Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
knp ga diexplore sex scene kinan n gede dl mastah, br deh terserah A or B.
 
Bagus bgt hu critanya..usul di gangbang anak seusia gede semua hehe
 
Baru ngikutin cerita om jaya lagi. Baca cerita pake bahasa daerah asal itu nambah sensasi makin melayang2. Hahaha. Thanks om jaya, saya ga keberatan klo ditanya2 lagi kok kayak cerita2 yg sebelumnya tentang bali.
 
sebenernya antara a sama b ini sama aja ujung2nya

a. Kinan digangbang dulu baru ke tempat siska
b. Kinan ketempat sika dulu baru digangbang (bareng sama siska sekalian)

bedanya nanti di insight (aduh.... apa ya bahasa indonesianya.....) kondisi mentalnya Kinan... kalau dia di gangbang dulu... terus kondisi mentalnya Kinan dibikikin gimana? takut? atau malah pengen nambah lagi?

nah ini yang ane bilang dilema antara memilih dua plot yang benernya sama2 sudah ditulis...

lebih pilih yg A kyk nya suhu, setelah kinan masih ngegantung jg skrg. setelah ngerasain di gangbang ada perasaan takut tapi masih mau mencoba hal2 yg seperti itu lagi bareng siska dkk nanti nya :pandajahat:
 
absen dl d trit SUBES Jaya S.
izin nongkrong dmari suhu .
baca my nanti pas uda 5 chapter
:pandaketawa:
 
sebenernya antara a sama b ini sama aja ujung2nya

a. Kinan digangbang dulu baru ke tempat siska
b. Kinan ketempat sika dulu baru digangbang (bareng sama siska sekalian)

bedanya nanti di insight (aduh.... apa ya bahasa indonesianya.....) kondisi mentalnya Kinan... kalau dia di gangbang dulu... terus kondisi mentalnya Kinan dibikikin gimana? takut? atau malah pengen nambah lagi?

nah ini yang ane bilang dilema antara memilih dua plot yang benernya sama2 sudah ditulis...
Pilih b aja Hu
b. Kinan ketempat siska dulu baru digangbang (bareng sama siska sekalian). Kinan jadi pengen nambah terus.
Mantap banget tuh..
 
Fragmen 4
Innocent Slut





Kinan tidak pernah sekalipun menganggap dirinya lonte. Meski terkesan murah hati dalam mempertontonkan aurat, tidak sedikitpun Kinan memperbolehkan tubuhnya untuk dijamah orang banyak. Satu-satunya orang yang pernah merasakan belahan memeknya hanyalah Pak Burhan, guru renangnya saat kelas 6 dulu, itupun hanya 3 kali, sebelum sang guru tertangkap oleh kasus yang sama di kota tetangga.

Sejak itu Kinan lebih menutup diri terhadap lawan jenis. Trauma barangkali. Meski diam-diam Kinan kecil terkadang terkenang saat-saat dirinya disetubuhi paksa oleh sang guru bejat.

Kinan menggeleng kuat-kuat, entah kenapa justru di tempat ini kepingan-kepingan ingatan itu bermunculan bagaikan film erotis yang diputar di benaknya. Seharusnya hasrat binatang Kinan sudah entas dengan masturbasi penuh resiko sesaat yang lalu. Tetapi alih-alih mereda, birahinya malah semakin menggelora seiring gagasan-gagasan sinting yang melintas berkali-kali: bagaimana jika ia terpergok dan disetubuhi beramai-ramai.

Dan rasa gatal di kelentitnya terasa semakin menggila. Seberapapun Kinan coba menceboki belahan tembemnya, sebentuk organ erektil berbentuk kacang itu malah makin lama makin membesar hingga menyembul dari himpitan rapat labianya.

Kinan sedang berjongkok membersihkan belahan pantat ketika suara langkah kaki terdengar dari belakang punggungnya. Seorang pemuda tanggung mengenakan cawat berbahan batik muncul menuruni tangga batu. Tak lebih tua darinya, batin Kinan menaksir-naksir, mungkin SMP atau SMA kelas satu.

Tabik,” pemuda itu berkata canggung, tak menyangka bakal menemukan seorang remaja montok yang tengah berjongkok membelakanginya di tempat itu. Buah jakunnya sontak bergerak ke atas, matahari yang bersandar rendah di ufuk barat membiaskan kilapan-kilapan cahaya jingga di pantat bohai Kinan dan gundukan tembem misterius yang mengintip malu-malu.

Ngiring....” Kinan menjawab sopan, sambil mengerling tanpa membalik badan, membiarkan pemuda tampan itu menikmati bagian belakang tubuhnya yang telanjang.

Manjus, mbok?” sang pemuda bertanya basa-basi.

Nggih...” jawab Kinan, masih dalam perannya sebagai gadis desa.

_____________________________________

|Ngiring = mari |
|Manjus =
mandi |
|Mbok =
kata sapaan pada perempuan yang lebih tua |
|Nggih, Inggih =
iya |
____________________________________



Percakapan mati. Keduanya kembali sibuk dengan isi benak masing-masing.

Diam-diam, sudut mata Kinan melirik mengagumi. Pemuda itu cukup tampan dengan rona kecoklatan yang mewarnai kulit sawo matangnya. Rambut ikal hitam yang dibiarkan tumbuh sedagu dengan lesung pipi di sebelah kiri. Kinan bertaruh, jika anak ini bersekolah di tempatnya, ia yakin akan banyak kiriman surat cinta yang mengantre untuk diladeni.

Pemuda itu adalah gambaran sempurna bagaimana patung-patung Dewa Yunani seharusnya dipahat di atas tubuh yang dibentuk karena kerja keras, bukannya suplemen steroid di pusat kebugaran. Lihatlah, betapa bongkahan bisep-trisep dan otot-otot pectoral yang saling berkontraksi ketika ia melepas ikat kepala.... Guratan-guratan perut
six-pack di yang mengerucut membentuk huruf v menuju pangkal paha.... Juga bulu-bulu ketiak yang lebat yang menguarkan aura maskulin ke udara... Ah....

Kinan menelan ludah, tapi tenggorokannya terasa kering....

Secarik kain cawat bercorak batik membungkus bagian bawah tubuhnya. Dililitkan begitu di perut bagian bawah hingga bawah pantat. Tampak kekecilan untuk membungkus daerah-daerah intim yang seharusnya ditutupi, terlihat jelas dari semburat-semburat rambut pubis kehitaman yang mengintip dari baliknya....

Seekor dangap-dangap yang melayang dari tebing batu menyentak Kinan dari fantasinya sendiri.


_________________________________


|Dangap-dangap = sejenis kadal terbang|
_____________________________________


Pemuda itu lalu mohon diri untuk mandi dan berdiri membelakangi. Penutup tubuhnya yang hanya berupa secarik kain tipis bisa dilepaskan dalam satu gerakan, lalu dilipat rapi bersama ikat kepala di rak bambu di dekat situ. Kinan menahan nafas, pantat kekar lawan jenisnya kini terpampang indah ke dalam matanya yang membeliak terpana, diikuti sepasang paha kokoh dan buah zakar yang bergelayut di antaranya...


Dada Kinan berdesir. Pemuda mulai menyabuni tubuh kekarnya dengan buih-buih daun sirih; dada, puting, ketiaknya yang berbulu. Hingga akhirnya pemuda berkulit sawo matang itu berjongkok untuk membersihkan sela-sela pantatnya. Perlahan, tangan Gede bergerak menguak bongkahan pantat berototnya, dan jarinya yang telah dilumuri buih sirih kini khidmat mengusap lembut lubang anal berwarna coklat muda dalam gerakan memutar.

Kinan menggigit bibir, meredam desahan nafasnya sendiri.

Sengatan birahi yang menyerang tepat pada kelentitnya membuat remaja montok itu tidak mampu melakukan apapun selain mematung tanpa bergeming. Buih-buih keemasan yang mengilat di atas guratan otot-otot lencir sang pemuda pribumi membuat Kinan kembali terjebak dalam labirin libidinal yang tak berujung pangkal.

Kinan masih mengagumi otot-otot sang pemuda, ketika mendapati anak itu juga ternyata mencuri lihat ke arahnya. Tidak sampai sedetik barangkali keduanya beradu pandang, dan anak desa itupun langsung cepat-cepat menunduk dengan wajah merah padam.

Kinan tersenyum dalam hati. Terbit rasa bangga di hatinya menyadari pancaran birahi pada kedua mata anak yang baru menginjak usia puber itu.

Berjongkok menghadap arah yang berlawanan, Kinan ‘si gadis desa’ kembali pura-pura mandi entah untuk kali yang keberapa. Sambil memejam penuh penghayatan, Kinan mengusapkan buih-buih daun sirih ke leher, pundak, lalu sela-sela ketiaknya. Hati-hati, Kinan mengangkat sebelah lengan, membiarkan lebih banyak lagi bagian bukit sintal belianya untuk dilahap sang pemuda yang berkali-kali menelan ludah melihat bidadari bertubuh montok itu.

“Adik dari desa mana?” Kinan mencoba membuat anak itu menoleh ke arahnya yang kini tengah berjongkok dan menyabuni dada.

“Saya... asal... dari dekat sini....” anak itu menjawab gemetar, melirik ke arah tangan Kinan yang bergerak mengusap bukit-bukit menggairahkan berikut tajuk-tajuknya yang belia.

“Masih sekolah?”

Anak itu mengangguk. “SMP, kelas III.”

Anak itu bernama Gede. Sekolah di SMP Negeri di Gianyar kota. Pulang sekolah ia biasa membantu keluarganya mencangkul sawah yang tak terletak tak jauh dari tempat itu. Lama mereka bercakap-cakap saling mempertukarkan kisah hidup. Kinan mengaku hanya tamat SMP, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Denpasar, dan sekarang sedang berkunjung ke rumah kerabatnya. Lama mereka berbincang hingga tak terasa senja semakin menjelang dan perahu karet tak lagi lewat di sungai itu. Dan kini, Gede tidak canggung lagi berhadapan dengan sesosok sintal yang seolah sengaja ingin memamerkan ketelanjangannya itu.

Gede kini tidak lagi hanya mendunduk tersipu tapi mulai berani memandang terang-terangan ke arah sesosok tubuh mengkal yang kini tengah khusyuk meratakan buih sirih di bongkahan montoknya.

Kinan tersenyum memergoki. “Ah... kamu itu, Gede.... kaya
ndak pernah lihat nyonyo saja... di desa sini, bajang-bajang-nya nyonyo-nya kan bagus-bagus!” tegur Kinan bercanda mendapati pandangan mata Gede yang seolah tak mau beranjak dari payudaranya.

“Beda.... kak...
nyonyo kakak itu bagus... gede... putih... mulus.... mirip kaya punyanya artis senetron!”

“Oh, ya?” wajah Kinan seketika bersemu menuai pujian itu.

Gede mengangguk polos.

_____________________________________

|Nyonyo = payudara|
|Bajang =
remaja|

_____________________________________


“Ah, kamu ini... Saya gemuk begini, kok....” Kinan meremas-remas lipatan tebal lemak perut dan sepasang bongkahan payudaranya dengan wajah polos.

“Badan kakak bagus... benar...
ndak gemuk, kok... pas!”

Kinan tertawa geli menyadari remaja tanggung sudah mulai berani melontarkan rayuan-rayuan cabul pada dirinya. Merasa mendapat angin segar, Kinan semakin berani menyabuni dada dalam gerakan meremas. Kuncup-kuncup dada yang berbentuk seperti buah
cherry pun tak luput dari cubitan-cubitan nakal, sebelum sebelah tangan Kinan bergerak turun menuju rimbunan rimba di pangkal paha.

Gede menelan ludah. Ujung jari Kinan menghilang di antara lepitan basah paling rahasia, bergerak menceboki belahan memek dan membersihkan lubang anusnya....

“Ih, kakak kan sedang mekonceng? Masa dilihatin terus, sih... kakak kan malu....” Kinan merajuk manja sambil menggembungkan pipinya yang lucu..

_____________________________________

|Mekonceng = Cebok|
_____________________________________



“Ah! M-maaf, kak! Maaf! Saya... ndak...,” sahut Gede ketar-ketir lalu menunduk dengan wajah merah padam.


Dan Kinan tertawa dalam hati, girang bukan kepalang berhasil mempermainkan birahi remaja yang mungkin baru saja akil baligh itu.

Merasa memegang kendali, Kinan kini tak ragu-ragu lagi berdiri di bawah pancuran menghadap Gede tanpa merasa perlu menutupi daerah-daerah intimnya. Dibiarkannya curahan air yang mengucur deras dari bilah bambu menghantam bongkahan payudara montoknya hingga berguncang-guncang, sementara kedua tangannya bergerak menyapukan air ke sepanjang lekukan tubuhnya yang semok untuk membasuh sisa-sisa buih sirih dari atas kulit kuning langsatnya.

Kinan mengikat rambutnya kembali dengan karet rambut yang sedari tadi dilingkarkannya di pergelangan tangan, memberikan kesempatan terakhir pada Gede untuk mengagumi payudara montoknya yang kini tampak semakin membusung.

Kinan mengerling penuh rahasia sebelum mengakhiri pertunjukannya. Dengan tubuh yang hanya tertutup bulir-bulir air Kinan melangkah ke batu besar di pinggir sungai untuk memberikan adegan
encore bagi sang pemuda yang belum selesai terpana.

“Adik... jangan lihat, ya... saya mau pipis...,” Kinan berkata dengan wajah tersipu.

Kinan mengejankan kandung kemihnya kuat-kuat sehingga cairan kuning kental mengucur keluar dari belahan apemnya hingga melelehi paha montoknya.

Matahari yang condong ke ufuk barat membiaskan spektrum warna jingga ke lembah sungai yang dikelilingi tebing curam. Sungai berarus deras di belakang Kinan kini diwarnai dengan warna keemasan, memberikan latar sempurna bagi seorang remaja montok yang tengah mengejan-ngejan dihenyak badai birahi....


Jantung Gede berdentam-dentam, mengalirkan ratusan mililiter hormon testosteron ke arah organ reproduksi yang mulai memberikan reaksi fisiologis. Kejantanan Gede mulai bergerak siaga, berdiri tegak dan menunjukkan keperkasaannya. Kulit khatan Gede yang tak disunat tersibak dengan sendirinya, menampakkan ujung kejantanan berwarna cokelat muda dengan setetes cairan precum yang menitik dari dalam lubang kencing.

Kedua tangan Gede refleks tersilang di bawah perut, —sama sekali tak memadai sebagai penghalang pandang dari batang perkasa yang kini mencuat hingga bawah pusar.

Kinan tersenyum manja.

“Hayoh... kamu pasti mikir jorok, yah... memangnya kamu
ndak pernah melihat bajang-bajang di sini melalung?”

_____________________________

|Melalung = telanjang|
_____________________________

Gede tercengir bersalah. “Sering, sih... tapi....”

“Tapi... apa?
ndak ada yang secantik kakak?” Kinan mengerling manja sambil menceboki daerah berbulu di bawah perutnya. “Kamu ini, yah.... masih kecil saja sudah pandai menggombal. Bagaimana kalau sudah besar!”

Gede mengekeh sambil menggaruk-garuk kepalanya. Pancaran matahari senja yang jatuh di wajah Gede yang dibingkai rambut ikal membuat anak itu bertambah manis di mata Kinan.

Dengan perlahan, Kinan beringsut duduk di samping Gede tanpa harus mengesani dirinya sebagai wanita murahan, meski aroma kewanitaan yang menguar jelas ke udara tak akan bisa menutupi apa yang diinginkan tubuhnya saat ini.

Kepala Kinan terasa ringan. Suara batinnya sudah tidak terdengar lagi bersama dengan sepasang matanya yang kini terpejam erat. Dibiarkannya saja sepasang mata Gede memanjakan diri menikmati sekujur tubuh telanjangnya; sepasang bukit kenyal dengan tajuk-tajuk menantang di dadanya, tubuh mengkal yang terlalu menggoda untuk dipeluk dan diremas, juga ceruk kesuburan di antara pahanya yang kini telah basah dan mengundang....

Sepanjang 18 tahun hidupnya, Kinan dikenal sebagai anak yang alim dan tak pernah alpa beribadah. Kakeknya adalah seorang
mubaligh terpandang yang berdakwah sejak orde lama di pulau Dewata. Ayahnya adalah dokter bedah terkemuka di kota Denpasar. Entah apa yang akan dikatakan keluarganya jika mengetahui puteri kebanggaan mereka kini sedang pamer aurat kepada pemuda desa tak dikenal di rimba antah berantah. Namun kini....

“Dik...” suara Kinan nyaris tak terdengar.

“Apa, kak...?” Gede menjawab, sama nyaris tak terdengarnya. Suara tongeret yang mengiringi datangnya
sandyakala seolah ingin bersaing dengan degub jantung dua insan berbeda jenis kelamin itu.

“Kok masih kenyang saja, sih...? Apa ndak sakit, dik? Bengkak begitu....” wajah Kinan terasa panas luar biasa, merasa jengah sendiri pada betapa lacurnya perkataannya barusan.


_____________________________

|Kenyang = ereksi |
_____________________________


Gede tersenyum malu-malu sambil menyingkap lebih banyak lagi kulit khatannya yang tak bersunat. “Ya, makanya kalau sudah gini biasanya, ya... dikocok....”

“Oh,” sahut Kinan datar, berusaha meredam gairahnya sendiri. “Kamu... pasti sudah sering ngocok, yah... pantas... lututnya kopong... hehehe....”


“Ah, kakak itu.... Ndak lah, kak.... jarang-jarang, paling biasanya ngocok bareng sama teman-teman kalau ada yang punya majalah baru....”

Kinan tersenyum sendu. “
Ndak malu? Ngocok rame-rame?”

Ndak... kan sama-sama cowok....” jawab Gede polos.

“Ya sudah, ngocok sana, kakak
ndak bakal ganggu,” sahut Kinan berlagak acuh tak acuh.

“Eh?” Gede agak ragu sesaat.

“Tapi terserah kamu, sih..., kalau
ndak mau ya ndak apa-apa....” Kinan pura-pura melengos tak peduli, meski diam-diam melirik mengamati dari sudut mata.

Agak segan sebenarnya bagi Gede untuk masturbasi di depan orang yang tak dikenalnya, tapi ketika gairah remajanya disuguhi pemandangan seorang gadis montok siapa yang sudi bilang ‘tak mau’?


“Benaran ndak apa-apa?” tanya Gede ragu-ragu.

Kinan mengangguk lucu.

Anggukan Kinan bagaikan persetujuan bagi tangan Gede untuk mulai meremas dan mengurut sebatang torpedp yang sudah tak sabar untuk memuntahkan lahar panasnya.

“Sssssh.... oooh..... mmmmmh....” Tak lama, Gede sudah melengguh-lengguh keenakan, asyik sendiri dengan permainan tangannya yang bergerak meremas dan mengurut batangan tak berkhitan itu.

“Enak, dik?”

Gede mengangguk tanpa tanpa berkedip memandangi tubuh telanjang lawan jenisnya.


“Hayoh... ngocok, ngocok aja... ndak usah lirik-lirik....” Kinan menggembungkan pipi sambil menyilangkan tangan menutupi puncak dadanya.

“Mau gimana.... lagi.... kak... badan kakak seksi sekali.... bikin
celak saya kenyang.....” jawab Gede sambil mendecap-decap keenakan. Dan tentu saja, Dada Kinan semakin berdesir mendengar puji-pujian itu.

________________________________

|Celak = penis, kontol |
|Kenyang =
ereksi |
________________________________


“Eh? Benaran? Kamu suka sama badan saya yang gemuk begini? Masa?” Kinan mencubit-cubit payudara montoknya dengan wajah tak berdosa.

Gede mengangguk makin gugup. Tanpa menyadari bahwa Kinan pun dilanda kegalauan yang sama. Gadis manis yang sudah kadung dilanda birahi itu hanya bisa bergeming tak berkedip memandangi otot-otot telanjang Gede yang mengejang dan menggelinjang mengikuti gerakan tangannya. Jari-jari kasar Gede bergerak meremas dan mengocok batang kejantanannya mundur maju, sementara sebelah tangannya sibuk menggelitik putingnya sendiri. Kedua paha Gede tak lagi telentang di atas batu tapi mengangkang dan membuka pahanya lebar-lebar sehingga menampakkan sepasang buah zakar dan lubang anal yang kini kembang-kempis diamuk badai birahi yang kian meninggi. Dan ketika Gede mulai memainkan lubang analnya sendiri, Kinan tak mampu lagi membendung sisi hewan di alam bawah sadarnya....

“Enak banget, yah....” Kinan mendesau pelan.


“Iya kak.... apalagi... uuuh... kalau sambil ngelihatin kakak melalung....”

Seyum sendu mengembang di bibir Kinan. “Benaran... kamu... suka... sama badan kakak....?”

Gede mengangguk cepat. Jantung Kinan berdetak makin cepat.

“Gede.... Kalau mau... kamu boleh kok... ngocok sambil... ngelihatin
pepek-nya kakak....” Kinan bahkan tidak bisa mendengar kalimatnya sendiri. Jantung Kinan sudah terasa hendak melompat dari tenggorokan ketika tanpa sadar bibirnya mengucapkan kata-kata lacur itu. Dasar lonte! suara batinnya kembali terdengar mengutuki, tapi liang senggamanya yang telah basah dan mendamba seolah ingin menentang nuraninya sendiri.

“Eh?” Gede terlongo tak percaya dengan apa yang di dengarnya.


Kinan hanya mengangguk dan tersenyum sayu.

___________________________________

|Nyonyo = Payudara, toket, buah dada|
|Pepek =
Vagina, Meki, Puki|
|Jit =
Pantat|
__________________________________


Berdebar-debar, Kinan berjongkok di depan Gede, membuka pahanya lebar-lebar sehingga dengan jelas Gede bisa melihat rimbunan ikal lebat di pangkal paha yang sudah lembap dan mengkilat oleh cairan cinta.

“Jangan bilang sama siapa-siapa, ya....” Kinan mengusap ceruk licin labianya sehingga ujung jarinya kini diliputi selapis cairan cinta yang kini diusapkan di puncak dadanya yang menantang.

Jakun Gede turun-naik melihat pertunjukan erotis itu. Tangan Kinan yang belum mau beranjak dari area berbulu di antara kedua paha sintalnya. Payudara montok yang berguncang-guncang mengikuti remasan-remasan erotis Kinan. Juga bibir sensual Kinan yang sesekali mendesah di atas wajah manis yang bersemu kemerahan.

Gede hanya mampu mengerang panjang disuguhi pemandangan erotis itu. Birahi yang juga sudah meruyak hingga ubun-ubun membuat Gede juga kehilangan akal sehat dan mulai melontarkan ceracau-ceracau cabul yang hanya mampu disaingi oleh dialog cerita stensilan yang biasa dibelinya di terminal Batubulan.

“Aduuuh... kakak seksi sekali kaaaak.... apalagi...
jit... pantatnya kakak itu.... montok... sekali....”

“Masa... sih...? pantat gemuk gini kok dibilang seksi....” Kinan mengerling menggoda, bergerak memunggungi Gede hanya untuk meremas-remas pantat semoknya.

Gede mengerang semakin keras melihat Kinan kini menunduk dan menguak belahan pantat dan memamerkan lubang anus sekaligus memek tembemnya pada seorang bocah SMP yang sedang meracap bak sedang kesetanan.

“Aaaaaaah....
pepeknya kakak putih sekali... rapat sekali.... ooooh....”

“Yang benar? Rapat? Coba dilihat lagi yang baik.....” jemari Kinan bergerak membuka belahan labianya sehingga liang senggama yang mengkilap licin dan siap disetubuhi itu terlihat jelas, merekah dan mengundang. “Kakak... sudah pernah.... loh....” Dan Kinan tak lagi bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata cabul pada Gede. Serangan birahi yang menohok tepat pada batas terakhir pengendalian diri membuat Kinan akhirnya kehilangan akal sehatnya....


“Kakak cantik..... Mekatuk sama saya, kak... mekatuk sama saya.... mau ya.... mau ya....” desau Gede penuh nafsu sambil terus mengocok batang kejantanannya.

Kinan sejenak terperangah, namun langsung menyergah. “Kamu ngomong apa sih, dik?!”

"Mau ya, kak...
katukin saya... saya kasih perjaka saya buat kakak....”

_____________________________

|Mekatuk = Bersetubuh, ML, Ngentot, Ngewe, Kentu|
_______________________________



Namun belum sempat Kinan kembali menjawab, sang remaja yang sudah kesetanan itu tiba-tiba menubruk tubuh montok Kinan dari belakang.

“Dik! Kamu mau apa?! lepaskan!” Kinan menjerti tertahan mendapati tubuh sintalnya sudah dipeluk dan diremas-remas kurangajar.

Remaja tanggung yang sudah dibakar birahi itu tentu saja tidak akan sudi ambil peduli, malah semakin erat memeluk Kinan dan semakin bergairah meremas-remas buah dadanya! “Ayolah, kak.... saya tahu... kakak juga sebenarnya sudah pengen dikatuk, kan.....” bisik Gede penuh nafsu sambil menciumi leher Kinan yang ditumbuhi bulu halus, sementara torpedonya yang menegang maksimal digesek-gesekkan dengan biadab ke pantat montok gadis itu.

“Jangan, dik.... aaaah....” Kinan mendesah, tubuh sintalnya menggeliat gelisah. Dorongan tidak masuk akal dari tubuh kekar Gede membuatnya kehilangan keseimbangan dan terpaksa bertumpu pada batu besar.

Gede yang sudah benar-benar bernafsu ingin menyetubuhi Kinan rupanya tidak sadar kejantanannya malah melesak ke arah lubang anal Kinan, membuat remaja montok itu menggeleng-geleng panik ketika ujung kejantanan Gede mulai bergerak membelah paksa lubang sempit merah muda yang kini mulai termenggap-menggap karena diinvasi benda asing...

“Auuuuuh..... aduuuuuh.... bukan... bukan yang itu!!! Aaaaah!!!!! Aduuuuh!!!!” Kinan termegap-megap panik antara sakit dan nikmat, namun belum sempat ia bereaksi lebih jauh, tubuh Gede keburu mengejang hebat. Kinan hanya merasakan anak itu memeluknya erat-erat disusul sensasi hangat yang menyambur membasahi lubang anus berikut bongkahan pantatnya.


“Kaaak saya mau keluar kaaak... saya keluaaarrrrh!!” Gede membenamkan torpedonya erat-erat di belahan pantat Kinan ketika ejakulasinya menyembur prematur. Sekali, dua kali, sehingga seluruh pantat montok dan punggung telanjang Kinan belepotan dengan cairan putih kental....

Kinan terpekik panjang, sebelum tubuhnya ikut ambruk ditimpa tubuh kekar Gede yang belum bisa berhenti menggelinjang. Terenggah-enggah, Kinan mengatur nafasnya yang memburu. Rasa takut perlahan bergerak meriap membaurkan diri dengan birahinya yang menggebu, tapi kenyataan bahwa orgasmenya digantung di awang-awang oleh pemuda tanggung pengidap ejakulasi dini, membuat liang sengggamanya masih basah mendamba....


To Be Continude

:kuat:

habis ini bingung nih mau dibawa kemana ceritanya
a. temen-temennya Gede datang terus Kinan di gangbang?
b. Kinan mau pulang terus tasnya hilang? terus mampir ke tempatnya si Siska?
c. ditamatkan di episode depan, ane nulis cerita baru lagi, soalnya cerita eksib kaya gini tuh susah banget nyari tamatnya......

kasih masukan dong... dua-duanya sudah ada draftnyaa, tapi salah milih skenario bisa berujung fatal....

:pandapeace:
Adegan DP aja Bli
 
OMG...ngilu membayangkan tubuh Kinan.
Mungkin dibikin Kinan akhirnya jadi kecanduan ML di tempat terbuka, beberapa episode sebelum akhirnya dia di gangbang rame-rame yang malah membuat Kinan semakin liar.

Di akhiri dengan skip ke masa depan Kinan dimana dia sudah berubah menjadi sosok alim yang berhijab lebar. Namun twist, ternyata di balik hijabnya itu dia masih Kinan yang sama. Hijab hanya dijadikan kedok untuk menutupi ketelanjangan dibaliknya. Dan ditutup dengan bagaimana Kinan membiarkan tubuhnya dinikmati oleh banyak pria.
 
malah pengen liat siska telanjang di depan penduduk desa gan hehe, or audience nya kinan cowok2 yang jelek/tua/orang gila nyasar lagi mandi
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Fragmen 1
Vakansi yang Janggal



Celana dalam lycra semi transparan adalah penutup tubuh terakhir yang dilepasnya. Sepasang sandal gunung, kutang, kaus dalam, dan terusan panjang berbahan wol putih sudah terlebih dulu terlipat rapi di dalam ransel. Wajah Kinan perlahan merona, menyadari bahwa kini tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh sintalnya selain sepasang anting dan ikat rambut yang digunakan untuk menggelung rambut ikal sebahunya ke atas.

Posisi matahari yang tidak lebih tinggi dari cakrawala memendarkan cahaya temaram pada lembah sungai di hadapannya, mewarnai aliran jernih dan batu-batu di dasarnya dengan gradasi ungu-kebiruan. Burung gelatik mulai terdengar berkicau, menyahuti ricik air dan gemeresek bilah-bilah bambu yang memanjakan indera pendengaran. Kinan menghirup nafas dalam-dalam, memenuhi paru-parunya dengan udara segar pegunungan.

Kinan tersenyum puas, membentangkan tangannya lebar-lebar sebelum menghambur riang ke dalam air. Sepasang payudara mengkalnya ikut berguncang, mengikuti gerak kaki yang melonjak-lonjak riang di tepian dangkal dan menampari permukaan air dengan jari-jarinya.

Perjuangannya terbayar sudah. Kinan harus membuat alasan menginap di rumah temannya di liburan caturwulan, sebelum pagi-pagi buta memacu sepeda motor Grand Astrea-nya menuju jurusan Gianyar. Ia harus melewati jalan tanah yang tak bersahabat, menuruni lembah-lembah curam sebelum memarkir motornya di bawah pohon besar. Jalan setapak kecil yang dipenuhi tumbuhan paku memaksanya berjalan kaki menuju sebuah sungai kecil yang sudah diimpi-impikannya sejak lama.

Persis seperti bidadari dalam cerita Rajapala yang dahulu diceritakan ibunya, Kinan bersimpuh di antara aliran air. Kinan tersenyum jenaka, menikmati ketelanjangannya. Dibiarkannya arus air sedalam mata kaki menari-nari di sela paha, dan tubuhnya yang tidak tertutup sehelai benangpun dimandikan dengan embun pagi.

Penuh perasaan, Kinan meraupkan air dingin ke atas bongkahan bulat dadanya. Butiran air membulir di atas bukit dadanya yang belia, sementara cahaya matahari yang mulai membias dari sela-sela daun nyiur mengilatkan nuansa erotis di atas sepasang payudara ranum yang membongkah menggairahkan.

Kinan memejamkan mata. Menghayati air sungai yang membelai kulit telanjangnya. Desir angin terdengar bergemerisik, membawa pikiran Kinan mengembara jauh ke masa kecilnya....


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●


Sejak awal Kinanti Pramudhita Maheswari sudah menyadari ada yang salah dengan dirinya. Gadis yang baru saja naik kelas III SMA itu selalu menyukai berada dalam keadaan tanpa busana. Tidak hanya pada saat mandi atau berganti baju, tapi kapanpun dan dimanapun hal tersebut memungkinkan. Kenyataan bahwa gadis itu sedang dalam kondisi tidak dibalut sehelai benangpun di tempat yang tidak semestinya, —dan adanya kemungkinan kehadiran orang lain yang sedang melihat dirinya dalam kondisi tanpa busana— selalu berhasil membuat si kecil terangsang.

Kinan mulai tidur telanjang begitu mendapat kamar sendiri di paviliun di belakang garasi. Sejak itu, seluruh kegiatannya di dalam kamar dilakukannya dalam keadaan nirbusana, belajar, membaca majalah Bobo, atau sekedar membuat kompilasi pita kaset boyband kesukaannya. Barulah ketika seisi rumah sedang terlelap, Kinan kecil mengendap-endap di pekarangan rumah hanya dengan mengenakan pakaian kelahiran hanya untuk merasakan bertelanjang bulat di tempat terbuka.

Bertahun-tahun Kinan bergelut dengan kelainan ini, terjebak di dalamnya dan mencoba melepaskan diri dari rasa bersalah yang selalu hadir bersamaaan dengan rasa nikmat ketika melepaskan busana di depan umum. Kinan merasa kotor tapi juga menikmati. Ingin berhenti tapi juga tergoda mengulangi. Sebelum akhirnya Kinan menyadari, dirinya hanya berputar-putar dalam labirin libidinal yang sama...


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●


Manjus, gek?” kehadiran seorang laki-laki paruh baya menginterupsi Kinan dari alam khayali. Aroma tembakau dari rokok klobot di bibir keriputnya segera menguar memenuhi udara.

Ng-nggih,” Kinan menjawab cepat. Buru-buru mengusap kulitnya dengan batu kali selayaknya penduduk yang sedang mandi, berusaha mengabaikan desiran ganjil di dadanya ketika menyadari bahwa ada orang asing yang tengah melihatnya tanpa busana.

Gek saking dija?”

Tiang saking Denpasar, kak. Melali ka umah timpal di Payangan,” jawab Kinan dalam bahasa Bali. Setengah berbohong, tentu saja.

_______________________________________

|Manjus, Gek? = mandi, dik? |

|Nggih = iya |

|Gek saking dija? = adik dari mana? |

|Tiang saking Denpasar. Melali ka umah timpal ring Payangan = Saya dari Denpasar. Sedang main ke rumah teman di Payangan |

_______________________________________



Kakek tersebut mengangguk ramah, mohon diri lalu berjalan ke arah hulu sambil menghisap rokok daun jagungnya.

Pertengahan 90’an. Pemandian di tempat terbuka masih menjadi pilihan utama bagi warga di pelosok nusantara. Beberapa penduduk berangkat mandi dalam balutan kemben. Sementara beberapa lagi menenteng keranjang berisi cucian melintas di jalan setapak di samping Kinan, menyapa ramah ke arah gadis manis yang tak berbusana itu. Dan gadis manis itu berusaha membalas dengan senyum sayu di atas wajahnya yang bersemu.

Wajah Kinan tergolong manis dengan sepasang lesung pipi dan tahi lalat di dagu kiri. Bibir penuh, hidung bangir, dan alis tebal yang mengaksentuasi, menunjukkan terdapat sekian persen gen Arab yang terikutserta dalam kromosom gadis kelahiran 18 tahun lalu itu. Rambut Kinan ikal tebal sebahu, dan saat ini digelung ke atas dan menampakkan tengkuk mulus yang ditumbuhi bulu-bulu halus.

Tubuh Kinan berada di antara ideal dan montok, dengan pinggul semok dan sedikit lapisan lemak yang membungkus perut dan pahanya, mengkal kalau kata orang Jawa. Lengkap dengan kulit kuning langsat tanpa cela karena tak pernah alpa dirawat dengan lulur oleh ibunya.

Sepasang payudara berukuran cukup besar untuk gadis seusianya kini terpampang bebas pada siapapun yang melintas. Berikut sepasang aerola berwarna coklat muda dan tajuk-tajuk belia yang mengacung tegak di tengahnya. Dan kedalaman air yang hanya sebatas mata kaki mau tak mau memperihatkan bagian berbulu lebat di antara paha montoknya yang tengah bersimpuh.

“Aduh... adik cantik... aduh-aduh.... kenapa di sini mandi sendirian? Mari ikut ibu... kita mandi sama penduduk di sana....”

Ndak perlu, bu... saya biar di sini saja...”

“Benar... kalau mandi sendirian di sini, tajutnya nanti diganggu sama anak-anak kampung sebelah yang bandel-bandel.”

Kinan menggeleng sopan, menolak untuk yang terakhir kalinya.

Jalan setapak di tepi sungai kecil itu agaknya memang menjadi jalur utama para penduduk desa menuju tempat pemandian umum yang berada di saluran irigasi di sebelah hulu. Sudah puluhan pasang mata barangkali yang menyaksikan tubuh telanjangnya. Hingga tak terasa dorongan alam dari arah perut bawah Kinan memanggil: Gadis itu ingin buang air kecil.

Kinan menebarkan pandang ke arah sekitar. Batu-batu tak cukup besar sebagai penghalang pandang. Dan semak-semak di sekelilingnya tak memadai untuk tempat berkemih, menyisakan Kinan dengan satu-satunya pilihan.

Sambil menahan malu, Kinan berjongkok di bagian air yang sedalam mata kaki. Namun saat ia bersiap-siap mengejan untuk mengosongkan kandung kemihnya, sekelompok pemuda tanggung melintas tepat di hadapannya.

Mbok... Mbok jegeg... ngudiang dini melalung pedidian?” seorang yang tampak paling tengil malah sengaja bersuit-suit menggoda gadis manis yang sedang berjongkok dalam keadaan telanjang bulat dengan belahan tembem montok yang tengah kencang-kencangnya menyemprotkan urin segar.

“Hush! Hush! Jangan lihat! Saya lagi pipis!” jerit Kinan panik sambil menggeleng kuat-kuat, namun justru disambut gelak tawa anak-anak itu.

Yeh, Mbok? Ngenceh, to?”

Mbok! Mbok! Pepekne mebulu, nok!”

Nyonyone mentul masih! hahahahaha!

“Pergi sana!!!” jerit Kinan dengan wajah merah padam.

_______________________________________

| Mbok... Mbok jegeg... ngudiang dini melalung pedidian? = Kak... kakak cantik... kenapa telanjang sendirian di sini? |

| Mbok? Ngenceh, to? = kakak? Sedang kencing, yai? |

| Mbok... pepekne mebulu nok! = kakak memeknya berbulu loh! |

| Nyonyone mentul masih! = payudaranya juga besar! |

_______________________________________


Sekujur tubuh sintal Kinan gemetar menahan malu yang teramat ketika semprotan urin berwarna kuning bening menyembur kencang dan meleleh-leleh membasahi paha montok dan betisnya.

“Jangan lihat!!!!! Saya.... ungggh.... saya.... ” rintih Kinan menahan malu. “Saya.... lagiiiih.... pipisssh.... uuuuuhh....” Wajah manisnya dipenuhi rona-rona kemerahan, menyadari betapa mesum posisi dirinya saat: berjongkok di tempat terbuka dalam keadaan telanjang bulat dan melakukan kegiatan paling pribadi yang seharusnya dilakukan seorang diri.

Seorang demi seorang melecehkan Kinan dengan kata-kata cabul, membuat sekujur tubuh montok gadis itu mulai diwarnai dengan rona-rona kemerahan.

Woy! Megedi! Jeg ngae rusuh gen gaene!” seorang ibu berkebaya mengacungkan sandal jepit ke arah anak-anak nakal yang segera mengambil langkah seribu sambil tergelak-gelak.

_______________________________________

| Woy! Megedi! Jeg ngae rusuh gen gaene! = Woy, pergi! Bikin rusuh saja kerjanya! |

_______________________________________


“Mereka itu. Orang lagi mandi digangguin!” gerutu ibu-ibu berusia paruh baya. “Adik tidak apa-apa?”

Kinan mengangguk dengan wajah memberengut.

Bersungut-sungut, Kinan menceboki lubang kencingnya yang entah kenapa malah terasa merinding ketika bersentuhan dengan jari jarinya. Kinan bisa melihat lawan bicaranya juga sedikit canggung karena terpaksa melihat seorang gadis montok telanjang yang berjongkok dalam keadaan telanjang bulat dengan tangan di selangkangan.

Gek, Sedang apa kamu di sini sendirian?”

“Mandi, bu...” jawab Kinan polos.

Ndak baik mandi sendirian!” tegur ibu itu.

“Maaf , bu... saya saja yang salah... pipis ndak lihat-lihat....”

Ndak apa-apa...Maksud saya... Tiang cuma mau bilang, jangan mandi sendirian. Ndak baik. Nanti diganggu sama anak-anak,” kata seorang ibu yang menggusung keranjang bambu berisi cucian kotor.

“Wah pantas... anak-anak tadi, menyebalkan sekali!”

Si ibu mengangguk. “Di sana saja ramai-ramai. Orang-orang dari kota juga kadang-kadang mandi di sana, kok.”

‘Ramai-ramai’ menjadi kata kunci yang menggerakkan sang gadis eksibisionis menuju tempat pameran selanjutnya. Kinan menyambar handuk di atas ransel dan menyambut ajakan itu sambil berdendang-dendang riang.

Hanya dengan berbalut handuk dan menyandang ranselnya , Kinan mengikuti langkah ibu itu menyusuri jalan tanah yang berujung pada sebuah parit irigasi dari beton di sebelah hulu sambil berdendang dan mengira-ngira: petualangan apa lagi yang bakal menantinya di tempat ini.


●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●°●


Fajar merekah kemerahan dari arah tajuk-tajuk pegunungan di ufuk timur, menampakkan areal persawahan menguning dan bertingkat-tingkat indah yang dibelah sebuah jalan aspal. Di kiri-kanannya adalah saluran irigasi yang diperkuat dengan beton. Tak sampai 2 meter lebar, dibangun pada awal Orde Baru. Di dalamnya sudah dipenuhi manusia dari beragam usia dan bentuk tubuh yang merendam diri di sepanjang parit yang dialiri air jernih yang dibendung dari dam besar di arah hulu.

Kinan melihat dengan kepala sendiri penduduk desa, laki-perempuan, tua-muda mandi tanpa sehelai benangpun di sungai. Bahkan di jalan-jalan desa yang lebih kecil, penduduk lokal dengan santainya bertelanjang bulat, berjongkok di parit-parit irigasi di pinggiran jalan raya di mana kendaraan bermotor bebas berlalu lalang.

Perutnya langsung terasa mulas. Kinan ikut merasa malu, tapi entah kenapa juga birahi pada saat yang sama. Kewanitaannya meremang. Bukan karena memandangi tubuh telanjang wanita di pinggir jalani, bukan pula oleh tubuh berotot para pemuda, tapi karena membayangkan dirinya sendiri yang berada dalam posisi mereka, tanpa busana di parit di pinggir jalan, sementara orang-orang lain yang lalu lalang di pinggir jalan bisa bebas melihat lubang anus dan belahan tembem kewanitaannya....

“Ini... tempatnya?” tanya Kinan gemetar.

Ibu-ibu berkemben itu mengangguk.

“Nah, tas-nya ditaruh di sini saja,” kata sang ibu lalu melepas kembennya santai. “Di sini penduduknya sudah biasa.... tapi kalau adik malu mandi di pinggir jalan seperti ini, adik bisa mandi di saluran irigasi yang di tengah sawah sana... airnya juga bersih...”

Ndak apa... saya... di sini saja... ndak apa-apa....” Kinan berkata pelan, berusaha terdengar tidak terlalu murahan.

Meski sudah lama berada dalam fantasinya, Kinan agak rikuh juga ketika dituntut untuk benaran mengeksekusi. Karena tepat di samping parit irigasi itu adalah jalan aspal yang ramai dilalui mobil bak terbuka yang mengangkut sayur dari jurusan Kintamani. Rasa gentar adalah hal pertama yang menghantui. Tapi Kinan sudah sampai pada tepi di mana ia tidak bisa kembali. Sekarang, atau tidak sama sekali, batin Kinan mempersuasi.

"Niki keponakan tiang saking Denpasar,” si ibu memperkenalkan Kinan sebagai keponakannya dari Denpasar.

Nggih...” Kinan mengangguk kikuk pada kumpulan ibu-ibu yang menyambutnya ramah.

Handuknya sudah terlipat rapi di atas ransel. Kinan duduk telanjang di tepi saluran irigasi hanya dengan ditutupi bulir-bulir air yang membungkus tubuh sintalnya. Cahaya fajar sudah bersinar kemerahan di ufuk timur, ikut serta menimbulkan kilatan-kilatan eksotis di atas tubuh sintal Kinan ketika anak itu menyabuni payudara dan ketiaknya tepat di depan pengendara motor yang lewat sesekali.

Berusaha tetap tampak wajar di depan para penduduk yang polos, Kinan berjongkok di tepi saluran irigasi, pura-pura menceboki area bawah tubuhnya dengan sabun mandi. Khidmat, Kinan mengusapkan buih sabun pada lepitan tembem di antara kedua pahanya berikut lubang anus yang kini terpampang bebas pada para pengguna jalan.

Namun apa lacur. Sensasi yang diharap-harapkannya tidak kunjung datang. Sikap acuh tak acuh orang-orang di sekelilingnya, termasuk para pengguna jalan terhadap ketelanjangannya, membuat Kinan sama sekali tak merasakan sengatan nikmat pada klitoris yang diidam-idamkannya.

Hingga matahari tampak dalam jarak pandang, organ erektilnya tak juga terangsang. Gadis manis itu mendengus kesal sebelum mohon diri dan berpakaian.

“Sungai tadi kalau terus kemana tembusnya, bu?” tanya Kinan kemudian.

“Oh sungai kecil tadi... itu tembusnya ke....” sang ibu mengucap sebuah nama sungai besar.

“Ramai di sana?”

“Ramai. Banyak ada orang repting. Biasanya turis dari Jakarta.”

Mendengarnya, sudut bibir Kinan seketika terangkat. Rafting. Turis. Jakarta. Ketiga kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala sang gadis eksibisionis membayangkan apa yang akan ditemuinya di tempat itu nanti. Yang jelas, ini barulah awal dari petualangan telanjangnya!




To Be Continude


:baca:

segini dulu, yah... besok dilanjut lagi...
jangan lupa comment-nya hehehehe...

^_^
Moga bener aja ini cara ninggalin jejaknya. Kalo salah bilangin ya Bang
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd