Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 39. Sebuah Rahasia

"Nisa kamu kenapa?" tanya seorang lelaki yang mensejajarkan langkahnya di samping Annisa.

Annisa hanya menggeleng pelan, tidak berminat menjawab pertanyaan itu sama sekali.

"Dari tadi pagi kamu aneh gak kaya biasanya, di kelas juga aku perhatiin kamu ngelamun terus, cerita dong jangan dipendem sendiri, aku kan teman mu."

"Gak papa Arif! aku baik-baik aja, cuma pengin sendiri dulu," sergah Annisa kesal.

Sejak tadi pagi saat berangkat kuliah memang Annisa terlihat murung tidak seperti biasanya. Itu karena obrolan dengan bundanya atas rencana perjodohan Annisa dengan kiai Jamal, tapi dia enggan menceritakan pada Arif.

"Apa ini ada hubungannya sama calon suami kamu itu? Dia udah bikin kamu sakit? Atau dia mukulin kamu, iya?!"

"Diam Arif! Aku lagi gak mau bahas soal itu!" jawab Annisa ketus.

Dia merasa Arif ikut campur terlalu dalam dari yang semestinya. Annisa masih berjalan menuju parkiran motor diikuti oleh Arif.

Walaupun sudah mendapatkan penolakan secara tidak langsung, tapi seolah muka Arif terbuat dari tembok. Selama janur kuning belum melengkung dia masih punya harapan untuk mendapatkan Annisa.

Sesampainya di parkiran motor, Annisa langsung disambut oleh senyuman lelaki yang dia harapkan menjadi suaminya. Siapa lagi kalau bukan Randy.

Namun senyum Randy menghilang kala melihat Annisa memandangnya getir. Annisa tak kuasa menahan tangis, ia tutupi bibirnya dengan punggung tangan.

Hal itu mengejutkan Arif dan Randy secara bersamaan. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam. Arif berpikir bahwa yang membuat Annisa menangis adalah Randy, begitu juga sebaliknya.

Tanpa ada kata yang terucap Annisa perlahan mendekati Randy yang masih mematung karena belum mengerti apa yang sedang terjadi dengan kekasihnya itu.

Dugh...

Annisa membenturkan kepalanya di dada Randy pelan. Air mata keluar semakin banyak. Tangan Annisa menggenggam baju yang dikenakan Randy lalu ia tempelkan di wajahnya.

Jantung Randy berdetak semakin cepat. Ada rasa teriris di hatinya melihat Annisa yang tampak hancur. Saat itu Randy tahu yang dibutuhkan oleh Annisa adalah sebuah pelukan.

Randy pun melingkarkan tangannya di punggung Annisa. Tangisnya semakin pecah. Dia tidak dapat menahan beban yang ada di dadanya lagi, dia ingin mencurahkan isi hatinya kepada Randy.

Arif yang melihat adegan itu menjadi panas. Dia tidak terima wanita idamannya berada dipelukan lelaki lain dan ingin protes.

"Kalian gak boleh pelukan, kalian belum muhrim, lagi pula..."

"Ssstttt...!!!"

Ucapan Arif terpotong saat Randy menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya, melemparkan tatapan tajam seolah memberikan isyarat agar tak banyak bicara, ini bukan waktu yang tepat untuk itu.

Arif terlihat geram, bukan karena mendengar interupsi dari Randy, tapi karena dia melihat bahwa Annisa dengan suka rela dipeluk oleh lelaki itu di tempat umum. Bahkan justru Annisa yang lebih dulu melakukannya.

Sejenak Arif berpikir, sebenarnya apa yang sudah Annisa dan Randy lewati hingga bisa sedekat ini. Dia heran karena selama dia mengenal Annisa, dia melihat Annisa adalah sosok yang sangat menjaga sikapnya terhadap lelaki lain yang bukan muhrim. Jangankan berpelukan, bersentuhan pun dia tidak mau.

Karena tak sanggup lagi melihat adegan yang sangat menyayat hati, Arif pun pergi meninggalkan mereka berdua. Arif benar-benar kecewa dengan sikap Annisa. Dia telah mengkhianati prinsipnya sendiri.

Setelah kepergian Arif, Randy menarik dagu Annisa agar menghadap ke wajahnya. Pipinya yang basah langsung diseka dengan menggunakan jempolnya.

"Kenapa sayang?"

Annisa kembali menunduk.

"Ada yang mau aku omongin sama kamu."

Randy mengangguk pelan lalu menarik tangan Annisa menuju ke motornya. Mereka mencari tempat yang strategis untuk berbagi rasa selain di apartemennya.

Annisa menghargai alasan Randy saat dia bilang bahwa tidak mau membawanya ke apartemen karena tidak ingin berzina lebih jauh sebelum mereka menikah. Alasan munafik tapi masuk akal. Annisa menganggap bahwa Randy telah berubah.

Sebenarnya bisa saja Randy meminta Icha untuk membawa Aira jalan-jalan disekitar apartemen agar tempat itu bisa digunakannya bersama Annisa, tapi dia tidak mau berpikir seolah dia menyingkirkan Icha dan anaknya.

•••​

Sebuah kafe yang cukup senggang dengan pemandangan kolam ikan yang tenang menjadi pilihan Randy. Mereka butuh waktu untuk berdua tanpa ada orang yang mengganggu.

"Sekarang coba ceritain kenapa kamu kok sedih. Apa karena aku yang bertengkar sama bunda mu kemarin?" tanya Randy dengan tenang.

Annisa membuang nafas panjang. Dia mencoba menetralkan rasa sesak di dadanya. Dia akan menceritakan semuanya pada Randy tentang rencana Adibah.

"Randy, ternyata hubungan kita bukan hanya terhalang oleh restu bunda," ucapannya dijeda membuat Randy menerka-nerka apa kalimat Annisa selanjutnya.

Randy diam memberikan kesempatan Annisa untuk melanjutkan tanpa interupsi darinya.

"Tapi ternyata bunda punya rencana lain. Rencana yang sama sekali gak aku inginkan," lanjut Annisa.

"Rencana?" cetus Randy memastikan.

Annisa mengangguk pelan.

"Rencana untuk menjodohkan aku sama orang lain Ran."

Deggg...

Sejenak Randy terdiam mencerna kata-kata Annisa. Dia tidak salah dengar? Adibah menjodohkan Annisa dengan orang lain?

"Terus kamu gak setuju kan?"

Annisa menggelengkan kepalanya.

"Tapi kamu tau sendiri kan Ran, pendapat ku sama sekali gak didengerin bunda. Dia selalu ambil keputusan sepihak, gak pernah mau dibantah," ujar Annisa penuh getir.

Randy menggenggam tangan Annisa, mencoba menenangkan kekasihnya. Hal itu dengan cepat mereduksi beban di dada Annisa.

"Jangan khawatir, selama ada aku, kamu gak akan jadi milik siapa-siapa."

Annisa menarik sudut bibirnya. Entah kenapa kata-kata Randy mampu menjadi obat yang meringankan rasa sesak di dadanya.

"Emang siapa laki-laki yang mau dijodohin sama kamu?"

Annisa menunduk.

"Dia guru dari almarhum ayah ku. Dia udah punya empat istri, dan aku mau dijadikannya yang kelima," ucap Annisa membuat Randy melongo.

"Guru almarhum ayah mu? Berarti..."

"Usianya hampir tujuh puluh tahun," potong Annisa seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Randy.

Pria itu bergidik ngeri. Randy tidak bisa membayangkan lelaki yang bahkan berusia lebih tua dari kakeknya itu akan menikahi gadis emm...ralat, wanita secantik Annisa.

Tentu saja Annisa menolak mentah-mentah. Dia ingin menikah sekali seumur hidup, sedangkan kalau dia menikah dengan lelaki pilihan bundanya, itu akan berpotensi membuat Annisa menjadi janda muda.

Dan satu hal yang perlu dipertimbangkan lagi. Dengan usia yang sudah sangat uzur, apakah dia masih bisa memuaskan pasangannya di atas ranjang?

Walau bagaimana pun juga wanita bukan objek pemuas seks semata, dia juga berhak mendapatkan kepuasan dari persenggamaan di antara mereka.

"Kalo gitu, kenapa bukan bunda mu aja yang nikah sama dia?" tanya Randy heran.

"Aku dengar dari bunda kalo dia udah suka sama aku sejak SMP," tutur Annisa dengan wajah memerah.

Randy menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Apa?! Sejak SMP? Apa dia pedofil? Gila aja kalo iya," pungkas Randy dengan sedikit geram.

Ternyata Annisa sudah diincarnya sejak lama. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi, Adibah sudah tidak waras, dia harus diberi pelajaran.

"Nanti aku bakal ngomong sama bunda mu, dia udah ngatur hidup kamu terlalu jauh."

"Jangan Ran! Aku gak mau hal kaya kemarin terjadi lagi," tolak Annisa.

"Dan ngebiarin kamu nikah sama kakek-kakek?"

Annisa tertegun, dia tidak punya jawaban atas pertanyaan itu. Di satu sisi dia tidak menginginkan perjodohan ini, tapi di sisi lain dia tidak ingin memunculkan konflik baru di keluarganya.

"Pasti ada jalan lain."

"Bawa kabur kamu," sergah Randy cepat membuat mata Annisa melotot.

Dengan cepat Annisa menggelengkan kepalanya. Itu tidak akan menyelesaikan masalah justru akan menambah masalah.

"Terus mau mu apa?" celetuk Randy frustasi.

"Aku mau coba bujuk bunda sekali lagi, semoga kali ini bunda mau ngerti."

Randy memutar bola matanya malas.

"Emang selama kamu hidup, berapa kali permintaan mu di kabulin sama dia?"

Annisa terdiam. Mungkin tidak sama sekali Adibah pernah menuruti permintaannya, kalau ada hanya hal-hal kecil yang tidak sangkut pautnya dengan masa depan.

Randy mengusap pipi kiri Annisa. Ditatapnya mata kekasihnya itu dalam-dalam.

"Nis, biarin aku ikut campur untuk masalah ini. Walau bagaimana pun juga aku ini calon suami kamu."

Annisa tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. Ada rasa tentram di hatinya setiap kali berinteraksi dengan Randy. Dia sudah terlalu nyaman berada di sisi pria itu.

Setelah acara curhat itu mereka memutuskan untuk pulang. Sebelumnya Annisa meminta untuk diantar hanya sampai depan komplek pondok pesantren, tapi Randy keukeh meminta mengantar sampai depan rumah Annisa.

Sesampainya di rumah Annisa, mereka langsung disambut oleh tatapan tajam dari wanita yang berstatus ibu dari Annisa.

Suara motor Randy yang berhenti di depan rumahnya sudah meyakinkan dirinya kalau pria itu tidak mau menyerah untuk mendapatkan anaknya.

Adibah berjalan mendekati mereka berdua tanpa melepaskan pandangan ke arah Randy.

"Annisa masuk!" perintah Adibah dengan tegas.

"Bunda!"

"Annisa kamu gak dengerin kata bunda?! Cepet masuk!" ulangnya lagi dengan lebih keras.

Annisa ketakutan melihat sorot mata ibunya yang menyeramkan. Dia tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Adibah.

Setelah Annisa masuk ke rumah, Adibah kembali menatap sinis pria yang baru saja mengantar anaknya itu. Dilipatnya tangan Adibah di depan perutnya.

Randy terlihat santai sambil membenahi rambutnya yang agak kusut karena memakai helm. Dia tersenyum ke arah wanita yang ada di hadapannya itu.

Adibah akui kalau Randy memiliki wajah yang rupawan, namun itu bukan jaminan kebahagian bagi pasangannya. Apa gunanya memiliki wajah tampan tapi ilmu agamanya nol besar.

"Kamu! Sudah berapa kali saya bilang jangan dekati anak saya lagi! Apa kamu tuli?!" sergah Adibah geram.

"Tuli? Bukannya teteh yang tuli ya?"

Adibah membulatkan matanya sempurna. Tangannya sudah terkepal siap untuk memukul pria kurang ajar itu.

"Bukan hanya tuli, tapi juga buta," lanjutnya dengan enteng.

"Jangan sembarang ngomong kamu ya! Dasar laki-laki gak tau sopan santun!" umpat Adibah penuh amarah.

"Iya teteh itu tuli, gak bisa dengerin pendapat orang lain. Iya teteh itu buta, gak bisa liat sumber kebahagiaan anaknya sendiri."

Tangan Adibah yang sedari tadi mengepal langsung melayang ke arah mulut Randy. Namun dengan reflek yang cepat, Randy berhasil menahannya dengan satu tangan.

"Apa kekerasan juga diajari dalam agama?" sindir Randy hingga membuat Adibah mati kutu.

Dia sudah tidak punya lagi kata untuk menyangkal. Baru pertama kali ada seseorang yang berani melakukan itu kepadanya.

Menurut Adibah semua pendapat yang bertentangan dengan dirinya itu salah, namun lelaki yang berada di hadapannya berhasil menepis statement itu.

Sadar tangannya bersentuhan dengan tangan Randy, Adibah langsung menariknya. Bola matanya bergerak ke arah lain, wajahnya memerah percampuran antara marah dan malu.

Sejenak kemudian Adibah kembali berucap.

"Terserah kamu mau ngomong apa, yang jelas sekarang kamu gak punya kesempatan lagi untuk Annisa. Saya sudah menjodohkannya dengan orang lain, jadi lebih baik kamu pergi dari sini sekarang!"

Randy menghela nafas panjang seraya menggelengkan kepalanya, tapi senyum sinis tercetak di bibir Randy.

"Saya ikut prihatin sama Annisa. Selama ini pasti berat bagi dia punya ibu yang otoriter macam anda."

"Apa kamu bilang?!"

Randy menunjukkan telapak tangannya secara vertikal, memberi isyarat pada Adibah agar berhenti bicara.

"Udah ahh, buang-buang waktu ngomong sama teteh. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Jodohin anaknya sama kakek-kakek? Ibu macam apa itu?" sindir Randy lagi.

Jlebbb...

Bagaikan busur panah melesak menembus dada Adibah. Terus terang Adibah sakit hati dikatakan demikian, hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutnya tapi dirinya tidak boleh gegabah.

Pria itu bukan orang sembarang, dia mampu bermain-main mengolah kata yang membuat dirinya seolah terlihat begitu kejam.

"Pergi sekarang juga! Saya sudah muak lihat wajah kamu!" kelakar Adibah sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan menghilang dibalik pintu. Adibah tidak mau terus tersudut dengan ucapan Randy.

Randy tertawa lirih karena berhasil membuat Adibah tidak berkutik dengan argumennya.

•••​

Sebelum pulang dia mampir ke sebuah minimarket untuk membeli beberapa oleh-oleh untuk dua malaikat yang ada di apartemennya.

Setibanya Randy di apartemen, seperti biasa dia langsung disambut oleh gelak tawa Humaira. Saat itu terjadi seolah rasa lelah yang menerpa setelah latihan basket langsung hilang dalam sekejap.

Saat itu Icha tidak berada di samping anaknya. Setelah Randy mencari ternyata Icha berada di dapur sedang mencuci piring.

Tak menyadari kehadiran Randy, Icha terkejut setengah mati saat dua buah tangan tiba-tiba melingkar di perutnya.

Icha pun menoleh hingga wajah mereka bertemu hanya berjarak beberapa milimeter. Randy tersenyum seraya mencium pipi Icha membuat si pemiliknya gugup dan salah tingkah.

Icha kembali membuang muka. Dia tidak ingin wajahnya yang panas dilihat oleh Randy. Lagi-lagi Randy menyiksanya dengan gejolak perasaan ingin memiliki seutuhnya.

Dipeluknya tubuh itu lebih erat. Hidung Randy dibenamkan di bahu kanan Icha, meresapi setiap aroma tubuh wanita yang telah melahirkan anaknya itu.

Cukup lama mereka diam dalam posisi seperti itu. Icha menumpuk tangannya di atas tangan Randy. Rasa nyaman yang ditimbulkannya membuat seolah-olah waktu telah berhenti. Sampai akhirnya Icha tersadar.

"Udah ihh, belum mandi ya jorok," ucap Icha sembari melepaskan diri dari dekapan Randy.

Randy malah menarik tangan Icha ke meja makan untuk makan siang bersama. Dia sudah membeli 'makanan kesukaan' Icha.

Dengan malas Icha memakan sayur-sayuran yang dibawakan oleh Randy. Sembari makan mereka mengobrol.

"Oh ya, lu udah tau belum kalo teh Adibah jodohin Annisa sama orang lain?" tanya Randy dengan ekspresi datar tanpa beban.

Icha membuka matanya lebar. Dia tidak habis pikir kalau Adibah melakukan sejauh itu. Tapi di salah satu sudut hatinya Icha merasa sedikit senang.

Mungkin dengan Annisa yang menikah dengan lelaki lain dia masih memiliki kesempatan untuk memiliki Randy seutuhnya. Apakah dia egois? Please untuk kali ini saja dia ingin bahagia.

"Oh ya sama siapa?" respon Icha terkejut.

"Hmm...gue gak tau namanya siapa tapi kata Annisa dia guru almarhum ayahnya."

Icha mengernyitkan dahinya.

"Guru almarhum ayah Annisa? M...maksudnya kiai Jamal?" tebak Icha.

"Lu kenal sama dia?"

Icha menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kadar terkejutnya meningkatkan sepuluh kali lipat. Tidak! Bukan karena mengetahui perbedaan umurnya yang lebih dari tiga kali lipat dari umur Annisa, tapi ada sesuatu yang Icha ketahui dari calon pasangan Annisa itu.

Dulu saat Icha sedang mengandung Humaira, ia masih tinggal bersama Adibah, Annisa, dan Reza suaminya. Mereka pernah berkunjung ke kediaman kiai Jamal saat ada acara penerimaan santri baru.

Saat itu tanpa sengaja dia melihat sebuah peristiwa yang membuatnya bergidik ngeri dan ingin muntah. Tapi dia masih ragu untuk menceritakan kepada Randy. Icha kemudian menggeleng cepat dengan ekspresi wajah yang tak bisa diartikan.

"Ng..***k kok, cuma tau aja tapi gak kenal," jawab Icha sambil buru-buru meminum air dalam gelas yang diberikan oleh Randy.

Randy melihat gelagat aneh dari Icha. Sepertinya dia tahu sebuah rahasia besar dari calon pasangan Annisa itu. Tapi kenapa bisa sampai seterkejut itu?

To Be Continue...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd