Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
ane masih mengira2....
kan randy lost contact sama ranty udah lama....
jangan2...
 
Part 35. Perhatian Randy

Pov Randy

Aku mengendarai mobil ku kembali ke tempat acara reuni SMA milik Tante Dewi. Aku takut kalau saja Tante Dewi marah karena aku meninggalkannya begitu saja.

Setelah sampai ke lokasi ternyata acara sudah selesai dan hanya ada beberapa saja yang masih berada di sana menunggu hujan reda.

Aku celingak-celinguk mencari batang hidung Tante Dewi tapi tidak hasilnya nihil. Aku kemudian membuka ponsel untuk menghubunginya, namun ternyata ada sebuah pesan darinya beberapa menit yang lalu. Ku buka pesan itu.

"Ran, kamu gak usah jemput ya, Tante pulang sama temen Tante," isi pesan tersebut.

Aku mengernyitkan dahi ku. Tak berselang lama melintas seorang wanita yang tadi sempat aku temui saat datang ke sini, langsung ku cegat.

"Ehh, maaf Tan, Tante liat Tante Dewi?" tanya ku kepada wanita berbadan oversize itu.

"Oh, tadi kalo gak salah udah pulang bareng si Pram deh," jawabnya membuat aku terkejut.

"Apa? Bareng om Pram?"

Dia hanya menganggukkan kepala.

"Apa Tante Dewi ngambek ya gara-gara tadi aku tinggal, jadi dia minta anter om Pram?" batin ku.

"Ya udah makasih Tan."

Setelah itu aku kembali ke dalam mobil. Ku jalankan mobil itu ke rumah Tante Dewi untuk menukar mobil itu dengan motor ku yang ku parkir di garasi rumahnya saat akan mengantarkan Tante Dewi ke acara reuni.

Yah, sekaligus minta maaf karena tadi aku dengan sembrononya meninggalkan dirinya di sana.

Ku coba kembali membuka aplikasi wa ku lalu mengirimkan sebuah pesan kepada Tante Dewi memastikan dirinya sedang tidak marah kepada ku.

Namun beberapa menit berjalan masih belum ada respon darinya, hanya centang dua yang tertera pada ponsel ku.

Bosan, aku buka-buka riwayat chat ku dengan teman-teman ku yang lain, tidak ada yang spesial.

Scroll ku berhenti di sebuah kontak yang bernama 'my love'. Aku baru sadar kalau sudah lebih dari satu bulan aku tidak mengontak dirinya.

Aku seolah melupakan apa yang menjadi tujuan ku merantau ke kota ini. Dulu biasanya kak Ranty dulu yang mengirim pesan kepada ku untuk menanyakan kabar atau sekedar menyuruh ku makan.

Tapi sudah lebih dari sebulan dia bungkam.

"Kenapa yah, kok perasaan ku gak bisa enak."

Aku merasakan kejanggalan, apalagi kini kak Ranty tidak menampilkan foto profil apapun di akun wa miliknya.

Biasanya dia selalu menampilkan foto jenik terbaiknya. Namun kali ini jangankan foto profil, status pun dia tak pernah update sama sekali belakangan ini. Ku coba telfon dirinya.

Tuuuutttt...

Tuuuutttt...

Tuuuutttt...


Beberapa kali nada sambung terdengar namun kak Ranty tidak juga mengangkat telepon ku. Apa jangan-jangan dia sudah tidur? Batin ku mencoba untuk berpikir positif.

Lalu ku coba kirimkan pesan kepadanya.

"Selamat malam sayang."

Begitu isi pesan ku. Notifikasi menunjukkan centang dua yang berarti chat sudah sampai namun belum ia baca.

Ku letakkan ponsel ku kembali di saku. Pikiran positif tetap harus aku jaga karena ini menyangkut kepercayaan, dan aku memutuskan untuk percaya pada kak Ranty.

Aku kembali fokus ke kemudi ku. Sebelum sampai di rumah Tante Dewi aku teringat Icha dan Aira yang berada di apartemen ku.

Ku putuskan untuk membeli beberapa barang kebutuhan untuk mereka berdua di sebuah mini market yang tidak terlalu besar namun cukup lengkap.

Setelah keluar dari mini market itu dengan membawa dua buah kantong plastik berukuran besar yang terisi penuh, aku lalu melanjutkan perjalanan pulang.

Sesampainya di rumah Tante Dewi aku langsung memasukkan mobil yang aku bawa ke dalam garasi.

Aku masuk ke dalam rumah untuk menemui Tante Dewi dan meminta maaf karena kejadian di dalam gedung.

Saat aku akan mengetuk pintu kamar Tante Dewi tiba-tiba Bu Lastri datang menghampiri ku.

"Heh, Randy lagi ngapain?!"

Aku menoleh ke arahnya.

"Mau ketemu Tante Dewi, dia lagi di dalam kan?" tanya ku kepadanya.

"Loh bukannya nyonya berangkat bareng kamu, dia belum pulang kok."

Aku terkejut, padahal saat aku berada di gedung tempat acara temannya bilang dia sudah pulang, dan sebelum sampai di sini aku sempat berbelanja yang memakan waktu agak lama, seharusnya Tante Dewi sudah berada di rumah sekarang.

Aku menatap Bu Lastri bingung, dia pun menatap ku dengan tatapan yang sama. Aku kemudian membuka ponsel ku untuk menelponnya.

Tuuuutttt...

Tuuuutttt...

Tuuuutttt...


"H...halo Randy?!" jawab Tante Dewi dari seberang sana.

"Halo tan, lagi dimana? Kok belum sampe rumah?"

"Ehmm...inih Tante pulang bareng Mirna...iya bareng Mirna terus ini ehmm...lagi...apa namanya itu sshhh...aduh...lagi mampir bentar di rumahnya Mirna...iya maksudnya itu..."

Entah kenapa Tante Dewi berbicara dengan gugup begitu. Lalu apa dia bilang? Pulang bareng Tante Mirna? Jelas-jelas tadi aku bertanya pada salah satu temannya dia pulang bareng om Pram.

"Apa mau Randy jemput sekarang di rumah Tante Mirna? Udah malem loh Tan, takutnya ada apa-apa kalo Tante pulang kemaleman," tawar ku kepadanya.

"Enggak uss...awhhh...ssstttt...!!! lagi telpon," balas Tante Dewi lirih di dua kata terakhirnya.

Tiba-tiba terdengar suara orang berbisik-bisik dari arah telepon tapi aku tidak dapat mendengarkannya dengan jelas. Mungkin karena gagang ponsel Tante Dewi yang ia tutup dengan telapak tangan.

"Kamu gak usah jemput Ran, Tante nginep di rumah Mirna," imbuhnya lagi.

"Tapi Tante gak marah kan, maaf Randy tadi pergi gitu aja."

"Gak papa Ran, udah dulu ya, Tante mau ngobrol lagi sama Mirna."

Tuuuutttt...

Telepon langsung dimatikan oleh Tante Dewi. Aku heran dengannya, aku yakin kalau dia sedang dengan om Pram. Apa dia juga akan tidur bersamanya?

Arkhhh...memikirkan itu membuat ku jadi cemburu. Padahal dia sedang mengandung anak ku tapi bisa-bisanya dia berduaan dengan lelaki lain.

Tapi tunggu dulu, bagaimana ya jika istri om Pram tahu kalau suaminya selingkuh dengan mantannya dulu? Seketika otak jahat ku kembali bekerja, meski di lubuk hati ku yang paling dalam aku merasa tidak rela berbagi Tante Dewi kepada orang lain.

Baik lah untuk saat ini aku diam kan saja dulu. Aku harus mendapatkan bukti yang cukup atas perselingkuhan mereka berdua, baru lah setelah itu aku memikirkan tentang istri om Pram sekaligus anak pertama teh Adibah.

Setelah itu aku pun pamit kepada Bu Lastri. Aku masih ingat ada yang menunggu ku di apartemen sedang kelaparan.

Aku pulang dengan menggunakan motor membawa barang belanjaan yang cukup banyak.

•••
Pov Icha

Aku sedang tiduran di atas ranjang apartemen milik Randy sembari menyusui anak ku. Ku coba untuk memejamkan mata ku sambil menahan lapar karena aku belum makan sejak tadi pagi.

Aku bukanlah orang yang tidak tahu diri untuk meminta makan kepada Randy. Mendapatkan tempat berteduh untuk Humaira saja aku sudah sangat bersyukur. Untuk masalah perut ku, entahlah sampai kapan aku dapat bertahan.

Saat mata ku terpejam tiba-tiba ponsel ku berdering. Ternyata itu adalah Annisa, mungkin dia khawatir kepada kami. Setelah berpikir sejenak tentang alasan yang akan aku berikan, aku langsung mengangkatnya.

"Halo Nis?"

"Halo kak? Kakak lagi dimana? Pulang dong kak, please!" pintanya dari arah ponsel.

"Kakak gak bisa pulang ke rumah teteh, mungkin teteh benar kalo kakak cuma jadi beban keluarga kalian aja."

"Enggak kak, itu gak bener, tadi bunda cuma lagi emosi aja, barusan bunda bilang kalo dia nyesel udah ngomong gitu ke kakak."

"Enggak papa Nisa, kakak juga lagi butuh waktu buat sendiri dulu."

"Terus kakak lagi dimana sekarang?"

Aku berpikir sejenak tidak langsung menjawab.

"Emm...kakak lagi mau pulang ke rumah orang tua kakak, ini kakak lagi di terminal," jawab ku bohong.

"Gitu ya kak, ya udah hati-hati di jalan yah, titip salam sama orang tua kakak."

"Iya Nis, titip salam juga sama bundanya Nisa, bilang kakak minat maaf atas semua kesalahan dan kekhilafan kakak selama ini."

"Iya kak nanti Nisa sampein sama bunda."

"Makasih Annisa, ya udah kalo gitu kakak pamit dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Telepon pun ditutup. Untung saja Annisa tidak curiga kalau aku sedang berbohong. Ku letakkan ponsel ku di meja kecil di sebelah ranjang.

Ku rebahkan kembali tubuh ku di samping Humaira. Aku memejamkan mata seraya menekan bagian perut ku untuk mengurangi rasa perih akibat perut kosong.

Tak lama berselang pintu apartemen terbuka dan menampakkan seorang pria maskulin dengan membawa dua tas plastik penuh.

Dia tersenyum pada ku penuh arti, tapi aku tidak dapat mengartikannya. Dia meletakkan tas plastik tersebut di meja kerja yang terdapat di ruangan itu.

"Apa itu?" tanya ku penasaran.

"Kebutuhannya Aira." jawabnya singkat.

Aku lalu membuka salah satu kantong plastik. Di sana terdapat popok bayi, bedak, minyak kayu putih, sabun, dan lain-lain.

Aku putar bola mata ku ke arahnya, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum hangat. Hati ku tersentuh, Randy benar-benar sangat menyayangi Humaira. Akhirnya Aira dapat merasakan kasih sayang seorang ayah yang belum pernah ia dapatkan sejak lahir.

Lalu aku buka plastik yang satunya. Aku mengernyitkan dahi ku melihat isinya. Di sana ada vitamin, madu, buah-buahan. Aku geleng-geleng kepala melihat apa yang dibelinya itu.

"Ya ampun Ran, Aira belum bisa makan makanan yang kaya gini," sergah ku sembari tersenyum geli.

"Siapa bilang yang ini buat Aira."

Aku kembali mengerutkan kening ku tidak paham.

"Yang itu buat lu kok."

Aku sedikit memundurkan kepala ku seraya melongo tidak percaya kalau dia membelikan semua itu untuk ku. Randy terkekeh melihat ekspresi ku.

"Jangan GeEr dulu, gue ngelakuin itu juga buat Aira kok, lu kan sumber makanan bagi Aira jadi lu harus sehat biar bisa ngehasilin kualitas ASI yang baik."

Alasan Randy membuat hati ku menghangat. Tanpa sadar aku menarik sudut bibir ku ke atas. Ku sembunyikan senyuman ku di balik telapak tangan yang ku tempelkan di depan mulut ku.

Randy si lelaki brengsek tapi penuh perhatian. Terlebih lagi dia menyayangi anak ku, tepatnya anak kami.

Aku keluarkan satu buah dus berukuran sedang dari dalam tas plastik tadi. Aku tergelak menahan tawa saat membaca tulisan di dus itu.

"Ini apa Ran?" tanya ku sembari terkekeh.

"Itu susu lah buat lu."

"Ini susu buat ibu hamil Ran, sedangkan aku gak lagi hamil."

"Hah?! Emang beda ya? Susu hamil sama susu menyusui?"

"Ya beda lah Ran, ada-ada aja kamu tuh."

Aku tergelak menahan tawa. Randy mencebikkan bibirnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ya udah deh," ucapnya seraya beranjak dari tempatnya berdiri.

"Mau kemana?"

"Beli susu buat lu lah."

"Gak usah."

"Ssstttt...!!!"

Randy menempelkan jari telunjuknya di depan bibir memberikan isyarat pada ku untuk tidak banyak bicara.

Kruyukkk...

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam perut ku. Sontak aku tekan bagian itu, bagian yang belum diisi sejak pagi.

"Laper ya? Emang sebelum minggat gak sempet makan?"

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala ku cepat.

"Mau makan apa? Entar sekalian gue beliin."

"Kalo bisa bakmi goreng," jawab ku sekenanya.

"Oke, tunggu ya."

Sesaat kemudian dia sudah menghilang di balik pintu. Aku terpaku menatap pintu yang baru saja dilalui oleh pria itu. Senyum tersungging di bibir ku.

Baru kali ini aku mendapatkan perhatian dari seseorang. Baru kali ini aku merasa memiliki seorang suami meski kenyataannya dia bukan siapa-siapa, hanya pria yang berstatus sebagai ayah biologis dari anak ku.

Perlahan aku mendekati Humaira yang sedang terlelap tidur. Aku rebahkan tubuh ku di sampingnya.

"Papah baik yah? Papah sayang sama Aira," monolog ku seraya mencium keningnya.

•••​

Sekitar tiga puluh menit berlalu. Randy datang dengan membawa dua bungkus bakmi goreng dan satu dus susu lactating.

Randy kemudian mengajak ku untuk duduk di kursi meja makan sedangkan dia menyiapkan dua piring untuk kami berdua.

Dengan lahap aku memakan bakmi tersebut. Entah kenapa Randy hanya melipat kedua tangannya di atas meja sembari melihat ku makan.

Dalam waktu singkat aku sudah memindahkan seluruh isi piring itu ke dalam perut ku.

"Alhamdulillah," ucap ku penuh syukur karena akhirnya ada sesuatu yang bisa aku makan.

Seketika aku sadar kalau sedari tadi Randy masih setia memandang ku tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang ada di depannya.

"Gak dimakan mienya? Entar melar loh," ujar ku memperingatinya.

Dengan senyum tersungging di bibirnya, dia menggeser pelan makanan yang belum disentuhnya sama sekali ke arah ku.

"Punya gue buat lu, kayaknya lu laper banget ya."

"Enggak kok, udah cukup punya ku," tolak ku.

"Udah lu makan lagi gih."

Randy bangkit dan berjalan menuju dapur. Karena sudah diberi izin, ku makan jatah miliknya karena aku masih belum kenyang.

Kembali aku makan dengan lahap. Ketika aku menyelesaikan porsi ku yang kedua, Randy datang dengan membawa segelas susu lalu ia letakkan di samping piring yang sudah kosong.

"Minum!" Perintahnya.

Aku tertegun. Perhatian macam apalagi ini? Apakah dia ingin menyiksa ku dengan rasa nyaman yang ia berikan?

Di satu sisi aku bahagia karena mendapatkan perhatian darinya tapi di sisi lain aku khawatir jika perlakuannya membuat diri ku jatuh cinta kepadanya.

Hal itu tidak boleh terjadi karena mau bagaimana pun aku tidak dapat memilikinya. Di antara aku dan dia terdapat dinding besar yang memisahkan.

Aku yang sudah bersuami dan Randy yang akan menikah dengan Annisa.

"Anggap aja gue ngelakuin ini demi Aira."

Seolah mengerti apa yang aku pikirkan, Randy berkata demikian. Aku mengangguk singkat lalu meminum susu yang dibuatkan oleh Randy tanpa banyak protes.

"Kalo udah langsung tidur, udah malem. Biar gue tidur di sofa."

Aku menjadi tidak enak kepadanya. Padahal dia pemilik apartemen itu tapi dia malah mengalah dan memilih tidur di sofa.

"Emm...Ran, kamu tidur di ranjang aja, kamu pengin kan tidur bareng Aira?"

Randy tersenyum sambil mengangguk. Tampak dia senang diberi kesempatan untuk tidur di samping anak kandungnya.

"Makasih," pungkasnya lalu pergi menghampiri Humaira di kamarnya.

Beberapa saat kemudian aku menyusul mereka setelah mencuci piring bekas makan ku tadi.

Hati ku kembali menghangat kala melihat pemandangan di atas ranjang. Randy tengah memeluk Humaira yang saat itu tengah tidur miring ke arah Randy.

Baiklah itu adalah serangan yang cukup telak di hati ku. Mungkin aku akan gagal menahan gejolak ini. Hati ku benar-benar luluh terhadap sikap Randy itu.

Pantaskah saat ini jika aku berharap agar Randy menjadi milik ku sepenuhnya?

"Pantaskah namanya ku sebut dalam setiap doa yang ku panjatkan kepada mu ya tuhan?" batin ku.

To Be Continue...
Berharap randy sama tante dewi swinger dengan pram dan istrinya.
 
Fix Randy sama Annisa aja. Buat Icha, cukup dapat perhatian Randy tapi tanpa hubungan biologis. Eh, maksudnya tanpa ml/esek esek.
*Duh lupa ini forum S, nggak harus sopan komentarnya :Peace:

Makasih TS buat tulisannya yang berbobot.
 
Part 36. Ada apa dengan Ranty?

Pov Randy

Aku terbangun cukup pagi dari tidur ku. Sebenarnya aku masih sangat mengantuk karena semalam aku kurang tidur.

Aku berkali-kali terjaga saat Humaira tiba-tiba terbangun dan menangis, entah karena lapar atau popoknya sudah penuh.

Tapi Icha sama sekali tidak mengeluh saat dia harus bangkit dari tidurnya untuk memenuhi kebutuhan Humaira itu, sepertinya dia memang sudah biasa melakukannya.

Aku jadi kagum padanya. Dia selama ini melakukan hal itu dengan rasa sabar dan kasih sayang yang besar. Kalau dia tidak benar-benar menyayanginya sudah bisa dipastikan sekarang dia sudah dibuang.

Dan pada saat ini aku melihat dua mahluk cantik sedang terlelap tidur di samping ku.

Salah satu tangan Icha kini tengah melingkar memeluk pinggang ku. Nafasnya teratur menandakan dia sedang berada di alam mimpi.

Ku perhatikan wajahnya dengan seksama. Aku menjadi teringat dengan Icha saat pertama kali kita bertemu. Saat itu dia mengira bahwa aku adalah MABA di kampus tempat ia kuliah dulu.

Hubungan kami berlanjut ketika sebuah rencana yang ku buat dengan memanfaatkan dirinya untuk menjebak Reza.

Aku teringat kejadian malam itu. Malam liar dan panas di dalam kost milik Icha. Malam dimana kita diberi kenang-kenangan oleh tuhan berupa malaikat kecil yang sedang tertidur pulas di antara kita saat ini.

Sebuah hadiah yang pada awalnya tidak kami inginkan, namun pada akhirnya kini kami sama-sama tidak ingin kehilangannya.

Ku lihat dia sedang terlelap dengan salah satu payudaranya terekspose bebas karena semalam Humaira ingin menyusu kepadanya.

Aku rapatkan posisi ku dengannya memberikan kehangatan pada anak kami. Ku tarik tengkuknya sedikit ke arah ku dan ku cium puncak kepalanya.

Ternyata gerakan itu membuatnya terbangun. Dia tertegun mendapati wajah kami sangat dekat. Dia lalu memundurkan badannya.

"Randy, kenapa gak bangunin aku?"

Icha mengucek matanya belum sadar akan keadaan buah dadanya yang menjadi pemandangan segar di pagi hari.

"Tidur lu pules banget, gak tega gue banguninnya," ucap ku seraya menopang kepala ku dengan telapak tangan.

Puting payudaranya berwarna kecoklatan dan besar khas ibu-ibu yang sedang menyusui, berbeda dengan milik Annisa yang berwarna pink dan kecil.

Sadar salah satu bagian sensitifnya jadi pemandangan ku, dia buru-buru memasukkannya lagi ke dalam kaos milik ku yang ia kenakan.

Wajahnya memerah menahan malu. Tapi itu hal yang sangat lucu mengingat dulu dia tanpa malu menyodorkan payudaranya untuk ku nikmati.

"Jangan kemana-mana dulu, gue mau beliin sarapan, mandinya nanti aja," cegah ku ketika Icha akan bangkit.

Dia lalu mengurungkan niatnya. Aku yang kemudian turun dari ranjang dan bersiap untuk membelikan sarapan.

Tak jauh dari apartemen milik ku ada yang seorang penjual lontong opor. Yah, apa boleh buat karena hanya itu opsi untuk saat ini, atau bisa dibilang aku malas untuk cari yang lain, sedangkan biasanya aku sarapan di luar. Aku lalu kembali dengan cepat.

Di atas ranjang, Icha masih dalam posisi yang sama namun kali ini dia sedang menyusui Humaira.

"Nih dimakan lontong opornya."

Icha mengganti puting payudaranya dengan empeng, lalu menyusul ku ke meja makan.

"Makasih," ucapnya singkat.

Kami makan bersama dalam diam. Sesekali aku curi-curi pandang kepadanya hingga tak sengaja tatapan kita bertemu membuatnya salah tingkah.

"Ya udah, gue mau mandi dulu, mau berangkat latihan basket, lu di sini aja jangan kemana-mana, jangan lupa buahnya dimakan, vitamin sama susunya jangan lupa diminum, kalo ada apa-apa telepon gue aja ya, entar gue langsung pulang," cerocos ku seraya menyentuh pundak kirinya.

Icha tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Aku pun bersiap-siap untuk berangkat latihan seperti biasa.

Setelah semua ready, aku berpamitan kepada Icha. Sebelum pergi aku sempatkan untuk mencium bidadari kecil ku.

"Papah berangkat dulu yah, Aira jangan nakal sama mamah, Aira kan anak pinter."

Cuppp...

Ku cium pipinya lama, setelah itu aku berbalik dan mendapati Icha tengah menahan sudut bibirnya agar tidak tertarik ke atas.

"Kenapa?" tanya ku heran.

"Gak papa kok, ya udah berangkat sana, nanti telat."

Dia lalu mengulurkan tangannya yang ku sambut dengan uluran tangan ku. Tanpa diduga dia mencium punggung tangan ku layaknya seorang istri kepada suaminya.

Duh, kenapa hati ku jadi deg-degan begini? Perlakuan manis itu membuat ku menjadi baper. Begini kah rasanya punya istri? Hmm...

•••​

Latihan hari ini selesai, kembali aku menampilkan penampilan yang luar biasa. Namun kelemahan ku hanya satu, yaitu stamina. Coach Roy memberikan arahan kepada ku.

"Ran, kalo kamu bisa improve stamina mu lebih baik lagi, kamu bakal bisa tembus langsung ke squad utama loh."

Sontak ucapan coach Roy membuat ku girang. Tapi tak dipungkiri aku tetap harus bekerja ekstra keras untuk meningkatkan stamina ku dan itu bukan hal yang mudah dan instan.

Di bench aku duduk sembari meregangkan tubuh ku yang mengeras setelah latihan yang cukup melelahkan. Tiba-tiba seorang pemain datang mensejajarkan duduknya di samping ku.

"Justin?!"

Ya, dia adalah Justin yang tampak cuek duduk sambil meminum air dari Tupperware yang dibawanya. Dia menoleh dengan tatapan datar lalu pandangannya kembali lurus ke depan.

"Selamat ya, lu masuk squad inti," ujarnya tanpa melihat wajah ku.

Aku tertawa hambar tanpa menimpali perkataannya.

"Gimana hubungan lu sama Anes? Ada perkembangan?"

Justin hanya mengangkat kedua bahunya.

"Kemarin gue sempet ketemu sama dia," ucapnya dijeda.

"Yah kita bicarain masalah ini dengan kepala dingin, bukan cuma tentang kita bertiga, tapi semuanya."

"Terus?"

"Dan dari obrolan kita bisa gue simpulkan kalo gue sama dia emang udah beda prinsip."

"Maksudnya?" tanya ku tak mengerti.

Dia menghela nafas sesaat.

"selama gue pacaran sama dia gue gak pernah yang namanya selingkuh atau sekedar main api sama cewek lain, meskipun gue punya kapabilitas untuk ngelakuin itu. Gue maunya berkomitmen sama dia, setia, dia cuma buat gue dan gue juga cuma buat dia."

Secara tidak langsung ucapannya menyindir ku. Aku dan dia memang berbeda seratus delapan puluh derajat soal kesetiaan.

Aku yang sudah memiliki komitmen dengan kak Ranty justru sudah melakukan persetubuhan dengan beberapa wanita dengan tedeng aling-aling sebuah balas dendam.

Aku akui kalau aku kagum dengan Justin. Meskipun dia tampan, banyak wanita yang pastinya tergila-gila padanya tapi dia tetap setia pada Anes.

Mungkin aku dapat belajar sesuatu padanya. Tapi yang namanya orang pasti memiliki hal positif dan negatif. Tidak mudah untuk merubah karakter seseorang.

"Tapi dia punya pemikiran lain," lanjut Justin meneruskan penjelasannya.

"Dia maunya kita easy going, nikmati hidup, gak mau buru-buru punya komitmen, bahkan mungkin dia sama sekali gak mikirin soal nikah, dia lebih nyaman tinggal bareng kaya sebelumnya."

Dia melirik ke arah ku.

"Dan dia mikir selama dia gak berhubungan seks dengan laki-laki lain, itu belum bisa dikategorikan sebagai selingkuh, termasuk sama lu."

Penjelasannya berakhir, aku termangu sesaat. Ternyata ini alasan kenapa Anes mau melakukan apapun dengan ku selain seks.

"Apa dia juga pernah ngelakuin itu sama cowok lain?"

Justin mengangkat kedua bahunya.

"Who knows? Gue gak bahas soal itu sama dia, yang jelas kiat udah beda jalan dan gak bisa bersatu lagi. Jadi kita mutusin buat berteman aja mulai dari sekarang."

Lagi-lagi aku terkesan dengan kedewasaan Justin. Aku tahu hal itu sangat pahit tapi dia masih bisa bersikap tenang.

Kejadian itu mengingatkan ku pada drama antara aku dan Lisa dulu. Padahal dulu saat aku menangkap basah Lisa dan Dimas tengah berhubungan intim, status ku bukan siapa-siapa Lisa, tapi aku bersikap seolah Lisa telah melakukan perselingkuhan dari ku dan aku yang bersikap kekanak-kanakan memusuhi dirinya selama beberapa minggu.

Rasa bersalah kembali hinggap di dada ku. Aku telah merebut pacar dari seseorang yang berjasa bagi jalan ku menjadi pemain basket.

"Maafin gue Tin, gue nyesel banget udah nusuk lu dari belakang. Gue harap lu bisa maafin gue dan hubungan kita balik lagi kaya dulu," sesal ku.

Justin tertawa kecil seraya memukul bahu ku agak keras.

"Gue udah maafin lu kok. Yah, paling enggak ada hal positif yang bisa gue petik karena masalah ini. Gue jadi tau apa yang Anes mau, kita gak perlu lagi hidup dalam kepalsuan ini. Sekarang hati gue udah plong, kita juga masih berhubungan meski dalam status yang beda yaitu teman. Tapi lu tau kan status 'teman' yang dia maksud?" cetusnya sembari mengangkat kedua alisnya beberapa kali dengan menekankan kata 'teman'.

Aku terkekeh mendengar perkataannya. Ternyata dia tidak mau rugi setelah putus dengan Anes.

"Kalo lu mau coba sama dia ya cobain aja," celetuk Justin sekali lagi.

"Cobain apa nih maksudnya?"

"Coba pacaran sama dia lah, emangnya cobain apalagi? tapi lu harus tau konsekuensinya yang tadi udah gue bilang, dia gak mau punya komitmen."

"Oh, gue kirain cobain lubangnya, wkwkwk..."

"Kalo itu sih nanti kita cobain bareng-bareng."

"Hah?!" Aku tercengang mendengar kata-katanya.

Tanpa penjelasan lebih rinci dia sudah beranjak dan meninggalkan ku begitu saja. Aku garuk-garuk kepala tidak habis pikir.

Setelah kepergian Justin, ponsel ku tiba-tiba berbunyi. Ada notifikasi pesan wa. Aku terkejut ternyata itu adalah pesan balasan dari kak Ranty yang semalam aku kirim pesan.

"Iya ada apa?" Isi pesan itu.

Aku membuka mulut ku. Kenapa responnya dingin begitu? Aku kira dia akan langsung menelpon ku dan menumpahkan rasa rindunya pada ku.

Tak perlu waktu lama aku langsung mencoba menghubunginya melalui video call. Namun entah mengapa dia justru menolak panggilan itu.

Beberapa detik kemudian kak Ranty menelpon ku dengan voice call.

"Halo?" sapanya singkat.

"Halo kak?!"

"Oh Randy, emm...ada apa?"

Aku berhenti sejenak. Kok dia baru tau kalo aku yang menelpon? dan juga responnya benar-benar datar.

"Kok kakak baru tau kalo aku yang telpon?"

"Iya, kakak gak liat namanya tadi," balasnya.

Deggg...

Bohong. Itulah kata yang pertama kali terucap ketika mendengarkan penjelasannya.

"Kakak lagi ngapain sekarang?"

"Lagi di kampus nih, lagi mau bimbingan skripsi."

"Oh, udah lagi ambil skripsi?"

"Iya dong, biar cepet-cepet wisuda, hehehe..."

"Emm...biar apa cepet-cepet wisuda? Hehehe," goda ku.

"Biar cepet bisa kerja."

Tiba-tiba senyum ku hilang.

"Biar cepet nyusul pacar ku yang lagi merantau di kota orang, hehehe..." timpalnya lagi membuat senyum kembali terpancar di bibir ku.

"Kak!" panggil ku.

"Iya sayang?" jawabnya berubah mesra.

"Maafin Randy udah jarang kasih kabar sama kakak, Randy lagi sibuk buat menata masa depan kita, semoga kakak masih sabar ya," celoteh ku diiringi rasa sesal.

"Iya kakak tau kok kamu lagi sibuk, makannya kakak jarang hubungi kamu takut ganggu aktivitas mu."

Prasangka ku ternyata salah. Kak Ranty jarang menghubungi ku karena takut mengganggu ku dan bukan karena sudah tidak peduli dengan ku.

"Kak!"

"Iya?"

"Video call dong!" pinta ku.

"Emm...lagi gak bisa sayang, ini kakak lagi di kampus, lagi nunggu dosen pembimbingnya lama," keluh kak Ranty.

"Kok sepi?"

Aku yang merasa heran tidak ada suara lain selain kak Ranty dari arah telepon itu.

"Iya ini lagi di perpus soalnya, lagi nyari referensi buat skripsinya kakak," dalih kak Ranty.

"Oh gitu yah, ya udah kalo gitu dilanjut lagi. Kakak jaga kesehatan ya, jangan lupa makan, Randy sayang kakak."

"Kakak juga sayang Randy!"

Telepon pun lalu ditutup. Tak berselang lama foto profil kak Ranty kembali hadir di dalam kontak wa-nya. Timbul pertanyaan dalam hati ku.

Apa jangan-jangan kak Ranty menghapus kontak ku? Atau tidak sengaja terhapus? Tapi kenapa tadi dia tidak mengatakan apapun tentang itu?

Berbagai pikiran berkecamuk di hati ku. Ternyata masalah ku banyak banget yah. Aku memegang pelipis ku yang nyeri. Perasaan ku tidak enak tapi aku harus tetap berpikir positif.

Belum selesai lamunan ku, ponsel ku sudah berbunyi kembali. Aku melihat nama Annisa di layar ponsel.

"Halo say?" sapa ku.

"Waalaikumusalam."

Aku tersenyum dalam hati. Aku lupa siapa yang sedang menelepon ku itu.

"Assalamualaikum," ulang ku.

"Waalaikumusalam, Randy bisa jemput?"

Annisa memanggil ku dengan suara lembut.

"Bisa kok, jemput sekarang?"

"Iya di kosan temen, nanti aku share lokasinya."

"Oke deh kalo gitu."

Aku kemudian beranjak dari duduk ku dan bersiap untuk menjemput Annisa. Tumben sekali dia minta dijemput, apa jangan-jangan?

"Ahh, udah lah."

Aku sedang tidak ingin menambah pikiran lagi.

To Be Continue...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd