Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
wallaaaah nisa udah dapet chemistrynya nih sama randy.. tinggal percintaan yg berlandaskan keikhlasan diantara mereka berdua 😅..

lanjut suhuuu.. gemeezzz bacanya ketika membayangkan cw berhijab tersipu2 malu 😅
 
Part 30. Curahan Hati Annisa

"Annisa!"

Arif memanggil Annisa yang sedang berjalan ke ruangan kelas. Yang dipanggil hanya menoleh sesaat tanpa menghentikan langkahnya.

"Kamu bohong kan? Dia bukan calon suami kamu? Mana cocok kamu sama dia, dia kaya orang berandalan gitu, kamu itu cocoknya sama laki-laki yang soleh."

Annisa mendengus kesal. Kenapa Arif jadi ikut campur urusan pribadinya.

"Apa sih kamu ini, jangan lihat orang dari luarnya aja," sindir Annisa malas.

Terkadang memang lelaki itu suka mencari perhatian darinya. Ya, meskipun Arif sudah menaruh rasa pada Annisa sejak SMA tetapi hingga kini dia belum berani untuk mengungkapkan perasaannya. Bahkan dia rela untuk masuk kuliah jurusan yang sama dengan Annisa hanya agar bisa lebih dekat dengannya.

Dirinya berpendapat bahwa kalau ingin menjadi kekasih Annisa, dia harus khatam mengaji. Maka dari itu dirinya selalu pamer kepada Annisa tentang hafalan-hafalan ayat suci yang ia miliki.

Namun nyatanya gadis itu malah jatuh kepada sosok lelaki badboy yang ia jamin dia tidak bisa mengaji sama sekali.

"Jawab dulu Annisa, dia bukan calon suami kamu kan?"

Arif kembali mencoba memastikan hal yang dia harapkan salah.

"Dia memang calon suami ku kok," jawabnya malas.

"Tapi kenapa Annisa? apa kamu dijodohin sama dia? Apa orang tua mu punya hutang sama orang tuanya?" cerocos Arif terus seperti wartawan.

Ucapannya membuat Annisa geram.

"Hey jangan asal ngomong ya Rif, aku pilih dia karena kemauan ku sendiri dan itu bukan urusan mu!" sergah Annisa membuat Arif terdiam.

Sebenarnya Arif tipe orang yang kalem tidak banyak omong. Bisa dibilang Arif mencintai Annisa dalam diam.

Yang dia lakukan selama ini hanya berusaha membuat Annisa terkagum dan terkesan padanya dengan cara dia menunjukkan bahwa dia orang yang paling tinggi tingkat agamanya daripada orang lain.

Tapi sekarang dia sudah tidak bisa menjadi sok cool lagi di depan Annisa. Kabar Annisa yang sudah memiliki calon suami membuatnya kebakaran jenggot.

Kini dirinya panik, stress, tidak tahu bagaimana cara untuk mendapatkan hati Annisa. Arif benar-benar tidak rela Annisa menjadi istri orang lain selain dirinya.

"Terus kenapa kamu mau sama dia? Apa yang dia punya sih sampe kamu mau jadi calon istrinya?"

Seluruh pertanyaan keluar dari mulut Arif. Dia melontarkan pertanyaan itu bukan karena ingin tahu tapi karena dia gundah gulana dan gusar masih berharap bahwa semua itu hanya sebuah kebohongan.

Katakanlah Annisa berbohong agar Arif berhenti mengharapkannya itu jauh lebih baik daripada Annisa benar-benar sudah memiliki calon suami.

"Kenapa kok kamu kaya gak terima gitu sih?"

Arif terdiam sesaat. Bisa saja dia bilang kalau sebenarnya dia sudah menyukai Annisa sejak lama tetapi dia masih belum berani untuk mengungkapkannya.

Dari dulu Arif selalu menunda-nunda untuk mengungkapkan perasaannya pada Annisa. Hingga saat Annisa bilang sudah memiliki calon suami, dirinya masih merasa waktu belum tepat untuk menyatakannya.

"Bukan gak terima Annisa, tapi kamu pantes dapet yang lebih baik dari dia."

"Contohnya?" tanya Annisa balik.

"Contohnya aku," batin Arif.

Andaikan saja Arif bisa mengungkapkannya sekarang, tapi dia lebih memilih diam.

Merasa tidak ada respon, Annisa kemudian masuk ke dalam ruangan untuk mengikuti pelajaran.

Annisa mengikuti perkuliahan dengan tenang dan fokus, berbeda dengan Arif yang uring-uringan karena masih belum menerima kenyataan itu. Matanya beberapa kali melirik ke arah Annisa.

Hingga kuliah berakhir, Annisa keluar dari ruangan langsung disambut oleh seseorang.

"Hay," sapanya lembut sambil tersenyum.

Dia tengah berdiri bersandar di tembok dengan telapak tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Randy ngagetin aja, kok masih di sini?!"

"Hehehe, lagi nunggu calon istri gue dong."

Sejenak Randy melirik ke belakang Annisa yang tengah berdiri seorang lelaki yang ia temui tadi. Sengaja Randy ingin memanas-manasinya.

Arif memutar bola matanya malas. Sungguh ia muak dengan tampang Randy yang sok ganteng itu, tapi memang ganteng sih.

Lagi-lagi jantung Annisa berdebar kala Randy mengucapkan 'calon istri' kepadanya. Namun ia memilih untuk memasang wajah datar.

"Yuk pergi," ajak Annisa lalu berjalan menjauh diikuti oleh Randy.

"Tinggal dulu bang Arif!" ucap Randy seraya melambaikan tangan pada Arif.

Arif mengeratkan giginya kesal. Tangannya sudah terkepal keras namun yang bisa dia lakukan hanya diam memandang sang pujaan hati pergi meninggalkan dirinya bersama sang kekasih.

Ngenes banget lu Rif wkwkwk...

Randy dan Annisa sedang berjalan di koridor kampus menuju ke lobby utama.

"Oh ya say, tadi berangkat naik apa?" tanya Randy yang mengetahui kalau Annisa sudah tidak berangkat bersama Reza lagi.

"Jangan panggil say ahh malu!"

Annisa mengerjap sedikit risih dengan panggilan yang Randy sematkan padanya.

"Terus apa? Beib?"

"Norak tau! panggil nama aja," protes Annisa.

"Oke deh, Nisa sayang...awww...!!!"

Seketika Randy memekik kesakitan saat tiba-tiba Annisa mencubit pinggangnya karena sebal.

Annisa merenggut kesal namun tidak dengan Randy, dia tertawa melihat wajah cemberut Annisa yang sangat imut itu.

Entah kenapa sifat Randy yang jahil justru membuat Annisa merasa terhibur. Hidupnya yang selama ini sangat flat kini mulai lebih berwarna. Dia jadi lupa dengan masalah dengan bundanya yang sedang ia hadapi.

Apakah pertemuannya dengan Randy adalah suatu musibah atau anugrah dia pun tak tahu.

"Emm, hari ini lu udah gak ada kuliah kan? kita jalan yuk!" ajak Randy.

"Jalan kemana?"

"Ngedate," jawab Randy singkat.

Annisa menggeleng cepat. Ngedate hanya diperuntukkan bagi orang yang berpacaran, sedangkan dirinya tidak.

"Anggap aja jalan biasa," tawar Randy lagi.

Annisa berpikir sesaat.

"Boleh deh, sekalian ada yang mau aku omongin."

Randy mengangguk. Mereka lalu pergi ke parkiran bersama.

Sesampainya di parkiran, Annisa melihat Randy berdiri di samping motor sport miliknya.

"Loh pake motor?"

Annisa memandang Randy heran. Bukan Annisa tidak mau menaiki motor tetapi dirinya tidak terbiasa apalagi dengan Randy.

Terakhir kali dia membonceng motor saat kakaknya baru saja dibelikan oleh almarhum ayahnya saat Reza masih dibangku SMP. Namun sejak ayahnya meninggal motor itu dijual dan lebih memilih kemana-mana naik mobil.

"Kenapa?"

Annisa dengan cepat menggelengkan kepalanya menepiskan rasa ragu.

"Gak papa, ayo!"

Randy lalu menaiki motornya. Dia tunggu Annisa tak kunjung naik juga.

"Tunggu apa lagi?"

"Emm... gimana cara naiknya?"

Randy terkekeh singkat.

"Miring aja, lu kan pake rok panjang, kaki kanannya dipake buat tumpuan di footstep, terus lu lompat aja ke jok."

Sejenak Annisa ragu-ragu tapi akhirnya dia mencoba mengikuti arahan dari Randy. Saat Annisa melompat ternyata lompatannya terlalu keras sehingga dia hampir terjengkang ke belakang sebelum secara refleks Randy menahan punggung Annisa agar tidak jatuh.

"Hati-hati," ucap Randy mengingatkan.

"Iya, jangan cepet-cepet bawa motornya."

"Siap tuan putri, pegangan yang kenceng!"

"Pegangan apa?"

Annisa terlihat bingung.

"Nih!"

Randy menepuk-nepuk perutnya sendiri.

Annisa malu jika dia harus memeluk Randy dari belakang. Tapi saat itu tidak ada pilihan lain.

Tanpa aba-aba Randy memutar throttlenya agak cepat membuat Annisa spontan langsung memeluk erat karena kaget dan takut terjatuh.

"Ihhh Randy...!!!" dengus Annisa kesal sambil memukul bahu Randy yang dibalas dengan tertawa jahil.

Dari lantai dua Arif meratapi nasibnya yang mengenaskan. Dia melihat orang yang disukainya sedang membonceng lelaki lain dengan mesra.

Arif masih tidak habis pikir. Seorang Annisa yang notabenenya gadis yang sangat taat kepada agama justru melakukan hal yang seharusnya dilarang. Apakah dia yang salah menilai Annisa?

"Arggghhh...!!!" pekik Arif frustasi.

Ia mengacak rambutnya hingga peci yang digunakan jatuh ke lantai satu, sial kedua kali ini.

"I see you, alias ASU...!!!" umpat Arif.

•••​


Dua orang sejoli itu sedang berada di taman pusat kota. Mereka sedang menyantap es krim yang sebelumnya mereka beli di mini market.


Kebiasaan Annisa kalau sedang makan es krim, dia selalu menyisakan kerupuk yang berfungsi sebagai wadah es itu tanpa mau memakannya.


"Kok gak dimakan sekalian?"


"Gak suka."


"Mubasir loh, tuhan gak suka orang yang suka membuang-buang makanan," ujar Randy mencoba sok berceramah di depan Annisa.


Annisa mendelik tajam. Bisa-bisanya orang yang sama sekali gak punya ilmu agama menceramahinya tentang sesuatu yang menyangkut agama. Meskipun apa yang dikatakan oleh Randy itu ada benarnya.


"Nih."


Randy menyodorkan es krim yang belum sempat ia makan kepada Annisa. Annisa mengernyitkan dahinya tidak paham.


"Tukeran," tawar Randy.


Sejenak Annisa berpikir, namun karena dia sangat menyukai rasa es krim itu akhirnya dia pun menyetujuinya.

Mereka bertukar es krim. Annisa memakan es krim yang masih utuh sedangkan Randy memakan kerupuk sisa dari es krim Annisa yang tidak dimakan.

Annisa masih terus menatap wajah Randy dari samping. Tanpa sadar sudut bibirnya tertarik ke samping menampilkan senyum manisnya.

Dia merasa perlakuan Randy kepadanya sangat gentle. Hal itu membuat dirinya semakin nyaman berada di dekat Randy.

Randy menoleh ke arah Annisa. Karena melamun saat sedang makan es krim membuat bibir Annisa menjadi belepotan.

Dengan berinisiatif tangan Randy terulur untuk menghapus sisa es krim yang ada di bibir Annisa.

Mendapatkan perlakuan itu secara tiba-tiba sontak jantung Annisa menjadi berdetak lebih kencang tak menentu.

Annisa mematung tak bergerak kala wajah Randy begitu dekat sedang mengamati bibirnya yang terbuka.

Wajahnya memerah layaknya kepiting rebus. Randy tersenyum penuh arti yang membuat Annisa menjadi salah tingkah.

"Makan es krim aja sampe belepotan kaya anak kecil," ejek Randy sambil terkekeh.

Annisa dengan cepat membuang mukanya, selain karena malu dirinya juga kesal telah beberapa kali digoda oleh Randy.

"Mau cerita apa tadi?"

Randy mencoba mengalihkan pembicaraan agar Annisa tidak terlanjur ilfeel. Annisa kemudian kembali menoleh namun belum berbicara.

"Udah bilang sama bunda?"

Annisa mengangguk pelan.

"Terus?"

Ekspresinya langsung berubah, ingatannya terlempar ke kejadian semalam di rumah Adibah.

Flashback

"Bunda," panggil Annisa lirih.

"Ada apa Annisa?"

Adibah yang baru selesai mengaji kemudian menutup kitab sucinya lalu perhatiannya fokus kepada Annisa.

"Ada yang mau Annisa ceritain bunda."

Annisa duduk di pinggir ranjang milik Adibah dengan raut wajah gelisah. Hal itu dapat ditangkap oleh bundanya.

"Mau cerita apa Annisa? kok kayaknya cemas gitu?"

Adibah menyusul Annisa duduk di sebelahnya. Tiba-tiba mata Annisa menjadi berkaca-kaca hendak menangis. Adibah sudah menduga ada yang tidak beres. Dia lalu mengelus punggung anaknya agar lebih tenang.

"Bunda maafin Nisa bunda!"

Adibah mengernyit tidak paham dengan maksud Annisa.

"Minta maaf untuk apa Annisa? Bunda merasa kamu tidak melakukan kesalahan apapun."

Annisa menggelengkan kepalanya. Dia sudah terlanjur menangis, dirinya tidak siap untuk melihat bundanya kecewa. Tapi cepat atau lambat dia tetap harus menceritakan tentang kondisinya. Lebih cepat lebih baik.

"Bunda maafin Annisa, hiks..."

Adibah menghela nafas panjang. Dia merangkul kedua bahu Annisa.

"Coba ceritakan pelan-pelan, kalo kamu cuma minta maaf bunda jadi bingung," balas Adibah penuh perhatian.

"Bunda, Annisa udah ngelakuin dosa besar."

Adibah terperanjat kaget. Dia punya perasaan buruk terhadap hal itu. Pikirannya sudah kemana-mana, tapi dia memilih untuk mendengarkan kelanjutan cerita anaknya itu.

"Maaf bunda, hiksss..."

Lagi-lagi kata maaf keluar dari mulut Annisa.

"Dosa apa yang sudah kamu lakukan Annisa? Bunda harap bukan seperti yang bunda pikirkan."

Dia tahu kalau masalah ini ada hubungannya dengan pigura yang pecah pada malam kemarin yang membuat pikirannya tidak tenang sepanjang malam.

Annisa merasa berat untuk mengungkapkannya. Dengan menghembuskan nafas dalam kata itu akhirnya terucap juga.

"Nisa udah berbuat zina, Nisa udah ngelakuin itu dengan seorang lelaki bunda, hiksss..." tangis Annisa sembari memeluk tubuh Adibah.

Bagaikan tersambar petir tubuh Adibah menjadi kaku. Jantungnya nyaris berhenti kala itu. Kalau saja dia punya riwayat penyakit jantung, mungkin sekarang dia sudah menyusul suaminya di surga.

"Apa benar yang kamu katakan itu Annisa? Ta...tapi kenapa? Kenapa kamu melakukan hal itu?"

Adibah mulai menitikkan air mata. Sungguh dia benar-benar kecewa terhadap anaknya yang paling dia sayangi.

"Maaf bunda, maaf."

Adibah menggelengkan kepalanya pelan.

"Kenapa Annisa? Kenapa? Dulu kakak kamu yang melakukannya, sekarang giliran kamu! Apa gak cukup kakak mu buat bunda merasa gagal jadi seorang ibu, sekarang tinggal kamu yang mempertegas bunda kalau bunda memang tidak pantas jadi ibu kamu, hiksss..."

Adibah menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Rasanya dunia ini benar-benar telah menghancurkan dirinya dengan kenyataan yang sangat menyakitkan ini.

"Maaf bunda, Annisa minta maaf, maaf, maaf..."

Annisa berlutut mencium kaki ibunya. Tidak ada respon sama sekali. Bahkan Annisa berharap kalau ibunya itu menendang dirinya sekalian untuk menebus kesalahan yang telah dia lakukan.

"Terima kasih, terima kasih karena kamu udah sukses buat bunda gagal jadi seorang ibu, dan maaf karena kamu telah lahir dari rahim seorang ibu seperti bunda, kamu pantas dapat ibu yang jauh lebih baik," sarkas Adibah yang membuat hati Annisa seperti dihujani beribu-ribu panah.

Annisa menggeleng keras. Bundanya adalah ibu terbaik di dunia, dia merasa sangat beruntung bisa menjadi bagian dari hidup Adibah. Ini memang kesalahan yang harus dibayar mahal.

Annisa siap untuk menerima apapun hukuman dari bundanya, selain terus mendengarkan bundanya menyalahkan dirinya sendiri karena kesalahan yang Annisa lakukan.

"Sekarang apa yang mau kamu lakukan?" tanya Adibah di tengah Isak tangisnya.

Annisa masih berlutut, wajahnya sedikit menengadah ke atas dengan getir menatap wajah orang yang sudah ia kecewakan.

"Nisa mau nikah sama dia bunda, dia udah janji sama Annisa mau bertanggung jawab," jawab Annisa dengan nada lirih.

"Memangnya dengan menikah semua langsung beres?! Dosa yang sudah kamu lakukan tidak akan dihapus hanya dengan menikah!"

Annisa kembali menunduk, dia tidak tahu harus berkata apalagi kepada Adibah. Dia sudah pasrah apapun keputusan ibunya itu.

Adibah lalu berdiri dari duduknya.

"Bawa dia ke sini, bunda mau ketemu sama dia!" ucap Adibah lalu pergi berlalu meninggalkan Annisa.

Flashback end

To Be Continue...
Thx for updates.... one of the best conflict.... to be countinue
 
Part 31. Surga Dunia

Randy dan Annisa masih duduk di salah satu bangku di taman pusat kota. Setelah menghabiskan es krimnya yang kedua Annisa kembali memberikan kerupuk es yang tersisa kepada Randy.

Sebenarnya tidak sopan memberikan sisa makanan kepada orang lain tetapi daripada mubazir, lagipula Randy sendiri yang meminta.

"Oh ya, habis ini kita ke apartemen gue dulu yah, tadi habis latihan langsung ke kampus nganterin Prilly, belum sempet mandi hehehe..." ucap Randy sambil bercanda.

"Uhh pantesan bau acem!" balas Annisa menahan senyum.

Randy melongo. Dia tidak salah dengar kan? Annisa menimpali candaannya. Itu merupakan suatu perkembangan yang bagus. Randy mengira Annisa adalah orang yang kaku, yang susah diajak bercanda.

"Halo?! Kenapa?"

Annisa mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Randy karena Randy memandanginya terus menerus.

"Ehh bau acem ya? Makannya mau mandi dulu, mau ketemu calon mertua harus wangi, ya gak?"

Wajah Annisa memerah mendengar ucapan Randy.

"Hah?! Emang mau ketemu sekarang?" jawab Annisa terkejut.

"Lah, emang mau kapan lagi? Ayok!"

Randy bangkit sembari menarik tangan Annisa. Seperti terhipnotis Annisa menuruti saja kemauan Randy.

Mereka pun pergi menuju apartemen Randy sambil berboncengan. Annisa sudah agak santai dalam memeluk Randy dari belakang.

Entah kenapa jika bersama Randy dia jadi melupakan ajaran-ajaran yang pernah dia dapat tentang cara bersikap dengan orang lain terutama lelaki yang bukan muhrim.

Setelah sampai di apartemen, Randy langsung pamit untuk mandi karena badannya yang sudah gerah.

"Gue mandi dulu ya, kalo mau nonton tv nyalain aja, kalo mau cemilan ada di kulkas."

Annisa mengangguk pelan lalu Randy masuk ke dalam kamar mandi. Sejenak Annisa mengamati kamar Randy. Kamar yang menjadi pertumpahan darah Annisa saat keperawanannya dijebol oleh Randy.

Ingatannya terlempar ke malam itu. Annisa menggigit bibirnya pelan, dia meremas ujung kemejanya. Desiran dadanya muncul saat mengingat dosa terindah yang pernah ia lakukan bersama Randy.

Tidak dipungkiri dia merindukan momen itu. Rindu sentuhan lembut Randy, bagaimana ia memperlakukan dirinya layaknya seorang putri.

Ahh, betapa bodohnya dia merindukan suatu dosa. Annisa duduk di atas karpet dengan bersandarkan tepi ranjang. Di depannya ada tv yang masih dalam keadaan off. Dia nyalakan tv itu untuk menghilangkan kebosanan.

Andaikan saja Randy sudah sah menjadi suaminya, dia mungkin tidak akan mengijinkan Randy untuk turun dari ranjangnya.

Ahh, lagi-lagi dia memikirkan hal yang mesum. Annisa menggelengkan kepalanya keras untuk menghilangkan khayalan itu.

Belum sempat pikiran itu pergi dari kepalanya, tiba-tiba Randy keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang dililitkan di pinggangnya.

Sontak Annisa terkejut dan memalingkan wajahnya. Jantungnya bekerja ekstra keras saat itu. Dia mengelus-elus dadanya untuk menetralisir kondisi jantungnya.

Belum normal ritme jantungnya kembali ia dikejutkan oleh Randy yang tiba-tiba sudah berada disampingnya dengan posisi duduk bersila. Saat itu Randy hanya mengenakan celana boxer.

"Mau," ucap Randy sembari menyodorkan sekantung plastik berisi makanan ringan.

Annisa menggeleng pelan, Randy kemudian meletakkan makanan itu di atas karpet.

Randy duduk bersila sedangkan Annisa duduk sambil memeluk lututnya sendiri.
Bau harum sambun mandi menyeruak ke dalam hidung Annisa.

Sial sekali dia berada di posisi itu. Saat ini pasti setan-setan sedang menari-nari di dalam relung hatinya membisikkan agar melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar duduk manis.

"Ran," panggil Annisa lirih.

"Iya?"

"Kamu yakin mau ketemu bunda sekarang?" tanya Annisa ragu.

"Emangnya kapan lagi?"

"Emang udah siap?"

"Gue si udah, elunya gimana?" tanya Randy balik.

"Terus terang aku belum yakin, apalagi soal agama kamu itu gak tau apa-apa, apa bunda bakal merestui? jujur aku takut."

"Terus lu mau gue buat khatam ngaji dulu baru nemuin nyokap lu? Udah tua duluan kali gue," timpal Randy sembari tersenyum kecut.

Annisa menunduk tampak berpikir tentang segala kemungkinan yang terjadi. Randy adalah satu-satunya harapan karena dia yang telah merenggut mahkota keperawanannya. Terlebih lagi dirinya mulai terbiasa dengan kehadiran lelaki itu di sisinya.

"Kalo dia emang sayang sama lu, dia pasti bisa terima gue apa adanya, karena tiap orang itu beda-beda, yang penting gue jujur, bukan yang ngakunya soleh tapi aslinya bejat," terang Randy dengan gamblang.

Randy kemudian menarik dagu Annisa agar menatap matanya. Alhasil pandangan mereka kini bertemu.

"Gue nanya sekali lagi boleh?"

Annisa hanya mengangguk pelan.

"Lu cinta gak sama gue?"

Deggg...

Pertanyaan Randy membuat Annisa terbungkam. Dia ragu, bukan dia tidak mau menjawab tapi dirinya belum yakin atas perasaan yang saat ini ia rasakan kepada Randy.

Perlahan Randy mendekatkan wajahnya ke wajah Annisa. Annisa menahan nafasnya, dia tahu apa yang akan terjadi, namun ada suatu dorongan yang membuatnya memilih untuk mengikuti arus yang diciptakan oleh Randy.

Mereka berdua sama-sama memejamkan mata dan...

Cuppp...

Dua bibir mereka saling menyatu, pertama-tama hanya menempel saja, lalu Randy mulai memainkan bibirnya melumat bibir Annisa.

Annisa mulai terbuai dengan ciuman Randy di bibirnya. Randy usap pipi Annisa hingga tangannya hinggap di tengkuk Annisa yang masih berbalut hijab.

Sejenak Randy menghentikan aksinya, ia lepaskan ciuman mereka terlepas. Keduanya membuka mata hingga manik mata mereka saling bertemu dan sangat dekat.

Tidak ada kata yang terucap, hanya Randy mengirimkan isyarat kepada Annisa untuk menjawab pertanyaan tadi.

Seperti tahu apa maksud dari Randy, Annisa tersenyum lalu mengangguk pelan.

"Gue anggap sebagai jawaban iya."

Seketika Randy menarik tengkuk Annisa ke arahnya kemudian dengan buas mencium bibir Annisa.

Dengan gelagapan Annisa mencoba membalas, mengimbangi permainan Randy. Ia letakkan tangan kanannya meremas bahu Randy yang tegap dan tangan satunya meremas ujung kemejanya.

"Achhh...!!!" desah Annisa saat lidah Randy mencoba masuk ke dalam mulutnya.

Cppp...sssppp...mmhhh...ncppp...

Bunyi pagutan panas antara dua benda lunak itu. Sentuhan di bibir Annisa benar-benar membuat candu. Dirinya tidak bisa mengelak perasaan nikmat saat Randy memagut bibir hingga lidahnya.

Mereka kini sudah berhadapan. Tangan Annisa melingkar di leher Randy. Baru saja semalam dia menangis meminta maaf kepada ibunya, kini dia mengulangi lagi dosa yang sama.

Perlahan Randy mendorong tubuh Annisa hingga rebahan di atas karpet. Sambil berciuman tangan kiri Randy berperan untuk melepaskan satu per satu kancing kemeja Annisa hingga semuanya terlepas.

Setelah itu Randy bentangkan kemeja itu ke samping. Terlihat Annisa memakai tank top putih untuk melapisi tubuhnya. Saat Randy akan menaikkan tank top itu ke atas tiba-tiba Annisa menahannya.

"Ran, jangan!" cegah Annisa.

"Kenapa?" tanya Randy yang sudah turn on.

"Kalo diterusin bisa-bisa..."

Annisa tidak melanjutkan kata-katanya, namun Randy mengerti apa kelanjutan kalimatnya. Tapi bukan Randy namanya kalau tidak punya cara lain.

Berciuman sambil rebahan kiranya membuat Annisa was-was akan terjadi sesuatu seperti malam itu.

Berbeda dengan malam itu, saat ini Annisa sama sekali tidak terpengaruh oleh obat perangsang, jadi Randy harus berusaha lebih keras untuk menaklukkan Annisa.

Ciuman agaknya sesuatu yang saat ini masih bisa ditoleransi oleh Annisa tanpa obat perangsang, namun tidak pada rangsangan di daerah lain.

Maka dari itu Randy akan mencoba untuk memanfaatkan di bagian itu. Dia bangkit dari tubuh Annisa lalu mengulurkan tangannya agar Annisa berdiri.

Annisa merasa senang karena Randy gentle dan tidak egois untuk melakukan sesuatu yang tidak Annisa kehendaki saat itu.

Annisa pun meraih tangan Randy lalu ikut berdiri. Saat mereka sama-sama sedang berdiri, Randy menatap mata Annisa.

Dengan kemeja yang masih terbuka, Randy selipkan tangannya di belakang pinggang Annisa lalu menariknya. Otomatis pinggul Randy dan Annisa bertabrakan.

Dengan penuh nafsu Randy kembali memagut bibir Annisa yang langsung dibalas dengan semangat.

Kedua tangan Randy naik ke atas meraih punggung Annisa yang masih berbalut tank top. Ditekan lagi ke arahnya sehingga kini payudara Annisa menempel di dada Randy.

Tidak ada penolakan, justru Annisa malah merangkul leher Randy mesra. Dia tampak benar-benar menikmati percumbuan itu.

Randy melepaskan pagutannya sejenak hingga saliva mereka yang tertinggal tersambung membentuk benang di antara dua bibir mereka.

"Jilbabnya dibuka ya?" usul Randy yang langsung dianggukkan oleh Annisa.

Randy menarik hijabnya hingga terlepas menampilkan rambut Annisa yang diikat belakang. Dengan satu gerakkan Randy melepaskan ikatan itu yang membuat rambut Annisa yang panjang tergerai.

"Cantik banget kalo rambutnya digerai say."

Ucapan Randy membuat Annisa malu tapi tak dipungkiri Annisa merasa tersanjung dipuji seperti itu.

Tanpa permisi Randy melepas kemeja yang dipakai oleh Annisa hingga hanya menyisakan tank top dan bra yang berada di dalam.

Randy kembali mengangkat kedua tangan Annisa agar melingkar di lehernya dan lagi-lagi bibir Randy bertemu dengan bibir Annisa.

Randy memang terus-menerus memanfaatkan momen tersebut. Dia ingin agar Annisa semakin terbiasa dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan sehingga bila ia menyentuh area sensitif lainnya, Annisa sudah tidak kaget lagi.

Annisa menikmati bibir Randy yang sedang ia kulum dengan sangat menghayati. Bibir Randy yang baru-baru ini menjadi candu bagi dirinya, ia tidak pernah puas dan selalu menginginkan lagi dan lagi.

Mmphhh...sssppp...ccppp...sssppp...

Bibir Randy kemudian berpindah menyusuri pipi Annisa dan hinggap di leher Annisa.

"Enghhh..."

Secara otomatis Annisa memiringkan kepalanya agar Randy lebih leluasa untuk menjajah lehernya.

Annisa melakukan itu semua sembari memejamkan mata karena di sana ada kaca yang cukup besar. Annisa tidak ingin memandang dirinya yang hina itu.

"Ouhhh...geli Ran!"

Randy mendorong tubuh Annisa pelan hingga ia terduduk di atas ranjang. Annisa menahan tubuhnya dengan kedua tangan yang ia bentangkan sedikit ke belakang.

Bibir Randy kembali berkelana, kini sudah berada di dada Annisa. Tangannya tanpa disadari Annisa sudah mengangkat tank top itu ke atas. Ia lepaskan pengait bra yang berada di belakang.

"Dibuka ya?" tawar Randy.

Annisa tampak dilema. Dirinya sudah bertekad untuk tidak melakukannya lagi sebelum mereka menikah. Tapi dorongan birahi membuatnya bertindak lain.

Annisa lalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Randy pun tersenyum, dia menariknya melewati dua celah tangan Annisa.

Sontak Annisa menutupi bagian atas tubuhnya yang sudah tidak mengenakan apa-apa lagi. Wajahnya memerah menahan malu.

Randy menarik sudut bibirnya namun tetap membiarkan Annisa menutupi ketelanjangannya dengan kedua tangan. Dia tahu Annisa belum seratus persen siap.

Maka lagi-lagi bibir Annisa yang menjadi sasaran target Randy. Untuk saat ini kelemahan Annisa yang dibiarkan untuk dieksploitasi hanya bagian itu.

Annisa kembali terbuai dalam ciuman yang memabukkan. Perlahan pertahanannya pun runtuh. Tangannya kini sudah tidak lagi berada di dadanya melainkan di pahanya.

Hal itu dimanfaatkan Randy untuk menyentuh gundukan yang tidak terlalu besar namun sangat indah. Diremas-remas payudara Annisa sebelah kiri.

"Emphhh...shhh..."

Annisa menggenggam pergelangan tangan Randy dengan kuat, namun tetap membiarkan Randy melancarkan aksinya.

Karena sudah tidak ada tumpuan lagi di tubuh Annisa membuat Randy dengan mudah mendorong Annisa hingga Annisa merebahkan diri.

Dilepaskannya cumbuan di bibir Annisa dan berpindah ke puting payudara Annisa sebelah kiri.

"Achhh...Rhan...emmphhh..."

Annisa merasakan geli di area sensitif itu. Ia remas-remas rambut Randy yang masih sedikit basah karena baru selesai mandi.

Randy gigit-gigit putingnya yang kecil berwarna pink lalu menariknya menggunakan bibir agar sedikit mencuat.

Tangan kiri Randy beraksi mengusap perut Annisa yang halus dan rata. Usapannya berpindah ke bawah menyelip di dalam rok panjang yang dipakai Annisa saat itu.

Sontak Annisa langsung menahan tangan Randy agar tidak sampai menyentuh ke area segitiga bermuda miliknya.

"Rhan...jangan, tunggu sampai kita menikah...achhh..."

Kali ini Randy tidak mengindahkan perkataan Annisa, tangannya yang sudah sampai di area bulu halus kelamin Annisa sudah tidak dapat ditarik lagi.

Jari jemari Randy aktif merangsang klitoris Annisa yang sedikit mencuat. Ia jepit, gelitiki benjolan kecil itu dengan lembut namun mantap.

"Gak akan dimasukin kok, tenang aja," ucap Randy yang menangkap rasa khawatir Annisa yang tidak mau dipenetrasi.

"Achhh...Rhann...emphhh..."

Randy kembali memagut bibir Annisa. Seperti terhipnotis Annisa membalasnya dengan buas. Ia peluk tangan kiri Randy yang sedang berinteraksi dengan vaginanya.

Baik Randy maupun Annisa sudah tidak memperdulikan apabila bibir mereka menjadi dower karena berpagutan terus terusan. Yang jelas Annisa benar-benar ketagihan dalam hal berciuman.

Randy terus merangsang klitoris Annisa. Hingga beberapa saat kemudian Annisa mengalami kejang yang paling nikmat yaitu klimaks.

"Anghhh...!!!"

Serrr...serrr...serrr...serrr...

Annisa mencapai klimaks yang pertama. Tangan Randy ia jepit dengan menggunakan pahanya.

Matanya terpejam, leher Randy ia rangkul dan menariknya seraya menggigit serta menghisap bibir bawah Randy dengan kuat hingga bibirnya masuk dalam-dalam ke mulut Annisa.

Air mata Randy tanpa sadar keluar merasakan perih di bibirnya akibat apa yang di lakukan oleh Annisa.

"Achhh...!!!" pekik Randy saat bibirnya terlepas dari mulut Annisa.

Randy menarik tangannya dari vagina Annisa dan dengan cepat ia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

Darah segar keluar dari bibir Randy. Dia sedikit meringis kesakitan. Randy bangkit lalu mengambil tisu untuk mengelap darahnya.

"Gila nih, cantik-cantik buas, bibir gue aja hampir dimakan," ucapnya dalam hati.

Sejenak Randy memandangi wajah sayu Annisa. Dia terlihat mengecap-ngecap salivanya yang bercampur dengan darah dan saliva Randy.

"Maaf!" ujar Annisa singkat.

Randy pun mendekatkan wajahnya ke wajah Annisa sembari menarik bibir bawahnya.

"Nih nyampe berdarah," tunjuk Randy.

"Maaf," ungkap Annisa lagi.

Annisa merasa bersalah, dia terlalu over reach dalam menghadapi gelombang orgasme barusan. Hal itu justru dimanfaatkan Randy untuk berbuat lebih jauh. Dia pura-pura merajuk.

Randy duduk di tepi ranjang memunggungi Annisa. Annisa yang semula tiduran kini sudah duduk menunduk sambil menutupi dadanya yang telanjang dengan bantal.

"Udah lah, gue gak mau ciuman lagi, entar bibir gue robek lagi," sentak Randy seraya melirik ke arah Annisa.

Annisa terlonjak kaget. Bibirnya ia katupkan rapat, ekspresinya seperti menahan tangis.

"Maaf," ucapnya untuk yang kesekian kali.

Lama kelamaan Randy merasa kasihan juga kepada Annisa. Padahal niatnya hanya mengerjai Annisa saja tapi malah membuatnya hampir menangis.

"Iya aku maafin, tapi aku boleh minta satu hal?"

"M...minta apa?" tanya Annisa terbata-bata.

"Aku minta kamu sepongin," jawab Randy lirih.

Annisa memicingkan matanya. Dia bingung dengan istilah itu, itu adalah kata yang baru pertama kali didengarnya.

"Apa itu?"

Tanpa menjawab Randy lalu melepaskan celana boxer yang menjadi satu-satunya kain yang membalut tubuhnya.

Annisa melongo sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan melihat tubuh Randy yang berotot dengan penis yang panjang dan keras.

Randy kemudian merebahkan diri di samping Annisa yang masih diam mematung. Randy memegangi kontolnya sendiri dan berkata.

"Emut pake mulut mu ya, tapi jangan digigit."

Ucapan Randy membuat Annisa bergidik ngeri. Bagaimana bisa dia memasukkan benda yang biasa digunakan untuk buang air kecil.

Tapi saat dia mengingat 'malam itu' dia juga mendapatkan klimaks yang kedua melalui mulut Randy.

Dengan ragu-ragu Annisa memegang menara yang diameternya hampir satu genggamannya.

Dia lirik Randy yang memberikan isyarat untuk segera mengulumnya. Dengan satu tarikan nafas Annisa mendekatkan wajahnya ke kontol Randy.

"Langsung dimasukkin?" tanya Annisa polos.

Randy terkekeh melihat kepolosan Annisa.

"Terserah kamu, asal jangan digigit, dikunyah terus ditelen," jawab Randy sambil tertawa kecil.

Annisa mendengus kesal mendengar sarkasme Randy yang menggoda dirinya. Tapi Annisa benar-benar tidak tahu, apakah benda sebesar itu mampu ia tampung di mulutnya.

"Lubangnya dibuka dulu terus dijilat, habis itu baru dimasukin," terang Randy.

Mumpung Annisa yang belum tahu apa-apa, Randy mengajari sesuatu yang agak lebih dalam.

Annisa masih bergidik ngeri. Dia harus menjilati tepat di lubang pipis Randy? Dia berpikir pasti tadi saat mandi Randy juga pipis. Apakah itu higienis?

"Kenapa?"

Pertanyaan Randy sukses membuyarkan lamunan Annisa.

"Gak papa," jawab Annisa singkat.

Dia lalu membuka lubang kecil milik Randy dengan menggunakan jari telunjuk dan jempolnya.

Terlihat cairan bening yang mengalir di bagian bawah kepala kontol Randy. Annisa berpikir itu adalah bekas pipis Randy.

"Kamu habis pipis gak cebok ya?"

"Hah?! Mana ada, udah aku bersihin pake sabun segala kok."

"Ini cairan apa?"

"Itu precum sayang," jawab Randy lembut.

Annisa masih ragu, dia tidak dapat percaya begitu saja kepada Randy, tapi memang tidak ada bau pesing sama sekali.

Akhirnya Annisa mencoba menjilatnya. Benar bukan pipis, pikirnya.

"Ouhhh...sshhh...enakkk..." desah Randy.

Dijilati hingga bersih cairan itu lalu lidahnya ia masukkan sedikit ke dalam lubang pipis Randy membuat si empunya menggelinjang kenikmatan.

Setelah itu Annisa kemudian memasukkan batang kontol Randy ke dalam mulutnya.

"Auh...jangan sampai kena gigi sayang, pake bibir sama lidah aja."

Annisa mencoba menuruti apa kemauan suami tidak sahnya itu.

"Ouhhh...bener gitu sayang, enak banget...sshhh...achhh..."

Annisa melakukannya naik turun sesuai permintaan Randy. Setelah beberapa saat Annisa melepaskan kemaluan Randy dari mulutnya karena dia kehabisan nafas.

Randy tersenyum melihat tongkatnya mengkilap karena air liur Annisa. Sebenarnya ia masih belum puas namun karena Annisa sudah tidak sanggup lagi, akhirnya Randy memutuskan untuk kembali mengambil alih permainan.

Posisi kini berbalik. Randy menyuruh Annisa untuk rebahan dan Randy di atas.

"Dibuka ya roknya," pinta Randy.

Annisa dengan cepat menggeleng. Dia tahu kalau itu terjadi pasti akan ada kelanjutan yang lebih jauh lagi.

"Pake mulut kok, kan aku udah dapet dari kamu masa kamu enggak," ujar Randy masih mempengaruhi Annisa.

Entah karena dia sudah sangat horny atau akal sehatnya yang sedang berkelana, Annisa akhirnya mengangguk pasrah.

Randy tarik rok Annisa beserta celana dalamnya hingga lolos dari kakinya. Menampakkan segitiga bermuda yang sangat menggairahkan.

Reflek Annisa menutupi vaginanya yang terus ditatap Randy. Wajahnya merah seperti biasa kalau sedang malu.

Randy renggang kan kedua kaki Annisa, ia singkirkan kedua tangan Annisa yang menutupi daerah kenikmatannya.

Tanpa pikir panjang Randy menjilati bibir memek Annisa yang sedikit tembem.

"Enghhh...Rhan...sshhh...achhh..." desah Annisa merasakan titik sensitifnya dirangsang.

Randy kemudian memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang peranakan Annisa.

"Ouhhh...Rhan...geli..."

Ia masukkan satu jari lagi dan merangsang g-spot Annisa. Benar saja, Annisa langsung kelojotan merasakan rangsangan yang hebat itu.

Hingga tak berapa lama Annisa sudah mengalami tanda-tanda akan orgasme. Randy tahu betul ciri-ciri wanita yang akan mencapai klimaks.

Randy tersenyum licik.

"Tidak semudah itu sayang," batinnya.

Ketika Annisa sudah di ujung orgasme tiba-tiba Randy melepaskan jarinya beserta bibir yang sedang beraksi memberi kenikmatan bagi Annisa.

Sontak Annisa mendelik tajam merasakan letusannya tertahan. Ia merasakan gatal yang sangat kuat di dinding dalam memeknya, rasa ingin digaruk dengan suatu benda.

Randy lalu menegakkan badannya. Ia tempelkan kontolnya yang sudah mengacung ingin masuk ke sarangnya.

Ia gesekkan sejenak di bibir memek Annisa yang membuat gejolak birahi Annisa tidak mereda juga tidak meledak. Membuat Annisa semakin tersiksa.

"Achhh...Rhan...tholonggg...mashukin..."

Randy tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu yang minta ya...!"

Annisa mengangguk mantap. Dia sudah tidak memikirkan konsekuensinya. Baginya ini adalah situasi darurat yang menuntut untuk dituntaskan secepat mungkin.

Surga dunianya kini berada di tangan Randy.

To Be Continue...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd