Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 20. Percikan Gejolak
Aku terbangun di pagi hari. Ku lihat jam menunjukkan pukul 06.30 WIB. Aku pun bergegas untuk bersiap-siap pergi karena hari itu aku ada janji dengan coach Roy, katanya ada hal yang ingin dia bicarakan dengan ku.

Setelah mandi dan sarapan yang aku beli di dekat apartemen, aku pergi meluncur ke lokasi yang di bagikan oleh coach Roy dengan menggunakan motor pemberian dari om Ginanjar.

Tidak lupa sebelumnya aku memberi tahu Tante Dewi kalau hari ini aku ijin tidak bisa menjadi 'supirnya' karena sudah ada janji dengan orang lain.

Sesampainya di lokasi yang ditunjukkan oleh coach Roy, aku melihat sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun di halaman rumahnya terdapat sebuah lapangan basket.

"Pasti ini rumahnya!" batin ku.

Aku kemudian berjalan di tengah lapangan basket yang saat itu kosong, hanya ada tiga remaja yang sedang nongkrong di bawah ring basket sambil melihat ku. Aneh!

Aku pun mengetuk pintu rumah itu.

Tok...tok...tok...

Tidak ada jawaban.

Tok...tok...tok...

Kembali aku mengetuk pintu tersebut. Masih tidak ada jawaban. Hingga beberapa kali aku coba akhirnya ada yang membukakan pintu.

"Maaf mas nyari siapa ya?" tanya seorang wanita paruh baya yang tadi membukakan pintu.

"Maaf saya mau ketemu sama pak Roy, apa benar ini rumahnya?"

"Oh iya betul, tadi beliau udah pesen katanya mau ada yang datang, kalo begitu lewat pintu depan aja ya mas," ucapnya seraya mengisyaratkan ku untuk memutari rumah itu.

Ternyata yang aku ketuk tadi pintu belakang, pantas saja lama dibuka. Rumah coach Roy itu berada di antara dua jalan raya, jadi depan dan belakang rumahnya berada langsung tepat di sebelah jalan.

Setelah pintu itu tertutup aku pun berbalik, namun saat aku akan berbalik aku merasa sesuatu datang ke arah ku dengan kecepatan yang tinggi.

Dengan reflek aku menangkap benda itu dengan telapak tangan ku.

Deppp...!!!

Itu adalah sebuah bola baseball yang dipukul oleh salah satu remaja yang tadi sedang nongkrong.

"Kurang keras sob!"

Aku lalu melemparkan bola itu ke ring basket yang ada di situ hingga bolanya tersangkut di jaring. Mereka melongo melihat aksi ku.

Dengan senyum smink aku berjalan mengabaikan ketiga remaja yang ingin pamer kemampuan kepada ku.

Di depan rumah aku langsung disambut oleh wanita tadi.

"Silahkan masuk, sudah ditunggu!" ujarnya kepada ku.

"Halo Randy, silahkan duduk."

Coach Roy yang sudah menunggu ku di ruang tamu mempersilahkan ku untuk duduk.

"Makasih coach," balas ku singkat.

Dia membetulkan duduknya sebelum kembali berucap.

"Oh ya Ran, kamu itu ponakannya pak Ginanjar ya? kemarin dia yang bilang sama saya."

Aku berpikir sesaat, kemarin memang om Ginanjar yang menelpon coach Roy atas permintaan Tante Dewi.

"Iya betul coach!" jawab ku yakin.

"Hmm...kalo saya tau kamu ponakannya pak Ginanjar, kamu udah masuk ke tim saya dari kemarin."

"Ya kan saya gak tau kalo coach itu kenal sama om Ginanjar, hehehe..." jawab ku sedikit bercanda.

"Jadi gini Ran, alasan saya ngajak kamu ketemu secara pribadi."

Tiba-tiba ekspresinya menjadi serius.

"Sebenarnya saya mau kasih kontrak trial untuk kamu lebih dari sebulan yang lalu, tapi saya dapat masukan dari Justin yang buat saya menunda kontrak itu."

Ya aku memang tahu soal itu, sejak aku tertangkap basah tengah bercumbu dengan pacar Justin, aku sudah pasrah akan masa depan ku untuk jadi pemain basket profesional.

Tapi yang namanya takdir pasti akan membawa kembali meski dengan jalan yang berbeda.

"Kamu ada masalah apa sama Justin?" tanya coach Roy spontan.

Aku masih terdiam belum menjawab pertanyaan darinya.

"Emangnya Justin cerita apa sama coach?"

"Kamu gak perlu tau dia cerita apa, yang jelas dia gak cerita tentang kalian ada masalah, tapi saya bisa ngerasain kalo ada yang gak beres," ujarnya menjelaskan.

"Saya menunda kontrak kamu bukan karena masukan dari Justin, tapi karena saya gak mau ada pemain yang gak akur dalam tim saya," lanjutnya lagi.

"Iya coach, saya memang ada masalah sedikit dengan Justin tapi itu masalah pribadi."

"Itu urusan kalian, yang saya mau kalo kasih kamu kontrak kamu harus perbaiki hubungan dengan Justin paling tidak di dalam lapangan, saya gak mau situasi tim saya gak kondusif karena ada pemain yang punya masalah," jelas coach Roy panjang lebar.

"Siap coach, saya akan coba."

"Justin itu salah satu pemain andalan Garuda Bandung, jadi kalo kalian gak bisa selesaikan masalah dan memaksa saya untuk pilih salah satu, kamu gak punya kesempatan untuk itu, paham?"

"Siap paham coach!" jawab ku lantang.

"Ya sudah, saya ambil surat kontraknya dulu."

Coach Roy pun masuk ke dalam sedangkan aku menunggu di ruang tamu. Perasaan ku saat itu sangat senang karena akhirnya aku dapat masuk ke dalam tim itu.

Saat aku sedang menunggu tiba-tiba masuk dua orang wanita dengan membawa beberapa tas belanjaan, yang satu sudah agak berumur yang satunya aku taksir sebaya dengan kak Ranty.

"Assalamualaikum," ucap mereka memberi salam.

"Waalaikumusalam," jawab ku.

Mereka sedikit terkejut dengan kehadiran ku di situ.

"Ehh, ada tamu," ujar wanita yang lebih tua.

Mereka kemudian tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Dari dalam coach Roy datang dengan membawa secarik kertas dan bolpoin.

"Mamah baru pulang dari pasar?"

Coach Roy lalu menghampiri mereka dan mengambil tas belanjaan yang mereka bawa.

"Farel dimana pah?"

"Di halaman belakang sama temennya, ehh iya kenalin ini mah, Randy yang diceritain sama Dewi itu mah."

"Oh, ini ponakan pak Ginanjar itu ya."

Mereka berdua lalu menyalami ku seraya tersenyum ramah, kemudian berlalu.

Setelah aku menandatangani kontrak trial selama tiga bulan, kami kemudian berjabat tangan.

"Selamat datang di Tim Garuda Bandung, semoga selama trial berlangsung kamu bisa menunjukkan progres yang bagus."

"Terima kasih coach!" jawab ku tegas.

"Oh ya besok kamu mulai latihan, siapkan fisik dan mental."

"Siap!"

Kemudian aku pamit undur diri.

Di perjalanan aku masih termenung memikirkan bagaimana caranya agar hubungan ku dengan Justin membaik.

Tapi aku tidak memiliki ide sama sekali, masih teringat bagaimana ekspresi wajah Justin saat menangkap basah diri ku yang tengah bercumbu dengan Anes.

"Arggghhh...!!!" desah ku kesal.

Ku putuskan untuk mengabaikan sesaat masalah itu. Merasa lapar aku pun mampir ke salah satu warteg pinggir jalan.

Saat sedang makan tiba-tiba ponsel ku berbunyi, aku kira itu dari Tante Dewi ternyata dari nomor yang tidak dikenal.

Aku angkat telepon itu.

"Halo!" sapa ku.

"H...halo!"

"Ini siapa?"

"A...aku Icha, bisa kita ketemu?"

Deggg...

Icha? dari mana dia dapat nomor hp ku?

"Oh, lu dapet nomer gue dari mana? atau jangan-jangan lu gak pernah hapus nomer gue dari hp lu ya?"

"Itu gak penting, sekarang bisa kita ketemu? ada yang mau aku omongin, PENTING!" ucapnya penuh penekanan pada kata 'penting'.

"Sepenting apa sih, say?" tanya ku menggoda.

Icha tidak menjawab pertanyaan dariku melainkan dia hanya menunjukkan sebuah lokasi tempat kita bertemu nanti.

Aku iyakan saja permintaannya kemudian telepon ku tutup. Aku selesaikan makan siang ku dengan cepat.

Dalam hati aku tersenyum licik, Icha benar-benar akan memberi makan seekor macan lapar dengan dirinya sendiri.

Setelah selesai makan aku kemudian bergegas untuk pergi ke lokasi yang ia tunjuk. Lokasi itu cukup jauh dari rumah Icha. Pasti dia memilih tempat itu agar keluarganya tidak dapat menemukannya.

Sebuah cafe yang cukup sepi meskipun hari itu adalah hari minggu. Aku mengedarkan pandangan di sana. Saat aku cek ponsel ku, dia mengirimkan sebuah pesan.

"Arah jam 11," isi pesan itu.

Aku kemudian menengok sekian derajat ke kiri. Ku lihat seorang wanita yang memakai jilbab panjang dan bercadar? ahh entah itu cadar atau masker aku tak tahu. Dia sedang menggendong seorang bayi yang tentu saja itu adalah Humaira.

"Assalamualaikum," sapa ku lalu tersenyum.

"Waalaikumusalam."

Aku kemudian duduk tanpa permisi.

"Anak kita cantik ya, mirip ibunya."

Upaya ku untuk mengelus pipi Humaira yang saat itu sedang tertidur gagal. Icha menepis tangan ku dengan sedikit kasar.

"Sudah berapa kali aku bilang kalo dia bukan anak mu!" sanggah Icha.

"Tapi dia darah daging gue."

"Meskipun dia darah daging mu bukan berarti dia itu anak mu, bukannya kamu dulu gak mau mengakui dia sebagai anak mu!"

Tangan Icha mengepal seraya menggebrak meja namun tidak terlalu keras.

"Lu ngerti kan alasan gue dulu? gue bukannya gak mau tapi gue gak bisa, dulu gue masih SMA, mau makan apa lu kalo nikah sama gue?"

Aku menatap matanya dalam sembari kembali mencoba mengelus pipi Humaira, kali ini dia diam saja membiarkan ku melakukannya.

"Jadi boleh kan kalo gue ketemu lagi sama Humaira, paling gak gue tau kabarnya."

Sesaat kemudian tangan ku ditepisnya.

"Gak usah mimpi! aku ngajak kamu ke sini bukan mau bahas soal itu tapi..."

Perkataannya terputus, aku mengernyitkan dahi ku menunggu Icha melanjutkan ucapannya.

"Tapi aku mau minta sama kamu untuk menjauhi keluarga ku terutama Annisa, dia sama sekali gak ada hubungannya sama masalah mu dengan Reza, jadi tolong biarkan kami hidup bahagia," mohonnya.

"Kenapa? emangnya Reza dulu gak libatin keluarga gue? lu tau kan Cha seberapa brengseknya Reza dulu? gue sih gak masalahin dia main sama lu atau sama cewek lain tapi yang jadi masalah dia udah selingkuh sama nyokap gue sendiri! dan dengan bangganya dia nunjukin itu ke kakak gue sampe dia benci sama nyokapnya sendiri! DIA ITU UDAH NGANCURIN KELUARGA GUE!"

Emosi ku sempat meluap hingga beberapa pengunjung cafe itu melirik ke arah kami, untung saja saat itu tidak terlalu ramai.

"Iya aku ngerti, tapi bukannya sekarang Reza udah dapat karmanya dengan bertanggung jawab atas apa yang harusnya jadi tanggung jawab mu!"

Icha mendelik matanya kepada ku.

"Itu gak cukup Cha, gue mau keluarganya juga hancur."

Senyum sinis keluar dari bibir ku.

"Baiklah terserah kamu aja, tapi satu hal yang aku mohon, tolong jangan libatkan Annisa dalam masalah ini."

Aku menghela nafas singkat, jari telunjuk dan jempol ku ku pakai untuk mengusap dagu sambil berpikir.

"Kenapa lu kok care banget sama Annisa?" tanya ku penasaran.

Icha kembali tenang, dia menyandarkan punggungnya yang sedari tadi ia tahan sebelum melanjutkan perkataannya.

"Kamu gak tau gimana menderitanya aku waktu awal-awal pernikahan ku dengan Reza, semua anggota keluarga Reza benci sama aku, mereka anggap aku aib keluarga mereka, enggak mamanya, kakaknya, saudaranya, semua gak suka sama aku, tapi Annisa beda, di saat aku hidup bagaikan di neraka saat masih tinggal sama orang tuanya, dia yang selalu support aku, gak ngejauhin aku, selalu jadi teman, dia bagaikan malaikat penolong buat ku Ran," jelasnya panjang lebar.

"Jadi aku mohon Ran, kamu boleh berbuat apa aja asalkan jangan dengan Annisa," lanjutnya kini matanya sudah mengeluarkan cairan bening.

Aku mencoba untuk tetap tenang, aku manfaatkan situasi ini. Cih, aku memang licik. Senyum jahat ku mengembang.

"Emm...gimana kalo kita bikin kesepakatan aja Cha," tawar ku sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan.

Icha memicingkan matanya, dia masih terdiam tak membalas jabatan tangan ku.

"Kesepakatan apa?" tanya Icha penasaran.

Aku kemudian sedikit memajukan duduk ku.

"Gue gak akan ganggu Annisa asalkan lu bantu gue buat dapet akses keluar Reza."

Icha tampak terkejut dengan permintaan ku. Aku dekatkan bibir ku di telinga Icha.

"Terutama teh Adibah, mamanya Reza."

Deggg...

Satu tamparan berhasil mendarat di pipi kiri ku.

"Aku gak akan pernah ngelakuin itu, aku udah dibenci sama mamanya Reza, aku gak mau dia tambah benci sama aku karena menjebak dia."

Aku menarik diri untuk kembali duduk di kursi ku.

"Tapi dulu kita pernah menjebak Reza dan sampai sekarang dia gak sadar dengan hal itu kan," pungkas ku seraya menaikkan sebelah alis ku.

"Enggak, aku gak mau melakukan itu, sudah cukup aku jadi orang jahat dan hina, kalau kamu mau lakukan itu, jangan libatkan aku ataupun Annisa!" larangnya.

Sesaat kemudian Humaira tiba-tiba terbangun dan menangis, mungkin terganggu dengan pertikaian antara kami.

"Usss...usss...usss...anak mama yang cantik."

Icha kemudian mengambil botol susu di tas yang ia bawa lalu menempelkannya di bibir Humaira yang langsung ia kenyot. Namun hal itu tidak lama, dia kembali menangis. Meskipun Icha berusaha untuk menenangkan dengan kembali menempelkan dot susu itu di bibirnya namun gagal."

Dia terlihat panik, padahal dia sudah memakai popok, seharusnya dia tidak akan merasa tidak nyaman karena buang air. Aku pun lalu berdiri.

"Sini biar aku yang gendong!" ucap ku meminta agar Icha menyerahkan Humaira kepada ku.

Dia hanya menoleh ke atas dengan ekspresi wajah datar kemudian kembali matanya fokus kepada anaknya itu.

"Sini biar aku yang nenangin!" lanjut ku seraya mengambil Humaira dengan sedikit paksaan.

"Ishhh...!!!" dengus Icha kesal.

Dia pun dengan terpaksa memberikan anaknya untuk aku gendong karena takut Humaira terluka jika mereka memperebutkannya.

Tak berapa lama setelah aku gendong, Humaira berhenti menangis meskipun tanpa dot. Dilihatnya manik mata Humaira tertuju ke arah ku dengan ekspresi wajah datar.

Ya bagaimana bisa seorang bayi mengeluarkan ekspresi selain saat sedang menangis dan tertawa?

Humaira kini mulai tenang, ia gigit jari-jari tangannya yang dibungkus dengan sarung tangan bayi seraya menatap ku.

Tanpa sadar aku menarik kedua ujung bibir ku. Merasa memiliki kontak batin dengan darah daging ku sendiri. Ada rasa penyesalan mengetahui bahwa bukan aku orang pertama yang ia lihat ketika pertama kali hadir di dunia ini.

Ku cium pipi kirinya, dia tampak meringis namun sama sekali tidak merasa terganggu, justru sesaat kemudian dia seolah menyunggingkan senyum sambil bibirnya mengecap-ngecap seperti sedang mengunyah sesuatu.

Naluri ku sebagai seorang ayah membuat ku enggan untuk berpisah dengan Humaira saat itu.

"Ahh,, kenapa gue jadi gini sih!" umpat ku dalam hati.

POV Icha

Aku tertegun melihat pemandangan yang ada di hadapan ku. Aku tidak menyangka bahwa lelaki sebrengsek Randy mampu berbuat hal semanis seperti itu.

Memang sejak Humaira lahir dia tidak pernah mendapatkan figur seorang ayah. Reza yang notabenenya berstatus ayah Humaira sama sekali tidak pernah memperlakukannya selayaknya anak sendiri.

Jangankan dengan anak ku, dengan aku pun Reza sama sekali tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya yang tulus.

Sifatnya belum berubah. Dia hanya menjadikan ku sebagai alat pemuas nafsunya di kala dia mau dan di kala dia butuh.

Setelah itu dia pasti akan meninggalkan ku seperti dia meninggalkan seorang pelacur bekas dia pakai.

Sakit, memang sakit ketika mendapati kenyataan yang terjadi tidak sesuai apa yang kita damba-dambakan.

Dulu aku memang seorang wanita yang hina, yang rela untuk menyerahkan tubuh ku untuk dinikmati oleh lelaki manapun yang dapat memuaskan ku.

Tapi sekarang aku sadar, bahwa kehidupan seperti itu adalah semu, aku ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia dan tentram yang belum aku dapatkan sampai saat ini.

Tujuan hidup yang sederhana bukan?

Andai saja ada seorang lelaki yang mau menyayangi ku dan Humaira dengan tulus.

Ahh lamunan ku buyar ketika melihat lelaki brengsek yang ada dihadapan ku itu mencium pipi Humaira.

Ada rasa hangat yang menjalar di dalam dada ku. Rasa hangat yang menyenangkan. Aku membayangkan lelaki dihadapan ku itu adalah suami ku.

Bukan! bukan Randy maksud ku, tetapi lelaki khayalan yang hanya ada di dalam pikiran ku sedang berperan di posisi Randy saat itu.

Aku lihat Humaira begitu nyaman berada dalam dekapan Randy, memaksa ku mengurungkan niat untuk merebut dia darinya.

"Baiklah untuk kali ini saja," ucap ku dalam hati.

To Be Continue...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd