Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Jleb….

Aachhh…..

Tubuh Kyai Jamal menimpa tubuhku, seakan ada yang terputus di dalam sana……..ini misteri🥲

Orang itu ternyata Randy. Dengan cepat dia menarik tubuh Kyai Jamal dari atas tubuhku. Aku segera menutupi vaginaku sesaat setelah kelamin Kyai Jamal terlepas.

Versi lainnya…..

Tubuh kyai jamal menimpaku. Seakan ada yang terputus di dalam sana. Kepala kelamin Kyai Jamal yang hampir masuk ke vaginaku terlepas.
Orang itu ternyata Randy, yang dengan cepat menarik tubuh Kyai Jamal dari atasku.

“Randy……”
“Annisa……belum sempet masuk kan🤭” sambil melirik ke selangkanganku.
Aku tersadar dan dengan cepat menutupi vagina dengan telapak tanganku.
“Hampir saja…..untung kamu datang” aku menolak tangannya yang mau membantuku bangun. Aku masih marah…..🤪🤪🤪


Ada ga versi lainnya lagi😋😋😋
Lebih bagus yang versi pertama apa kedua hu 🤭
 
Part 66. Badai Telah Berlalu (End)

POV Randy

Aku memacu motor ku dengan kecepatan tinggi. Entah kenapa feeling ku terhadap Annisa tidak enak. Mungkin karena rasa bersalah ku kepadanya.

"Annisa, maafkan aku. Aku akan menebus semua kesalahan ku," ucap ku bermonolog.

Saat melewati daerah persawahan tiba-tiba...

Dorrr...!!!

Ban motor ku pecah akibat melewati jalan berpaku yang entah kenapa ada di sana. Mendadak aku kehilangan kendali atas motor ku. Panik karena motor yang ku kendarai mengarah ke sawah, aku pun langsung melompat dari motor ku.

"Arkhhh...!!!"

Brakkk...!!!

Tubuh ku terhempas dan terguling beberapa meter jauhnya hingga bagian lengan dan lutut ku terluka akibat gesekan dengan aspal. Motor ku sudah tercebur di sebuah petak sawah.

Aku langsung berdiri dan berjalan menuju motor ku untuk mengeceknya.

"Sial! Kenapa di saat seperti ini! Siapa yang nyebar paku di jalanan sih?!" umpat ku dengan emosi tinggi.

Saat itu tiba-tiba muncul lima orang yang entah dari mana. Mereka mendekati ku dengan wajah yang tak bersahabat.

"Kalian siapa?!" tanya ku dengan nada tinggi.

Melihat penampilan mereka, tidak terlihat kalau mereka adalah sekelompok preman. Apalagi mereka memakai peci.

"Tidak penting kami siapa. Kami sudah mengikuti Annisa saat datang ke tempat mu. Dan kami tau kalau tujuan mu itu untuk membatalkan rencana pertunangan antara kiai Jamal dan Annisa."

Dahi ku berkerut mendengar ucapan salah seorang di antara mereka. Pertunangan? Apa maksudnya?! Jangan bilang kalau Annisa datang menemui ku karena hendak kabur dari acara itu.

"Oh. Apa kalian orang suruhan kiai cabul itu?!" kata ku memancing emosi mereka.

"Heh! Jangan sembarangan menghina kiai Jamal dengan sebutan itu ya!"

Orang yang lain tampak terpancing. Ternyata benar apa yang aku duga. Kiai Jamal memata-matai Annisa agar kekasih ku tidak bisa lepas darinya.

"Cih! Picik! Selamanya aku gak akan ngebiarin si tua Bangka itu memiliki Annisa."

Dengan emosi ku dan mereka yang memuncak, akhirnya terjadi perkelahian yang cukup sengit. Lima lawan satu, meskipun aku kalah jumlah tapi keahlian bela diri ku bukan tandingan mereka. Mereka hanya pintar menggertak saja.

Aku pun dapat mengalahkan mereka dengan mudah walau beberapa pukulan masuk ke wajah ku. Sekarang bukan itu masalahnya, tapi motor ku sudah tidak bisa dipakai lagi untuk saat ini.

Ingin memesan taksi online tapi aku lupa tidak membawa dompet. Jadi aku mendapatkan ide untuk menghubungi Justin. Semoga dia mau menolong ku.

Nada sambung berbunyi dan beberapa saat kemudian Justin akhirnya mengangkat telepon ku.

"Halo Ran, Ada apa? Tumben telepon."

"Tin, gue butuh bantuan lu nih. Gue abis kecelakaan dan dikeroyok sama orang?"

"Hah kok bisa? Lu nabrak anak orang emang?"

"Ahh..***k ada waktu buat jelasin. Tolongin gue cepet. Cewek gue lagi tunangan sama orang lain!"

"Hah, maksudnya?!"

Aku geram sendiri karena Justin malah sibuk bertanya bukannya beraksi. Akhirnya aku mengeluarkan jurus pamungkas ku.

"Gue mau pergi ke rumah teh Adibah."

"Oke gue otewe. Lu sharelok sekarang cepet!"

Seketika telepon langsung ia matikan. Aku tahu kelemahannya sekarang. Kalau sudah menyangkut nenek lampir itu pasti dia langsung merespon.

Aku melihat kelima orang tadi pingsan terkapar. Aku mendekati motor ku yang mengeluarkan asap putih dari mesinnya. Kira-kira biaya perbaikannya sampai berapa ya? Sial!

Sambil menunggu Justin sampai, aku duduk di atas trotoar. Barulah saat itu aku merasakan panas dan perih di daerah luka akibat terjatuh tadi.

Sampai beberapa menit kemudian sebuah mobil berhenti tepat di depan ku.

"Ran, lu gak papa?" tanya Justin yang melihat ku penuh dengan luka.

Aku tak menghiraukan pertanyaannya langsung masuk de dalam mobil.

"Ayo jalan, cepetan dikit," ucap ku menuntut.

Hati ku benar-benar tidak tenang. Apalagi saat ku ketahui ternyata mereka mengadakan acara pertunangan secara diam-diam.

Setelah masuk ke area pesantren aku melihat banyak orang-orang keluar dari rumah teh Adibah. Di luar tampak nenek lampir itu tengah menunggu satu per satu tamu pergi. Tampaknya acara sudah selesai.

"Sial, aku terlambat! Gara-gara cecunguk-cecunguk sialan itu!" umpat ku kesal.

Aku langsung berjalan mengendap-endap. Saat berada di samping rumahnya samar-samar aku mendengar suara tangisan dari arah jendela kamar.

Aku hafal sekali kalau itu adalah suara Annisa. Aku bergegas mendekati jendela itu. Saat aku mengintip, mata ku terbelalak dengan apa yang terjadi di dalam sana.

Kiai Jamal tengah menindih Annisa yang bagian bawahnya sudah tak berpenutup lagi. Hati ku terbakar api cemburu. Tanpa membuat suara aku masuk melewati jendela yang terbuka itu.

Setelah berhasil masuk tanpa diketahui oleh kakek tua itu, aku langsung mendekatinya. Sejenak sudut mata ku menangkap sebuah gunting yang tergeletak di atas meja rias milik Annisa.

Tanpa pikir panjang aku mengambil gunting itu dan dengan kekuatan penuh aku arah kan sisi yang runcing ke punggung kiai Jamal.

Jlebbb...!!!

Benda itu masuk setengahnya di kulit punggung kakek tua itu. Dia pun langsung ambruk di atas Annisa. Kekasih ku memekik ketika kiai Jamal menimpanya.

Langsung aku singkirkan tubuh yang sudah bau tanah itu ke samping hingga jatuh dari atas ranjang. Aku sangat khawatir dengan kondisi Annisa yang mengenaskan.

"Annisa, kamu gak papa?!"

Aku mengangkat punggungnya tiga puluh derajat. Pandangannya masih kabur sampai-sampai dia belum mengenali siapa diri ku.

"Terima kasih orang baik," ucapnya lirih.

"Aku Randy, Annisa!"

"Randy?" Annisa tampak mengerjapkan matanya lalu tersenyum.

"Ran, s...sakit, Ran."

Annisa mengangkat kepalanya melihat ke bagian bawah tubuhnya. Aku pun mengikuti arah pandangannya. Mata ku membulat melihat bagian sensitif milik Annisa mengeluarkan darah hingga mengalir di pahanya hingga sprei.

"Annisa, bertahanlah! Aku akan bawa kamu ke rumah sakit secepatnya."

Tanpa menunggu waktu lama aku langsung membopong Annisa dan membawanya lewat jendela. Walaupun susah tapi aku terus berjuang. Darah masih terus mengalir di sana.

Saat berhasil aku langsung berlari membawa Annisa di dekapan ku menuju mobil milik Justin. Aku masukkan Annisa di kursi belakang agar dia bisa berbaring.

"Tin, ayo cepat kita ke rumah sakit!" suruh ku dengan kepanikan maksimal.

Namun Justin bukannya masuk ke dalam mobil malah memberikan ku kunci mobilnya.

"Lu bawa Annisa, gue ada urusan yang belum selesai."

Setelah menyerahkan kuncinya, Justin berlari menuju pintu rumah rumah Annisa. Wajahnya juga terlihat panik tapi aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Sekarang yang terpenting adalah Annisa.

•••​

POV Justin

Aku menunggu Randy menyelesaikan urusannya sambil sesekali mengamati rumah seorang wanita yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikiran ku.

Aku lihat dia sedang menyalami tamu-tamu undangan yang beranjak pulang satu per satu.

"Lama banget si Randy lagi ngapain ya?"

Ku lihat jam tangan ternyata sudah berjalan dua puluh menit lamanya. Saat arah pandangan ku kembali ke arah teh Adibah, ada tiga orang dengan pakaian koko dan sarung mendekati wanita itu.

Entah apa yang mereka bicarakan aku tak dapat mendengarnya. Tapi melihat ekspresi mereka aku menjadi curiga. Teh Adibah terlihat tegang dan takut, berbeda dengan ketiga orang tersebut yang sesekali terlihat tertawa.

Namun apa yang terjadi selanjutnya membuat ku tercengang. Teh Adibah tiba-tiba dibungkam dan diseret masuk ke dalam rumah. Ketika aku mau mengejarnya, Randy datang bersama seorang wanita yang terkulai lemas.

Randy menyuruh ku untuk segera melajukan mobil ku ke rumah sakit tapi aku tidak bisa. Aku merasa teh Adibah dalam bahaya. Aku harus menolongnya. Jadi aku serahkan saja kunci ku kepadanya lalu bergegas masuk ke rumah teh Adibah.

Aku cari-cari teh Adibah di semua ruang. Waktu itu sudah sepi dan tidak ada lagi orang di dalam. Sayup-sayup aku dengar suara orang tertawa di sebuah ruangan yang terkunci. Aku pun mencoba menguping.

"Hahaha...ternyata memek si teteh masih enak, masih ngejepit, achhh... nikmatnya," ucap seorang pria di dalam sana.

"Sudah berhenti! Jangan lakukan ini, awhhh..." tolak teh Adibah.

"Diam nikmati aja. Siapa suruh kau nipu kiai Jamal. Beliau sudah tau kalau Annisa sedang hamil dan kau berencana membuat kiai Jamal menganggap anak yang Annisa kandung adalah anak kiai Jamal dengan cara menyuruhnya tidur sama Annisa kan?"

Aku terbelalak mendengar ucapan seorang pria itu. Ternyata kekasih Randy sedang hamil dan kemungkinan itu adalah anak Randy.

"Ahh...sakit, tolong!" teriak teh Adibah.

Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan terhadapnya tapi kemungkinan mereka menyiksanya.

Pintu itu lalu ku dobrak. Dengan kekuatan penuh akhirnya aku mampu membukanya.

Brakkk...!!!

Ketiga lelaki itu lantas memutar kepalanya ke arah ku. Mata ku membulat melihat apa yang terjadi dengan teh Adibah. Dia diikat dengan tali kur di kedua tangan dan kakinya.

"Ju...Justin!" seru teh Adibah terkejut sesaat lalu memalingkan wajahnya dari ku karena malu.

Badannya yang bugil dipenuhi memar dan beberapa bagian mengeluarkan darah. Kepala Adibah plontos, tampaknya mereka telah mencukur gundul Adibah beserta alisnya karena aku melihat salah satu pria memegang hair clipper.

Pria yang lain masing-masing memegang gesper untuk mencambuk dan satunya memegang pisau.

"Heh, siapa kamu?! Berani-beraninya kamu masuk tanpa permisi!"

"Saya calon suaminya Adibah! Kalian jangan macam-macam sama calon istri saya ya!"

Sejenak mereka tampak tercengang mendengar jawaban ku, namun ketiganya serempak tertawa keras.

"Hahaha...wah wah wah. Sepertinya selera mu sangat buruk anak muda! Asalkan kamu tau ya, Adibah ini sudah pernah memakan ta..."

Bughhh...

Aku tak perlu menunggu dia selesai bicara untuk melayangkan satu pukulan yang tepat mengenai ulu hatinya. Melihat satu temannya terkapar karena sulit bernafas, kedua pria yang lain langsung menyerang ku.

"Dasar kurang ajar kau! Sini kalo berani!"

Ku layangkan beberapa pukulan yang mengenai titik lemah mereka. Namun saat aku melawan pria yang memegang pisau aku sedikit tergores di bagian lengan kiri ku. Walaupun aku tidak terlalu mahir bela diri tapi dengan fisik yang jauh lebih tinggi dan lebih kekar dan lebih prima dari mereka, aku dapat mengalahkan mereka dengan mudah.

Setelah ketiga orang itu terkapar, aku langsung menghampiri teh Adibah yang saat itu membuang muka dari ku. Ku ambil pisau yang tergeletak di lantai untuk memotong tali yang menjerat tangan dan kaki teh Adibah.

Dia lalu beringsut duduk dan memeluk lututnya sambil menangis.

"Jangan lihat!" ujar teh Adibah seraya membenamkan wajahnya di celah antara lututnya.

Aku tahu dia pasti tidak ingin dilihat dalam kondisi seperti itu. Dia pasti ingin terlihat cantik di depan orang-orang, bukan dengan kepala gundul seperti sekarang ini.

Aku kemudian melepaskan jaket kulit yang aku kenakan lalu mengcover tubuh telanjangnya dengan benda itu dari belakang.

"Teh, lihat aku teh."

Teh Adibah hanya menggelengkan kepalanya keras. Ku hembuskan nafas dalam lalu mengecup puncak kepalanya yang plontos.

Dia baru mengangkat kepalanya menatap ku dengan derai air mata di pipinya. Aku menarik sudah bibir ku.

Tak ada hasrat sama sekali untuk menertawakannya meskipun wajahnya tampak sedikit aneh tanpa ada sehelai rambut pun di sana.

"Teteh tetep terlihat cantik di mata ku," ujar ku seraya mengecup keningnya dalam.

Dia tidak melawan sama sekali dan tampak percaya pada ku. Penyesalan yang amat dalam terlihat dari wajah manisnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi selama ini padanya maupun anak perempuannya.

"M...maaf aku s...salah," ungkapnya dengan terbata-bata.

"A...aku salah sama Annisa. Hiksss..."

Teh Adibah menahan sesak di dadanya. Aku juga dapat merasakannya meskipun tidak mengalaminya. Dia menangis sesenggukan di dada ku.

"Semua orang pasti pernah punya salah, dan semua orang juga memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya."

Tanpa sadar teh Adibah memeluk ku erat menumpahkan rasa sesal yang amat besar. Aku balas memeluknya dengan rasa iba.

"Sudah teh, jangan nangis terus. Lebih baik kita ke rumah sakit menyusul Annisa."

Teh Adibah sontak menatap ku dengan memicingkan matanya.

"Annisa kenapa?"

"Saya juga gak tau. Tadi Randy membawanya dalam kondisi yang lemas."

"A...apa?!" Teh Adibah terkejut.

Dia kemudian bangkit berdiri. Kami berdua lalu bergegas pergi ke rumah sakit menyusul Randy dan Annisa menggunakan taksi online karena mobil ku sudah lebih dulu dibawa oleh Randy.

Dia meninggalkan rumah dalam keadaan yang chaos. Teh Adibah tampak tidak peduli. Sepertinya pikiran dia saat itu hanya fokus terhadap anaknya.


•••​

POV Author

Randy menunggu di depan ruang IGD dengan cemas. Beberapa kali dia mondar-mandir memikirkan keadaan kekasihnya yang sedang ditangani oleh dokter. Pria itu menelpon Icha untuk mengabari kondisi Annisa.

"Halo Cha?"

"Halo Ran? Gimana soal Annisa? Kamu udah berhasil yakini dia?"

"Belum Cha. Sekarang dia lagi di rumah sakit, lagi ditangani dokter."

"Hah?! Kok bisa? Kenapa?"

"Susah kalo diceritain di telpon. Aku cuma mau ngabari aja, kamu gak usah ke sini. Kasihan Aira udah malem."

"Tapi aku juga mau tahu kondisi Annisa. Aku susul ya. Aira juga belum ngantuk kok."

Randy hanya menghela nafas panjang. Ibu dari anaknya itu memang sulit untuk dibilangi. Dia lalu memberi tahukan rumah sakit dimana Annisa dirawat.

Setelah telepon ditutup tak berselang lama pintu ruang IGD terbuka.

"Gimana keadaan Annisa dok?!" tanya Randy penuh cemas.

Dokter yang terlihat sudah cukup senior itu menampilkan ekspresi wajah menyesal. Itu membuat Randy cemas akan keadaan kekasihnya.

"Maaf, apakah anda suami dari pasien?"

Randy diam sejenak. Perasaannya tidak enak, tapi dalam hati menyuruhnya untuk sedikit berbohong.

"Iya dok, saya suaminya."

Dokter itu menghembuskan nafas berat.

"Mohon maaf, karena suatu hentakkan yang cukup keras di area perutnya, janin yang sedang dikandung istri anda mengalami keguguran."

Mata Randy membulat sempurna dengan mulut melongo membentuk huruf 'o'. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Lagi? Dia harus kehilangan anaknya karena si perempuan keguguran, tapi untuk saat ini kondisi ibunya lebih penting.

"Lalu gimana keadaan istri saya dok?"

"Kondisinya sudah stabil. Dia juga sudah siuman. Sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan."

Setelah menyelesaikan kalimat itu, dokter kemudian undur diri. Randy lalu diperbolehkan masuk untuk menemui Annisa.

Saat masuk ke dalam, mata Annisa langsung menangkap sosok pria yang menolong dirinya. Dengan ekspresi wajah datar Annisa menatap Randy yang berjalan mendekati brankarnya. Matanya memerah karena memeras air mata yang sudah mengering.

"Gimana keadaan mu? Apa yang dirasa?" tanya Randy yang berdiri di samping Annisa.

"Baik," jawab Annisa singkat.

Diam, tidak ada kata lagi yang terucap. Mungkin saat itu Annisa benar-benar sudah membencinya. Semua yang terjadi memang buah dari kesalahan Randy sejak awal.

Setelah berhasil membalaskan dendam kepada Reza, Randy bukannya mendapatkan kepuasan justru hanya menerima penyesalan. Sekarang dia menyakiti wanita yang ia cintai.

Ingin rasanya ia memeluk atau sekedar memegang tangan yang rapuh itu untuk memberi kekuatan, tapi dia sadar dan tahu diri kalau dirinya tidak pantas melakukannya setelah semua yang ia lakukan.

"Maaf."

Hanya kata itu yang keluar dari mulut Randy. Dia berharap Annisa mau memaafkan dirinya atas apa yang telah dia lakukan. Annisa menghembuskan nafas singkat sebelum menimpali ucapan Randy.

"Awalnya memang berat menerima kenyataan ini. Aku gak tau apa maksud dan tujuan mu. Kamu tiba-tiba aja masuk dalam hidup ku. Merubah ku seratus delapan puluh derajat. Sampai-sampai aku jatuh cinta pada mu."

"Kamu cinta pertama ku, dan kamu juga orang yang udah buat hati ku terluka sedemikian dalam. Tapi entah kenapa aku gak bisa benar-benar membenci kamu."

Annisa kembali menatap mata Randy dalam.

"Kita memang memulai pertemuan kita dengan membenci, tapi aku harap kita bisa mengakhirinya dengan baik-baik."

"Janin yang ada di kandungan ku udah gak ada. Udah gak ada lagi penghubung di antara kita," ujar Annisa penuh sesak.

Pada awalnya dia memang tidak berharap akan mengandung di usia yang sangat muda dan belum menikah, tapi Annisa benar-benar menyayanginya meskipun dia harus pergi sebelum hadir di dunia ini.

Wanita itu menggenggam punggung tangan Randy yang berada di sampingnya.

"Ran! Kembalilah sama kak Icha. Dia jauh lebih membutuhkan mu daripada aku. Aku udah ikhlasin semuanya."

Randy membalikkan telapak tangannya hingga saling berpegangan dengan tangan Annisa.

Wanita itu benar. Icha jauh lebih membutuhkannya daripada dia. Icha sebatang kara, suaminya sudah tidak peduli lagi dengannya dan yang paling penting dia membawa Aira yang mana adalah anak kandung Randy.

Saat suasana hening tiba-tiba pintu dibuka oleh seorang wanita sambil menggendong seorang anak. Ya, itu adalah Icha. Kedua pasang mata Annisa dan Randy sontak tertuju pada Icha.

Icha berhenti dan terpaku sesaat melihat kedua orang itu saling berpegangan tangan. Icha merasa masuk di waktu yang salah. Dia lalu mundur hendak menutup lagi pintu itu sebelum ditahan oleh Annisa.

"Berhenti kak! Masuk aja. Ada yang mau aku sampaikan."

Perlahan Icha menutup pintu namun kini ia di dalam. Dia berjalan menghampiri mereka berdua. Ada rasa canggung yang tersirat di wajah manisnya.

"Kamu kenapa? Kamu baik-baik aja?" tanya Icha penuh keraguan.

Dia takut kalau Annisa masih marah padanya. Tapi melihat wajah yang tersenyum tipis membuat dirinya agak sedikit merasa lega.

"Aku gak papa kak. Sini deketan!" ajak Annisa agar Icha lebih dekat padanya.

Icha mendekat hingga sampai di samping brankar Annisa. Aira yang berada digendongannya mencondongkan tubuhnya ke arah Randy.

"Pa!" gumam Aira meminta digendong oleh Randy.

Hati Annisa terasa teriris mendengar kata itu keluar dari mulut keponakannya. Terakhir kali Annisa bertemu dengan Aira, anak itu belum bisa mengucapkan kata apapun. Namun sekarang bahkan dia bisa mengucapkan kata 'pa' yang pastinya itu diajari oleh Randy.

Annisa mencoba menenangkan diri. Dia tidak boleh terbawa oleh emosi. Wanita itu sudah berjanji akan ikhlas melepaskan semua kenangan yang pernah ia lalui bersama lelaki itu.

Marah dan benci tidak ada gunanya. Kini yang harus dilakukan adalah saling memaafkan dan melupakan semua yang telah terjadi di antara mereka.

Setelah Aira berpindah ke pelukan ayahnya, Annisa menggenggam tangan Randy dan Icha secara bersamaan. Dia menyatukan telapak tangan itu menjadi satu. Hal itu membuat Icha heran.

"Kak, Nisa tau rumah tangga kakak dan kak Reza tidak bisa diperbaiki lagi. Kalian udah punya jalan masing-masing. Untuk itu..."

Annisa sedikit menjeda kata-katanya.

"Bersatulah kembali bersama Randy. Menikahlah dengannya. Demi Aira, dia butuh sosok seorang ayah."

Ucapan Annisa membuat Icha membulatkan matanya. Itu benar-benar di luar perkiraan Icha. Hal itu tidak pernah terlintas di pikiran Icha sama sekali.

"Gak bisa Nis. Randy lebih mencintai kamu daripada kakak. Hubungan kakak dan Randy hanya sebatas mengasuh Aira. Gak lebih!"

"Aku rasa Randy juga gak keberatan untuk menikah dengan kakak. Ya kan Ran?"

Ditanya seperti itu secara tiba-tiba membuat Randy gelagapan. Sejujurnya dia tidak masalah menikahi Icha tapi itu berarti kesempatannya untuk mendapatkan Annisa lagi akan sirna.

Egois memang, tapi itulah adanya. Di saat semua sudah terjadi, Randy baru menyadari cintanya pada Annisa begitu besar.

Belum sempat Randy menjawab, pintu kembali terbuka dan masuk dua orang lelaki dan wanita.

"Annisa kamu gak papa, nak?!" ujar wanita itu terlihat sangat khawatir.

Dia adalah Adibah dan Justin. Sejenak Adibah terkejut akan kehadiran Icha yang berada di situ. Icha buru-buru mengambil Aira kembali dari gendongan Randy seraya menunduk dan berjalan pergi dari situ.

"Permisi," ucapnya saat melewati Adibah.

Setelah Icha pergi, pandangan Adibah beralih ke Randy yang masih ada di situ. Pria itu menatap Adibah geram. Apa yang dialami Annisa adalah ulah dari ibunya sendiri.

Randy menghampiri Adibah sembari mengepalkan tangannya keras. Justin yang melihat itu langsung memasang pertahanan di depan Adibah. Justin menahan dada Randy yang terus mendekat meskipun dihalangi olehnya.

"Stop Ran! Kasih kesempatan teh Adibah buat ngomong!" cegah Justin.

Randy pun mengurungkan niatnya. Adibah yang biasanya selalu melawan apabila ada orang yang menentang kini hanya diam.

"Bunda, alis bunda kenapa?" tanya Annisa heran melihat alis ibundanya telah tanggal.

Adibah menggelengkan kepalanya sambil menahan tangis. Annisa akan lebih terkejut kalau melihat dirinya yang tidak memakai hijab. Rambutnya telah habis dicukur oleh anak buah kiai Jamal dan kini meninggalkan kepala yang plontos.

"Sekarang kamu bilang, apa yang terjadi sama kamu?"

Kedua mata ibu dan anak itu saling bertemu. Annisa menghela nafas panjang sebelum merespon.

"Bunda, Annisa mau tanya. Apa kiai Jamal sudah mengucapkan ijab qobul untuk Nisa?"

"Apa?!" Adibah mengerutkan keningnya.

"Tentu saja belum. Kamu baru dikhitbah dan mungkin bunda akan mempertimbangkan ulang untuk dia menikahi kamu. Memangnya kenapa Annisa?"

Mendengar ucapan ibundanya membuat Annisa sangat lega. Ternyata kiai Jamal hanya berbohong kepadanya. Dia masih belum sah jadi istri lelaki tua itu.

"Tapi kenapa bunda mengunci pintu kamar Annisa?"

Adibah terdiam seribu bahasa. Awalnya itu memang rencana dia untuk membuat kiai Jamal dan Annisa berhubungan badan agar kiai Jamal tertipu dan mau mengakui janin yang ada di dalam kandungan Annisa.

"Bunda tau? Kiai Jamal udah memperkosa Annisa. Sekarang Nisa keguguran akibat perbuatan dia. Untung aja ada Randy yang Dateng nolongin Nisa. Kalo gak, mungkin Annisa sekarang Annisa udah mati."

Adibah merasa ditusuk-tusuk dadanya menggunakan pisau. Dia tidak menyangka kiai Jamal akan berbuat hal demikian. Adibah merasa menjadi seorang ibu yang jahat terhadap anaknya. Dia sangat menyesal akan perbuatannya.

"Maafkan bunda, Annisa."

Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan tangis. Dia telah dibutakan oleh ambisinya hingga mengorbankan kebahagiaan anak yang paling ia sayangi. Walaupun Adibah sama sekali tidak menginginkannya anak yang dikandung Annisa, tapi mendengar janin itu sudah berada di surga sekarang membuat hatinya miris.

"Maafkan bunda. Bunda janji mulai sekarang gak akan menuntut mu mengikuti apa yang bunda inginkan. Mulai sekarang kamu bebas menjemput kebahagiaan kamu sendiri. Termasuk merestui hubungan mu dengan Randy."

Annisa menarik sudut bibirnya bahagia. Bukan bahagia karena ibunya merestuinya dengan Randy, tapi karena Ibundanya sudah sadar akan kesalahan yang dia perbuat. Untuk Randy, menurutnya hubungan di antara mereka sudah berakhir.

Di luar ruangan, Icha sedang duduk di depan ruangan tempat Annisa di rawat. Tak berselang lama datang dua orang wanita dan satu orang pria.

Mereka adalah Sari, Reza, dan istri sirinya. Sari hanya menyapa Icha sesaat lalu masuk ke dalam karena khawatir dengan kondisi adik bungsunya. Tapi Reza dan istrinya diam menatap Icha yang sedang menggendong Humaira.

Reflek Reza menggenggam tangan istri sirinya. Icha menatapnya datar. Tidak ada perasaan cemburu sama sekali mengingat dirinya memang sama sekali tidak pernah mencintai lelaki itu.

"Icha, aku akan menceraikan mu," ucap Reza to the poin.

Terkejut? Tentu saja tidak. Justru itu yang selama ini Icha harapkan. Icha tersenyum dan mengangguk pasti.

"Dan untuk Aira. Aku akan memberinya nafkah juga. Kamu gak usah khawatir."

Kali ini Icha menggelengkan kepalanya.

"Tidak usah. Kamu urusi aja istri baru mu itu. Aku akan membesarkan Aira seorang diri."

"Baiklah kalo itu mau kamu."

Setelah itu Reza dan istrinya masuk ke dalam ruangan menyusul Sari yang sudah lebih dulu masuk.

Melihat seluruh keluarga Adibah berkumpul, Randy dan Justin pun keluar dari situ. Mata Randy dan Reza saling bertemu dan terlepas ketika Randy melewatinya.

Saat Randy telah pergi, Reza memutar bola matanya ke arah Annisa. Reza mengusap kepala adiknya dengan kasih sayang. Walaupun Reza terkenal brengsek tapi dia sangat menyayangi adik tunggalnya itu.

"Annisa, kamu kenapa? Apa Randy yang mencelakai mu?"

Annisa menggeleng sambil tersenyum seolah dia baik-baik saja.

"Nisa gak papa kok, kak. Justru Randy yang udah nolongin Annisa."

Setelah itu Annisa menceritakan kronologi yang menimpa dirinya sampai Randy datang sebagai malaikat penolong bagi dirinya.

Mendengar cerita Annisa membuat pandangan Adibah dan Reza kepada Randy berubah. Mereka merasa harus berterima kasih kepadanya.

•••​

"Ran, badan kamu kenapa? Kok luka-luka?" tanya Icha saat Randy keluar dari ruangan.

Icha baru sadar dengan keadaan Randy karena sebelumnya pria itu bersikap biasa saja sekali tidak seperti seorang yang sedang terluka.

"Gak papa. Aira udah tidur? Mau pulang sekarang?"

Randy mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin membahas tentang kejadian sebelumnya.

"Udah tidur dan baru aja dia pipis," kata Icha yang merasakan basah dan hangat di area perutnya.

Dia lupa memakaikan popok kepada Humaira. Randy tertawa kecil.

"Ya udah aku ke toilet dulu, habis itu pulang," ujar Icha.

Justin menatap punggung Icha yang menjauh.

"Ran, itu siapa?"

"Kenapa? Naksir lu?!"

"Oh, itu yang lu maksud istri orang itu ya?"

"Cantik sih, tapi cantikan teteh gue dong!" lontar Justin sambil terkekeh.

Randy mengernyitkan dahinya bingung dengan ucapan Justin. Setelah itu Justin duduk di kursi panjang yang tersedia di sana dengan diikuti Randy. Ekspresi wajahnya berubah serius.

"Ran!" Panggil Justin.

"Hmm?"

"Kayaknya gue udah jatuh cinta sama teh Adibah deh."

Sontak Randy terlonjak kaget. Dia tidak habis pikir dengan isi otak Justin. Bagaimana bisa dia jatuh cinta dengan wanita yang secara fisik sudah tidak begitu menarik jika dibandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah mengejar-ngejarnya.

"What?! Dari sekian banyak cewek di dunia ini lu malah pilih sama nenek tua bangka itu?"

Bughhh...

"Aduhhhh..." ringis Randy yang mendapatkan pukulan di bahunya.

"Enak aja lu bilang nenek tua bangka. Gitu-gitu dia calon mertua lu tau!"

"Bisa dibilang mantan calon mertua," balas Randy lesu.

"Hah, kenapa? Bukannya tadi dia bilang bakal ngerestuin hubungan lu sama anaknya?"

"Iya, tapi sekarang Annisa-nya yang gak mau sama gue."

"Cihhh! Dasar lemah!"

Randy melotot ke arah Justin karena mengatainya lemah.

"Dia bilang kek gitu dan lu pasrah gitu aja?"

Justin tertawa dengan nada hinaan membuat Randy kesal.

"Ingat boy. Cewek itu kalo udah jatuh cinta sama laki-laki, cintanya bakalan abadi sampai mati. Cuma mereka pinter nyembunyiin perasaannya."

Giliran Randy yang nyinyir.

"Lu gak tau karena lu gak pernah ngerasain ngejar-ngejar cewek. Selama ini cewek yang selalu ngejar-ngejar lu kan!"

Justin mendekatkan wajahnya ke wajah Randy hingga mata mereka saling bertatapan dalam.

"Bakalan gue buktiin. Gue bakal dapetin cintanya Adibah," pungkas Justin yang kini membuang embel-embel 'teh' di depan nama wanitanya.

"Lu serius apa cuma main-main?"

"Kalo sama cewek lain gue main-main, tapi sama Adibah gue serius. Bahkan kalo perlu gue nikahin dia."

"Apa lu gak mikirin masa depan? Ingat Tin, dia udah tua. Gak tau masih bisa punya anak apa enggak. Lu mau dapet apa kalo nikah sama dia? Lagian bokap lu belum tentu setuju."

"Pikiran lu terlalu kolot! Emang nikah harus punya anak? Gue nikah ya karena cinta. Gue bakal terima dia apa adanya, bukan ada apanya," celetuk Justin membuat Randy geleng-geleng kepala.

Memang cinta membutakan segalanya.

"Ehh, gini deh! Gimana kalo kita kerjasama?"

"Kerjasama?" tanya Randy tidak mengerti.

"Yup. Gue bantu lu dapetin anaknya. Lu bantu gue dapetin emaknya," terang Justin sambil menaik turunkan alisnya.

Sejenak Randy terdiam mencerna kata-kata Justin. Tapi tawarannya boleh juga. Dia juga yakin kalau Annisa masih mencintainya.

Setelah berpikir cukup lama akhirnya Randy memutuskan untuk menerima tawaran itu.

Lembaran baru, semuanya akan kembali seperti sedia kala ketika dirinya belum masuk ke dalam kehidupan Annisa. Randy akan berusaha untuk mendapatkan hati Annisa lagi. Bukan untuk balas dendam, melainkan untuk menggapai cinta abadi. Meskipun kini jalan untuk mencapai tujuannya akan lebih sulit dari sebelumnya. Jauh lebih sulit.

"Annisa, tunggu aku. Aku akan mendapatkan cinta mu lagi!"

The End
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd