Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Suka dengan sesi balkonnya. Auranya terasa "panas".

Ditunggu kembali dari hibernasinya hu. Jangan lama-lama. Penasaran dg season 3 dan kalau ada tambahan flashback kak Ranty juga. Maaf reader banyak request dan selamat hibernasi
 
Until I Found You

13 tahun yang lalu di pojokan suatu sekolah dasar, seorang anak kecil berusia 9 tahun sedang berjongkok sambil memeluk lututnya menangis.

Ya, dia adalah diriku. Namaku Sean Alfaro. Aku bukanlah orang yang kaya raya, bahkan aku bisa dibilang berada di garis kemiskinan. Itulah mengapa namaku sering dijadikan bahan bulian. Orang miskin namanya sok kebarat-baratan. Entah apa yang dipikirkan ibuku waktu memberi nama itu.

Aku seorang yatim piatu. Lebih tepatnya aku tidak pernah bertemu dengan ayahku sejak aku lahir dan ibuku meninggal belum lama ini karena sakit.

Sekarang aku tinggal bersama kakak Perempuanku satu-satunya yang berprofesi sebagai perawat. Dia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki.

Kalau ditanya apakah aku nyaman tinggal bersama mereka, jawabannya TIDAK! Suami kakakku terlihat jelas tidak menyukaiku dan kakakku hanya menafkahi ku sebatas finansial untuk kebutuhan pokok dan pendidikan sekaligus tempat tinggal. Selebihnya dia tampak acuh padaku.

Mungkin kalau sebelum meninggal almarhumah ibuku tidak berpesan pada kakakku agar merawatku dengan baik, pasti sekarang aku sudah menjadi gelandangan.

Dulu ibuku pernah bercerita bahwa ayahku adalah seorang yang baik dan juga pemberani serta pembela kebenaran. Dia adalah seorang pemain basket profesional yang sudah mengharumkan nama bangsa.

Tapi dari desas-desus tetangga, banyak yang bilang kalau ayahku adalah seorang narapidana dan saat itu sedang mendekam dalam penjara.

Yah, aku mengerti kalau ibuku hanya mengarang cerita saja agar aku bisa bangga dengan ayahku. Mana mungkin kan kalau ayahku seorang pemain basket profesional? Ada-ada saja.

Kembali ke cerita...

"Hai dek, kenapa kamu di sini sendirian? Orang tuamu mana?" Aku mengangkat kepalaku ketika mendengar seseorang menyapa diriku.

Ku lihat seorang wanita tersenyum manis kepadaku, sangat manis. Dia ikut berjongkok mensejajarkan posisinya dengan diriku.

Waktu itu adalah hari penerimaan raport. Dari sekian banyak siswa hanya aku yang tidak memiliki wali untuk mengambil hasil belajarku selama setahun ini. Biasanya ibuku yang selalu melakukannya, tapi sekarang beliau sudah tidak ada.

"Hiksss... ibuku udah meninggal, dan ayahku, hiksss..." Aku hanya menunduk tidak melanjutkan kata-kataku.

Wanita itu menatapku iba. Dielusnya puncak kepalaku seraya berkata, "Jangan nangis yah dek. Tante kasih kamu permen mau?"

Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Mataku berbinar ketika melihat sebuah permen lollipop yang cukup besar di tangannya. Maklum kampungan, belum pernah makan permen gede.

"Ternyata rasanya manis tapi masih kalah manis dengan tante itu," gumamku dalam hati.

"Enak?" Aku hanya mengangguk pelan dan masih fokus menjilati permen itu.

"Terima kasih tante baik!" ungkapku atas pemberiannya.

Dia kembali tersenyum manis. Aku suka sekali kalau dia sedang tersenyum. Aku benar-benar merasa disayangi. Merasa kalau ibuku kembali hidup dengan mengambil alih tubuh orang lain.

"Mamah!" panggil seorang anak perempuan yang membuat tante baik itu menoleh.

Tanpa menunggu lama anak itu berlari menghampiri kami dengan tas gendong yang kebesaran untuk ukuran dirinya.

"Mamah darimana aja? Dari tadi Dinda cariin!" ujarnya merajuk.

"Sayang, mamah baru keluar dari kelas kamu ambil rapot terus mamah lihat ada anak kecil nangis di sini, makannya mamah samperin," jawab wanita itu dengan nada lembut.

"Kamu udah kenalan belum sama..." Tante itu melirik sejenak ke arahku.

"Sean tante," jawabku mengerti apa yang dia maksud.

"Nah, Sean?" Tante itu balik menatap anaknya. Anak perempuan itu menatapku sesaat dengan tatapan sebal sambil mencebikkan bibirnya.

"Mana mamah rapotnya, Dinda rangking berapa? Mau liat!"

Tanpa menggubris perkataan ibunya dia meminta hasil nilai rapot itu. Setelah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan, anak perempuan itu langsung pergi menghampiri teman-temannya untuk membandingkan nilai-nilai mereka.

"Kamu udah ambil rapotnya belum?" tanya tante itu seketika membuatku kaget. Aku hanya mengangguk sambil menyodorkan buku bersampul merah kepadanya.

Saat itu aku yang mengambil rapotku sendiri, tanda tangan sendiri meskipun aku belum bisa tanda tangan. Tapi untunglah pihak sekolah tidak mempersulit mengingat kondisiku memang tidak memungkinkan untuk diambil orang lain.

Tante baik itu mengernyitkan dahinya seraya membolak-balikkan lembar buku rapotku yang nilainya sama dengan warna sampulnya.

"Selain mirip wajahnya juga mirip otaknya," gumam tante itu yang masih bisa didengar oleh telingaku.

"Hah?! Maksudnya tante?" tanyaku tidak paham apa yang ia katakan.

Wanita itu terkejut lalu menggelengkan kepalanya. "Ehh...bukan apa-apa kok. Kamu cuma ngingetin tante sama seseorang."

"Siapa tante?!" tanyaku penasaran.

"Ih kamu, kecil-kecil udah kepo." Aku menggembungkan pipiku karena dia bilang aku kepo. Aku kan bukan kepo tapi penasaran.

Dia kemudian berdiri. "Kamu rumahnya dimana? Biar tante antar." Aku langsung mengangguk setuju.

"Biarlah bisa lamaan dikit sama dia. Aku suka sama tante baik, enggak kaya kakak aku apalagi suaminya."

•••

Sejak saat itu aku jadi rajin berangkat sekolah, bukan karena ingin belajar tapi ingin bertemu dengan tante baik. Anaknya saat itu baru kelas satu jadi berangkat selalu diantar dan pulang selalu dijemput olehnya.

Tak jarang aku diajak main ke rumahnya. Aku jadi dekat dengan anaknya. Biasanya aku menemani Dinda bermain boneka-bonekaan. Tapi itu hanya modusku untuk bisa lebih dekat dengan mamanya. Hihihi...kecil-kecil udah bisa modus.

Di rumah itu aku lebih sering memperhatikan tante baik melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga seperti memasak, cuci piring, bersih-bersih rumah.

Di sana aku diperlakukan dengan baik layaknya anak kandungnya sendiri, itu yang membuatku betah berlama-lama berada di situ. Aku merasa seperti memiliki ibu baru, tentunya dengan casing lebih menawan, hehehe...canda.

Suami tante baik juga orangnya sangat baik meskipun sudah agak tua ya. Aku memanggilnya om baik. Hmm...kalo dipikir-pikir lebih cocok tante baik denganku daripada dengan om baik, upsss...

Kadang kalau mereka akan liburan aku selalu diajak. Aku bertugas menjaga Dinda, kemana-mana selalu minta gandengan. Aku tidak keberatan justru senang karena ada orang yang percaya kepadaku.

Beberapa kali aku menginap di rumahnya. Malam hari adalah quality timeku bersama tante baik. Saat Dinda sudah tertidur, dengan sabar dia mengajari mata pelajaran sekolah yang tidak aku tahu, lebih tepatnya semua materi hehehe...

Aku tidak pernah mengira belajar bisa semenyenangkan ini. Dengan dirinya berada di sampingku aku lebih semangat belajar. Tapi yah memang dasar IQ ku jongkok, nilaiku tetap tidak banyak perubahan. Entah menurun dari siapa otakku ini, kayaknya ibuku tidak bodoh-bodoh amat deh. Hufhhh...

Aku dibelikan baju, mainan, buku, dan kebutuhan lain. Sesuatu yang jarang aku dapatkan dari ibuku apalagi keluarga kakakku, tidak pernah!

Selama kurang lebih satu tahun aku merasakan kebahagiaan memiliki keluarga utuh. Memiliki ayah, ibu, dan adik. Hingga rasa ini semakin lama semakin kuat, khususnya kepada tante baik. Dari awalnya aku suka, lalu rasa suka itu tumbuh menjadi sayang, dan sekarang menjadi rasa takut akan kehilangannya.

Dan suatu hari apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Saat itu hari Rabu aku berangkat sekolah dengan harapan bertemu dengan tante baik seperti biasa, tapi ternyata dia tidak datang ke sekolah. Dinda, anaknya pun tidak terlihat batang hidungnya.

Penasaran akan apa yang terjadi, sepulang sekolah aku pergi ke rumah tante baik. Dahiku mengernyit kala melihat sebuah bendera kuning berkibar di depan rumahnya.

Jantungku nyaris berhenti kala itu. Walaupun aku masih kecil namun aku tahu bendera itu menyimbolkan ada yang berdukacita di rumah tersebut. Terlihat ada beberapa tamu yang duduk di depan teras sambil bercakap-cakap.

Segera aku berlari masuk ke dalam rumah. Firasatku buruk, aku melewati beberapa ibu-ibu yang ada di situ. Ya Tuhan, semoga apa yang aku takutkan tidak benar-benar terjadi.

Aku sedikit bisa bernafas lega ketika melihat seorang wanita yang aku sayangi tengah duduk di sofa sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

"Tante!" panggilku kepadanya.

Dia lalu mengangkat kepala menatapku sambil menangis terisak. Melihatnya dalam keadaan seperti itu membuat dadaku sesak. Aku masih kecil belum tahu banyak tentang kehidupan. Apa yang terjadi? Siapa yang meninggal?

Naluriku berkata agar aku mendekat kepadanya. Dia memelukku erat dan menangis di bahu kecilku. Ada Dinda juga di sampingnya.

"Hiksss...papah...hiksss..." Dinda menangis sambil memeluk lengan kananku.

Alhasil aku memeluk kedua ibu dan anak itu. Ternyata suami dari tante baik meninggal dunia karena serangan jantung. Beliau meninggal diusianya yang memasuki 50 tahun. Aku juga ikut sedih, dia juga sangat baik kepadaku.

Beberapa hari kemudian semua tampak normal. Sepulang sekolah seperti biasa aku mampir ke rumah tante baik. Saat itu aku tengah bermain dengan Dinda. Tante baik terlihat lebih sibuk dari biasanya. Beberapa kali dia menerima telepon entah dari siapa. Di tembok depan rumahnya pun terpasang tulisan 'dijual'.

"Tante! Tante mau pindah rumah ya?" Dia memutar kepalanya ke arahku lalu tersenyum manis.

Ia berjalan mendekatiku kemudian berjongkok hingga tingginya sedikit lebih rendah dari diriku.

"Iya, tante sama Dinda mau pindah ke rumah yang lebih bagus. Nanti kapan-kapan tante ajak main deh ke rumah yang baru yah," katanya dengan ekspresi yang dibuat ceria.

Namun kata hatiku berkata tante baik sedang berbohong. "Tante mau pindah kemana? Jangan tinggalin Sean di sini, hiksss..." Aku mulai mengeluarkan air mata karena takut ditinggal olehnya.

Dia mengusap kepalaku dengan lembut. Perlahan ekspresi cerianya berganti dengan ekspresi muram.

"Tante pindahnya gak jauh-jauh kok. Masih di Indonesia, cuma beda kota aja."

"Ya jauh itu namanya," selaku memprotes.

Wanita itu lalu memegang kedua bahuku sembari menghembuskan nafas dalam. "Tante janji deh kalo ada waktu tante berkunjung ke sini. Nanti kita pergi tamasya bertiga ya? Tante, Sean, sama Dinda."

Aku tak terkesan dengan ucapannya! Perkataannya tidak mampu meluluhkan hatiku yang takut kehilangan mereka. Entah dapat kekuatan darimana bocah cilik sepertiku, aku kemudian mengucapkan hal yang cukup gila.

"Tante, tante baik mau yah nikah sama Sean?"

"Hah?!" Dia melongo dengan mata terbuka lebar. Ia tutupi mulutnya dengan punggung tangan.

Hanya sebentar lalu dia terkekeh geli dengan ucapanku. Aku memang belum tahu apa arti menikah yang sebenarnya. Yang aku tahu kalau dua orang menikah maka mereka akan selalu bersama dan tidak akan berpisah lagi. Seperti tante baik dan om baik. Mereka selalu bersama sampai ajal menjemput om baik.

Tante baik tersenyum seraya memajukan bibir bawahnya. "Emangnya Sean mau nikah sama tante?" Aku buru-buru menganggukkan kepalaku.

Dia kembali terkekeh. Sepertinya tante baik menganggapku hanya bercanda. Padahal kan aku serius.

"Ya udah tante tunggu kamu dewasa dulu ya. Entar kalo kamu udah sukses, tante baru mau nikah sama kamu. Tapi kamu jangan kaget ya kalo nikah sama nenek-nenek. Hihihi..." ucapnya bergurau.

"Sean sebagai laki-laki akan menepati janji Sean untuk sukses dan menikah sama tante baik!" seruku dengan telapak tangan kiri berada di dadaku seperti seorang pemain bola yang sedang menyanyikan lagu kebangsaan.

Dia semakin tertawa lebar melihat aku berjanji sebagai seorang laki-laki. "Ihh dasar bocah. Masih kecil udah ngomong tentang janji seorang lelaki." Ia kemudian melanjutkan tertawanya.

Aku diam saja. Ya, diam-diam mengagumi wajahnya dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

•••​

Aku mengawali pagi itu dengan malas. Berharap berangkat sekolah dapat bertemu dengan tante baik eh malah yang aku temui guru kelas yang galak.

Sudah dua hari aku tidak berkunjung ke rumah tante baik dan baru hari ini Dinda tidak masuk sekolah. Saat aku melewati ruang guru aku tidak sengaja mendengar percakapan.

"Bu Santi, berkas murid yang namanya Dinda Ayu Lestari sudah dicabut belum? Nanti jangan lupa salinannya dibawa ke bagian arsip ya."

"Sudah Bu kemarin. Ibunya juga bilang kalo hari ini udah mau pindah."

Wajahku mendadak berubah pucat. Apa maksudnya ini? Apa tante baik pindah tidak bilang dulu sama aku? Apa dia mau meninggalkanku begitu saja?

Perlahan air mataku mengalir. Aku sedih! Aku tidak mau kehilangan dia. Bagaimana hidupku nanti kalau tidak ada dia?

Tanpa membuang-buang waktu aku langsung mengambil sepedaku dan mengayuhnya menuju rumah tante baik. Aku tidak peduli kalau saat itu masih jam pelajaran. Air mataku tidak mau berhenti. Aku benar-benar takut kehilangannya.

Saat sampai di rumahnya, aku tidak mendapati sebuah kehidupan di dalam rumah itu. Pintunya juga terkunci.

"Dek, cari siapa?" tanya seseorang dari sebelah rumah.

"Em...saya nyari Dinda Bu!" jawabku karena aku tidak tahu nama asli dari tante baik. Bodoh!

"Wah, baru aja Dinda sama mamanya pergi. Katanya sih udah pindah rumah."

"Pergi kemana Bu?"

"Tadi katanya mau pergi naik kereta tapi pindah kemana gak tau deh."

"Oh kalo gitu terima kasih ya Bu!" Aku menunduk sambil merapatkan telapak tanganku di depan bibir.

Aku langsung bergegas menuju stasiun untuk mengejar mereka berdua. Aku harap aku sempat menyusulnya.

"Hiksss...tante baik jahat!" Monologku sambil terus menangis.

Tanpa lelah aku terus mengayuh sepedaku. Meskipun kakiku akan lepas nanti aku tidak peduli.

Sesampainya di stasiun aku langsung melemparkan sepedaku ke sembarang arah lalu berlari masuk. Dari luar aku sudah melihat beberapa gerbong kereta tengah ditarik oleh sebuah lokomotif.

"Tante...!!!" teriakku sambil menangis keras. Aku tengok kanan-kiri melihat orang berlalu lalang.

Ada beberapa yang menanyaiku. Mereka pikir aku adalah anak yang terpisah dari orang tuanya. Aku tidak memperdulikannya, aku tetap mencari sosok yang membuat hidupku menjadi berwarna setahun belakangan ini.

Aku masih terus menangis sambil meremas ujung bajuku yang keluar dari celana. "Tante...!!!"."Tante baik...!!!" Aku berjalan menembus keramaian di sana berharap menemukan sosok yang aku cari.

"Sean!" Suara itu membuatku menoleh dengan cepat. Yah, dia! Itu orangnya! Orang yang aku cari ternyata masih di sini!

"Tante! Hiksss..." Dia mendekatiku sambil menggandeng Dinda.

Raut wajahnya terlihat sangat khawatir. Dia mengusap dahiku yang penuh dengan peluh akibat mengejarnya sampai ke sini.

"Kenapa kamu ada di sini, Sean? Kamu gak sekolah ya?!"

Aku menggeleng. "Hiksss...Tante gak sayang sama Sean ya?"

"Tentu aja tante sayang sama Sean."

"Terus kenapa tante gak bilang kalo mau pergi hari ini?!"

Dia menunduk. "Tante cuma takut kamu sedih kalo tau kamu mau ditinggal."

"Sekarang Sean sedih tante! Hiksss..." Aku menyeka mataku dengan punggung tangan.

"Jangan sedih. Maafin tante ya. Tante janji bakalan sering tengokin Sean di sini." Dia lalu memelukku dengan sangat erat.

Dia sudah seperti sosok pengganti ibuku. Aku sayang sama dia. Aku mau dengannya terus. Aku tidak mau berpisah dengan tante baik.

Ia lalu melepaskan pelukannya. "Sean baik-baik ya di sini. Jangan nakal, belajar yang pinter biar nanti sukses."

Aku mengangguk sambil mengucek mataku. "Tante janji yah kalo nanti Sean udah sukses, tante mau nikah sama Sean."

Wanita itu mengatupkan bibirnya rapat berusaha menahan tawanya yang dibalut rasa haru. Namun tak ayal dia mengangguk pelan.

"Iya Sean. Tante mau kok nikah sama Sean nanti kalo Sean udah gede dan sukses," timpalnya seraya mencolek hidungku yang katanya bangir.

"Makannya Sean harus belajar yang rajin dan tetap semangat apapun yang terjadi. Semangat!" imbuhnya lagi dengan mengepalkan tangan di samping wajahnya untuk menyemangatiku.

Tante baik kemudian mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Apa ini tante?" tanyaku saat melihat sebuah kalung dengan bentuk setengah hati di ujungnya.

"Ini kenang-kenangan buat Sean. Ada inisial 'R' di bentuk hati ini. Itu nama laki-laki yang pernah mengisi hati tante. Tante harap kamu bisa seperti dia ya." Tante baik memegang memegang salah satu pundakku.

"Tapi kenapa tante kasih ini ke Sean kalo orang itu berharga buat tante?"

"Karena kamu mirip sama dia. Kamu mengingatkan tante dengannya. Waktu tante deket sama Sean tante ngerasa deket juga sama orang itu."

Aku paham. Aku akan simpan liontin ini dengan baik. Aku juga berharap suatu saat akan jadi orang penting buat tante baik.

Tak berselang lama pengumuman tentang keberangkatan kereta yang akan ditumpangi oleh tante baik dan Dinda pun terdengar.

"Udah ya Sean, tante sama Dinda mau berangkat dulu. Kamu jangan sedih lagi ya." Dia memelukku sekali lagi barulah dia kembali berdiri.

"Dadah kakak Sean!" Ucap Dinda sambil melambaikan tangannya sebelum benar-benar pergi.

Aku terus menunggu hingga kereta yang mereka tumpangi telah hilang dari indera penglihatanku.

Mulai hari itu aku belajar dengan tekun walaupun otakku pas-pasan, aku tetap berusaha sambil terus menunggu dirinya datang untuk sekedar menjengukku di sini. Namun janji itu tidak pernah ia tepati. Tidak sekalipun aku mendengar kabarnya apalagi bertemu. Tidakkah ia rindu dengan diriku di sini?
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd