Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Nafkah bathin mbak Rahmi

Nafkah bathin mbak Rahmi - bag. II



"Besok finalisasi kontrak-nya langsung dibahas aja bray!" ujar seseorang dari ujung telepon.

"Iyalah... mau kapan lagi. Udah mepet banget waktu kita ini" jawabku menimpali.

"Ok deh, thank you yah bray, gut lak" jawab orang ditelepon itu menyudahi percakapan.

"Ok ok," jawabku langsung menutup telpon.

Dari dalam sebuah kamar hotel di tengah kota S ini, aku coba mempersiapkan pekerjaanku esok hari. Gimanapun aku datang kesini kan untuk pekerjaan ini, pikirku.
Orang yang kuajak berbicara di telepon barusan adalah salah satu dari timku, memastikan rencana yang akan kami lakukan esok hari. Khususnya kegiatanku di kota ini.

Ngga kerasa sudah jam 11.20 malam, aku baru benar-benar kelar mengatur keperluanku untuk esok hari.
Kurebahkan badanku ke kasur empuk kamar hotel. Sambil menatap langit-langit, aku teringat peristiwa-peristiwa yang baru saja kualami. Peristiwa di kandang kambing.
Ada banyak emosi mengingat peristiwa itu.
Sesal. Betapa rendahnya aku sebagai manusia. Aku memang belum baik. Jauh dari baik. Tapi aku seharusnya ngga sebejad itu.
Malu. Dimana mukaku nanti sekiranya orang lain tau. Bagaimana aku bersikap terhadap Lilis? Bagaimana perasaanya? Bagaimanapun dia punya harkat dan martabat. Faktanya ia sudah berumah tangga. Istri sah orang lain.
Marah. Takut. Bodoh.

Namun diantara pikiran-pikiran yang berkecamuk tersebut, masih ada perasaan lain di pojok sana. Perasaan yang bertolak belakang dengan perasaan-perasaan tadi. Perasaan alamiah. Perasaan pemberontakkan. Perasaan jujur?
Ada sekelumit rasa nyaman, saat kuingat-ingat lagi peristiwa itu. Adalah Lilis yang terngiang-ngiang di pikiran. Senyumnya. Parasnya. Bicaranya. Dan pastinya, lekuk tubuhnya. Apa mungkin aku baper? Ahhhh..... udahlah masih banyak perempuan cantik diluar sana, pikirku dalam hati membuang jauh-jauh pikiran-pikiran tak benar ini.

Oh... iya, gimana dengan permintaan si Ibu tadi. Ibu Tuminah.
Ah palingan si Ibu itu kurang kerjaan aja kali. Ya kali, urusan jual-beli kambing sama kantor dibebanin ke gue. Staf rumah tangga bukan, pengurus mesjid kantor bukan, apalagi pimpinan kantor, bukan.

Ibu Tuminah punya dua ekor kambing yang ia titipkan ke pak Rustam. Tiap tahun, menjelang idul kurban, kambing-kambing peliharaan pak Rustam dititipkan ke pak Amin untuk dibeli oleh pengurus mesjid kantor.
Saat ini si Ibu sedang butuh uang katanya, segera. Dan ia tahu aku datang dari kantor yang sama dengan pak Amin bekerja. Serta tahu selama ini kemana kambing-kambing peliharaan pak Rustam dijual. Mudah dan sepadan harganya. Begitu kira-kira pikirnya.

Karena keluarga pak Rustam sedang berduka, ia enggan untuk berkonsultasi lebih dulu. Modalnya hanya yakin, sangat yakin aku bisa menjadi solusi keuangannya.
Saat itu ia berbisik menawarkan kapan kambing bisa diturunkan untuk dimasukkan ke mobil yang kubawa ke lokasi kediaman.
Bagai petir menyambar, gila kubilang. Udah sakit jiwa kali nih ibu-ibu. Sekonyong-konyong aku mesti bawa kambing ke mobil, minta uang pula dia.
Setelahnya kubilang apa maksudnya ini? Dan ia menjawab seperti diatas, tentu dengan keyakinannya yang ndableg. Makanya aku lari terbirit-birit mengelak, menghindar dari si Ibu.

----------

Sudah jam enam lebih saat ku keluar dari teras hotel untuk bergegas ke parkiran mencari kendaraan yang akan kutumpangi ke client pagi itu. Aku memang menginap di hotel melati, jadi ngga ada yang namanya bellboy yang bisa kumintai tolong untuk urus-urus masalah mobil, hehehe...
Di dalam mobil, agak lama aku berkutat mencari sesuatu. Voucher parkir. Parkir disini memang gratis untuk tamu, aku hanya perlu menunjukkan vouchernya saja.
Dimana aku taro semalam ya? Kurogoh-rogoh saku pakaianku, ngga ada. Di dalam ranselku pun ngga ada. Maka ku cari ke tiap sudut di dalam mobil saat itu.
Saat kuperiksa bagian dasbor, ada beberapa lipatan-lipatan kertas disana. Kusisir satu persatu dengan membuka lipatan tiap-tiap kertas. Beberapa diantaranya malah iseng kubaca.

"Buat Ibu, kak Rafa, kak Billa dan adek Sifa. Ayah minta maaf, Sabtu besok kita belum bisa jalan-jalan ke Dufan. Ayah janji, entar kalau Ayah udah sembuh, kita semua jalan-jalan ke Dufan. Kakek sama nenek juga entar kita ajak.
Buat Ibu, kalau mau ke kontrakan Ayah, buatin sayur kangkung. Ngga usah sama nasinya."

Ini apaan...... coba? Segala ada tulisan begini di mobil operasional. Yang kagak-kagak aja. Pikirku dalam hati setengah tergelitik.

Pada saat itu aku belum sadar, tulisan yang baru saja kubaca ini merupakan tulisan yang ditulis alm pak Amin untuk keluarganya, untuk istrinya, mbak Rahmi. Masih ada sepenggal paragraf lagi sebenarnya yang sudah tidak bisa terbaca karena adanya coretan-coretan, mengindikasikan tulisan ini semacam draft, atau belum rampung ditulis.

----------

Badan lusuh, raut lelah dan tenaga sudah tinggal sisa-sisanya, manakala aku membuka kamar hotel. Dengan jinjingan ransel di satu tangan, kumasuki ruang kamar gontay. Suara adzan terdengar sayup-sayup dari dalam. Iya, itu adzan maghrib. Dan iya, aku baru saja kembali dari client hari itu.

Business as usual. Cuapekkkk.... Capek rek. Karena dimana-dimana kerja cari duit itu capek. Ngepet kali enak hehe...
Aku memutuskan ngga berlama-lama berleyeh-leyeh. Badan kayaknya udah pada lengket semua. Bergegaslah aku ke kamar mandi untuk ngebersihin badan biar lebih fresh.

---------

Sambil santai, kunyalakan TV, duduk berleyeh-leyeh di ranjang, sambil menikmati camilan snack yang sempat kubeli dari Alfa sepulang tadi. Ku-kebet-kebet lembaran-lembaran kertas yang ada didepanku.
Dalam review santai pekerjaan yang sudah kulakukan hari ini, aku teringat lembaran kertas di dasbor mobil yang kutemukan pagi tadi.

"Iya, itu kayaknya pak Amin yang buat," gumamku dalam hati, baru sadar, sangat yakin.

Seketika itu aku teringat dengan mbak Rahmi. Aku mulai mendeskripsikannya di dalam otak. Bagaimana rautnya. Perawakannya. Senyumnya. Dukanya. Kesedihannya. Dan perjuangannya.
Akupun coba mengingat konten tulisan di dalam kertas tersebut. Agak dorky, cliche sih tulisannya. Tapi membayangkan pak Amin sekarang udah ngga ada, tulisan itu terasa sangat miris. Menunjukkan hubungan emosional yang kuat antara pak Amin dan keluarganya.
Seperti agak ngga tenang, akupun bergegas ke parkiran bermaksud mengambil sebilah kertas tulisan tangan di dasbor mobil tadi.

Sebenarnya malam ini dikediaman almarhum, acara tahlil kembali dilangsungkan. Malam keempat seharusnya. Saat aku pertama datang ke kota ini, aku hanya menargetkan satu malam dari sisa lima malam tradisi tahlilan. Dan karena semalam sudah mampir, aku ngga harus kesana lagi malam setelahnya, termasuk malam ini.

Aku sudah kembali ke kamar. Kertas tulisan tangan alm pak Amin sudah ditangan. Lantas mau kuapakan? Pada momen itu aku belum tau. Refleks saja aku mau mengamankan kertas ini.
Aku sempat blank sembari kembali duduk ke atas ranjang. Kubuka-buka HP, scrol-scrol contact. Hendak mencari nomornya pak Amin. Terus, lagi-lagi, mau kuapain?

Dari sana aku sempat berfikir untuk mengontak nomor tersebut, dengan harapan nomor tersebut masih eksis dan disimpan, dipegang oleh istrinya, mbak Rahmi. Walau sepertinya ngga jelas maksud, tujuan, dan juntrungannya, spontan, hanya spontan saja, aku ingin bertanya kabar beliau. Bagaimana anak-anaknya, orangtuanya, serta keluarganya.
Ku-urungkan niat tersebut. Saat-saat ini, persisnya jam-jam ini, keluarga almarhum sepertinya sedang sibuk. Mereka sedang menggelar tahlilan bukan. Biar lain waktu saja aku sowan kesana.

------------

"Hahahaha...."

Ngga berhenti aku tertawa beberapa menit terakhir ini menonton salah satu tontonan acara TV kamar hotel. Aku sudah sepenuhnya berleyeh-leyeh saat itu. Jam 21.15 atau 9.15 malam. Hingga aku dikagetkan dering suara telpon kamar hotel.

"Waduh...., apa ini? siapa ini?" pikirku dalam hati, tak berminat segera mengangkat telpon.

Aku tak menghiraukan awalnya, karena kupikir palingan salah kamar. Dan benar saja dering telpon tersebut berhenti sendirinya.
Ngga sampai semenit, telpon tersebut kembali berdering. Penasaran, kali ini kuangkat.

"Pak ini katanya ada yang mau ketemu," ujar seorang di ujung sana.

"Hah... siapa?" tanyaku penasaran.

"Katanya namanya ibu Tuminah, penting katanya," jawabnya menimpali.

Hah? kok bisa-bisanya nyampe doi kesini. Ah bener-bener nih orang.

"Iya, nanti saya ke depan," tukasku mengakhiri pembicaraan.

-------

Kutemui bu Tuminah di lobby hotel. Kutanya keperluannya kesini. Sama siapa datangnya. Gimana tahlil di tempat mba Rahmi.

"Iya pak, yang kemarin itu saya beneran. Minta tolong deh pak," ucap bu Tuminah memulai alasannya.

"Bu Minah datang kesini sama siapa," jawabku menenangkannya terlebih dahulu.

"Di antar Rahmat tadi. Sudah pulang orangnya, mau ikut beberes tahlilan katanya," beber Tuminah menerangkan.

Rahmat itu nama asli dari Bokeng yang pernah disebut sebelumnya, suami dari Lilis. Ia memang sehari-hari berprofesi sebagai pengemudi ojol. Agak kaget juga masih sempat-sempatnya ia kesini, sedang dirumahnya sedang sibuk tahlilan. Pantas kalau sekiranya ia langsung bergegas kembali.

"Ibu, saya ngga bisa beli kambing Ibu. Yang kemarin dijual pak Rustam lewat almarhum itu ke mesjid. Orangnya lain. Yang ngurusin lain. Bukan saya. Lagipula saya disini ada kerjaan. Ngga mungkin saya segala belanja kambing." katakku kembali menegaskan pernyataanku sebelumnya.

Setelah kusampaikan itu, mba Minah menceritakan semuanya.
Jadi ia sedang butuh uang untuk keperluan anak bontotnya masuk kursus. Dan ia butuhkan satu dua hari ini. Mendengar apa yang ia sampaikan aku cukup iba. Akhirnya kutawarkan membantu sejumlah uang, tak keseluruhannya. Ia pun tak masalah. Beberapapun asal membantu, sangat is syukuri.
Karena kulihat dari rautnya ia nampak cukup lelah, akhirnya kutawarkan ia untuk ke ruang kamarku lebih dulu. Mengambil uang, sekaligun menenangkan diri.

-------

Bu Minah sudah berada di dalam kamar hotel tempatku menginap. Ia sudah langsung mengambil posisi duduk, di salah satu kursi yang tersedia di kamar.
Aku sendiri, segera setelah masuk kamar, bergegas mencari ransel milikku disana. Korogoh-rogoh, karena seharusnya dompetku masih ku taro disitu.

"Bu Minah, ini saya ada cuman segini," katakku mendekatinya seraya menyodorkan uang sejumlah 500k.

Dengan perlahan dan agak sungkan ia mengambil uang yang kusodorkan itu. Raut wajahnya masih belum terlalu berubah. Masam. Kududuk di satu kursi tersisa di deretan kursi yang diduduki bu Minah, yang masih terhalang meja kecil itu. Sesungguhnya aku menunggunya untuk mengucapkan sepatah dua patah kata untuk selanjutnya pulang, namun nampaknya gak ada sepetahpun yang keluar.

"Ibu, sekarang udah malem loh. Kalo mau pulang entar saya anter ini," ucapku menawarkan agar ia segera pulang.

"Saya bingung mas, uang segini belum cukup," jawabnya datar.

"Ya mau gimana lagi, cuma segitu adanya. Saya ga bisa bantu lebih," timpalku meyakinkan.

Brengsek nih orang, udah dikasih pinjem masih ngeluh juga, begitu kira-kira umpatanku dalam hati.

"Sekarang terserah deh, Ibu mau gimana. Saya udah capek seharian aktifitas," aku coba menekankan, pasrah.

"Saya disini dulu kali ya mas, masih bingung ini," jawab si Ibu menimpali.

"Ya udah terserah Ibu," tukasku cepat.

Akhirnya si Ibu benar-benar stay disitu, di kamar hotelku. Hadeeeehh.... cape deh...

-----

Bu Minah masih terdiam di kursi, sambil tatapannya nanar. Handphonenya ia letakkan di meja antara dua kusi kamar hotel. Sesekali ia membuka HP, lalu melatakkannya.
Sedang aku duduk di ranjang, menonton TV yang channelnya ngga karu-karuan ku gonta-ganti. Cangggung. Mungkin begitu keadaannya. Waktu sudah akan menunjukkan persis jam 10 malam. Walau sepertinya baru 15-20 menitan si Ibu stay disitu, tapi keadaan canggung membuat waktu seakan berjalan lamaaaaaa sekali. Akhirnya aku berinisiatif menawarkannya makanan.

"Ibu udah makan belum? ada nih cemilan-cemilan mah," hahaha... agak lucu juga sih nawarin camilan snack ciki-cikian yang udah pada kebuka, tinggal sisa ke Ibu-ibu. Yah lumayanlah mendinginkan suasana buat gue sendiri.
Akupun serius menawarkan dan mencarikannya makanan. Di depan hotel seharusnya banyak berjejer pedagang makanan.

"Bu kalau mau rebahan gpp di sana aja," ucapku menawarkan bu Minah istirahat sambil menunjuk ke arah ranjang, sembari aku mempersiapkan dompetku.

"Ga papa Bu, tenangin pikiran dulu. Saya ke bawah dulu yah," sambungku meyakinkan tawaranku agar ia beristirahat, sambil berpamitan mau ke bawah. Selangkah aku sebelum pintu kamar, ia nampak bergeming, mungkin setidaknya mempertimbangkan tawaranku. Jika pun pada akhirnya benar-benar tidak digubris, seenggaknya aku udah nawarin.

--------

Selang beberapa menit, aku kembali ke kamar dengan tentengan pecel lele di tangan. Tidak terlalu mengejutkan, manakala terlihat bu Minah sudah tergeletak di ranjang kamar. Ya ngga papa, wong aku yang menawarkan.
Sepintas, aku agak bingung, mau ngapain ya? Dengan ukuran ranjang 90x120, yang mana cuma cukup space untuk dua orang saja, dalam artian, sesungguhnya, cuma cukup dua badan di ranjang itu, dan tidak terlalu banyak space tersisa. Agak kagok kalau ikut rebahan juga.

Akupun ngga berani membangunkan bu Minah untuk menawarkan pecel lele yang kubawa. Ya sudah, aku duduk saja di ranjang. Sekadar duduk, sambil melihat ke arah TV yang acaranya sendiri aku ngga tau. Dalam artian, seketika itu aku memang bingung. Repot kemana-mana.

Singkat kata, kuputuskan bersandar saja di ujung ranjang dibagian yang mepet ke tembok dan berhadapan langsung dengan TV. Aku belum sreg merebahkan badan. Meskipun aku sudah cukup lelah ingin meluruskan punggung, beristirahat. Dalam hati aku sempat mbatin, kok jadi gue sendiri yang ribet malah ya?

Mendapati keadaanku saat itu, aku sempat mengumpat misuh-misuh kecil, sumpah serapah akan apesnya aku malam itu, utamanya karena kehadiran perempuan dua anak ini yang bikin ribet. Entah yang bersangkutan mendengar atau tidak, memiliki telepati atau tidak, ia bergeming dari tidurnya. Waduh, kok denger ya? padahal ngedumel kecil, pikirku dalam hati.

Sesungguhnya dalam tidurnya, yang posisinya menyamping membelakangiku, ia sempat terlihat sesekali menggeliyat. Namun, posisi terakhirnya kali ini membuat konsentrasiku agak terpecah. Kaos berwarna kuning Minah, sedikit terangkat, sedang celana bahan hitamnya justru sedikit melorot. Menyisakan celana dalam putih dan bagian pinggang belakangnya yang nampak dimataku. Kucoba alihkan pandangan, menatap lurus ke depan dimana TV memancarkan siarannya. Namun tetap saja, jarak pagelaran free CD yang cuma berjarak kurang dari tiga puluh senti, terus menarik perhatianku. Sesekali aku menoleh ke arahnya. Dari beberapa tolehan itu, aku bahkan menatapnya cukup lama.
Diawali dari CD putih Minah yang terperuak keluar itu, aku mulai memusatkan ke bagian lebih bawahnya, bokong. Lekukan bokongnya. Cangcut Minah yang menganga tiga puluh persen, menyilaukan mataku, sisanya justru sembunyi malu di balik celana bahan pada gumpalan bokong tersebut, nyiplak.

Dalam tatapan panjang terakhir ini, lagi-lagi Minah menggeliat. Sontak akupun meluruskan pandanganku. Bukannya berkurang kadar pemandangannya, ini malah bertambah. Waduh. Kakinya ia naikkan sedikit dalam tidur menyampingnya itu. Membuat kaos yang tadinya sudah terangkat makin terangkat, dan celana yang tadinya melorot makin melorot, meski tidak signifikan. Bonusnya sekarang, bokongnya yang bidang nyiplak, melancip ke arahku. Nungging dalam posisi menyamping.

"Ini si ibu tidur beneran ngga sih?," aku sempat berfikir demikian dalam hati. Penasaran, kugerakkan badanku perlahan ke samping kanan arah Minah tidur bermaksud mengintip mata terpejamnya. Meski kepalaku kuarahkan ke bagian atas badan alias kepalanya, tatapan mataku justru masih saja ke arah cangcut nyeplaknya. Belum sempat kuintip matanya, lagi-lagi Minah menggeliat, dan lagi-lagi itu pula kuluruskan pandanganku, serta badanku kali ini.
Seperti main kucing-kucingan, tak lama doi tenang lagi dalam tidurnya, kucoba pastikan lagi matanya, anehnya seketika itu pula ia menggeliat, lagi.
Wah, ini mah boongan kali nih, simpulku dalam hati.

Sejenak kudiamkan saja dulu, tak terpancing untuk mengintip bola matanya. Namun nyatanya, geliatan tidur Minah justru sekarang agak naik lagi frekuensinya. Beberapa geliatan dalam satu waktu. Hingga pada momen ia terdampar mengarah kepadaku. Iya, kini posisi tidurnya menyamping justru mengarah padaku. Karena saat ini aku bisa melihat tampak mukanya secara langsung, kuperhatikan, tidak ada yang cukup meragukan dari bola-bola matanya yang terpejam. Oh... saking nyenyaknya kali, begitu simpulku dalam hati mengobati satu penasaranku.
Jelas, dengan posisi tidurnya yang seperti ini, pemandangan bokong dengan aksen cangcut nyeplak otomatis hilang. Justru sekarang bagian depannya yang terbuka. Udel dan sekian persen area perutnya nampak di pandangan. Meski ngga se-eksotis bokong nyiplak bagian belakang tadi, ya tetep lumayanlah.
Dengan kondisi aku sendiri yang duduk bersandar ke tembok ujung ranjang, maka praktis posisi kepala Minah bersebelahan persis dengan samping pinggulku. Iya, kuselonjorkan kakiku lurus. Ga terlalu masalah sepertinya sih, tapi pemandangan posisi kita yang agak gimana gituh...

"Nda tidur tha mas..."

Waduh. Tiba-tiba saja bu Minah bersuara. Sontak mengagetkanku. Ia bersuara tanpa menggeliat. Hanya matanya saja yang terbuka. Sedang posisinya, posisi kepalanya, yah, cuma beberapa senti dari pangkal pahaku.

"Aku numpang sikit yo mas...", ucapnya masih dengan posisi yang sama.

"Iya gapapa mba," jawabku coba mencairkan suasana.

Tidak lama, ia lantas menggeliat. Posisinya telentang. Hijabnya sudah agak sedikit miring, tidak pas posisinya. Matanya belum tertutup sepenuhnya, kreyep-kreyep. Kuperhatikan, udelnya masih terlihat, perut agak bergelombangnya lebih terlihat dari sebelumnya. Meski tak se-massive saat tidur menyamping membelakangiku, kangcut di sepanjang pinggangnya dengan mudah kulihat. Sadar wilayah tak senonohnya diperhatikan olehku, ia lagi-lagi menggerakkan tubuh berisinya, dua kali, relatif cepat. Awalnya, seperti menghindar, ia membelakangiku. Namun segera ia berubah haluan. Ya. Terdampar ke posisi awalnya. Mengarahku. Samping pangkal pahaku.

"Keliatan yo mas?" tanya Minah sedikit tersenyum, sambil meraba-raba area bokong, pinggulnya, membetulkan ruang-ruang yang terbuka itu.

Aku cuma balik senyum, tak manjawab. Sebaliknya menawarkan pecel lele yang tadi kubawa. "Itu lho mba pecelnya," tawarku menunjuk ke arah meja dua kursi, tempat ku taroh pecel lel tersebut.
Ia tak menggubris tawaranku. Sebaliknya mengajukan pertanyaan aneh. "Jenengan wis nikah tha?" Akupun tak serta merta menjawab pertanyaan itu.
Sejak itu, Minah terlihat gulang-guling, geliat sini geliat sana di space hanya satu badan ranjang itu. Hingga akhirnya, ia seperti cukup stabil dengan posisi membelakangiku, agak setengah tengkurap, jadi mukanya ditutupkan ke bantal, dengan kancut yang sudah tertutup, meskipun masih kelihatan nyeplaknya. Bedanya sekarang, ia agak offside mengambil sedikit space milikku, khususnya pada bagian bokongnya.

Dengan sikap masa bodoh, akhirnya kurebahkan saja badanku, telentang. Agak canggung memang, karena posisi tanganku sejajar dengan pantat Minah. Salah-salah tersentuh.
Benar saja, satu dua kali tanganku sempat menyenggol pantatnya. Karena spacenya udah cukup hampir nempel.
Meski ngga lagi terpampang kancut offside seperti sebelumnya, namun pantat bidang dengan guratan kancut di dalamnya, membuatku sulit berpaling. Hingga tak sadar, titit yang posisinya menghadap langit-langit, karena aku telentang, sedikit demi sedikit menjadi tegak.

Sudah jam 11 lebih saat itu, mata masih sulit terpejam, kemaluan enggan kembali menciut, keadaan tak terlalu banyak berubah, dimana posisiku terkesan terpojokkan.
Aku coba mengambil langkah lain, offensive. Tangan kanan coba kugerakkan menyentuh pantat. Pantat Minah. Sekedar menyentuh. Kuulangi dan kuulangi, hingga sampai pada kugesek-gesekkan tangan kananku, khususnya dengan bagian luar. Ternyata sejalan dengan apa yang kuliat. Kulihat enak. Kusentuhpun, memang enak.

Kucoba dimensi rasa lain, meremasnya. Empuk. Dari sana ingin sekali ku tarik celananya kebawah, memunculkan kembali kancut yang sempat merusak konsentrasiku tadi. Perlahan, kuimplementasikan niatku itu, sedikit demi sedikit, kupelorotkan celananya, sedikit demi sedikit. Hingga cukup nampak kancut putih yang beberapa menit terakhir ini kurindukan. Akupun tergoda untuk terus berjuang mempreteli celana bahannya, guna mendapatkan visual utuh bagaimana rupa kancut tersebut. Air liurku berulang kali kutelan, mata ini semakin jauh dari kata terpejam, dan buah zakarku kian intens menjulang.

Belum tuntas kuturunkan celana bahannya, Minah bergeming. Tangannya langsung menggapai bokongnya, membetulkan posisi celananya yang sudah kupelorotkan sepuluh persen dari pinggulnya. "Shit. Sial," ucapku dalam hati, sambil memejamkan mata pura-pura tidur.
Bukannya menghentikan aksi, aku malah coba mengulanginya lagi, kali ini tanpa kuremas dulu. Langsung coba kuturunkan. Lumayan kaget, Minah langsung menginterupsi, dengan membetulkan celananya itu.
Mendapati situasi sepertinya sudah mulai tidak kondusif, aku coba silent, pasang mata tertutup, meskipun kontol tak mungkin serta merta kembali kuncup. Tak dinyana tak disangka, Minah balik badan. Menghadap ke arahku. Tangannya langsung menggapai paha kanan ku. Ia usap-usap perlahan, hingga arahnya seperti mengarah ke pangkal pahaku. Sedikit kubuka mata, memastikan apakah ia dalam posisi tertidur atau tidak. Matanya sih terpejam. Dan lebih mencengangkan lagi tangan kirinya meremas-meremas susunya sendiri. Kututup kembali mataku, sambil tanganku ikut menggapai tangan kanannya yang sedang meraba area pahaku.
Saat kugapai tangannya, ia seakan tak menggubris, tetap melancarkan aksinya. Sambil tangannya kutumpuk tanganku, ku angon dulu tangannya meraba-raba area pahaku. Setelah cukup kutuntun ia naik ke atas. Yap. Area terlarang. Kurasakan, tangannya seakan ragu menyentuhnya, tapi lama, ia bisa beradaptasi.

Saat pelirku masih digerayangi tangan Minah, kusempatkan membuka mata, liat keadaan. Tangan kirinya masih dengan remasan ke susunya sendiri. Matanya pun masih terpejam. Entah sepenuhnya tidur, atau meresapi aksinya. Aku berinisiatif melakukan aksi lanjutan. Tangan kananku yang sedari tadi masih nganggur, kuikutsertakan berpartisipasi kegiatan lain yang dilakukan tangan Minah. Meraba dadanya. Tak seperti aksi tanganku dan tangan Minah di titik kemaluanku yang berjalan beriringan, disini tanganku independen, tak harus terpaku mengikuti gerak tangan Minah yang sudah lebih dulu beraksi. Kuremas-remas semauku. Lagi-lagi pada momen itu, Minah tak bergeming. Matanya seperti belum mau terbuka.

Sadar akan pentingnya aksi konkret yang mesti kuambil, mengingat aksi dua tangan kami masing-masing yang sibuk menstimulus birahi, aku coba sedikit beranjak dari telentang tidurku. Kepalaku kudekatkan ke buah dadanya. Pandanganku kini nyata ke dua gundukan susu Minah. Kufokuskan tanganku meremas susunya dengan kontrol langsung dari pandanganku. Dengannya pula, ku lebih bisa memfokuskan aksi tanganku yang lain menuntun tangan Minah meraba-raba pelirku.
Aku yang sudah memiliki api nafsu sejak pemandangan kancut tadi, nampaknya sudah makin tak kuasa untuk bisa melampiaskannya. Badanku mulai menggeliat. Kutarik tangan kiriku di area pelir, membiarkan sendiri tangan Minah meneruskan gerilyanya.
Gestur badanku kini setengah menghadap badan Minah yang masih tidur menyamping. Dengan dua tanganku di susu, aku sangat fokus menginisiasi biarahiku di area ini. Kuremas-remas. Sesekali kulihat raut mukanya. Matanya terus terpejam. Ada gestur kecil sesekali di area bibirnya. Susu Minah besar. Diameternya luas, bahkan tak cukup kugenggam dengan tanganku. Semakin kuremas, satu tangan Minah yang masih tersisa di kemaluanku, juga semakin keras meremasnya. Karena kepalaku ada di area muka dan dadanya, bisa kurasakan nafas berat yang keluar dari mulutnya, meski matanya belum juga terbuka.

Semakin bernafsu lah aku. Ku angkat badanku, sembari mendorong posisi menyamping tidur Minah, untuk bisa kutindih. Ya, aku menindihnya. Tangan kanan Minah di kontolku masih belum juga ia lepaskan, dan matanya belum juga ia buka.
Badan Minah terasa lebih lebar dibanding badanku. Bentuk badannya memang cukup tebal, thick, dense. Layaknya perempuan mature. Dan itu asyik, nikmat. Remasan-remasan tanganku di susunya kian menjadi-jadi, sesekali bahkan kumasukkan tanganku melalui celah baju kaos nya ke dalam susu dan kutangnya. Kugesek-gesekkan kontol di area V Minah, meski satu tangannya masih eksis disana. Pandangan kufokuskan ke wajahnya, memperhatikan tiap ekspresi yang ia keluarkan, yang aksiku timbulkan.

Ekspresi-ekspresi kecil kudapati dari aksi yang kutimbulkan di wajah Minah. Hingga akhirnya matanya terbuka. Aku ngga kaget. Akupun tidak menurunkan secuilpun tensi aksi yang sedang kulakukan ini. Minah tersenyum kecut. Mungkin diantara senyum manis dan ekspresi nikmat. Sedang aku sendiri tak membalas senyumnya. Tatapanku datar. Penuh nafsu.

"Ah...," itulah yang keluar, tak lama setelah matanya terbuka, sembari menggeliat melepaskan tangannya di kontolku. Mendapati reaksinya seperti itu, kutekan lebih kuat kontol di area memeknya. Kugosok-gosokkan. Begitu pula tindihanku di tubuhnya. Begitu pula remasanku di susunya. Ia makin menjadi-jadi. Satu tangannya, ia tempelkan ke dadaku, seakan menahan tindihanku di tubuhnya.

Sambil meronta-ronta kecil, Minah lirih berbisik, "buka bajunya....." Aku tak menghiraukannya sesaat. Gesekkan kontolku di selangkangannya masih asyik kuresapi. Pemanasan agar si kontol bisa lebih siap tatkala pada saatnya di keluarkan.
Beberapa saat Minah gelojotan. Tindihan badanku di badannya, dengan aksi-aksi lain di area-area vital Minah, sukses membuatnya meronta-ronta. Aku menikmatinya. Benar-benar menikmatinya. Hingga akhirnya kutarik kaosnya ke atas. Susunya mulai nampak. Guedeeee.... BH-nya putih. Kuselipkan jari-jemariku diantara celah bagian bawah kutang. Hingaa tanganku kini persis meremas langsung susunya. Emmmmm.....
Ku tak kuasa untuk tidak mempreteli dirinya lebih jauh. Kutarik baju Minah benar-benar keatas, hingga susunya benar-benar terperuak. Pentilnya jelas hitam pekat. Ngga butuh lama, ku sikat susunya. Dua tanganku jelas meremas dua bagian susu Minah sedapetnya, hingga menyisakan bagian di sekitar pentil. Kulumat. Mmmmmhhhh..... slurp... slurp.. slurppp..
Baru dua tiga lumatan, Minah berontak. Benar-benar berontak. Melepaskan tindihannya dari badanku. Mendapati pemberontakan darinya, akupun beringsut ke posisi duduk. Begitu halnya Minah. Rupanya ia hendak menanggalkan pakaiannnya. Aku menirukan apa yang ia lakukan. Menanggalkan pakaianku.

Saat diriku sudah telanjang, tanpa sehelai benang, Minah nampak masih berkutat dengan celana bahannya, hijabnya pun belum sempurna ia lepaskan. Kusosor bagian dadanya. Dengan hanya jilatan-jilatan kecil di bagian pentil, aku masih belum mau gerubukan. Hingga kuliat kancutnya dilepaskan dari pergelangan kakinya, barulah kutubruk, membuat badannya, begitu pula badanku, ambruk ke kasur. Posisinya sama seperti sebelumnya, aku menindihnya, badanku menindih badannya, tentu tanpa sehelai benang saat ini.
Kujilati bagian lehernya. Kedua tangan Minah, erat merangkul baadanku. Kontolku belum serta merta kumasukkan, masih kugesek-gesekkan. Dengan gesekan kontol, kini kedua kaki Minah menyusul tangannya melingkari bagian pinggulku.

Dari leher aku bergerilya ke bawah, bagian susu. Kusinggahi gunung kembar Minah, kali ini dengan nafsu yang pooool. Jilatan, lumatan mewarnai aksiku. Sesekali bahkan ku sedot-sedot susu ranum itu. Slurrppp... slurppp....
Merasa cukup dengan lumatan di susu, kulanjutkan gerilya terus ke bawah. Ku susuri tiap jengkal tubuh sintal Minah, dengan lidahku, dengan jilatanku. Sesekali ku dongak ke atas, memperhatikan ekspresi Minah. Ia tampak sekali gelojotan. Kepalanyapun berulangkali didongakkan ke atas, ke kiri maupun kanan. Pertanda expressi nikmat yang dialaminya.

Hingga aku sampai pada bagian perut, mendekati pusat kemaluannya, kujilati pelan-pelan. Sepertinya sadar, aku akan ke area memek sekaligus menjilatinya, Minah lantas berujar lirih, "Masukkin aja langsung...". Tak ku hiraukan. Aku terus melaju ke arah liang laknatnya. Benar saja, belum sampai lidahku di pusat liang, tangannya menggapai kepalaku dengan gesture menahan. Lagi-lagi tak kuhiraukan.

"Slurpp..," kukecup ringan. Tuk sementara, kuturunkan tensi sange-ku, sekadar meng-explore dimensi luas dari aktivitas ngewe, jilmek. Dengan sisi pada lobang yang sedikit agak beleberan, memek Minah ngga bisa dibilang excellent. Namun tetap saja, ini adalah liang kenikmatan. Salah satu sumber kenikmatan duniawi. Dan aku benar-benar menikmatinya. Apalagi disekeliling liang, tumbuh subur bulu-bulu alias jembut. Alus, manakala kubelai dengan mulutku.

Kucoba naikkan tensi nafsuku. Mengejawantahkan semua nafsu ke tiap lumatan. Kugunakan bokong Minah sebagai pegangan. Sambil meremas pantatnya sebagai tumpuan, kuhunuskan kepalaku, utamanya bagian mulut, pada liang memek Minah sekuatnya. Oh... men... fakkkkkkkkk...
Kusedot, kujilat lobang memek Minah penuh nafsu. Sontak, tindakan ini membuat Minah gelojotan, makin meronta-ronta. Mendapati Minah seperti ini adalah bonus kenikmatan lain.

Aku terpacu untuk mencari sensasi kenikmatan lain dari wanita ini. Kusudahi aksi jilmek, merangsek ke area kepalanya. Aku mengambil posisi setengah berdiri, sedang Minah kubiarkan tetap telentang. Lalu, dengan memegang kepalanya, kuarahkan ia untuk mengelomoh kontolku.

"Isep... isep...," ucapku pelan.

Tanpa sepatah katapun menjawab, ia lantas memasukkan kontolku ke liang mulutnya. Kuluman pertamanya sukses membuatku menggelinjang kaget. Kuatur penetrasinya dengan memegangi kepalanya. Kutuntun perlahan, agar sensasinya merata. Ahhhhhhh.............
Saat batang kontolku sepenuhnya terkulum olehnya, kutahan beberapa saat, agar kenikmatan itu benar-benar bisa kuresapi. Ahhhhh.......
Merasa sudah cukup bisa mengontrol kekagetan kenikmatan kuluman dari Minah, perlahan kutuntun ia untuk menaikkan tensi penetrasi sepongannya. Sesekali kuraba-rabai tiap jengkal area wajahnya dengan penuh nafsu. Kurapikan helai-helai rambutnya yang menjuntai menghalangi pandanganku akan ekspresi nafsu yang ia pancarkan di wajahnya.
Lambat laun Minah nampak sudah gepe mengulum dan memainkan ritmenya tanpa harus banyak kutuntun. Ia mempelajari sangat baik pelajaran yang kuberikan bagaimana memperlakukan kontol dan syahwatku.

Mendapati Minah yang sudah bisa dilepas sendiri, kucoba berikan rangsangan lain untuk meningkatkan syahwat dan libidonya. Kucelup-celup dan kukobel-kobel lobang memek Minah yang menganga dengan jari jemariku. Benar saja, seiring libidonya yang terangsang, kulumannya pada kontolku menjadi makin liar.
"Oh.... fakkkkk fakkkkk men...."

Persis manakala syahwatku dan Minah bener-benar membuncah, justru kuhentikan sepongan itu. Dengan segera, kutempatkan diriku tepat di depan tubuh telentang Minah, bersiap sekali lagi menindihnya. Kontol ngacengku bersiap persis di liang memek Minah. Meskipun sudah benar-benar diambang nafsu, kumasukkan perlahan untuk mengantisipasi kekagetan.
Setelah kenikmatannya benar-benar bisa kukontrol, kumulai pacu tingkat penetrasinya. Dengan posisi misionary seperti ini, seharusnya aku punya kuasa penuh akan sodokan yang bisa menciptakan kenikmatan tiada batas. Saat posisi 90 derajat misionary, kupeluk erat kedua kaki Minah, agar tubuhnya tidak bergeser saat kugenjot dengan intensitas tinggi. Dan tiap hujaman kontol ke lobang memek bisa kurasakan sensasinya, saat sodokanku cepat.

"Ahhhh..... fakkkkkkkkk," Minah nampak tak kuasa menahan penetrasi beringas yang kulakukan. Melihat blingsatan raga Minah adalah kenikmatanku yang lain.

Kubungkukkan badanku 45 derajat dengan batas kedua kaki Minah, sehingga badannya nyaris tertekuk oleh posisiku. Dengan bertumpu pada kasur, kulebih leluasa menghunus dan menghujam memek Minah. Kugenjot ia sekuatnya melampiaskan semua hawa nafsuku.

Ahh.... holy fakkk mother fuker... Kunikmati tiap genjotan bringas ini. Minah blingsatan ngga karu-karuan. Matanya merem melek. Posisi kepalanya ngga tentu arah. Tangannya berupaya keras menahan genjotan. Ohhh.... shit mother fuker..
Gairahku membara manakala ia blingsatan. Kuhentikan sejenak. Mengatur nafasku dan mengatur syahwatku agar tak lekas keluar. Tubuh gelojotan Minah seketika itupun terhenti. Keringatnya bercucuran. Nafasnya terengah-engah, terlihat dari tubuh bugilnya yang mekar kuncup.
Puas akan reaksi yang kusaksikan pada Minah, kuteruskan sesi ngewe ini masih dengan posisi yang sama, misionary. Kuawali dengan mencelupkan batang kontol ke liang memek, perlahan. Kuresapi tiap inci batang kontol yang terhujam masuk ke liang memek perlahan-lahan tersebut. Ahhhh..... fakkkkkk....

Tak buang waktu, kucoba tindih badan Minah seluruhnya, dengan badanku, sambil kontolku tak men-jeda menghunus-hunuskan ke liangnya. Kusergap susunya seketika itu, dengan nafsu, dengan lahap. Sepertinya ia sepintas kaget. Mmmhhhhh...slrpp.. slrppp.. Kutengok raut ekspresinya dengan mendongak sedikit keatas. Ia tampak meringis. Bernafsu dengan ekspresinya, kunaikkan tensi genjotan dan kuluman di gunung kembarnya. Benar saja ia bereaksi seiring tensi yang kumainkan. Fakkkkkkk men....

"Ahhh.. ahh....," rintih Minah lirih. Sambil merenggut kepalaku, melingkari dengan kedua tangannya, erat.

"Hahaha.... faakkk fak fak fak. iblis," begitu sumringah nafsuku mendapati Minah blingsatan.

Minah mencoba menggapai wajahku, yang masih bernafsu melahap dua gundukan susunya. Ia coba menatap ekspresiku yang tengah melahap susunya. Ku ladeni. Sambil melahap susu, ku tatap pula raut mukanya. Hingga aku pun pada kesimpulan erangannya adalah erangan nikmat, raut mukanya adalah raut penuh nafsu.
Seketika, kusosor mulutnya. Ia pun dengan mudah membalas. Jadilah kami berpagul bercumbu ditengah nafsu syahwat yang membuncah. Kukelomoh mulutnya dalam-dalam. Srrppppp... ahhhhh... fakkkkkk mann.. Sesekali kutatap wajahnya dengan tatapan antagonis. Iblis. Dengan kontol yang masih kuhunus-hunuskan ke selangkangannya, keantagonisanku semakin terasa lengkap. Fakkkkk......

Baiklah. Ada tugas mulia lain yang harus kutunaikan. Kubangkit setengah berdiri dengan membawa serta tubuh Minah. Dengan posisi berdiri di atas ranjang, kami berpagul bercumbu sekali lagi. Kupeluk erat-erat ia. Kugosok-gosokkan tubuh bugil bermandikan keringatku, ke tubuh bugil Minah.
Setelahnya, kutuntun ia untuk menunduk, nungging. Layaknya menirukan gesture anjing. Aku, masih dengan setengah berdiri, memposisikan persis di dubur Minah, dengan peler yang masih menjulang. Seperti sebelumnya, kuhunuskan perlahan ke liang memek Minah. Kami berdua, aku dan Minah, merasakan getaran nikmat yang sama sesaat ujung kontol melewati pintu lobang kenikmatan milik Minah.

"Ahhhhh.....", kami mendesah penuh penghayatan.

Dengan disertai pemandangan dubur jumbo Minah, kumulai hunus-hunuskan batang kontolku ke lobang goa miliknya, dari belakang. Tiap hunusan menuntun pada hunusan lain yang lebih cepat dan semakin cepat. Kugunakan dubur jumbo Minah sebagai tumpuan. Sambil memeganginya, kuremas-remas dubur jumbo tersebut. Minah nampak terlihat meringis pada tiap genjotan yang kulakukan di liangnya.
Cukup dengan sesi ini. Ku istirahatkan sejenak. Kugapai tangan Minah, untuk kupegangi dari belakang. Dengan kini bertumpu pada tangannya, kumulai genjot Minah sekali lagi. Sodokan kontol ku ke liang memek Minah kini bisa lebih cepat dan sangat terasa nikmatnya. Ringisan Minah makin lebih terlihat. Kucoba gapai kepalanya, memastikan tiap ringisannya. Ahhh... fakkkkk....

Menggenjot Minah dengan posisi ini, membuatku relatif lebih bernafsu. lebih beringas. Segera setelah kusudahi sodokan demi sodokan ke liang memek Minah, kutarik kepalanya, hampir persis ke posisi setengah berdiri. Ku ambil mulutnya untuk ku cumbu, dari belakang. Mmmmmuahhhh.....

Dengan serampangan, kubalik badan Minah untuk selanjutnya kutelentangkan. Karena sudah familiar, segera kuhunuskan batang kontol kememeknya. Sambil mengusap peluh disekujur tubuhku, kegenjot dengan tekanan dan tensi sedang sesegera mungkin. Guna mengumpulkan kembali nafsu syahwat di sekujur badan, kupusatkan pandanganku pada tiap desahan dan raut ekspresi yang dperlihatkan Minah.
Dengan genjotan konvensional, tensi tingkat sedang, gelojotan Minah masih bisa ia kontrol.

"Ahhh.... shhhh.....," kuperhatikan dengan seksama tiap desahannya, sesekali kubasuh raut muka nafsunya, melap keringat kenikmatan yang membasahi wajahnya.

Pada titik dimana nafsuku sudah membuncah, kunaikkan kecepatan genjotan di liang memek Minah. Bersamaan dengannya, desahan Minah pun semakin berat. Dengan kedua tangan meremasi susu Minah, kupacu dan pastikan tensi genjotan stabil. Hingga semua saripati pejuh bisa segera terkumpul di pangkal kontol untuk siap disemburkan.
Kupacu dan terus kupacu, hingga pada momen suara kami berdua pun keluar. Dengan syahwat yang sudah di awang-awang, nampaknya aku sudah siap lahir bathin mengeluarkan semua saripati nafsu syahwat dan kenikmatan.

"Arrrgggghhh..... arrggghhhh..........," kami berdua mengekspresikan nafsu syahwat yang sudah akan tiba itu. Sepersekian detik sebelum cairan hina itu keluar dari kepala kontol, kucabut untuk kuarahkan pada perut Minah.
Ahh..... fakkkkk fakkkk fakkk mann. Iblis.
Akupun ambruk. Merebahkan badan yang bergelimang keringat itu persis di samping badan Minah. Nafas kami terengal-engal. Aku lelah. Kami bahkan sudah tidak sempat tatap-tatapan, kudapati Minah meraba-raba area ranjang, mencari apapaun kain yang bisa menutupi daerah vitalnya. Sudah jam 12.40 rupanya.

---------

Aku melihat cahaya. Perlahan kuikuti cahaya itu. Dimana sebenarnya aku? Penasaran, kupercepat langkahku. Aku berlari. Sudah semakin dekat. Oh... di kamar hotel ternyata. Yang tadi cahaya dari jendela kamar. Kampreetttt......

Di salah satu kursi kamar, aku melihat mba Tuminah yang semalam aku ...((ehm ehm))... sudah berpakaian lengkap. Ia tengah sibuk dengan HP nya. Aku sendiri, masih bugil dengan tertutup selimut. Mungkin Minah yang menselimutiku.

"Wis bangun tha mba?" tanyaku yang masih kelimpungan belum 100%. Mba Minah tidak menjawab, masih sibuk dengan HP nya.

"Jam piro saiki mba?" tanyaku lagi penasaran, sudah jam berapa sih sekarang. Lagi-lagi Minah tidak menjawab. Justru berucap sesuatu yang lain.

"Aku isin lho mas karo Rahmi." ucap Tuminah sekonyong-konyong menyebut mba Rahmi.

"What?" refleksku dalam hati. "Maksudnya apa nyebut-nyebut Rahmi," pikirku.

"Maksudnya apa tha mba?" tanyaku coba memastikan.

"Lha iyoo, Rahmi udah baik sama saya, tapi kita berdua, ya... gitu," jawabnya.

Aku tidak menimpali, hanya memasang gesture tidak peduli dengan statement Tuminah. Pikirku, kalau kita berdua ngewe, urusannya apa sama Rahmi.
Saat kumasih kelimpungan mencari pakaian-pakaianku. Minah kembali berujar.

"Tadi agak pagian, ada telepon di HP masnya. Mas saya lihat, tulisannya 'Pak Amin Driver'. Rahmi bukan ya?"

"Hah? Masak sih?" pikirku dalam hati, lumayan kaget juga. Saat celanaku sudah tertanggal kembali ke kakiku, kucoba singgah ke rak TV, tempat dimana kuletakkan HP ku.

Aku sangat kaget, saat membuka HP. Bukan karena jumlah missed call nya, tapi karena jam sudah jam tujuh kurang lima. Aku masih mesti ke client hari ini.

"Waduhhh... jam 7 sekarang ya." ujarku refleks.

Dalam hati kubertanya-tanya, ada apa ya mba Rahmi telpon. Penasaran langsung ku bell balik ke nomor alm pak Amin tersebut.

"Assalam**," ucap seseorang, sepertinya mba Rahmi lengsung mengucapkan salam persis setelah telpon tersambung.

"Waalaikum**," ucapku menimpali.

"Pak Agung, iya maaf tadi saya nge-bell. Tadi saya mau terima kasih aja, udah mampir, udah ngasih ke almarhum," ucap Rahmi langsung mengutarakan maksudnya.

Seketika aku bingung apa maksudnya ya.

"Oh iya, si Lilis sama mba Minah juga udah cerita semua."

Waduh... bagai petir menyambar di siang bolong. Aku tersentak dengan pernyataan itu.
Cerita apa si Minah sama si Lilis. Seketika kualihkan tatapanku ke arah Tuminah.

--B E R S A M B U N G--
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd