Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT (No Sara) MALAPETAKA: Malah Pengen Tambah, Kan?

I am a sinner, i am your whore

Berbeda dari anaknya yang memang hobi mengasihani diri, Pak Basuki sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dia ingin mendapatkan jatahnya. Pada Pak Reksha dia lalu bertanya, “Pak, saya... ah, uhm... boleh?”

Pak Reksha terbahak mendengarnya. Walaupun tingkah Pak Basuki dia anggap lucu, iba juga dia sebenarnya. Sejam lebih dia menunggu giliran. Padahal, adalah Pak Basuki yang sudah laaama menunggu peluang mengenthu menantunya.

Ck, ck, ck.

Dunia memang kadang suka tidak adil.

Sebelum Pak Reksha bicara, though, Basir sudah lebih dulu melimpahkan Sita ke paha Pak Basuki. Hampir terlompat pria itu tiba-tiba saja tubuh molek si menantu sudah dia pangku. Menyeruak ke dada sesal yang dia kira sudah tidak ada akibat telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Sita disetubuhi oleh dua laki-laki berbeda. Seperti orang linglung, dia pandangi Pak Reksha dan Basir. Sial baginya. Mereka sedang tidak punya waktu untuknya. Dari ransel bawaan, mereka telah mengeluarkan sebotol arak lengkap dengan slokinya.

Sembari menonton mereka minum-minum, Pak Basuki malu-malu menggerayangi susu Sita yang pentilnya masih mengacung tegak meski si empunya sudah terlalu lelah bahkan hanya guna membuka mata lebih-lebih bicara. Bekas-bekas gigitan yang tertinggal pada daging kenyal itu pastinya akan bertahan hingga setidaknya dua hari ke depan. Cupang-cupan itu entah mengapa justru membuat Sita kian menawan.

Akhirnya sadar dirinya sedang diamati, Pak Reksha menoleh pada pasangan menantu dan mertua. Dia sambar botol arak yang baru Basir tenggak dari meja.

“Bapak mau minum?”

Cepat Pak Basuki menolak.

“Lho, kenapa?” tanya Pak Reksha yang sekarang sedang berlutut di depan keduanya. “Arak Bali ini, lho.”

Pak Basuki kembali menggeleng.

“Saya... nggak bisa ngaceng kalau lagi mabuk, Pak.”

“Eh?" Kepala Pak Rheksa miring ke samping. "Dikit saja, lho.”

“Nggak, Pak. Makasih.”

Pak Reksha menoleh pada Basir. Matanya seakan berkata, “Orang ini sakit apa bagaimana?” yang si pria berambut panjang jawab dengan menaikkan bahunya.

Terusik oleh penolakan Pak Basuki, dia tenggak lagi arak di tangannya. Kemudian, sebuah ide cemerlang terbit di benaknya. Tangkas dia tangkupkan tangan di bawah dagu Sita hingga wanita itu menengadah. Gumaman tak jelas menguar dari sela bibirnya.

“Buka mulutnya, Pak,” perintah Pak Reksha.

“Eh?”

“Buka!”

Pak Basuki membuka mulutnya.

"******! Mulutnya Mbak Sita!"

Menurut meski kurang tanggap akan apa yang Pak Reksha bakal perbuat, tergeragap Pak Basuki selipkan telunjuknya di antara rahang Sita. Terhenyak dia saat kemudian arak dituang ke mulut menantunya.

“Uhuk-uhuk-uhuk!”

Sita sontak terbatuk karenanya. Muncrat arak ke mana-mana. Pak Reksha dan asistennya menyambut dengan tertawa. Di sela tawanya, si dukun lantas berkata, “Bapak mau pakai Mbaknya apa ndak? Panas, nih, badan saya. Kalau ndak, biar saya pakai lagi Mbaknya.”

Melotot, Pak Basuki menarik napasnya. Buru-buru dia seret Sita ke atas ranjang yang basah dan lembap oleh keringat, darah, lendir kewanitaan, dan sperma. Beruntung, dicekoki arak ternyata membangunkan Sita. Bertanya-tanya dia.

Mertuanya sedang apa memangkunya muka ke muka?

“Maafin Bapak, ya?”

Sita yang masih belum pulih seutuhnya hanya terbengong.

Takut kesempatannya lewat, Pak Basuki menyelipkan kontolnya ke celah memek Sita. Bleesss. Terbenam batang itu ditelan tempik istri anaknya. Dia lalu berkata, “Sita goyang dong.”

Ajaib. Berkebalikan dengan dugaan pak Basuki bahwa menantunya harus dibimbing lebih dulu bagaimana bersenggama gaya woman on top, Sita meliuk-liukkan pinggulnya seakan dia sudah mahir mengeksekusinya. Penisnya yang besarnya tak seberapa seketika disergap sedap.

“Ohhh.. oohhh... ohhhh..... Enaknya.....” erang pak Basuki.

Sulit dipercaya. Sita yang alim. Yang sopan. Yang kerap menundukkan pandangan di depannya. Mimpi apa dia semalam? Lagi-lagi, Pak Basuki sukar memercayai keberuntungannya.

Belum habis dia terpana, Sita tahu-tahu saja menyosor mulutnya. Akan bodoh rasanya jika menolak, Pak Basuki sambut bibir menantunya. Lidah mereka pun bertautan sebentar kemudian. Menganggap Sita juga menginginkannya, Pak Basuki pindahkan tangannya dari bokong ke dada Sita. Secara kompak kontol, tangan, dan mulutnya bekerja.

Pikir laki-laki itu, Betapa beruntungnya!

Di balik pintu kamar, Egi amini pikiran itu. Dia masih menangis. Masih sesenggukan. Tapi, apa daya. Sejak mendengar suara ayahnya, dia kembali mengintip via lobang yang sama. Beruntung sekali ayahnya bisa merasakan jepitan vagina istrinya!

Aaaargh!

Kesal, Egi kocok kemaluannya yang sedari tadi menolak tegak.

Berbeda dengan suami Sita, kontol Pak Reksha kini sudah siap lagi beraksi. Ke atas kasur dia bawa botol arak yang oleh Basir dia dipersilakan menandaskan.

Pak Basuki dan Sita sudah tak lagi berpangkuan. Wanita berjilbab itu kini sepenuhnya memegang kendali. Dia kendarai kontol sang mertua yang rebahan. Seakan-akan dia sedang memberi pria itu hukuman. Bergoyang-goyang payudara itu mengikuti hentakan pinggulnya. Bunyi tumbukan kelamin mereka membahana di seantero ruangan.

“Plookkss... plokkksss.... Plokkkksss.. plokkksss.... Plokkkksss... plokkkkss....”

Pak Reksha tersenyum gembira Pak Basuki dan Sita sahut-menyahut seakan berlomba siapa yang bisa paling keras mendesah.

“Mbak?” panggil Pak Reksha iseng.

“Iihhhya, Pppaaakkk?” sahut Sita, asik menunggangi mertuanya.

“Mbak lagi apa?”

“Laahgi ngentoottt!”

“Ngentot? Siapa yang Mbak entot?”

“Ehmm, aah... ah... anu... Pakk Baasuki.”

“Pak Basuki itu siapa?”

“Pakk, ahhhk, aaachh, Basuki... itu bapaknya Egi.”

“Siapa?”

“Eeeegiiii,” erang sambil memutarkan pinggulnya meniru goyang bor, “itu su-Uuugghhh-ami... ku.”

“Eh? Berarti Pak Basuki mertuanya Mbak?”

Egi lihat Sita mengangguk-angguk. Dia terperenyak. Sita, istrinya, bicara dengan jelas. Wanita itu tahu apa yang sedang dia lakukan. Dengan siapa dia melakukannya.

Dasar jalang!

Akhwat bejat!

Dasar wanita hina!

Perempuan murahan!

Jilbabmu hanya pajangan!

Terengah-engah Egi coba menguasai diri. Bisa-bisanya Sita berkhianat sejauh itu! Pak Reksha juga. Basir juga. Dan sekarang... ayahnya sendiri.

Pengkhianat mereka semua!

Terbakarlah di neraka kalian semua!

Aaaargh!

Bara dalam dada Egi menyala-nyala. Sayangnya, api itu batal mencegahnya kabur. Mereka belum selesai. Dia harus melihat kelanjutannya. Dia harus tahu apa saja yang mereka lakukan pada istrinya. Dia harus ada di sana saat mereka semua ambruk kelelahan.

Lalu, jika cukup kuat, akan dia gorok leher-leher mereka.

Sekarang, dia harus mengalah dulu. Tidak apa-apa. Dia akan mendapatkan pembalasannya.

Nanti.

Sabar dulu.

~bersambung​
 
Terakhir diubah:
sandbitch
[Kembali ke ranjang....]

“Mbak Sita?”

“Hmm?”

“Kocok kontol saya, dong,” kata Pak Reksha dengan kontol di dekat tangan Sita.

Tanpa nego-nego, Sita meraih alat kelamin Pak Reksha. Dia genggam benda itu. Dia elus. Dia urut dari atas ke bawah. Atas-bawah. Atas-bawah.

“Ehmm... alus banget tanganmu, Mbak,” ucap Pak Reksha sambil mengamati cincin di jari manis Sita yang ikut naik-turun mengocok kontolnya. Sungguh, pemandangan yang tak biasa. Seorang wanita berjilbab yang sudah bersuami sedang menunggangi mertua dan mengocok kemaluan pria lainnya.

Sita, oh, Sita.

“Ahhhh...,” erang Pak Reksha, “yaahhh... gitu... hmmmm....”

Mengejutkan semua orang, Sita tiba-tiba berhenti memompa. Dia tolehkan kepala pada Basir dan berkata, “Mas Basir! Sini! Aku kocokin juga kontolnya.”

Melebar garis bibir Basir yang menggigit rokok putihan. Dengan mengepulkan asap dari lobang hidung, dia mendekat. Gondal-gandul pentungan raksasanya.

Karena saking panjang dan besarnya kontol Basir, Sita sempat kesusahan mengurutnya. Sukar dipercaya. Benda itu hampir sebesar lengannya! Benda itu tadi bersarang di dalam dirinya! Menyodok-yodok rahimnya! Mengaduk perutnya! Menumpulkan akal sehatnya!

Lewat kocokan tangan, Sita bertekad menyampaikan kekagumannya.

“Mbak Sita?” panggil Pak Reksha. “Haus ndak?”

Dengan berat hati Sita berpaling dari kontol Basir sebelum mengangguk pada Pak Reksha.

“Arak mau?”

“H-hmmmau,” kata Sita menahan pekik gara-gara Basir baru saja menampar satu payudaranya, “Paakkk....”

Pak Basuki menggeleng-gelengkan kepalanya saat kemudian dia saksikan menantunya meneguk habis minuman keras itu seakan-akan itu minumannya sehari-hari.

Ke mana Sita yang sebelumnya?

Yang batuk-batuk tadi?

Pak Basuki mengingatkan diri sendiri untuk... tidak mengkritisi. Malam ini merupakan malam terbaik dalam hidupnya. Dia tidak perlu bertanya. Ikuti alurnya saja. Karena, bagaimanapun juga, di sini dia bukan sutradara. Bukan dalangnya.

“Ahhh...,” desah Pak Basuki saat Sita kembali mengendarainya. Terpana dia pandangi payudara sempurna Sita yang bergoyang senada hentakan pinggulnya. Tahu berapa lama kontol-kontol Pak Reksha dan Basir bisa bertahan tetap keras, dia atur napasnya agar tidak merusak suasana.

Tiga menit pun lewat tanpa terasa.

“Sudah,” kata Basir merusak fokus Pak Basuki. Dia tarik lepas kontol kudanya dari genggaman Sita. Dalam diam dia mundur. Sebelum ada yang menegur, dia naikkan satu kakinya ke atas kasur.

“Wow! Wow! Wow! Mau apa kamu?” tanya Pak Reksha menghentikan usaha anak haramnya.

“Itu. Nyoba silitnya.”

“Eh?” kata Pak Basuki dan Sita serempak. Keduanya takut bergerak.

“Halah.” Pak Reksha menggelengkan kepalanya. Dia pandangi ketiga manusia lain di kamar. “Ya, mbok, dipakai kepalamu. Ambrol kasurnya kalau kamu naik.”

Yang terjadi selanjutnya adalah Pak Reksha mengomando Pak Basuki agar bergeser dari posisinya yang membujur menjadi melintang dengan kaki menggantung ke lantai. Dia pastikan keduanya mematuhi perintah tanpa melepaskan kelamin mereka. Dia kemudian meminta Pak Basuki mendekap pinggang Sita. Sita sendiri lalu dia minta menelungkup ke depan.

“Nah, gini, kan, enak.”

“Ini kita mau apa, Pak?” tanya Sita yang sekarang dikunci punggungnya oleh tangan-tangan mertuanya.

Pak Reksha mengedip jahil.

“Sudah. Manut saja. Bakal enak, kok.”

Sangsi, Sita menengok ke belakang. Dia tadi tidak salah dengar. Basir tidak bercanda. Raksasa itu sudah stand by di belakangnya. Jari tangannya bahkan sudah meraba, mengusap, mengelus lalu mengorek duburnya.

“Paaakkk,” kata Sita memelas pada Pak Reksha, “t-tolong jangan di situ!”

“Ck, cerewet kamu, ya.”

“Itu kooottooorrr....”

Merasakan kelembutan payudara Sita yang tergencet ke dadanya, Pak Basuki berdebar-debar menunggu. Kontolnya masih menancap. Dia masih bisa lanjut.

“Hmmmphhh... tapi, Pak?” kata Sita saat Basir memasukkan jari keduanya ke pintu belakangnya. Jari-jari itu menusuk, memutar-mutar, dan melebarkan anusnya. Rasanya sakit. Tapi juga nikmat. Perih. Tapi juga nagih.

“Wis. Emut kontol saya.” Pak Reksha menjambak jilbab kusut Sita. Dia tempelkan pusakanya ke hidung, mata, pipi, lalu mulut Sita. “Buka mulutnya.”

“Ngggak maaauuu....”

Sita terdengar seperti akan menangis lagi.
Pak Reksha bereaksi dengan mendongakkan kepala Sita, menampar pipinya, lalu meludah ke rongga mulutnya.

Cuuih.

"Telan!"

Pasrah, Sita menelan ludah Pak Rheksa.

Menatap mata berkaca-kaca si betina, pria tua itu lantas berkata, “Dengar, ya, Lonte. Kamu sekarang ini lebih hina dari bianatang jalang. Jangan sok nolak-nolak kita, ya. Baca suasana, dong. Katanya pinter. Katanya pernah kuliah. Hm?“

Sita mulai terisak. Air mata meleleh ke pipinya. Biarkan dia berdosa. Ternoda. Tapi jangan sentuh duburnya.

“Saya bisa bunuh kamu, Mbak,” kata Pak Reksha, tak tergerak. “Ngerti? Kenapa saya jauh-jauh bertamu? Kenapa saya usir demit dari rumah kamu? Hm? Karena saya mau tolong kamu. Kalau bukan karena saya, kamu masih akan penasaran. Kenthu yang bener itu bagaimana. Orgasme itu apa. Hm? Mudeng kamu?”

“P-pak?” Pak Basuki ikut buka suara.

“Apa?!”

“T-tolong jangan... kasar-kasar ke... menantu saya.”

“Kamu juga!” Pak Reksha menginjak muka Pak Basuki. “Mertua macam apa yang mau-maunya ikut ngenthu dia punya mantu? Heh? Jawab! Sok-sokan ngatur, ya. Main judi ndak berhenti-berhenti, kok, sok nguliahi.”

Hening.

Di luar kamar, Egi rasakan jantungnya berhenti berdetak. Kagum dia betapa Sita, ayahnya, dan Basir terperdaya kata-kata Pak Rheksa. Dia sendiri tak hendak memberontak. Sudah kepalang konak. Dia mau nonton lagi yang enak-enak.

“Sudah! Jangan ada yang rusak mood saya lagi habis ini!" Diam-diam Pak Reksha mengalihkan tatapannya dari pintu. Sejak beberapa saat yang lalu dia tahu, ada yang mengintip di sana. Dan dia tahu itu siapa. Dan dengan senang hati dia akan membuat orang itu membayar harga dari tindakannya.

“Sekarang,” kata Pak Reksha, hidungnya dan hidung Sita hampir bersentuhan, “Mbak tahu tugas Mbak?”

Kaku Sita mengangguk.

“Bagus. Ini!" Dia sodorkan kembali kontolnya yang sempat setengah melayu gara-gara emosi yang meninggi. “Isap!”

Patuh, Sita pun mencaplok kontol melengkung itu.

“Jangan pakai gigi!” salah Pak Reksha, tangan menampar kepala berjilbab Sita. “Nah, gitu. Pinter. Pakai lidahnya. Bijinya juga. Jilati.”

Menuruti perintah Pak Reksha tidak sepenuhnya merugikan Sita. Rasa takutnya pada pria itu membuat pikirannya sedikit teralihkan dari ganjalan kontol mertua di memeknya dan permainan jari-jari Basir di duburnya. Setelah beberapa lama, dia nikmati juga tekstur, bau, dan rasa kontol Pak Reksha. Dari yang tadinya masih setengah lembek, kontol itu mengeras. Tegas.

“Gerak woi,” kata Basir pada Pak Basuki.

“E-eh, iya.”

Sebisa-bisanya Pak Basuki menyodok-nyodok memek Sita. Tanpa adanya alas untuk kakinya berpijak, harus diakui; tugasnya jadi lebih susah dari yang seharusnya. Sesekali dia remas tetek menantunya agar lebih semangat memompa.

Mendapati lendir kembali meleleh dari vagina si perempuan alim, Basir setengah menyeringai. Dia gunakan pelumas alami itu untuk melonggarkan anus Sita. Secara sabar dia tunaikan bagiannya. Dari dua jari, sekarang dia bisa memasukkan tiga. Otot-otot anus yang tadinya kencang menolak usahanya kini juga sudah mulai mengendur. Mulai rileks. Mulai menerima. Namun begitu, Basir enggan buru-buru. Jika ada yang dia pelajari dari ayahnya, hal itu adalah kesabaran. Adalah memanfaatkan peluang.

Omong-omong soal peluang, sekarang adalah saat yang tepat bagi Egi untuk berhenti mengintip. Dia mendengar semua obrolan mereka. Dia tahu apa yang akan terjadi. Istrinya akan dinikmati tiga laki-laki sekaligus. Vagina, mulut, dan anusnya akan diisi kontol-kontol yang lebih besar dari kontolnya. Dia tahu kelanjutan adegan hanya akan menghancurkan harga diri, jiwa, serta semangat hidupnya.

Akan tetapi, entah mengapa, dia bertahan.

Apa karena burungnya perlahan mulai bangun lagi?

Benarkah dia menikmati pemandangan istrinya disetubuhi pria-pria lain?

Apa yang salah dengan dirinya?

Kenapa tidak dia labrak saja mereka?

Kita tinggalkan Egi dan pertanyaan-pertanyaannya.

Di tepi ranjang, Pak Reksha sedang menikmati blow-job pertamanya dari Sita. Tidak buruk. 7/10. Selapan lagi dilatih dan servisnya akan luar biasa.

Halus dia elus jilbab si akhwat. Beberapa kali bahkan dia memintanya berhenti agar bisa dia rapikan kain yang sudah acakadul itu. Dia tidak bercanda saat dia bilang ke Sita agar tetap memakai hijabnya. Baginya, ada ironi yang indah di sana. Sebinal-binalnya Sita setelah malam ini, dia ingin betina itu tidak kehilangan jati dirinya. Agar terus ingat. Bahwa sebelum menjadi pelacur nista, dia adalah muslimah alim yang taat beragama.

“Sudah?” tanya Pak Reksha pada Basir yang belum juga mengarahkan torpedonya ke lobang pembuangan Sita. Tak biasanya pemuda itu berlama-lama menyantap hidangan yang satu itu.

Pernah bahkan suatu ketika Basir menyodomi seorang klien mereka yang bahkan tidak dia beri aba-aba. Pingsan ibu-ibu pengajian beranak dua itu dibuatnya. Tindakannya tidak sepenuhnya keliru. Toh, pada akhirnya, ibu-ibu yang juga istri kepala desa itu jadi budak seks mereka juga.

Jika sekarang Basir memutuskan untuk belajar sabar; bagus. The thing is... Pak Reksha sudah tidak sabar men-deepthroat Sita. Dia ingin wanita itu meminum pejuhnya. Belum afdol dia memperbudak mangsanya jika si budak belum menelan saripati kelelakiannya.

Dan untuk deepthroat itu dia harus yakin Sita tidak akan menggigit putus kontolnya. Dia sudah melihat silit wanita berjibab itu. Tidak yakin dia Sita akan begitu saja bertahan menerima kontol Basir di anusnya. Pasti akan ada reaksi luar biasa nantinya.

Daaan, benar saja.

Ramalan itu menjelma nyata.

Segera sesudah Basir selesai menyiapkan Sita yang ditandai dengan beberapa kali meludahi lobang tujuannya, Pak Reksha tarik kontolnya. Dia lepaskan pula kepala wanita itu. Hampir seketika Sita menggertakkan giginya. Wajahnya berkumpul di satu titik. Sekujur badannya mengejang. Basir sudah mulai mencoba memerawani duburnya.

“AAAAAHHHHRGGHMMMMM!!!!”

Sita medesah, melenguh, menjerit, mengerang, dan menggeram di satu waktu. Bukan main sakit dia terima di anusnya. Rasanya tubuhnya seperti mau dibelah dua. Air mata menyeruak dari pelupuk mata.

Fakta bahwa Pak Basuki berhenti mengayun kontolnya dan Pak Reksha membiarkan mulutnya kosong sama sekali tak membantu. Segenap fokusnya kini berpusat pada otot-otot duburnya yang menjeritkan berjuta lara.

“Aaahhduhhhhh.... Aaahhhh.... jangannnn dimasukiiinnn.... laaaagiii.... udahhhh.... pliiiiss.... plisss......”

“Rileks, Mbak. Jangan dilawan. Malah sakit. Tenang. Santai. Tarik napasnya. Ikuti saya. Tarik... lepas.... tarik... lepas.... Ya, gitu. Tarik... lepas... tarik.. lepas....”

Metode tarik-ulur yang serupa namun berbeda Basir terapkan juga di silit Sita. Dia dorong kontolnya, lalu diamkan, lau tarik, untuk kemudian dia dorong lagi. Setiap dia menarik, lingkar anus Sita ikut tertarik. Saat dia mendorong, lobang itu melesak. Dia ulang-ulang sampai akhirnya amblas juga kontol berkulupnya. Anus si wanita yang tadinya tak seberapa itu kini sudah bersedia menampung batang perkasanya. Pipi pantatnya terlihat kian membulat saja.

“Gimana? Enak, kan?” tanya Pak Reksha di depan wajah Sita yang berlinang air mata. Sempurna sudah dia menjadi mainan mereka. “Jangan nangis. Nagih nanti, kok.”

Pada Pak Basuki yang merah-padam kesusahan menahan diri agar tak negcrot dini, dukun itu berkata, “Ayo, Pak. Genjot lagi. Biar nanti Basir nyusul.”

Sita bersyukur sakit di anusnya ternyata... mereda setelah beberapa lama. Sodokan kontol mertuanya juga sedikit banyak membantunya bernapas lebih lega. Karenanya, ketika Pak Reksha menyodorkan kontol melengkungnya, dia sambut suguhan itu tanpa banyak kata.

Pelan Sita rasakan kemudian kontol yang mengisi duburnya ditarik, lalu dihentakkan lagi. Ditarik. Dihentakkan lagi. Sakit. Sakit sekali. Tapi, agaknya... dia akan terbiasa. Sebelum Sita menyadari, tiga lobangnya sudah bekerja optimal memuaskan mereka yang menggarapnya. Ketiga-tiganya selalu ada yang mengisi. Entah itu silih berganti atau bersama-sama.

“Splookkk.... splokkkkkss... splokkkkk... splokkk...”

“Aaahhh... ahh.... sempit... banget.... silitnyaaa.....”

“Glooookkhh... glokkksss... hloookkkss...”

“Ahhh... ughhh.... anget banget mulutmu Mbak Sitaaa....”

“Plokkkss... plokss... ploks....”

“Enghhh.... enghhh.... tempikmu enak banget... Si.. ihhh.... taahhhh....”

Masuk-keluar-masuk-keluar-masuk-keluar kemaluan para bedebah itu di lobang-lobang Sita. Harus Egi akui, luar biasa istrinya itu. Bukan saja tidak pingsan dikeroyok sedemikian rupa, lama-lama dia yakini juga Sita bisa mengimbangi para penjantannya. Goyangan pinggulnya. Getaran pantatnya. Anggukan kepalanya. Ayunan buah dadanya. Dan, mahkotanya yang tidak lepas dari kepala.

Ada bangga yang menunggangi cemburu dalam dada sesak Egi.

Pak Reksha juga bangga.

Bangga dia akan keberhasilannya menaklukkan Sita. Bangga dia pada Sita yang memenuhi ekspektasinya. Dan lain dari Egi yang menyimpan bangga itu untuk diri sendiri, Pak Reksha bersuka cita mengumumkannya.

“Siiiitaaa.... kammu luar biasa,” kata Pak Reksha empat menit sesudahnya. Dia tanjapkan kontolnya sedalam mungkin ke kerongkongan Sita dan dia diamkan di sana. Wanita itu menatapnya tak berkedip. Kecantikannya berlipat ganda. Apalagi saat panik memancar dari sana ketika kontol yang dia kulum memuntahkan laharnya.

Croott... crooott... crottt....

Karena tersumpal, Sita tak punya pilihan selain menelan seluruh pejuh Pak Reksha. Dan anehnya, dia menyukainya. Kenapa dia baru mengicipinya sekarang? Ke mana saja dia?

“Aaahhkk... aaku....,” erang Pak Basuki dari bawah Sita, “keeluaaar!”

Sita rasakan rahimnya kembali penuh. Kali ini oleh pejuh mertuanya. Ayah dari suaminya. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakek bayinya.

“Gimana, Mbak?” tanya Pak Reksha sambil menarik lepas penisnya; yang lagi-lagi masih keras seperti ketika pertama kali dia gunakan menggasak Sita. “Enak, to?”

Meski mulas, Sita tampak puas.

“Sir?” Pak Reksha panggil anaknya yang lagi asik menampar-nampar pantat Sita. Yang lagi seru menggempur silit si akhwat. “Masih lama?”

Basir mengangguk saja. Tidak ada yang meragukan si raksasa. Dia bisa mengenthu Sita sampai shubuh kalau perlu.

“Ganti posisi.” Pak Reksha menepuk ubun-ubun Pak Basuki yang seenaknya saja tidur di bawah tubuh molek menantunya. Sita sendiri tampaknya akan ikut ngorok kalau dibiarkan. Kepala wanita itu terkulai lemah di leher mertuanya. “Aku mau pastikan Mbak Sita bunting.”

Tanpa kesulitan Basir mengabulkan permintaan ayahnya. Tangan-tangan kekarnya mengait di ketiak-ketiak Sita. Dalam satu tarikan napas dia angkat Sita dari dada Pak Basuki. Kontolnya masih bersarang di anus wanita berhijab itu. Semakin dalam malah gara-gara dibantu bobot tubuh Sita.

Sesudah Pak Basuki menyingkir, Basir empaskan punggungnya ke kasur. Dengan kaki-kaki masih memijak lantai, kembali dia aduk-aduk silit wanita di atas perutnya. Kuat dia cengkeram gunung kembar si akhwat.

Tak ingin ketinggalan, Pak Reksha pun menempatkan diri di depan lobang tempik Sita yang belepotan sperma. Bibir memek itu dower. Jauh berbeda dari ketika dia temukan untuk kali pertama. But it doesn’t matter. Lobang peranakan itu masih salah satu yang terenak yang pernah dia rasakan. Penuh nafsu dia lesakkan kontolnya.

Bleesshhhhh.

Kan? Masih menggigit gila. Sembari membentangkan paha Sita, dia pun kembali menggenjot betinanya.

Dalam posisi di-sandwich semacam itu, secara sadar Sita menyerahkan kesadarannya. Dia sudah tidak harus banyak bekerja. Bapak dan anak itu tahu dia telah mencapai batasnya. Sebagai tuan rumah, dia sudah memuliakan tamu-tamunya. Dengan senyuman di wajahnya, dia pun memejamkan mata.​

~bersambung
 
Sebelum adpet berikutnya dan terakhir kalinya, perkenankan saya menghaturkan terima kasih atas segala bentuk apresiasi agan-agan semua, ya. Cerita ini singkat saja. Mengenai apa-apa yang terjadi antara komentar ini dan epilog cerita dan boleh jadi setelahnya... sila agan-agan imajinasikan saja sebebas-bebasnya. Tetap sehat. Tetap njengat.

Salam semprot!​
 
epilog
“Bu Sita? Halo?”

Lamunan Sita buyar. Ponsel di atas meja dia sambar. Lima tahun sudah berlalu. Namun, entah mengapa, ingatannya tiba-tiba kembali pada malam itu. Pada malam yang mengubah hidupnya.

Selamanya.

Sekarang, Sita sudah menjadi seorang ibu sepenuhnya. Anaknya sebentar lagi tiga. Angga sudah TK. Kiara masih menyusu padanya. Dan si bungsu Malika setengah bulan lagi akan meninggalkan rahimnya. Karena tidak pernah merasa perlu melakukan tes DNA, Sita tidak akan pernah tahu siapa ayah mereka sebenarnya.

Selepas malam itu, Sita dan Pak Basuki pindah ke kecamatan tempat Pak Reksha ‘berkuasa’. Keduanya meninggalkan jasad dan kenangan Egi—yang mereka temukan menggantung di kandang ayam pada pagi hari itu—di belakang mereka.

Dua tahun lamanya mereka bermukim sebagai pasangan suami-istri di sana. Di luar dugaan Sita—yang sebenarnya enggan dinikahkan oleh Pak Reksha dengan ayah dari suami pertamanya—Pak Basuki membuktikan diri sebagai sosok suami yang bisa diandalkan. Berkat mengabdi pada Pak Reksha, segala kebutuhan mereka tercukupi.

Sempat ada drama mengiringi perpindahan terakhir mereka. Sumbernya sederhana. Pak Reksha dan Basir berbeda suara. Sementara si bapak ingin Pak Basuki dan istri ‘melebarkan’ sayap operasi ke luar pulau, Basir ingin berada di dekat ‘anaknya’.

Yah, Sita paham.

Dari lahir pun Angga sudah tampak sekali mirip si raksasa. Besar. Kuat. Tak pernah kekurangan tenaga merepotkan ibunya.

Pada akhirnya, Basir bersedia melepas Angga sesudah Pak Basuki menyanggupi untuk membesarkan bocah itu dengan sepenuh hati. Tiga tahun berselang, Basir sepertinya tidak punya alasan untuk sumelang. Toh, mereka masih bisa saling mengunjungi.

Sebagaimana yang setengah hari lagi akan terjadi.

Sita tidak akan bilang hidupnya di Ibu Kota Nusantara mudah. Butik muslimah yang dia buka awalnya sepi. Tetapi, lambat laun terbuka juga itu pintu rejeki.

Kini, Sita sudah mengepalai dua belas karyawan. Yang semuanya tergabung dalam satu kajian. Pasangan anak dan menantu—mereka ini kakak-beradik by the way—Pak Reksha yang ikut di perantauan menjadi pengisi pertemuan-pertemuan. Mereka harus dia akui tidak kalah bajingannya dari sang ayah. ‘Mangsa’ mereka, terakhir dia ingat, sudah di angka enam puluhan. Sita dan kawan-kawannya juga masuk hitungan.

Sayangnya, pasangan itu lalu mabuk kekuasaan. Jauh dari pengawasan Pak Reksha, mereka mulai menelurkan ide-ide baru. Banyak dari ide-ide itu yang tidak sejalan dengan Sita. Seperti memasangkan tindik pada vagina serta buah dada jemaah kajian yang wanita, terutama.

Sial bagi Sita, tidak banyak yang mampu dia perbuat. Suaminya merupakan pendukung kuat mereka. Dia sendiri termasuk yang pertama-tama ditato punggung dan bokongnya. Dan tak berhenti di sana, siasat paling keji mereka kini sudah di depan mata: Basir yang sedang dalam terbang ke IKN, akan mereka ringkus bersama lalu hilangkan jejaknya dalam perjalanan dari bandara.

Berita buruknya, Sita akan ada di sana. Setiap berkunjung memang dia yang pertama Basir minta.

“Bu Sitahh... baik-baik aja, kan?” tanya suara di seberang sambungan. Di latar belakang, Sita bisa mendengar pria yang menelponnya sedang sibuk ‘menggarap’ kerjaan.

“Iya. Maaf, lagi agak mual aja tadi.”

“Ohhhk... Lagi nakal, ya, si Malika?” tanya pria yang ‘memberi’ Sita nama untuk anak ketiganya.

“Hehe. Iya.”

“Ya, udah. Haahh... haahhh.. Aaahkkkkk.....”

Jeda yang lumayan lama membikin Sita tak tahan untuk tak memilin-milin puting payudaranya dari luar hijab panjangnya. Di baru menjauhkan tangannya saat anak Pak Reksha kembali bicara.

“Habis ini... Bu Sita istirahat aja. Semuanya sudah kita siapkan. Bu Sita nanti tinggal nunggu jemputan.”

“Oke.”

Peneleponnya mengakhiri panggilan tanpa mengucapkan salam. Di atas sofa ruang tamunya yang luas dan nyaman, Sita mengernyit dalam. Basir memang dari dulu menyenanginya. Pergumulan mereka tetap panas bahkan sesudah berlalunya masa. Dia tergolong beruntung. Sebab, laki-laki itu terkenal gampang bosan.

Hanya saja, Sita belum ... puas?

Dia ingin Basir seutuhnya memilikinya. Bukan Cuma kadang-kadang saja. Tapi bagaimana? Raksasa itu punya banyak musuh.

Argh! Pusing! Pusing! Pusing!

Di tengah Sita mengurut pelipisnya, ponselnya tiba-tiba berdering lagi. Siapa, sih? Tidakkah dia pantas mendapat ketenangan? Sialan, maki Sita dalam hati sebelum membaca nama yang tertera pada layar.

“Mas Basir? Kok, tumben ini orang?”

Keheranan Sita beralasan. Sebagai manusia yang hidup di abad ke-21, pria itu bisa dibilang ketinggalan jaman. Dia memang punya nomor kontak yang bisa dihubungi. Hanya saja, komunikasi dengannya seringnya via asisten pribadi. Dengan dada berdebar seperti bocah belasan tahun yang lagi kasmaran, dia menekan tombol terima. Pantatnya yang disumpal butt-plug bergetar saat dia duluan menyapa, “H-halo, Mas?”
TAMAT
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd