Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Part 15. Menjadi Sosok Ayah

Aku menyesap bibir Tante Dewi yang merekah itu. Dia menyambut pagutan ku dengan sangat bernafsu. Tanpa ku duga dia berinisiatif menjulurkan lidahnya menyapu bibir ku yang ku sambut dengan kuluman di lidahnya.

"Emphhh...ccpppmm...ssllppp..."

Kemudian aku pegang tengkuknya dan ku dorong agar lebih erat menempel di bibir ku.

Saat kami sedang menikmati aksi percumbuan pertama kami tiba-tiba terdengar suara.

Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!!

Secepat kilat kami tersadar lalu sama-sama melepaskan ciuman penuh nafsu kami.

Air liur kami yang sempat tersambung ketika bibir kami terlepas akhirnya putus juga dan jatuh ke dagu.

Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!!

Kembali suara klakson menerpa telinga kami. Aku arahkan pandangan ku ke depan, ternyata mobil yang tadi berada di depan kami sudah berjalan beberapa puluh detik yang lalu.

Aku pun lalu kembali menjalankan mobilnya. Sejenak aku sempat melirik Tante Dewi. Dia terlihat mengulum bibirnya untuk membersihkan campuran saliva kami yang tersisa akibat ciuman tadi.

Namun dia membiarkan saja air liur yang berada di dagunya, entah dia sengaja atau dia tidak sadar ada cairan yang menetes namun hal itu justru menjadi pemandangan tersendiri untuk ku.

Aku pandangi beberapa kali Tante Dewi sembari tersenyum yang membuat dirinya salah tingkah.

"Ran, kenapa liatin Tante gitu?"

Dia terlihat mengernyitkan dahinya.

"Gak papa Tante, soalnya Tante cantik sih," jawab ku menggodanya.

"Apaan sih kamu Ran."

Wajahnya menunduk tetapi bola matanya tepat mengarah ke arah ku.

"Ran, jangan bilang siapa-siapa soal tadi yah," pinta Tante Dewi dengan lirih.

Sekilas aku menoleh ke arahnya. Aku pegang punggung tangannya yang berada di pahanya.

"Asalkan Tante bahagia," balas ku singkat.

Senyum tersungging di bibir manisnya. Dia lalu membalikkan telapak tangannya sehingga kini kami saling berpegangan tangan.

"Mama, eyan icuwe'in!" (Mama, Reihan dicuekin!)

Suara anak kecil memecahkan suasana mesra itu. Kami sontak memutar kepala kami bersamaan ke arah belakang.

"Reihan!?" kelakar Tante Dewi yang dibalas dengan melipat kedua tangannya ke depan dan memasang wajah yang cemberut.

Kami seolah lupa bahwa ada anak kecil yang duduk di belakang kami sedang memperhatikan dua orang dewasa sedang bercumbuan.

"Maaf sayang mama lupa, sini pindah ke depan lagi!" tawarnya sembari menepuk-nepuk paha agar berpindah ke pangkuannya.

Reihan menggelengkan kepala dengan lantang.

"Mama papa acayan uyu, eyan a oyeh iyat!" (Mama papa pacaran mulu, Reihan ga boleh liat!)

Kami terkekeh dengan ucapan Reihan.

"Reihan masih kecil jadi gak boleh liat," ujar Tante Dewi menjelaskan.

Reihan diam dengan memasang muka kesal namun berubah datar, ditatapnya wajah ibunya dengan seksama. Tante Dewi masih terus menatap Reihan sambil tersenyum.

Lalu Reihan kembali menyeletuk.

"Mama Iyer," (Mama ngiler) tunjuk Reihan ke arah dagu ibunya.

Tante Dewi sontak terkejut dengan mulut melongo. Aku berusaha menahan tawa namun gagal karena perkataan Reihan dan ekspresi wajah Tante Dewi yang lucu.

Dengan cepat dia mengusap dagunya dengan menggunakan jari tengah lalu wajahnya seketika memerah menahan malu.

"Randy kok gak bilang sama Tante sih!" protesnya yang membuat aku dan Raihan tertawa semakin keras.

Dia terlihat kesal lalu memukul-mukul lengan kiri ku sehingga aku terhuyung ke samping.

"Ihh Randy sebel...sebel...sebel...!!!"

"Aduduh...sakit Tante sakit!" pekik ku sembari mencoba menepis pukulannya yang sebenarnya tidak terlalu keras.

Kemudian dia tenggelamkan wajahnya di bahu kiri ku untuk menutupi wajah merahnya sesekali memukul dada ku lirih.

Aku geser sedikit posisi ku ke arah Tante Dewi, lalu aku usap pipi kirinya dengan menggunakan telapak tangan kiri ku. Jadi posisi tangan ku membentuk huruf 'v'.

Ku usap pelan sembari berkata.

"Tante tetep cantik kok walaupun ileran, hehehe..." ungkap ku sedikit menggodanya seraya mencium puncak kepalanya.

"Itu ilermu tau!" timpal Tante Dewi.

Aku hanya tersenyum simpul, lalu kembali fokus ke jalanan. Tante Dewi entah kenapa malah melingkarkan tangannya di lengan ku dengan kepalanya masih bersandar di bahu ku.

"Iye...iye...iye..." (Cie...cie...cie...) goda Reihan yang melihat orang tuanya sedang bermesraan.

Tante Dewi kembali menoleh ke belakang. Satu jari tersemat di depan bibir manisnya.

"Sssstttt...jangan bilang siapa-siapa yah sayang," bisik Tante Dewi kepada anaknya.

"Cip!" (Sip!) balas Reihan dengan mengacungkan kedua jempolnya.

Tante Dewi menaikkan ujung bibirnya dan kembali ke posisi semula. Kami melalui perjalanan dalam diam.

Sesampainya di rumah, Tante Dewi berniat untuk membantu ku membawa barang-barang yang tadi dibeli, namun aku larang dan menyarankan kepada mereka untuk masuk ke rumah sembari menunggu ku unpacking.

Tante Dewi dan Reihan lalu masuk ke dalam rumah. Aku lalu membuka bagasi dan membawa barang belanjaan masuk.

Di dalam rumah aku sudah ditunggu oleh Reihan yang sangat bersemangat untuk membuka mainan yang sudah dibeli.

Kami lalu bermain bersama, lebih tepatnya aku menemani Reihan bermain. Beberapa kali Tante Dewi menyuruh anaknya untuk tidur siang namun perintah itu ditolaknya mentah-mentah.

"Reihan bobo siang dulu yuk, mainnya nanti lagi."

Tante Dewi sudah berganti pakaian dengan daster santai yang menampakkan belahan payudaranya. Aku sempat tertegun melihat pemandangan itu.

"Tal ulu, eyan agi acik ain ama papa!" (Entar dulu, Reihan lagi asik main sama papa!)

Tante Dewi menghembuskan nafas kasar, lalu dia menghempaskan bokongnya di sofa ruang tengah yang menjadi tempat bermain kami. Dia lalu membuka majalah yang berada di meja.

Aku dan Reihan asik bermain, tak menggubris kehadiran Tante Dewi di dekat kita.

Reihan lalu meminta ku untuk menjadi kuda-kudaan dan mengejar mobil remote kontrol yang dia jalankan hanya maju mundur.

Dia naik ke atas punggung ku lalu aku merangkak mengejar mainan itu.

"Yo papa angkat!" (Ayo papa semangat!)

Reihan pun terlihat sangat senang.

Kemudian setelah bermain kuda-kudaan, Reihan meminta ku untuk bermain pesawat-pesawatan.

Aku terlentang dengan Reihan berada di tulang kering ku, lalu ku angkat ke atas.

"Ngeeeng...ngeeeng...ngeeeng...!!!" seru Reihan menirukan suara pesawat.

Ada rasa gembira di hati ku melihat tawa Reihan yang sangat lepas ketika bermain. Aku seperti sedang bermain dengan anak ku sendiri.

Sejenak aku melihat sepasang mata sedang mengamati kami bermain. Aku putar bola mata ku. Ku lihat Tante Dewi yang semula sedang membaca majalah kini dia sedang memandang kami dengan memangku dagunya dengan tangan yang diletakkan di atas paha.

Dia tersenyum lebar melihat kedekatan ku dengan anaknya. Aku balas senyumnya singkat kemudian kembali fokus kepada Reihan.

Beberapa lama kami bermain, Reihan merasa lelah. Dia lalu tertidur dalam pelukan ku. Saat itu posisi ku sedang setengah duduk dengan bersandar pada bibir sofa.

Aku melirik Tante Dewi sejenak sembari bergumam.

"Tante, Reihan tidur."

Dia tersenyum dan mengangguk kemudian bangkit dari duduknya lalu pergi menuju kamar.

"Tolong bawa ke kamar Tante Ran," perintahnya kepada ku.

Dengan susah payah aku bangkit karena takut membangunkan Reihan yang sedang terlelap. Setelah berhasil aku pun mengikuti Tante Dewi masuk ke dalam kamarnya.

Saat aku masuk untuk pertama kali ke dalam ruangan itu aku sempat tercengang.

Kamarnya sangat luas dengan berbagai furniture yang mewah, terdapat kamar mandi juga di dalamnya.

Aku sempat mengedarkan pandangan ku ke sekeliling. Ada foto pernikahan Tante Dewi dengan om Ginanjar. Terlihat memang raut wajah sendu darinya yang menandakan dia memang tidak menginginkan pernikahan itu.

"Randy, sini!" ujar Tante Dewi yang sedang duduk di tepi ranjang sembari menepuk-nepuk kasur memberi isyarat untuk meletakkan Reihan di sana.

Lamunan ku buyar, kemudian aku menghampiri Tante yang sudah berubah posisi menjadi rebahan menyamping dengan kepala di topang oleh telapak tangannya. Posisi yang sangat menggoda, pikir ku.

Aku letakkan Reihan di samping Tante Dewi, namun saat aku akan beranjak tiba-tiba Reihan yang masih di dunia mimpi menarik baju ku dengan kencang. Matanya terpejam, bibirnya membuka dan menutup seolah sedang mengunyah sesuatu.

"Reihan gak mau ditinggal sama kamu tuh," ledek Tante Dewi kepada ku.

Aku masih menahan tubuh ku dengan tangan agar badan ku tidak bersentuhan dengan ranjangnya. Tidak enak tiduran di ranjang majikan.

Melihat ku ragu, Tante Dewi lalu berujar.

"Udah kamu tiduran aja, temenin Reihan yah, Tante mau tutup pintu dulu."

Dia kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu, aku tatap punggungnya saat berjalan. Lalu dia tutup pintu itu dan menguncinya.

Aku mengernyitkan dahi ku. Kenapa juga dia harus mengunci pintu segala. Setelah pintu terkunci dia kembali lagi dan ikut rebahan di samping Reihan.

Dia merebahkan diri sama seperti sebelumnya. Aku pun sama karena Reihan yang masih mencengkeram baju ku dalam tidur.

Alhasil kami posisi kami sekarang tiduran menyamping dan berhadapan, di tengahnya terhimpit seorang anak kecil yang sedang tidur pulas.

"Kayaknya Reihan sayang banget sama kamu Ran, sampe gak mau dilepas walau pun udah tidur."

Tante Dewi tersenyum simpul menatap ku.

"Iya nih Tan," jawab ku singkat sembari memeluk Reihan yang miring ke arah ku.

"Tante baru pertama kali lihat Reihan sedeket ini sama orang loh, baru sama kamu aja," ungkapnya lalu mengelus bahu Reihan.

"Kalo sama papanya gimana?" tanya ku penasaran.

Ekspresi Tante Dewi berubah datar, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"Boro-boro Ran malah sebaliknya."

Sesaat Tante Dewi membuat ku bingung dengan ucapannya.

"Maksudnya gimana Tan?" tanya ku memastikan.

"Kalo papanya pulang Reihan malah kelihatan gelisah gitu, kaya anak sekolah yang lagi ngobrol sama temennya tiba-tiba gurunya dateng."

Aku terkekeh mendengar penjelasan dari Tante Dewi.

"Mungkin intensitas ketemunya yang kurang Tante, coba deh lebih sering jalan bareng sama papanya," ucap ku mengungkapkan pendapat.

"Gak juga ahh,, buktinya sama kamu yang notabenenya belum lama ketemu Reihan bisa langsung akrab, emang dasar suami Tante aja yang kaku."

Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Tidak ada kata lagi yang terucap. Dia kemudian menggeser posisinya hingga tubuhnya menempel di punggung Reihan. Banyangkan saja posisi Reihan saat itu tengah memeluk ku dan Tante Dewi memeluk Reihan dari belakang.

Wajah kami tepat berhadapan hanya berjarak beberapa sentimeter. Aku luruskan tangan ku agar bisa menjadi bantalan kepalanya.

Dia mengerti dengan maksud ku lalu merebahkan kepalanya di lengan ku. Mata kita saling bertemu, kami berpandangan tanpa berkedip. Tante mengulum bibirnya sambil menaikkan dahinya hingga muncul kerutan di sana.

Aku dengan inisiatif kemudian memeluk Tante Dewi lalu mengusap-usap punggungnya layaknya suami yang sedang memeluk istri dan anaknya.

Tante Dewi kemudian mengusap rambut Reihan ke atas sehingga kepalanya sedikit mendongak. Diciumnya kening Reihan sesaat lalu dia memejamkan mata, Tante Dewi kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang ku.

Beberapa saat kemudian aku merasakan nafas Tante Dewi yang tenang. Tidur kah? pikir ku. Ku beranikan untuk mengecup bibirnya dalam, tidak ada respon. Sekarang aku yakin kalau dia benar-benar tertidur.

Aku dekap mereka semakin erat. Rasa nyaman yang ditimbulkan membuat ku menjadi mengantuk dan ikut tertidur.

Skip...

Entar berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun kami masih dalam posisi yang sama hanya Reihan yang kini telentang. Saat itu Tante Dewi sudah terjaga dan sedang memandang wajah ku intens.

"Kenapa Tante ngeliatin gitu?" tanya ku sembari mengucek mata ku.

"Jahat kamu Ran!"

Tiba-tiba Kalimat itu keluar dari mulut Tante Dewi yang membuat ku sangat terkejut. Kenapa? apakah aku berbuat hal kurang ajar saat aku tertidur?

"Ma...maaf Tante," ucap ku meminta maaf tanpa tahu apa kesalahan ku waktu itu.

Kalau itu karena perlakuan ku selama ini, seharusnya sudah ia tegur dari awal, tapi kenapa tiba-tiba...

"Iya kamu itu jahat Ran, tega-teganya kamu bikin Tante nyaman," balasnya sembari tersenyum memamerkan giginya yang tertata rapi.

Seketika hati ku plong mendengar penjelasan dari Tante Dewi. Aku hembuskan nafas yang sedari tadi aku tahan.

"Uhh Tante bikin deg-degan aja," sungut ku karena diprank oleh Tante Dewi.

Dia masih terkekeh melihat raut wajah ku yang panik.

"Nanti kalo Tante baper gimana? tanggung jawab loh kalo Tante jadi sayang sama kamu," ujar Tante Dewi.

"Emang aku harus tanggung jawab gimana kalo Tante sampe sayang?"

Aku menaikkan dahi ku menunggu jawaban darinya. Namun dia tidak menjawab dan hanya mengatupkan bibirnya rapat. Mungkin dia juga tidak tahu jawabannya.

"Ran, kamu sayang gak sama Reihan?" tanya Tante Dewi.

"Sayang Tan, aku meluk Reihan berasa meluk anak sendiri, hehehe..."

Dia tersenyum penuh arti.

"Kamu mau gak jadi sosok ayah buat Reihan?"

Ucapannya membuat ku terkejut namun aku mencoba untuk bersikap tenang.

"Maksudnya gimana?"

"Ya kamu berperan jadi ayahnya, Tante kasihan sama Reihan, selama ini dia hampir gak pernah dapet perhatian dari seorang ayah," jelasnya kepada ku.

"Om Ginanjar gimana?"

Tante Dewi menghembuskan nafas panjang lalu menatap ku dengan tatapan datar.

"Suami Tante gak bisa jadi sosok ayah, yang ada dipikirannya cuma kerja, kerja, dan kerja, bahkan saat ada waktu bersama, Reihan malah kelihatan gak nyaman di deket dia."

Aku kemudian mengangguk lalu bangkit dan terduduk di tepi ranjang. Sesaat aku terdiam untuk menimbang-nimbang permintaan Tante Dewi.

Melihat keraguan ku dia ikut bangkit dan mensejajarkan duduknya di dekat ku dengan kedua tangan berada di samping menggenggam erat sisi kasur.

"Tante mohon ya Ran, Tante gak mau Reihan kehilangan kasih sayang seorang ayah yang sekarang ada di kamu, dia bahagia banget kalo lagi sama kamu."

Aku belum bergeming, aku basahi bibir ku dengan lidah yang sedikit ku julurkan keluar seraya memikirkan tawarannya. Aku tersenyum singkat sebelum merespon ucapannya.

"Apa Randy hanya jadi sosok ayah, atau sekaligus suami?" timpal ku ragu-ragu.

Ku putar bola mata ku ke wajah Tante Dewi sesaat, dia menatap ku sembari menggigit bibir bawahnya. Lalu aku buang pandangan ku ke arah bawah sambil menunggu respon darinya.

Beberapa saat menunggu tanpa ku duga, Tante Dewi kemudian memegang pipi ku dengan kedua tangannya, kanan dan kiri. Lalu diangkat wajah ku agar sejajar dengan wajahnya dan...

Cuppp...

Tante Dewi tiba-tiba mengecup bibir ku dalam dan cukup lama. Aku terbuai sejenak dengan ciuman itu. Sesaat berselang Tante Dewi melepaskan ciumannya di bibir ku.

"Apa itu udah cukup untuk jadi jawaban?"

Dia tersenyum memamerkan giginya yang putih dan tertata rapi.

"Belum," jawab ku singkat sembari tersenyum lebar.

"Terus?"

Aku kemudian berdiri lalu aku memposisikan diri di depan Tante Dewi yang tengah duduk. Dia lantas mendongakkan kepalanya ke atas menatap wajah ku heran.

Aku tersenyum simpul lalu ku pegang kedua bahu Tante Dewi. Dia menatap ku dengan mata lebar.

Perlahan aku dorong tubuh Tante Dewi hingga dia kembali telentang di atas ranjang.

Aku kemudian merangkak di atas tubuhnya. Tidak ada penolakan sama sekali dari dirinya.

Wajahnya berubah sayu, bibirnya ia biarkan terbuka. Aku dekatkan wajah ku ke wajahnya. Seketika dia menahan dada ku dengan kedua tangan. Apakah ini tanda penolakan?

Sesaat kemudian dia justru menggenggam kerah baju ku dan menariknya ke bawah. Aku tersenyum kecil melihat responnya.

"Reihan, tidurnya lamaan dikit yah, mama sama papa mau bercocok tanam dulu, hehehe..." tawa ku dalam hati.

To Be Continue...
 
Part 15. Menjadi Sosok Ayah

Aku menyesap bibir Tante Dewi yang merekah itu. Dia menyambut pagutan ku dengan sangat bernafsu. Tanpa ku duga dia berinisiatif menjulurkan lidahnya menyapu bibir ku yang ku sambut dengan kuluman di lidahnya.

"Emphhh...ccpppmm...ssllppp..."

Kemudian aku pegang tengkuknya dan ku dorong agar lebih erat menempel di bibir ku.

Saat kami sedang menikmati aksi percumbuan pertama kami tiba-tiba terdengar suara.

Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!!

Secepat kilat kami tersadar lalu sama-sama melepaskan ciuman penuh nafsu kami.

Air liur kami yang sempat tersambung ketika bibir kami terlepas akhirnya putus juga dan jatuh ke dagu.

Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!! Tiiiinnnn...!!!

Kembali suara klakson menerpa telinga kami. Aku arahkan pandangan ku ke depan, ternyata mobil yang tadi berada di depan kami sudah berjalan beberapa puluh detik yang lalu.

Aku pun lalu kembali menjalankan mobilnya. Sejenak aku sempat melirik Tante Dewi. Dia terlihat mengulum bibirnya untuk membersihkan campuran saliva kami yang tersisa akibat ciuman tadi.

Namun dia membiarkan saja air liur yang berada di dagunya, entah dia sengaja atau dia tidak sadar ada cairan yang menetes namun hal itu justru menjadi pemandangan tersendiri untuk ku.

Aku pandangi beberapa kali Tante Dewi sembari tersenyum yang membuat dirinya salah tingkah.

"Ran, kenapa liatin Tante gitu?"

Dia terlihat mengernyitkan dahinya.

"Gak papa Tante, soalnya Tante cantik sih," jawab ku menggodanya.

"Apaan sih kamu Ran."

Wajahnya menunduk tetapi bola matanya tepat mengarah ke arah ku.

"Ran, jangan bilang siapa-siapa soal tadi yah," pinta Tante Dewi dengan lirih.

Sekilas aku menoleh ke arahnya. Aku pegang punggung tangannya yang berada di pahanya.

"Asalkan Tante bahagia," balas ku singkat.

Senyum tersungging di bibir manisnya. Dia lalu membalikkan telapak tangannya sehingga kini kami saling berpegangan tangan.

"Mama, eyan icuwe'in!" (Mama, Reihan dicuekin!)

Suara anak kecil memecahkan suasana mesra itu. Kami sontak memutar kepala kami bersamaan ke arah belakang.

"Reihan!?" kelakar Tante Dewi yang dibalas dengan melipat kedua tangannya ke depan dan memasang wajah yang cemberut.

Kami seolah lupa bahwa ada anak kecil yang duduk di belakang kami sedang memperhatikan dua orang dewasa sedang bercumbuan.

"Maaf sayang mama lupa, sini pindah ke depan lagi!" tawarnya sembari menepuk-nepuk paha agar berpindah ke pangkuannya.

Reihan menggelengkan kepala dengan lantang.

"Mama papa acayan uyu, eyan a oyeh iyat!" (Mama papa pacaran mulu, Reihan ga boleh liat!)

Kami terkekeh dengan ucapan Reihan.

"Reihan masih kecil jadi gak boleh liat," ujar Tante Dewi menjelaskan.

Reihan diam dengan memasang muka kesal namun berubah datar, ditatapnya wajah ibunya dengan seksama. Tante Dewi masih terus menatap Reihan sambil tersenyum.

Lalu Reihan kembali menyeletuk.

"Mama Iyer," (Mama ngiler) tunjuk Reihan ke arah dagu ibunya.

Tante Dewi sontak terkejut dengan mulut melongo. Aku berusaha menahan tawa namun gagal karena perkataan Reihan dan ekspresi wajah Tante Dewi yang lucu.

Dengan cepat dia mengusap dagunya dengan menggunakan jari tengah lalu wajahnya seketika memerah menahan malu.

"Randy kok gak bilang sama Tante sih!" protesnya yang membuat aku dan Raihan tertawa semakin keras.

Dia terlihat kesal lalu memukul-mukul lengan kiri ku sehingga aku terhuyung ke samping.

"Ihh Randy sebel...sebel...sebel...!!!"

"Aduduh...sakit Tante sakit!" pekik ku sembari mencoba menepis pukulannya yang sebenarnya tidak terlalu keras.

Kemudian dia tenggelamkan wajahnya di bahu kiri ku untuk menutupi wajah merahnya sesekali memukul dada ku lirih.

Aku geser sedikit posisi ku ke arah Tante Dewi, lalu aku usap pipi kirinya dengan menggunakan telapak tangan kiri ku. Jadi posisi tangan ku membentuk huruf 'v'.

Ku usap pelan sembari berkata.

"Tante tetep cantik kok walaupun ileran, hehehe..." ungkap ku sedikit menggodanya seraya mencium puncak kepalanya.

"Itu ilermu tau!" timpal Tante Dewi.

Aku hanya tersenyum simpul, lalu kembali fokus ke jalanan. Tante Dewi entah kenapa malah melingkarkan tangannya di lengan ku dengan kepalanya masih bersandar di bahu ku.

"Iye...iye...iye..." (Cie...cie...cie...) goda Reihan yang melihat orang tuanya sedang bermesraan.

Tante Dewi kembali menoleh ke belakang. Satu jari tersemat di depan bibir manisnya.

"Sssstttt...jangan bilang siapa-siapa yah sayang," bisik Tante Dewi kepada anaknya.

"Cip!" (Sip!) balas Reihan dengan mengacungkan kedua jempolnya.

Tante Dewi menaikkan ujung bibirnya dan kembali ke posisi semula. Kami melalui perjalanan dalam diam.

Sesampainya di rumah, Tante Dewi berniat untuk membantu ku membawa barang-barang yang tadi dibeli, namun aku larang dan menyarankan kepada mereka untuk masuk ke rumah sembari menunggu ku unpacking.

Tante Dewi dan Reihan lalu masuk ke dalam rumah. Aku lalu membuka bagasi dan membawa barang belanjaan masuk.

Di dalam rumah aku sudah ditunggu oleh Reihan yang sangat bersemangat untuk membuka mainan yang sudah dibeli.

Kami lalu bermain bersama, lebih tepatnya aku menemani Reihan bermain. Beberapa kali Tante Dewi menyuruh anaknya untuk tidur siang namun perintah itu ditolaknya mentah-mentah.

"Reihan bobo siang dulu yuk, mainnya nanti lagi."

Tante Dewi sudah berganti pakaian dengan daster santai yang menampakkan belahan payudaranya. Aku sempat tertegun melihat pemandangan itu.

"Tal ulu, eyan agi acik ain ama papa!" (Entar dulu, Reihan lagi asik main sama papa!)

Tante Dewi menghembuskan nafas kasar, lalu dia menghempaskan bokongnya di sofa ruang tengah yang menjadi tempat bermain kami. Dia lalu membuka majalah yang berada di meja.

Aku dan Reihan asik bermain, tak menggubris kehadiran Tante Dewi di dekat kita.

Reihan lalu meminta ku untuk menjadi kuda-kudaan dan mengejar mobil remote kontrol yang dia jalankan hanya maju mundur.

Dia naik ke atas punggung ku lalu aku merangkak mengejar mainan itu.

"Yo papa angkat!" (Ayo papa semangat!)

Reihan pun terlihat sangat senang.

Kemudian setelah bermain kuda-kudaan, Reihan meminta ku untuk bermain pesawat-pesawatan.

Aku terlentang dengan Reihan berada di tulang kering ku, lalu ku angkat ke atas.

"Ngeeeng...ngeeeng...ngeeeng...!!!" seru Reihan menirukan suara pesawat.

Ada rasa gembira di hati ku melihat tawa Reihan yang sangat lepas ketika bermain. Aku seperti sedang bermain dengan anak ku sendiri.

Sejenak aku melihat sepasang mata sedang mengamati kami bermain. Aku putar bola mata ku. Ku lihat Tante Dewi yang semula sedang membaca majalah kini dia sedang memandang kami dengan memangku dagunya dengan tangan yang diletakkan di atas paha.

Dia tersenyum lebar melihat kedekatan ku dengan anaknya. Aku balas senyumnya singkat kemudian kembali fokus kepada Reihan.

Beberapa lama kami bermain, Reihan merasa lelah. Dia lalu tertidur dalam pelukan ku. Saat itu posisi ku sedang setengah duduk dengan bersandar pada bibir sofa.

Aku melirik Tante Dewi sejenak sembari bergumam.

"Tante, Reihan tidur."

Dia tersenyum dan mengangguk kemudian bangkit dari duduknya lalu pergi menuju kamar.

"Tolong bawa ke kamar Tante Ran," perintahnya kepada ku.

Dengan susah payah aku bangkit karena takut membangunkan Reihan yang sedang terlelap. Setelah berhasil aku pun mengikuti Tante Dewi masuk ke dalam kamarnya.

Saat aku masuk untuk pertama kali ke dalam ruangan itu aku sempat tercengang.

Kamarnya sangat luas dengan berbagai furniture yang mewah, terdapat kamar mandi juga di dalamnya.

Aku sempat mengedarkan pandangan ku ke sekeliling. Ada foto pernikahan Tante Dewi dengan om Ginanjar. Terlihat memang raut wajah sendu darinya yang menandakan dia memang tidak menginginkan pernikahan itu.

"Randy, sini!" ujar Tante Dewi yang sedang duduk di tepi ranjang sembari menepuk-nepuk kasur memberi isyarat untuk meletakkan Reihan di sana.

Lamunan ku buyar, kemudian aku menghampiri Tante yang sudah berubah posisi menjadi rebahan menyamping dengan kepala di topang oleh telapak tangannya. Posisi yang sangat menggoda, pikir ku.

Aku letakkan Reihan di samping Tante Dewi, namun saat aku akan beranjak tiba-tiba Reihan yang masih di dunia mimpi menarik baju ku dengan kencang. Matanya terpejam, bibirnya membuka dan menutup seolah sedang mengunyah sesuatu.

"Reihan gak mau ditinggal sama kamu tuh," ledek Tante Dewi kepada ku.

Aku masih menahan tubuh ku dengan tangan agar badan ku tidak bersentuhan dengan ranjangnya. Tidak enak tiduran di ranjang majikan.

Melihat ku ragu, Tante Dewi lalu berujar.

"Udah kamu tiduran aja, temenin Reihan yah, Tante mau tutup pintu dulu."

Dia kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu, aku tatap punggungnya saat berjalan. Lalu dia tutup pintu itu dan menguncinya.

Aku mengernyitkan dahi ku. Kenapa juga dia harus mengunci pintu segala. Setelah pintu terkunci dia kembali lagi dan ikut rebahan di samping Reihan.

Dia merebahkan diri sama seperti sebelumnya. Aku pun sama karena Reihan yang masih mencengkeram baju ku dalam tidur.

Alhasil kami posisi kami sekarang tiduran menyamping dan berhadapan, di tengahnya terhimpit seorang anak kecil yang sedang tidur pulas.

"Kayaknya Reihan sayang banget sama kamu Ran, sampe gak mau dilepas walau pun udah tidur."

Tante Dewi tersenyum simpul menatap ku.

"Iya nih Tan," jawab ku singkat sembari memeluk Reihan yang miring ke arah ku.

"Tante baru pertama kali lihat Reihan sedeket ini sama orang loh, baru sama kamu aja," ungkapnya lalu mengelus bahu Reihan.

"Kalo sama papanya gimana?" tanya ku penasaran.

Ekspresi Tante Dewi berubah datar, kemudian menghembuskan nafas panjang.

"Boro-boro Ran malah sebaliknya."

Sesaat Tante Dewi membuat ku bingung dengan ucapannya.

"Maksudnya gimana Tan?" tanya ku memastikan.

"Kalo papanya pulang Reihan malah kelihatan gelisah gitu, kaya anak sekolah yang lagi ngobrol sama temennya tiba-tiba gurunya dateng."

Aku terkekeh mendengar penjelasan dari Tante Dewi.

"Mungkin intensitas ketemunya yang kurang Tante, coba deh lebih sering jalan bareng sama papanya," ucap ku mengungkapkan pendapat.

"Gak juga ahh,, buktinya sama kamu yang notabenenya belum lama ketemu Reihan bisa langsung akrab, emang dasar suami Tante aja yang kaku."

Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Tidak ada kata lagi yang terucap. Dia kemudian menggeser posisinya hingga tubuhnya menempel di punggung Reihan. Banyangkan saja posisi Reihan saat itu tengah memeluk ku dan Tante Dewi memeluk Reihan dari belakang.

Wajah kami tepat berhadapan hanya berjarak beberapa sentimeter. Aku luruskan tangan ku agar bisa menjadi bantalan kepalanya.

Dia mengerti dengan maksud ku lalu merebahkan kepalanya di lengan ku. Mata kita saling bertemu, kami berpandangan tanpa berkedip. Tante mengulum bibirnya sambil menaikkan dahinya hingga muncul kerutan di sana.

Aku dengan inisiatif kemudian memeluk Tante Dewi lalu mengusap-usap punggungnya layaknya suami yang sedang memeluk istri dan anaknya.

Tante Dewi kemudian mengusap rambut Reihan ke atas sehingga kepalanya sedikit mendongak. Diciumnya kening Reihan sesaat lalu dia memejamkan mata, Tante Dewi kemudian melingkarkan tangan kanannya di pinggang ku.

Beberapa saat kemudian aku merasakan nafas Tante Dewi yang tenang. Tidur kah? pikir ku. Ku beranikan untuk mengecup bibirnya dalam, tidak ada respon. Sekarang aku yakin kalau dia benar-benar tertidur.

Aku dekap mereka semakin erat. Rasa nyaman yang ditimbulkan membuat ku menjadi mengantuk dan ikut tertidur.

Skip...

Entar berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun kami masih dalam posisi yang sama hanya Reihan yang kini telentang. Saat itu Tante Dewi sudah terjaga dan sedang memandang wajah ku intens.

"Kenapa Tante ngeliatin gitu?" tanya ku sembari mengucek mata ku.

"Jahat kamu Ran!"

Tiba-tiba Kalimat itu keluar dari mulut Tante Dewi yang membuat ku sangat terkejut. Kenapa? apakah aku berbuat hal kurang ajar saat aku tertidur?

"Ma...maaf Tante," ucap ku meminta maaf tanpa tahu apa kesalahan ku waktu itu.

Kalau itu karena perlakuan ku selama ini, seharusnya sudah ia tegur dari awal, tapi kenapa tiba-tiba...

"Iya kamu itu jahat Ran, tega-teganya kamu bikin Tante nyaman," balasnya sembari tersenyum memamerkan giginya yang tertata rapi.

Seketika hati ku plong mendengar penjelasan dari Tante Dewi. Aku hembuskan nafas yang sedari tadi aku tahan.

"Uhh Tante bikin deg-degan aja," sungut ku karena diprank oleh Tante Dewi.

Dia masih terkekeh melihat raut wajah ku yang panik.

"Nanti kalo Tante baper gimana? tanggung jawab loh kalo Tante jadi sayang sama kamu," ujar Tante Dewi.

"Emang aku harus tanggung jawab gimana kalo Tante sampe sayang?"

Aku menaikkan dahi ku menunggu jawaban darinya. Namun dia tidak menjawab dan hanya mengatupkan bibirnya rapat. Mungkin dia juga tidak tahu jawabannya.

"Ran, kamu sayang gak sama Reihan?" tanya Tante Dewi.

"Sayang Tan, aku meluk Reihan berasa meluk anak sendiri, hehehe..."

Dia tersenyum penuh arti.

"Kamu mau gak jadi sosok ayah buat Reihan?"

Ucapannya membuat ku terkejut namun aku mencoba untuk bersikap tenang.

"Maksudnya gimana?"

"Ya kamu berperan jadi ayahnya, Tante kasihan sama Reihan, selama ini dia hampir gak pernah dapet perhatian dari seorang ayah," jelasnya kepada ku.

"Om Ginanjar gimana?"

Tante Dewi menghembuskan nafas panjang lalu menatap ku dengan tatapan datar.

"Suami Tante gak bisa jadi sosok ayah, yang ada dipikirannya cuma kerja, kerja, dan kerja, bahkan saat ada waktu bersama, Reihan malah kelihatan gak nyaman di deket dia."

Aku kemudian mengangguk lalu bangkit dan terduduk di tepi ranjang. Sesaat aku terdiam untuk menimbang-nimbang permintaan Tante Dewi.

Melihat keraguan ku dia ikut bangkit dan mensejajarkan duduknya di dekat ku dengan kedua tangan berada di samping menggenggam erat sisi kasur.

"Tante mohon ya Ran, Tante gak mau Reihan kehilangan kasih sayang seorang ayah yang sekarang ada di kamu, dia bahagia banget kalo lagi sama kamu."

Aku belum bergeming, aku basahi bibir ku dengan lidah yang sedikit ku julurkan keluar seraya memikirkan tawarannya. Aku tersenyum singkat sebelum merespon ucapannya.

"Apa Randy hanya jadi sosok ayah, atau sekaligus suami?" timpal ku ragu-ragu.

Ku putar bola mata ku ke wajah Tante Dewi sesaat, dia menatap ku sembari menggigit bibir bawahnya. Lalu aku buang pandangan ku ke arah bawah sambil menunggu respon darinya.

Beberapa saat menunggu tanpa ku duga, Tante Dewi kemudian memegang pipi ku dengan kedua tangannya, kanan dan kiri. Lalu diangkat wajah ku agar sejajar dengan wajahnya dan...

Cuppp...

Tante Dewi tiba-tiba mengecup bibir ku dalam dan cukup lama. Aku terbuai sejenak dengan ciuman itu. Sesaat berselang Tante Dewi melepaskan ciumannya di bibir ku.

"Apa itu udah cukup untuk jadi jawaban?"

Dia tersenyum memamerkan giginya yang putih dan tertata rapi.

"Belum," jawab ku singkat sembari tersenyum lebar.

"Terus?"

Aku kemudian berdiri lalu aku memposisikan diri di depan Tante Dewi yang tengah duduk. Dia lantas mendongakkan kepalanya ke atas menatap wajah ku heran.

Aku tersenyum simpul lalu ku pegang kedua bahu Tante Dewi. Dia menatap ku dengan mata lebar.

Perlahan aku dorong tubuh Tante Dewi hingga dia kembali telentang di atas ranjang.

Aku kemudian merangkak di atas tubuhnya. Tidak ada penolakan sama sekali dari dirinya.

Wajahnya berubah sayu, bibirnya ia biarkan terbuka. Aku dekatkan wajah ku ke wajahnya. Seketika dia menahan dada ku dengan kedua tangan. Apakah ini tanda penolakan?

Sesaat kemudian dia justru menggenggam kerah baju ku dan menariknya ke bawah. Aku tersenyum kecil melihat responnya.

"Reihan, tidurnya lamaan dikit yah, mama sama papa mau bercocok tanam dulu, hehehe..." tawa ku dalam hati.

To Be Continue...
Anjaaaay bercock cock Tanam


Pupuknya pake apa hu?

Lancroetkan hu🦅🦅💦💦
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd