Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 3)

Siapa yang akan dinikahi oleh Randy?


  • Total voters
    645
  • Poll closed .
barusan nyari lagi judulnya di wattpad kok kagak ketemu yak, perasaan terakhir nyari nemu loh di paling atas
 
Bimabet
Part 26. Siapa Yang Harus Aku Pilih?

Gringgg...

"Umpan sini, Ran!" Randy melemparkan bola tepat ke arah rekan yang dia tuju. Dia kemudian melakukan gerakan tanpa bola menuju area pertahanan lawan.

Rekannya tahu apa yang Randy minta. Dia shoot bola tersebut seakan-akan ingin langsung memasukkan bola tersebut ke dalam ring basket.

Para pemain lawan sudah mengira bahwa bola tersebut meleset dan bersiap untuk melakukan rebound. Namun tanpa diduga Randy bergerak cepat dan melompat ke arah ring sebelum bola tersebut membentur board.

"Sial!" pekik salah satu pemain lawan yang gagal mencegah serangan dadakan Randy yang tidak terdeteksi.

Duggg...

Bola yang membentuk board langsung disambar oleh Randy dan ia masukkan bola tersebut dengan Slam dunk yang indah.

Gringgg...

Para penonton langsung bersorak karena takjub dengan kombinasi permainan tim GB yang sangat jarang terjadi di liga profesional Indonesia. Mereka melakukan kombinasi alley-oop.

Sekali lagi Randy menampilkan permainan terbaiknya. Performa Randy meningkat semakin pesat. Tidak ada yang mengira pemain yang melakoni tahun debut pertamanya dengan sangat gemilang.

Setelah pertandingan usai, para pemain GB merayakan kemenangan di locker room. Performa Randy menyebarkan aura positif dalam ruangan.

"Anjay, si raja bucin kita mvp lagi. Emang lu dapet wangsit darimana bisa-bisanya sepanjang pertandingan lu hot terus," ucap Alvin.

Randy tertawa sambil mengangkat sepatunya di depan wajah Alvin. "Nih, berkat 'the legend' yang kemarin-kemarin lu hina-hina."

"Hah? The legend? Wkwkwk..." Alvin tertawa terbahak-bahak karena penamaan Randy kepada sepatu miliknya yang murahan itu.

"Iya lah, karena gue yakin dia bakal nemenin karir gue sampe sukses nanti," ujar Randy penuh percaya diri.

Alvin hanya geleng-geleng kepala. Dia mengakui bahwa kekuatan sugesti jauh lebih kuat daripada teori. Buktinya Randy dengan sepatu yang bisa dibilang secara kualitas jauh di atas rekan-rekannya justru mampu tampil gemilang di setiap pertandingan.

"Ran! Tin! Dipanggil coach Roy di ruangan," ujar assisten manager.

Sejenak Randy menatap Justin dengan tatapan penuh tanya. Justin hanya mengedikkan bahunya tapi tak urung akhirnya mereka masuk ke ruangan coach Roy dengan tanda tanya besar. Apa yang ingin coach Roy katakan pada mereka?

Apakah itu ada hubungannya dengan Ginanjar? Perlahan perasaan khawatir hingga di hati Randy, tetapi buru-buru ia tepis karena selain dia sudah memegang kartu as Ginanjar dia juga dipanggil bersama Justin yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah itu.

Saat masuk ternyata coach Roy tidak sendirian. Dia ditemani oleh anak perempuannya yang bernama Prilly. Mereka tengah asik berciuman layaknya sepasang kekasih.

Melihat kedatangan Randy dan Justin, dengan terkejut Prilly melepaskan pagutan ayahnya di bibir manis miliknya dan beranjak dari pangkuan sang ayah. Dengan wajah memerah Prilly menghapus jejak saliva itu dari mulutnya menggunakan tangan.

"Kalo mau masuk ketuk pintu dulu!" geram coach Roy yang ranah privasinya terusik. "Maaf coach," ungkap Justin.

"Hai Ran! Tin! Selamat ya atas kemenangan pertandingan barusan," ujar Prilly dengan agak kikuk.

Randy hanya menarik salah satu sudut bibirnya sambil memberi tanda 'ok' melalui jari tangannya agar Prilly tidak usah khawatir atas apa yang terjadi antara dia dan ayahnya.

"Ada apa coach manggil kami?" Justin bertanya. Coach Roy tersenyum seraya menarik laci yang ada di mejanya lalu mengambil dua amplop berwarna coklat.

"Ada kabar gembira buat kalian berdua. Ini baca sendiri." Coach Roy menyerah dua amplop tersebut ke hadapan Randy dan Justin.

Randy masih bingung dengan apa isi amplop tersebut, berbeda dengan Justin yang sudah bisa menebak isinya.

Randy pun mengambil benda tersebut dan membukanya. "Berdasarkan evaluasi yang kami lakukan selama tiga bulan terakhir di liga basket profesional, kami memutuskan untuk mengundang anda pada acara seleksi pelatnas selama sembilan hari di bali pada tanggal 1-9 Februari."

Deggg...

Jantung Randy seolah berhenti sesaat. Dia tahu apa maksud dari surat tersebut namun masih belum yakin. Sisa kalimat di surat tersebut dilewati oleh Randy. Dia kemudian menatap coach Roy dan Justin dengan perasaan terkejut dan bertanya-tanya.

"I...ini gimana maksudnya coach? Saya diundang buat seleksi timnas basket?"

Coach Roy mengangkat alisnya seraya mengangguk membenarkan pertanyaannya. Hati Randy terasa berbunga-bunga. Akhirnya setelah berusaha keras untuk menembus squad timnas, Randy berhasil melakukannya.

Dia tatap Justin yang terkekeh melihat reaksi Randy. "Ya, gue sama lu masuk ke dalam pemain yang diundang untuk seleksi. Gak gampang bisa dapet kesempatan ini," tutur Justin.

Randy pun merasa sangat senang. Ia melompat memeluk Justin sambil kegirangan. "Tin, gue masuk pelatnas, Tin. Kaya janji gue sama lu dulu waktu pertama kali kita ketemu." Justin mengangguk.

Dia ingat pertama kali mereka bertemu ketika pekan olahraga mahasiswa saat Randy berpura-pura menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Jakarta. Saat itu Justin langsung terpukau dengan permainan apik Randy padahal dia saat itu masih seorang amatiran.

Kini hanya satu langkah lagi impian mereka bisa terwujud. Tak dipungkiri Justin juga senang karena untuk yang ketiga kalinya ia dapat masuk ke jajaran pemain nasional meskipun untuk di tahun ini posisinya kerap diisi oleh Randy tapi pihak manager timnas masih mau mempercayakan satu tempat kepadanya.

"Kalian jangan senang dulu. Ini baru seleksi. Kalian harus lebih berusaha agar tidak kalah dengan pemain lain yang dipanggil juga."

"Hmm..." Coach Roy tampak berpikir sejenak. Jari-jari tangannya ia tautkan di depan wajah.

Randy dan Justin saling berpandangan. "Ada yang salah coach?" tanya Randy. Dia kembali pada mode normalnya.

"Kalian punya posisi yang sama. Akan sangat sulit kalian bisa lolos secara bersamaan mengingat posisi small forward sudah pasti akan diisi oleh pemain naturalisasi asal Kanada yang baru-baru ini masuk."

Mendadak semangat yang tadi terpancar di wajah Randy pun meluruh. "Terus kita harus gimana coach?" ungkap Justin.

"Hmm..." Coach Roy memejamkan mata sekaligus memijat pelipisnya untuk berpikir tentang solusi terbaik.

"Gimana kalo salah satu di antara kalian pindah posisi." Sontak ketiga pria yang ada di ruangan itu menoleh ke arah seorang wanita yang memberikan saran.

Prilly mengangkat jari telunjuknya di udara. "Kalo buat Randy kayaknya udah fix di SF deh gak bisa dipindah kemana-mana lagi. Dia punya kecepatan dan dribel yang baik, walaupun postur tubuhnya termasuk pendek untuk ukuran pemain basket tapi bisa dicover sama lompatan yang tinggi. Sayangnya untuk lemparan 3 poin masih kurang."

Pandangan Prilly berpindah ke Justin. "Nah kalo buat Justin kita masih bisa rubah posisi. Untuk posisi C kayaknya kita lupain aja karena postur tubuh gak mendukung. Posisi PF juga kurang mengingat rebound Justin gak terlalu baik dan sering kalah duel fisik. Nah tinggal posisi PG dan SG, kira-kira ada masukan?" jelas Prilly panjang lebar membuat Randy, Justin, dan coach Roy melongo.

Tampaknya pengetahuan Prilly soal basket tidak bisa dianggap remeh. Coach Roy menatap Justin. "Gimana, Tin? Apa posisi yang menurutmu paling nyaman?" tanya coach Roy.

"Dua duanya saya butuh beradaptasi, coach! Tapi kalo PG terus terang saya agak kurang percaya diri," terang Justin.

Prilly meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja, menaruh setengah berat badannya di meja tersebut. "Aku juga merasa begitu. Lebih cocok Justin pindah ke posisi SG, dia punya tembakan 3 angka yang bagus. Selain itu Justin juga gak punya pengalaman untuk mengatur ritme permainan jika ditempatkan di posisi PG."

"Gimana Justin? Apa kamu bersedia dipindahkan ke posisi itu?" Coach Roy meletakkan punggung ke sandaran kursi.

"Akan saya coba coach."

Coach Roy mengangguk senang. "Baiklah, mulai besok kamu akan saya tempatkan di posisi SG. Beradaptasilah dengan cepat karena tidak lama lagi seleksi pelatnas akan dimulai," saran coach Roy.

Randy dan Justin lalu menunduk hormat kepada lelaki paruh baya itu. "Kalau begitu silahkan kalian keluar. Sama masih ada urusan yang sempat tertunda tadi."

Mereka berdua langsung berbalik hendak pergi meninggalkan ruangan itu. Sudut mata Randy sempat melihat coach Roy kembali merengkuh pinggang anak perempuannya itu agar duduk di pangkuannya.

Beberapa saat kemudian setelah mereka membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka lalu bersiap untuk pulang ke rumah. Namun baru saja hendak menstarter motornya, Randy sudah dicegat oleh Prilly.

"Tunggu, Ran!" Randy menatap manik mata Prilly. Wanita itu tampak tergesa-gesa. "Kenapa, Prilly?"

"Ehh...emm...Ran, yang tadi, emm...jangan bilang siapa-siapa, ya!" pinta Prilly.

"Yang tadi yang mana?"

"Yang tadi waktu lu masuk ke ruangan papa bareng Justin."

"Oh, yang itu. Hahaha...mana mungkin lah gue cepu sama orang lain. Apa untungnya buat gue?"

"L...lu gak keberatan gitu? M...maksudnya lu gak mau hujat gue kan karena gue tadi lagi bercumbu sama papa gue?"

"Hujat ngapain? Gue mah slow aja. Selama lu nikmatin dan gak ada unsur paksaan, itu sah-sah aja. Hidup itu pilihan Pril."

Mendengar jawaban Randy membuat Prilly lega. "Meskipun gue penasaran awal mula hubungan lu sama papa lu, wkwkwk..." canda Randy.

Prilly menggeleng. "Gak ada yang perlu dipenasarin. Gue cinta sama papa gue. Udah itu aja," jelas Prilly singkat.

Randy menepuk-nepuk pundak Prilly. "Selama lu merasa nyaman, gue dukung. Tapi satu yang perlu lu ingat, gak semua orang punya kesibukan untuk gak ngurusin urusan orang lain, jadi hati-hati."

Prilly tersenyum, dia memeluk Randy erat. "Makasih ya, Ran. Lu gak ngejudge gue. Gue tau apa yang gue lakuin emang gak lazim, tapi gue gak bisa bohongin perasaan gue."

"It's okay, Pril. Ya udah gue cabut dulu," ujar Randy berpamitan. Prilly melambaikan tangan saat Randy menjauh dari pandangan.

Seperti biasa saat berkendara pulang pikiran Randy selalu tertuju ke rumah kontrakan Icha. Dia tidak sabar untuk menemui kedua bidadarinya itu.

Tapi saat sampai di rumah tersebut senyum di bibir Randy mendadak pudar. Dia menemukan sepasang suami-isteri yang sudah setengah baya tengah bertamu di sana.

"Assalamualaikum," sapa Randy.

"Waalaikumusalam," jawab ketiga orang itu.

Aira yang berada di pangkuan Icha langsung meminta turun dan berlari menuju ayahnya. "Papa!" celetuk Aira girang.

Randy yang disambut begitu hangat oleh anak perempuannya itu kemudian mengangkat Aira ke dalam pelukan serta menghujani pipinya dengan ciuman gemas.

Adegan itu tidak lepas dari penglihatan ketiga orang yang ada di ruang tamu. Namun salah satunya menatap dengan sengit.

"Emm...mas, kenalin ini ibu Sri dan ini suaminya," ujar Icha memperkenalkan tamu itu.

Randy terdiam sejenak. Dia merasa geli mendengar Icha memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Tapi Randy senang dengan sebutan baru itu.

Pandangan Randy berpindah ke Icha dan orang yang duduk di sebelahnya. Entah kenapa Randy tidak suka melihat Icha dan laki-laki paruh baya itu duduk bersebelahan di sofa panjang. Wanita yang menjadi istri dari pria tersebut malah duduk sendirian di kursi single.

Tampak gestur tubuh Icha yang canggung dan tidak nyaman berada di sebelah lelaki itu. Berkali-kali Icha meremas telapak tangannya sendiri.

"Kamu mantan suaminya nak Icha, kan?" sindir ibu Sri dengan raut wajah meremehkan. "Jangan harap dengan mencari perhatian anaknya, nak Icha mau kembali lagi sama kamu!" lanjutnya lagi.

"Saya rasa ibu gak berhak mencampuri urusan orang lain?" sengit Randy. Kedua mata mereka saling bertatapan dengan rasa benci yang merebak.

Icha pun bingung mengatasi perang dingin antara keduanya. Sebagai pihak yang paling tua di situ, Karso berdiri dan menghampiri Randy.

"Mas, mending kita ke warung sebelah lapangan aja, yuk! Sekalian ngobrol-ngobrol biar tambah akrab. Aira juga kayaknya butuh udara segar," ajak Karso dalam usahanya melerai mereka.

Sebenarnya Randy enggan mengiyakan ajakan lelaki paruh baya itu, tapi Icha dalam diam mengangguk agar Randy mau mengikuti Karso.

Dengan menyorotkan tatapan tajamnya ke arah ibu Sri, Randy akhirnya mengikuti Karso keluar membawa Aira. Mereka pergi ke sebuah warung pojok lapangan sepak bola tempat bapak-bapak biasa nongkrong dan bermain catur.

Setelah Randy dan Karso pergi, Icha menghembuskan nafas panjang. "Tuh kan, nak Icha. Kamu liat sendiri kelakuan mantan suami kamu. Gak ada sopan santunnya sama orang tua. Bagus kamu udah cerai sama dia. Ibu cuma gak mau kamu menderita hidup sama lelaki kasar dan galak seperti dia."

Icha hanya diam saja karena tidak tahu apa yang harus ia katakan. "Jauh banget sama bapak. Dia orangnya baik, penyayang, gak suka ngomong kasar gitu. Dia juga sayang sama Aira seperti anaknya sendiri. Pokoknya calon suami idaman banget deh," ujar ibu Sri masih berusaha untuk mempengaruhi wanita satu anak itu.

Dalam hati Icha tidak membenarkan ucapan ibu Sri tentang ayah dari anaknya itu, tapi dia membenarkan ucapan ibu Sri tentang Karso. Ya, lelaki paruh baya itu memang baik dan dan tulus sayang dengan Aira. Sulit menemukan laki-laki seperti itu.

Dan jika Randy sudah memutuskan untuk menikahi Annisa, lalu bagaimana dengan Icha? Apakah dia harus selamanya sendiri? Icha juga butuh sosok seorang suami.

Sekarang memang Randy mengisi sosok tersebut dengan sangat sempurna, namun itu tidak akan bertahan selamanya.

Dalam kebimbangan yang sangat berat tiba-tiba tangannya disentuh oleh ibu Sri. "Percayalah, bapak bisa jadi sosok suami yang bertanggung jawab bagi kamu dan juga Aira. Kamu gak usah ragu. Ibu sudah membuktikannya bagaimana ibu sangat bahagia dan beruntung memiliki bapak sampai saat ini," ucap ibu Sri yang sedikit menurunkan kadar kegelisahan Icha.

Di warung pojok lapangan Karso dan Randy tengah duduk lesehan sambil menyeruput kopi yang dipesan beberapa saat yang lalu. Aira sibuk mondar-mandir mengelilingi ayahnya. Dia masih dalam pengawasan Randy.

"Maaf mas, namanya siapa?" tanya Karso sambil menyodorkan tangannya. "Randy, pak." Randy menerima uluran tangan itu. "Saya pak Karso." Jabat tangan pun terlepas.

"Maaf mas Randy."

"Panggil Randy aja pak."

"Emm...oke deh. Randy, kalo boleh tau apa alasan Randy dan nak Icha bercerai?" Randy yang sedang menyeruput kopinya pun tersedak.

"Uhukkk...uhukkk..."

"Pelan-pelan, Randy."

Randy menghapus jejak kopi di bibirnya dengan menggunakan punggung tangan. Dia terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Karso kepadanya.

"Itu...cuma kesalahpahaman aja kok, pak," respon Randy seadanya. Dia tidak bisa berpikir cepat untuk sekedar menjawab pertanyaan Karso yang terbilang cukup privasi tersebut dan Randy juga belum menyiapkan jawabannya.

"Emangnya kenapa kok bapak tanya begitu?" sambung Randy.

"Gak papa. Bapak cuma merasa hubungan kalian gak seperti pasangan yang sedang ada masalah. Kalian seperti pasangan yang serasi. Nak Icha juga tadi sikapnya sangat menghormati kamu sebagai suaminya."

Randy hanya mengangguk tanpa ada satu katapun yang terucap. Karso meminum kopinya sebelum kembali berbicara.

"Kalo itu masalah orang ketiga, bapak gak habis pikir sama kamu, Randy." Randy menoleh ke arah Karso. "Kenapa, pak?"

"Ya, udah dikasih istri yang nyaris sempurna tapi masih nyari yang lain. Itu namanya gak bersyukur. Kalo bapak jadi kamu, bapak gak akan sia-siakan dia. Bakalan bapak jaga sepenuh hati. Jangankan selingkuh, ngelirik perempuan lain aja gak akan bapak lakuin."

Randy meringis mendengar ucapan Karso. Hatinya merasa merasa tersentil karena meskipun berbeda konteks tetapi Randy menyimpan dua sosok wanita di hatinya saat ini.

Dan Randy bingung, karena Annisa lah yang memiliki hatinya terlebih dahulu. Randy jatuh cinta kepada Annisa setelah insiden waktu itu.

Tapi kehadiran Aira ditambah sikap Icha yang seolah menjadi semangat hidup Randy kembali menyala membuat dirinya bingung untuk menentukan pilihan.

"Siapa yang harus aku pilih?"

To Be Continue...
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd