Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    497
***

Dingin tapi hangat.

Aku membuka kelopak mataku. Berat sekali. Bias cahaya lampu ublik di sudut kamar membantuku melihat. Menoleh. Samar-samar aku bisa melihat dari jendela jikalau hari sudah gelap. Jam berapa, aku tak tahu. Hanya satu yang kutahu: tidak ada Nenek di sampingku.

Aku menyingkap selimut tebal membungkus tubuh. Mendapati diriku yang masih telanjang bulat. Bedanya, seluruh tubuhku terasa ringan. Tidak ada lengket dan bau kelamin seperti sebelum-sebelumnya kala aku biasa memadu cinta bersama Nenek.

"Ah, setan!" aku meringis kesakitan. Batang kontolku ngilu minta ampun. Mati rasa saat aku menyentuhnya dengan telapak tangan. Efek seharian aku bercinta layaknya binatang baru terasa sekarang.

Aku mengatur nafasku sejenak. Setelah agak tenang, aku bangkit dari ranjang. Duduk sebentar di tepi ranjang. Kembali mengingat persetubuhan abnormal yang kulakan. Korbannya sudah barang tentu si Nenek binal.

Nenek.

Wanita tua super genit itu sungguh mampu membuat jiwaku bergejolak. Kadang senang, sedih, marah, sampai tertawa sinting berdua.

Lamunanku terus bergulir mengingat bagaimana keseriusan Nenek menolak untuk aku jadikan pasangan hidup. Aku masih belum memahami jalan pikiran si genit itu. Sedikit kesimpulanku adalah Nenek yang seolah menghindar jika obrolan jadi serius. Ia seperti orang yang hanya menikmati kehidupan tanpa melibatkan perasaan.

Lucu. Dibalik tingkah jenakanya mengundang kekesalan, Nenek menyimpan hati yang lebih dingin ketimbang kulkas. Belum lagi dirinya menganggap segala hal sebatas candaan.

Mengingat memori buruk itu, membuat hatiku semakin sakit. Penolakan dari Nenek yang menyimpan tanda besar di kepalaku masih mengundang rasa penasaran. Aku yakin kalau Nenek punya alasan tersendiri. Tak mungkin ia setega itu denganku. Terlebih aku cucu pertamanya. Cucu yang juga memberinya kenikmatan di atas ranjang.

Memikirkan ini semua seorang diri memang berat dan melelahkan. Mau tak mau aku butuh bantuan seseorang yang ada kaitannya perihal diriku. Kalau mencoba memaksa Bu Rini angkat bicara, itu jelas sulit. Ia sudah memberi clue. Tinggal bagaimana caranya aku menyelesaian apa yang sudah kumulai.

Baik, Kobe. Santai, tenang kalem. Satu persatu akan terbuka. Dirimu harus lebih sabar sambil mengurai benang kusut sampai menemukan titik terang. Sampai saat itu tiba, aku akan memilih bungkam terlebih dahulu.

Aku turun dari ranjang. Berdiri di depan almari mencari pakaian. Jujur saja malam ini jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Apa mungkin akan turun salju, ya?

"Salju ndasmu!" kicau si Palu Gatot, yang setelah sekian kliwon tak kudengar suara cemprengnya.

"Sayangku, kamu sehat-sehat aja, kan?" sapaku, sambil mengelus si Palu Gatot yang sedang mencari posisi nyamannya bersembunyi dibalik celana dalam.

"Habis merawani pantat Nenekmu sendiri, otakmu tambah miring gini, Kapten."

"Aku ucapakan terima kasih sama kamu yang sudah menemaniku menjelajah ke gua paling angker, Tot. Untung aja kamu nggak tersesat."

"Aku nggak menerima terima kasih. Yang aku harapkan permintaan maafmu, bajingan."

"Maaf kenapa lagi? Kan kamu sudah dapat jatah banyak hari ini."

"Ini bukan masalah jatah. Ini masalah caramu memperlakukanku, su."

"Iya, iya. Mohon maaf diriku ucapkan, Gatot-ku sayang."

"Jancok! Jijik, cok! Udah sana mati aja kamu, Kapten!"

"Tadi disuruh minta maaf, sekarang disuruh mati. Maumu apa, tho?"


Diam. Si Palu Gatot tak menyahut. Sedetik kemudian, terdengar dengkuran halus dirinya yang mulai nyaman bersemayam dibalik celana. Bajingan.

Cuk. Menghadapi makhluk paling merepotkan sejagat raya ini sungguh butuh kesabaran. Jika tidak, bisa-bisa primata kecilku ini mogok menolak ereksi. Kalau benar begitu, mana bisa aku menaklukkan wanita yang masih kusimpan untuk hidangan utama ke depannya.

Dengan langkah kaki seribu, aku menyibak selambu putih. Tertangkap basah di mataku ada sesosok makhluk duduk jigang di ruang tamu sambil sebal-sebul memanjakan paru-paru dengan asap rokok.

Bukan Nenek, melainkan Kakek!

Iya, Kakekku!

Kejutan apalagi yang ingin diperlihatkan oleh Dewi Fortuna kepadaku. Sampai-sampai mulutku terkunci rapat. Tak tahu harus berkata apa.

Aku bergerak cepat. Duduk di seberang meja menghadap tepat di depan Kakek. Manusia paling gila yang pernah kuhadapi.

Dewo Suryopranoto.

Kakek tua yang menduduki peringkat pertama manusia yang disegani dan dihormati semua orang. Tak hanya warga Desa Gentangan, pengaruhnya jauh lebih luas bahkan sampai satu kota. Anehnya, meski ia tergolong orang penting, tak pernah kudapati orang-orang penting pemerintahan datang berkunjung ke rumah semenjak aku tiba satu minggu yang lalu.

Untuk sesaat, aku tak bergeming. Masih menatap Kakek yang belum menunjukkan kapan ia membuka mata sembari menghisap rokok. Rokokku.

Aku ikut merokok. Mencomot satu batang, lalu membakarnya. Baru satu kali hembusan asap tembakau, tiba-tiba ...

"Tak kiro kowe turu nganti bablas tembus nang akhirat, Le." (Aku kira kamu tidur sampai hanyut tembus ke akhirat, Le.) Dengan baritone berat seperti biasa, Kakek nyeletuk tanpa dosa.

Kalimat Kakek barusan sukses membuat alisku berkedut. Namun, aku tetap memilih diam, dan lanjut merokok. Saling beradu pandang dengan sorot mata cekung Kakek yang tajam menusuk, praktis membuat bijiku merinding.

"Tempo hari, aku pernah nggak sengaja lihat orang lagi push up. Siapa ya orangnya?"

"Saya!" Kakek mengangkat tangan. Mengacungkan telunjuk ke atas. Persis bocah SD yang diberi pertanyaan oleh guru di depan kelas.

"Setahuku, orang stroke yang sebentar lagi aku bawa ke pemakaman nggak bisa melakukan itu."

"Betul!"

"Tempo hari juga, aku pernah nggak sengaja lihat Pak Tua lagi ngintip ak dipijit Nenek. Siapa, ya?"

"Hamba, Yang Mulai El-kontole Dancuk-peli Kobe Hadiningrat!"

"Kakek!" aku berseru gemas. Menatapnya lelah. Menghadapi Nenek saja sudah menguras kesabaran, apalagi menghadapi pasangannya. Yang ada, sebentar lagi aku di vonis gangguan jiwa.

"Serius. Apa maksudnya tiba-tiba Kakek duduk santai, rokokan, dan pasang gaya congkak begitu?" tanyaku, yang tak mengharapkan lagi jawaban benar. Wajar. Di mataku, Kakek itu tipikal orang paling menyebalkan. Lebih menyebalkan dibanding Bung Towel.

"Terima kasih sudah bertanya, Le." Kakek menjawab, sambil tersenyum ceria.

Sudah? Gitu saja jawabannya? Hanya terima kasih, lalu diam seribu bahasa, kemudian lanjut menggaruk selangkangan dibalik sarung yang dikenakan? Sudah? Bajingan!

Aku bersiap pergi. Tak mau lagi membangun obrolan bersama si tua bangka satu itu. Baiknya aku mencari Nenek, menetek, lalu tidur di pelukannya yang hangat.

Ya, baiknya begitu. Akan tetapi, fakta di lapangan memaksaku untuk tetap duduk saat Kakek berpindah duduk dengan meloncat seperti tupai. Bersila tepat di sampingku.

Orang ini!

"Kakek itu-"

"Hop! Mandek! Ojok mbok terusno, Kek. Isok-isok bengi iki sampeyan tak pendem nang mburitan. Temen iyo." (Cukup! Berhenti! Jangan diteruskan, Kek. Bisa-bisa malam ini Anda kupendam di belakang rumah. Serius.)

"Yo wes ndak opo-opo, Le. Ojok lali maesane Kakek ditambahi gambar ulo." (Ya sudah tidak apa-apa, Nak. Jangan lupa batu nisan Kakek ditambahi gambar ular.)

"BUDAL!" (BERANGKAT!)

Aku merangkul pundak Kakek, lalu membawanya ke pelukanku. Aku menangis haru campur darah. Betapa rindunya diriku mendengar ocehannya yang khas. Ditambah bau badannya yang selalu wangi minyak kayu putih.

Kakek balas memelukku. Erat. Sampai tak sengaja ujung bara rokoknya menusuk tengkuk leherku. Bajingan.

Aku melepaskan pelukan. Menggosok leherku bekas sundut rokoknya sambil menatapnya jengkel.

"Kangen Kakek, Le, sama kamu," ucap Kakek, yang sepertinya otaknya sudah kembali normal sampai repot-repot mengatakan itu dengan nada sedih.

"Sama." Aku membakar rokokku yang sempat padam. Lalu, asapnya kubuang ke samping. "Kakek sebenarnya sakit apa?"

"Kakek baik-baik aja, Le. Kakek cuma pura-pura stroke. Kalau ndak gitu, mana mau kamu main ke rumah Kakek lagi."

"Tapi ini badan Kakek kurusan gini."

"Sakit orang tua. Kayak ndak tau aja kamu."

"Serius hanya itu?"

"Iyo, Le. Takok maneh tak dongkrak lambemu nganti melip." (Iya, Nak. Tanya lagi aku dongkrak mulutmu sampai terbang.)

Aku tersenyum kecut. "Cuk."

"Banyak yang ingin Kakek sampaikan ke kamu, Le. Tapi, saat ini Kakek hanya ingin bilang terima kasih dan maaf sama kamu." Kakek memperbaiki sikap duduknya. Satu kaki dilipat di paha, satu kaki turun menjejak lantai. Menghisap rokok sebentar, ia kembali berkata, "Terima kasih sudah membantu Kakek secara ndak langsung dengan menjadikan Nenekmu yang gila itu sepenuhnya fokus ke kamu. Dan maaf, karena Kakek, kamu jadi kerepotan sampai seperti ini."

Helaan nafas kubuang panjang, aku tatap Kakek dengan sorot muram. "Aku bingung. Kita tahan dulu obrolan yang kayaknya penting ini. Aku mau bikin kopi."

Tak kusangka, Kakek malah berteriak, "Mik, Umik! Gawekno bojomu kopi!" (Mik, Umik! Buatkan suamimu kopi!)

Entah di mana keberadaan Nenek saat ini sampai Kakek harus memanggilnya agak keras.

Hening. Tak ada sahutan di tengah kebisuan dinginnya malam. Hingga beberapa saat kemudian, aku dapati sosok manusia yang kurindukan Kendati setiap hari kami bertemu dan memadu kelamin.

Selambu kamar Kakek terbuka. Satu sosok wanita bongsor muncul dari dalam kamar Kakek sambil mengerang sebal.

Nenek. Mukanya kusut seperti bangun tidur. Jika biasanya Nenek memakai bra menutupi buah dada dan jarik membelit tubuh montoknya, kali ini ia menggenakan daster panjang motif bunga. Terlihat dari jalannya yang seperti pinguin, kedua susunya bergoyang-goyang indah dari balik daster. Oh, sudah jelas wanita nakal itu tak memasang bra. Bisa jadi tak memakai celana dalam kalau tebakanku benar.

Berjalan pelan, Nenek tiba di ruang tamu. Ia duduk terlebih dahulu di kursi yang sebelumnya Kakek duduki. Ia mengambil sebatang rokok. Menggigit di bibir, berikut kepala miring ke kanan.

Jras!

Cahaya dari api korek menerangi wajah Nenek. Masih nampak kelelahan rupanya. Aku jadi merasa bersalah telah berlaku kasar tadi siang.

Setelah menghisap barang tiga kali hembusan, Nenek berkata serak, "Jancuk. Lapoan ae seh Abah iki. Ndak ngenak-ngenakno wong turu ae kowe iku." (Jancuk. Apa-apaan sih Abah ini. Mengusik orang tidur saja kamu itu.) Seraya meletakkan rokok di atas asbak.

"Gawekno aku wedhang pisan, Mik. Gulone titik ae, engkok mundak diabetes aku." (Buatkan aku minum juga, Mik. Gulanya sedikit saja, nanti malah diabetes aku.)

"Yo, yo, Bah. Ndak usah bengok-bengok. Tak tapok lambemu kapok kowe." (Ya, ya, Bah. Tidak usah teriak-teriak. Aku gampar mulutmu mampus kamu.)

"Ndak usah nggremeng. Tak jejeli gedang, lho." (Tidak usah menggerutu. Aku jejali pisang, lho.)

"Iyo, iyo. Doh! Sek tho tak ngelumpukno nyowo. Ceriwis ae koyok derkuku." (Iya, iya. Duh! Sebentar dong masih mengumpulkan nyawa. Berisik saja seperti merpati.)

"Terusno." (Teruskan.)

"Yo tak terusno karo aku. Kape lapo kowe? Hah?" (Ya aku teruskan sama aku. Mau apa kamu? Hah?)

"Cek kerenge rek serundeng Bondowoso. Ndak ngomong maneh wes aku." (Galak sekali serundeng Bondowoso. Tidak ngomong lagi aku.)

"Pinter ngunu. Maem'e opo?" (Pintar begitu. Makannya apa?)

"Maem ati." (Makan hati.) Kakek menjawab sekenanya.

Hahahahaha!

Nenek tertawa nyaring. Tawanya mirip mesin traktor konslet. Memekakkan sampai menggetarkan gendang telinga.

Saat Nenek berdiri dan hendak melangkah sambil menyelipkan rokok di antara jarinya, aku menegur, "Nek."

"Lapo maneh?" (Kenapa lagi?) Nenek balik badan. Ia menatapku santai.

Aneh, padahal sebelumnya aku memperlakukannya seperti binatang. Tapi Nenek terlihat biasa saja. Apa ia tidak marah? Atau setidaknya kesal denganku? Entahlah.

"Anu ... aku minta maaf." Aku menunduk. Tak berani menatapnya. Masih segan karena sikapku kelewat kurang ajar padanya.

"Hmph!" Nenek buang muka. Melengos pergi sambil berjalan tertatih-tatih pegangan dinding.

Aku tercenung. Ternyata Nenek memang marah. Aku tahu kalau kegilaan tadi siang tak dapat dilupakan begitu saja dari ingatan. Terlebih rasa sakit pada fisik dan hatinya aku serang bertubi-tubi.

Jeda hening di antara aku dan Kakek terasa canggung. Aku begitu berdosa kepada Kakek karena berani bertindak sembrono tanpa memikirkan segala resiko. Aku berasa gagal sebagai seorang laki-laki sejati, juga sebagai cucu kesayangan.

"Le ..." panggil Kakek. Tangannya yang kasar menepuk-nepuk pundakku, lalu berbisik, "jangan sedih."

Aku menoleh. Menatap Kakek dengan sorot lemah. "Kakek kalau pengen menghajar aku, silahkan. Toh, aku ini sudah jadi cucu durhaka karena nyakitin Nenek. Nggak cuma nyakitin, tapi aku malah ... malah ...."

"Tenangkan pikiranmu, Le." Kakek berkata datar. Menekan kuat pundakku. "Kamu jadi emosian seperti ini bukan sepenuhnya salahmu. Kakek paham kalau kamu itu anaknya baik dan penyayang. Ini semua salah Kakek karena sudah menjerumuskanmu ke arah yang ndak bener."

"Meski Kakek ngomong gitu, tapi tetep aja, Kek!" cetusku, gusar. "Tetep aja ... tetep aja aku sudah berani melukai Nenek."

Kakek menyipitkan mata. "Emangnya Nenekmu mati? Ndak, tho? Santai aja napa."

Aku menatap Kakek tidak paham. "Kenapa justru Kakek yang santai di saat seperti ini? Kenapa, Kek? Kenapa Kakek langsung aja menggorok leherku karena aku ... aku sudah ngentotin Nenekku sendiri. Istrinya Kakek. Semua lubangnya aku masuki! Kenapa aku masih Kakek biarkan hidup?!"

"Kobe!"

Nada tegas penuh intimidasi yang dikeluarkan Kakek jelas membuatku ciut. Aku menunduk dalam. Tak berani menatapnya. Apalagi saat ini Kakek sedang mode serius.

Sejurus, tangan besar Kakek berpindah ke belakang kepalaku. Mencengkramnya kencang sampai kepalaku terangkat hingga kami kembali bertatapan.

DEG!

Dapat kulihat dari pekatnya gelap ruang tamu yang hanya diterangi bias cahaya samar dari lampu ublik jikalau Kakek meneteskan air mata. Aku terhenyak. Tak tahu harus berkata apa. Yang jelas, bibir Kakek yang sehitam tapal kuda itu bergetar menahan suara.

Sampai kemudian, kebekuan di antara kami runtuh manakala Nenek datang dari arah dapur membawakan dua kopi di atas lepek. Ia berjalan pelan. Memutari meja, lalu duduk di sebelahku. Diletakkannya dua kopi hitam panas di atas meja. Lantas, Nenek menuangkan salah satu kopi pada lepek sampai tercium aroma wangi kopi mengundang ketenangan.

Ting!

Bunyi dentingan gelas dan lepek beradu setelah hampir setengah cairan hitam itu mengisi seluruh lepek, berikut kepulan asap panas.

Slurp!

Nenek meniupnya sebentar, lalu menyeruput kopi. Bibirnya agak mengerucut karena kepanasan. Sedetik, Nenek membakar rokok. Rileks. Ia bersandar pada kepala kursi kayu jati sambil kembali menghisap rokok dalam.

Kehadiran Nenek menambah ketegangan. Bisa kurasakan atmosfir udara terasa menyesakkan. Sampai-sampai bulu kudukku meremang. Terlebih, baik Kakek mau pun Nenek tak kunjung mengucapkan sepatah kata seperti biasanya.

Aku rendah diri. Mengalah. Menarik nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan. "Aku mau ke kamar dulu, Kek, Nek." Pamitku, seraya berdiri.

"Duduk," ucap Kakek dan Nenek, bersamaan.

Tak ada pilihan. Aku kembali duduk. Menunduk lagi. Merutuki kebodohanku seorang diri. Mentalku laksana rollercoster. Naik-turun. Berada di tengah-tengah mereka, aku jadi merasa kerdil. Begitu lemah seolah aku hanya batu kerikil.

"Nenekmu itu ... ibumu." Kakek buka suara. Tanpa basa-basi, ia langsung membawakan kalimat kematian mengundang jantungan.

Aku tercekat. Detak jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Nafasku memburu. Ketika aku merasa itu hanya candaan Kakek, detik itu juga anggapanku terpatahkan kala Kakek mengatakannya dengan mimik serius.

"Kobe Bangun Kusumo. Kamu adalah anak Nenekmu. Kamu lahir dari rahimnya. Tapi, kelahiranmu menggemparkan desa ini. Waktu itu ... sudah sangat lama. Ndak terasa sudah lebih 18 tahun sejak kamu membawa kebahagiaan untuk kami semua."

"Abah, kowe serius ta ngomong ngene sak iki nang Kobe?" (Abah, kamu seriuskah ngomong begini sekarang ke Kobe?) tanya Nenek, yang kontan ucapan Kakek terhenti.

Bukannya menjawab, Kakek malah menuang kopi di lepek. Ia minum tanpa ditiup. Sepertinya panas. Tapi Kakek nampak biasa saja. Atau, sudah terbiasa.

Kakek, ia membakar rokok lagi, sebelum berkata, "Kobe harus tau kebenarannya. Aku ndak mau dia jadi lemah begini hanya gara-gara merasa bersalah sudah berhubungan denganmu, Umik."

Nenek berdecak. "Sak karepmu, lah." (Terserah, lah.)

"Yo sak karepku, seh. Lapo kowe ngatur aku. Pentil mek sak kelopo ojok kemlinti." (Ya terserah aku, sih. Kenapa kamu ngatur aku. Payudara hanya sebesar kelapa jangan songong.)

"Matamu kopling, Bah. Aku wes ngekek'i kowe anak, putu, dan calon cicitmu seng ketokane bakal dadi iki kok ndak oleh tak atur. Tak panah gegermu suwe-suwe." (Matamu kopling, Bah. Aku sudah memberi kamu anak, cucu, dan calon cicitmu yang kelihatannya bakal jadi ini kok tidak boleh aku atur. Aku panah punggungmu lama-lama.)

"Yo, kene panahen. Engkok genti tak tombak kentolmu." (Ya, sini panah saja. Nanti ganti aku tombak betismu.)

"Wani kowe?!" (Berani kamu?!)

"Gelud, ta?!" (Duel, kah?)

"MAJU!"

Mulai lagi lawaknya, jancuk!

Adu mulut tiada habisnya antara dua manusia bau tanah ini sedikit-sedikit mengembalikan senyumku. Sungguh, aku merindukan suasana keakraban yang sudah lama tak mereka perlihatkan. Makian, hinaan, dan cercaan yang keduanya saling lontarkan adalah bukti nyata bahasa cinta tak melulu soal rayu gombalan sampah.

"Maaf, bisa kita kembali ke topik?" aku sudah baikan. Perasaanku sedikit rileks mengetahui Kakek dan Nenek seperti sedia kala. Aku pun duduk tegap sambil menatap keduanya bergantian. Senyum agak kaku, aku berkata lagi sambil sedikit senyum, "Kapan ya aku punya keluarga normal."

"Wajahmu elek lek mesem ngunu, Le. Tak sawang-sawang persis koyok luwak mbrakoti nongko." (Wajahmu jelek kalau tersenyum begitu, Nak. Aku lihat-lihat persis seperti luwak menggerogoti nangka.) Kakek justru nyeletuk melenceng dari ucapanku yang bernada sindiran. Celetukan itulah Kakek iringi dengan tawa terbahak-bahak. "Tambah elek lek mbok tekuk lungset ngalah-ngalahi gombal mamel. Buahahaha." (Tambah jelek kalau kamu tekuk mengkerut melebihi kain bekas setengah kering. Buahahaha.)

"Ngoco'o disek, Bah. Elek-elek ngene manuke Kobe marem lek wes kadung mentok jedok melbu nang tempekku." (Ngaca dulu, Bah. Jelek-jelek begini burungnya Kobe nyaman kalau sudah terlanjur mentok maksimal masuk ke memekku.) Nenek menimpali, seraya memelukku, lalu menciumi pucuk kepalaku.

"Kirik. Ngenyek kowe, Mik. Aku yo isok, yo!" (Anjing. Menghina kamu, Mik. Aku juga bisa, ya!) Kakek tak mau kalah.

"Masamu wes entek, Bah. Sak iki wayahe cah enom seng tampil." (Masamu sudah habis, Bah. Sekarang waktunya anak muda yang tampil.)

"Jamput. Mentang-mentang diusluk-usluk nganti klenger, aku dilalikno. Nelongso aku rasane." (Kurang ajar. Mentang-mentang dientot sampai tepar, aku dilupakan. Nelangsa aku rasanya.) Kakek merajuk, drama.

"Cup, cup, cup. Ojok nangis talah. Kene mentil disek, Abahku seng ganteng dewe." (Cup, cup, cup! Jangan nangis, dong. Sini netek dulu, Abahku yang tampan sendiri.) Nenek menjulurkan tangannya. Panjang. Sampai menyentuh kepala Kakek, lalu dielusnya seperti halnya mengelus anakan kucing.

Kakek menyambut dengan wajah berbinar. "Oh, cintaku, sayangku, duniaku!"

"Dobol. Ini kapan seriusnya coba kalau kata pengantarnya diiringi lebay-lebay-an begini!" aku stres sendiri. Menjambak-jambak rambutku frustasi.

"Iya, Le, iya. Ndak usah mencak-mencak gitu, tho. Santai aja." Kakek menyahut, setengah bercanda.

"Terus ini gimana ceritanya, Kek, aku bisa jadi cucunya Nenek, tapi juga anaknya. Terus kenapa Kakek nggak nyebut sekalian kalau Kakek bapakku?" cercaku dengan banyak pertanyaan. Tentu saja hal ini mengundang rasa penasaranku. Terlebih, tak menutup kemungkinan jikalau diriku anak haram.

Kakek menghisap rokok. Menyeduh kopi langsung dari gelas, lalu berkata, "Kakek statusnya ya anggap aja tetep kakekmu, Le. Bukan karena Kakek kamu ada di dunia. Tapi ..." Kakek menjeda. Agak berat diucap hanya dilihat dari ekspresi wajahnya yang ragu, "kamu itu anaknya Karim Wijaya, ayahmu sendiri."

Mungkin tahu kalau aku akan membantah, Nenek mengambil alih atensi. "Gampangnya gini, Be. Kamu lahir berkat hubungan antara Nenek sama ayahmu. Kenapa? Ini dilakukan atas permintaan ibumu sendiri yang tentunya setiap orang tua mendambakan seorang anak. Ibumu itu ...."

***

Menurut penuturan Nenek, yang kali ini tak lagi menutup-nutupi, bahwasanya ibuku, Siti Aminah, wanita cantik gemar menyanyi itu bukanlah ibu kandungku. Aku tak menyangka jikalau Ibu dan Ayah bekerja sama melibatkan banyak pihak guna menyimpan rapat rahasia dibalik kenyataan pahit di masa lalu yang menimpa keluarga kami.

Hal ini bermula kala Ibu yang mengalami keguguran anak pertamanya saat janin itu baru berusia 8 minggu. Dari yang dipaparkan dokter lalu disampaikan Nenek, Ibu mengalami masalah kesehatan bernama PCOS alias sindrom polikistik ovarium. Penyebab utama Ibu susah hamil, dan sekalinya hamil rahimnya melemah. PCOS sendiri adalah gangguan hormon pada wanita di usia subur. Gejala PCOS di antaranya siklus menstruasi yang tidak teratur serta meningkatnya hormon androgen secara berlebihan yang ditandai dengan hirsutism atau tumbuh rambut yang berlebihan pada wajah dan badan.

PCOS juga dapat membentuk kumpulan kista yang aka berpengaruh pada ovarium dan menyebabkan kadar hormon estrogen dan progesteron menjadi terganggu. Pasalnya, kedua hormon ini berfungsi mengatur siklus menstruasi, merangsang pertumbuhan folikel sel telur, dan mempersiapkan dinding rahim untuk kehamilan. Apabila kedua hormon tersebut terganggu, maka kondisi tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada rahim.

Itulah yang terjadi pada Ibu. Wanita tangguh yang tak pernah kudengar mengeluh sedikit pun. Oleh karenanya, Ibu yang mengalami stres berat, ditambah keinginan ingin memiliki anak, memberikan opsi sekaligus ide gila yang pernah kudengar.

Ibu, ia menyuruh Ayah menyetubuhi Nenek sampai hamil. Terlebih waktu itu Nenek belum tua-tua amat. Ia sehat secara jasmani dan rohani.

Mulanya, ide sinting dari Ibu ditolak mentah-mentah oleh banyak pihak. Termasuk Pak Kusno, Bu Rini, dan Tante Ima sebagai saksi betapa murkanya Kakek dan Nenek. Kakek yang tak rela istrinya dipakai oleh menantunya meski berlindung dibalik kata "membahagiakan anak", Nenek yang tak punya alasan khusus menuruti ide Ibu.

Sampai kemudian, terjadi kesepakatan bersama. Tepatnya sebuah perjanjian. Kakek memperbolehkan Ayah menghamili Nenek dengan syarat Kakek diperbolehkan memakai Ibu. Tentu saja hal ini mengundang pro-kontra. Sampai akhirnya, semua sepakat meskipun dengan berat hati.

Sampai sembilan bulan lamanya, Nenek akhirnya bersiap melakukan persalinan. Ia sempat mengalami pendarahan hebat saat proses melahirkanku. Jatuh bangun Nenek tak sadarkan diri berjuang untuk hidup, terlibat melihatku yang tak bernafas setelah keluar dari rahim. Kata dokter dan perawat yang menanganiku, aku dinyatakan meninggal.

Kakek, salah satu dari beberapa orang yang berada di lokasi mengambil alih diriku. Ia memberi doa-doa menggunakan bahasa Jawa kuno yang tak kumengerti. Kemudian, Kakek memberi mandat kepada semua orang jika aku dan Nenek harus dipisahkan. Sebab, weton kami berdua sama. Karenanya, Kakek mempercayakan aku kepada Bu Rini untuk dirawat selama 40 hari. Setelah lewat 40 hari, aku mulai hidup. Berlanjut aku disusui sampai 40 minggu atau 10 bulan. Berikutnya, aku diserahkan kepada Ayah dan Ibu -Karim dan Ami- yang tak lain kedua orang tuaku.

Aku masih terdiam setelah mendengar rangkuman panjang menguras emosi jiwa. Benar-benar kenyataan yang sukar dipercaya akal sehat. Di nalar pun rasanya sulit.

Sampai beberapa lama, akhirnya aku buka suara. "Aku mengerti sekarang. Alasan kenapa Nenek yang nggak mau cerita, juga alasan Nenek menolak dinikahi aku, cucunya sendiri."

"Kalau kamu sudah mengerti, itu artinya kamu harus menerima dengan lapang dada jika kehidupan di dunia ini ndak bisa berjalan mulus sesuai keinginanu, Be." Nenek mengakhiri cerita panjang nan rumitnya dengan nasihat ala orang tua. Begitu berwibawa, tegas, dan tak terbantahkan.

"Kalau nekat, salah satu di antara kalian akan mati karan melangsungkan pernikahan sedarah," timpal Kakek, yang juga berkata lugas. Ia menambahkan, "dan selama hanya berhubungan badan tanpa ikatan di depan penghulu, seharusnya kalian baik-baik saja."

Aku manggut-manggut. Kutatap Kakek dan Nenek bergantian, lalu berujar, "Ya, aku paham, Kek. Aku nggak akan memaksakan keegoisanku lagi. Daripada Nenek kenapa-napa, lebih baik aku sudahi semua ini."

Kakek menatapku tajam. "Siapa yang menyuruh kamu mengakhiri, Le? Kalau kamu akhiri, justru saat ini juga Kakek cabut nyawamu."

"Ma-maksud Kakek ... apa?" aku terbata. Ketakutan. Ngeri sekali sorot tajam Kakek yang seperti seekor iblis. Nyaliku hanya tinggal sebesar kelengkeng dibuatnya.

"Kakek itu justru ingin kamu terus jaga Nenekmu. Mau kamu kenthu atau apa pun, selama Nenek selalu bersama kamu, Kakek jadi tenang."

"Kakek sudah gila, ya?" aku geleng kepala. Tak habis pikir.

Kakek menyeringai bengis. "Kakek bisa lebih menggila kalau kamu ndak ada di sini."

"Oke, oke. Maaf." Aku menghisap rokok guna mengurangi kegugupan. "Mungkin ini pertanyaan telat. Tapi aku penasaran daritadi ..." aku menjeda. Kuhisap rokokku lagi. Lebih dalam, sampai pipiku cekung, lalu kuhembuskan ke samping. Kemudian, aku beradu pandang dengan Kakek yang tatapannya masih menusuk. "Apa selama ini Kakek nggak cemburu melihat cucu sama istri Kakek ini kenthu?" tanyaku, menohok.

Seketika tatapan tajam Kakek menghilang. Tergantikan wajah datar tanpa dosa. "Yo ndak, lah. Kakek lebih cemburu kalau Nenekmu bermain dengan lelaki lain. Beda sama kamu yang sudah Kakek anggap Dewo versi mini."

"Aku senang mendengarnya. Tapi kalimat terakhir kok rasanya agak sempel, ya?" cibirku.

"Memang gitu, kok. Kenapa? Ndak suka?" Kakek bertanya sewot.

Aku memijat batang hidungku. "Terserah."

"Aslinya kalau Kobe ndak sesuai ekspektasi yang Nenek bayangkan, mungkin Nenek masih lanjut kenthu sama si Kusno dan Adam," beber Nenek, dengan nada santai. Sangat santai.

Kakek menunjuk Nenek dengan rokok membara. "Krungu dewe kan kupingmu, Le? Peli sithok ndak cukup lek musuh jelmaan Dewi Tobrut iku. Untung kowe isok ngatasi ijen, dadi Nenekmu suwe-suwe tobat." (Dengar sendiri kan telingamu, Nak? Kontol satu tidak cukup kalau melawan jelmaan Dewi Tobrut itu. Untung kamu bisa mengatasi sendiri, jadi Nenekmu lama-lama tobat.)

"Jancuk tenan. Tobat silite kobong. Seng onok malah Nenek gak mandek-mandek lek'e kenthu, Kek!" (Jancuk sekali. Tobat pantatnya terbakar. Yang ada malah Nenek tidak berhenti-berhenti kalau ngentot, Kek!) aku membalas, emosi.

"He, Abah sadar diri, ya. Ini salah Abah sendiri. Siapa suruh kepincut si janda gatel. Mana sampai Abah hamili. Dasar bau tanah!" tandas Nenek, diakhiri bentakan.

"Ya jujur-jujuran aja, Mik, kalau waktu itu kan Abah emang khilaf. Abah lagi masa-masa puber kedua gitu."

Cuk. Aku memaki dalam hati kala cara bicara Kakek yang sok itu membuat telingaku penggang. Berikutnya, aku memilih diam sambil mendengarkan cekcok sejoli tua pecinta keributan.

Nenek yang mendengar jawaban Kakek langsung mengeluarkan decakan dua kali, lantas terkekeh geli. "Emang dasarnya laki-laki itu ndak ada puasnya. Sudah dikasih Umik yang cantik begini masih pengen nambah," selorohnya, agak jumawa, lalu beralih menatapku hina. "Kobe juga sama."

"Taek, taek. Aku diam dari tadi kena slepet juga," gerutuku, kesal.

Semakin malam, obrolan tambah ngawur. Saling lempar candaan semi ejekan dibalut tertawa sinting Kakek dan Nenek, menjadikan diriku terlihat normal sendiri. Menyebalkan.

"Terakhir pertanyaanku. Ini untuk Nenek." Aku serius lagi.

Kakek dan Nenek berhenti tertawa. Jika Kakek menghabiskan kopinya, berbeda dengan Nenek yang justru menguap lebar, lalu kaki selonjoran mengambil posisi tidur di pahaku.

"Takok teros, kapan marine iki?" (Tanya mulu, kapan selesainya ini?) cibir Nenek, sambil membenarkan posisi susunya

"Justru iki seng paling puwenting, Nek. Rungokno sek talah. Empeten ngantuk'e timbang tak kenthu tempekmu, nyonyor Nenek." (Justru ini yang paling penting sekali, Nek. Dengarkan dulu, lah. Tahan ngantuknya daripada aku entot memekmu, selesai Nenek.) Aku menjawab, setengah mengancam.

"Yo mending langsung kenthuen ae Nenek, Be. Nek kakean cerito nggarai Nenek ilang selera." (Ya mending langsung entot saja Nenek, Be. Kalau kebanyakan cerita membuat Nenek kehilangan selera.)

"Temen, ta?" (Serius, kah?)

"Hehehe. Guyon, jancuk. Wes ndang cepetan takok opo mumpung Nenek sek ambekan." (Hehehe. Bercanda, jancuk. Sudah ayo buruan tanya apa selagi Nenek masih bernafas.) Nenek cengengesan. Ia mendongak menatapku jenaka. Dasar gila.

Aku abaikan Nenek yang masih berniat mengajakku bercanda. Datar mukaku terpampang jelas. Kalau sampai tidak peka juga, aku rudal lagi duburnya. Bajingan.

"Dulu Nenek pernah cerita kalau katanya Ibu lagi ngidam saat hamil aku, dan ketika yang lahir aku si anak laki-laki, aku harus menikahi Nenek, Ibu, dan ketiga anak Nenek lainnya. Pertanyaanku, kenapa kebohongan seperti itu Nenek katakan ke aku? Padahal, sudah jelas sekarang kalau aku ini cucu sekaligus anak Nenek."

Nenek menghela nafas berat. Ia memejamkan mata sebentar, lalu terbuka sedikit. "Hm, gimana, ya, Be." Dehamnya, sambil menghembuskan nafas lagi. "Memang itu bohong. Nenek akui kalau Nenek pengen memiliki aku seutuhnya. Nenek ndak mau kamu lirak-lirik sana-sini. Tapi ya balik lagi ... di mana-mana bawaan lahir laki-laki itu sama. Ndak puas sama satu."

"Aku kembalikan ke Nenek. Gimana perasaanku setelah tau Nenek ini wanita yang melahirkanku, tapi kenyataannya Nenek bermain dengan banyak laki-laki di luar sana? Nenek nggak tau kan kalau aku sudah terlanjur cinta sama Nenek? Dengar, Nek ..." hanya sekali tarikan nafas, ucapanku melebar ke mana-mana. "Aku ini sudah punya rencana untuk masa depanku sebelum akhirnya aku terjebak di sini. Aku bahkan rela melepaskan cinta pertamaku demi Nenek. Tapi apa yang aku dapat sekarang? Kakek ... Kakek pura-pura stroke biar aku empati terus tinggal di sini, yang kemudian aku tau tujuan Kakek yang sebenarnya. Dan Nenek. Nenek hanya menganggap cintaku ke Nenek hanya sebatas candaan. Oke, kita nggak bisa menikah. Aku terima, kok. Tapi setidaknya pedulikan perasaanku juga!" pungkasku, dengan nafas terengah-engah. Aku keluarkan semua uneg-uneg yang telah aku rangkai jadi satu benang merah di hadapan Kakek dan Nenek. Aku tak peduli apa yang akan mereka katakan selanjutnya, hanya saja ... tolong dikondisikan wajah kalian, hei, Kakek sialan dan Nenek binal!

Lihat! Coba perhatikan baik-baik!

Kakek malah tertawa liar. Disambung Nenek yang cekikikan seperti babi hutan. Bajingan!

"Nggak lucu!"

"Buahahahahaha!" biar sudah kutegur, sayangnya Kakek masih sibuk menyelesaikan tawa dan menyeka air mata. Hanya orang ini yang bisa tertawa melihat cucunya dilema. Setelah reda, Kakek geleng kepala sambil menatapku konyol. "Cuma kamu yang jatuh sama wanita yang lebih tua, Le."

"Cinta nggak mengenal umur!" aku menyanggah, ketus.

"Wanita itu Nenekmu sendiri, Le."

"Cinta juga nggak kandang status!" aku masih ngeyel.

"Anak ini ..." Kakek berhenti geleng-geleng. Memijit tengkuknya sendiri karena pegal. "Kakek itu ndak bisa ngimbangin jalan pikirmu yang rumit, Le. Andai Kakek muda sedikit, Kakek jabanin kamu kalau mau ngajak debat. Sampai pagi pun Kakek siap. Asal ditemani sebotol Arak campur cola."

Ada ya Sang Pencipta memberi umur panjang kepada manusia pengguna ilmu Roworontek seperti beliau ini. Aku mengaku kalah. Sudah tak ada kata untuk mendeskripsikan betapa lawaknya Kakekku ini.

Hanya butuh beberapa detik untuk membuat situasi panas-dingin. Serta merta menyajikan hiburan pencegah ngantuk. Pun butuh waktu lima menit untuk mencerna lagi misteri-misteri kehidupan. Kendati kelegaan membuatku sedikit tenang, ada beberapa perasaan aneh yang perlahan menyeruak menggelitik hatiku.

Perasaan aneh itu dengan cepat aku pahami kala penafsiran rasa sayang dan cintaku kepada Nenek berubah menjadi rasa khawatir. Cemas. Takut kehilangan. Yang kemudian, menciptakan satu tameng besar bernama perlindungan.

Ya, sekarang semuanya sudah jelas. Rasaku yang teramat dalam pada Nenek semakin besar. Bersamaan dengan keinginian mengubur sampai ke dasar neraka keinginanku menikahi Nenek.

Saat ini, Nenek jauh lebih membutuhkan cinta yang melindungi, mengasihi, dan menjaga segenap hati. Aku ingin memberikan itu semua kepada Nenek, kepada wanita yang menjadi pahlawanku. Wanita yang mengajariku berbagai rasa yang tak belum pernah aku dapatkan bersama orang tuaku.

Siti Nurul Fauziah. Beliau ... pahlawan egois nan keras kepala. Wanita itu tercipta dengan misi membawaku menuju tangga pendewasaan yang kelak mengantarku sampai ke puncak berkabut tebal di atas awan.

Bahkan jika kami tidak bisa bersama pada akhirnya, aku senang Nenek telah menjadi bagian dari hidupku. Juga aku bahagia telah memberi Nenek yang terbaik dari yang bisa aku lakukan.






























TAMAT
 
Terakhir diubah:
Selesai sudah perjalanan awal Kobe di Desa Gentengan bersama Nenek tercinta. Perjalanan yang melibatkan berbagai perasaan menggelayut dalam hati.

Namun, ini belum berakhir. Masih terlalu awal untuk disebut akhir. Perjalanan Kobe baru saja dimulai.

Oleh karenanya, saya selaku penulis Nenekku, Pahlawanku mengucapkan sampai bertemu lagi di perjalanan Kobe berikutnya.

Terima kasih banyak untuk teman-teman pembaca yang telah setia menanti dan membaca cerita ini sampai akhir, juga meluangkan waktu memberi like, komen, dan lain sebagainya.

Mohon kiranya dimaafkan apabila ada salah kata saya sebagai penulis dalam menyajikan tulisan sederhana ini.

Terima kasih, bolo-boloku semua. Salam satu nyali, salam satu jiwa, dan salam persaudaraan untuk kita semua. Cheers!🍻

NB: saya tidak mencantumkan index. Kalau teman-teman mau marathon bisa ke aplikasi orange (WP) username sama: barageni. Gratis tanpa dipungut biaya. Tapi paling tidak tinggalkan jejak ya rek. Matur suwun.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd