Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 18. Back to Business

Aku memegang benda itu gemetar. Yang jadi pertanyaan ku sekarang, siapakah ayah dari anak yang dikandung oleh Tante Dewi?

Om Ginanjar sepertinya tidak mungkin, mereka bahkan sudah tidak bertemu lebih dari sebulan. Bahkan dia sudah tidak ada di rumahnya saat aku pertama kali datang.

Kalau aku adalah ayah kandungnya, kenapa Tante Dewi tidak menceritakan hal itu kepada ku?

Saat sedang berfikir tiba-tiba ponsel ku berdering, setelah ku lihat ternyata Tante Dewi yang menelfon. Ku angkat telefon itu.

"Halo Tan?" Sapa ku takut di dekatnya ada orang yang mendengar percakapan kami.

"Halo sayang, kayaknya tas ku ketinggalan di situ yah?" tanya Tante Dewi yang masih berada di mobil.

"Iya nih, teledor banget sih, hehehe..." balas ku setengah bercanda.

"Duh iya kelupaan, nanti sore kamu bisa kan anterin tasnya sama mas Ginanjar katanya mau ketemu sama kamu."

"Oh ya oke Tan, nanti kabarin aja kalo om Ginanjar udah sampe."

"Iya."

Kemudian telefon langsung dimatikan dari pihak Tante Dewi.

"Waduh salah ngomong gak sih, keknya gak deh."

Aku bertanya-tanya dalam hati.

Setelah itu aku memutuskan untuk mandi karena aku akan bertemu 'the real big boss' maka aku harus memberi kesan yang baik.

Sore harinya saat aku sedang bersiap-siap ponsel ku kembali berdering.

Tante Dewi mengabari ku untuk segera ke rumahnya. Aku pun mengiyakan lalu bergegas untuk pergi.

Namun saat di koridor apartemen sejenak aku terdiam. Aku ingat kalau aku pergi ke apartemen menggunakan mobil dan tadi mobilnya dibawa pulang oleh Tante Dewi.

"Duh naik ojol lagi nih," batin ku.

Dengan terpaksa aku memesan ojol untuk pergi ke rumah Tante Dewi. Jarak dari apartemen dengan rumahnya tidak terlalu jauh jadi hanya perlu beberapa menit untuk sampai ke sana.

Di depan rumah aku memencet bel. Dengan penampilan yang rapi aku bersiap untuk bertemu dengan suami Tante Dewi itu.

Ckrekkk...

Pintu terbuka, seperti biasa Bu Lastri lah yang membukakan pintu. Aku langsung memberikan tas Tante Dewi yang tertinggal tadi.

"Ehh, Randy udah ditungguin dari tadi sama tuan dan nyonya."

Aku mengangguk pelan.

"Ssttt...jangan sampai tuan curiga," ucapnya berbisik.

"Iya tenang aja Bu."

Aku pun dipersilahkan duduk, sedangkan Bu Lastri masuk untuk memanggil si empunya rumah.

"Halo Randy, apa kabar?" sapa seseorang yang muncul dari ruang tengah.

Aku berdiri seraya menjawab.

"Baik tuan."

Aku coba bersikap formal layaknya kepada bossnya.

"Gak usah formal gitu, bagaimana pun kamu sudah berjasa sama keluarga kami, silahkan duduk."

Kami kemudian duduk secara bersamaan. Tak berapa lama muncul Tante Dewi dengan menggunakan setelan daster santai bergabung dengan kami.

"Gimana Ran, sebulan kerja jadi supir istri saya, pasti repot yah, hahaha..."

Om Ginanjar mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.

"Ahh, enggak kok tuan, malah nyonya baik banget sama saya," timpal ku.

"Dia ini pinter banget loh pah, awal dia dateng ke sini dia gak bisa nyetir, terus baru beberapa kali latihan langsung bisa, dia juga jago main basket, udah daftar di Garuda Bandung tapi belum ada panggilan," jelas Tante Dewi panjang lebar.

"Oh ya? loh kan coach Garuda Bandung si Roy, suaminya Lilis kakak mu, kenapa gak bilang sama dia mah."

"Mamah udah bilang sama mba Lilis, tapi suaminya gak respon katanya, coba papah yang ngomong langsung sama mas Roy, siapa tau kan dia langsung acc," bujuk Tante Dewi.

"Hmm,, gimana ya mah, papa kan gak terlibat langsung sama tim dan manajement GB, gak enak takutnya papa dikira terlalu ikut campur."

"Ya dicoba dulu dong pah, inget Randy yang nyelametin Reihan loh dulu, kalo gak ada dia mungkin Reihan udah..."

"Udah gak usah dilanjutin," potong om Ginanjar.

Dia menatap istrinya dalam, mungkin curiga mengapa Tante Dewi begitu ngotot untuk membantu ku.

"Iya udah nanti papah ngomong sama Roy, tapi papah gak janji dia bakalan acc, karena semua tergantung kemampuan Randy."

Tante Dewi tersenyum mendengar penuturan suaminya terlebih diri ku. Ekspresi wajah ku memang terlihat biasa saja namun dalam hati ku sangat euforia.

"Tenang aja pah, mas Roy kan segan sama papah, lagian mamah yakin kalo kemampuan Randy juga mumpuni."

Om Ginanjar mengangguk yakin.

"Terus kalo semisal kamu jadi pemain basket, apa kamu bisa membagi waktu dengan menjadi supir pribadi istri saya?"

"Bisa tuan, jangankan jadi supir, jadi bodyguard juga saya sanggup," tegas ku.

"Baik kalo gitu, oh iya sekarang kamu tinggal dimana?"

Aku terdiam, ku lirik Tante Dewi, dia mengernyitkan dahinya sambil menggelengkan kepala memberi ku kode untuk jangan mengatakan yang sebenarnya.

Otak ku dengan cepat berusaha mencari jawaban yang masuk akal agar tidak dicurigai oleh om Ginanjar.

"Ee...itu om ehh...tuan, saya ngekost," jawab ku gugup karena ide yang belum matang sudah keburu ku ucapkan.

"Oh dimana?"

"Di itu deket perum ******."

Aku sebutkan saja perumahan tempat Justin tinggal karena nama tempat itu yang tiba-tiba terlintas di pikiran ku.

"Wah jauh dong kalo gitu, kenapa gak nyari deket sini aja?" tanya om Ginanjar lagi.

"Udah nyari sih, tapi gak nemu," balas ku ngasal.

"Emm, terus kamu ke sini pake apa kalo gitu?"

"Naik ojol om ehh...tuan."

"Udah panggil om aja gak papa."

"Siap om."

"Ya sudah, biar kamu gak repot ke sana kemari naik ojol, nanti saya belikan kamu motor ya," ujarnya membuat ku terkejut.

"Se...serius om?" jawab ku tidak percaya.

"Iya, kamu alamat kostnya dimana? biar nanti saya kirim motornya langsung ke sana."

"Makasih banyak om, kalo boleh kirim ke sini aja biar saya yang ambil sendiri soalnya kost saya masuk gang."

"Oh gitu, oke lah besok saya kirimkan motornya langsung ke sini."

Aku masih menampilkan sikap kalem namun dalam hati ku benar-benar terlonjak kegirangan.

"Sekali lagi terima kasih om Ginanjar!" papar ku sambil mengangguk tersenyum.

"Ya sudah kalo gitu saya mau ke kamar dulu, mau rebahin punggung ini belum dikasih istirahat sejak pulang."

Om Ginanjar lalu bangkit berdiri dan tersenyum pada ku seraya mengangguk pelan kemudian berlalu masuk.

Tante Dewi masih di ruang tamu bersama ku, sejenak dia menoleh ke arah suaminya, saat punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi, dia lalu berpaling ke arah ku.

"Untung kamu gak bilang tentang apartemen itu," ucap Tante Dewi lirih sambil tertawa kecil.

"Iya lah aku ngerti kok, oh ya Reihan kemana? kok dari tadi gak keliatan?"

"Reihan di dalem sama bi Lastri, tau sendiri kan kalo papanya pulang dia maunya ngumpet."

"Kok bisa gitu?" tanya ku penasaran.

"Gak tau kenapa Reihan gak nyaman kalo deket mas Ginanjar, beda kalo sama kamu," tukasnya.

"Ya udah sih kalo ada papanya titipin aja Reihan ke apartemen ehh, kost-kostan ku maksudnya hehehe..." timpal ku setengah bercanda.

Tante Dewi tersenyum remeh.

"Mau mu itu sih."

Kami tertawa bersamaan. Setelah itu aku kemudian pamit kepada Tante Dewi.

"Kalo gitu aku pamit dulu ya Tan."

Kami pun bangkit dari duduk lalu menuju pintu.

"Hati-hati di jalan yah," ucap Tante Dewi seraya mendekatkan bibirnya ke bibir ku, namun ku tahan.

"Ada om Ginanjar," cegah ku mengingatkan.

Tante Dewi sejenak menoleh ke dalam lalu kembali berbalik.

"Dia kalo udah masuk kamar pasti langsung tidur," balasnya kemudian mengecup bibir ku dalam.

Ku balas ciumannya dengan lumatan hangat. Setelah puas dengan percumbuan sesaat itu aku lalu pergi dari rumah itu.

Sore itu aku kembali ke apartemen dengan menggunakan ojol lagi. Aku habiskan waktu ku di dalam apartemen yang nyaman itu.

Waktu yang ku gunakan untung ngebucin bersama kakak ku atau lebih tepatnya pacar ku.

Skip...

Keesokan harinya aku terbangun di pagi hari. Ku dengar ponsel ku berdering, ternyata om Ginanjar yang menelfon langsung.

"Selamat pagi om!" sapa ku.

"Selamat pagi Randy, kamu ke sini sekarang bisa kan? anterin kami jalan-jalan ya!" perintah dari om Ginanjar.

"Bisa om, kalo gitu Randy siap-siap dulu ya."

"Oke, jangan lama-lama," ujarnya lalu telepon terputus.

Aku secepat kilat bangkit dari ranjang ku yang empuk dan bergegas mandi lalu berangkat karena itu perintah langsung dari big boss.

Sesampainya di rumah om Ginanjar aku sudah di sambut oleh mereka.

"Randy, kamu sudah sarapan belum?" tanya Tante Dewi yang sudah berpakaian rapi dan memoles make up di wajahnya.

"Belum Tante," jawab ku singkat.

"Ya udah makan dulu sini," tawarnya kepada ku.

Melihat keluarga itu sudah siap untuk berangkat maka ku putuskan untuk menolak tawaran itu secara halus.

"Gak usah Tante, Randy masih belum laper kok."

"Ya sudah, ayo berangkat sekarang," ucap om Ginanjar yang matanya masih fokus ke ponsel yang ia pegang.

Kami pun berangkat, aku berada di kursi kemudi sedangkan om Ginanjar, Tante Dewi, dan Reihan berada di belakang.

Untung saja saat itu Reihan tidak keceplosan untuk memanggil ku dengan sebutan 'papa', kalau itu terjadi bisa gawat.

Namun ada yang beda dari Reihan, sejak pagi tadi aku melihat dirinya diam saja tidak cerewet seperti biasanya.

Hari itu kami pergi jalan-jalan ke tempat lokawisata, awalnya aku memilih untuk menunggu saja di dalam mobil selagi mereka menikmati momen kebersamaan.

Tapi aku dipaksa ikut untuk membawa perlengkapan renang, karena saat itu kami pergi ke water boom.

Di sana kami bermain air. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tante Dewi, om Ginanjar lebih banyak menghabiskan waktu bersama ponselnya ketimbang menikmati quality time bersama mereka.

Alhasil aku yang menemani Reihan bermain di kolam ombak.

"Kamu kenapa kok dari tadi cemberut terus?" tanya ku kepadanya.

"Papa hat, ayin eyan inggal ndiyan iyumah!" (Papa jahat, kemarin Reihan ditinggal sendirian di rumah!)

"Hehehe,, kemarin papa ada urusan sama mama, jadi Reihan gak bisa diajak sayang!"

"A mo au, eyan nta Iyah oonya." (Ga mau tau, Reihan minta hadiah pokoknya)

"Reihan minta apa kalo gitu?"

"Alan-alan Ama papa mama wang!" (Jalan-jalan sama mama papa doang!)

"Ya udah kapan-kapan yah, eh ya tapi ada syaratnya, Reihan jangan panggil papa Randy 'papa' kalo ada papa Ginanjar yah, oke!"

"Oe ehh." (Oke deh)

Kami kembali bermain air bersama, aku juga menikmati waktu itu karena sudah lama tidak berenang.

Dari kejauhan aku melihat Tante Dewi sedang duduk di samping suaminya sedang mengamati kami bermain.

Aku tahu kalau dia ingin bergabung dengan kami tapi suaminya pasti akan curiga melihat kedekatan ku dan dia.

Setelah puas bermain air di water boom, kami melanjutkan pergi ke tempat yang tak lain adalah mall.

Bagi para wanita mall adalah tempat yang wajib dikunjungi saat ada waktu luang.

Di sana tampaknya om Ginanjar sudah tidak fokus terhadap ponselnya, dia gendong Reihan dengan erat, mungkin trauma atas apa yang terjadi saat terakhir mereka pergi ke sini.

Maka aku memutuskan untuk berpisah di dalam mall untuk memberi kesempatan mereka bersama.

Saat sedang berjalan-jalan di dalam mall tiba-tiba aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagi ku. Saat itu dia sedang berada di rak khusus untuk susu bayi. Aku lalu mendekatinya.

"Halo Cha, apa kabar?" sapa ku kepada wanita berhijab ungu yang sedang menggendong bayi.

Sontak dia terkejut mendengar namanya dipanggil lalu memutar kepalanya ke arah panggilan itu.

"Ra...Randy?! ka...kamu ngapain ada di sini?!" jawabnya tergagap.

"Ini kan tempat umum, masa gue gak boleh sih dateng ke sini."

Pandangan ku berpaling ke bayi yang ada di gendongannya.

"Halo Humaira, anak papa yang cantik."

Ku coba mengelus pipinya dengan punggung jari ku namun langsung ditepis oleh Icha.

"Diam, dia bukan anak kamu tau!" protesnya.

"Lah, jelas-jelas dia anak gue, kan lu yang bilang sendiri dulu."

"Gak!"

Dia mencoba berpaling pergi dari hadapan ku namun ku cegah dengan menahan bahunya. Dia pun berontak.

"Apasih!? Jangan pegang-pegang, bukan muhrim!"

Aku tertawa mendengar perkataannya, kalau dulu dia pasti sudah memohon-mohon untuk disodok memeknya dengan rudal ku.

"Kakak!"

Seseorang memanggil dari jarak yang tidak terlalu jauh, kami kemudian menoleh ke sumber suara secar bersamaan.

Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Annisa adik Reza. Dia mengernyitkan dahinya saat bola matanya menangkap sosok lelaki bersama kakak iparnya.

Annisa lalu berlari kecil menghampiri kami.

"Kakak kok bisa sama dia?" tunjuknya kepada ku.

"Eng...enggak tadi kakak lagi nyari susu buat Ara tiba-tiba dia dateng, kamu udah beli bahan-bahannya?"

"Udah nih kak," jawab Annisa sambil menyodorkan dua tas plastik di kedua tangannya.

Tatapannya berpindah ke arah ku. Dengan ekspresi wajah tidak bersahabat dia lalu berkata.

"Mau apa kamu datang lagi? jangan dekati kak Icha lagi, dia itu gak suka sama kamu dan dia juga udah nikah jadi gak ada kesempatan buat kamu!" hardik Annisa.

Aku pun bingung dengan apa yang dikatakannya. Ku tatap Icha untuk menemukan sebuah jawaban.

Bola matanya tampak bergerak ke sana kemari menunjukkan dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini.

"Hah?! maksudnya gimana?" tanya ku kepada Annisa.

"Aku udah tau semua dari kak Icha kalo kamu itu dulu playboy teman kuliah kak Icha sama kak Reza kan? terus kamu coba deketin kak Icha tapi kak Icha maunya sama kak Reza."

"What?!"

Nada bicara ku sedikit meninggi. Aku setengah menahan tawa atas penjelasan dari Annisa. Tertawa karena sebuah cerita karangan yang dibuat oleh Icha untuk menutupi sebuah fakta.

"Terus kamu percaya sama dia?"

Aku balik bertanya dengan menunjuk Icha. Annisa diam melihat respon ku.

"Apa gue buka aja ya Cha, mumpung kalian berdua ada di sini," ujar ku penuh percaya diri.

"Ja...jangan,, mm...maksudnya kamu jangan ganggu aku lagi, aku udah nikah," balas Icha seraya menarik tangan Annisa untuk pergi dari situ.

Melihat gelagat yang mencurigakan dari kakak iparnya itu membuat Annisa melepas genggaman tangan Icha secara paksa.

"Bentar kak! Annisa mau dengerin penjelasan dari dia dulu kak."

Mata Icha berkaca-kaca kala dibentak oleh Annisa.

"Maaf kak, Annisa ingin percaya sama kakak tapi hati kecil Annisa bilang sebaliknya."

Pandangan Annisa beralih ke arah ku.

"Ayo katakan, sebenarnya kamu ini siapa dan ada apa tentang masa lalu kalian?"

Aku diam sejenak untuk berpikir. Kalau aku katakan yang sejujurnya mungkin karir Icha sebagai istri Reza akan tamat, atau mungkin aku harus bermain-main dengan situasi ini?

Aku tersenyum jahat.

To Be Continue...
Anjaaaay dibuat novel atau semacamnya kayaknya keren neh hu @Malinksss

Atau dibuat kek drakor juga oke kayaknya

Lancroeetgan hu🦅🦅💦💦
 
Part 18. Back to Business

Aku memegang benda itu gemetar. Yang jadi pertanyaan ku sekarang, siapakah ayah dari anak yang dikandung oleh Tante Dewi?

Om Ginanjar sepertinya tidak mungkin, mereka bahkan sudah tidak bertemu lebih dari sebulan. Bahkan dia sudah tidak ada di rumahnya saat aku pertama kali datang.

Kalau aku adalah ayah kandungnya, kenapa Tante Dewi tidak menceritakan hal itu kepada ku?

Saat sedang berfikir tiba-tiba ponsel ku berdering, setelah ku lihat ternyata Tante Dewi yang menelfon. Ku angkat telefon itu.

"Halo Tan?" Sapa ku takut di dekatnya ada orang yang mendengar percakapan kami.

"Halo sayang, kayaknya tas ku ketinggalan di situ yah?" tanya Tante Dewi yang masih berada di mobil.

"Iya nih, teledor banget sih, hehehe..." balas ku setengah bercanda.

"Duh iya kelupaan, nanti sore kamu bisa kan anterin tasnya sama mas Ginanjar katanya mau ketemu sama kamu."

"Oh ya oke Tan, nanti kabarin aja kalo om Ginanjar udah sampe."

"Iya."

Kemudian telefon langsung dimatikan dari pihak Tante Dewi.

"Waduh salah ngomong gak sih, keknya gak deh."

Aku bertanya-tanya dalam hati.

Setelah itu aku memutuskan untuk mandi karena aku akan bertemu 'the real big boss' maka aku harus memberi kesan yang baik.

Sore harinya saat aku sedang bersiap-siap ponsel ku kembali berdering.

Tante Dewi mengabari ku untuk segera ke rumahnya. Aku pun mengiyakan lalu bergegas untuk pergi.

Namun saat di koridor apartemen sejenak aku terdiam. Aku ingat kalau aku pergi ke apartemen menggunakan mobil dan tadi mobilnya dibawa pulang oleh Tante Dewi.

"Duh naik ojol lagi nih," batin ku.

Dengan terpaksa aku memesan ojol untuk pergi ke rumah Tante Dewi. Jarak dari apartemen dengan rumahnya tidak terlalu jauh jadi hanya perlu beberapa menit untuk sampai ke sana.

Di depan rumah aku memencet bel. Dengan penampilan yang rapi aku bersiap untuk bertemu dengan suami Tante Dewi itu.

Ckrekkk...

Pintu terbuka, seperti biasa Bu Lastri lah yang membukakan pintu. Aku langsung memberikan tas Tante Dewi yang tertinggal tadi.

"Ehh, Randy udah ditungguin dari tadi sama tuan dan nyonya."

Aku mengangguk pelan.

"Ssttt...jangan sampai tuan curiga," ucapnya berbisik.

"Iya tenang aja Bu."

Aku pun dipersilahkan duduk, sedangkan Bu Lastri masuk untuk memanggil si empunya rumah.

"Halo Randy, apa kabar?" sapa seseorang yang muncul dari ruang tengah.

Aku berdiri seraya menjawab.

"Baik tuan."

Aku coba bersikap formal layaknya kepada bossnya.

"Gak usah formal gitu, bagaimana pun kamu sudah berjasa sama keluarga kami, silahkan duduk."

Kami kemudian duduk secara bersamaan. Tak berapa lama muncul Tante Dewi dengan menggunakan setelan daster santai bergabung dengan kami.

"Gimana Ran, sebulan kerja jadi supir istri saya, pasti repot yah, hahaha..."

Om Ginanjar mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.

"Ahh, enggak kok tuan, malah nyonya baik banget sama saya," timpal ku.

"Dia ini pinter banget loh pah, awal dia dateng ke sini dia gak bisa nyetir, terus baru beberapa kali latihan langsung bisa, dia juga jago main basket, udah daftar di Garuda Bandung tapi belum ada panggilan," jelas Tante Dewi panjang lebar.

"Oh ya? loh kan coach Garuda Bandung si Roy, suaminya Lilis kakak mu, kenapa gak bilang sama dia mah."

"Mamah udah bilang sama mba Lilis, tapi suaminya gak respon katanya, coba papah yang ngomong langsung sama mas Roy, siapa tau kan dia langsung acc," bujuk Tante Dewi.

"Hmm,, gimana ya mah, papa kan gak terlibat langsung sama tim dan manajement GB, gak enak takutnya papa dikira terlalu ikut campur."

"Ya dicoba dulu dong pah, inget Randy yang nyelametin Reihan loh dulu, kalo gak ada dia mungkin Reihan udah..."

"Udah gak usah dilanjutin," potong om Ginanjar.

Dia menatap istrinya dalam, mungkin curiga mengapa Tante Dewi begitu ngotot untuk membantu ku.

"Iya udah nanti papah ngomong sama Roy, tapi papah gak janji dia bakalan acc, karena semua tergantung kemampuan Randy."

Tante Dewi tersenyum mendengar penuturan suaminya terlebih diri ku. Ekspresi wajah ku memang terlihat biasa saja namun dalam hati ku sangat euforia.

"Tenang aja pah, mas Roy kan segan sama papah, lagian mamah yakin kalo kemampuan Randy juga mumpuni."

Om Ginanjar mengangguk yakin.

"Terus kalo semisal kamu jadi pemain basket, apa kamu bisa membagi waktu dengan menjadi supir pribadi istri saya?"

"Bisa tuan, jangankan jadi supir, jadi bodyguard juga saya sanggup," tegas ku.

"Baik kalo gitu, oh iya sekarang kamu tinggal dimana?"

Aku terdiam, ku lirik Tante Dewi, dia mengernyitkan dahinya sambil menggelengkan kepala memberi ku kode untuk jangan mengatakan yang sebenarnya.

Otak ku dengan cepat berusaha mencari jawaban yang masuk akal agar tidak dicurigai oleh om Ginanjar.

"Ee...itu om ehh...tuan, saya ngekost," jawab ku gugup karena ide yang belum matang sudah keburu ku ucapkan.

"Oh dimana?"

"Di itu deket perum ******."

Aku sebutkan saja perumahan tempat Justin tinggal karena nama tempat itu yang tiba-tiba terlintas di pikiran ku.

"Wah jauh dong kalo gitu, kenapa gak nyari deket sini aja?" tanya om Ginanjar lagi.

"Udah nyari sih, tapi gak nemu," balas ku ngasal.

"Emm, terus kamu ke sini pake apa kalo gitu?"

"Naik ojol om ehh...tuan."

"Udah panggil om aja gak papa."

"Siap om."

"Ya sudah, biar kamu gak repot ke sana kemari naik ojol, nanti saya belikan kamu motor ya," ujarnya membuat ku terkejut.

"Se...serius om?" jawab ku tidak percaya.

"Iya, kamu alamat kostnya dimana? biar nanti saya kirim motornya langsung ke sana."

"Makasih banyak om, kalo boleh kirim ke sini aja biar saya yang ambil sendiri soalnya kost saya masuk gang."

"Oh gitu, oke lah besok saya kirimkan motornya langsung ke sini."

Aku masih menampilkan sikap kalem namun dalam hati ku benar-benar terlonjak kegirangan.

"Sekali lagi terima kasih om Ginanjar!" papar ku sambil mengangguk tersenyum.

"Ya sudah kalo gitu saya mau ke kamar dulu, mau rebahin punggung ini belum dikasih istirahat sejak pulang."

Om Ginanjar lalu bangkit berdiri dan tersenyum pada ku seraya mengangguk pelan kemudian berlalu masuk.

Tante Dewi masih di ruang tamu bersama ku, sejenak dia menoleh ke arah suaminya, saat punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi, dia lalu berpaling ke arah ku.

"Untung kamu gak bilang tentang apartemen itu," ucap Tante Dewi lirih sambil tertawa kecil.

"Iya lah aku ngerti kok, oh ya Reihan kemana? kok dari tadi gak keliatan?"

"Reihan di dalem sama bi Lastri, tau sendiri kan kalo papanya pulang dia maunya ngumpet."

"Kok bisa gitu?" tanya ku penasaran.

"Gak tau kenapa Reihan gak nyaman kalo deket mas Ginanjar, beda kalo sama kamu," tukasnya.

"Ya udah sih kalo ada papanya titipin aja Reihan ke apartemen ehh, kost-kostan ku maksudnya hehehe..." timpal ku setengah bercanda.

Tante Dewi tersenyum remeh.

"Mau mu itu sih."

Kami tertawa bersamaan. Setelah itu aku kemudian pamit kepada Tante Dewi.

"Kalo gitu aku pamit dulu ya Tan."

Kami pun bangkit dari duduk lalu menuju pintu.

"Hati-hati di jalan yah," ucap Tante Dewi seraya mendekatkan bibirnya ke bibir ku, namun ku tahan.

"Ada om Ginanjar," cegah ku mengingatkan.

Tante Dewi sejenak menoleh ke dalam lalu kembali berbalik.

"Dia kalo udah masuk kamar pasti langsung tidur," balasnya kemudian mengecup bibir ku dalam.

Ku balas ciumannya dengan lumatan hangat. Setelah puas dengan percumbuan sesaat itu aku lalu pergi dari rumah itu.

Sore itu aku kembali ke apartemen dengan menggunakan ojol lagi. Aku habiskan waktu ku di dalam apartemen yang nyaman itu.

Waktu yang ku gunakan untung ngebucin bersama kakak ku atau lebih tepatnya pacar ku.

Skip...

Keesokan harinya aku terbangun di pagi hari. Ku dengar ponsel ku berdering, ternyata om Ginanjar yang menelfon langsung.

"Selamat pagi om!" sapa ku.

"Selamat pagi Randy, kamu ke sini sekarang bisa kan? anterin kami jalan-jalan ya!" perintah dari om Ginanjar.

"Bisa om, kalo gitu Randy siap-siap dulu ya."

"Oke, jangan lama-lama," ujarnya lalu telepon terputus.

Aku secepat kilat bangkit dari ranjang ku yang empuk dan bergegas mandi lalu berangkat karena itu perintah langsung dari big boss.

Sesampainya di rumah om Ginanjar aku sudah di sambut oleh mereka.

"Randy, kamu sudah sarapan belum?" tanya Tante Dewi yang sudah berpakaian rapi dan memoles make up di wajahnya.

"Belum Tante," jawab ku singkat.

"Ya udah makan dulu sini," tawarnya kepada ku.

Melihat keluarga itu sudah siap untuk berangkat maka ku putuskan untuk menolak tawaran itu secara halus.

"Gak usah Tante, Randy masih belum laper kok."

"Ya sudah, ayo berangkat sekarang," ucap om Ginanjar yang matanya masih fokus ke ponsel yang ia pegang.

Kami pun berangkat, aku berada di kursi kemudi sedangkan om Ginanjar, Tante Dewi, dan Reihan berada di belakang.

Untung saja saat itu Reihan tidak keceplosan untuk memanggil ku dengan sebutan 'papa', kalau itu terjadi bisa gawat.

Namun ada yang beda dari Reihan, sejak pagi tadi aku melihat dirinya diam saja tidak cerewet seperti biasanya.

Hari itu kami pergi jalan-jalan ke tempat lokawisata, awalnya aku memilih untuk menunggu saja di dalam mobil selagi mereka menikmati momen kebersamaan.

Tapi aku dipaksa ikut untuk membawa perlengkapan renang, karena saat itu kami pergi ke water boom.

Di sana kami bermain air. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tante Dewi, om Ginanjar lebih banyak menghabiskan waktu bersama ponselnya ketimbang menikmati quality time bersama mereka.

Alhasil aku yang menemani Reihan bermain di kolam ombak.

"Kamu kenapa kok dari tadi cemberut terus?" tanya ku kepadanya.

"Papa hat, ayin eyan inggal ndiyan iyumah!" (Papa jahat, kemarin Reihan ditinggal sendirian di rumah!)

"Hehehe,, kemarin papa ada urusan sama mama, jadi Reihan gak bisa diajak sayang!"

"A mo au, eyan nta Iyah oonya." (Ga mau tau, Reihan minta hadiah pokoknya)

"Reihan minta apa kalo gitu?"

"Alan-alan Ama papa mama wang!" (Jalan-jalan sama mama papa doang!)

"Ya udah kapan-kapan yah, eh ya tapi ada syaratnya, Reihan jangan panggil papa Randy 'papa' kalo ada papa Ginanjar yah, oke!"

"Oe ehh." (Oke deh)

Kami kembali bermain air bersama, aku juga menikmati waktu itu karena sudah lama tidak berenang.

Dari kejauhan aku melihat Tante Dewi sedang duduk di samping suaminya sedang mengamati kami bermain.

Aku tahu kalau dia ingin bergabung dengan kami tapi suaminya pasti akan curiga melihat kedekatan ku dan dia.

Setelah puas bermain air di water boom, kami melanjutkan pergi ke tempat yang tak lain adalah mall.

Bagi para wanita mall adalah tempat yang wajib dikunjungi saat ada waktu luang.

Di sana tampaknya om Ginanjar sudah tidak fokus terhadap ponselnya, dia gendong Reihan dengan erat, mungkin trauma atas apa yang terjadi saat terakhir mereka pergi ke sini.

Maka aku memutuskan untuk berpisah di dalam mall untuk memberi kesempatan mereka bersama.

Saat sedang berjalan-jalan di dalam mall tiba-tiba aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagi ku. Saat itu dia sedang berada di rak khusus untuk susu bayi. Aku lalu mendekatinya.

"Halo Cha, apa kabar?" sapa ku kepada wanita berhijab ungu yang sedang menggendong bayi.

Sontak dia terkejut mendengar namanya dipanggil lalu memutar kepalanya ke arah panggilan itu.

"Ra...Randy?! ka...kamu ngapain ada di sini?!" jawabnya tergagap.

"Ini kan tempat umum, masa gue gak boleh sih dateng ke sini."

Pandangan ku berpaling ke bayi yang ada di gendongannya.

"Halo Humaira, anak papa yang cantik."

Ku coba mengelus pipinya dengan punggung jari ku namun langsung ditepis oleh Icha.

"Diam, dia bukan anak kamu tau!" protesnya.

"Lah, jelas-jelas dia anak gue, kan lu yang bilang sendiri dulu."

"Gak!"

Dia mencoba berpaling pergi dari hadapan ku namun ku cegah dengan menahan bahunya. Dia pun berontak.

"Apasih!? Jangan pegang-pegang, bukan muhrim!"

Aku tertawa mendengar perkataannya, kalau dulu dia pasti sudah memohon-mohon untuk disodok memeknya dengan rudal ku.

"Kakak!"

Seseorang memanggil dari jarak yang tidak terlalu jauh, kami kemudian menoleh ke sumber suara secar bersamaan.

Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Annisa adik Reza. Dia mengernyitkan dahinya saat bola matanya menangkap sosok lelaki bersama kakak iparnya.

Annisa lalu berlari kecil menghampiri kami.

"Kakak kok bisa sama dia?" tunjuknya kepada ku.

"Eng...enggak tadi kakak lagi nyari susu buat Ara tiba-tiba dia dateng, kamu udah beli bahan-bahannya?"

"Udah nih kak," jawab Annisa sambil menyodorkan dua tas plastik di kedua tangannya.

Tatapannya berpindah ke arah ku. Dengan ekspresi wajah tidak bersahabat dia lalu berkata.

"Mau apa kamu datang lagi? jangan dekati kak Icha lagi, dia itu gak suka sama kamu dan dia juga udah nikah jadi gak ada kesempatan buat kamu!" hardik Annisa.

Aku pun bingung dengan apa yang dikatakannya. Ku tatap Icha untuk menemukan sebuah jawaban.

Bola matanya tampak bergerak ke sana kemari menunjukkan dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini.

"Hah?! maksudnya gimana?" tanya ku kepada Annisa.

"Aku udah tau semua dari kak Icha kalo kamu itu dulu playboy teman kuliah kak Icha sama kak Reza kan? terus kamu coba deketin kak Icha tapi kak Icha maunya sama kak Reza."

"What?!"

Nada bicara ku sedikit meninggi. Aku setengah menahan tawa atas penjelasan dari Annisa. Tertawa karena sebuah cerita karangan yang dibuat oleh Icha untuk menutupi sebuah fakta.

"Terus kamu percaya sama dia?"

Aku balik bertanya dengan menunjuk Icha. Annisa diam melihat respon ku.

"Apa gue buka aja ya Cha, mumpung kalian berdua ada di sini," ujar ku penuh percaya diri.

"Ja...jangan,, mm...maksudnya kamu jangan ganggu aku lagi, aku udah nikah," balas Icha seraya menarik tangan Annisa untuk pergi dari situ.

Melihat gelagat yang mencurigakan dari kakak iparnya itu membuat Annisa melepas genggaman tangan Icha secara paksa.

"Bentar kak! Annisa mau dengerin penjelasan dari dia dulu kak."

Mata Icha berkaca-kaca kala dibentak oleh Annisa.

"Maaf kak, Annisa ingin percaya sama kakak tapi hati kecil Annisa bilang sebaliknya."

Pandangan Annisa beralih ke arah ku.

"Ayo katakan, sebenarnya kamu ini siapa dan ada apa tentang masa lalu kalian?"

Aku diam sejenak untuk berpikir. Kalau aku katakan yang sejujurnya mungkin karir Icha sebagai istri Reza akan tamat, atau mungkin aku harus bermain-main dengan situasi ini?

Aku tersenyum jahat.

To Be Continue...
Anjaaaay.. Dibuat novel atau semacamnya keren kek nya hu @Malinksss..

Di buat drama kek drakor or semacamnya kayaknya juga layak hu


Lancroeetgan hu🦅🦅🦅💦💦
 
Part 18. Back to Business

Aku memegang benda itu gemetar. Yang jadi pertanyaan ku sekarang, siapakah ayah dari anak yang dikandung oleh Tante Dewi?

Om Ginanjar sepertinya tidak mungkin, mereka bahkan sudah tidak bertemu lebih dari sebulan. Bahkan dia sudah tidak ada di rumahnya saat aku pertama kali datang.

Kalau aku adalah ayah kandungnya, kenapa Tante Dewi tidak menceritakan hal itu kepada ku?

Saat sedang berfikir tiba-tiba ponsel ku berdering, setelah ku lihat ternyata Tante Dewi yang menelfon. Ku angkat telefon itu.

"Halo Tan?" Sapa ku takut di dekatnya ada orang yang mendengar percakapan kami.

"Halo sayang, kayaknya tas ku ketinggalan di situ yah?" tanya Tante Dewi yang masih berada di mobil.

"Iya nih, teledor banget sih, hehehe..." balas ku setengah bercanda.

"Duh iya kelupaan, nanti sore kamu bisa kan anterin tasnya sama mas Ginanjar katanya mau ketemu sama kamu."

"Oh ya oke Tan, nanti kabarin aja kalo om Ginanjar udah sampe."

"Iya."

Kemudian telefon langsung dimatikan dari pihak Tante Dewi.

"Waduh salah ngomong gak sih, keknya gak deh."

Aku bertanya-tanya dalam hati.

Setelah itu aku memutuskan untuk mandi karena aku akan bertemu 'the real big boss' maka aku harus memberi kesan yang baik.

Sore harinya saat aku sedang bersiap-siap ponsel ku kembali berdering.

Tante Dewi mengabari ku untuk segera ke rumahnya. Aku pun mengiyakan lalu bergegas untuk pergi.

Namun saat di koridor apartemen sejenak aku terdiam. Aku ingat kalau aku pergi ke apartemen menggunakan mobil dan tadi mobilnya dibawa pulang oleh Tante Dewi.

"Duh naik ojol lagi nih," batin ku.

Dengan terpaksa aku memesan ojol untuk pergi ke rumah Tante Dewi. Jarak dari apartemen dengan rumahnya tidak terlalu jauh jadi hanya perlu beberapa menit untuk sampai ke sana.

Di depan rumah aku memencet bel. Dengan penampilan yang rapi aku bersiap untuk bertemu dengan suami Tante Dewi itu.

Ckrekkk...

Pintu terbuka, seperti biasa Bu Lastri lah yang membukakan pintu. Aku langsung memberikan tas Tante Dewi yang tertinggal tadi.

"Ehh, Randy udah ditungguin dari tadi sama tuan dan nyonya."

Aku mengangguk pelan.

"Ssttt...jangan sampai tuan curiga," ucapnya berbisik.

"Iya tenang aja Bu."

Aku pun dipersilahkan duduk, sedangkan Bu Lastri masuk untuk memanggil si empunya rumah.

"Halo Randy, apa kabar?" sapa seseorang yang muncul dari ruang tengah.

Aku berdiri seraya menjawab.

"Baik tuan."

Aku coba bersikap formal layaknya kepada bossnya.

"Gak usah formal gitu, bagaimana pun kamu sudah berjasa sama keluarga kami, silahkan duduk."

Kami kemudian duduk secara bersamaan. Tak berapa lama muncul Tante Dewi dengan menggunakan setelan daster santai bergabung dengan kami.

"Gimana Ran, sebulan kerja jadi supir istri saya, pasti repot yah, hahaha..."

Om Ginanjar mencoba bercanda untuk mencairkan suasana.

"Ahh, enggak kok tuan, malah nyonya baik banget sama saya," timpal ku.

"Dia ini pinter banget loh pah, awal dia dateng ke sini dia gak bisa nyetir, terus baru beberapa kali latihan langsung bisa, dia juga jago main basket, udah daftar di Garuda Bandung tapi belum ada panggilan," jelas Tante Dewi panjang lebar.

"Oh ya? loh kan coach Garuda Bandung si Roy, suaminya Lilis kakak mu, kenapa gak bilang sama dia mah."

"Mamah udah bilang sama mba Lilis, tapi suaminya gak respon katanya, coba papah yang ngomong langsung sama mas Roy, siapa tau kan dia langsung acc," bujuk Tante Dewi.

"Hmm,, gimana ya mah, papa kan gak terlibat langsung sama tim dan manajement GB, gak enak takutnya papa dikira terlalu ikut campur."

"Ya dicoba dulu dong pah, inget Randy yang nyelametin Reihan loh dulu, kalo gak ada dia mungkin Reihan udah..."

"Udah gak usah dilanjutin," potong om Ginanjar.

Dia menatap istrinya dalam, mungkin curiga mengapa Tante Dewi begitu ngotot untuk membantu ku.

"Iya udah nanti papah ngomong sama Roy, tapi papah gak janji dia bakalan acc, karena semua tergantung kemampuan Randy."

Tante Dewi tersenyum mendengar penuturan suaminya terlebih diri ku. Ekspresi wajah ku memang terlihat biasa saja namun dalam hati ku sangat euforia.

"Tenang aja pah, mas Roy kan segan sama papah, lagian mamah yakin kalo kemampuan Randy juga mumpuni."

Om Ginanjar mengangguk yakin.

"Terus kalo semisal kamu jadi pemain basket, apa kamu bisa membagi waktu dengan menjadi supir pribadi istri saya?"

"Bisa tuan, jangankan jadi supir, jadi bodyguard juga saya sanggup," tegas ku.

"Baik kalo gitu, oh iya sekarang kamu tinggal dimana?"

Aku terdiam, ku lirik Tante Dewi, dia mengernyitkan dahinya sambil menggelengkan kepala memberi ku kode untuk jangan mengatakan yang sebenarnya.

Otak ku dengan cepat berusaha mencari jawaban yang masuk akal agar tidak dicurigai oleh om Ginanjar.

"Ee...itu om ehh...tuan, saya ngekost," jawab ku gugup karena ide yang belum matang sudah keburu ku ucapkan.

"Oh dimana?"

"Di itu deket perum ******."

Aku sebutkan saja perumahan tempat Justin tinggal karena nama tempat itu yang tiba-tiba terlintas di pikiran ku.

"Wah jauh dong kalo gitu, kenapa gak nyari deket sini aja?" tanya om Ginanjar lagi.

"Udah nyari sih, tapi gak nemu," balas ku ngasal.

"Emm, terus kamu ke sini pake apa kalo gitu?"

"Naik ojol om ehh...tuan."

"Udah panggil om aja gak papa."

"Siap om."

"Ya sudah, biar kamu gak repot ke sana kemari naik ojol, nanti saya belikan kamu motor ya," ujarnya membuat ku terkejut.

"Se...serius om?" jawab ku tidak percaya.

"Iya, kamu alamat kostnya dimana? biar nanti saya kirim motornya langsung ke sana."

"Makasih banyak om, kalo boleh kirim ke sini aja biar saya yang ambil sendiri soalnya kost saya masuk gang."

"Oh gitu, oke lah besok saya kirimkan motornya langsung ke sini."

Aku masih menampilkan sikap kalem namun dalam hati ku benar-benar terlonjak kegirangan.

"Sekali lagi terima kasih om Ginanjar!" papar ku sambil mengangguk tersenyum.

"Ya sudah kalo gitu saya mau ke kamar dulu, mau rebahin punggung ini belum dikasih istirahat sejak pulang."

Om Ginanjar lalu bangkit berdiri dan tersenyum pada ku seraya mengangguk pelan kemudian berlalu masuk.

Tante Dewi masih di ruang tamu bersama ku, sejenak dia menoleh ke arah suaminya, saat punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi, dia lalu berpaling ke arah ku.

"Untung kamu gak bilang tentang apartemen itu," ucap Tante Dewi lirih sambil tertawa kecil.

"Iya lah aku ngerti kok, oh ya Reihan kemana? kok dari tadi gak keliatan?"

"Reihan di dalem sama bi Lastri, tau sendiri kan kalo papanya pulang dia maunya ngumpet."

"Kok bisa gitu?" tanya ku penasaran.

"Gak tau kenapa Reihan gak nyaman kalo deket mas Ginanjar, beda kalo sama kamu," tukasnya.

"Ya udah sih kalo ada papanya titipin aja Reihan ke apartemen ehh, kost-kostan ku maksudnya hehehe..." timpal ku setengah bercanda.

Tante Dewi tersenyum remeh.

"Mau mu itu sih."

Kami tertawa bersamaan. Setelah itu aku kemudian pamit kepada Tante Dewi.

"Kalo gitu aku pamit dulu ya Tan."

Kami pun bangkit dari duduk lalu menuju pintu.

"Hati-hati di jalan yah," ucap Tante Dewi seraya mendekatkan bibirnya ke bibir ku, namun ku tahan.

"Ada om Ginanjar," cegah ku mengingatkan.

Tante Dewi sejenak menoleh ke dalam lalu kembali berbalik.

"Dia kalo udah masuk kamar pasti langsung tidur," balasnya kemudian mengecup bibir ku dalam.

Ku balas ciumannya dengan lumatan hangat. Setelah puas dengan percumbuan sesaat itu aku lalu pergi dari rumah itu.

Sore itu aku kembali ke apartemen dengan menggunakan ojol lagi. Aku habiskan waktu ku di dalam apartemen yang nyaman itu.

Waktu yang ku gunakan untung ngebucin bersama kakak ku atau lebih tepatnya pacar ku.

Skip...

Keesokan harinya aku terbangun di pagi hari. Ku dengar ponsel ku berdering, ternyata om Ginanjar yang menelfon langsung.

"Selamat pagi om!" sapa ku.

"Selamat pagi Randy, kamu ke sini sekarang bisa kan? anterin kami jalan-jalan ya!" perintah dari om Ginanjar.

"Bisa om, kalo gitu Randy siap-siap dulu ya."

"Oke, jangan lama-lama," ujarnya lalu telepon terputus.

Aku secepat kilat bangkit dari ranjang ku yang empuk dan bergegas mandi lalu berangkat karena itu perintah langsung dari big boss.

Sesampainya di rumah om Ginanjar aku sudah di sambut oleh mereka.

"Randy, kamu sudah sarapan belum?" tanya Tante Dewi yang sudah berpakaian rapi dan memoles make up di wajahnya.

"Belum Tante," jawab ku singkat.

"Ya udah makan dulu sini," tawarnya kepada ku.

Melihat keluarga itu sudah siap untuk berangkat maka ku putuskan untuk menolak tawaran itu secara halus.

"Gak usah Tante, Randy masih belum laper kok."

"Ya sudah, ayo berangkat sekarang," ucap om Ginanjar yang matanya masih fokus ke ponsel yang ia pegang.

Kami pun berangkat, aku berada di kursi kemudi sedangkan om Ginanjar, Tante Dewi, dan Reihan berada di belakang.

Untung saja saat itu Reihan tidak keceplosan untuk memanggil ku dengan sebutan 'papa', kalau itu terjadi bisa gawat.

Namun ada yang beda dari Reihan, sejak pagi tadi aku melihat dirinya diam saja tidak cerewet seperti biasanya.

Hari itu kami pergi jalan-jalan ke tempat lokawisata, awalnya aku memilih untuk menunggu saja di dalam mobil selagi mereka menikmati momen kebersamaan.

Tapi aku dipaksa ikut untuk membawa perlengkapan renang, karena saat itu kami pergi ke water boom.

Di sana kami bermain air. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tante Dewi, om Ginanjar lebih banyak menghabiskan waktu bersama ponselnya ketimbang menikmati quality time bersama mereka.

Alhasil aku yang menemani Reihan bermain di kolam ombak.

"Kamu kenapa kok dari tadi cemberut terus?" tanya ku kepadanya.

"Papa hat, ayin eyan inggal ndiyan iyumah!" (Papa jahat, kemarin Reihan ditinggal sendirian di rumah!)

"Hehehe,, kemarin papa ada urusan sama mama, jadi Reihan gak bisa diajak sayang!"

"A mo au, eyan nta Iyah oonya." (Ga mau tau, Reihan minta hadiah pokoknya)

"Reihan minta apa kalo gitu?"

"Alan-alan Ama papa mama wang!" (Jalan-jalan sama mama papa doang!)

"Ya udah kapan-kapan yah, eh ya tapi ada syaratnya, Reihan jangan panggil papa Randy 'papa' kalo ada papa Ginanjar yah, oke!"

"Oe ehh." (Oke deh)

Kami kembali bermain air bersama, aku juga menikmati waktu itu karena sudah lama tidak berenang.

Dari kejauhan aku melihat Tante Dewi sedang duduk di samping suaminya sedang mengamati kami bermain.

Aku tahu kalau dia ingin bergabung dengan kami tapi suaminya pasti akan curiga melihat kedekatan ku dan dia.

Setelah puas bermain air di water boom, kami melanjutkan pergi ke tempat yang tak lain adalah mall.

Bagi para wanita mall adalah tempat yang wajib dikunjungi saat ada waktu luang.

Di sana tampaknya om Ginanjar sudah tidak fokus terhadap ponselnya, dia gendong Reihan dengan erat, mungkin trauma atas apa yang terjadi saat terakhir mereka pergi ke sini.

Maka aku memutuskan untuk berpisah di dalam mall untuk memberi kesempatan mereka bersama.

Saat sedang berjalan-jalan di dalam mall tiba-tiba aku melihat seseorang yang tak asing lagi bagi ku. Saat itu dia sedang berada di rak khusus untuk susu bayi. Aku lalu mendekatinya.

"Halo Cha, apa kabar?" sapa ku kepada wanita berhijab ungu yang sedang menggendong bayi.

Sontak dia terkejut mendengar namanya dipanggil lalu memutar kepalanya ke arah panggilan itu.

"Ra...Randy?! ka...kamu ngapain ada di sini?!" jawabnya tergagap.

"Ini kan tempat umum, masa gue gak boleh sih dateng ke sini."

Pandangan ku berpaling ke bayi yang ada di gendongannya.

"Halo Humaira, anak papa yang cantik."

Ku coba mengelus pipinya dengan punggung jari ku namun langsung ditepis oleh Icha.

"Diam, dia bukan anak kamu tau!" protesnya.

"Lah, jelas-jelas dia anak gue, kan lu yang bilang sendiri dulu."

"Gak!"

Dia mencoba berpaling pergi dari hadapan ku namun ku cegah dengan menahan bahunya. Dia pun berontak.

"Apasih!? Jangan pegang-pegang, bukan muhrim!"

Aku tertawa mendengar perkataannya, kalau dulu dia pasti sudah memohon-mohon untuk disodok memeknya dengan rudal ku.

"Kakak!"

Seseorang memanggil dari jarak yang tidak terlalu jauh, kami kemudian menoleh ke sumber suara secar bersamaan.

Dia tidak lain dan tidak bukan adalah Annisa adik Reza. Dia mengernyitkan dahinya saat bola matanya menangkap sosok lelaki bersama kakak iparnya.

Annisa lalu berlari kecil menghampiri kami.

"Kakak kok bisa sama dia?" tunjuknya kepada ku.

"Eng...enggak tadi kakak lagi nyari susu buat Ara tiba-tiba dia dateng, kamu udah beli bahan-bahannya?"

"Udah nih kak," jawab Annisa sambil menyodorkan dua tas plastik di kedua tangannya.

Tatapannya berpindah ke arah ku. Dengan ekspresi wajah tidak bersahabat dia lalu berkata.

"Mau apa kamu datang lagi? jangan dekati kak Icha lagi, dia itu gak suka sama kamu dan dia juga udah nikah jadi gak ada kesempatan buat kamu!" hardik Annisa.

Aku pun bingung dengan apa yang dikatakannya. Ku tatap Icha untuk menemukan sebuah jawaban.

Bola matanya tampak bergerak ke sana kemari menunjukkan dia sedang tidak nyaman dengan situasi ini.

"Hah?! maksudnya gimana?" tanya ku kepada Annisa.

"Aku udah tau semua dari kak Icha kalo kamu itu dulu playboy teman kuliah kak Icha sama kak Reza kan? terus kamu coba deketin kak Icha tapi kak Icha maunya sama kak Reza."

"What?!"

Nada bicara ku sedikit meninggi. Aku setengah menahan tawa atas penjelasan dari Annisa. Tertawa karena sebuah cerita karangan yang dibuat oleh Icha untuk menutupi sebuah fakta.

"Terus kamu percaya sama dia?"

Aku balik bertanya dengan menunjuk Icha. Annisa diam melihat respon ku.

"Apa gue buka aja ya Cha, mumpung kalian berdua ada di sini," ujar ku penuh percaya diri.

"Ja...jangan,, mm...maksudnya kamu jangan ganggu aku lagi, aku udah nikah," balas Icha seraya menarik tangan Annisa untuk pergi dari situ.

Melihat gelagat yang mencurigakan dari kakak iparnya itu membuat Annisa melepas genggaman tangan Icha secara paksa.

"Bentar kak! Annisa mau dengerin penjelasan dari dia dulu kak."

Mata Icha berkaca-kaca kala dibentak oleh Annisa.

"Maaf kak, Annisa ingin percaya sama kakak tapi hati kecil Annisa bilang sebaliknya."

Pandangan Annisa beralih ke arah ku.

"Ayo katakan, sebenarnya kamu ini siapa dan ada apa tentang masa lalu kalian?"

Aku diam sejenak untuk berpikir. Kalau aku katakan yang sejujurnya mungkin karir Icha sebagai istri Reza akan tamat, atau mungkin aku harus bermain-main dengan situasi ini?

Aku tersenyum jahat.

To Be Continue...

Jadiin like sampe 100 biar update lagi
 
Waaah icha bisa jd ATM berjalan, eh memek berjalan bwt randy nih...
Eh, tp klo memek kan ikutan jalan ya sm orangnya 😅
Kalo ATM yang keluar uang, kalo memek yang keluar apaan ya hu?
Anjaaaay.. Dibuat novel atau semacamnya keren kek nya hu @Malinksss..

Di buat drama kek drakor or semacamnya kayaknya juga layak hu


Lancroeetgan hu🦅🦅🦅💦💦
Wkwkwk yang ngelirik produser film dewasa
Jadiin like sampe 100 biar update lagi
Semoga bisa nyampe 100 😝 wkwkwk sekalian lagi nyicil buat lanjutan ceritanya
 
Part 19. Kecurigaan Annisa

"Cepat katakan yang sejujurnya!" seru Annisa yang sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan ku.

"Oke kalo lu maksa."

Aku mulai mengganti bahasa ku kepada Annisa karena terbawa suasana.

Sejenak aku lirik Icha yang masih berdiri dengan menggendong Humaira. Seperti yang aku duga, wajahnya pucat pasi dan sedang menunduk.

"Kebohongan kakak ipar mu yang pertama adalah gue bukan mantan teman kuliahnya, gue sebaya sama lu."

Annisa menggelengkan kepala seraya memicingkan alisnya tidak percaya.

"Kebohongan yang kedua adalah gue bukan orang asing, kita masih saudara jauh."

"Bohong! aku gak pernah kenal sama kamu, mana mungkin kita saudara," bantah Annisa yang tidak mempercayai perkataan ku.

Aku masih bersikap tenang tidak terpancing oleh apa yang dikatakan Annisa.

"Oh ya? coba lu ingat, lu pernah gak kenal sama yang namanya Ranty?" ucap ku sembari mengusap dagu ku dengan jari telunjuk.

"Ranty?" balasnya mengernyitkan dahi.

"Kalo lu gak inget biar gue ingetin."

Aku melangkah maju hingga aku dan Annisa tepat berhadapan. Dia mendongakkan kepalanya karena tubuhnya lebih rendah dari ku.

Kami bertatapan dengan erat, bukan tatapan mesra ataupun sejenisnya melainkan tatapan penuh intimidasi.

"Lu inget cewek yang pernah mau dijodohin sama Reza waktu acara pernikahan kakak lu yang pertama?"

Matanya seketika terbelalak kaget tidak percaya kalau aku mengetahui tentang hal itu.

"Hmm...bahkan teh Adibah nyuruh Reza untuk kuliah di universitas yang sama dengan Ranty hanya agar mereka semakin dekat."

Annisa benar-benar mati kutu saat itu. Dia membepak mulutnya sendiri mendengar ucapan ku, tidak percaya kalau aku mengetahui tentang keluarganya begitu dalam, bahkan ibunya dia kenal.

"Sebenarnya kamu ini siapa sih? kenapa kamu tau tentang semua itu?" tanya Annisa yang terdengar seperti mengintimidasi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, sama sekali tidak terpengaruh dengan apa yang keluar dari mulutnya, aku kemudian melanjutkan perkataan ku.

"Tapi sayang, kakak lu malah selingkuh sama Icha sampe dia hamil, cihhh..."

Aku tersenyum remeh, kali ini Annisa tidak tinggal diam.

"Hehhh...bukannya Ranty itu yang selingkuh dari kak Reza ya! bunda sendiri yang bilang, bahkan selingkuhannya itu pernah ikut jenguk kak Reza waktu dia kecelakaan dengan mengaku sebagai adiknya, sekarang jahat mana?!!!"

Annisa nampak tidak mau kalah beradu argumen dengan ku. Dia berani menatap ku tajam sambil membusungkan dadanya.

Tidak sadarkah dia kalau orang yang sedang ia bicarakan ada tepat berada di hadapannya.

Sesaat tidak ada kata yang terucap. Dari sorot matanya dia seolah sudah mengibarkan bendera perang, namun aku masih santai dengan memasang ekspresi wajah datar.

Drrrt...drrrt...drrrt...

Tiba-tiba ponsel yang berada di saku celana ku berdering memecahkan situasi yang mencekam itu.

Ku coba mengecek siapa yang menelfon, ternyata om Ginanjar. Terpaksa aku mengangkat telepon itu.

"Halo om!"

"Halo Randy kamu dimana?"

"Masih di dalam mall om."

"Kita udah selesai belanjanya, kamu ambil mobil sekarang ya, saya tunggu di lobby," perintah om Ginanjar dari seberang telepon.

"Baik om!" jawab ku singkat kemudian aku tutup telepon itu.

Pandangan ku kembali fokus kepada Annisa yang masih berdiri dalam diam sambil menatap ku tajam.

Aku mendekati Annisa seraya menepuk pundaknya lembut, ku tahan tangan ku di sana. Dia diam saja tak bergeming, baru pertama kali dia membiarkan salah satu bagian tubuhnya di sentuh, biasanya dia langsung menepisnya.

"Sayang banget gue harus pergi sekarang, oh ya satu lagi..."

Aku sedikit menundukkan kepala ku hingga wajah kami nyaris sejajar.

"Kakak lu dan kakak ipar lu ini punya sebuah rahasia besar yang lu gak akan sangka."

Aku tersenyum sinis. Seketika Annisa sadar kemudian menepis tangan ku yang berada di bahunya.

"Minggir!" pekiknya.

Aku lalu mundur beberapa langkah, tatapan ku berpindah ke Icha dan bayi yang berada digendongnya.

"Cha, jaga Humaira baik-baik ya, demi gue."

Ucapan ku sontak membuat Icha panik akan membuat Annisa semakin curiga, dia lalu membulatkan matanya tajam ke arah ku.

Aku kemudian berbalik dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Aku berjalan menuju parkiran tempat aku memarkirkan mobil lalu ku arahkan mobil itu menuju ke depan lobby.

Kami akhirnya pulang setelah seharian jalan-jalan. Reihan saat itu sudah terlelap tidur di pangkuan ibunya, padahal saat jalan-jalan bersama ku tempo hari dia pulang dengan sangat bersemangat.

Sesampainya di rumah aku sedikit heran saat ada sebuah benda di depan garasi dengan ditutupi oleh kain berwarna merah maroon.

"Waduh itu apaan ya? ngalangin jalan masuk," gerutu ku saat aku akan memasukkan mobil ke dalam garasi.

"Coba dicek dulu Ran," perintah om Ginanjar.

Tante keluar dari mobil lalu masuk ke dalam rumah untuk meletakkan Reihan di ranjangnya.

Aku dan om Ginanjar mendekati benda itu. Kemudian aku singkap kain yang menutupinya.

Jrenggg...

Sebuah motor sport keluaran terbaru terpampang di hadapan ku. Aku menoleh ke arah om Ginanjar.

"Kok ada motor di sini?" tanya ku penasaran.

"Loh kamu lupa ya, kan kemarin saya janjikan kamu motor biar kamu gak repot mau kemana-mana."

Aku terkejut tidak menyangka kalau om Ginanjar serius untuk memberikan aku sebuah motor.

"Wah, tapi gak usah mahal-mahal om, yang penting bisa jalan Randy udah seneng kok."

"Udah gak usah dipikirin masalah itu, yang penting kalo istri saya hubungi kamu harus sigap, ya meskipun kamu sudah berjasa untuk keluarga kami tapi sekarang kamu kerja sama kami, jadi kamu harus profesional dalam bekerja," jelas om Ginanjar panjang lebar.

"Siap om!" jawab ku singkat.

Setelah aku memasukkan mobil ke dalam garasi aku kemudian pamit untuk pulang.

Untuk pertama kalinya aku mengendarai motor pemberian om Ginanjar. Kalo dipikir-pikir harga motor itu tak seberapa bila dibandingkan dengan kekayaan dari om Ginanjar, jadi aku tidak perlu khawatir soal mengganti uangnya.

Di apartemen aku merebahkan diri ku di atas ranjang yang empuk. Sesaat aku merenung, apakah aku jahat dan tidak tahu terima kasih setelah apa yang om Ginanjar berikan justru aku menikmati tubuh istrinya di saat dia tidak ada.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi apa yang kami lakukan itu atas dasar kemauan dari Tante Dewi, lebih tepatnya aku dan Tante Dewi jadi secara tidak langsung itu adalah perintah dari majikan ku.

Ku hembuskan nafas dalam lalu ku pejamkan mata ku, tiba-tiba kantuk menyerang diri ku. Baru beberapa menit aku terlelap aku dikagetkan dengan secara ponsel ku.

"Duh siapa sih!" gerutu ku.

Aku lihat layar ponsel ku, terdapat sebuah nomor baru yang belum pernah aku simpan di kontak ku. Siapakah gerangan?. Aku pun mengangkatnya.

"Halo?!" sapa ku.

"Halo, ini Randy kan?" jawab seorang lelaku yang berada di seberang telepon.

"Iya betul, maaf ini siapa ya?"

Aku masih belum mengenali suaranya.

"Ini saya Roy, coach Garuda Bandung, masih inget kan?"

Aku terkejut ternyata yang menelfon coach tim GB langsung.

"Oh iya ada apa coach?"

"Gini Ran, besok kamu ada acara gak?" tanya coach Roy kepada ku.

"Belum ada si coach, memangnya kenapa ya?"

"Besok kamu bisa kan dateng ke rumah saya untuk membicarakan masalah kontrak?"

Aku tertegun sesaat mendengar ucapan coach Roy. Setelah sekian lama aku menunggu kepastian tentang nasib ku di Bandung akhirnya terjawab sudah.

Tak ku pungkiri kalau hal ini karena om Ginanjar yang telah berbicara kepadanya secara langsung.

"Baik coach tapi kenapa harus di rumah coach ya? bukannya lebih bagus kalau di tempat latihan aja?"

"Begini Randy, ada sesuatu yang mau saya sampaikan sama kamu tapi pribadi, jadi alangkah baiknya kalau kita bicarakan di rumah saya saja agar lebih nyaman," pungkas coach Roy.

"Ada sesuatu yang mau disamakan katanya, tapi apa? apa ini menyangkut tentang...ahh gue gak mau berspekulasi dulu, lebih baik gue tanya langsung aja," ucap ku dalam hati.

Aku kemudian kembali bersuara.

"Menyangkut soal apa ya?" tanya ku menimpali perkataannya.

"Besok saja jam 8 pagi saya tunggu di rumah, nanti saya kirim lokasinya."

"Siap coach!" balas ku singkat.

Telepon pun terputus, ku lemparkan ponsel ku ke atas kasur lalu ku lanjutkan tidur ku yang sempat tertunda.

•••

Side Story

Annisa dan Icha pulang ke rumah mereka dengan menaiki taksi. Di dalam perjalanan mereka nampak diam terlelap dengan lamunan masing-masing.

Annisa nampak masih bertanya-tanya tentang pria misterius yang mengetahui seluk beluk keluarganya itu. Sedangkan Icha sedang berfikir suatu alasan yang masuk akal tentang semua ini.

Yang jelas dia sudah ketahuan berbohong mengenai pria yang bernama Randy itu.

Terlintas sebuah pikiran untuk menemui Randy secara diam-diam dan memohon agar Randy mengurungkan niatnya untuk balas dendam terhadap keluarga Reza, namun itu malah bisa jadi senjata makan tuan, Randy yang terkenal licik itu bisa saja memanfaatkan posisi Icha yang sedang tersudut itu.

Ada pula pikiran untuk melaporkan Randy ke polisi atas dasar telah meneror keluarganya. Namun sama saja, dia bisa saja membongkar seluruh kehidupan Icha yang selama ini ia tutup-tutupi dari keluarga Reza.

Terlebih lagi kalau sampai itu terjadi, maka masa depan Humaira akan terancam karena Reza kemungkinan tidak akan mau menerima dia sebagai anaknya.

Ya sampai saat ini Reza masih belum mengetahui kalau Humaira bukanlah anak kandungnya melainkan anak kandung Randy.

Lamunan itu mengiringi mereka hingga tiba di depan rumah. Setelah membayar Icha buru-buru masuk ke dalam untuk menghindari Annisa.

Namun sebelum sempat masuk, Annisa dengan cepat menahan langkahnya.

"Kak tunggu! Annisa mau ngomong sesuatu, soal tadi..."

"Kakak mau nidurin Humaira dulu, tadi di taksi sempat kebangun," potong Icha kemudian berlalu masuk ke kamarnya.

Di dalam kamar Icha meletakkan Humaira di atas ranjang yang biasa ia tiduri bersama Reza.

Sebenarnya anaknya memiliki tempat tidur sendiri di sebelah ranjangnya tetapi saat itu dia ingin menyusui Humaira terlebih dahulu.

Icha pun menyodorkan puting payudaranya ke mulut Humaira yang langsung dicaplok oleh anaknya.

Dia ingin tetap di sini, dia tidak ingin keluar dan menghadapi cercaan pertanyaan dari adik iparnya itu. Tapi sampai kapan dirinya harus seperti itu?

Kebohongan kecil apabila ditutupi oleh kebohongan yang lain pasti akan membuatnya menjadi besar, tetapi kalau dia harus jujur dia takut akan konsekuensi yang ditimbulkan.

Di luar kamar Annisa menunggu Icha dengan rasa tidak sabar. Rasa penasarannya sangatlah besar, memang sejak awal Icha hadir dalam keluarganya, dia sudah menaruh rasa curiga terhadap istri dari kakaknya itu.

Terlebih lagi kakak iparnya itu hamil di luar nikah dengan Reza, mana ada wanita baik-baik bisa hamil di luar nikah?

Tapi seiring berjalannya waktu Annisa merasa kalau Icha adalah sosok wanita yang baik dan soleha juga sayang dengan keluarga serta melayani suaminya dengan baik.

Namun kali ini sedikit demi sedikit teka-teki tentang masa lalu mereka mulai terungkap. Tapi dia masih belum cukup bukti, satu-satunya clue untuk masalah ini adalah pria brengsek yang bernama Randy itu.

Mengingat namanya saja Annisa sudah muak dan emosi, ingin rasanya ia meninju muka pria itu hingga babak belur.

Karena merasa bosan menunggu kakak iparnya keluar dari kamar, akhirnya Annisa memberanikan diri untuk masuk ke dalam.

Tok...tok...tok...

Tanpa menunggu jawaban dari dalam, Annisa langsung membuka engsel pintu itu.

"Annisa!" seru Icha yang reflek bangkit hingga puting payudara yang sedang dikenyot oleh anaknya terlepas.

Tampak air ASI-nya sedikit muncrat karena gerakan itu. Humaira sontak menangis dengan keras hingga Icha terpaksa kembali ke posisi semula.

"M...maaf kak," ucap Annisa meminta maaf.

Icha hanya mengangguk pelan. Annisa kemudian berjalan menghampiri mereka berdua. Humaira terlihat sangat lahap dalam menyedot air susu ibunya.

"Kenapa Annisa?" tanya Icha dengan nada lirih.

"Gak papa kak, soal yang tadi."

"Sebentar, kakak ngaruh Humaira dulu di keranjang bayi."

Setelah Humaira mulai tenang, Icha kemudian meletakkan anaknya di baby box yang berada di samping ranjangnya.

Icha lalu mengajak Annisa untuk keluar kamar agar tidak menggangu Humaira yang sedang tidur.

"Kamu mau tanya apa?"

Icha bertanya kepada Annisa. Sungguh sebenarnya dia ingin sekali menghindari situasi seperti ini, tapi semakin dia menghindar semakin membuat Annisa curiga.

"Kak, sebenarnya siapa orang yang namanya Randy itu? kenapa kakak bohong soal dia teman sekampus kakak dulu?" cerca Annisa dengan nada sedikit meninggi.

"Maafin kakak udah bohong sama kamu, tapi untuk kali ini percaya sama kakak, kamu lebih baik menjauh dari dia, jangan pernah berurusan lagi barang sekecil apapun!"

Annisa menggelengkan kepalanya dengan raut wajah frustasi.

"Bukan itu yang aku tanyain kak, yang aku tanya dia itu sebenarnya siapa? kenapa dia bisa sampai tahu semua tentang keluarga kita?"

Dia benar-benar kehilangan kesabaran, apa yang kakak iparnya katakan justru semakin membuat Annisa yakin bahwa memang ada suatu rahasia yang besar yang belum ia ketahui.

"Dia pasti stalking, dia punya niat buruk sama kamu, percaya sama kakak!"

"Gak mungkin dia stalking sampai sejauh itu, bahkan dia tau tentang bunda, tentang perempuan yang pernah dijodohkan sama kak Reza, dia tau semuanya?!" kelakar Annisa dengan nada tinggi.

Icha menghembuskan nafas kasar, air matanya tak dapat ia bendung mendengar adik iparnya berkata begitu. Ini kali pertama Annisa berbicara dengan nada tinggi, biasanya dia berkata dengan nada lembut dan pelan.

"Terserah kamu mau bilang apa yang penting kakak udah ngingetin, ini demi kebaikan kamu," kilah Icha lalu bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamar sambil menahan tangis.

Annisa menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sembari kepalanya menengadah ke atas lalu dia memejamkan mata.

Mau bagaimana pun dia tidak akan menyerah untuk mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh kakak iparnya itu.

"Oke kalo kakak kekeh gak mau cerita, aku akan cari tau sendiri," ucap Annisa dalam hati.

"RANDY."

Satu nama itu yang kini terlintas di benaknya.

To Be Continue...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd