Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Nafsu Para Lelaki Paruh Baya

Status
Please reply by conversation.

Daftar Isi

PERMULAAN CERITA
KENA VIRUS
ADA YANG LEBIH SERIUS
BERTAHAN DI RUMAH
DINODAI AYAH MERTUA (UPDATE)



PERMULAAN CERITA


Di bawah sinar matahari Selasa pagi, rumah beralamat di Tangerang Selatan tampak rimbun dengan pepohonan rindang yang sesekali terhembus oleh angin. Lalu lalang kendaraan yang biasanya melintas di depan rumah itu, begitu lengang karena portal keluar masuk kendaraan ditutup, dialihkan melalui portal lain. Keadaan yang dipicu oleh Wabah CORONA, sehingga perumahan memperketat akses wilayah, dimanfaatkan oleh Pak Rohimin yang kebetulan sedang tandang ke rumah anaknya untuk berolah raga. Lain dari orang seusianya, Pak Rohimin tidak begitu menyukai olahraga senam apalagi lari pagi. Kendati usia akan memasuki 60 tahun, Pak Rohimin masih terlihat segar dan bugar. Oleh karena itu tak heran ia masih lumayan lincah saat bermain bulu tangkis bersama cucunya, Ardian (14 tahun).

"Eyang kenceng banget SMASH nya"
"Jangan di-SMASH muluk dong, eyang..."
"Gak seruu..."

"Memangny kamu ndak bisa SMASH eyang balik?"
"Katanya di sekolah jago main bulu tangkisnya? Hayo..."

"Bukan begitu, eyang..."
"SMASH aku belum sekeras, eyang"

"Nanti eyang ajarin..."
"Sekarang kita lanjut lagi..."

"Serius beneran eyang?"

"Iya...."

"Yesss, tapi sekarang jangan main SMASH-SMASH-an dulu yah?"

"Siyaaaphh, kali ini eyang nungguin kamu SMASH aja..."

"Nah gitu dongggg!!"

Pak Rohimin kembali menggoyangkan raket, memukul kok yang melambung ke langit. Cucunya, Ardian kini lebih bersemangat karena kakeknya berjanji tidak akan melancarkan pukulan SMASH sehingga permainan tidak lekas berakhir cepat. Pada saat permainan itu berlangsung, menantu Pak Rohimin sekaligus Mama Ardian, Nia (39 tahun) baru pulang dari membeli sarapan. Sambil menenteng plastik berisi nasi uduk dan gorengan, Nia melintas di antara permainan. Entah disengaja atau tidak, arah KOK yang dipukul Pak Rohimin mengena bokong Nia yang kebetulan sedang memakai rok pendek selutut. Ardian yang menyadari hal itu justru tertawa.

"Aduh, sakit!"

"Hahahaha, Mama kena KOK!", sahut Ardian dengan gelak tawa"

"Haduh Maaf, Nia, Bapak ndak sengaja...", timpal Pak Rohimin sedikit tersenyum.

"Oh eyang yang mukul. Kirain kamu?!"
"Kalau kamu, udah mama jewer!", jawab Nia mencandai putranya, Ardian.
Nia tak menanggapi hal itu serius, ia lanjut berjalan lalu masuk ke dalam rumah.

"Gak mungkin aku lah..."
"Aku aja ada di sini, masa iya bola KOK nya muter balik gitu, Mah..."

"Yaudah, kamu sama Eyang sarapan dulu gih"
"Mama bentar lagi mau berangkat kerja"

"Entar aja ah, lagi seru nih..."

"Hayo Sarapan dulu, biar ada tenaga...", Eyang berjalan ke arah pintu pagar rumah.

"Yah, eyang, entar aja..."
"Biar nanti habis olahraganya, gak lapar lagi..."

"Eyang udah laper, masa gak boleh makan..."

"Kamu ikut sarapan ja, sayang"
"Kalau lapar lagi, nanti mama beliin lagi nasi uduknya..."

"Huh, yodah degh, aku ikutan sarapan...", gerutu Ardian dengan langkah malas menenteng raket dan mengambil bola KOK yang masih tergeletak di atas aspal jalan.

Putra Pak Rohimin, Lukman (40 tahun) sudah berangkat kerja sebelum pukul 06.00 pagi. Ia bekerja di Jakarta sehingga harus menggeber sepeda motornya lebih pagi supaya tidak terlambat. Sebaliknya Nia, menantu Pak Rohimin, masih bekerja di sekitaran Tangerang sehingga Ia masih ada waktu untuk mengurusi suami, anak, bahkan mertuanya lebih dulu. Pak Rohimin sebetulnya tinggal di kampung, daerah Purwokerto. Ia mengurusi pekerja dan lahan miliknya yang cukup luas untuk bercocok tanam di desa. Sebab tinggal seorang diri semenjak istrinya meninggal dunia, Pak Rohimin sering menghabiskan waktunya untuk menengok Ardian selaku cucunya tersayang di Tangerang. Dalam sebulan ada dua kali Pak Rohimin melepas rindu kepada anak dan cucunya. Ia bisa menghabiskan tiga sampai dengan empat hari di Tangerang, lalu baru kembali ke kampung.

Bagi Ardian, kehadiran Pak Rohimin, eyangnya, membikin suasana rumah jadi ramai. Apalagi situasi pandemi seperti ini Ardian terpaksa belajar daring di rumah. Ia sebentar lagi masuk SMA. Oleh karena itu, Orang tuanya harus tetap giat mencari nafkah, sementara Ardian bisa dibiarkan sendiri atau bersama Eyangnya berdua.

"Ardian! Tolong Mama dong...!"

"Iya, Apa Maaa?! Sebentar aku lagi ambil piring", Ardian bergegas ke kamar orang tuany setelah meletakkan sepasang piring di atas meja makan.

"Tolong ambil BH sama celana dalam mama di kamar mandi dong, Mama udah keburu buka baju nih..."

"Oh, oke, aku ambilin sebentar...", jawab Ardian yang hanya bertemu muka di depan pintu kamar orang tuanya. Nia sekadar menampakkan mukanya karena ia sudah tidak berbusana di kamar, hendak berganti pakaian kerja.

Ketika akan masuk ke kamar mandi, Ardian menyadari ada eyangnya di dalam, "Eyang! eyang lagi di dalem ya?!"

"Iya?! kenapa?! Kamu mau buang air?"
"Dikit lagi! Eyang udah nih!"

"Eyang tolong ambilin pakaian dalem mama dong!"

"Apa?!"

"Tolong ambilin pakaian dalam Mama, eyang!"
"Ada di dalam kamar mandi"

Mendengar apa yang diucapkan Ardian, Pandangan Pak Rohimin lekas mencari-cari barang yang dimaksud. Ia dapati menggantung di belakang pintu kamar mandi.

"Weleh weleh, gede juga tetek kepunyaan menantuku ini..."
"Huh, Lukman menang banyak"
"Sementara ayahnya masih belum juga punya pendamping baru", Pak Rohimin menggamit bra krem agak kecoklatan dan berenda di sekitar pinggir cupnya. Tak ketinggalan celana dalam yang warnanya serupa.

"Ada gak eyang?!", sahut Ardian.

"Ada!...", pintu kamar mandi kemudian terbuka. Pak Rohimin keluar seraya memberikannya kepada Ardian. Tak berlama-lama Ardian lalu melesat dan segera memberikan pakaian dalam itu ke mamanya.

Sejak pertama kali memegang pakaian dalam menantunya sendiri, Pak Rohimin jadi kian bertanya-tanya bagaimana bentuk fisik Nia apabila tidak mengenakan pakaian. Pak Rohimin paham dari luar Nia mempunya bentuk tubuh yang gempal dan berisi. Tapi Pak Rohimin dibikin gelisah dan gamang setelah menyadari Nia memiliki buah dada yang tergolong besar.

"Kamu baik-baik di rumah sama Eyang ya..."
"Mama mau berangkat kerja dulu..."

"Pulang jam berapa?", tanya Ardian memulai sarapan bersama eyangnya.

"Jam 5an seperti biasa"

"Hati-hati kamu, Nia"
"Virus lagi bertebaran di mana-mana", Pak Rohimin mengingatkan sekaligus pandangannya tajam ke arah bagian dada Nia.

"Iya, Ayah..."

"Yuk, Mama berangkat dulu...", Nia menyadari taksi yang dipesannya sudah tiba di depan rumah.


rupanya ada mertua yg lagi kegatelan nih
 
BAGIAN 2

Selesai mengisi perut permainan bulutangkis tidak lagi dilanjutkan, Ardian pergi mandi dan akan bersiap mengikuti sekolah daring dari dalam kamarnya di lantai dua. Nia sudah berangkat kerja. Sementara Pak Rohimin duduk rebahan di atas kursi bambu yang berada di dekat taman belakang rumah. Di halaman belakang rumah putranya, terdapat taman mini yang biasa digunakan untuk berjemur badan di bawah terik matahari atau sekadar menjemur pakaian. Pak Rohimin masih kepikiran gara gara memerhatikan bentuk BH dan celana dalam Nia di kamar mandi.

Dari kejauhan Ia lihat tiang jemuran besi, beberapa pakaian kering di sana tampaknya belum diangkat. Pak Rohimin bangkit berjalan mendekat. Adakah sesuatu yang baru dilihatnya?

"Kenapa aku baru tahu sekarang, duh haduh..", Pak Rohimin kembali memerhatikan BH milik Nia yang berwarna biru gelap, ternyata ia betul-betul dibuat penasaran oleh bagian dalam tubuh Nia.

Pak Rohimin kembali ke tempat duduk semula. Ia biarkan BH milik Nia terjemur di bawah pohon, disinari sedikit oleh sengat Sinar Matahari. Apalagi masih basah, rupanya baru dicuci pagi ini.

Pak Rohimin tiba-tiba merogoh saku celana panjang batik yang ia pakai, diraih ponsel pemberian Lukman putranya setahun yang lalu. Ia bukan sedang ingin menghubungi sanak saudara, melainkan melihat foto-foto Nia saat sedang mengenakan kebaya. Pak Rohimin kembali memastikan apakah betul bukit kembar milik Nia begitu berisi? 100% nyaris betul. Ia kadung yakin hanya karena melihat belahan dada saat Nia mengenakan kebaya.

Pak Rohimin lalu tertidur di antara hembusan angin sepoi-sepoi yang menyapu tiap rambutnya yang mulai keperakan. Kendati tubuhnya tampak kurus, ia cukup bertenaga.

Beberapa menit kemudian, ponsel yang berada digenggaman Pak Rohimin bergetar, Lukman menghubungi.

"Halo, ayah?"

"Iya ada apa?"

"Hari ini jangan keluar rumah dulu ya, yah..."
"Keadaan lagi gak bagus"

"Loh? Kalau ayah gak keluar, makan apa?"

"Soal makan, nanti aku pesenin makan aja lewat aplikasi"
"Ayah nanti tunggu aja di rumah, gak usah ke mana mana"
"Oke ya, yah?"

"Mosok ke warung juga ndak boleh?"
"Pakai masker lho..."

"Bukannya begitu, Ayah mau beli apa emangnya?"
"Bukannya di kulkas udah ada semua?"

"Yowes aku gak kemana-mana", gerutu Pak Rohimin, menyadari dirinya akhir akhir ini selalu diperingatkan agar tidak berseliweran keluar rumah.

"Maaf ya Ayah, aku harap ayah ngerti"
"Karena aku gak mau sampai ayah terjangkit virus"

"Ya, iya, aku ngerti..."

"Ardian lagi ngapain yah? Nia udah berangkat?"

"Anakmu lagi belajar online, Nia sudah berangkat daritadi"

"Oke deh kalau begitu, yah, aku tutup teleponnya ya, hati hati di rumah..."
"Nanti makanan kalau dah aku pesen, aku kabarin"

Pak Rohimin kembali harus mendekam di rumah. Biasanya sebelum virus Corona mewabah, Pak Rohimin bisa kelayapan sesukanya di Tangerang dan sekitarnya, bahkan pergi ke Jakarta seorang diri. Akan tetapi, justru saat ini kebebasannya dikekang. Pak Rohimin mengetahui bahwa ini bukan mau putranya saja, tetapi mau semua pihak yang berwenang mengurusi wabah ini. Alhasil, Pak Rohimin beraktivitas selayaknya seorang pensiunan yang tidak tahu musti melakukan apa di rumah, kecuali tidur, makan, atau menonton televisi.

Di kamarnya, Ardian sedang sibuk mengikuti langsung pembelajaran jauh melalui aplikasi daring...


=¥=

"Hasil SWAB kemarin udah ada kabar belum?"

"Hasilnya udah ada Bu, katanya sih ada tiga orang kantor kita yang positif"
"Aku kurang tahu juga siapa-siapanya"

"Hmmm, gitu ya"

"Ibu mending tanya Mirna aja"
"Kayaknya dia tahu siapa aja yang hasilnya positif"

"Baiklah, Terima kasih ya infonya, Ren"

"Sama-sama Bu"

Nia saat di kantor, begitu menantikan hasil tes SWAB nya dua hari yang lalu, yang sampai saat ini belum juga diberi kabar. Dijanjikan dalam 24 jam hasil keluar, tetapi sudah dua hari tidak ada pemberitahuan sampai kepadanya. Kata salah satu rekan kerja perempuannya, Nia bisa bertanya kepada Mirna (28 tahun), bagian kepegawaian yang menghubungi langsung tim medis yang bertanggung atas tes SWAB tersebut. Melalui sambungan telepon, Nia menghubungi Mirna. Tentunya, Ia amat mendapatkan kabar baik karena situasi sekitar jumlah orang yang terjangkit virus terus bertambah.

"Halo Mir"
"Ini Aku Nia..."

"Eh iya, Bu.."
"Selamat pagi, ada apa ya?"

"Aku mau tanya hasil tes SWAB kemarin dong"
"Kok belum ada kabarnya yah"

"Sebentar Bu, aku coba cek ke tim pemeriksanya ya"

"Ok Mir, aku tunggu ya..."

"Iya, Bu, nanti pasti aku kabarin kok"

"Iya sama-sama, maaf ya Mir, soalnya kan janjinya kemarin hasilnya keluar, eh tapi sampai saat ini masa belum keluar juga sih"

"Maaf ya Bu, aku juga waktu itu udah sempet nanya, katanya sih hari ini"
"Maaf atas kekeliruan informasinya.."

"Yaudah gapapa..."
"Oke, aku tunggu kabar baiknya..."


=¥=

Siang hari, setelah lewat tengah hari, tepatnya pukul 13.00 WIB, Ardian menyantap makan siang bersama Eyangnya. Mereka melahap bersama Ayam bakar dan nasi yang dipesankan langsung oleh ayahnya dari kantor. Duduk di ruang makan bersama, Ardian mengunyah makanan sembari mendengar Eyangnya bercerita. Ardian tak bosan-bosan menyimak cerita segudang dari eyangnya. Ia tak menyangka Eyangnya punya banyak pengalaman, terutama mengenai berkebun. Ardian yang semenjak lahir belum diajak mudik ke kampung halaman ayahnya hanya sekedar mendengar cerita dari mulut ke mulut, terutama dari Eyangnya saat ini yang menyampaikan bahwa di kampung cuacanya sangat sejuk dan mudah bercocok tanam di sana.

Dengan begitu, penyesalan yang mendominasi benak Ardian karena ayahnya entah mengapa tak pernah mengajaknya mudik. Ditambah pusing lagi, kondisi seperti saat ini hampir tidak dimungkinkan untuk mudik.

"Seriusan Eyang punya kebon lebih dari satu hektar?"
"Ah eyang bohong banget..."

"Kamu makanya pulang kampung supaya percaya, kalau gak tanya Papamu sendiri sana..."

"Percuma Eyang..."
"Ayah juga gak banyak cerita soal kampungnya.."
"Makanya ini aja aku baru tahu dari cerita eyang..."

Selagi makan, tiba-tiba mereka berdua mendengar ada suara mobil berhenti di depan rumah, sesaat kemudian bunyi pintu pagar rumah bergeser.

"Mama?! Kok udah pulang jam segini?"

"Iya nih, Mama terpaksa pulang kantor karena hasil SWAB Mama positif CORONA", Nia menggunakan faceshield dan masker setibanya di rumah. Ia berbicara dengan tetap menjaga jarak.

"Waduwhh!!! Terus gimana? Mama disuruh dirawat atau bagaimana, Ma?!"
"Papa udah tahu belum?!", Ardian menatap dengan nanar panik.

"Kamu jangan panik, sayang"
"Mama udah dapat obat dari rumah sakit"
"Kata dokter, mama sebaiknya isolasi mandiri di rumah"
"Papa nanti biar mama yang kasih tahu..."

"Yowes kamu buru-buru bersih-bersih sana"
"Sudah makan belum? Biar ayah bantu beliin..."

"Enggak usah ayah, enggak usah, aku juga udah belii makanan tadi di deket kantor"
"Mama masuk kamar dulu ya..."

"Bagaimana nih eyang sekarang?", tanya Ardian kebingungan.

"Kamu tenang dulu, mending kamu habiskan makananmu itu..."

Pak Rohimin tak menyangka, ia yang lebih sering diperingati akan bahaya Virus CORONA, malahan menantunya yang terkena virus tersebut. Pak Rohimin galau tak tahu harus berbuat apa. Di sisi lain, ia juga khawatir tertular virus tersebut dari Nia. Apakah ia berusaha menghubungi putranya sekaligus mengabarkan kondisi Nia yang baru divonis positif CORONA? Pak Rohimin mencemaskan Lukman lantas akan panik juga memperoleh kabar itu.

"Ayah sama Ardian, nanti kalau ada petugas medis gitu datang, kalian terima ya..."
"Mama tadi udah hubungin tim medis yang bisa SWAB ke rumah"
"Nanti Ardian sama eyang di-SWAB yah..."

"Seriusan Ma?!"

"Iya seriusss..."
"Mama gak mau kamu kena CORONA sayang"
"Kalaupun udah terpapar, lebih baik terdeteksi lebih awal supaya cepat penanganannya"
"Kan kasian juga eyang..."

"Aku jadi takut, eyang...", Ardian menatap cemas wajah eyangnya, sementara Nia memungut handuk dari kamar bergerak cepat ke kamar mandi sembari tetap menggunakan masker.

"Kamu jangan cemas yaa..."
"Eyang aja tetap biasa aja, gak perlu ada yang ditakutin..."
"Eyang yakin kamu sehat"

"Beneran nih Eyang?"

"Bener dong, cucu eyang harus berani dan tegar..."
"Anak laki jangan cengeng"

Ardian menangkap kuat-kuat pesan Eyangnya. Kemudian setelah tak mau menyelesaikan sisa makanannya, Ardian masuk ke kamar di lantai 2. Ia seakan butuh waktu sendirian untuk menenangkan diri atas apa yang menimpa Mamanya. Belum lagi apabila ia harus menerima kenyataan positif Corona juga. Terlebih, sepengetahuan Ardian virus CORONA belum didapati vaksinnnya, apalagi obatnya. Jelas penyakit ini amat mematikan. Ardian takut terjadi apa-apa pada mamanya, dirinya, dan keluarganya.

Sementara itu, Nia merenungi nasibnya yang harus dinyatakan positif CORONA. Pikirannya yang mulanya baik, berubah paranoid dan cemas akan terjadi sesuatu yang buruk padanya. Ia belum tahu kapan akan mengontak suaminya. Nia bingung bagaimana andai sekeluarga ini statusnya positif semua atau hanya sebagian yang positif, siapa kiranya yang akan mengurusi. Selebihnya jika hanya Ardian yang negatif. Sungguh kasian putra semata wayangnya.

=¥=


BeRsAmBuNg

Kasihan Adrian.....
 
BAGIAN 3

"Aduh kok Aku bisa sampai lupa ya"
"Mau gak mau harus panggil Ardian deh...", ucap Nia terkurung di dalam kamar mandi karena ia lupa membawa baju ganti. Jalan satu-satunya seperti biasa, jelas meneriakki Ardian.

"Ardian! Sayang! Tolongin Mama dong!"
"Ardian!"

Pak Rohimin yang duduk santai di ruang tamu sambil menonton TV dan sesekali mengunyah kue kering yang berada di toples, cukup terusik dengan teriakkan Nia. Pun Ardian tidak juga muncul menyahuti panggilan Mamanya. Maka, Pak Rohimin mencoba membantu Nia dengan menyahuti Ardian juga.

"Ardian! Itu kamu dipanggil Mamamu tuh!"
"Hoi! Ardian!", karena tak ada respon Pak Rohimin mengira lebih baik dirinya saja yang mendatangi Nia. Siapa tahu Ardian memang sedang tidak bisa diganggu. Kalau tidak salah, ini juga masih jam sekolah daringnya.

TOK TOK TOK
"Iya Nia, mungkin Ayah bisa bantu kamu?"
"Ada apa?"
"Anakmu lagi serius belajarnya..."

Nia awalnya lega dengan ketukkan pintu kamar mandi, karena Ia mengira itu Ardian. Mendengar suara parau Ayah mertuanya, buyarlah semuanya.
"Haduh Ardian..."
"Kamu lagi ngapain sih sayang..."
"Mama kok dicuekkin gitu..."

"Bagaimana Nia? Apa yang perlu dibantu?!"

"Enggak jadi, Yah.."
"Enggak usah, udah beres kok!"

"Ooh, wes kalau gitu, Ayah balik nonton lagi..."

Nia tak ada pilihan lain, ketimbang diterpa masuk angin, Ia lalu membelitkan handuk di tubuh semoknya yang baru saja dibersihkan. Untungnya, ia masih ingat untuk membawa handuk. Jika tidak, tak tahu ia harus bagaimana. Dengan rambut panjang yang masih lepek, Nia membuka pintu kamar mandi perlahan. Dilihatnya Ayah mertuanya sedang menonton televisi. Nia berharap ketika ia berjalan menuju kamarnya tidak mengundang perhatian Ayah mertuanya. Susahnya, kamar Nia hampir berdekatan dengan ruang tamu itu sendiri. Sudah hampir pasti Ayah mertuanya akan melihat Nia dengan tubuh terlilit handuk seperti ini. Pikirnya ia hanya mampu memeluk pakaian bekas kantornya sehingga bagian depan tubuhnya tidak santer seluruhnya terekspos. Nia tak ambil pusing. Ia segera buru-buru berjalan ke arah kamarnya dengan ketidakpedulian Ayah mertuanya bakal melihat atau tidak. Yang jelas ia ingin segera berpakaian.

Menyadari ada derap langkah yang berjalan mendekat, Pak Rohimin mengalihkan pandangannya dari TV. Ia lantas terperangah mengamati Nia jalan tergesa-gesa berbelit handuk dan memeluk pakaian yang berada dalam pelukannya. Dengan rambut kebasahan, Nia meninggalkan jejak becek dari setiap langkahny. Seumur-umur, ini pertama kali Pak Rohimin melihat Nia dalam kondisi tak mengenakan busana utuh. Batinnya berdecak. Kepalanya menggeleng-geleng memerhatikan bodi milik Nia yang benar-benar montok dan sekel. Sedikit ia berharap handuk yang membekap tubuh nia terjuntai tiba-tiba. Bukan main pasti girangnya. Akan tetapi, boro-boro, beradu pandangan saja antara Pak Rohimin dan Nia juga tidak. Pak Rohimin menyadari mungkin menantunya malu sehingga memalingkan muka. Masih beruntung Pak Rohimin bisa melirik beberapa menit punggung mulus Nia.

"Man, Lukman,..."
"Coba kamu dari dulu ndak larang-larang, bapakmu ini kawin lagi, man..."
"Gak begini juga kan jadinya...", gumam Pak Rohimin selesai Nia masuk ke kamar.

Sementara itu, di balik pintu yang sudah ditutup rapat-rapat, Nia akhirnya bisa bernafas lega. Meski saat berjalan menuju kamar tadi, Nia mengetahui sorot mata Ayah mertuanya sempat melirik. Namun, ia abaikan saja. Lagipula kondisi sudah terlanjur seperti itu. Nia juga tidak tahu harus berbuat apa. Mana mungkin ia harus bertahan lama di dalam kamar mandi. Nia lalu segera berpakaian lengkap karena tak lama lagi tim medis yang akan melakukan tes SWAB kepada Ayah mertua dan anak kandungnya akan datang ke rumah.

"Puyeng, haduh..."
"Ruwet, ruwett, ruwet..."
"Piye, musti bagaimana sekarang", keluh Pak Rohimin tontonannya semakin tidak menarik, berujung ia mematikan televisi. Jam menunjukkan pukul 2 siang. Pak Rohimin kehabisan pilihan, tak lain tak bukan aktivitas yang bisa dilakukannya sekarang adalah tidur.

Beranjak seraya berjalan ke kamar mandi, Pak Rohimin belum hilang ingatan. Ia acap terbayang-bayang dengan tubuh menantunya yang hanya terbungkus handuk tadi. Pak Rohimin betul-betul belum puas melihatnya, ingin sekali kejadian itu terulang kembali. Tapi apakah mungkin?!


=¥=

"Saya mohon Mas Lukman..."
"Beneran diganti besok..."
"Beneran gak bohong, saya"
"Sumpah!"

"Besok... Besok... Selalu bilangnya besok"
"Faktanya, belum ada yang kamu bayar"
"Mending kamu cari kerjaan, Her"
"Kalau begini terus, hidup kamu gak akan pernah maju..."
"Numpukkin utaaaaanggggg aja..."

"Ya mau bagaimana lagi sekarang, Mas"
"Untuk saat ini saya belum menemukan jalan keluarnya"
"Mas Lukman, tolonglah...", Heri memelas pada kakak iparnya. Ia adalah adik kandung dari Nia.

"Kalau Mbakmu tahu soal utangmu ini"
"Bisa-bisa diamuk kamu!"

"Jangan sampai tahulah, Mas..."
"Bagaimana? Bisa kira-kira gak?"
"Tolong diusahakan Mas..."

"Kamu gak malu sama istrimu"
"Banting tulang tiap hari, eh kamu minjam duit meluluk..."
"Sadarlah, Her...", Lukman kekeuh tidak mau meminjamkan uangnya, utang kemarin-kemarin saja nyaris belum ada yang dilunasi oleh Heri.

"Aku bukannya gak mau lunasin..."
"Tapi uangnya belum ada Mas"
"..."
"Capek saya memohon terus..."

"Loh, justru saya yang capek minjemin duit, Her..."
"Malah kamu yang gerutu..."
"Gak ada syukurnya kamu..."

GLEG,
Lukman memutuskan sambungan teleponnya dengan Heri. Kerjaan kantornya jauh lebih penting untuk dituntaskan. Kemudian Lukman kembali memfokuskan perhatiannya pada tumpukan berkas yang berada di atas meja kerjanya. Heri yang mencoba menghubungi kembali tidak diacuhkan oleh Lukman. Sepatutnya orang seperti Heri sesekali diberi pelajaran bahwa mendapatkan uang tidaklah mudah, apalagi modalnya hanya mengutang saja. Heri (33 tahun) dahulunya merupakan seorang personalia di sebuah perusahaan telemarketing. Karena hobinya berjudi, gemarlah ia berhutang. Pintarnya dia, tak sampai menyentuh uang istrinya. Sialnya musim wabah Corona ini, perusahaannya terpaksa pailit. Ia terkena dampak pemutusan hubungan kerja. Hutangnya menggantung begitu saja, terutama yang paling banyak dihutangi adalah Lukman.

Lukman tidak mengira ia bakal ditipu oleh Heri yang pada awal meminjam konon mau menggunakannya untuk modal usaha. Bodohnya Lukman, percaya-percaya saja. Sebab beberapa kali belum dibayar, barulah ia mulai curiga dan mengetahui kalau Heri menggunakan uang pinjamannya untuk modal berjudi. Sungguh disayang, Heri memiliki istri yang kariernya cukup baik di perusahaan farmasi kini harus menggantungkan hidup pada istrinya. Istrinya, Yanti (30 tahun) memahami saja bahwa suaminya sedang kurang beruntung saat kondisi pandemi ini.

Dering dan getar ponsel berikutnya, Lukman hampir saja mengabaikan, dia mengira Heri terus mengontaknya, padahal Nia, istrinya, yang berusaha mengontak. Lukman lekas mengangkat panggilan tersebut.

"Kok lama banget angkatnya...?"

"Maaf, Aku lagi beresin berkas"
"Kenapa Ma?"

"Oo gitu, iya nih, aku ada kabar buruk"
"Tapi kamu jangan kaget ya dengernya, Pah..."

"Kabar buruk apa? Ya kalau kaget, kaget aja Maa.."
"Ini aja aku udah kaget kamu mau kasih tahu kabar buruk..."

"Yah, Papa..."
"Mama jadi males deh ngasih tahunya"

"Ngomong aja, aku kaget, ya tapi tahu sendiri kan..."
"aku kan orangnya gak panikan apalagi emosian"

"Hmmm, iya, Papa tahu kan 2 hari yang lalu Mama ikut tes SWAB..."

"Iya... terus bagaimana hasilnya?"

"Maaf ya Pa, hasil tes Mama positif kena virus..."
"Mama jadi bingung nih sekarang.."

"Sekarang kamu gak usah bingung, Maa, tetep tenang"
"Papa yakin Mama bisa sembuh, yang terpenting sekarang Mama udah beli vitamin sama suplemen, belum?"
"Oh ya Mama ngerasa ada gejala gak?"

"Gejala sih gak ada Pa, palingan batuk sedikit..."
"Papa musti tes-SWAB ya?"

"Iya, Papa nanti sempetin pulang dari kantor untuk SWAB"
"Kamu jangan lupa beli vitamin sama suplemen yang lain ya..."

"Iya Pa, nanti aku pesen online aja..."
"Oh iya, Ardian sama Ayah juga bentar lagi mau SWAB"
"Aku nyuruh tim medis yang bisa SWAB di rumah..."

"Woah, bagus dong, semoga mereka hasilnya negatif ya..."
"Oh ya kamu jangan lupa pakai masker di rumah, jaga jarak juga sama ardian dan ayah untuk sementara waktu ini..."

"Iya, kasian kalau sampai Ayah dan Ardian kena..."
"Papa gak mau SWAB di rumah aja?"

"Kelamaan kalau nunggu Papa"
"Biar papa pulang dari kantor usahain cari tempat tes SWAB"

"Baiklah kalo gitu, papa udah makan siang?"

"Udah kok Maa, Mama sendiri bagaimana?"

"Mama juga udah kok Paa.."
"Papa hati-hati ya di kantor, jaga jarak sama temen di kantor, jangan sampai kena kayak Mama"

"Iya, pasti Aku tetep jaga protokol kesehatan"
"Mama, Papa kerja dulu yaaa..."

"Iya Paa..."
"Hati-hati pulangnya nanti"

Bertambahlah pikiran Lukman. Pekerjaannya belum selesai, kini ia harus mendapati kabar istrinya terpapar virus COVID-19. Mendadak tubuhnya menjadi tidak enak badan. Lukman mengira ini hanya karena dia terlalu mencemaskan dirinya karena mendengar istrinya terkena CORONA. Alhasil, sugesti negatif merasuki pikiran Lukman. Untuk mengusir hal itu, Lukman memusatkan diri pada pekerjaannya. Kemudian sepulang kantor segera untuk tes SWAB agar pikirannya bisa tenang.


=¥=

"Alhamdulillah ya, Papa hasilnya negatif"
"Semoga Ayah sama Ardian besok hasilnya juga negatif"

"Aaamiin"
"Yaudah Mama istirahat ya, jangan lupa diminum vitamin sama obatnya..."

"Iya Paa..."
"Ardian udah tidur?"

"Udah daritadi Maa.."

"Semoga dia bisa ngerti ya sama kondisi kita..."
"Coba aja, Mama tadi mintanya yang hasilnya cepet keluar"
"Kan gak harus nunggu besok.."

"Ardian kan bukan anak kecil yang umurnya 10 tahun"
"Dia paham betul kok sama kondisi Mama, itu kenapa dia mau berbagi tempat tidur sama Papa"
"Mama gak usah banyak pikiran deh..."

"Sabar yaa Paaa..."

"Iya, Aku sebagai suami emang harus begitu..."
"Yaudah, Mama tidur ya sekarang, Papa juga mau tidur nih..."

"Iyaa, yukk..."

Keluarga itu sedang saling mendoakan satu sama lain, bertegur sapa hanya melalui telepon sedangkan sedang berada dalam satu rumah. Nia untuk kali ini harus bersabar dulu karena musti menjauh dari suami dan anaknya sementara waktu. Oleh karena itu, mereka tidak bisa bertemu muka, berkomunikasi menggunakan ponsel masing-masing. Berbeda dengan yang ada di benak Nia, Lukman, dan Ardian. Sebaliknya Pak Rohimin sama sekali tidak memikirkan hasil tes SWAB yang jelang sore tadi hampir menyiksa dirinya. Beberapa kali Ia mengaduh sakit ketika hidungnya dikoyak oleh benda yang menyerupai sedotan kecil.

Lain daripada yang lain, seraya menyambut kantuknya datang, Pak Rohimin justru belum sirna juga pikirannya dari kejadian tadi siang. Tubuh gemulai Nia kecantol di otaknya. Diperparah, alat kejantanannya mulai ikut mikir. Pusinglah Pak Rohimin. Kantuk tak juga nyangkut, batang penis yang lama terkulai, akhirnya bangun juga dengan waktu yang cukup lama. Biasanya hanya sebentar kala melihat sesuatu yang menggiurkan birahi, seperti penampilan wanita seksi di TV atau lewat saja saat berada di luar rumah. Namun ini, menantunya sendiri...

"Uhuk... Uhuk..."
"Sampai tersedak aku, ndak biasa-biasanya batuk begini...", Pak Rohimin menenggak liur hingga tersedak ketika sedang diam-diam membayangkan Nia yang habis mandi tadi siang.


=¥=

No Rekam Medis: 588/321/PCR/ClC
Pasien: Ardian Kurniawan
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, xxxxxx
No. KTP: -
Jenis Pemeriksaan: SARS-COV-2
Hasil: Negatif

No Rekam Medis: 585/321/PCR/ClC
Pasien: Rohimin Danoeredjo
Jenis Kelamin: Laki-Laki
Tempat, Tanggal Lahir: Purwokerto, xxxxxx
No. KTP: -
Jenis Pemeriksaan: SARS-COV-2
Hasil: Positif



BeRsAmBuNg

Kasihan Lukman punya Ayah yg durhaka
 
BAGIAN 4


Untuk pertama kalinya sebelum berangkat kerja, Lukman mampir ke Apotek. Antrean belum ada, malahan dia yang membangunkan petugas apotek yang konon buka 24 jam. Lukman sudah laporan ke kantor bahwa hari ini ia akan datang terlambat karena harus mengurus istri dan ayahnya terlebih dahulu yang Subuh tadi diinformasikan Positif COVID-19. Lukman membaca daftar obat atau vitamin yang dikirimkan via chat Whatsapp oleh Nia. Ia sepatutnya tidak mengetahui jenis obat yang tidak berlabel vitamin. Kata Nia, obat itu adalah antibiotik. Lukman percaya-percaya saja. Lagipula Nia mendapatkan resep itu dari dokter di kantornya.

Ardian ikut bersama Papanya, ia duduk di kursi apotek yang berbanjar-banjar dari depan ke belakang. Ketika Lukman berdiri menghampiri petugas apotek, Ardian memerhatikan televisi yang menyala, kadang-kadang melihat kursi-kursi yang bertanda silang. Ardian memilih ikut bersama Papanya karena ia takut dengan virus yang sudah mengepung rumahnya. Ketakutan itu menguat setelah kakek dan Mamanya jelas terjangkit virus. Ardian bingung bagaimana dengan kegiatan hariannya hari ini. Terlebih, Papanya harus tetap pergi bekerja.

"Kamu yakin obat ini cocok untuk Ayah?", Lukman terpaksa menghubungi Nia karena salah satu obat harus menggunakan resep dokter.

"Aku juga kurang tahu sih, Pah"
"Tapi kebanyakan emang bener banyak dikasih obat itu"

"Ya, aku percaya, masalahnya Ayah cocok gak kira-kira?"
"Aku khawatir obat ini musti hati-hati penggunaannya untuk orang tua"

"Gak tahu deh, terserah Papa aja mau beli apa gak"

"Loh kok jadi gini sekarang"
"Mending kamu sama Ayah di isolasi mandiri di rumah sakit, sayang"
"Aku cemasin kalau ayah bakal kenapa-kenapa kalo dirawat di rumah aja"
"Aku juga gak begitu tahu kebutuhan orang penyakit seperti ini"

"Ih...Mama gak mau Paah dikumpulin sama banyak orang yang statusnya positif semua"
"Kalau kamu takut, ya Ayah aja yang disolasi sendiri di rumah sakit, di sana juga peralatannya kan lengkap andai terjadi apa-apa"

"Pusing deh kalau tahu bakal begini jadinya"

"Kalau menurut Mama ya, Ayah mending diisolasi mandiri di rumah sakit Pa"
"Soalnya kan emang perlu laporan ke dokter juga, lagian kalo mama udah periksa di kantor"
"Dan kata dokternya juga, gapapa isolasi mandiri di rumah"

"Yaudah, nanti Aku coba ngomong sama ayah"
"Berarti obat yang ada aja ya?"

"Iyaa Pahh, oh ya sekalian beli sarapan ya, biar gak bolak balik Papa sama Ardian"

"Iyaa Maaa, nanti Papa beliin"
"Sekarang Papa tutup dulu teleponnya"

Lukman sedikit resah dengan kondisi Ayahnya sekarang. Di satu sisi ia khawatir karena ayahnya terjangkit penyakit yang belum ada obatnya. Di sisi lain, Lukman mengetahui betul kalau Ayahnya sangat malas berurusan dengan dokter pun rumah sakit. Ayahnya terbiasa mengobati diri dengan minum jamu, hampir tidak pernah minum obat, termasuk konsultasi ke dokter. Walaupun kondisi Ayahnya sekarang tidak ada keluhan sama sekali, tetaplah sebagai seorang anak, Lukman takut terjadi sesuatu yang serius pada ayahnya. Selan itu, Setahu Lukman, Ayahnya punya riwayat Prostat.

Belum lagi dengan Ardian. Apa iya tega membiarkan anaknya seorang diri di rumah sementara Ayah dan istrinya sudah positif COVID-19? Kendati Ardian hasil negatif, tetap saja putranya harus dijauhi dari lingkungan virus. Kalau tidak, itu sama saja menunggu waktunya saja Ardian positif terkena penyakit Corona. Kegamangan menguasai pikiran Lukman.

"Habis ini kita kemana lagi, Pa?", tanya Ardian sembari menghampiri papanya.

"Kita cari sarapan dulu yuk, di sekitar sini kalo gak salah ada soto yang enak"

"Iya"

"Kamu nanti pas di rumah, di dalam kamar aja ya"
"Jangan ke bawah dulu"

"Siap aja sih Paah"
"Terus makan siang nanti aku bagaimana?"
"Beli sendiri?"

"Makan siang nanti Papa yang pesenin makan kamu, kayak biasa"
"Eyang nanti biar Mama yang beliin"

"Okelah kalau gitu"
"Papa sendiri mau berangkat jam berapa?"

"Sampai rumah nanti Papa habis nyerahin Obat ke Mama langsung berangkat"
"Kamu makan yang banyak"

"Udah dari kemarin kali..."
"oh iya, CCTV di rumah dibiarin gitu aja Pa?"

"CCTV biarin gitu aja dulu, kan cuman sebagian yang rusak"
"Kita fokus sama kesehatan mama dan eyang dulu"

Tidak jauh dari apotek, Lukman mengajak putranya sarapan bersama, di sana ada gerobak penjual soto ayam yang berdagang dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Pembicaraan orang tua dan anak berlanjut di tempat itu. Ardian banyak bercerita soal keseharian di rumah, dan merasa sedikit bosan. Lukman pun meminta Ardian bersabar karena posisi di rumah sekarang merupakan pilihan terbaik kerana di luar musuh tidak terlihat. Ada pertimbangan juga Ardian diungsikan terlebih dulu, tapi Lukman bingung kemana. Persoalannya kalau sampai Ardian ikut-ikutan sakit, kian berputar-putar otak Lukman mengurus keluarganya.



=¥=





Di halaman belakang rumah pagi hari, Nia dan ayah mertuanya sedang menunggu Lukman dan Ardian tiba. Udara pagi yang segar, ditambah taman dan pepohonan yang rimbun melupakan kepenatan bahwa mereka berdua sedang menderita penyakit berbahaya.

"Alaah ini penyakit masuk angin biasa"
"Ada-ada aja orang sekarang, cuma batuk-batuk sedikit dikira apa itu tadi..." "COLORNA"

"CORONA, Ayah"

"Terserah apa sajalah"

"Yang Ayah rasa sekarang bagaimana?"
"Batuk-batuk aja? Pilek dan demam, enggak?", Nia sedang menemani Ayah mertuanya duduk di belakang rumah, seraya menghirup udara segar pagi.

"Batuk-batuk sedikit, belikan aku tolak angin saja"
"Sebentar juga sembuh"

"Tapi loh, hasil tes SWAB nya ayah positif"

"Iya Aku tahu, tapi yang bisa merasakan keadaan tubuhku toh, aku sendiri"

"Ayah nanti jangan keluar-keluar rumah dulu ya"
"Karena penyakitnya kan nular, jadi di rumah aja dulu selama 2 Minggu"

"2 Minggu Aku dekem di rumah??!! Ngawur! Bisa stres Akuh, Nia"
"Ya gak bisa lah selama itu..."
"Makin aneh saja sekarang, orang sakit diperlakukan seperti anak ayam"

Nia banyak bersabar menghadapi Ayah mertuanya. Terhitung nafas keluar masuk memburu. Jengkel batin Nia. Ia tak tahu bagaimana lagi cara memberi tahu Ayah mertuanya yang sedang duduk di kursi bambu sambil bersila kaki. Sungguh betapa mematikannya penyakit yang sedang diderita oleh mereka berdua. Nia jadi lebih memerhatikan kondisi ayah mertuanya. Apalagi usia Ayah mertuanya tergolong yang harus mendapatkan perhatian lebih, penanganan medis yang tak bisa dilakukan di rumah jelas-jelas diutamakan. Nia memikirkan andai kondisi ayah mertuanya memburuk menyongsong hari ke depan yang tidak diketahuinya bakal seperti apa. Pertolongan yang terlambat tentu yang paling tidak diharapkan oleh Nia.

Di balik sifat keras kepalanya pagi ini, Pak Rohimin girang betul ditemani Nia ngobrol berdua. Ia ingin mempersilakan Nia duduk di dekatnya sembari daritadi menantunya itu berdiri di dekat pintu yang menghubungkan rumah dengan halaman belakang. Namun, Pak Rohimin agak ragu. Ia khawatir Nia jadi berpikir yang bukan-bukan terhadap maksudnya, lebih-lebih kursi bambu panjang yang didudukinya juga tidak terlalu besar. Beberapa saat kemudian Pak Rohimin mengubah posisi duduknya. Ia jadi duduk bertongkak lutut. Sarungnya digerai betul-betul agar Nia tak menyadari Pak Rohimin cuman mengenakan celana dalam.

"Lukman dan Ardian belum sampai juga? Mereka masih di mana? Ke Apotek saja lama betul"

"Mereka beli sarapan juga, Yah.."

"Owh..."
"Engh... Tolong bikinkan Ayah kopi, Nia"
"Dari semalam ndak ngopi, pusing kepala"

"Kopi? Kopi pahit aja ya, Yah?"

"Tambahin gula sedikit aja lah..."
"Ndak enak terlalu pahit juga..."

"Hemm, yaudah, tunggu sebentar...", Nia pergi ke dapur.

"Pakai gula yang kemarin saja! kata Lukman bagus!"
"Itu bukan gula biasa!", teriak Pak Rohimin memberitahukan.

"Nanti aku coba lihat dulu"
"Masih ada apa enggak"
"..."
"Masih!!"

"Nah, pakai itu ajah!"

Pak Rohimin sempat curi-curi pandangan ke daster yang dikenakan Nia. Motif bagian pinggang ke atas polka-polka, bagian pinggang ke bawah kembang warna warni mendominasi. Keduanya bagi Pak Rohimin sama-sama menarik Bagian atas ia jelas menyadari Nia punya buah dada yang tergolong besar karena bagian daster yang menutupi dada begitu melembung. Kebayang BH yang disentuhnya kemarin. Selain itu bagian bawah, bukan kembang yang membikin lirik mata nakal Pak Rohimin, melainkan paha mulus Nia yang jauh lebih silau ketimbang kembang yang menghiasi motif dasternya. Kebetulan bagian daster paling bawah tidak menjangkau lutut keseluruhan.

"Bisa beneran pusing aku lama-lama begini"
"Kusut pikiran!", Meruyup-ruyup mata Pak Rohimin, digaruk-garuk bagian belakang kepala. Ia mau sosok Nia keluar dari benaknya. Sadar, kalau itu menantu sekaligus istri anaknya.

"Ini yah kopinya"
"Awas, panas...", Nia segera membawakan secangkir kopi panas dengan uap memasap sehingga aromanya sudah terendus oleh Pak Rohimin walau Nia sedang menyeduhnya di dapur.

"Bawa ke sini!", sahut Pak Rohimin.

Nia membawakannya dengan hati-hati, sampai-sampai kedua tangannya memegang kuat cangkir beserta piring kecil sebagai alas. Ketika disajikan di dekat kursi bambu tempat Pak Rohimin duduk melamun, Nia sempat membungkuk untuk meletakkan kopi di dekat Pak Rohimin. Bagian leher dasternya mau tak mau tanpa disadari membikin celah yang menjadi rezeki bagi mata nakal Pak Rohimin.

"Duh Gusti, gedhe tenan susune mantuku inih", mata Pak Rohimin berubah melotot kala kedapatan hal menggiurkan itu. Jakun naik turun sesaat.

"Silakan diminum, Ayah...", Nia beranjak berdiri utuh lagi.

"Iya, makasih..."
"Pasti mantep kopi bikinanmu inih"
"Hehe...", Pak Rohimin mengacungkan jempol, sedangkan minum seteguk pun belum.

"Ah Ayah, bisa aja, tapi pastinya kan masih lebih enak bikinan Mas Lukman"

"Kopi bikinan Lukman emang enak, tapi bosen juga"
"Yang sepertimu kan jarang, sekali-sekali bikin, jelas beda rasanya"
"Hehe..."

"Rada pahit beneran ya, Yah..."

"Iya, ayo duduk sini..."
"Pegel kamu berdiri di situ lama-lama"
"Kita tunggu Lukman sama Ardian", Pak Rohimin menggeser posisi duduknya supaya Nia bisa duduk juga.

"Iyaa"

"Kamu gak bikin minum sekalian?", tanya Pak Rohimin memerhatikan Nia duduk menjuntaikan kaki.

"Aku gampang yah, yang penting ayah dulu aja..."

Pak Rohimin duduk bersama Nia sambil menantikan kepulangan Lukman dan Ardian. Mereka ngobrol banyak hal, terutama masalah penyakit yang sedang diderita. Pak Rohimin sangat senang dengan momen itu. Ia bisa lebih sering memerhatikan Nia, bahkan lebih dekat. Sungguh Ia menyadari memang dirinya perlu pendamping hidup baru sehingga tidak perlu cape-cape bolak-balik Jakarta walau sekadar mengusir sepi di kampung. Bagi Nia, ketakutan akan penyakit virus ini amat berkurang. Ayah mertuanya saja santai-santai saja dan tetap bersemangat walau tidak mengganggap remeh juga. Sebaliknya Nia tidak menyadari bahwa di balik sarung Ayah mertuanya, ada rudal tumpul yang tak duduk justru tegak berdiri merasakan serta menangkap suasana hangat percakapan antara Nia dan Ayah mertuanya.


=¥=

Di antara rumah-rumah yang sudah mulai beraktivitas di pagi hari. Salah satu rumah di tengah-tengahnya masih menyalakan lampu luar, sedangkan rumah-rumah yang lain sudah mematikan. Kendaraan bermotor saja sudah kebut-kebutan di depan rumah. Bahkan, tetangganya mengira yang empunya rumah belum juga bangun dari lelap. Padahal,

"Kamu gak nganterin aku lagi hari ini?"

"Aku masih gak enak badan, yang, kamu tahu sendiri kan aku dari semalem meriang"

"Aku takut kamu kenapa-kenapa, ke rumah sakit yuk hari ini?", ujar Yanti yang sudah rapi mengenakan blazer hitam dan blus merah, bersiap berangkat ke kantor.

"Kalau ke rumah sakit kondisiku seperti ini, pasti dianggap COVID aku"
"Gak usah ah"

"Biar cepet sembuh sayang", Yanti mengelus dahi Heri, menatapnya penuh kasih sayang.

"Kamu belikan aja aku jamu ke tukang jamu yang biasa mampir"
"Bakal lebih mendingan kok"

"Badan kamu masih demam tapinya..."

"Kalau gitu kamu belikan aja aku obat demam lagi di warung, kan aku juga baru minum semalem"

"Masih ada, di atas meja makan"
"kamu makan dulu gih, biar bisa diminum obatnya"

"Nanti aja, lebih baik kamu sekarang berangkat, yang"
"Telat loh.."
"Aku gapapa kok", ucap Heri dari berbaring mengambil posisi duduk selunjuran kaki.

"Beneran?"

"Bener, hayo gih kamu buru-buru berangkat"
"Gak mau aku jadi penyebab kamu telat"

"Yaudah aku berangkat dulu ya, sayang"
"Kamu jangan lupa makan, makan siang nanti kamu angetin sendiri, ada di kulkas", pamit Yanti seraya mencium tangan suaminya.

"Iya, beres!!", Heri menjawab dengan penuh semangat agar Yanti tidak jadi beban pikiran.

Selepas Yanti meninggalkan rumah, Heri kembali berbaring di atas tempat tidurnya. Ia kelihatan pusing sekali. Wajahnya berubah pucat. Beban pikiran yang tidak dicurahkan ke Yanti, menggunung di benaknya. Alhasil, karena sudah tak kuasa menahan nyeri sakit, Heri bangun dari tempat tidur. Ia segera duduk menyantap sarapan yang sudah dibeli oleh Yanti. Ia tak menghabiskan sarapannya, buru-buru minum obat agar sakit kepala dan nyeri sakitnya hilang. Setelah menyudahi hal itu, Heri beranjak duduk mengecek isi ponselnya, berapa banyak chat WA dan panggilan masuk tetapi tidak dijawab dan dibalas. Apalagi kalau bukan soal tagihan utang. Di samping itu, ada soal lain yang lebih berat dan menggelisahkan batin Heri, pada dasarnya pertanggungjawabannya sebagai seorang lelaki.



=¥=


"Musti banyakkin makan, Yah. Lagi pandemi seperti ini"
"Biar sembuhnya cepet juga", Nia mengamati tubuh ayah mertuanya yang tidak berisi. Kekar tapi sedikit daging.

"Kamu juga..."
"Ndak usah pakai diet-diet segala"

"Tapi kalau gak gitu"
"Mas Lukman bercandain aku terus"
"Tambah gendutlah, pipi tembemlah"

"Suamimu itu kan bercanda"

"Bercanda tapi keseringan...", gerutu Nia mengungkapkan ketidaksukaannya kepada sikap Lukman selama ini.

"Hehe..."
"Tapi tadi kamu nasehatin ayah begitu"
"Masa kamu sebaliknya"

"Ayah kan usianya rentan penyakit, jadi biar cepet pemulihannya"
"Kalau aku tetep makan, tapi secukupnya aja"

Tiba-tiba Pak Rohimin berbalik badan, Ia memunggungi Nia. "Tolong tepuk-tepuk punggung Ayah"
"Udah mulai masuk angin sepertinya"
"Lukman belum sampe juga, kemana dia"

"Masuk ke dalem aja yah, di luar lagi banyak angin"

"Gapapa di sini aja, sumpek Ayah di dalam"

Sesuai dengan instruksi, Kedua tangan Nia sigap menepuk-nepuk punggung ayah mertuanya. Nia bisa merasakan kulit punggung yang keras mengalahkan kaos kutang yang halus karena tangannya bertemu tulang. Namun, Nia heran juga Ayah mertuanya tetap bugar dan tegap tubuhnya. Sejatinya Ia pikir ayah mertuanya bakal terkena penyakit tulang seperti bongkok atau osteporosis di kemudian hari. Tak enak dengan posisi tubuh terlalu lama meliuk ke kiri, Nia menaikkan seluruh kakinya ke atas kursi bambu. Ia duduk bersimpuh seraya menepuk-nepuk punggung ayah mertuanya kembali.

"Duh, haduh, nah enak seperti itu"
"Terus..."
"Maaf ya, Ayah jadi merepotkan kamu"

"Gapapa, Yah"
"Gimana? Mendingan?"

"Iya, lebih baik sekarang"

Lalu Pak Rohimin yang tak ingin Nia kelelahan buru-buru berbalik badan kembali. Ia bersila bertemu muka dengan Nia yang bertahan dengan posisi bersimpuh. Nafas Pak Rohimin menderu-deru, mengamati Nia yang sampai detik ini masih nyangkut di pikirannya. Baru ingin melupakan kejadian kemarin, sekarang ia dapat lagi. Kali ini sempat mengintip belahan dada Nia walau sebentar sekali dan kedua paha Nia yang ada dihadapannya jelas tampak. Pak Rohimin berniat betul-betul ingin menikah lagi. Namun, Ia ingin seorang perempuan yang akan jadi istrinya nanti seperti Nia. Akan bahagia sekali hari tuanya.

"Udah?", tanya Nia melihat Ayah mertuanya malah melamun.

"Cukup, cukup...", batin Pak Rohimin secara antah berantah sembunyi-sembunyi dibisikki oleh setan yang menyusup. Perintahnya, adalah mendekap Nia yang ada dihadapannya. Lagipula di rumah sekarang hanya mereka berdua. Kapan lagi menikmati tubuh molek macam itu. Bukankah Alat kelamin di bawah sana lama tak merasai lubang perempuan?

"Kamu mau ditepuk gitu juga ndak?", tanya Pak Rohimin.

"Enggak usah yah, enggak suka juga"

"Apa dipijet aja?"

"Aduh itu lagi, aku gak biasa dipijit", jawab Nia lantas berdiri turun dari kursi.

SIAL! KAMU TELAH MELEWATKAN SESUATU! BODOH! KAMU MAU MENUNGGU KESEMPATAN KAPAN LAGI?! Begitulah kata-kata setan memisuh batin Pak Rohimin. Syukur saat itu Pak Rohimin mampu mengendalikan hawa nafsunya.

"Nia pamit ke dalem dulu ya...", tutur Nia meninggalkan Pak Rohimin.


=¥=

Ardian tiduran di dalam kamarnya yang berada di lantai dua. Saat ia ingin memejamkan mata sejenak, menunggu waktunya mandi, terdengar perseteruan antara Eyang dan papanya. Gaduh sekali. Adu mulut itu menghalau kantuk Ardian yang didambakannya segera datang karena Ardian tak mau prosesi sekolah daringnya dilakukan saat ia masih sedang kelelahan seperti ini.

"Kamu kan sudah tahu, Ayahmu ini ndak pernah mau punya urusan dengan dokter!"
"Sekarang kamu tiba-tiba maksa ayah pergi ke dokter! Bah!"

"Ayah, ini masalahnya karena penyakit ini belum ada obatnya, kalopun udah, gak akan aku suruh-suruh ayah"
"Jadi kita ini perlu penjelasan dokter dulu, sebaiknya ayah dirawat di rumah sakit atau di rumah aja"
"Ayolah, Yah"

"Ndak ada, Ayah gak mau"
"Kamu aja yang ke dokter wakilin ayah"

"Ayah, aku mohon yah"
"Untuk kebaikan ayah juga, aku gak mau ayah kenapa-kenapa"

"Kamu sekarang lihat kondisi ayah kan?lihat kan?"
"Ayah gapapa kan? Ayah masih bisa bergerak-gerak"
"Nih, nih..", Pak Rohimin menggerak-gerakkan kaki dan tangannya dengan aktif, kemudian meliukkan kepala seolah mau menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.

"Susah emang ngomong sama Ayah"
"Huh..."

"Udahlah, kamu ndak usah khawatirin soal ayah, ayah baik-baik aja"
"Mending kamu sekarang buruan berangkat kerja"

"Serah ayah deh, tapi kalau ada apa-apa hubungin aku.."
"Jangan lupa jamu yang aku beli diminum", pesan Lukman yang berbicara dengan ayahnya menggunakan masker beserta faceshield (pelindung muka).

"Kalo itu beres, pasti ayah laksanakan", Lukman berpindah dari tempat duduk di halaman belakang rumah menemui istrinya yang berada di kamar. Nia sedang berdiri memilah-milah obat yang baru saja dibeli oleh Lukman karena ada obat yang khusus buat ayahnya dan ada yang buat Nia. Diam menunggu istrinya dari jarak dua meter, barulah Lukman lekas berpamitan.

"Udah semua kan? Ada yang kurang?"

"Cukup, tapi ayah bagaimana?", tanya Nia yang menguping perseteruan antara suami dan ayah mertuanya.

"Kamu lihat dan denger sendiri kan?"
"Ya begitulah, aku sekarang cuma bisa titip dan tolong urus ayah"
"Kalau ada apa apa ya kamu bisa kontak aku"

"Hmmm, Papa jangan banyak pikiran ya"
"Tadi aku sempet ngobrol sama ayah, kayaknya emang dia bakal baik-baik aja"
"Kamu mikirnya jangan terlalu berlebihan gitu"

"Kalo ayah gak punya riwayat penyakit, gak akan aku maksa dia dirawat"
"Kamu tahu sendiri riwayat prostat ayah gimana..."

"Sekarang kamu maunya gimana? Di rumah aja dulu? Atau?", Nia berusaha tetap tenang.

"Kalau gak banyak kerjaan, pasti aku izin gak masuk hari ini"
"Ya mau bagaimana lagi..."
"Maafin aku yaaa..."

"Iya, yaudah karena kamu mau berangkat kerja, kerjanya yang semangat, ya.."

"Iya, tentunya, oh ya nanti makanan untuk ardian biar aku yang pesen"
"Kamu sama ayah jangan deket deket Ardian dulu, aku juga udah ngomong sama Ardian supaya dia bisa paham sama kondisi keluarga kita"

"Kasian, iya pasti aku patuh kata kata kamu, Paa"
"Ayah nanti aku masakkin aja, karena belanjaan dapur di kulkas juga masih cukup"

"Okelah jika kamu bilang baiknya begitu, aku berangkat dulu"

"Hati-hati yaa Paaah"



BeRsAmBuNg



































































































Kasihan Nia bakalan jadi mangsa mertuanya
 
Bimabet
BAGIAN 5

"Ayah, ini obat sama vitaminnya ya, itu di plastiknya sudah ditulis minumnya berapa kali sehari"
"Semuanya sesudah makan", Nia menemani ayah mertuanya sarapan di meja makan. Ia sedang menyerahkan sekantong plastik obat dan vitamin ke ayah mertuanya.
"Ini Maskernya ya, Yah"
"Dipakai, supaya Mas Lukman dan Ardian gak ikut ketularan.


"Tolak Angin jadi dibeli?"
"Aku mau minum itu dulu, yang lain belakangan saja"


"Ada di dalam plastik, yah"


"Oh, yaudah, biarkan, nanti aku minum"
"Kamu ndak makan?", tanya Pak Rohimin selagi mengunyah sebungkus nasi kuning.


"Belum, mau mandi dulu"


"Ayo buru makan dulu, itu matahari udah turun"
"Habis makan, kita jemur, biar virus itu mati"


Nia kaget dengan ucapan ayah mertuanya. Di balik sifat yang awalnya Nia kira meremehkan penyakit yang sedang dideritanya ini, ternyata Ayah mertua Nia mengetahui cara umum mengatasi problem virus secara tradisional. Di antaranya berjemur di bawah sinar matahari saat pagi.


"Iya Ayah", Nia menarik kursi, sebelum duduk Ia melepaskan Sweater sejenak karena suasana menghangat seiring pagi menyongsong siang.


"Ardian di mana? Udah sarapan belum?"


"Ada di kamarnya, sepertinya dia tidur lagi pulang dari apotek"
"Barengan sama Mas Lukman sarapannya, yah", Nia memulai sarapan.


"Kalo aja ini penyakit ndak dianggep macem-macem, Ardian ndak perlu takut-takut"
"Weleh-weleh, makin hari makin banyak penyakit aneh saja"


"Ayah kalo mau jemur duluan, silakan yah"


"Barengan sama kamu aja", jawab Pak Rohimin begitu bersemangat setelah melihat Nia melepaskan Sweater. Kini, ia baru bisa mengamati dengan jelas postur tubuh menantunya yang seksi dan berisi, karena lengan Nia yang berlemak terbentang menggantung. Ketiaknya pun mudah dilirik saat Nia menggunakan salah satu tangannya untuk makan.


"Gapapa yah duluan, aku kan juga baru mulai makan"
"Keburu mataharinya ketutup awan"


"Nanti saja, Ayah juga nunggu makanan turun ke perut
"..."
"Engghh Nia, kalau Ayah boleh tahu, itu Ardian gak ada rencana dikasih adik?"
"Ayah suka kasian, di rumah jarang diajak omong"


"Susah bagi waktunya juga, yah. Mas Lukman kerja, akunya juga kerja"
"Urus rumah aja sama Ardian kita udah lumayan kerepotan", Nia melahap nasi kuning dengan lauk telur.


"Seharusnya Lukman saja sudah cukup, anakku itu coba saja mau dengar kata Ayahnya"
"Kamu makan yang banyak, Nia"
"Ndak usah didenger kata orang, wong badanmu sekel begini"
"Heuheu", Pak Rohimin mendekati Nia yang tengah asyik mengunyah.
Ditatapnya tajam-tajam Nia yang kini lebih menggiurkan dilihat karena lebih dekat. Sedangkan Nia tak sadar tatapan Ayah mertuanya sudah beda. Dirinya tak menyadari akan diterkam.


"Iya, Aku gak mau terlalu pusing soal itu"
"Capek sendiri..."


"Yowes, kamu nyusul ya?" Awas ndak nyusul"
"Mosok Kamu yang ngingetin Ayah, malah kamu yang beda sendiri"


"Iya, nanti habis beres sarapan, aku juga jemur kok"


"Baiklah, Ayah ke belakang duluan", Pak Rohimin berjalan ke arah halaman belakang tempat biasa Ia duduk santai di kursi bambu kesayangannya. Akan tetapi, Sinar matahari jatuh agak ke pojok dekat dinding pembatas rumah. Tak ambil pusing, Pak Rohimin lalu memindahkan kursi bambunya ke tempat di mana sinar matahari berada. Ia lalu melepas kaos kutangnya, barulah duduk menjemur bagian depan tubuhnya yang sedikit berbulu di bagian tengah hingga menjulur ke arah perut.


Kendati sinar matahari memancarkan seluruh cahayanya ke tubuh Pak Rohimin, justru yang sedang kepanasan adalah 'rudal' di balik sarung.


"Wedus! harus bagaimana ini?!"
"Si burung ndak mau diajak kalem dikit" Pak Rohimin sedikit menyesali kesempatannya tadi pagi. Ia makin bernafsu setelah melihat Nia yang sekarang. Ia belum mau menyerah. Akalnya terus berputar memikirkan cara. Malahan diam-diam Ia mencopot celana dalam yang dikenakan. Sungguh tak ada yang tahu apa yang direncanakan Pak Rohimin.


Di ruang makan, Nia yang sedang dipikirkan dan ditunggu oleh Pak Rohimin, dikira sarapannya bakal lebih lama justru hampir selesai. Ia tak mau kalah semangat dengan ayah mertuanya yang sudah berjemur badan lebih dulu.


"Niaa! Mana kamu ini?! Katane mau ikut jemur?!


"Iya, sabar yah! sebentar lagi"


Mendengar sahutan ayah mertuanya, Nia lekas buru-buru membereskan sisa makan paginya. Selesai minum dan menaruh piring-piring di dapur, Nia kemudian pergi menyusul ke halaman belakang.


"Jemurnya di sini! Ndak ada matahari di situ!"


"Terang banget mataharinya!", ujar Nia menghampiri Pak Rohimin.


"Yang begini yang sehat, ayo duduk di sini", Pak Rohimin bergeser sedikit, kembali memerhatikan daster yang Nia pakai sekaligus mempersilakan Nia untuk duduk. Ketika Nia sudah berada di sebelahnya, Setan hadir kembali membisikki batin Pak Rohimin.


AYO BURU SIKAT INI!! MAU KEHILANGAN KESEMPATAN LAGI LUH!!!


"Jangan keluar rumah dulu ya, yah"


"Iya, aku nurut aja ndak keluar rumah, asalkan makan tetep dibeliin yo"


"Makanan nanti Nia yang urus, ayah fokus aja ke kesehatan Ayah"
"Mudah-mudahan pas dua minggu lagi udah negatif hasil kita berdua"


"Aaamiin"
"Oh iya, susumu gedhe juga ya? Turunan ibumu?"
Kembali tatapan liar mata Pak Rohimin menyorot tubuh Nia.


"Hehe engh, iya..."
"Katanya sih begitu, Aku juga kurang begitu tahu, yah"
"Cuma bisa syukurin aja"


"Woalah, montok banget kamu, Nia"
"Ckckck", geleng-geleng Pak Rohimin.


"Hehe, Ayah bisa aja"
"Oh ya, maafin Nia ya"
"Kalau bukan karena Nia, mana mungkin Ayah jadi ikut-ikutan kena penyakit ini"


"Nah! Nah! Kamu jangan berpikiran begituh!"
"Penyakit yang menimpa kita toh udah diatur sama yang di atas"
"Memangnya pas lagi ndak enak badan, lah kena virus"
"Kamu ndak salah nia, ndak salah", ucap Pak Rohimin menenangkan Nia.
Nia lantas terpesona dengan ucapan ayah mertuanya. Hilang rasa bersalahnya. Nia tak menyangka meski usia tak lagi muda, tapi Pak Rohimin masih punya keyakinan hidup yang kuat. Nia merasa kalah semangat.


Ia lalu memandangi Pak Rohimin yang tubuhnya mulai basah dengan keringat. Peluh membasahi sekujur tubuh ayah mertuanya itu, tak terkecuali Nia sendiri. Dasternya sudah lepek, tak tahu sampai kapan akan selesai berjemur ini.


"Makasih ya, Yah"
"Tapi Ayah emang bener gak mau dirawat?"
"Kan gratis, perlengkapan di rumah sakit juga jauh lebih lengkap"


"Ndak perlu, ayah minum jamu sama yang dibeliin Lukman inih sembuh kok"
"Kan ada kamu juga yang nemenin di sini"
"Hehe...", Pak Rohimin tiba tiba dengan penuh keberanian merangkul pinggang Nia. Mulanya sedikit risih, Nia mengira hal itu wajar saja selayaknya orang tua dengan anak.


"Ayah udah keringetan tuh"


"Kamu elapin dong, jangan dilihat aja", ucap Pak Rohimin seraya menyerahkan kaos kutangnya.


"Ayah ini, sudah berumur, masih aja manja"


Tak ada rasa jijik, Nia terkagum saat mengelap keringat di badan ayah mertuanya. Masih kokoh saja tulang ayahnya sejatinya hidup tak ada yang mengurus di kampung. Entah bagaimana dan siapa yang akan mengurus jika ayah kandung suaminya ini memilih menghabiskan masa tua di kampung. Lebih-lebih saat sakit seperti ini.


"Nia?"


"Iya, Yah?, Nia menatap wajah Ayah mertuanya. Mereka berpapasan.


"Tolong bantu Ayah, sayang", Pak Rohimin lalu mengendorkan sarungnya. Menyeruaklah di hadapan Nia, batang penis Pak Rohimin yang sudah mengeras. Kelamin berkulit coklat tua itu meliuk ke atas. Nia terkejut.


"Ayah ih! Ngaco!"


"Ayo sayang, tolong Ayah"
"Sekali ini saja"


"Gak mau!", Nia memalingkan muka. Dia ingin buru-buru pergi, tetapi salah satu tangan ayah mertuanya menahan pundaknya.


"Dihisap aja, atau kalau kamu tidak mau, tolong dikocok"
"Ayo Nia!"


"Ihh ayah tangannya jangan pegang-pegang"


"Ayah penasaran sama susu kamu", tangan Pak Rohimin yang tadinya memegang pundak Nia, berusaha meraba payudara Nia.


Nia memang terlanjur geram, sebaliknya dia harus akui dirinya berhasil dibuat bergairah oleh Ayah mertuanya. Diamati benda tumpul milik ayah mertuanya. Ayah mertuanya sepertinya punya nafsu yang lebih besar ketimbang Lukman. Nia yang belum disentuh tiga hari belakangan, rasanya tak mungkin menuntut nafkah batin dari Lukman selagi dirinya masih menderita penyakit virus ini. Apa salahnya sekali ini saja ia memberi jatah kepada Ayah kandung dari suaminya. Lagipula Nia yakin hal itu akan berlangsung sebentar. Nia juga telah KB spiral, terkesan aman.


Tapi Nia berusaha melawan, Ia hanya sekadar mau membantu ayahnya klimaks saja. Tangan Nia mulai memegang batang penis ayah mertuanya. Dikocok oleh Nia tanpa diperhatikan.


"Ohhh, enak mantuku sayang"
"Teruskan..."


"Kenapa keras banget kontol ayah"
"Paaah, tolong Mama...", gumam Nia. Sinar matahari kian naik ke atas, berpindah menyinari bagian halaman belakang yang lain.


"Agak cepat, sayang"
"Ohhh...."
"Kenapa mujur betul Lukman bisa dapat bini seperti kamu", Pak Rohimin tak puas Nia hanya mengocok penisnya. Didesak menantunya itu untuk mengemut. Akan tetapi, Nia menggeleng-geleng. Pak Rohimin terus memohon agar dituntaskan. Kembali Nia menolak. Pak Rohimin kehabisan kata-kata. Ia kecewa tidak punya jalan lain lagi.


"Yowes, Ayah selesaikan sendiri saja", ucap Pak Rohimin bangkit berdiri, membetulkan sarung ala kadar. Ia berjalan meninggalkan Nia yang memerhatikan dari belakang dan masih shock dengan apa yang baru dilakukan. Kemudian beberapa menit kemudian Nia berjalan mengendap untuk mencari tahu kemana ayah mertuanya.


"Ini gara-gara kamu, anak gemblung!"
"Ayah jadi susah melampiaskan birahi!"
"Ohhhh..."


Nia menemukan Ayah mertuanya berada di kamar mandi. Tanpa sengaja pintunya lupa ditutup. Ayah mertua nia benar menepati janji, yakni menuntaskan birahi sendirian. Nia pun jadi merasa bersalah lagi. Setelah menulari virus ke ayah mertuanya, Nia beranggapan ayahnya jadi bernafsu karena dirinya. Juga salah suaminya yang tak memperkenankan Pak Rohimin menikah lagi. Nia menimbang-nimbang apakah gerangan yang dia akan lakukan. Diam saja atau.. Nia baru ingat ayah mertuanya punya riwayat prostat. Aduh! Galau jadinya Nia...


Lalu Nia bergerak ke lantai dua, ia mengecek situasi kamar Ardian dan dilihatnya Ardian dalam kondisi terlelap. Tidak lagi mematai ayah mertuanya, Nia malah masuk ke kamar ayah mertuanya.


"Ayah! Ayah!". Suara nyaring Nia membuat Pak Rohimin tergesa-gesa keluar kamar mandi, khawatir terjadi sesuatu pada menantunya. Pak Rohimin kembali mendengar Nia memanggil dan ternyata berasal dari dalam kamarnya. Ketika lekas masuk ke dalam untuk memeriksa,


"Niaa?!!! Apa yang kamu lakukan?!!", Menganga mulut Pak Rohimin. Wajah yang awalnya penuh kegetiran menjadi sumringah. Nia berbaring telanjang di atas tempat tidurnya.


"Jangan main sendirian dong, yah..."
"Nia pengen ditemenin.."
"Aaahhh...."


"Kamu seriusan ini?", Pak Rohimin tak sepenuhnya percaya bahwa di hadapannya sekarang Nia sedang mengusap vaginanya sendiri.


"Buruan Yah, mumpung Ardian masih tidur"
"Sini cepet!"


"Kamu inih!", Pak Rohimin tersenyum. Lalu ia meletakkan sarungnya di sembarang tempat. Dengan kondisi telanjang bulat, Ia lompat naik ke kasur menghampiri menantunya.


"Kamu masih punya hutang sama ayah, ayo dihisap inih"


"Masih keras aja yah..."


"Sebelum masuk ke memek kamu, gak kan lemes dia"


"Umppphhh", tak berlama-lama Nia lantas mengulum penis Ayah mertuanya. Bibirnya maju mundur supaya batang penis ayah mertuanya basah, bahkan kalau bisa segera klimaks.


"Ohhhh, beneran enak mulutmu", Pak Rohimin mendorong-dorong penisnya ke mulut Nia agar nikmatnya bisa tambah pol. Berlomba dengan waktu, Nia menyudahi menghisap penis ayah mertuanya. Ia lalu berbaring, berharap ayah mertuanya segera penetrasi. Kedua paha Nia pun membuka lebar-lebar.


"Ayahhhh, buruan dimasukkin..."
"Keburu, Ardian bangun, terus nanti ayah ngambek lagi"


"Ohhh, hehe"
"Udah sange juga ya kamu, mantuku sayang"


"Aahhh iya, udah kepengen dientot kontol ayah yang keras ituh"
"Buruan yaah...", Nia mengusap liang vaginanya yang semakin becek.


"Dia dataaanggg sayaaaang...", Pak Rohimin mengarahkan ujung penisnya ke vagina Nia.


"Aaaaaaaahhhhhhhhh..."
"Masukin semuanyaaaaaah"


"Ohhhhhhh, ueeenaaak memekmu!", Pak Rohimin berhasil membenamkan seluruh alat kejantanannya ke liang vagina Nia. Ia diamkan sebentar seraya mulai mengumpulkan tenaga untuk memggenjot menantunya itu. Nia tak berdaya. Yang diinginkannya segera adalah Ayah mertuanya agar buru-buru selesai sebelum ada yang mengetahui perbuatan mesum keduanya.


"Uhhh..."
"Bisa juga akhirnya aku entot kamu, sayang"


"Aaahhh, ayah kenapa bisa nafsu sama Nia?"


"Kamu sih makanya jangan kelupaan BH terus, handukkan pula jalan ke kamar"
"Uhhhh, rasakan ini"


"Aahhhhhhh.....", Nia menjerit karena Penis Pak Rohimin mempercepat lajunya dalam vagina nia.


"Sekarang juga ayah bisa hisap susumu sayang"
"Sruppppttttt....."


"Aaaaahhhhhhhh, ayaaahhhh"


"Dua minggu ke depan, ayah minum susumu ini saja yakin bisa sembuh"
"Hehe..."


"Ayaaahhh, aku mau keluarrr!"
"Bareng yah...."


"Orghhhhh, ayooooh, ayah mau merasakan semprotin pejuh di memekmu, Nia", Pak Rohimin dan Nia menyongsong orgasme mereka berdua. Tubuh mereka bermandi peluh sampai lupa kalau mereka sejatinya sudah berkeringat saat jemur di pagi hari.


"Ayaaaahhh!! Ahhhhhhh..."
"Niaaa keluarrrrrrr"
"Aaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh"


"Ohhhhhhh, rasakan ini sayangggg"
"Crootttttt crotttttt....", Mengejang hebat tubuh Nia dan ayah mertuanya.


=¥=​





"Berangkat sendiri lagi Neng Yanti?"


"Iya nih, Pak"


"Bapak anter aja yuk"
"lagi sepi penumpang juga akhir-akhir ini"
"Bayarannya terserah kamu aja"


"Wah gak perlu repot-repot"
"Udah terlanjur mesen ojek online nih"
"Hehe..."


"Owalah kok gitu"
"Hayuk biar bapak anter aja"
"Bayarnya bisa nanti-nanti, hayuk, hayuk..."


"Lain kali aja Pak, maaf yaa"
"Kasian juga driver ojek onlinenya udah deket..."


"Hmmm, baiklah kalo begitu"


Setelah keluar dari rumah dan berpamitan kepada Heri, suaminya, Yanti menunggu ojek online yang akan mengantarnya ke stasiun. Yanti tinggal di daerah Bekasi, apabila menggunakan ojek online dari rumah ke kantornya, tentu tarifnya akan membengkak. Oleh karena itu, ia harus ke stasiun dulu kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Kereta Api Listrik. Baru pesan ojek online lagi untuk menuju kantornya di Jakarta. Padahal, sebelum-sebelumnya suaminya yang rutin mengantar langsung ke kantor selagi sama-sama berangkat kerja. Sayangnya, akhir-akhir ini, semenjak di-PHK, Heri sungguh malas-malasnya karena sedang terbelit masalah besar tanpa sepengetahuan Yanti. Di sisi lain, ketika Heri sedang malas-malasnya itu, tetangga depan rumah Yanti, Pak Ngadimin, berprofesi sebagai ojek pangkalan (OPANG). Ia biasanya menawarkan jasanya ke Yanti saat Heri tidak bisa mengantar atau lagi sepi penumpang. Akan tetapi, Yanti jujur sedikit keberatan dan tak enak apabila sering menggunakan jasa opang Pak Ngadimin, disebabkan lelaki itu kerap menyerahkan soal tarif seikhlasny kepada Yanti.


Di lain hal, Yanti juga tak enak dengan istri Pak Ngadimin, Mak Ida. Meski Pak Ngadimin dan Mak Ida sudah usia kepala lima dan punya anak tiga, Yanti pernah ditegur oleh istri Pak Ngadimin, andai suaminya menawarkan jasa opang ke Yanti sebaiknya ditolak saja. Yanti pun memaklumi sikap yang rupanya cemburu tersebut karena tidak bisa dipungkiri perawakan dan postur tubuh Yanti menarik mata lawan jenis, kalah telak Mak Ida. Lagipula Yanti dianugerahi paras yang cantik dan mengundang decak kagum, eits birahi!


"Pak Ngadimin, mari saya duluan..."


"Iya Neng! Hati-hati!", sahut Pak Ngadimin. Ia tampak kecewa dan heran mengapa Yanti jadi tidak pernah lagi menggunakan jasa opangnya. Apakah karena ia bau. Pak Ngadimin sangat jelas membantah. Sebelum cari rezeki pastinya ia mandi dulu dan tidak pernah lupa mengenakan parfum bawaan. Apa karena ia mata keranjang? Itu yang patut dibenarkan. Pak Ngadimin tidak akan menyangkal hal itu. Membawa penumpang perempuan seperti Yanti kepercayaan dirinya meningkat berlipat-lipat. Dikira punya istri muda, sejatinya malah disangka bawa anak.


"Pak, tolong anter saya", tiba-tiba seorang pemuda menyapanya.


"Kemana?"


"Terminal..."


"Oke siyaaphhh!!!"
"Bentar, itu apa?", Pak Ngadimin menunjuk ke arah gelang yang terkalung di tangan si remaja.


"Gelang anti Corona, Pak"


"Ah yang bener luh?!"
"Masa virus bisa takut sama gelang"


"Udah Pak, nanti aja ceritanya, saya lagi buru-buru"


"Owh iyak maap, maap..."
"Yuk naik...."
"Nih helmnyaa"


Di sisi lain, Yanti dalam perjalanan menuju stasiun gregetan ingin menghubungi Nia, kakak iparnya perihal sikap Heri akhir-akhir ini. Jauh-jauh hari Yanti sudah berniat mengabarkan. Ragu-ragunya, Yanti pernah diingatkan Heri agar tidak sesekali menceritakan persoalan rumah tangga ke Nia beserta keluarganya. Maka, kesabaran lebih sering menjadi pertahanan terakhir Yanti ketika Heri acap bersikap menjengkelkan. Dia yang mencari uang sekarang, tetapi Heri seakan tidak sadar diri posisinya sebagai seorang suami. Yanti paham suaminya baru dipecat, tetapi bukan berarti dipecat itu membuatnya jadi ogah-ogahan juga. Lama-lama menguras hati sikap suaminya, pikir Yanti.


Di balik itu semua, Yanti belum tahu kesalahan berat apa yang telah dilakukan oleh Heri. Baik itu hutang hingga hal yang pastinya membuat rumah tangga Yanti bakal goyang. Sebaliknya Heri, tidak tahu penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Yanti setelah menikah. Seingat Heri, Yanti jauh lebih nakal darinya. Bahkan Heri ketika menikahi Yanti, ia harus menerima Yanti apa adanya bahwasanya calon istrinya itu sudah tidak perawan lagi. Heri tidak protes. Bagaimanapun sebelum menikah juga ia sudah merasai bersetubuh dengan Yanti. Jadi dia diam. Di sisi lain, Yanti pernah berkata kepada Heri bahwa dia ingin merasakan disetubuhin oleh lelaki lain. Heri tak kaget, walau menganggap hal tersebut guyon. Heri sadar Yanti sering jadi bahan imajinasi pria.


BeRsAmBuNg

Gara2 pak Rokhimin yang mesum, jadi ikutan ngaceng nih
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd