Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT My Sex Journey (Season 2)

Kemana kah cinta Randy benar-benar akan berlabuh? (Menikah)

  • Kak Ranty

    Votes: 297 27,7%
  • Anes

    Votes: 49 4,6%
  • Annisa

    Votes: 403 37,6%
  • Tante Dewi

    Votes: 168 15,7%
  • Lisa (kemungkinan kecil)

    Votes: 49 4,6%
  • Icha

    Votes: 105 9,8%

  • Total voters
    1.071
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 2. Rumah Baru

Aku memicingkan alisku. Wajahnya tampak sangat familiar. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya bahkan mengenalnya.

Setelah aku mengingat-ingat dengan seksama, aku baru sadar ternyata dia adalah...

ICHAAA...!!!

Aku sangat pangling pada waktu itu. Penampilannya berubah drastis dari yang dulu nakal, seksi, dan sensual sekarang menjadi wanita yang cantik, anggun, dan alim.

Maklum saja karena dia sekarang adalah mantu dari seseorang yang memegang nilai agama yang kuat.

Aku kemudian memalingkan wajahku ke arah bayi yang sedang digendongnya.

"Anak gue!" batinku langsung yakin kalau bayi itu adalah darah dagingku.

"Ma...mau apa kamu ke...sini!" ujar Icha terbata.

Aku sempat terkejut, ternyata bukan hanya penampilannya saja yang berubah tapi tutur katanya juga berubah. Dulu dia masih menggunakan 'lu gue' sekarang dia menggunakan 'aku kamu'.

Aku tersenyum lalu berujar dengan santai.

"Mau nengokin anak gue."

Icha menahan nafasnya mendengarkan perkataanku.

"Maaf sepertinya anda salah alamat."

Icha kemudian berusaha menutup kembali pintunya namun aku tahan dengan tangan kananku.

Duggg...

Hal itu membuat bayi yang digendongnya menangis. Icha kemudian sedikit panik. Di satu sisi dia masih berusaha untuk menutup pintu namun di sisi lain naluri keibuannya menyuruhnya untuk menenangkan bayi itu.

"Tenang Cha tenang! Gue gak ada maksud apa-apa."

Bayi itu menangis semakin keras. Icha akhirnya menyerah dan memilih untuk mencoba menenangkan bayinya.

"Usss...usss...usss..." bisik Icha lirih sembari menimang-nimang bayinya.

Kemudian Icha menyingkapkan hijabnya ke atas lalu mengeluarkan buah dadanya yang sebelah kiri lalu menyodorkan ke bayinya yang langsung disambut dengan kenyotan.

Aku lihat puting payudaranya menjadi lebih besar dari yang terakhir aku lihat.

"Anak cantik gak boleh nangis," ujarnya sambil terus menimang-nimang.

Dia melakukannya tanpa memperdulikan keberadaanku. Icha dengan sabar menenangkan bayi itu, padahal dulu dia orangnya cerewet dan cukup tempramental, tetapi setelah memiliki anak dia menjadi kalem.

Mungkin karena pengaruh lingkungan juga yang ada di sini. Diam-diam aku terpesona akan sosoknya yang sekarang.

"Siapa kak yang dateng?" seru seseorang dari dalam. Ternyata gadis yang tadi aku ikuti.

"Bukan siapa-siapa kok, kamu makan siang dulu gih, udah kakak siapin di meja makan," ujar Icha dari luar.

Kemudian Icha balik menatapku.

"Kalo kamu sudah gak ada urusan, lebih baik kamu pergi dari sini, sebelum Reza pulang," pintanya kepadaku.

Aku menghela nafas panjang.

"Oke gue akan pergi, tapi sebelum itu ijinin gue buat cium anak gue," ungkapku kepadanya.

"Iya sudah," balasnya singkat sembari menengok ke dalam rumah untuk memastikan tidak ada yang melihat.

Lalu aku mendekatkan bibirku pada bayi yang sedang menyusu itu.

Cuppp...

Aku mencium pipi kiri anakku agak lama, bau bedak bayi yang wangi masuk menyeruak ke dalam hidungku.

"Jaga anak kita baik-baik."

Kemudian dengan cepat aku mencium kening Icha. Dia tampak terkejut dan berusaka menahan dadaku dengan tangan kanannya, namun ciumanku begitu cepat sehingga ia tidak dapat menghindar.

"Sebaiknya kamu jangan pernah lakukan itu lagi," sergahnya kemudian langsung menutup pintu.

Ckreekkk...

Sejenak aku masih menatap pintu yang tertutup itu. Jadi ini rumah Reza dan istrinya, dan yang tadi diantarkan pulang aku asumsikan adalah adiknya yang pernah diceritakan oleh teh Adibah saat di rumah sakit. (Baca : Silsilah Keluarga Reza)

Aku penasaran apakah teh Adibah juga tinggal di rumah ini. Aku jadi teringat tentang semua perlakuan Reza terhadap keluargaku, saat dia dengan sengaja memberitahukan kepada kak Ranty akan skandalnya dengan ibuku yang membuat kak Ranty membenci ibuku sampai saat ini.

Mengingatnya emosiku sedikit naik. Dia telah menghancurkan keluargaku, dia harus menerima akibatnya. Lalu aku berusaha untuk menenangkan diri.

Sesaat aku lupakan dulu dendamku itu. Aku berbalik dari rumah itu, lalu kembali memesan ojol untuk kembali ke kampus Justin. Uang yang aku bawa sudah banyak yang aku keluarkan hanya untuk transportasi.

Entahlah apakah uangnya akan cukup untuk biaya hidupku di sini.

Setelah sampai di kampusnya lagi aku langsung menemui Justin yang sudah selesai kuliah.

"Darimana lu? kirain kesasar," sapa Justin kepadaku.

"Cuma jalan-jalan di sekitar sini aja," jawabku berbohong.

"Ya udah sekarang lu ikut kita, yuk!" ajak Justin kepadaku.

Aku mengiyakan saja tawarannya lalu kami menaiki mobil Justin. Dia duduk di belakang kemudi, lalu pacarnya berada di sebelahnya, sedangkan diriku berada di kursi belakang.

"Oh ya Ran, lu sementara tinggal di rumah gue dulu beberapa hari sampe hari selasa atau sampe lu dapet kost," pungkasnya sambil menyetir.

"Tapi..." ucapku tertahan.

"Semuanya gue yang tanggung, lu tenang aja," balas Justin langsung melihat keraguanku.

"Tapi itu tergantung sama keputusan manajer nanti, kalo lu gak lolos mending lu pulang aja ke rumah," imbuhnya lagi.

"Oke kalo gitu," jawabku singkat.

Sesampainya di depan rumah Justin, kamipun turun.

"Ternyata rumahnya yang ini!" kataku dalam hati mengetahui bahwa sejak awal aku datang, aku mondar-mandir di sekitar sini.

"Ayuk masuk," ajak Justin.

Kami lalu masuk ke dalam rumah yang cukup besar. Aku berdecak kagum karena baru pertama kali masuk ke rumah yang sebagus ini. Rumah milik Lisa saja kalah.

"Beib, kamu anterin Randy ke kamarnya yah, aku ke belakang dulu, udah kebelet," ucap Justin sambil berlalu pergi.

Pacarnya lalu menatap ke arahku.

"Ayuk sini."

Dia mengantarkanku ke kamar yang sudah disediakan. Saat dia membukanya aku melihat kamar yang rapih dan bersih.

"Waduh rapih amat kamarnya kak," ujarku sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar.

"Aku yang nyiapin nih, hihihi..." balasnya sembari tertawa kecil.

Dia kemudian mengambil remote ac lalu menyalakannya.

"Harusnya gak perlu repot-repot sih kak, hehehe..."

"Udah sante aja, lagian aku juga seneng kok ada penghuni baru di rumah ini, tinggal berdua di rumah sebesar ini boring banget," ungkapnya kepadaku.

"Haha,, bukannya malah jadi gak bebas ya kalo ada orang lain."

"Sssttt...bosen kali aku liat mukanya tiap hari, butuh pemandangan baru, hihihi..." ujarnya berbisik takut Justin tiba-tiba datang.

"Hahaha,, awas aku bilangin loh kak sama Justin."

Dia tidak menjawab dan hanya cekikikan menimpali candaanku. Aku tak menyangka ternyata dia orangnya humble dan asik. Sepertinya hari-hariku ke depan tidak terlalu buruk.

"Tenang aja kak, kalo lagi di rumah aku keluar kamar buat makan sama mandi doang, selebihnya aman," pungkasku sembari memberi tanda 'OK' dengan jariku dan mengedipkan satu mataku.

"Ihh, apaan sih."

Dia menjawab sambil menabok bahuku dan tertawa kecil.

"Oh ya kak, namanya siapa? dari awal belum kenalan, hehehe..."

Aku kemudian menyodorkan tanganku.

"Panggil aja aku Anes," jawabnya sambil menyambut tanganku.

"Oke Anes."

Kamipun berjabat tangan.

Beberapa saat kemudian Justin datang dan masuk ke kamar.

"Gimana Ran kamarnya?" tanya Justin kepadaku.

"Mantappp!" jawabku sembari mengacungkan dua jempol.

"Tapi lu jangan betah-betah ya, gue kasih tumpangan bentar aja, entar gue gak bebas lagi ena-ena, ya gak beib," ucap Justin sembari merangkut Anes dan menyunggingkan senyum nakal.

"Aww...aww...awww...!!! sakit beib...!!!" pekik Justin saat menerima cubitan dari Anes di pinggangnya.

Anes hanya memajukan bibir bawahnya ke arah Justin sambil melipat kedua tangannya di dada.

Mereka betul-betul pasangan yang serasi, yang satu tampan, tinggi, atletis dan seorang pemain basket, yang satunya cantik, putih, langsing bak seorang model.

"Tapi kayaknya Anes emang benar-benar seorang model deh," pikirku.

Percakapan kami akhiri sampai di situ. Justin dan Anes kemudian keluar dari kamar yang aku tempati.

Aku kemudian mengeluarkan beberapa barang-barang yang aku bawa dan menaruhnya di dalam lemari kosong yang berada di dalam kamar tersebut.

Setelah semua barangku beres, aku memutuskan untuk beristirahat sore itu. Kasur yang empuk ditambah sejuknya ac kamar itu membuatku terlelap tidur.

Di dalam tidurku aku memimpikan kak Ranty. Dia terus memanggil-manggil namaku, namun matanya menyiratkan sebuah kebencian.

"Huahhh...!!!"

Akupun terbangun dari tidurku. Aku usap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku baru sadar ternyata sejak aku sampai di Bandung aku belum mengabari kak Ranty sama sekali.

Kemudian aku cek hpku, dan benar saja kak Ranty berkali-kali menghubungiku. Dari pesan di whatsapp dia terlihat khawatir kepadaku, takut terjadi apa-apa denganku.

Aku jadi merasa bersalah, kemudian aku coba telfon dirinya, tidak ada jawaban. Aku melihat ke arah jam dinding. Pantas saja sekarang sudah jam 2 pagi, itu artinya aku sudah tidur 9 jam.

"Shit! perasaan gue baru tidur bentar kok udah jam segini," umpatku dalam hati.

Aku kemudian menutup telfonku yang tidak tersambung itu. Tiba-tiba...

Kruuyyukkk...kruuyyuukkk...

Terdengar suara perutku yang keroncongan. Memang sejak siang hari aku belum makan sama sekali.

Aku kemudian bangkit, namun aku tidak membawa bekal makan. Alhasil aku keluar kamar untuk mencari sesuatu untuk dimakan.

Saat aku melewati ruang tengah, aku melihat Anes sedang duduk sembari membaca majalah. Saat itu dia memakai kimono tidur yang ada tali di pinggangnya.

"Loh kak, belum tidur?" tanyaku kepadanya.

Anes kemudian memindahkan pandangannya ke arahku.

"Udah Ran, kebangun tadi gak bisa tidur lagi," jawabnya.

"Oh ya kak, ada makanan gak? laper nih."

"Udah abis Ran, tadi dimakan Justin semua, padahal udah aku sediain buat kamu," ucap Anes menjelaskan.

"Eh tapi ada mie instan mau? nanti aku bikinin, aku juga laper soalnya," tawarnya kepadaku.

"Boleh deh kak, daripada mati kelaperan, hehehe..."

"Bentar ya."

Anes kemudian bangkit dan menuju ke dapur. Baik sekali dirinya mau membuatkanku mie instan padahal aku bisa membuatnya sendiri.

Karena aku merasa tidak enak, maka aku menyusulnya untuk membantu membuat mie instan. Di dapur Anes sedang memanasi air untuk merebus mie.

"Sini aku bantuin kak," ujarku menawari bantuan.

Dia menoleh sejenak ke arahku.

"Ya udah itu bukain bumbunya terus taruh di piring."

Aku lalu menuruti perintahnya. Anes mulai memasukkan mie itu ke dalam panci berisi air mendidih.

Kami melakukan semua itu dengan diam. Saat sedang memasak tiba-tiba soled yang digunakan Anes terjatuh.

Krentanggg...

Aku kemudian berusaha untuk mengambilkan soled itu untuknya, namun secara bersamaan dia juga berusaha mengambilnya.

Alhasil kening kami saling berbenturan.

Dukkk...

"Aduh...!!!" pekik kami secara bersamaan lalu kami mengelus-elus kening kami yang berbenturan.

Beberapa saat kemudian kami berdua cekikikan melihat hal konyol barusan, lalu aku memungut soled itu dan memberikannya kembali.

"Ati-ati kak, hehehe..."

"Hehehe,, iya iya."

Lalu kami kembali melanjutkan memasak.

Setelah selesai Anes menghidangkan mie itu di dua piring yang berbeda. Kemudian kami mulai menyantap mie itu di atas meja makan.

Di sela-sela makan, Anes mulai membuka percakapan.

"Ran, kamu udah punya pacar belum?" tanya Anes kepadaku.

"Punya kak, kenapa?" Aku bertanya balik.

"Oh, dimana dia sekarang?"

"Di Jakarta kak."

Anes mengangguk pelan.

"Kenapa gak dibawa ke sini?"

"Ya elah, di sini kan masa depanku belum jelas, lagian dia juga masih harus lanjutin kuliah dua semester lagi," jawabku panjang lebar.

"Loh, bukannya kamu baru lulus SMA ya? kok bisa punya pacar mahasiswi?" tanya Anes heran.

"Hehehe,, ya bisa dong kak."

Aku sengaja tak menjelaskan detailnya, karena aku tak mau dia mengetahui kalau aku berpacaran dengan kakakku sendiri.

"Emang kamu gak kangen gitu, harus LDR begini?"

"Ya kangen sih, tapi mau gimana lagi?"

Anes hanya tersenyum kecut.

"Kalo kakak sama Justin?" tanyaku balik.

Sejenak dia menghentikan makannya lalu menatapku.

"Aku sama Justin kenapa maksudnya?"

"Maksudnya hubungan kakak sama Justin, kapan pertama kali ketemu, terus pacaran, sampe sekarang tinggal bareng di rumah ini," jelasku.

Anes kemudian memangku dagunya seraya matanya menatap ke langit-langit ruangan seakan sedang mereka ulang kejadian yang sudah berlalu.

"Hmm...pertama kali ketemu itu pas ospek, Justin itu dulu most wanted di kampus, baru masuk aja udah jadi idola cewek-cewek," ujar Anes.

"Oh, terus?"

"Terus pertama jadian waktu pesta ulang tahunnya yang ke 21 tahun, jadi semua temen kampusnya diundang termasuk aku, nah di pesta ulang tahun itu aku ditembak sama dia," ungkapnya sambil senyum-senyum dan tangannya menutupi mulutnya.

"Wah, romantis banget dong itu?" tanyaku yang ikutan tersenyum mendengar ceritanya.

"Banget!" jawabnya singkat dengan memberi penekanan kepada kata itu.

"Terus gimana kakak bisa tinggal bareng sama Justin?"

"Aku kan asalnya dari Manado, daripada aku ngekost mending aku tinggal sama Justin, yah itung-itung hemat uang kost sama uang makan kan, jadi aku bisa pake uang bulanan buat kebutuhan yang lain," jelasnya panjang lebar.

"Jadi orang tua kakak gak tau kalo kakak tinggal sama pacarmu?"

Anes mengatupkan bibirnya seraya menggelengkan kepalanya.

Aku hanya mengangguk paham. Ironi memang, di jaman sekarang sesuatu yang seperti itu memang sudah tidak dianggap tabu lagi.

Kami kemudian melanjutkan makan kami. Aku sengaja tak menanyakan lebih detail karena aku tahu persis jawabannya.

Saat itu aku selesai makan terlebih dahulu. Setelah aku mencuci piring bekas makanku, aku pergi menuju sofa ruang tengah.

Karena saat itu aku tidak mengantuk, aku memutuskan untuk mengecek hpku. Belum ada balasan dari kak Ranty. Memangnya apa yang aku harapkan? kak Ranty kan sedang tidur.

'Bodoh'

Aku kemudian membuka aplikasi lain untuk menghilangkan bosanku.

Saat sedang memainkan hpku tiba-tiba Anes datang menyusulku duduk di sofa.

"Belum ngantuk?" tanyaku kepadanya.

Dia hanya menggelengkan kepala lalu duduk tepat di sampingku. Anes lalu mengambil majalah yang tadi ia tinggalkan di atas meja.

Aku sejenak meliriknya namun aku kembali fokus ke hpku.

"Ran, menurutmu ini bagus gak?" tanya Anes sembari menunjukan sebuah gambar di majalah itu kepadaku.

Aku kemudian mendekatkan posisiku ke arahnya lalu meletakkan tanganku di sandaran sofa di belakang punggungnya.

Saat itu aku tertegun melihat cover majalah 'Femina' yang cukup terkenal itu. Ternyata itu adalah Anes yang menjadi foto modelnya.

"Wow," kataku singkat sambil bibirku melingkar membentuk huruf 'O'.

Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Anes kemudian melirik ke arah wajahku yang sedang terpukau.

"Gimana?" tanya dia lagi.

"Mantappp kak," jawabku dengan mengacungkan dua jempol.

Anes tampak tersenyum sumringah.

Dalam foto itu dia tampak sangat cantik dan feminim dibalut hem putih lengan panjang dengan bagian bawah menutupi hingga paha atasnya. Meskipun demikian majalah itu bukanlah majalah dewasa melainkan majalah fashion wanita.

"Kalo ini gimana?"

Dia kemudian membuka beberapa halaman selanjutnya. Aku kembali terkesima melihat foto-foto Anes di majalah itu.

"Bagus banget kak, sempurna hehehe."

Anes terlihat memajukan bibir bawahnya.

"Kata Justin biasa aja malah," ujar Anes.

"Ah masa iya sih?" tanyaku heran.

Dia hanya mengangguk dengan bibir yang belum dimundurkan. Lalu Anes menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Kalo gitu buat aku aja, hehehe..." ucapku setengah bercanda.

Anes sedikit memutar kepalanya ke arahku, lalu memicingkan matanya.

"Maksudnya?"

"Maksudnya majalahnya buatku hehehe..." Aku kembali menjawab dengan candaan.

"Ohh." Anes kembali memutar kepalanya ke posisi semula.

"Tapi kalo modelnya juga boleh," ungkapku dengan cukup lirih.

Ku lihat Anes kembali lagi memutar kepalanya dan menatapku dengan tajam. Bibirnya melongo.

Sejenak kami saling berpandangan. Anes menampakkan ekspresi wajah yang datar. Lalu aku mulai memajukan wajahku ke arah wajahnya senti demi senti.

Matanya sayu menatap tepat ke arah bibirku. Kepalanya semakin didongakkan, bibirnya semakin merekah.

Wajah kami sudah sangat dekat hingga aku dapat mencium bau harum yang keluar dari mulutnya karena saat itu dia bernafas tidak menggunakan hidung melainkan mulutnya.

Hingga saat itu tiba kami sama-sama memejamkan mata, dan...

To Be Continue...
 
Part 2. Rumah Baru

Aku memicingkan alisku. Wajahnya tampak sangat familiar. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya bahkan mengenalnya.

Setelah aku mengingat-ingat dengan seksama, aku baru sadar ternyata dia adalah...

ICHAAA...!!!

Aku sangat pangling pada waktu itu. Penampilannya berubah drastis dari yang dulu nakal, seksi, dan sensual sekarang menjadi wanita yang cantik, anggun, dan alim.

Maklum saja karena dia sekarang adalah mantu dari seseorang yang memegang nilai agama yang kuat.

Aku kemudian memalingkan wajahku ke arah bayi yang sedang digendongnya.

"Anak gue!" batinku langsung yakin kalau bayi itu adalah darah dagingku.

"Ma...mau apa kamu ke...sini!" ujar Icha terbata.

Aku sempat terkejut, ternyata bukan hanya penampilannya saja yang berubah tapi tutur katanya juga berubah. Dulu dia masih menggunakan 'lu gue' sekarang dia menggunakan 'aku kamu'.

Aku tersenyum lalu berujar dengan santai.

"Mau nengokin anak gue."

Icha menahan nafasnya mendengarkan perkataanku.

"Maaf sepertinya anda salah alamat."

Icha kemudian berusaha menutup kembali pintunya namun aku tahan dengan tangan kananku.

Duggg...

Hal itu membuat bayi yang digendongnya menangis. Icha kemudian sedikit panik. Di satu sisi dia masih berusaha untuk menutup pintu namun di sisi lain naluri keibuannya menyuruhnya untuk menenangkan bayi itu.

"Tenang Cha tenang! Gue gak ada maksud apa-apa."

Bayi itu menangis semakin keras. Icha akhirnya menyerah dan memilih untuk mencoba menenangkan bayinya.

"Usss...usss...usss..." bisik Icha lirih sembari menimang-nimang bayinya.

Kemudian Icha menyingkapkan hijabnya ke atas lalu mengeluarkan buah dadanya yang sebelah kiri lalu menyodorkan ke bayinya yang langsung disambut dengan kenyotan.

Aku lihat puting payudaranya menjadi lebih besar dari yang terakhir aku lihat.

"Anak cantik gak boleh nangis," ujarnya sambil terus menimang-nimang.

Dia melakukannya tanpa memperdulikan keberadaanku. Icha dengan sabar menenangkan bayi itu, padahal dulu dia orangnya cerewet dan cukup tempramental, tetapi setelah memiliki anak dia menjadi kalem.

Mungkin karena pengaruh lingkungan juga yang ada di sini. Diam-diam aku terpesona akan sosoknya yang sekarang.

"Siapa kak yang dateng?" seru seseorang dari dalam. Ternyata gadis yang tadi aku ikuti.

"Bukan siapa-siapa kok, kamu makan siang dulu gih, udah kakak siapin di meja makan," ujar Icha dari luar.

Kemudian Icha balik menatapku.

"Kalo kamu sudah gak ada urusan, lebih baik kamu pergi dari sini, sebelum Reza pulang," pintanya kepadaku.

Aku menghela nafas panjang.

"Oke gue akan pergi, tapi sebelum itu ijinin gue buat cium anak gue," ungkapku kepadanya.

"Iya sudah," balasnya singkat sembari menengok ke dalam rumah untuk memastikan tidak ada yang melihat.

Lalu aku mendekatkan bibirku pada bayi yang sedang menyusu itu.

Cuppp...

Aku mencium pipi kiri anakku agak lama, bau bedak bayi yang wangi masuk menyeruak ke dalam hidungku.

"Jaga anak kita baik-baik."

Kemudian dengan cepat aku mencium kening Icha. Dia tampak terkejut dan berusaka menahan dadaku dengan tangan kanannya, namun ciumanku begitu cepat sehingga ia tidak dapat menghindar.

"Sebaiknya kamu jangan pernah lakukan itu lagi," sergahnya kemudian langsung menutup pintu.

Ckreekkk...

Sejenak aku masih menatap pintu yang tertutup itu. Jadi ini rumah Reza dan istrinya, dan yang tadi diantarkan pulang aku asumsikan adalah adiknya yang pernah diceritakan oleh teh Adibah saat di rumah sakit. (Baca : Silsilah Keluarga Reza)

Aku penasaran apakah teh Adibah juga tinggal di rumah ini. Aku jadi teringat tentang semua perlakuan Reza terhadap keluargaku, saat dia dengan sengaja memberitahukan kepada kak Ranty akan skandalnya dengan ibuku yang membuat kak Ranty membenci ibuku sampai saat ini.

Mengingatnya emosiku sedikit naik. Dia telah menghancurkan keluargaku, dia harus menerima akibatnya. Lalu aku berusaha untuk menenangkan diri.

Sesaat aku lupakan dulu dendamku itu. Aku berbalik dari rumah itu, lalu kembali memesan ojol untuk kembali ke kampus Justin. Uang yang aku bawa sudah banyak yang aku keluarkan hanya untuk transportasi.

Entahlah apakah uangnya akan cukup untuk biaya hidupku di sini.

Setelah sampai di kampusnya lagi aku langsung menemui Justin yang sudah selesai kuliah.

"Darimana lu? kirain kesasar," sapa Justin kepadaku.

"Cuma jalan-jalan di sekitar sini aja," jawabku berbohong.

"Ya udah sekarang lu ikut kita, yuk!" ajak Justin kepadaku.

Aku mengiyakan saja tawarannya lalu kami menaiki mobil Justin. Dia duduk di belakang kemudi, lalu pacarnya berada di sebelahnya, sedangkan diriku berada di kursi belakang.

"Oh ya Ran, lu sementara tinggal di rumah gue dulu beberapa hari sampe hari selasa atau sampe lu dapet kost," pungkasnya sambil menyetir.

"Tapi..." ucapku tertahan.

"Semuanya gue yang tanggung, lu tenang aja," balas Justin langsung melihat keraguanku.

"Tapi itu tergantung sama keputusan manajer nanti, kalo lu gak lolos mending lu pulang aja ke rumah," imbuhnya lagi.

"Oke kalo gitu," jawabku singkat.

Sesampainya di depan rumah Justin, kamipun turun.

"Ternyata rumahnya yang ini!" kataku dalam hati mengetahui bahwa sejak awal aku datang, aku mondar-mandir di sekitar sini.

"Ayuk masuk," ajak Justin.

Kami lalu masuk ke dalam rumah yang cukup besar. Aku berdecak kagum karena baru pertama kali masuk ke rumah yang sebagus ini. Rumah milik Lisa saja kalah.

"Beib, kamu anterin Randy ke kamarnya yah, aku ke belakang dulu, udah kebelet," ucap Justin sambil berlalu pergi.

Pacarnya lalu menatap ke arahku.

"Ayuk sini."

Dia mengantarkanku ke kamar yang sudah disediakan. Saat dia membukanya aku melihat kamar yang rapih dan bersih.

"Waduh rapih amat kamarnya kak," ujarku sambil mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar.

"Aku yang nyiapin nih, hihihi..." balasnya sembari tertawa kecil.

Dia kemudian mengambil remote ac lalu menyalakannya.

"Harusnya gak perlu repot-repot sih kak, hehehe..."

"Udah sante aja, lagian aku juga seneng kok ada penghuni baru di rumah ini, tinggal berdua di rumah sebesar ini boring banget," ungkapnya kepadaku.

"Haha,, bukannya malah jadi gak bebas ya kalo ada orang lain."

"Sssttt...bosen kali aku liat mukanya tiap hari, butuh pemandangan baru, hihihi..." ujarnya berbisik takut Justin tiba-tiba datang.

"Hahaha,, awas aku bilangin loh kak sama Justin."

Dia tidak menjawab dan hanya cekikikan menimpali candaanku. Aku tak menyangka ternyata dia orangnya humble dan asik. Sepertinya hari-hariku ke depan tidak terlalu buruk.

"Tenang aja kak, kalo lagi di rumah aku keluar kamar buat makan sama mandi doang, selebihnya aman," pungkasku sembari memberi tanda 'OK' dengan jariku dan mengedipkan satu mataku.

"Ihh, apaan sih."

Dia menjawab sambil menabok bahuku dan tertawa kecil.

"Oh ya kak, namanya siapa? dari awal belum kenalan, hehehe..."

Aku kemudian menyodorkan tanganku.

"Panggil aja aku Anes," jawabnya sambil menyambut tanganku.

"Oke Anes."

Kamipun berjabat tangan.

Beberapa saat kemudian Justin datang dan masuk ke kamar.

"Gimana Ran kamarnya?" tanya Justin kepadaku.

"Mantappp!" jawabku sembari mengacungkan dua jempol.

"Tapi lu jangan betah-betah ya, gue kasih tumpangan bentar aja, entar gue gak bebas lagi ena-ena, ya gak beib," ucap Justin sembari merangkut Anes dan menyunggingkan senyum nakal.

"Aww...aww...awww...!!! sakit beib...!!!" pekik Justin saat menerima cubitan dari Anes di pinggangnya.

Anes hanya memajukan bibir bawahnya ke arah Justin sambil melipat kedua tangannya di dada.

Mereka betul-betul pasangan yang serasi, yang satu tampan, tinggi, atletis dan seorang pemain basket, yang satunya cantik, putih, langsing bak seorang model.

"Tapi kayaknya Anes emang benar-benar seorang model deh," pikirku.

Percakapan kami akhiri sampai di situ. Justin dan Anes kemudian keluar dari kamar yang aku tempati.

Aku kemudian mengeluarkan beberapa barang-barang yang aku bawa dan menaruhnya di dalam lemari kosong yang berada di dalam kamar tersebut.

Setelah semua barangku beres, aku memutuskan untuk beristirahat sore itu. Kasur yang empuk ditambah sejuknya ac kamar itu membuatku terlelap tidur.

Di dalam tidurku aku memimpikan kak Ranty. Dia terus memanggil-manggil namaku, namun matanya menyiratkan sebuah kebencian.

"Huahhh...!!!"

Akupun terbangun dari tidurku. Aku usap wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku baru sadar ternyata sejak aku sampai di Bandung aku belum mengabari kak Ranty sama sekali.

Kemudian aku cek hpku, dan benar saja kak Ranty berkali-kali menghubungiku. Dari pesan di whatsapp dia terlihat khawatir kepadaku, takut terjadi apa-apa denganku.

Aku jadi merasa bersalah, kemudian aku coba telfon dirinya, tidak ada jawaban. Aku melihat ke arah jam dinding. Pantas saja sekarang sudah jam 2 pagi, itu artinya aku sudah tidur 9 jam.

"Shit! perasaan gue baru tidur bentar kok udah jam segini," umpatku dalam hati.

Aku kemudian menutup telfonku yang tidak tersambung itu. Tiba-tiba...

Kruuyyukkk...kruuyyuukkk...

Terdengar suara perutku yang keroncongan. Memang sejak siang hari aku belum makan sama sekali.

Aku kemudian bangkit, namun aku tidak membawa bekal makan. Alhasil aku keluar kamar untuk mencari sesuatu untuk dimakan.

Saat aku melewati ruang tengah, aku melihat Anes sedang duduk sembari membaca majalah. Saat itu dia memakai kimono tidur yang ada tali di pinggangnya.

"Loh kak, belum tidur?" tanyaku kepadanya.

Anes kemudian memindahkan pandangannya ke arahku.

"Udah Ran, kebangun tadi gak bisa tidur lagi," jawabnya.

"Oh ya kak, ada makanan gak? laper nih."

"Udah abis Ran, tadi dimakan Justin semua, padahal udah aku sediain buat kamu," ucap Anes menjelaskan.

"Eh tapi ada mie instan mau? nanti aku bikinin, aku juga laper soalnya," tawarnya kepadaku.

"Boleh deh kak, daripada mati kelaperan, hehehe..."

"Bentar ya."

Anes kemudian bangkit dan menuju ke dapur. Baik sekali dirinya mau membuatkanku mie instan padahal aku bisa membuatnya sendiri.

Karena aku merasa tidak enak, maka aku menyusulnya untuk membantu membuat mie instan. Di dapur Anes sedang memanasi air untuk merebus mie.

"Sini aku bantuin kak," ujarku menawari bantuan.

Dia menoleh sejenak ke arahku.

"Ya udah itu bukain bumbunya terus taruh di piring."

Aku lalu menuruti perintahnya. Anes mulai memasukkan mie itu ke dalam panci berisi air mendidih.

Kami melakukan semua itu dengan diam. Saat sedang memasak tiba-tiba soled yang digunakan Anes terjatuh.

Krentanggg...

Aku kemudian berusaha untuk mengambilkan soled itu untuknya, namun secara bersamaan dia juga berusaha mengambilnya.

Alhasil kening kami saling berbenturan.

Dukkk...

"Aduh...!!!" pekik kami secara bersamaan lalu kami mengelus-elus kening kami yang berbenturan.

Beberapa saat kemudian kami berdua cekikikan melihat hal konyol barusan, lalu aku memungut soled itu dan memberikannya kembali.

"Ati-ati kak, hehehe..."

"Hehehe,, iya iya."

Lalu kami kembali melanjutkan memasak.

Setelah selesai Anes menghidangkan mie itu di dua piring yang berbeda. Kemudian kami mulai menyantap mie itu di atas meja makan.

Di sela-sela makan, Anes mulai membuka percakapan.

"Ran, kamu udah punya pacar belum?" tanya Anes kepadaku.

"Punya kak, kenapa?" Aku bertanya balik.

"Oh, dimana dia sekarang?"

"Di Jakarta kak."

Anes mengangguk pelan.

"Kenapa gak dibawa ke sini?"

"Ya elah, di sini kan masa depanku belum jelas, lagian dia juga masih harus lanjutin kuliah dua semester lagi," jawabku panjang lebar.

"Loh, bukannya kamu baru lulus SMA ya? kok bisa punya pacar mahasiswi?" tanya Anes heran.

"Hehehe,, ya bisa dong kak."

Aku sengaja tak menjelaskan detailnya, karena aku tak mau dia mengetahui kalau aku berpacaran dengan kakakku sendiri.

"Emang kamu gak kangen gitu, harus LDR begini?"

"Ya kangen sih, tapi mau gimana lagi?"

Anes hanya tersenyum kecut.

"Kalo kakak sama Justin?" tanyaku balik.

Sejenak dia menghentikan makannya lalu menatapku.

"Aku sama Justin kenapa maksudnya?"

"Maksudnya hubungan kakak sama Justin, kapan pertama kali ketemu, terus pacaran, sampe sekarang tinggal bareng di rumah ini," jelasku.

Anes kemudian memangku dagunya seraya matanya menatap ke langit-langit ruangan seakan sedang mereka ulang kejadian yang sudah berlalu.

"Hmm...pertama kali ketemu itu pas ospek, Justin itu dulu most wanted di kampus, baru masuk aja udah jadi idola cewek-cewek," ujar Anes.

"Oh, terus?"

"Terus pertama jadian waktu pesta ulang tahunnya yang ke 21 tahun, jadi semua temen kampusnya diundang termasuk aku, nah di pesta ulang tahun itu aku ditembak sama dia," ungkapnya sambil senyum-senyum dan tangannya menutupi mulutnya.

"Wah, romantis banget dong itu?" tanyaku yang ikutan tersenyum mendengar ceritanya.

"Banget!" jawabnya singkat dengan memberi penekanan kepada kata itu.

"Terus gimana kakak bisa tinggal bareng sama Justin?"

"Aku kan asalnya dari Manado, daripada aku ngekost mending aku tinggal sama Justin, yah itung-itung hemat uang kost sama uang makan kan, jadi aku bisa pake uang bulanan buat kebutuhan yang lain," jelasnya panjang lebar.

"Jadi orang tua kakak gak tau kalo kakak tinggal sama pacarmu?"

Anes mengatupkan bibirnya seraya menggelengkan kepalanya.

Aku hanya mengangguk paham. Ironi memang, di jaman sekarang sesuatu yang seperti itu memang sudah tidak dianggap tabu lagi.

Kami kemudian melanjutkan makan kami. Aku sengaja tak menanyakan lebih detail karena aku tahu persis jawabannya.

Saat itu aku selesai makan terlebih dahulu. Setelah aku mencuci piring bekas makanku, aku pergi menuju sofa ruang tengah.

Karena saat itu aku tidak mengantuk, aku memutuskan untuk mengecek hpku. Belum ada balasan dari kak Ranty. Memangnya apa yang aku harapkan? kak Ranty kan sedang tidur.

'Bodoh'

Aku kemudian membuka aplikasi lain untuk menghilangkan bosanku.

Saat sedang memainkan hpku tiba-tiba Anes datang menyusulku duduk di sofa.

"Belum ngantuk?" tanyaku kepadanya.

Dia hanya menggelengkan kepala lalu duduk tepat di sampingku. Anes lalu mengambil majalah yang tadi ia tinggalkan di atas meja.

Aku sejenak meliriknya namun aku kembali fokus ke hpku.

"Ran, menurutmu ini bagus gak?" tanya Anes sembari menunjukan sebuah gambar di majalah itu kepadaku.

Aku kemudian mendekatkan posisiku ke arahnya lalu meletakkan tanganku di sandaran sofa di belakang punggungnya.

Saat itu aku tertegun melihat cover majalah 'Femina' yang cukup terkenal itu. Ternyata itu adalah Anes yang menjadi foto modelnya.

"Wow," kataku singkat sambil bibirku melingkar membentuk huruf 'O'.

Hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Anes kemudian melirik ke arah wajahku yang sedang terpukau.

"Gimana?" tanya dia lagi.

"Mantappp kak," jawabku dengan mengacungkan dua jempol.

Anes tampak tersenyum sumringah.

Dalam foto itu dia tampak sangat cantik dan feminim dibalut hem putih lengan panjang dengan bagian bawah menutupi hingga paha atasnya. Meskipun demikian majalah itu bukanlah majalah dewasa melainkan majalah fashion wanita.

"Kalo ini gimana?"

Dia kemudian membuka beberapa halaman selanjutnya. Aku kembali terkesima melihat foto-foto Anes di majalah itu.

"Bagus banget kak, sempurna hehehe."

Anes terlihat memajukan bibir bawahnya.

"Kata Justin biasa aja malah," ujar Anes.

"Ah masa iya sih?" tanyaku heran.

Dia hanya mengangguk dengan bibir yang belum dimundurkan. Lalu Anes menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Kalo gitu buat aku aja, hehehe..." ucapku setengah bercanda.

Anes sedikit memutar kepalanya ke arahku, lalu memicingkan matanya.

"Maksudnya?"

"Maksudnya majalahnya buatku hehehe..." Aku kembali menjawab dengan candaan.

"Ohh." Anes kembali memutar kepalanya ke posisi semula.

"Tapi kalo modelnya juga boleh," ungkapku dengan cukup lirih.

Ku lihat Anes kembali lagi memutar kepalanya dan menatapku dengan tajam. Bibirnya melongo.

Sejenak kami saling berpandangan. Anes menampakkan ekspresi wajah yang datar. Lalu aku mulai memajukan wajahku ke arah wajahnya senti demi senti.

Matanya sayu menatap tepat ke arah bibirku. Kepalanya semakin didongakkan, bibirnya semakin merekah.

Wajah kami sudah sangat dekat hingga aku dapat mencium bau harum yang keluar dari mulutnya karena saat itu dia bernafas tidak menggunakan hidung melainkan mulutnya.

Hingga saat itu tiba kami sama-sama memejamkan mata, dan...

To Be Continue...
Kentang bayam
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd