Epilog
Dua gadis kembar disisiku bertarung dengan ganas. Beberapa kali mereka memancarkan racun dari kedua lengannya.
Aku pun tak mau mati konyol disini. Kukerahkan energi Kundalini gerbang keempatku. Dan sekejap aku telah melayang menyambar musuh-musuhku.
"Brakk.. brakk...", dua kepala siluman berhasil kuremukkan dengan terjangan kakiku.
Mendarat dengan cukup keras di tanah, aku berguling, lalu kembali mengamuk menghancurkan setiap lawan yang mencoba menghalangiku.
Dari kejauhan kulihat kakek berusaha melindungi cucunya dari serbuan para siluman ini. Keris Sabuk Inten di tangannya menyambar-nyambar dengan ganas memutuskan urat kehidupan setiap siluman yang ditikamnya.
Namun siluman-siluman ini tak kunjung berkurang, bahkan semakin membanjiri rumahku.
Dengan sebuah bentakan keras, aku melancarkan pukulan jarak jauh ke arah kerumunan siluman yang mengeroyok kakekku.
"Blarrr...", beberapa siluman terpental dengan tubuh hangus.
Kali ini para siluman itu berbalik mengeroyokku.
Rupanya ibu tiriku tak tinggal diam, dengan kecepatan yang luar biasa ia menuju ke arahku dan membantuku mengatasi para siluman ini.
"Andhina, Andhini, bantu kakakmu", teriaknya
Kedua gadis kembar itu layaknya seekor anaconda menyelinap di antara para siluman sembari memukul beberapa yang dilewatinya menuju ke arahku.
Kami berempat bertarung bersisian.
Entah sampai kapan siluman ini berhenti mengalir, namun kurasa stamina kami mulai melemah, hingga sekonyong-konyong muncullah beberapa wajah yang sangat kutunggu.
Kakek Hadi, Paman Satrio, Paman Rangga dan Paman Panji muncul dan langsung terjun ke medan pertempuran.
Sungguh luar biasa sepak terjang para panglima naga ini.
Tendangan, pukulan, cakaran mereka berkesiuran menebarkan aura menyeramkan. Tiap kali mereka menyambar satu siluman tewas dengan tragis.
Beberapa saat kemudian muncul Paman Beni dan Bibi Rhea yang juga dengan ganas langsung menggempur para siluman ini. Sepasang naga yang sangat kompak, serangan dan pertahanan mereka saling mengisi tanpa celah.
Meskipun para siluman bukan lawan para naga yang telah tersohor ini tetapi dengan jumlah mereka yang sangat banyak tentu saja merepotkan bahkan bagi para naga sekalipun.
Tiba-tiba terdengar beberapa auman yang beruntun dan tak lama kemudian Paman Aditya bersama para petarung siluman harimau tiba dan langsung melindungi aku.
"Aku rasa mereka mengincar darahmu Chandra", ujar paman Aditya.
"Jangan sampai kalah, bertahan!", perintahnya tegas
"Baik paman", jawabku
Pertempuran sengit kembali terjadi namun kali ini keadaan berbalik dengan keunggulan di pihak kami.
Nampak para siluman penyerbu mulai kewalahan dan berkurang jumlahnya satu demi satu.
Sebuah suitan panjang tiba-tiba terdengar dan menghentikan pertempuran. Para siluman penyerbu langsung berbalik melarikan diri.
Sementara di atas tembok pagar kulihat orang yang bersiul tadi menyeringai seram lalu melayang pergi.
Kakek Cipta mencegah semua orang mengejar mereka. Khawatir apabila mereka menyiapkan jebakan bagi kami.
Sebuah helaan nafas panjang, tak berapa lama Kakek Cipta terduduk di sebuah batu besar di halaman rumah.
"Chandra, rupanya mereka memang menantikan saat-saat seperti ini. Setelah kepergian ayah dan ibumu, mereka semakin ganas melakukan serangan kepada kita", ucap Kakek Cipta.
Memang benar seperti yang dikatakan Kakek. Ibuku, Sari meninggal setelah melahirkan aku, sementara ayahku Naga, memilih untuk moksa setelah menerima sebuah visi tentang masa depanku.
Aku dirawat oleh Ibu tiriku, Lissa, dibesarkan dengan kasih sayang yang sama seperti adik tiri kembarku Andhina dan Andhini.
Hingga sekitar sebulan yang lalu serangan-serangan kepadaku mulai terjadi. Dan tak ada satupun diantara kakek dan paman-pamanku yang tahu penyebab serangan-serangan kepadaku ini.
Namun satu fakta yang jelas, serangan ini mulai terjadi sejak kakek Natapraja yang kami kira masih kurang waras tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
***