Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nenekku, Pahlawanku [On Going]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    457
***

Antara sadar atau tidak sadar jaraknya begitu tipis. Setipis imanku yang tanpa pikir panjang memasuki lubang dosa yang bernama persetubuhan tabu. Sedarah. Bersama seorang wanita yang telah melahirkan lima orang anak, kalau anak terakhirnya yang sudah dipanggil Sang Pencipta ikut dihitung. Di mana salah satu anak dari wanita itu adalah ibuku sendiri.

Ini gila.

Semakin gila saat lamunanku terkontaminasi bayang-bayang erotis bersama Nenek. Membayangkan dari awal bagaimana pelepasan perdana statusku sebagai seorang perjaka. Masih tak menyangka semuanya berlalu begitu cepat.

Kuraba si Palu Gatot yang tahu-tahu sudah terbangun mendahuluiku. Kubelai dan mencoba merasakan, apakah ada perubahan yang terjadi dengannya sebelum dan sesudah menembus liang senggama seorang wanita.

"Gak usah pegang-pegang, Kapten bangsat!" sentakan kasar si Palu Gatot membuatku kaget.

"Asu. Nggagetin aja kamu makhluk jadi-jadian."

"Jangan ngomong sama aku. Aku lagi mengobati rasa kecewaku kepadamu, cucu gila."

"Lho, kenapa?"

"Aku tuh merasa malu sama temen-temen seperjuanganku. Pengalaman pertama mereka rata-rata sama pasangan. Lah, kamu? Malah sama nenekmu sendiri. Mana ngecrot cepet pula. Dasar cucu lemah!"

"Gimana, sih? Kan kamu yang keluar masuk di dalam sana. Kok nyalahin aku? Kekuatanmu aja yang perlu dipertanyakan. Aku juga hampir malu tadi. Untung aja nenek juga ikut muncrat. Kalau enggak? Bisa dianggap cucu gagal aku. Bajingan kamu, Tot."

"Lemah teriak lemah. Gini nih kalau pacaran cuma ketawa-ketiwi tapi nggak ngewe. Mending kamu pacaran aja sana monyet."

"Asu, lah. Omonganmu kok tambah nggatheli gini, Tot?"

"Gatot gitu, lho! Kenapa? Gak terima? Mau adu mekanik, kah?"

"Oke. Kita coba lagi."

"Bangsat! Bercanda aku, Kapten! Woi! Kapten gendeng!"


Tak kuhiraukan celotehan si Palu Gatot. Tanpa celana dalam, segera aku membungkus diriku dengan sarung. Membiarkan kontolku menonjol besar ke depan.

Aku keluar kamar. Mencari Nenek. Yang kebetulan Nenek baru saja keluar dari kamar depan, kamarnya Kakek.

Kami saling berpandangan. Terhenyak kaget.

"Ancene cucu kucluk. Gak isok ta lek gak getgeti Nenek? Tuman." (Dasar cucu sinting. Tidak bisakah kalau tidak menggageti Nenek? Kebiasaan.) Nenek mulai mengomel. Seperti biasa.

Aku menatap Nenek kikuk. Ia menegurku seakan sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa. Begitu santai, cuek, dan gila. Sungguh, tak ada ucapan selain membuat hati dongkol dari bibir tebalnya.

"Iya, iya, Nek. Mohon maaf aku ucapkan." Mencoba ikut gila, aku menjawabnya bergurau.

"Kamu mau ke mana, Le?"

"Mau nyari Nenek."

"Ngapain nyari Nenek?"

Bingung juga aku menjawabnya. Wajah Nenek sedatar ubin lantai. Mau to the point pun terdengar tak pantas untuk sekaliber anak muda kepada orang tua.

"Ehm ... aku laper, Nek." Akhirmya aku menemukan sebuah jawaban aman.

"Ya udah. Ayo makan. Kamu tadi tidurnya nyenyak banget. Nenek jadi ndak tega mau bangunin ngajak sarapan bareng." Nenek berjalan lebih dulu. Hanya menggenakan jarik putih mangkak yang simpulnya diikat di tengah dada, cara jalan Nenek agak berbeda jika kuperhatikan secara seksama. Seperti pinguin, kurasa.

"Lho, kenapa aku nggak dibangunin aja, sih, Nek?" aku bertanya sambil mengikuti Nenek dari belakang. Mataku jelalatan menatap geolan bokong besar Nenek yang menggiurkan. Si Palu Gatot sampai ereksi lagi. Bajingan.

"Udah. Malah kamu tambah ngorok. Yang bangun malah burungmu duluan. Kurang ajar," jawab Nenek, sambil memaki.

"Kayak nggak tahu laki-laki aja Nenek ini."

Setelah mengetakan itu, aku masuk ke dalam bilik kamar mandi sekadar mencuci kontol, cuci muka, dan gosok gigi.

Beres.

Keluar dari bilik, kudapati Nenek sedang menjejalkan kayu bakar di dalam tungku. Ia duduk miring membelakangi bilik. Iseng aku mendekatinya. Mendaratkan ciuman di pipi Nenek.

Nenek menoleh. Menatapku sinis. Tanpa suara, jari telunjuk Nenek lah yang berbicara.

"Nenek cantik banget. Aku jadi nggak nyesel perjakaku diambil Nenek." Ungkapku, sedikit gombal.

Aku kira Nenek akan memakiku lagi. Tapi ternyata ia malah tercenung. Matanya berair. Mimik wajahnya berubah penuh penyesalan.

Tanpa perlu dijelaskan, aku tanggap. Kurengkuh Nenek dari samping. Kubawa masuk kepala Nenek ke dalam dadaku. Elusan lembut pada rambut panjangnya kuberikan, berikut menenangkan Nenek.

"Nenek kira, Kobe lagi bohong sama Nenek soal perjaka. Ndak tahunya emang Kobe beneran masih perjaka. Nenek ... minta maaf." Lirih suara Nenek mengatakan itu. Entah bagaimana ekspresi Nenek saat ini, aku tak ingin memandangnya. Aku hanya takut membuat Nenek semakin jatuh ke dalam kesedihan.

"Nenek nggak perlu minta maaf. Lagipula aku melakukan itu sama Nenek secara sadar. Dan aku menikmatinya." Aku memberi pengertian sehati-hati mungkin. "Aku juga minta maaf sama Nenek kalau aku nggak bisa bikin Nenek puas."

"Ngomong apa kamu, Le? Nenek puas. Puas sekali. Walaupun ini pertama kalinya buat kamu, menurut Nenek kamu lebih baik daripada lelaki lain yang pernah Nenek kenal."

"Apa lelaki lain itu salah satunya Adam?" tanyaku.

"Iya. Ndak cuma Adam. Ada beberapa."

"Berapa orang yang pernah memasuki tempek Nenek yang sempit ini?" kembali aku bertanya, seraya menjamah bagian intim kewanitaan Nenek. Sengaja aku melakukan ini agar Nenek cepat melupakan rasa bersalahnya telah merusak cucunya sendiri.

Nenek sedikit mengelak. Namun, ia tak menampik tanganku di sana. Yang kemudian, Nenek mendongak. Menatapku dengan semu merah di pipinya. "Beneran tempek Nenek masih sempit, Le?"

"Ya nggak, lah, Nek. Aku cuma lagi menghibur Nenek aja."

"Dasar bocah gemblung!" Nenek menoyorku pelan. "Kamu ini kok suka banget tho ngusilin Nenek?"

Aku tertawa kecil. "Habisnya aku punya Nenek kok nakalnya ngalah-ngalahin cewek genit di kota."

"Ya beginilah Nenek, Le." Senyum Nenek sedikit terpaksa. Lalu, kembali menambahkan, "Nenek ndak tahu apa yang terjadi sama diri Nenek."

"Kalau Nenek mau, Nenek boleh cerita kenapa bisa sampai senakal ini."

"Kakekmu-"

"Aku sudah dengar."

"Kapan Nenek ngomong?"

"Tak kokop lho susumu, Nek!" (Aku lahap lho susumu, Nek!) geramku, yang refleks meremas sebalah payudara Nenek yang tanpa bra. Terasa di sela-sela jemari tanganku putingnya yang menonjol.

"Mau, dong!" genit manja Nenek kembali lagi. Seperti sedia kala, Nenek kembali ceria. Mode gilanya mulai aktif. "Ayo, Le, mentil lagi sama Nenek. Susu Nenek kayaknya penuh banget ini."

"Penuh apa?"

"Penuh dosa."

HAHAHAHAHAHA!

Tawaku pecah seketika. Nenek ikut tertawa. Menertawakan lawakannya sendiri. Benar-benar membagongkan.

"Banyak, Le." Nenek berucap pelan.

"Apanya, Nek?"

"Ya yang pernah ngenthu Nenek, lah."

"Ngenthu apa dikenthu?"

Nenek berdeham. "Dua-duanya."

"Enak?" aku bertanya sembari mencubit puting Nenek agak kuat.

"Ugh! Enak. Tapi cuma enak aja, Le. Kalau yang enak banget ya baru sama kamu tho, ya." Nenek menjawab dengan sedikit melenguh. Itu karena kedua tanganku malah semakin kurang ajar menjamah dua titik sensitifitasnya.

"Kok bisa?" aku hentikan kedua tanganku yang bermain di tempat terlarang Nenek. Kupandangi Nenek yang juga menatapku dengan sorot sendu.

"Ya gimana ya. Nenek itu belum pernah lho dijilati tempeknya sama orang. Baru ini. Kalau dimasukkin jari sih sering."

"Mau lagi nggak, Nek?"

"Ya mau, lah. Tapi nanti dulu. Tempek Nenek masih senut-senut. Burungmu masih kerasa ngganjel di perut Nenek."

"Ini kenapa lagi? Perasaan aku nggak ngapain-ngapain."

"Kan tadi pagi ngapain-ngapain. Masih muda kok udah pikun. Jual aja otakmu sana, ganti otak ayam."

"Jangan, lah, Nek. Gini-gini, otakku masih dibutuhkan untuk mikir."

"Halah. Palingan lagi mikir gimana caranya bisa ngenthu Nenek lagi, tho?" tembak Nenek.

Aku hanya cengengesan. Memang ya, orang dewasa itu selalu tahu apa yang Gen Z pikirkan. Jam terbang Nenek yang terlampaui tinggi dengan segudang pengalaman menghadapi berbagai macam karakter lelaki, aku akui top markotop.

"Udah, Nek. Jangan ngawur terus ngomongnya. Kembali ke topik."

"Hmm. Jadi gimana, Le?"

"HARUSNYA AKU YANG TANYA!" aku ngegas.

"Waduh, butone ngamok." (Waduh, raksasanya marah.) Nenek terbahak-bahak. Setelahnya, tangan Nenek mengelus pipiku lembut. Ia tersenyum manis dengan binar mata secerah awan, sebelum berkata, "Kamu itu beda, Le. Nenek yakin seratus dua puluh persen kalau kamu rajin kenthu, kamu pasti bisa menaklukkan wanita yang kamu mau."

Aku menaikkan sebelah alisku. "Termasuk Nenek?" tanyaku.

"Ya." Nenek memberi kecupan singkat di bibirku. Lalu, dengan senyum yang semakin mengembang, Nenek menangkupkan kedua tangan di pipiku. "Nenek sudah memutuskan. Nenek ndak bakal nakal lagi."

Aku berdecak. "Lain di mulut, lain pula di hati."

"Nenek serius. Kalau kamu ingin lihat keseriusan Nenek, kamu bisa kenthu Nenek setiap hari sampai Nenek hamil."

"Nenek emang udah rusak."

"Lah, piye maneh? Manukmu jan marem tenan ndek tempek'e Nenek. Nenek koyok dileboni peline jaran. Gedo, dowo, tur nyundul-nyundul sampe jeru. Opo maneh pejuhmu uakeh metune, panas pisan. Duh! Dadi merinding Nenek, Le." (Lah, bagaimana lagi? Burungmu nyaman sekali di memeknya Nenek. Nenek seperti dimasuki kontol kuda. Besar, panjang, juga menumbuk-numbuk sampai dalam. Apalagi spermamu banyak sekali keluarnya, panas juga. Duh! Dadi merinding Nenek, Nak.) Oceh Nenek dengan gaya bicaranya yang khas. Ucapan wanita gemar berghibah.

"Opo bedone ambek seng liane, Nek? Podo-podo kontol dan duwe endog loro, kan?" (Apa bedanya sama yang lainnya, Nek? Sama-sama kontol dan punya telur dua, kan?)

Nenek terlihat malu-malu. Ia menunduk ke bawah, lalu melirikku. Kemudian, menunduk lagi sambil memainkan kesepuluh jemari tangannya. Setelah itu, berkata pelan, "Cuma burung cucu Nenek ini aja yang juara. Lainnya juara harapan." Sambil mengelus-elus batang kontolku dari balik sarung. "Hmm ... tempek Nenek wes teles kebes, Le. Pingin dikenthu maneh. Ayo, Le." (Nenek sudah basah kuyup, Nak. Pingin dientot lagi. Ayo, Nak.)

"Iyo, tapi sek dulu. Aku tak maem dulu ngisi tenogo cek kuat tempur musuh Nenek." (Iya, tapi sebentar dulu. Aku makan dulu ngisi tenaga biar kuat tempur sama Nenek.)

"Oh, iyo! Gusti! Nenek sampai lali. Ya wes, Le, ndang mangan. Nenek yo gorong mangan sisan iki." (Oh, iya! Gusti! Nenek sampai lupa. Ya sudah, Nak. Buruan makan. Nenek ya belum makan juga ini.)

Kami menutup obrolan. Menyudahi bercengkerama.

Dengan lauk pauk seadanya, sayur mayur bernama sup lodeh yang dikombinasikan dengan nasi tiwul, telur mata sapi, dan kerupuk putih terasa nikmat.

Bagai sepasang kekasih yang mengkesampingan perbedaan umur dan status di antara kami berdua, aku dan Nenek saling menyuapi. Sesekali Nenek iseng mengigit jariku saat aku menyodorkan nasi dan lauk ke mulutnya. Balas dendam, aku gantian mengemut jari Nenek saat tepat di depan mulutku.

Tentu saja hal ini dilakukan oleh profesional. Kalau dicoba dengan bini orang, siap-siap masuk polres kalian, bajingan.

Sat-set.

Acara makan telah usai dengan sedikit drama. Sejenak, obrolan mesum di area dapur tersisihkan. Tergantikan oleh obrolan kami bertemakan keinginan terpendam dalam berhubungan badan yang hanya angan-angan.

Fokus pertama tertuju pada Nenek yang mengakui bahwa dirinya ingin sekali bersenggama di ruang terbuka. Karena selama ini Nenek memadu kelamin dengan sembilan lelaki berbeda di tempat tertutup. Entah itu di rumah ini, gubuk tersembunyi yang jauh dari penduduk, atau di rumah partner bercinta kala sepi.

Itu baru satu. Masih ada rentetan fantasi Nenek yang ia sampaikan secara terang-terangan. Namun, fantasi-fantasi liarnya itu sama sekali tak bisa direalisasikan karena tak menemukan parnter yang tepat. Sebab, rata-rata lelaki yang bercinta dengan Nenek tiada variasi. Monoton. Dan cenderung Nenek menuntaskan nafsu yang terlanjur terbakar dengan masturbasi.

"Yang Nenek sebutkan semua itu adalah daftar terburuk kedua setelah daftar menu di kantin sekolahku." Aku buka suara, setelah terjadi jeda lama.

Di ruang tamu ini, kami kembali bercengkerama sambil merokok bersama. Asap rokok kuhembuskan ke depan. Kupandangi sebentar Nenek yang duduk di sebelahku dengan kaki diluruskan ke atas meja. Dasar Nenek sinting

"Nenek kan cuman cerita, Le. Ndak ada salahnya tho Nenek mengatakan itu ke kamu. Siapa tahu kamu bisa merealisasikan salah satunya."

"Ngomongnya Nenek kayak orang yes."

"Harus yes, Le. Kalau no, ndak dapet enak nanti Nenek."

Aku mendengus kesal. "Mu-la-i."

"Bercanda. Santai aja kali."

"Wes mboh." (Sudah terserah.)

"Oh iya, Le." Nenek menghisap rokoknya dalam, menghembuskannya ke samping asap rokok yang begitu banyak. Setelah itu, mematikan rokok di atas asbak gepeng. Kemudian, Nenek mengikat rambutnya yang panjang menggunakan karet warna biru.

"Gimana, Nek?" tanyaku.

"Di samping rumah ada motornya Kakekmu yang biasa Nenek pakai. Kalau kamu mau jalan-jalan, pakai aja."

"Kebetulan, Nek. Aku belum keluar rumah sama sekali dari kemarin."

"Eh, sekalian aja nganterin Nenek, mau ndak?"

"Ke mana?"

"Ke rumah Adam."

Mendengar nama Adam disebut, tanpa sadar wajahku berubah muram. Marah bercampur kesal karena pemuda itu mendahuluiku menjamah tubuh Nenek. Brengsek.

"Kamu kenapa, Le?" Nenek yang melihat perubahan ekspresiku seketika sadar. Ia secara naluri wanita menggenggam tanganku. Ia bawa tanganku menempel di pipinya. Mata kami bertemu. Ketelusuri sebuah rasa yang mulai hangat mendera hatiku. Perasaan yang sukar digambarkan. "Le. Nenek kan udah janji, Nenek ndak bakal nakal lagi. Kamu percaya sama Nenek, kan?"

"Percaya nggak percaya, Nek. Semua itu bisa terjadi. Nggak peduli tua atau muda, selama ada kesempatan tentu saja dimanfaatkan sebaik mungkin."

"Nenek paham apa yang kamu maksud. Tapi mulai sekarang, Nenek ingin menegaskan kalau Nenek hanya ingin fokus ke kamu dan Kakekmu saja."

"Ini nggak gara-gara habis kenthu, kan, Nek?" selidikku.

"Itu salah satunya. Ehem! Maksud Nenek, bukan gara-gara itu, lah. Kamu ini sembarangan."

Aku berkedip dua kali. "Halo? Telingaku masih normal, Nek."

"Yo wes, ngunu ae." (Ya sudah, gitu aja.)

"Ngunu ae piye, seh, Nek? Gurung mari iki." (Gitu aja gimana, sih, Nek? Belum selesai ini.)

"Kok mekso, seh? Njalok ditapuk linggis, a?" (Kok maksa, sih? Minta digampar linggis, kah?)

"Ojok. Loro. Mending ditapuk duwek." (Jangan. Sakit. Mending digampar uang.)

"Dasar cucu mata duitan." Nenek bergidik sok jijik. "Dan mata keranjang."

"Nenek jadi keranjangnya, biar aku masukkin barang impor asli Amerika."

"Barang Amerika mana yang banyak jembutnya?"

"Ini bukan jembut, Nek."

"Terus apa?"

"Rumput laut."

"GEMBLUNG!"
 
Terakhir diubah:
Oh iya. Saya lebih suka alur yang slowly tapi mengena. Nggak grasak-grusuk tapi nggak ada semacam soul di setiap karakternya.

Maka dari itu, mohon dimaklumi kalo adegan ena-enanya di setiap tulisan saya nggak langsung usluk-usluk, jentit-jentit, ah-uh-ah-uh, crot.

Singkatnya, saya suka membangun dan mengenalkan karakternya dulu gitu.

Matur suwun gawe para suhu seng sregep komen karo like tulisan semrawut kulo. Lopyu pul, saepul! (Terima kasih buat para suhu yang rajin komen juga like tulisan semrawut saya. Lopyu pul, saepul!)
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd