Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Ektra Part 1. Justin x Adibah+Annisa

Justin datang ke tempat latihan dengan penampilan baru. Ya, dia mencukur habis rambut yang ada kepalanya hingga plontos.

"Wadidaw gila. Pemain Ace kita kepalanya macam palkon aja nih wkwkwk..." canda Brian, seorang pemain pointguard tim GB.

"Biarin. Biar kaya Kobe Bryant."

Bukannya tersinggung, Justin justru menimpali candaan itu dengan santai. Randy yang melihatnya pun hanya menatapnya dengan tatapan datar.

Baru saat Justin menghampiri Randy, dia kemudian bertanya.

"Kenapa kepala lu?"

"Ini sebuah bukti keseriusan gue buat dapetin cewek idaman gue," jawab Justin yang membuat Randy bingung.

Apa hubungannya mengejar cinta dengan kepala plontos? Randy sampai geleng-geleng kepala.

"Nah lu sendiri gimana? Apa usaha lu buat dapetin Annisa lagi?" tanya Justin balik.

Randy tersenyum sambil menepuk pundak Justin.

"Itu lu gak usah khawatir. Annisa masih cinta sama gue. Gak bakalan susah buat dia balik lagi sama gue."

Justin malah tertawa remeh.

"Jangan terlalu percaya diri. Kalo gue liat dia itu persis kaya emaknya. Saat dia udah pernah dibohongi sama orang selamanya dia gak akan percaya lagi sama orang itu."

Randy hanya berdecak sebal. Dalam hati dia juga mengiyakan ucapan Justin. Annisa kini sudah berbeda. Dulu Randy mendapatkannya dengan cara licik yaitu dengan menaruh obat perangsang dan membuat wanita itu mabuk.

Sekarang hal itu tidak akan berhasil, justru kalau itu dilakukan mungkin Annisa akan tambah membencinya.

Setelah latihan selesai, Justin pergi ke rumah Adibah sang pujaan hati. Entah kenapa hatinya selalu tertaut kepada wanita yang bahkan lebih tua dari almarhum ibunya.

Otaknya tidak pernah berhenti memikirkan perempuan itu. Dia tidak peduli dengan pandangan orang lain. Yang menjalani adalah dirinya sendiri.

Sebelum sampai ke tujuan, Justin terlebih dulu membeli beberapa makanan untuk oleh-oleh.

Saat sampai di rumah Adibah, Justin langsung mengetuk pintu. Tak berselang lama pujaan hatinya membukakan pintu.

Wanita itu terperangah melihat siapa yang bertamu. Apalagi melihat penampilannya yang lebih rapi dan bersih, terutama di bagian kepalanya. Sangat bersih dan kinclong, sama seperti dirinya.

"Assalamualaikum Adibah."

Mata wanita itu melotot mendengar perkataan Justin. Bukan karena pria itu mengucapkan salam dengan bahasa agamanya tapi karena dia memanggil namanya tanpa ada embel-embel di depannya.

"Bisa gak kamu sedikit lebih sopan sama saya? Saya ini lebih tua dari kamu. Harusnya kamu manggil saya dengan Bu atau teteh atau yang lainnya."

"Masa manggil calon istri sendiri harus pake embel-embel sih?! Dan juga aku gak disuruh masuk nih?" ucap Justin penuh percaya diri.

Ya ampun. Jantung Adibah nyaris melompat dari tempatnya. Apa yang dia maksud dengan calon istri? Tampaknya pemuda ini otaknya sedikit bergeser.

Adibah menepuk-nepuk dadanya sendiri untuk membantu denyut jantungnya agar kembali normal.

Dulu wanita itu pasti sudah senang bukan kepalang saat Justin menyatakan cintanya, tapi kini setelah mengetahui kalau tujuan lelaki itu mendekatinya hanya agar dirinya mau merestui hubungan Annisa dan Randy, dia sudah mulai mengubur dalam-dalam impiannya untuk bisa bersanding dengan pria tersebut.

"Dengar ya Justin. Kalo kamu ke sini untuk meminta saya buat merestui Annisa dan Randy, kamu gak perlu lakukan itu. Sekarang keputusan sepenuhnya saya berikan pada Annisa. Kalau dia bilang iya, maka saya akan nurut. Saya gak mau mengekang dia lagi."

Justin memutar bola matanya malas. Dia heran kenapa wanita itu masih menyangka bahwa dia mendekatinya karena ingin menjodohkan Annisa dan Randy itu.

"Ya ampun Adibah. Aku ke sini karena aku suka sama kamu. Masa gak percaya sih?"

Adibah mengeratkan giginya geram karena sikap Justin yang terlampau santai dan terkesan kurang ajar.

Wanita itu sudah menutup pintu hatinya. Dia tidak ingin mengharapkan sesuatu yang nantinya bisa membuat dia sakit hati lagi.

Tanpa permisi Justin masuk ke dalam rumah melewati Adibah dan duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu terkejut melihat Justin masuk ke rumahnya seperti rumah sendiri. Adibah terpaksa ikut duduk berseberangan dengan Justin bersiap untuk memprotes.

"Kamu apa-apaan sih? Bertamu ke rumah orang itu yang sopan! Kamu belum saya suruh masuk, udah masuk duluan."

Justin terkekeh mendengar perkataan Adibah. Dia memang terlampau percaya diri.

"Ahh...masa sih? Bentar lagi juga bakalan jadi rumah ku teh. Rumah kita!"

Adibah membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Dia tidak tahu harus bersikap apa terhadap lelaki itu. Dirinya kesal dengan sikap Justin namun di lain sisi ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya.

Apa kini Adibah mulai berharap lagi? Ahh tidak-tidak! Dia tidak boleh termakan rayuan buaya darat itu lagi. Lelaki itu pasti hanya ingin bermain-main dengan dirinya. Yang harus dia lakukan adalah bersikap tenang.

Wanita itu menghela nafas panjang sebelum merespon ucapan Justin.

"Justin, saya gak tau apa tujuan mu kali ini, tapi tolong! Jangan ganggu hidup saya lagi. Saya hanya ingin hidup tentram di sisa umur saya."

Justin terdiam sesaat. Dadanya sakit mendengar Adibah bilang kalau dirinya terusik dengan kehadiran pria itu.

Justin berpindah tempat duduk di samping Adibah. Dia menggenggam tangan wanita paruh baya itu seraya menatap dalam matanya. Entah kenapa Adibah membiarkan lelaki itu melakukannya.

"Adibah, kalo kamu tanya apa tujuan ku saat ini. Tujuan ku adalah..."

Justin menggantung kata-katanya membuat Adibah menahan nafas.

"Ingin menghabiskan hari-hari ku bersamamu."

Mata Adibah membulat sempurna.

"Hah?! Apa kamu bilang? Saya gak salah dengar kan?" ucap Adibah tidak percaya.

"Tapi kenapa?!" lanjut Adibah lagi.

"Karena aku cinta sama kamu!"

Deggg...

Jantung Adibah mendadak bekerja lebih cepat. Apa dia bilang? Cinta? Bagaimana mungkin?

Adibah terus menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh terbawa perasaan. Wanita itu mencoba bersikap tenang walaupun dadanya sudah mendidih.

"Justin, maaf saya gak bisa terima cinta kamu," jawab Adibah dengan sedikit ragu-ragu.

Perubahan ekspresi Justin terlihat jelas bahwa dia kecewa dengan jawaban dari sang pujaan hati. Baru pertama kali dia ditolak oleh seorang wanita, dan penolakan itu keluar dari orang yang dia cintai.

"Saya sudah menutup pintu hati. Saya sudah tua, kamu masih muda Justin. Banyak yang harus kamu capai dalam hidup mu. Kejarlah cita-cita kamu!"

Justin melepaskan tangan Adibah dengan frustasi. Wanita itu lalu meletakkan telapak tangannya di bahu kekar Justin.

"Kalo kamu butuh sosok seorang ibu, kamu bisa anggap saya sebagai ibu kamu. Itu lebih baik daripada kamu mengorbankan masa depan mu untuk hidup bersama wanita tua seperti saya," lanjut Adibah merendahkan diri.

Justin menatap mata Adibah. Jelas-jelas perempuan itu berbohong. Jelas-jelas dia melihat cinta di mata Adibah tapi mengapa dia tidak mengakuinya? Hmm...sepertinya Justin harus mengikuti permainan yang dilakukan Adibah.

"Apa itu juga yang teteh mau?" ungkap lelaki itu kembali memanggil Adibah dengan sebutan teteh.

Adibah mengangguk pelan tanda mengiyakan pertanyaan Justin.

"Kalo gitu aku boleh kan deketin Annisa?"

Dahi Adibah berkerut.

"Maksudnya?"

"Ya kalo aku nikah sama Annisa, teteh juga jadi ibu ku kan?"

Adibah menutup erat bibirnya. Ternyata pemuda itu sungguh sangat nekat untuk bisa dekat dengannya, tapi tidak begini caranya. Bagaimana mungkin dia bisa melihat pria itu bersanding bersama anaknya. Dia tidak akan rela.

"Tapi Annisa sudah punya kekasih, dan itu teman mu sendiri. Apa kamu mau menusuk teman mu dari belakang?" kilah Adibah mencoba mencari cara agar Justin mengurungkan niatnya itu.

"Mereka udah putus kok. Emangnya teteh gak tau?"

Adibah memutar otaknya cepat agar mendapatkan ide lain yang masuk akal. Wanita itu memang merelakan Justin bersama wanita lain tapi bukan anaknya juga. Dia tidak bisa membayangkan pria nakal yang sempat mencuri hatinya itu bersama anaknya. Bukan tidak merestui, hanya saja ada rasa tidak rela dalam diri Adibah.

"Tapi gimana dengan perasaan Randy? Apa kamu tega? Saya yakin mereka masih saling mencintai."

Justin tersenyum sinis. Jelas sekali di wajah Adibah ada sorot mata kecemburuan, tapi dia tidak mau mengakuinya. Wanita itu justru berusaha mencari-cari alasan.

"Emangnya kenapa teh? Gimana kalo Annisa juga mau sama aku?" cetus Justin semakin memanas-manasi wanita itu.

Adibah mendengus kesal. Dirinya sadar tengah diuji oleh pria itu, dan setelah dipikir-pikir lagi Annisa tidak akan mudah menerima cinta Justin. Anaknya pasti sudah belajar dari kesalahan di masa lalu.

"Baiklah, kalo Annisa mau, silahkan saja!" jawab Adibah penuh percaya diri.

Dia yakin sekali kalau Annisa pasti akan menolak Justin mentah-mentah. Apalagi dia adalah sahabat Randy yang mana dia seseorang yang anaknya cintai.

"Oke teh kalo gitu. Tapi nanti teteh jangan cemburu sama anaknya sendiri loh. Hehehe..."

Candaan Justin membuat wajah Adibah memerah. Dalam hati dirinya takut kalau apa yang direncanakan Justin berhasil. Terlebih lagi lelaki itu punya kharisma yang kuat. Semua orang pasti akan luluh tidak terkecuali Annisa.

"Kalo kita gak bisa bersatu sebagai pasangan suami-istri, kayaknya sebagai mertua-menantu gak terlalu buruk," lanjut Justin sambil terkekeh.

Hati Adibah memanas mendengar itu. Tapi dia masih terus menyembunyikan perasaannya. Wanita itu lantas menyuruh Justin agar cepat pergi.

"Sudah sana, saya ada kerjaan yang harus saya selesaikan," usir Adibah.

Justin lalu berpamitan dengan santai lalu pergi. Adibah langsung menutup pintu rumahnya tetapi di dalam dia kembali mengintip di balik jendela saat pria itu berjalan menjauh.

"Annisa, jangan terima Justin. Bunda mohon," ucap Adibah bermonolog.

•••​

Beberapa hari kemudian, di kampus Annisa yang baru saja menyelesaikan kelas kuliahnya tengah berjalan keluar gedung.

Seperti biasa Arif berjalan di samping wanita itu berusaha mensejajarkan langkahnya.

"Annisa, kamu habis ini mau kemana?"

Annisa menoleh ke samping sesaat.

"Aku mau pulang Rif. Udah gak ada jadwal kuliah juga kan hari ini?"

"Pulang sama siapa?"

"Naik taksi online mungkin."

"Emm...pacar kamu emang gak jemput?"

Annisa menunduk seraya menggelengkan kepalanya. Arif tahu ada yang tidak beres dengan hubungan mereka tapi dia suka. Semoga saja mereka sudah putus.

"Emm...mau aku antar?" tawar Arif dengan ragu-ragu takut kalau Annisa menolak.

Namun di luar dugaan, Annisa justru mengangguk pelan membuat Arif girang bukan kepalang.

"Emang kamu gak repot Rif? Kan rumah kita gak searah."

"Ehh..***k papa kok. Aku juga mau mampir ke Gramedia," jawab Arif asal tanpa berpikir karena saking senangnya.

"Hah?! Gramedia mana? Emang ada ya?"

Arif berpikir sejenak lalu menampilkan senyum canggung. Pasti Annisa tahu kalau dirinya tengah berbohong. Tapi biarlah yang penting pujaan hatinya mau dia antar pulang.

"Annisa...!!!" panggil seseorang.

Kedua orang tersebut lalu menoleh ke arah sumber suara. Tampak sesosok lelaki tinggi dan body atletis tengah melambaikan tangan ke arah mereka.

Annisa kemudian berlari kecil menghampiri pria itu tanpa diikuti oleh Arif yang masih mematung di sana.

"Kak Justin?!" ucap Annisa memastikan nama yang ia sebut benar.

"Jangan panggil aku kak, dong!"

Alis Annisa menyatu membentuk sebuah kerutan. Bukannya wajar kan memang dia kakak angkatannya.

"Nah terus?"

"Panggil aku papah," jawab Justin sambil terkekeh.

"Hah?!" Annisa melongo mendengar jawaban asal dari Justin.

"Iya, aku suka sama mamah kamu."

"Hah?!" Kini mulutnya ia bungkam dengan telapak tangannya sendiri.

"Dan aku pengin nikahin dia."

"Hah...!!!???" Sekarang justru Justin yang kaget melihat reaksi lebay dari Annisa.

"S...serius?!" tunjuk Annisa tepat ke arah wajah Justin.

Wanita itu masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari lelaki itu. Bagaimana bisa pria seperti Justin yang memiliki pesona dan daya tarik yang kuat malah menyukai wanita yang lebih pantas ia panggil sebagai ibu.

Tapi saat pikirannya mengingat tentang kejadian beberapa minggu yang lalu, ketika Annisa menangkap basah ibunya yang tengah kasmaran membuat semuanya terlihat masuk akal. Tapi dia tidak tahu pasti apakah itu dengan Justin atau pria lain.

"Halo!" Lamunan Annisa buyar ketika tangan Justin mengibas-ngibaskan di depan wajahnya.

"Ehh...iya?!"

"Aku butuh bantuan mu."

"Bantuan?"

"Iya entar aku jelasin deh. Kamu mau pulang kan? Aku anterin ya," tawar Justin yang tidak bisa diganggu gugat.

"Eh...tapi." Jari Annisa menunjuk ke belakang ke arah Arif.

Dia berusaha memberitahu bahwa dirinya akan pulang bersama temannya. Sayangnya Justin sama sekali tidak memperdulikannya. Dia hanya berkacak pinggang dan berkata.

"Ssstttt...!!! Gak boleh ngebantah papah!"

Wajah Annisa mendadak merah. Dia takut kalau ada orang lain yang dengar. Pasti itu akan menjadi gosip yang panas mengingat reputasi Justin di kampus sangatlah terkenal.

"Kak Justin! Aku malu!"

Lelaki itu malah tertawa ngakak.

"Makannya nurut dong sama papah!" sergah Justin membuat Annisa terpaksa mengangguk.

"Nah itu baru anak papah!" lanjut Justin lagi seraya mengusap-usap puncak kepala Annisa.

"Stop! Aku panggil kakak aja!" tolak Annisa yang kemudian meniup anak rambut di keningnya yang keluar dari jilbabnya karena usapan Justin.

Annisa lalu memutar tubuhnya menghadap Arif yang masih setia berdiri di sana.

"Arif! Aku pulang bareng kak Justin ya. Kamu gak usah repot-repot anterin aku."

Perasaan senang yang beberapa menit lalu hinggap di hati Arif kini menguap begitu saja dan berganti dengan rasa kecewa.

Lagi-lagi wanitanya ditikung oleh laki-laki lain. Namun kini dia semakin pesimis karena yang dekat dengan Annisa adalah salah satu cowok paling populer di kampusnya. Itulah mengapa dia tidak menghampiri mereka berdua ketika sedang berbicara.

Arif hanya tersenyum kecut sembari melambaikan tangan pada mereka berdua yang sudah beranjak pergi.

"Sial! Yang dulu aja udah susah, sekarang ini lagi!"

Arif mengacak-acak rambutnya penuh frustasi karena mendapatkan pesaing yang jauh lebih berat dari sebelumnya.

"Annisa, kapan kamu anggap aku! Aku udah nungguin kamu buka hati buat aku! Tapi selalu keduluan sama orang lain," ujar Arif bermonolog.

Setelah itu Justin dan Annisa pergi ke sebuah kafe yang tak jauh dari situ. Justin membicarakan sebuah rencana kepada Annisa.

Dia meminta Annisa untuk berpura-pura menjadi pacarnya untuk melihat reaksi dari Adibah, dan lagi Annisa juga diharuskan mengabari tentang perkembangan perasaan Adibah terhadap dirinya.

Awalnya Annisa ragu, tapi setelah Justin meyakinkan dirinya kalau pria itu benar-benar mencintai ibundanya dan tidak akan membuat bundanya kecewa. Ia pun setuju.

Justin kemudian mengantar Annisa pulang dengan menggunakan mobil miliknya.

Sesampainya di rumah Annisa, ia lalu mengetuk pintu. Dari dalam rumah Adibah membukakan pintu itu dan terkejut melihat Annisa pulang bersama pria yang beberapa hari lalu menyatakan perasaan kepadanya.

"Assalamualaikum teh," salam Justin sembari menyunggingkan senyumannya.

"Waalaikumusalam."

Annisa tertegun melihat reaksi ibundanya yang terkejut dengan kehadiran Justin di sana. Sorot matanya seolah menampakkan kecemburuan. Saat itu Annisa mulai yakin bahwa apa yang dikatakan Justin memang benar adanya. Jadi dia sudah tidak ragu lagi untuk beradu akting dengan lelaki itu.

Annisa kemudian melirik Justin sambil menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Masuk dulu kak!" tawar Annisa seraya meraih tangan Justin.

Adibah yang melihat hal itu tampak sedikit panas. Dia pun lalu memprotes.

"Annisa, jangan pegang-pegang ihh, bukan muhrim!"

Perempuan itu akhirnya menurut dan melepaskan genggaman tangannya. Namun dalam hatinya ia sekuat tenaga menahan tawa karena melihat ekspresi wajah dari ibunya yang tidak terima atas apa yang dia lakukan itu.

"Gak usah deh, kapan-kapan aja, ehh...ya besok kakak jemput ya. Kita berangkat ke kampus bareng," ajak Justin yang mendapat anggukan dari Annisa.

Setelah itu kemudian Justin pamit kepada kedua ibu dan anak itu.

"Dah kakak! Hati-hati di jalan yah..." ucap Annisa sembari melambaikan tangannya ke arah Justin.

Di samping Annisa, Adibah tengah cemberut dengan bibir bawahnya ia majukan ke depan. Dia kesal dengan sikap Annisa terhadap Justin.

Saat Annisa hendak masuk ke dalam kamarnya, dia mendapatkan nyinyiran dari ibunya sendiri.

"Annisa, sejak kapan kamu jadi genit begitu?!" protes Adibah.

Annisa lalu menoleh. Wajah ibunya sudah ditekuk seperti kain kusut. Dari sudut pandang Annisa, itu sangatlah lucu melihat Adibah yang biasanya berwibawa kini tampak seperti gadis remaja yang yang sedang cemburu buta.

"Memangnya kenapa bunda?"

"Gak boleh! Jadi perempuan itu jangan sampai kelihatan kalo kamu suka sama seseorang. Jangan kasih kode!"

Annisa hampir saja kalah untuk tidak tertawa. Tapi akhirnya dia bisa mengendalikan diri.

"Tapi kak Justin itu baik bunda. Udah ganteng, populer lagi," sergah Annisa memanas-manasi Adibah.

"Terus gimana dengan Randy? Bunda udah gak ngelarang kamu sama dia. Kenapa sekarang berubah pikiran?"

Annisa terdiam sejenak. Dia tidak mungkin memberitahu alasan dibalik putusnya hubungan dia dan Randy. Menurutnya itu adalah aib orang yang tidak perlu untuk diceritakan.

"Gak papa bunda. Kalo dipikir-pikir kak Justin lebih menawan."

Wajah Adibah langsung berubah kecut. Ekspresi ketidaksukaan jelas terlihat di sana. Ibunya lucu kalau sedang cemburu.

"Annisa, kalo dipikir-pikir kamu lebih cocok sama Randy ketimbang Justin. Lagipula Randy kan juga udah berjuang untuk bersama kamu, masa kamu begitu mudahnya pindah ke lain hati?" sela Adibah lagi.

Berbagai cara Adibah lakukan demi mempengaruhi anaknya agar tidak menerima cinta Justin. Hal itu justru membuat Annisa semakin bersemangat untuk mengerjai ibundanya.

"Kenapa emangnya Bun? Kok kaya gak rela gitu Nisa sama kak Justin. Bunda kaya ABG lagi cemburu deh..." goda Annisa sambil tersenyum lebar.

Wajah Adibah sontak memerah mendengar tebakan dari Annisa. Ia palingkan mukanya agar tidak terlihat jelas oleh anaknya itu.

"Bukan gitu. Tapi kamu tau kan kalo kalian itu beda keyakinan. Bunda cuma pengin punya mantu yang seagama sama kita."

"Kalo masalah itu, kak Justin udah bilang kalo dia mau jadi mualaf kalo Nisa mau terima cintanya."

Mata Adibah membulat. Itu juga yang pria itu janjikan kepada dirinya bila ia mau menerima cinta lelaki tersebut. Sekarang dia janjikan terhadap anaknya.

"Dasar laki-laki buaya darat! Kamu janjikan itu sama semua wanita!" umpat Adibah dalam hati.

Annisa masih senyum-senyum melihat kegalauan hati Adibah. Kalau memang ibunya mencintai Justin, kenapa dia tidak mau berterus terang saja mengenai perasaannya. Kenapa juga ia harus menghindar. Mereka berdua sama-sama tidak memiliki pasangan, bukannya sah-sah saja kalau mereka bersatu.

"Itu terserah kamu Annisa. Bunda gak ada hak untuk melarang kamu. Tapi kamu juga harus selektif. Jangan hanya karena ganteng dan populer kamu langsung mau. Jadilah wanita yang punya harga diri, dan juga kamu jangan kegenitan kaya tadi. Bunda gak suka!"

Annisa masih geleng-geleng kepala. Ternyata sifat keras kepala dari bundanya masih tidak berubah. Baiklah Annisa akan membuat batu karang yang ada di hati Adibah hancur.

"Kalo gitu Nisa boleh ya terima cintanya kak Justin?! Besok Nisa jawab 'iya' deh sama dia."

Adibah melotot. "Ehh...jangan!" Wanita itu tertegun melihat reaksi spontan ya sendiri lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"M...maksudnya, bunda harap kamu pertimbangkan ulang. Jangan terburu-buru, kamu juga belum kenal dia luar dalam kan? Dia itu tipe laki-laki playboy. Jangan mudah termakan rayuannya."

Adibah meremas kepalan tangannya sendiri. Hatinya gundah gulana mengetahui lelaki yang ia sukai justru kini mengincar anaknya.

"Ya sudah, bunda mau ke belakang dulu. Kamu masuk ke kamar, ganti baju terus makan siang. Bunda udah siapin."

Annisa tersenyum lalu mengangguk. "Iya bunda."

Saat Annisa hendak beranjak ibunya kembali memanggil, "Annisa!" Perempuan itu pun menoleh.

"Jangan jawab 'iya' dulu ya sama Justin."

Annisa mengangguk sambil menampakkan giginya yang putih dan rapi.

"Kenapa gak bunda aja yang jawab 'iya'," celetuk Annisa yang langsung berlalu pergi.

Adibah mengatupkan bibirnya rapat. Rasa sesak di dadanya masih terasa sampai sekarang. Dia memutuskan mengabaikan perasaan itu.

Di dalam kamar, belum sempat Annisa merebahkan diri ponselnya sudah menyala tanda ada telepon masuk, ternyata itu dari Justin.

"Gimana bunda, Nis?" tanya Justin to the poin.

"Lucu!"

"Hah?! Kok lucu?"

"Iya lucu. Kaya ABG lagi cemburu."

"Hahaha...masa sih?"

"Iya, kakak juga lucu. Kenapa sih kok kakak bisa jatuh cinta sama bunda?"

"Hmm...gimana ya? Bingung juga jelasinnya. Kenapa kamu gak tanya sendiri sama bunda. Kenapa dia bisa bikin kakak jatuh cinta."

Annisa memajukan bibirnya beberapa senti, "huh...dasar bucin." Justin hanya terkekeh geli.

"Jadi kamu mau kan bantuin kakak buat dapetin hati bunda?" pinta Justin.

"He'ehh..." Annisa mengangguk meskipun tidak terlihat dari seberang sana.

"Bagus. Sekarang kamu boleh panggil aku kakak, tapi nanti kamu harus panggil papah ya!" sentil Justin penuh percaya diri.

"Ihh...geli tau dengernya!" Mereka berdua kemudian tertawa bersama-sama.

Ekstra part end
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd