkata, "cuma cium punggung ibu... Bukan pakai bibir, tapi pakai hidung..."

"Kenapa harus begitu, Mas?"

"Soalnya tubuh ibu wangi, Mbak. Hendra suka. Mbak jangan bilang orang lain ya? Takutnya ibuku yang kena marah orang...."

Mbak Ela menyanggupi untuk tutup mulut. Namun kulihat sorot mata Mbak Ela yang menatapku agak aneh malam itu. Namun namanya anak kecil, aku tidak begitu memperdulikannya saat itu.

Tidak ada insiden lain setelah itu sampai akhirnya kami pulang ke rumah, dan untuk sementara insiden itu terkubur di kepalaku. Ketika saatnya tidur waktu malam, aku mengendusi ibu tanpa takut lagi, karena bagiku, Mbak Ela sudah menyanggupi untuk menjaga rahasiaku ini. Sehingga, tiap siang dan malam aku mengendusi ibu dengan leluasa. Terkadang aku merasa bahwa ada yang mengintip kami di kamar, namun ketika aku berusaha melihat ke pintu, tidak ada orang yang kulihat, sehingga aku tidak terlalu memikirkan itu lebih jauh.
 
KELAS EMPAT

Mulai awal kelas empat, aku gembira sekali ketika ibuku membeli beberapa daster baru karena, semua daster yang baru itu bagian punggungnya lebih terbuka di banding daster-daster sebelumnya. Dari 3 buah daster yang kini dipakainya bergantian, 2 buah bermodel tali yang tipis, dengan bagian punggung terbuka tepat di bawah belikat dan potongannya datar, sementara bagian depannya menutup setengah dadanya, namun cukup untuk menutupi bukitnya. Satu daster adalah yang menjadi favoritku yaitu baju tidur dengan model dress tali leher yang menyebabkan punggung dan bahunya telanjang.

Walaupun aku masih bocah, aku sedikit banyak mulai berfikir juga. Tampaknya ibuku menyukai ketika aku mengendus-endus punggungnya, karena ia ternyata mengganti dasternya dengan versi punggung yang lebih terbuka. Tampaknya obsesiku terhadap punggung ibuku ini tidak akan terhalang apapun lagi dikarenakan ibuku sudah memberikan lampu hijau.

Aku ingat ketika aku pertama kali melihat ibu memakai daster barunya, kebetulan itu yang memiliki tali di leher. Ketika pulang sekolah dan aku selesai ganti baju, aku bergegas ke belakang tubuh ibu. Tadinya aku tidak menyadari bahwa model dasternya lain dari sebelumnya. Aku pikir ini adalah daster baru tapi modelnya sama saja dengan sebelumnya. Saat aku hendak merebahkan diri, aku terkejut melihat setengah punggung putih ibu telanjang. Aku menghela nafas karena kaget. Sejenak aku terpaku. Ibu hanya menoleh kepadaku sambil tersenyum dan berkata,

"Kayak ngelihat setan kamu..... Sebegitu kagetnya?"

Beberapa saat aku bagaikan patung. Kontolku menegang secara cepat mengalahkan rekorku sebelumnya. Ibu telah kembali asyik menonton TV dengan berbaring miring pada samping kiri badannya, tangan kanannya bebas bergerak. Entah kenapa aku bagaikan kesetanan, dengan cepat memeluk ibu dari belakang sambil rebah lalu aku mencium tahi lalat di tengah punggung ibu dengan gemas. Bukan lagi mengendus, tetapi bibirku kubenamkan dalam-dalam sambil menghirup wangi tubuh ibu sekuatnya. Bunyi nafasku yang menyedot punggung ibu terdengar keras.

"Kamu kenapa, Ndra?"

Suara ibuku bagaikan dari sumur kudengar karena aku sedang asyik mencium punggung ibu dengan nafsu. Tak terasa tubuhku kini merapat dengan kontolku menekan lantai. Kunikmati aroma tubuh ibuku yang kini sudah kuhapal di luar kepala. Bau tubuh ibuku ini selalu aku ingat hampir setiap saat. Bahkan di sekolah aku selalu mengingat-ingat harumnya tubuh ibuku itu. Setelah beberapa menit aku baru sadar bahwa aku mencium punggung ibu dan bukan mengendus. Untuk sejenak aku merasa takut, bibirku kulepas dari punggungnya. Aku melongok untuk melihat wajah ibu, namun ibu tampak asyik dengan acara di TV, maka aku coba cium lengannya perlahan. Ia masih diam. Aku cium lagi perlahan. Tak ada reaksi. Aku ciumi sekujur lengannya perlahan, dan ibu bagaikan patung saja menatap TV.

Dari situ aku menyimpulkan bahwa ibu tidak akan marah. Aku lalu memeluknya dari belakang, walau belum berani menekan pantatnya dengan kontolku, melainkan kontolku kutekan saja kelantai, lalu aku mulai menciumi punggung ibu dengan gemas. Satu ketika aku begitu gemasnya sehingga aku mencium punggungnya keras-keras dan melepaskan bibirku juga dengan gemas sehingga terdengar bunyi cipokan. Aku sempat kaget dan takut dimarahi ibu, namun karena ia masih terdiam, aku coba mengecup punggung ibu lagi dengan keras seperti tadi. Setelah yakin ibu tidak marah, aku mulai mengecupi punggungnya dengan nafsu, sementara kontolku tergeser-gerser akibat aku menciumi sekujur punggung ibu yang terlihat. Tak sengaja aku merasakan nikmat karena kontolku yang tergesek-gesek itu.maka sambil menggesek-gesek lantai, aku menciumi dan mengendusi punggung dan lengan ibu bagaikan orang gila hingga pada akhirnya aku mengalami orgasme kering untuk pertama kalinya, karena aku belum memproduksi sperma. Kenikmatannya ternyata tiada taranya. Saat aku hampir sampai, aku sedang mengendus pangkal lengan ibu yang tertutup sambil mencium bagian belikatnya dengan keras, saat itu ibu mengangkat lengan itu untuk menggaruk kepalanya, terlihatlah ketiak ibu yang memiliki bulu keriting yang sedikit dan tipis namun menggerembol di tengah. Gerakan ibu membuat hidungku terdorong kedepan karena sedang mencium ibu dengan nafsu. Serta-merta hidungku menancap di ketiak ibu yang saat itu sudah lembap karena cuaca agak panas. Sensasi bulu ketek ibu di hidungku dan aroma tubuh ibu yang sedikit asem menyerang indera penciumanku membuat aku orgasme. Sambil menekan kontolku ke lantai dan hidungku ke celah ketiak ibu, aku merasakan orgasme yang menerpa dengan dahsyat. Setelah beberapa saat baru aku sadar, aku menatap ibu yang sedang menatapku juga. Entah berapa menit kami bertatapan.

"sudah belum? Geli nih." tanya ibu. Sambil terus bernafas di ketiak ibu aku menggeleng, karena ibu bukan menyuruhku melepaskan ketiaknya, tetapi ia menanyakan apakah masih mau terus atau tidak, dan tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini. Ibu lalu merubah posisinya dengan tidur telentang, tangan yang diangkat kini dijadikan bantal tidur. Tanpa bicara ibu menoleh ke TV lagi. Aku benar-benar beruntung mempunyai ibu seperti ibuku ini karena ia membiarkan saja anaknya mengendus dan mencium tubuhnya. Dengan gembira, aku yang sekarang tidur agak tengkurap dengan satu tangan di perut ibu, mulai menciumi bulu ketek ibu.

"udah sore. Ibu mau mandi nih. Udah bau." kata ibu perlahan.

Aku menatap ibu, sambil bernafas di ketek ibu yang lembap aku berkata, "bau badan ibu enak. Jangan mandi dulu dong.."

"kamu ini aneh. Ketek bau diciumin" kata ibu ketika aku terus mengendus-endus dan menciumi ketek ibu itu.

"abis, ibu cantik sih. Keteknya aja cantik, wangi lagi."

Ibu tersenyum sambil berkata, "ada-ada aja kamu. Segala ketek dibilang cantik. Ketek ibu kan udah keringatan gitu. Udah bau asem. Lengket nih. Ibu mau mandi."

"tapi Hendra suka banget dengan bau ketek ibu. Bentar lagi ya bu mandinya. Hendra belum puas nih. Boleh ya bu?"

"anak gendeng. Ya udah puas-puasin deh ciumin ketek ibu."

Hari sudah mau maghrib. Aku masih menciumi ketek ibu. Biasanya ibu akan ke dapur, namun kali ini dia masih menonton TV. Tidak seberapa lama aku ngaceng lagi. Terkadang aku benamkan wajahku dan menghirup ketek ibu dalam-dalam, terkadang aku menciumi ketiak ibu dengan penuh nafsu. Tak lama aku mulai mencium dengan membuka mulut, sehingga ketika bibirku menyentuh kulit ketiak ibu, bulu ketek ibu ikut masuk ke bibir. Saat itu ibu mendesah. Maka aku mulai mengunyah bulu ketiak ibu itu sehingga lidahku merasakan keringat ibu dari saripati ketiaknya, sementara kontolku mulai aku gesekkan di lantai lagi. Lama kelamaan aku mulai mengenyoti bulu ketek itu. Pertama perlahan-lahan, namun lama kelamaan, seirama dengan orgasmeku yang semakin dekat, aku mulai mengenyot bulu ketek ibu dengan kuat.

Saat itu ibu memegang kepala bagian belakangku dengan tangan yang satu dan membelai rambutku untuk kemudian mencium rambutku. Aku menjadi tak tahan lagi, aku mengalami orgasme keringku yang kedua sementara mulutku kini menyedot pangkal ketek ibu, kulit dan rambutnya. Setelah beberapa saat klimaks, aku telentang di samping ibu kelelahan.

Sambil tersenyum ibu berkata, "tuh udah puas kan? Ibu mau mandi lalu masak."

"Yah.... Jangan mandi bu. Hendra suka bau ketek ibu. Masak aja tapi jangan mandi."

"Lah.... Emangnya kenapa jangan mandi?"

"Biar Hendra nanti ciumin lagi ketek ibu."

"Belum puas juga, Ndra?"

"Sekarang sih udah. Tapi nanti kan mau lagi.."

"kan lebih enak kalo ibu mandi, Ndra."

"Ga enak kalo bau sabun. Hendra maunya bau tubuh ibu sendiri. Ya bu ya?"

Ibu kemudian bangkit dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Ia tidak mandi malam itu, membuatku sangat senang. Ternyata ibu sangat baik dan memenuhi keinginanku yang mesum ini. Sepanjang makan malam aku tidak berani menatap ibu, namun ibu seperti tidak mengalami apa-apa dan bertingkah biasa saja. Ia berbicara dan melayani makanku seperti hari-hari sebelumnya. Aku saja yang malu.

Saat tidur, ibu seperti biasa memunggungiku. Aku sebenarnya masih malu atas kelakuanku tadi, namun aku tak tahan melihat punggung telanjangnya. Maka sekitar dua menitan aku menatapi punggung ibu aku mulai menciuminya lagi dengan nafsu. Kini kontolku langsung kugesek di tempat tidur. Tempat tidur berdenyit perlahan namun aku tak perduli.

"katanya mau cium ketek ibu?" tanya ibu tiba-tiba, "kok ciumin punggung?"

"punggung dulu. Ketek nanti, bu."

"emang punggung ibu kenapa sih. Dari kelas satu kamu seneng banget sama punggung ibu."

"cantik banget, bu. Ada tahi lalat hitamnya. Jadi tambah manis. Terus kulitnya putih banget, sama bentuk punggung ibu bikin Hendra gemas."

"gemas? Bukannya nafsu ya Ndra?"

Aku tak menjawab karena percakapanku dengan ibu membuatku bertambah nafsu, apalagi suara ibu perlahan dan agak mendesah, membuatku pusing karena birahi. Melihatku yang terdiam tapi bertambah hot ibu berkata lagi,

"Hendra.... Kamu itu masih kecil. Kok udah nafsu sih? Apalagi nafsunya sama ibu sendiri. Anak nakal kamu."

Suara ibu begitu pelan dan halus membuatku semakin ganas menekan bibirku di punggungnya. Terkadang lengannya juga aku ciumi dengan penuh birahi. Sesekali aku membenamkan wajahku di tengah punggungnya untuk menghirup aroma tubuh ibu dalam-dalam. Sementara suara ibu terus kedengar, makin lama makin pelan hampir berbisik.

"Hendra nakal....... Nafsu sama tubuh ibu..... Itu namanya kamu itu omes..... Otak mesum...... Kamu itu nakal dan mesum Ndra..... Mesumin ibunya sendiri...."

Setelah sekujur punggungnya dan lengan kanan ibu kuciumi, aku mulai ingin menciumi ketek ibu lagi, setelah beberapa menit memikirkan caranya dan tidak menemukan cara yang hebat, akhirnya aku memegang lengan kanan ibu itu lalu mendorongnya ke atas. Tangan ibu pertama-tama berat menahan, aku jadi kecewa dan berniat melepaskan lengan ibu, namun ibu tiba-tiba saja mengangkat lengannya sehingga tangannya di atas kepala lalu tidur telentang. Aku langsung mengenyoti bulu ketek ibu. Tangan kiri ibu kembali membelai rambutku dan menatap wajahku. Aku sekilas menatapnya balik, tampang beliau memancarkan kasih sayang keibuan. Raut mukanya tidak menunjukkan kemarahan melainkan tatapan sendu, membuatku saat itu benar-benar mencintai ibuku. Aku masih kecil, aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku tak tahu ini cinta, setelah aku lebih besar aku tahu bahwa rasa sayang dan tergila-gila kepada seseorang yang aku rasakan itu adalah cinta.

"Hendra jorok banget sih..... Ketek bau keringat ibu dienyot-enyot......"

Aku mengenyoti ketek ibu dengan penuh semangat. Bau ketek ibu memenuhi hidungku dan terekam di otakku. Tak akan pernah lagi aku lupakan bau tubuh ibu yang begitu memepengaruhi nafsu liarku sedemikan rupa sehingga membuatku melupakan segalanya. Sementara ibu terus meracau seakan ingin membuat aku klimaks.

"ya udah.... Isep aja bulu ketek ibu..... Puasin nafsu mesum kamu Ndra...... Isep seluruh keringat ibu di bulu ketek ibu....."

Karena kupikir mengenyoti ketek ibu diijinkan, maka aku menjilat ketiak ibu dari bagian dasar lalu bergerak ke arah atas ke arah lengan kanannya sambil terus menatap ibu. Ibu menggigit bibir bawahnya dan terdengar suara ibu,

"Mmmmmhhhh...., sekarang kamu jilatin juga..... Suka banget kamu sama ketek bau ibu..... Jilat terus Ndra....... Rasakan asemnya keringat ketek ibu....."

Tampaknya ibu suka banget aku jilati keteknya, kalo melihat reaksi ibu itu. Kujilat lagi. Ia menggumam lagi. Kucoba jilati lengannya yang terbuka, tapi tidak ada suara gumaman ibu. Kujilat lagi keteknya. Ibu menggumam dengan bibir tetap digigit namun kini dahinya mengernyit. Wajah ibu begitu seksi. Lidahku kutekan di tengah keteknya yang berbulu halus itu lalu aku geleng-gelengkan kepalaku sehingga seluruh bulu ketiak ibu kini disapu oleh lidahku. Ibu menggumam lebih keras kemudian dengan tangan kiri mengambil guling yang disamping ibu, ia memeluk erat guling itu dengan tangan dan kaki kirinya, sayang sekali aku tidak merasakan dadanya, karena ibu kini tidur menghadapku dengan tangan kiri mendekap kepalaku keras sehingga lidahku menempel ketat ketiaknya. Aku kemudian mengenyot ketek ibu berkali-kali dengan keras bagai sedang makan. Saat itu kudengar ibu mendesah, bibirnya kini menganga dan tangan kirinya mendekap kepalaku erat-erat bagaikan ingin mulutku tertanam di ketiaknya. Ketiak ibu berasa asin karena keringat ibu mulai keluar dan aku mengenyoti bulu dan kulit ketiak ibu dengan buas karena aku sedang orgasme. Aku tertidur dengan kepala di ketiak ibu. Nanti ketika hubungan kami lebih intim lagi, ibu mengakui bahwa saat aku menjilati keteknya pertama kalinya ini, ia mengalami orgasme pertama denganku.

Esoknya sesudah mandi dan ketika kami akan makan, seperti biasa ibu di sampingku menyiapkan lauk di kamar tamu tak berbangku itu, kami menghadap meja kecil namun lebar di hadapan kami yang sudah ada nasi, lauk-pauk dan piring makan kami. Aku sekarang sudah berani, karena tadi malam bagiku adalah suatu pernyataan dari ibu bahwa ia menyukai bila ia kuciumi. Ibu duduk di kananku dan mengangkat tangan kirinya untuk memegang piring dan yang kanan untuk menyendok lauk. Aku menyelusup ke bawah ketiak kirinya itu lalu menciumi keteknya. Ibu membiarkan aku menciumi keteknya. Tangan kirinya memegang ubun-ubunku, tangan kanannya masih menyendok lauk.

"Ndra.... Pulang sekolah aja. Nanti kamu terlambat."

Ibu tidak menolakku, karena ia menjanjikan nanti siang. Tapi aku sudah horni dan terus saja menciumi ketiak ibu, sehingga akhirnya ibu telentang dan membiarkan aku menuntaskan syahwatku di lantai. Karena aku horni, aku hanya bertahan lima menit saja. Setelah itu kami makan dan aku berangkat sekolah.

Semenjak saat itu, aku mulai berani di mana saja dan kapan saja menciumi punggung, lengan dan ketiak ibu. Biasanya ibu akan mendesah memeluk guling dan mendekapku ketika sudah malam di atas tempat tidur. Untuk pagi dan siang, ia membiarkanku tanpa ada reaksi apa-apa. Setelah agak besar aku baru tahu bahwa ibu selalu orgasme ketika akan tidur waktu malam saja, salah satu alasan adalah, aku akan lebih lama menggauli ibuku itu bila malam, karena di pagi maupun siang dan sore, aku cenderung lebih cepat sampai. Mungkin karena malam hari nafsuku sudah tidak sebesar pagi atau siang, sehingga aku tahan lebih lama. Ini membantu ibuku untuk mencapai orgasme juga. Ibu juga akan mengucapkan kata-kata yang erotis hanya ketika malam, karena tiap malam itulah ibu melepaskan semua nafsunya bersamaku.

Dikarenakan aku sudah terang-terangan menjilat ketiak ibu, aku juga seringkali menjilati lengan, bahu dan punggung ibu. Hanya saja, tidak terlalu sering, dikarenakan tubuh ibu lama-kelamaan akan berbau seperti mulutku bila aku jilati. Biasanya waktu sebelum tidur siang dan malam saja aku akan mencium, mengendus dan akhirnya menjilati tubuh ibu karena setelah itu aku akan tertidur.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd