Malinksss
Guru Semprot
- Daftar
- 16 Mar 2020
- Post
- 596
- Like diterima
- 33.140
Part 48. Ketemu Lagi
Pagi-pagi sekali Randy sudah tiba di rumah sakit. Dia datang dengan raut wajah yang tidak biasa. Di situ ada pak Karso yang langsung keluar begitu Randy meminta untuk mengobrol berdua dengan Icha.
"Gimana kabar kamu?" tanya Randy sembari duduk di kursi sebelah brangkar Icha setelah meletakkan makanan yang ia bawa.
"Alhamdulillah udah baikan. Dokter juga udah ngijinin pulang, tinggal urus administrasi aja."
Randy mengangguk. "Syukurlah."
Icha dapat merasakan perbedaan sikap Randy kala itu. "Ada yang mau kamu omongin?" Daripada penasaran, Icha lebih memilih menanyakannya langsung.
"Hari ini aku mau berangkat ke pelatnas. Mungkin bisa sampe 3 bulan buat persiapan sea games."
Icha tersenyum manis. "Oh ya? Selamat kalo gitu. Aira pasti bangga punya papa yang bisa mengharumkan nama bangsa."
Randy hanya merespon sekenanya. "Aku mau fokus sama karir aku dulu. Kalo bisa aku mau berkarir di luar negeri. Mungkin event ini bisa jadi batu loncatan. Maka dari itu aku harus perform semaksimal mungkin."
"Terus Annisa gimana? Apa dia gak keberatan kamu berkarir di luar negeri?" tanya Icha. Randy menatap Icha dengan tatapan datar.
"Hubungan kita udah berakhir. Gak bisa diperbaiki lagi." Jawaban itu sontak membuat Icha terkejut.
"Kenapa? Apa karena anak yang ada di dalam kandunganku ini? Gak Randy! Aku bakalan jelasin sama Annisa, kalo anak ini gak ada hubungannya sama kamu..."
"Gak perlu," potong Randy. "Aku udah jelasin semuanya sama dia. Dan hasilnya, kita putuskan lebih baik dengan kehidupan kita masing-masing."
Icha tampak tidak terima dengan penjelasan Randy. Dia masih ngotot. "Gak bisa gitu. Annisa cuma cinta sama kamu. Gimana dia kalo gak ada kamu? Dia pasti..."
"Dia sendiri yang mutusin." Lagi-lagi Randy memotong. "Dia yang minta sendiri aku untuk menjauh dari hidupnya. Dia udah gak mau kenal sama aku lagi."
Icha menggeleng. "Gak mungkin. Dia cuma emosi sesaat, Randy. Aku yakin dia gak bener-bener minta kamu menjauh."
Randy mendelik pada Icha. "Stop ngatur hidup orang lain, Cha! Kalo kamu emang gak mau sama aku dan lebih milih sama pak Karso itu, it's fine. Aku bakalan pergi." Lelaki itu menggeleng pelan. "Tapi jangan paksa orang lain untuk ngikutin kehendak mu."
Icha terdiam. Matanya mengembun mendengar Randy berbicara dengan nada tinggi. "Maaf, aku cuma pengin kamu dapet yang terbaik."
"Aku udah dewasa, Cha. Aku udah bisa nentuin mana yang terbaik buat aku." Randy menunjuk ke arah dadanya sendiri.
"Dan aku udah mutusin," lanjut Randy lagi. Kini dia langsung berdiri. "Aku bakalan fokus sama karir aku dan ninggalin semua kenangan yang ada di sini."
Randy berbalik dan melangkah pergi. Icha hendak menahannya tetapi urung setelah Randy menoleh sesaat. "Soal Aira, kamu tenang aja. Aku tetep bakal seratus persen tanggung jawab buat masa depannya."
Randy berhenti sejenak sebelum kembali berbicara. "Satu lagi, fokus sama kandungan kamu. Kalo kamu yakin anak yang ada di dalam kandunganmu itu anaknya pak Karso, mintalah tanggung jawab sama dia."
Setelah menyelesaikan kata-katanya, Randy pergi begitu saja tanpa bisa dicegah. Icha merasa dadanya sangat sesak, nafasnya tercekat di leher. Kenapa yang dilakukannya selalu salah?
"Nak Icha, kamu kenapa? Randy udah nyakitin kamu?" tanya pak Karso yang masuk setelah melihat Randy pergi.
Icha menggeleng. "Enggak, pak. Ini semua salah Icha, kok."
Pak Karso menghembuskan nafas dalam. "Kenapa kamu gak terus terang aja? Bapak yakin kamu masih cinta sama dia, kan?"
Icha termenung, menatap kosong ke arah selimut yang membungkus kakinya. "Apakah dengan putusnya Randy dan Annisa, aku boleh mulai untuk berharap, ya tuhan?" ucap Icha dalam hati.
•••
"Beneran lu udah yakin mau berangkat?! Gak pamitan dulu sama Annisa?" tanya Justin ketika mereka sudah ada di depan taksi yang terparkir rapi.
Randy menggeleng. Sepertinya keputusan yang ia ambil sudah sangat matang. "Gue udah mutusin buat ngejar karir dulu. Gue udah ngelepasin Annisa."
Justin menghela nafas dalam kemudian menepuk bahu Randy. "Kalo lu emang udah yakin, go on..." ujar Justin. "Tapi asal lu tau juga, kalo Annisa masih cinta banget sama lu."
Ucapan Justin sempat menghentikan langkahnya untuk menaiki taksi itu. Setelah didahului oleh Justin, Randy mengekori di belakangnya.
Sepanjang perjalanan Randy terus merenungi perkataan Justin. Apakah benar kalau Annisa masih mencintainya?
Randy menoleh ke kanan, temannya itu malah tertidur nyenyak. Perjalanan memakan waktu empat puluh lima menit menuju bandara. Setelahnya mereka akan terbang menuju Bali, tempat dilaksanakannya pelatihan timnas yang akan disiapkan untuk sea games Manila.
Saat tengah duduk di kursi tunggu bandara, Randy dikejutkan dengan sosok yang tiba-tiba menutup matanya dari belakang.
Reflek Randy menggenggam pergelangan tangan orang itu lalu menariknya ke depan. "Hai, apa kabar adikku sayang!"
Wajah orang itu muncul dari atas bahu Randy. Amat terkejut ternyata dia adalah Ranty. "Kak Ranty?!" pekiknya kaget.
Bukan hanya kaget tiba-tiba bertemu dengan kakak kandungnya, tetapi juga karena penampilan Ranty yang sangat berbeda.
Randy lantas berdiri dan berbalik menghadap Ranty. Masih tidak percaya bahwa wanita yang ada di depannya itu adalah kakaknya sendiri.
Randy menatap Ranty dari atas kepala hingga bawah. Rambut disemir pirang, tindik terpasang menghiasi hidung dan bibir bawahnya, dan yang paling membuat Randy terkejut adalah tatto yang tergambar full di lengan kiri, serta gambar bunga mawar di bagian lengan atas tangan kanannya.
"Kenapa? Kok kayak kaget gitu?" tanya Ranty seraya tersenyum meringis.
Perlahan Randy dapat menguasai keterkejutannya. Tanpa menyinggung penampilan baru Ranty, Randy membalas senyumannya. "Gak papa kok, kak. Kakak kok bisa ada di sini?"
"Kakak ada event di Bali. Bentar lagi mau berangkat. Kamu sendiri ngapain ada di sini?"
"Aku ada pelatnas, kak. Buat sea games nanti."
"Wah, hebat kamu, Randy. Kakak gak nyangka kamu sampe ke titik ini. Selamat, yah." Ranty mengulurkan tangan memberikan selamat.
Randy menjabat tangan kakaknya itu. Meskipun begitu, mereka masih sama-sama sedikit canggung. "Eh, berarti kita satu penerbangan, dong."
"Emm...kayaknya gitu."
Ranty menoleh ke sebelah kiri Randy. Dari sana Justin datang dengan dua cangkir kopi di tangannya lalu memberikan salah satunya kepada Randy. "Thanks," jawab Randy.
Ranty terdiam. Wajahnya mengarah ke Randy namun bola matanya sesekali melirik ke Justin. "Eh, iya. Kenalin, kak. Ini Justin temen Randy. Justin, ini kakak gue, namanya Ranty."
Mereka pun berjabat tangan. Justin menampakkan ekspresi datar, hanya sedikit mengangkat ujung bibirnya, itupun hanya sepersekian detik.
"Ranty! Lu abis kemana, sih? Tega lu ninggalin gue sendirian di toilet." Suara itu berasal dari belakang Ranty. Muncul sosok wanita lain dengan ekspresi kesalnya.
"Loh Randy?! Justin?!" tunjuk wanita yang baru datang itu.
"Anes?!" ujar Randy kembali terkejut.
"Loh, kalian udah saling kenal?" Ranty menyusul dengan ikutan kaget.
Mereka bertiga saling pandang. "Ya kenal. Dia kan mantannya si Justin." Randy melirik Justin setelah menyelesaikan kata-katanya.
Anes mendekati Justin lalu tanpa ijin langsung memeluk pria itu. "Hello, boy! I missed your smell," ungkap Anes sambil membenamkan wajahnya di dada Justin.
"Nes. Gue lagi bawa kopi panas. Mau gue siram, lu?!" ucap Justin sedikit kesal karena saat Anes memeluknya, cangkir yang ia pegang bergoyang dan sedikit menumpahkan isinya.
Anes melepaskan pelukannya. Justin meringis melihat raut kesal Anes. "Ah, gak asik lu mah!"
Bughhh...
Tiba-tiba Anes menabok selangkangan Justin dengan tangannya, membuat kopi yang dibawa Justin tumpah betulan.
"Anjir, lu! Sumpah ya, Anes bang*at!" umpat Justin yang langsung meletakkan kopinya di atas kursi karena tangannya terasa terbakar. Anes malah tertawa ngakak.
Wanita itu beralih ke Randy. "Yah, mending sama Randy aja, deh. Kontolnya lebih gede," ucap Anes santai seraya memeluk pinggang Randy.
"Nes, asli, yah. Air bag lu bisa mengguncang dunia kalo kek gini ceritanya," keluh Randy ketika payudara Anes yang super jumbo itu menabrak siku Randy yang sedang memegang cangkir kopi berbahan kertas.
"Ahh, kalian berdua sama aja! Kontolnya kecil!" Anes melepaskan pelukannya. Namun sebelum beranjak, dia sempatkan meremas biji Randy.
"Aduh! Sumpah mules anyinggg!" Randy menunduk merasakan ngilu di area selangkangannya.
Ranty mengamati interaksi antara mereka bertiga. Tapi setelah diperhatikan, mereka tampak memiliki hubungan yang baik. Meskipun mereka saling ejek dan saling umpat.
Selang beberapa saat muncul satu lagi wanita cantik sambil menarik sebuah koper besar. "Dicariin, ternyata pada di sini."
Wanita itu lalu menatap Randy. "Loh, lu temennya Ajeng, kan?" tembak wanita tersebut. Randy mengernyitkan dahinya berusaha mengingat-ingat siapa wanita itu.
"Gue Irene. Masih inget, gak? Kita terakhir ketemu di hotel beberapa tahun lalu pas lu check in sama Ajeng."
"Wah-wah-wah, ternyata Randy seorang penjahat kelamin." Anes bertepuk tangan seperti mengejek.
"Apaan sih lu, Nes?!" Randy mengalihkan perhatian ke Irene. "Lupa-lupa ingat, hehehe...soalnya kejadiannya udah lama banget."
"Iya, yah. Sayang Ajeng gak bisa ikut. Dia udah pensiun, udah nikah, udah punya anak juga."
"Iya, gue juga pernah ketemu sama dia, tapi anaknya belum brojol." Irene hanya mengangguk.
Tak berselang lama, pengumuman keberangkatan mereka ke Bali berkumandang. Mereka lalu melangkah untuk menaiki pesawat yang akan membawa mereka terbang.
Anes tampak berbincang dengan Justin, sedangkan Randy berbincang dengan Ranty dan Irene. Rencananya Vancy models, agensi mereka akan mengadakan pemotretan di Bali, dilanjutkan dengan party di salah satu club yang terkenal di pulau Dewata itu.
Sebenarnya, pemotretan bukanlah agenda utama mereka, tapi Expo yang diadakan Vancy models untuk memanjakan para petinggi yang akan berkumpul di sana. Pantas saja, model-model unggulan yang mereka percayai untuk mengisi acara tersebut.
Perjalanan hanya memakan waktu tidak sampai dua jam. Di bandara I Gusti Ngurah Rai, sebelum mereka berpisah, Ranty memberikan alamat tempat dirinya menginap.
"Kalo kamu ada waktu luang, mampirlah. Kakak di sini selama satu minggu. Kita bisa...yah bernostalgia paling enggak," tawar Ranty.
Randy mempertimbangkan tawaran itu, kemudian ia mengangguk. "Oke, kak. Nanti aku kabarin, ya." Ranty mengangguk.
Saat Randy berbalik hendak pergi, Ranty menarik tangan Randy. Lalu secepat kilat mencium bibir pria yang berstatus adik kandungnya itu.
Mmmuuaaaccchhh...
"Kakak kangen banget sama kamu," lirih Ranty saat tautan bibir mereka terlepas. Wanita itu melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu pergi.
•••
Icha sudah diperbolehkan untuk pulang. Dia dibantu oleh pak Karso dalam perjalanannya sampai di rumah.
Bersama dengan ibu Sri, Aira yang menunggunya menyambut dengan gembira. "Mama pulang! Aira kangen banget sama mama!" celetuk anak kecil itu yang sedang menginjak usia tiga tahun.
Icha hanya memeluknya penuh rasa rindu. Ingin rasanya menggendong buah hatinya, namun keadaannya belum memungkinkan. Bahkan sekarang dia masih harus menggunakan kursi roda.
"Aira gak nakal, kan? Waktu ditinggal mama?" Aira menggeleng. "Enggak, mama. Aira kan gak mau bikin mama sedih."
Icha tersenyum mengusap pipi Aira yang memiliki cetakan wajah Randy. Mengingat itu Icha kembali termenung. Pak Karso yang melihatnya dapat menangkap perasaan yang ada di dalam hati Icha.
"Nak Icha, istirahat dulu. Kamu kan lagi hamil, jangan banyak gerak dulu. Ibu udah minta ijin sama adik ibu supaya kamu diijinkan cuti kerja sampe kamu melahirkan." Suara ibu Sri menginterupsi.
Icha pun mendongak. "Gak bisa gitu dong, bu. Usia kandungan Icha kan baru dua bulan. Masih lama persalinannya. Lagian kalo diem lama-lama di rumah juga bosen."
"Kamu tenang aja. Pemilik kafe tempat kamu kerja kan punya adik ibu, yang penting kamu sehat. Kamu juga gak harus diem di rumah terus. Kamu bisa ikut kelas senam ibu hamil, nanti bapak yang urusin semuanya."
Icha diam saja. Malas jika harus berdebat dengan ibu Sri. Ujung-ujungnya dia yang harus mengalah. "Kalo gitu ibu pulang dulu, ya. Warung gak ada yang jagain. Bapak, ibu titip nak Icha, ya," ujar ibu Sri seraya melangkah pergi.
Selalu saja begitu. Entah kenapa dia seperti sengaja meninggalkan Icha dan pak Karso berdua. Dan sekarang hanya ada mereka bertiga.
"Nak Icha. Bapak mau ngomong sesuatu, boleh?" Icha yang sedang memperhatikan Aira bermain boneka pun menoleh. "Ngomong apa, pak?"
"Jadi gini. Bapak tadi sempat denger percakapan kamu sama Randy. Bapak tau kalo kamu masih cinta sama Randy, kan? Tapi kenapa kamu malah nyuruh dia sama wanita lain? Jelas-jelas bapak liat Randy mau bertanggung jawab atas kamu dan anak ini. Sebenarnya siapa wanita yang bernama Annisa itu? Kenapa kamu terus belain dia sampe harus mengorbankan perasaanmu sendiri?"
Jelas pak Karso tidak mengerti. Dia tidak pernah melihat Icha menatap seorang pria seperti dia menatap Randy. Sebuah tatapan penuh cinta. Kadang membuat dirinya iri tapi yang namanya cinta tidak bisa dipaksakan.
Icha tersenyum. "Dia wanita yang baik, pak. Dia yang merubah hidup saya dari yang dahulu jadi perempuan kotor. Dia yang mengajari saya banyak hal," kata Icha.
Pak Karso tidak menanggapi, namun matanya tetap fokus dengan wajah teduh Icha yang sedang menemani Aira bermain.
Dari keterdiaman mereka, tiba-tiba pintu rumah diketuk. Secara kebetulan, orang yang sedang mereka bicarakan datang.
"Assalamualaikum," ucap Annisa memberi salam. "Waalaikumusalam, Annisa. M...masuk." Icha langsung menawari perempuan cantik itu untuk masuk.
Annisa menyunggingkan senyuman manis. "Gimana kondisi kakak? Tadi aku ke rumah sakit katanya kakak udah pulang."
Tidak ada raut sedih ataupun kecewa. Senyumannya benar-benar tulus. "Kakak udah baikan," jawab Icha. Annisa duduk di sebelah Icha seraya menaruh sebuah tas kresek hitam yang ia bawa.
"Annisa, ada yang mau kakak bicarakan." Icha melirik ke arah pak Karso. Agaknya pria paruh baya itu mengerti maksud Icha. Dia lalu pergi dengan alasan ingin membeli kopi di warung.
Setelah kepergian pak Karso, Icha kembali menatap Annisa. Dia tumpuk tangannya di atas punggung tangan Annisa.
"Annisa, kakak mau jelasin tentang hubungan kakak sama Randy. Kamu jangan salah paham, anak yang ada di dalam kandungan kakak buka anaknya Randy."
"Kakak bisa aja bohongi Randy, tapi enggak sama aku, kak. Aku kenal sama kakak. Kakak gak mungkin berhubungan sama laki-laki sembarangan."
"Tapi itu kenyataan..."
"Kak!" Annisa memotong dengan cepat. Menatap mata Icha, mencari sisi kebohongan di sana. Annisa menemukan celah, meskipun hanya sedikit.
"Aku juga perempuan, kak. Aku bisa ngerasainnya." Icha mulai tidak sanggup menatap mata Annisa. Matanya berpendar ke sekeliling hanya untuk menghapus air mata yang mendadak keluar.
"Hubunganku sama Randy udah berakhir. Sekarang, kejarlah cinta kakak sendiri. Jangan lagi berkorban untukku. Kakak berhak bahagia juga."
Annisa memaksakan senyum meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Mungkin ini saatnya untuk menyerah bagi Annisa.
To Be Continue...