Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Minyambouw [LKTCP 2021]

pujangga2000

Tukang Semprot
Daftar
14 Dec 2020
Post
1.466
Like diterima
22.353
Lokasi
Harlow
Bimabet
Cerita ini hanya fiktif belaka, walau nama nama yang tersebut real, namun itu hanyalah pelengkap cerita, murni ini hanya imajinasi penulis, tak ada niat bagi penulis untuk menjelekkan pihak tertentu, cerita ini hanya untuk hiburan semata, tidak menggambarkan fakta sesungguhnya.



Semoga bisa menikmati..



Minyambouw



“Kamu jadi mendaftar sebagai relawan ke sana mah?” tanya Dokter Fandi pada istrinya, saat mereka sarapan pagi itu.

“Jadi pah, kalau kata suster theresia namaku sudah dimasukkan dalam manifest ke pihak militer.” Jawab dr frieska.

“Papah gak ngelarang aku kan?” tanya Dokter Frieska.

“Ngelarangpun juga gak bakal pengaruh toh? Aku Cuma khawatir saja, Lihat saja di media, bagaimana situasi disana.” Ucap Dokter Fandi sambil menyeruput kopinya.

Dokter Frieska memandang suami yang sudah dinikahinya selama 15 tahun ini, sebenarnya dia suprise dengan sikap suaminya ini, biasanya suaminya tak peduli dengan apa yang dilakukannya, kok kini tiba-tiba dia peduli?

15 tahun lalu, Dokter Frieska baru saja lulus dari kedokteran, sungguh terkejut saat tiba-tiba ayahnya mengatakan kalau ada salah satu pihak kerabat ayahnya ingin menjadikannya sebagai menantu.

Calon suaminya adalah seorang dokter lulusan luar negeri, putera seorang dokter orthopedi terkenal di negeri ini, siapa yang tak kenal Prof Wijaya? Dia adalah dokter yang sangat dihormati oleh negeri ini, berbagai bintang jasa dari pemerintah telah menjadi koleksinya, dulu dia adalah kepala dokter kepresidenan saat mantan presiden kedua berkuasa.

Singkat kata, Dokter Frieska tak punya kuasa untuk nenolak perjodohan itu, bahkan sebenarnya banyak yang iri dengan keberuntungannya, menjadi bagian keluarga wijaya adalah impian bagi setiap keluarga dokter di negeri ini.

Kepribadian Dokter Frieska dan Suaminya sungguh sangat bertolak belakang, Dokter Frieska adalah pribadi yang supel gemar bertualang, dan spontan, sedangkan suaminya sangat terorganisir, tak pernah ada kata spontan dalam kamus dokter affandi, semua harus terukur dan terencana, bahkan memiliki anakpun mereka telah berencana sejak awal.

Setelah menikah tak ada bulan madu yang romantis bagi pasangan baru itu, pada awalnya Dokter Frieska sungguh tak tahan dengan sikap suaminya, namun lambat laun Dokter Frieska mulai bisa memaklumi dan terbiasa, apalagi dokter affandi dan juga mertuanya telah menepati janji tak akan melarang kegiatan yg disukai oleh Dokter Frieska.

Setahun lalu Dokter Fandi digosipkan memiliki istri muda, yaitu perempuan muda yang selama ini menjadi asisten pribadinya, dan memang itu adalah kenyataan bukan rumor, Dokter Frieska tahu langsung dari suaminya sendiri, dan anehnya tak ada rasa sakit hati atau kecewa di hati Dokter Frieska.

Jika ditanya apakah Dokter Frieska mencintai suaminya, dia pasti akan bingung menjawab, Bertahun-tahun hidup bersama suaminya tak pernah sekalipun suaminya bersikap romantis, walau setiap annyversary atau ulang-tahun mereka masing-masing dirayakan meriah, namun itu hanyalah simbolisme saja untuk menunjukkan ke publik kalau mereka adalah keluarga impian negeri ini.

Sebagai suami istri mereka sudah lama tidak berhubungan seks, bahkan dikamarpun mereka tidur di ranjang masing-masing, satu-satunya alasan mereka tak bercerai adalah Michele Wijaya, putri semata wayang mereka yang beranjak remaja.

Mereka berpikir perceraian akan membuat keluarga mereka menjadi bulan-bulanan media, mereka tahu posisi mereka di negeri ini, kehidupan mereka bukanlah kehidupan keluarga biasa, mereka adalah selebriti yang selama ini menjadi tauladan setiap pasangan suami istri di negara ini, simbol harmonis suatu keluarga, selama ini mereka adalah media darling, sang istri yang aktif di organisasi sosial, dan menjadi relawan nomor satu di berbagai daerah konflik atau bencana, sang suami yang dikenal sebagai salah satu dari sedikit orang Asia yang mampu lulus dengan nilai memuaskan dari sekolah kedokteran Inggris, perceraian akan membuat mereka menjadi musuh utama negeri ini, dan imbasnya akan merugikan bagi perkembangan mental putri mereka.

Ya itulah yang menjadi pertimbangan mereka hingga mampu bertahan selama 15 Tahun hidup dalam ikatan suami istri, namun mereka juga sepakat untuk bercerai saat puteri mereka sudah berkuliah, mereka menganggap saat itu Michelle telah dewasa, dan mampu memahami keadaan yang terjadi pada orangtuanya.

Namun sebulan belakangan ini, Dokter Frieska menyadari ada yang berubah dari suaminya, soal kaku, suaminya masih sekaku kanebo kering, tidak ada sedikitpun yang berubah, namun belakangan suaminya sering marah jika Dokter Frieska pulang larut tanpa memberi kabar, padahal sudah bertahun-tahun Dokter Frieska tidak pernah memberi kabar pada suaminya tentang aktifitas yang dilakukannya, lalu mengapa baru sekarang dia begitu kesal dan marah.

Begitu juga soal keberangkatan Dokter Friska ke Papua sebagai sukarelawan, suaminya itu setiap hari bertanya terus tentang jadi atau tidaknya dia berangkat, sambil memberi beberapa kabar tentang situasi yang mencekam di papua, bahkan belakangan ini seringkali suaminya mengirimkan tautan berita tentang kondisi papua yang kacau melalui pesan Whatsapp.

Bagi Dokter Frieska yang telah berpengalaman sebagai sukarelawan, berita media terkadang terlalu bombastis sehingga kurang valid dengan kondisi sesungguhnya di lapangan, saat dia menjadi relawan di poso, media selalu memberitakan berbagai berita penculikan dari kelompok teroris, namun di lapangan tempat Dokter Frieska bertugas sama sekali tak terjadi apa-apa, kehidupan masyarakat disana normal-normal saja, Dokter Frieska menganggap media menggeneralisir suatu bagian kawasan yang kacau menjadi keseluruhan kawasan.

Perubahan sikap suaminya itu membuat Dokter Frieska bingung, apakah suaminya mulai memperhatikan istrinya ini? Atau apakah dia sudah mulai sayang pada istrinya ini? Hello kemana saja kamu selama ini? Sudah setua ini baru kamu melihat sosok aku?

Tua? Tidak, Dokter Frieska di usianya yang 40 an masih terlihat cantik, penampilannya tak kalah dengan mahasiswi-mahasiswinya di fakultas kedokteran tempatnya mengajar sebagai dosen tidak tetap, sikapnya yang supel membuat kecantikannya glowing bagi orang-orang yang mengenalnya, dimanapun dia berada, aura positif selalu terpancar dari bahasa tubuhnya, tubuhnya ramping proporsional, Dokter Frieska aktif mengikuti zumba, filates dan yoga setiap dua minggu sekali, klinik kecantikan terkenal menjadi langganannya merawat wajah dan kulitnya, sehingga tak heran Dokter Frieska terlihat cantik luar dalam.

Dokter Frieska sangat yakin, tidak sulit bagi wanita manapun untuk mencintai suaminya itu, statusnya sebagai dokter terkenal, kaya raya, wanita mana yang akan menolak? Namun itulah masalahnya, Dokter Frieska tidak tahu apakah dia mencintai suaminya atau tidak, kalau sekedar sayang sudah pasti dia sayang, mustahil tak sayang dengan orang yang sudah hidup bersama dengannya selama 15 tahun.

Perceraian merupakan jalan terbaik bagi keduanya, paling tidak itulah yang dipikirkan Dokter Frieska, dengan perceraian maka suaminya bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini tak dia dapatkan darinya. Ya itulah jalan yang terbaik.

***

3 Hari kemudian

Tepat pukul 09.00 pagi, sekumpulan relawan yang akan dikirim ke papua telah berkumpul bersama di sebuah ruangan di kawasan pangkalan Udara TNI AU Halim Perdana kusuma, mereka menunggu kedatangan Kapten Bambang yang akan memberikan briefing terakhir sebelum mereka take off

Tak berapa lama Kapten Bambang datang, pria simpatik itu tampil dengan pakaian loreng yang membuatnya semakin gagah, dengan ramah Kapten Bambang menyapa dan menyalami satu persatu para relawan.

Relawan yang bertugas berjumlah 11 orang, terdiri dari 5 orang perempuan dan 6 orang laki-laki, 4 orang relawan berasal dari Persatuan Gereja Indonesia, dan 7 lainnya berasal dari relawan muslim yang tergabung dalam Mer-C, terlihat harmonisasi dan solidaritas antar agama disana, dan yang lebih uniknya relawan-relawan itu juga mewakili bhineka tunggal Ika semboyan negeri ini, ada Dokter Frieska yang keturunan chinese, suster theresia yang berasal dari ambon, Ratna gadis muda yang mengenakan hijab berasal dari Jawa, Anton pardede pemuda ngocol dari tanah samosir, Markus pemuda NTT, Dalius yang kerap dipanggil buyung anak muda dari solok, lalu Santi dan Rahman dari bandung. Made pemuda Bali yang sangat sopan, Darman pemuda Solo yang pendiam dan yang terakhir ada Sekar gadis periang asal yogya.

Kapten Bambang memberikan briefing tentang kondisi lapangan tempat mereka bertugas, rencananya para relawan itu akan bertugas selama 15 hari, dengan tugas utama melaksanakan kegiatan pengobatan termasuk juga vaksinasi bagi para masyarakat di kawasan terpencil. Kapten Bambang juga memastikan bahwa TNI akan melindungi kegiatan para relawan tersebut selama berada disana, dan tak lupa Kapten Bambang meminta para relawan tidak menelan informasi yang belum valid selama berada disana.

Setelah selesai Briefing, dengan dipimpin oleh Kapten Bambang, rombongan relawan kemudian masuk ke perut pesawat hercules yang akan membawa mereka ke Papua, Rute pertama perjalanan hercules ini menuju Lanud Hasanuddin untuk menjemput satu pleton pasukan yang akan menggantikan pasukan lama di Papua, setelah itu pesawat akan melanjutkan perjalanan ke Lanud Pattimura Ambon untuk mengisi logistik keperluan operasional TNI, Pendaratan terakhir adalah Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat.

Para relawan tersebut telah terbiasa dengan kondisi di pesawat hercules, bahkan Anton Pardede langsung aja menggeser sebuah logistik yang bertuliskan makanan sebagai tempat bersender, jangan harap ada kursi empuk di pesawat jenis ini, hanya ada sebuah kursi mirip tandu yang diikat semacam tali, bahkan Kapten Bambang tak sungkan untuk duduk ngemper di lantai pesawat, punggungnya bersender pada sebuah kotak kayu bertuliskan Amunisi, jumlah kru pesawat ini ada 5 orang, dua orang pilot, satu orang teknisi, satu pengarah navigasi atau navigator, dan satu orang lagi adalah load master yang bertugas mengatur arus logistik yang naik-turun pesawat.

***​

Seorang pria bertubuh tegap, menggunakan kaos loreng tengah menikmati pemandangan pegunungan Arfak yang begitu indah, pria itu adalah Mayor Pramana Yudha, yang akrab dipanggil Mayor Pram, dia adalah Komandan Satgas Pamrahwan Grup 3 di distrik Menyambouw.

Setiap kali hatinya rindu dengan keluarga di rumah, Mayor Pram selalu pergi ke tempat ini, dengan memandang pegunungan dan danau yang tenang membuat rindu dalam hatinya sedikit terobati, apalagi jaringan komunikasi seluler belum sempurna di tempat ini, sangat sulit baginya menghubungi keluarganya di Solo melalu media seluler.

Sudah hampir 15 bulan dia bertugas disini, selama itu pula dia tak bertemu dengan keluarganya, untung saja selama bertugas tidak ada insiden fatal yang membuatnya terbunuh, para pemberontak sesekali melakukan penyerangan minor yang mudah diatasi, 21 hari lagi masa tugasnya di Papua berakhir, dan pangkat Letkol akan segera terpasang di pundaknya.

Seorang pria berkaos loreng mendekatinya, Mayor Pram menoleh sebentar, pria yang baru datang itu berdiri disamping Mayor Pram, dia adalah Lettu Anton Sihombing,

“Kucari kemana-mana tak tahunya disini rupanya komandan, Pasti lagi kangen dengan yang dirumah ya Ndan.” Ujar Lettu Anton, Mayor Pram tak menjawab, pandangannya tetap lurus ke pegunungan Arfak yang mulai diselimuti kabut.

“Ada apa Ton, kenapa mencari saya.” Tanya Mayor Yudha.

“Mengenai para relawan itu ndan, rasanya awak ni punya usul, bagaimana kita buat penyambutan kecil-kecilan untuk mereka.” Jawab Lettu Anton.

“Ada-ada saja kau ini Ton, apa usulmu, penyambutan macam apa yang mau maksud.” Tanya Mayor Pram.

“Itulah yang awak bingung ndan, ah sudahlah tak perlu kali ya..” jawab Lettu Anton menggaruk kepalanya yang sedikit botak.

“Jam berapa mereka tiba Ton.” Tanya Mayor Yudha lagi.

“Kalau tak ada halangan mungkin jam 4 sore ini mereka sudah tiba.” Jawab Lettu Anton.

“Eh coba Komandan lihat artikel ini, awak bingung, kenapa perempuan secantik ini, kaya raya pulak, kok mau jadi relawan, apa yang dia cari, sungguh bingung awak.” Ucap Lettu Anton sambil menunjukkan sebuah artikel majalah pada Mayor Pram.

Mayor Pram memperhatikan foto Dokter Frieska yang menjadi artikel disana, Mayor Pram juga banyak mendengar cerita tentang dokter satu ini, walau dia tak pernah berjumpa, namun melihat aktivitasnya yang tak biasa, membuat Mayor Pram cukup kagum dengan dokter tersebut.

“Jujur saja Ndan, awak sebenarnya ngefans dengan beliau, bukan hanya karena cantik, tapi itu hatinya sangat baik sekali ndan, dan sekarang awak beruntung bertemu dengan dia sekarang, tak apalah tugas diperpanjang 2 bulan kalau akhirnya bisa bertemu dengan idola hahah..” Kelakar Anton

Mayor Pram tersenyum pada anak buahnya itu, dia menyerahkan artikelnya kembali pada Lettu Anton. “sudah mandi kau Ton? Mau bertemu idola badanmu bau tikus gitu..” ucap Mayor Pram

Lettu Anton langsung mencium kaosnya dan lipatan ketiaknya, “apa ya badanku bau tikus?”

Mayor Pram tertawa dan berjalan kembali ke kendaraannya, dibelakangnya Lettu Anton masih menciumi kaos yang dipakainya, “Tak adalah awak bau tikus, Ndan tunggu apa benar badan awak bau tikus , ndan…” Lettu Anto berlari mengejar komandannya yang telah jauh meninggalkannya.

***

Suara menderu dan terpaan angin kencang dari baling-baling heli MI-17 menemani para relawan itu turun dari heli, mereka menundukkan kepala sambil bergeas menjauhi heli. Di belakang mereka, Kapten Infanteri Bambang, berlari menghampiri Mayor Pram yang telah menunggu kedatangan mereka.

“Lapor, pengantaran dan pengawalan para relawan telah selesai dilaksanakan, laporan selesai.” Kapten Bambang dengan sikap sempurna melapor ke Mayor Pram.

“Kembali ke tempat.” Balas Mayor Pram singkat, Kapten Bambang Mengulang ucapan Mayor Pram, lalu balik badan dan melangkah kedepan, dua langkah kemudian dia kembali menghampiri Mayor Pram.

“Ini Ndan, data para nakes yang datang.” Kapten Bambang memberikan sebuah amplop Coklat pada Mayor Pram.

“Kau kembali ke Jawa Bang?” tanya Mayor Pram.

“Aku ditugaskan ke Timika Ndan, persiapan kedatangan RI 1.” Jawab Kapten Bambang.

“Mau kirim suratkah Ndan?” tanya Kapten Bambang kemudian.

“Ho oh, tak kira sampeyan balik ke Jawa.” Jawab Mayor Pram.

“Sini kubawa, kayaknya grup 4 akan ganti shift, biar kuberikan pada Mayor Budiman suratnya.” Ucap Kapten Bambang.

“Walah iyo toh, oke ini suratnya Bang, jo lali yo..” Mayor Pram memberikan sebuah amplop coklat ke Kapten Bambang, surat untuk keluarganya di rumah.

“86 Ndan, yo wes aku balik dulu Ndan, sudah sore, jarak pandang heli terbatas nanti.” Kapten Bambang memberi hormat pada Mayor Pram, lalu berlari menuju heli yang masih siaga.

Para relawan tadi telah masuk ke dalam markas, mereka diantar ke salah satu ruangan dalam markas, biasanya ruangan itu berfungsi sebagai ruangan briefing satgas grup 3. Beberapa ibu-ibu dari desa setempat membantu menyediakan hidangan dan minuman sederhana sebagai penyambutan para relawan tersebut.

Mayor Pram masuk ke ruangan diikuti Letnan Anton, Mayor Pram duduk di Dekat Suster Theresa dan Dokter Frieska, Letnan Anton juga duduk disana mendampingi komandannya.

“Silahkan dicicipi, maaf kalau terlalu sederhana, mohon dimaklumi ya..” ucap Mayor Pram

“Ah ini juga sudah lebih dari cukup pak, lihat tuh mereka sepertinya kelaparan sekali.” Jawab Suster Theresa sambil tersenyum melihat rekan-rekan relawan begitu lahap menyantap hidangan.

“Silahkan, bapak dan ibu jangan malu-malu ya..” ujar Mayor Pram.pada para nakes.

“Tak mungkin lah awak malu-malu Ndan, yang ada kita-kita ini malah memalukan, tolong dimaklum ya Ndan, sudah berteriak-teriak cacing di perut saya ini sejak tadi.” Sahut si ngocol Anton

Serempak semua tertawa mendengar logat bicara yang lucu dari Anton, ibu-ibu warga lokal ikut tertawa sambil menutup mulutnya.

Suasana di Ruangan itu cukup riuh, para Relawan makan dengan lahap, mereka makan sambil bercerita pengalaman menempuh perjalanan selama 8 jam tadi..

***



“Selamat sore para ibu dan bapak sekalian, suatu kebanggaan bagi kami atas kedatangan bapak-ibu sekalian disini, perkenalkan nama saya adalah Pramana Yudha, saya adalah komandan satgas Pamrahwan grup 3, ini adalah rekan saya Letnan Anton Sihombing, yang berdiri didekat pintu adalah Sersan Rahman, dan ada sekitar 60 orang prajurit TNI disini, yang mungkin nanti bisa bapak-ibu kenalan sendiri.” Sapa Mayor Pram setelah mereka selesai makan.

“Kalau dari CV yang saya terima, ternyata bapak-ibu sekalian sudah berpengalaman menjadi relawan di daerah konflik, jadi rasanya tak perlu panjang lebar menceritakan situasi yang bakalan bapak-ibu hadapi, seperti halnya di daerah konflik, situasi mungkin gak bisa dibilang stabil, walau terlihat tenang, selalu waspada adalah kunci dari keselamatan kita saat bertugas. SOP yang perlu diperhatikan adalah selalu melapor kepada kami jika ada panggilan darurat ke suatu wilayah, jangan pergi sendiri-sendiri, saya yakin semua paham kan.” Lanjut Mayor Pram, terlihat para relawan itu menganggukan kepalanya.

“Untuk Akomodasi, kami telah menyiapkan dua buah rumah bersebelahan, yang berjarak kurang lebih 100 meter dari pusat kesehatan, mohon dimaklumi keadaan Akomodasi pasti gak senyaman di rumah masing-masing, ehhmm…mungkin ada pertanyaan, silahkan, atau mungkin saya akan kasih kesempatan kepada Bu Theresia selaku koordinator untuk memperkenalkan rombongannya, silahkan bu.” Ujar Mayor Pram kepada Suster Theresia.

“Selamat sore, pertama-tama saya selaku koordinator relawan, mengucapkan banyak terima kasih kepada Dan Satgas Mayor Pramana Yudha dan rekan-rekan disini, terutama atas jamuannya yang sungguh lezat, apalagi perut kami sudah kelaparan hehehe.., Walau saya biarawati Gereja, namun kami hadir disini tidak membawa embel-embel Agama, kami murni demi kemanusiaan, kami datang dari berbagai lintas Agama, ada Rekan-rekan dari Palang Merah Mer-C, rekan-rekan nakes dari komunitas gereja, dan juga Rekan-rekan Nakes yang datang dari Departemen Kesehatan, dan untuk akomodasi, jangan khawatir Pak, selama gak kehujanan dan terlindung dari terik matahari, bagi kami sudah lebih dari cukup pak.” Ujar Suster Theresia sambil terus menebarkan senyum simpatiknya.

“Saya akan memperkenalkan singkat para Relawan yang ada di rombongan ini, wanita cantik yang mengenakan kacamata itu adalah Dokter Frieska, yang tadi yang bilang cacing perutnya sudah berdemo namanya Anton Pardede, lalu gadis manis yang mengenakan hijab adalah perawat Ratna, ….” Suster Theresia memperkenalkan satu persatu anggota relawan yang datang bersamanya.

Setelah selesai acara ramah tamah, mereka saling berbincang sejenak, terlihat Anton Pardede sedang berbincang dengan Letnan Anton Sihombing, di dekat mereka, Mayor Pram terlihat menjelaskan sesuatu pada beberapa relawan yang mengelilinginya, Tak lama para rombongan diantar menuju ke tempat akomodasi mereka masing-masing.

“**​

Pagi itu, setelah apel dan briefing rutin pagi hari, Mayor Pram bermaksud untuk memantau situasi di pusat kesehatan, dengan mengendarai motor, Mayor Pram menuju ke lokasi Pusat kesehatan yang berjarak 500 meter dari markas.

Mayor Pram melihat, pusat kesehatan itu cukup antusias di datangi warga yang hendak berobat, walau tidak terlalu ramai, namun Mayor Pram terlihat cukup senang dengan antusias warga yang begitu cepat menerima kehadiran para relawan itu, Mayor Pram memperhatikan Dokter Frieska yang sedang memberikan pelayanan kepada seorang Lansia, merasa seseorang memperhatikan, Dokter Frieska menoleh ke arah Mayor Pram, dia mengangguk dan tersenyum pada Mayor Pram, dan dibalas dengan anggukan juga oleh Mayor Pram.

Pagi ini cuaca terlihat cerah, dari laporan prajurit yang memantau pos luar, tidak ada gerakan mencurigakan dari kelompok separatis bersenjata, wilayah ini memang relatif aman dan terkendali jika dibandingkan dengan wilayah lain di bumi papua ini.

Mayor Pram kembali mendatangi bukit untuk melihat gunung Arfak yang indah dengan lapisan salju, 21 hari dari sekarang, Mayor Pram akan pulang bertemu dengan keluarganya yang telah ditinggalkan hampir 2 tahun ini, sungguh 21 hari itu terasa begitu panjang dan lama, oleh sebab itu Mayor Pram rutin mendatangi bukit ini, karena dengan cara ini dia bisa melewati hari-hari yang terasa membosankan.

Mayor Pram mengeluarkan Hpnya berharap keberuntungan mendapat sinyal, namun sepertinya sinyal jaringan seluler tidak stabil kembali.

“Susah ya pak sinyal disini.” Suara merdu seorang wanita mengejutkannya, Mayor Pram menoleh ke arah suara.

“Dokter Frieska? “ Ucap Mayor Pram.

“Maaf kalau saya membuat Pak Mayor Kaget, tadi saya mencari pak Mayor, lalu diantar kesini oleh pak letnan Anton.” Ujar Dokter Frieska tersenyum, sesaat Mayor Pram cukup terpana melihat senyuman manis dokter cantik didepannya ini, faktor kerinduan pada istri yang membuatnya seperti itu.

“Oh, ada apa bu mencari saya?” Tanya Mayor Pram.

“Soal stok obat-obatan di pusat kesehatan sepertinya sudah banyak yang kurang.” Ucap Dokter Frieska.

“Ohh ya bu, nanti siang akan ada kiriman dari pusat bu, mungkin setelah makan siang supply akan tiba.” Ujar Mayor Pram.

“Syukurlah pak, wah..disini indah sekali ya pak, apa bapak sering kesini?” Dokter Frieska mendekati lereng tebing untuk melihat lebih dekat ke pemandangan spektakuler didepannya.

Tiba-tiba tanah yang diinjak Dokter Frieska sedikit longsor, dengan sigap Mayor Pram meraih pinggang dokter cantik itu, kalau saja Mayor Pram tidak sigap, mungkin Dokter Frieska telah terjatuh ke Jurang.

“Ughhh terima Kasih pak..” Ada perasangan hangat menjalar di sekujur tubuh Dokter Frieska saat berada dipelukan Mayor gagah itu, Begitupun Mayor Pram, hatinya bedebar keras saat mencium aroma harum tubuh perempuan yang berada dipelukannya ini.

Ehem…

Suara deheman seseorang mengejutkan mereka berdua, Mayor Pram melepaskan pelukannya dan bersikap salah tingkah. Matanya memandang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Letnan Anton.

“Saya gak nanya apa-apa kok Ndan.” Ucap Letnan Anton tersenyum pada komandannya yang terlihat merona karena malu.

“Lapor Ndan, di markas ada wikipedia rahasia tiba…” Ucap Letnan Anton sambil memberi hormat.

“wikipedia? Dari Pangkoops? “ Tanya Mayor Pram.

“Siap, Benar Ndan.” Jawab Letnan Anton.

Mereka bertiga kemudian turun menuju markas, Dokter Frieska menumpang di motor Letnan Anton, entahlah apa yang ada dibenak dokter itu memilih untuk di gonceng Oleh Letnan Anton daripada Mayor Pram.’

Mereka mengantar Dokter Frieska hingga di depan Puskes, “Nanti siang kalau stock perlengkapan medis tiba, kami akan drop ke sini dok.” Ujar Mayor Pram, Dokter Frieska hanya tersenyum mengangguk, Kedua tentara itu kemudian memacu motor mereka ke Markas.

***

“Pangkoops meminta kita menyiapkan sepertiga jumlah prajurit disini untuk di drop ke Timika, sebagai bantuan pengamanan kunjungan RI 1, itu isi wikipedianya Ton.” Ucap Mayor Pram.

“Wow sepertiga Ndan, apa karena dianggap daerah ini relatif terkendali jadi mereka meminta pasukan kita? Tapi kita punya tamu sekarang, bagaimana kalau para relawan itu akan mengunjungi desa-desa?” Letnan Anton terlihat tidak senang dengan perintah atasan mereka itu.

“Its an order Elte..suka atau tidak suka kita harus jalani perintah ini, sudahlah soal itu pasti mereka telah mempertimbangkan baik-baik, hanya 3 hari saja, sekarang tugasmu menyiapkan pasukan untuk dikirim ke sana, kabarnya nanti jam 14 kosong-kosong ,heli pengangkut pasukan akan tiba untuk menjemput, sekalian mendrop keperluan medis.” Ucap Mayor Pram kembali.

“Siap Ndan.” Letnan Anton memberi Hormat pada komandannya itu, Lalu Letnan Anton berbalik keluar dari ruangan Mayor Pram, sebelum menutup pintu, Letnan Anton diam memandang Komandannya, “Ndan, be carefull,” sambil menunjuk dadanya sendiri, Mayor Pram hanya terdiam, alisnya terangkat karena tak paham maksud ucapan anak buahnya itu.

Letnan Anton memandang pintu ruangan atasannya itu, 15 bulan bertugas bersama membuat hubungannya dengan Mayor Pram cukup akrab, bagi Letnan Anton, Mayor Pram bukan hanya komandannya, tapi sudah dianggap abangnya sendiri, teringat saat Mayor Pram curhat mengenai keluarganya, Mayor Pram cerita kalau istrinya minta untuk diceraikan, karena tidak tahan setiap saat was-was menunggu kabar buruk mengenai Mayor Pram, Letnan Anton melihat jelas betapa bingungnya perasaan Mayor Pram saat itu, dan kini kejadian saat dibukit membuat Letnan Anton menjadi khawatir, “Hati-hati abangku, jangan sampai kau kebingungan karena perasaan kesepianmu..”

Siang Hari terasa begitu cepat di bumi Papua ini, malam gulita pun semakin cepat menjemput menggantikan hari yang terang, langkah kaki Mayor Pram menghantarkannya kini didepan akomodasi para relawan, dilihatnya rumah panggung yang dihuni para relawan sudah temaram, sepertinya para relawan itu telah pulas memacu mimpi, “Belum tidur pak Mayor.” Suara merdu yang sama terdengar lagi.

Mayor Pramn menoleh, dilihatnya sosok semampai mengenakan jaket kaos berwarna pink tengah berdiri di pintu rumah yang menjadi akomodasi para nakes. “Bu Dokter juga kenapa belum tidur.” Mayor Pram mendekati sosok semampai itu, Mayor Pram duduk di anak tangga di bawah tempat Dokter Frieska berdiri.

“Sebentar pak Mayor.” Dokter Frieska masuk kembali ke rumah, tak lama dia keluar membawa dua buah mug berisi coklat hangat.

“Ini buat hangatin badan.” Mayor Pram menerima mug yang mengeluarkan asap tipis. “Terima Kasih bu.”

Dokter Frieska duduk di samping Mayor Pram, dipandangi wajah tampan maskulin di sampingnya, “Kelihatannya pak Mayor suka sekali menyendiri ya, tadi siang memandangi pegunungan, sekarang jalan-jalan sendiri juga.”

“Benarkah? Mungkin ya kali bu..” Mayor Pram tersenyum, entahlah sejak pertemuannya dengan dokter cantik ini tadi siang, Mayor Pram merasa ingin selalu menemui dokter ini

Malam semakin larut, namun bukan halangan bagi dua orang itu, mereka terlihat asik berbincang, sesekali mereka tertawa bersama, tawa mereka begitu lepas, keakraban mereka sungguh terlihat seolah mereka sudah lama saling mengenal.

Dari Baraknya Letnan Anton menghisap rokoknya dalam-dalam sambil memperhatikan Komandannya yang sedang asik berbincang dengan Dokter Frieska, Letnan Anton tersenyum melihat tawa komandannya itu terdengar lepas, sepertinya kehadiran dokter cantik itu, membuat hati komandannya sedikit terobati.

“Mudah-mudahan Abang, paham apa yang sedang abang lakukan, jangan sampai abang nanti kebingungan dan malah membuat luka baru..” Letnan Anton melemparkan puntung rokoknya ke jalan, dia kemudian masuk ke dalam barak untuk beristirahat.

***

Hari Ketiga para relawan berada di Minyambouw, semuanya hingga saat ini terlihat aman dan terkendali, kunjungan para relawan ke desa-desa untuk memberi pengobatan berjalan aman tanpa gangguan berarti, sepertinya pengurangan sepertiga pasukan tidak terlalu signifikan bagi keamanan yang terkendali di seluruh distrik

Letnan Anton telah berada di balik kemudi jeepnya, dia akan berangkat ke distrik sebelah untuk mengambil stok logistik untuk keperluan pasukan, Letnan Anton berangkat bersama 3 orang prajurit TNI yang akan membantunya mengangkut logistik

Beberapa relawan juga dijadwalkan mengunjungi desa untuk melakukan penyuluhan dan pengobatan kepada masyarakat disana, 5 orang prajurit ditugaskan untuk mengawal para relawan

Dokter Frieska dan relawan yang tersisa bertugas di Puskes, Masyarakat yang mengunjungi puskes memang lebih banyak dari hari sebelumnya, hal itu tak terlepas dari pendekatan yang dilakukan suster Theresia, Masyarakat kini mulai merasa nyaman dan percaya mengunjungi Pusat Kesehatan, tidak ada keluhan penyakit yang serius dari masyarakat yang mendatangi Pusat Kesehatan, hanya keluhan seputar Ispa, gangguan pecernaan, dan beberapa penyakit kulit, Dokter Frieska dengan ramah dan sabar melayani keluhan mereka satu persatu.

Mayor Pram tengah sibuk menerima Laporan rutin dari prajuritnya yang bertugas di pos pengintaian, sama seperti hari sebelumnya tak ada gerakan yang berarti dari kelompok pemberontak bersenjata, melalui jendela kayu ruangannya, Mayor Pram memeperhatikan beberapa prajurit sedang berlaari menjaga kebugaran tubuh mereka, beberapa parjurit lain sedang membersihkan senjata, rutinitas yang setiap hari terjadi di sini, Mayor Pram menatap kalender kecil di mejanya, 19 hari lagi dia akan pulang, namun entahlah, saat ini Mayor Pram berharap hari akan berlalu dengan lambat.

Suara Kopral Yudha melalui Ht di mejanya terdengar ingin bicara dengannya, Mayor Pram mengangkat Htnya, “silahkan Kopral..”

“Ndan ada situasi yang rumit, apa bisa komandan merapat..” Ucap Kopral Yudha

“Dimengerti, saya segera merapat..” sahut Mayor Pram, dirapihkan pakaian seragamnya, Mayor Pram bergegas menuju Pusat Kesehatan.

***

“Ini ndan, bapak itu mengatakan kalau istrinya sedang hamil dan sekarang kondisi istrinya sedang mengkhawatirkan , sejak tadi menurut beliau, istrinya mengeluh dengan keadaan perutnya, dan bu dokter ingin memeriksa keadaan istri bapak ini, cuma kan kita kekurangan personil Ndan untuk mengawal.” Kopral Yudha menjelaskan situasi yang terjadi.

“Saya harus memeriksa ke tempat bapak itu pak mayor, hal seperti ini adalah tujuan saya menjadi relawan.” Ujar Dokter Frieska penuh semangat.

“Ya saya paham bu, tapi keselamatan bu dokter dan para relawan adalah tanggung jawab kami, khususnya saya, dan sekarang kondisi kita sedang kekurangan personil, mungkin nanti saya coba kontak desa terdekat..” Ucap Mayor Pram berusaha menjelaskan pada Dokter Frieska.

“Desa terdekat? setau saya desa terdekat butuh waktu 2 jam ke sana, apakah kita akan membiarkan istri bapak ini menjadi parah atau bahkan meninggal!” Suara Dokter Frieska meninggi.

Mayor Pram mendekati Kopral Yudha, “Apakah orang ini bisa bahasa indonesia?”.

“Negatif Ndan, itu yang bikin saya curiga.” Bisik kopral Yudha.

Mayor Pram memperhatikan sosok pria yang datang meminta pertolongan itu, sekilas penampilannya tak ada yang berbeda dengan kebanyakan warga lokal disini, rupanya pria ini datang bersama dengan seorang pemuda yang lumayan mengerti bahasa indonesia, “Torang hanya mengantar pak tua ini bapak..” Ucap pemuda itu saat melihat tatapan tajam penuh curiga dari Mayor Pram.

“Gimana pak Mayor, kalau pak Mayor tidak bersedia, biar saya saja dan pak Anton Pardede berangkat ke rumah bapak itu, keselamatan dan nyawa saya adalah tanggung jawab saya sendiri pak mayor, bukan tanggung jawab bapak, saya lebih baik mengambil resiko daripada menyesal tak bisa membantu seseorang yang menjadi tugas saya.” Ucap Dokter Frieska menatap tajam Mayor Pram.

Mayor Pram melihat sinar kesungguhan dan perasaan tak gentar dari mata cantik itu, tekad perempuan yang ada di hadapannya ini sungguh kuat, rasanya hanya membuang waktu bagi Mayor Pram menjelaskan segala standar prosedur yang baku kepada dokter yang telah bulat tekadnya itu.

“Bu Dokter ikut saya.” Mayor Pram naik kembali ke sepeda motornya, “Ayo cepat, jangan buang waktu.” Suara Mayor Pram terdengar sedikit membentak kepada Dokter Frieska, walau bingung, Dokter Frieska naik membonceng Mayor Pram, yang segera memacu kendaraannya menuju markas.

Setengah berlari, Dokter Frieska mengikuti langkah cepat Mayor Pram, langkah mereka menuju ruangan perlengkapan, Dokter Frieska dengan bingung hanya mengikuti saja langkah Mayor Pram. Di sebuah ruangan, Mayor Pram mengambil dua buah rompi, yang satu dilemparkannya ke Dokter Frieska, “Pakai itu!” tanpa banyak bicara Dokter Frieska mengenakan rompi itu ditubuhnya, Dokter Frieska tahu ini adalah rompi anti peluru.

Mayor Pram kemudian mendekati Dokter Frieska, kini keduanya saling berhadapan cukup dekat, entah kenapa ada perasaan berdebar di hati Dokter Frieska berhadapan dengan Mayor gagah dihadapannya itu, wajah Dokter Frieska tertunduk sambil mengenakan rompinya tadi, tiba-tiba dia terkejut saat sebuah benda diletakkan di kepalanya, sebuah helm baja tentara dikenakan Mayor Pram di kepala wanita cantik itu.

“Jika kita mau menolong, maka kita perlu persiapan untuk menghadapi situasi yang tak kita inginkan, ini bukan Jakarta bu, ini daerah konflik, walaupun nyawa ibu memang milik ibu, namun negara memberikan saya tugas untuk menjaga nyawa ibu juga, begitu juga perasaan saya..” ucap Mayor Pram sambil mengikat tali pengaman helm.

Dokter Frieska bertambah berdebar hatinya, walau ucapan Mayor Pram tak terlalu jelas terdengar, namun entah kenapa membuatnya sesaat terlena, apalagi saat Mayor Pram membantu mengencangkan tali helm yang dikenakannya, rasanya jantung Dokter Frieska ingin melompat keluar, untuk pertama kalinya Dokter Frieska merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan, bahkan saat pubernya sekalipun.

“Ayo bu..kenapa malah diam.” Rupanya Dokter Frieska tak menyadari kalau Mayor Pram sudah tak berada di hadapannya, dia menoleh dan melihat Mayor Pram yang terlihat semakin gagah tengah menunggunya, Dokter Frieska menundukkan wajahnya sambil tersenyum tersipu, dia merasakan kehangatan menjalar di setiap pembuluh darahnya, diikutinya langkah pria gagah di depannya itu.

***​

“Tunggu 1 jam, jika gak ada kontak dari saya, langsung susul, paham!” Mayor Pram memberikan instruksi kepada Kopral Yudha.

“Siap ndan! Tapi ndan.” Ujar kopral Yudha cemas.

“Nanti jika Letnan Anton pulang, jelaskan situasinya pada dia, mengerti.” Kembali Mayor Pram memberikan instruksi pada anak buahnya itu.

“Ayo Pak!” Seru Mayor Pram pada dua orang lokal yang datang meminta bantuan itu, kedua orang itu segera naik ke motor mereka.

Kopral Yudha memandangi kedua motor yang semakin menjauh, hatinya berdebar keras, perasaan Kopral Yudha sungguh tidak enak dengan situasi ini.

Sementara itu…

Mayor Pram juga memiliki perasaan yang tidak enak dengan situasi ini, dia mencurigai orang yang meminta bantuan tadi, namun di satu sisi dia melihat kesungguhan tekad dari Dokter Frieska, Mayor Pram yakin kalau dokter itu akan berangkat sendiri tanpa dirinya, dan itu malah akan membuat situasi makin kacau.

Dengan waktu yang teramat singkat Mayor Pram harus memutuskan sesuatu, ya dia memilih untuk mengantarkan dokter itu sendirian, mungkin ini merupakan tindakan yang bodoh dan tak masuk akal, tapi sungguh dengan melihat parameter yang ada yaitu kondisi yang relatif stabil, Mayor Pram mengambil perjudian untuk mengantarkan Dokter Frieska sendirian.

Oleh sebab itu, Mayor Pram kembali ke markas untuk mengambil dan memakai peralatan tempur yang ada, entahlah naluri Mayor Pram sebagai tentara menyuruhnya untuk bersiap dengan situasi yang buruk, dan Mayor Pram memutuskan untuk tidak meminta beberapa prajurit ikut mengantarkannya, jika terjadi sesuatu maka dia sendiri yang akan menanggung resikonya, karena ini pihan yang dia harus ambil.

Atau mungkin Hatinya telah terpaut dengan dokter cantik itu, sungguh dia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukan ini, atau mungkin kondisi keamanan yang relatif stabil membuat dirinya lengah dan memutuskan melakukan ini, dibalik kemudi motornya, Mayor Pram mulai menyesali keputusannya ini.

Motor yang ditumpangi dua orang lokal itu semakin cepat didepan, Mayor Pram agak keteteran mengikutinya, motor itu terus melaju melewati beberapa rumah penduduk, menuju jalan setapak yang terlihat sepi, hati Mayor Pram mulai berdetak kencang, perasaannya semakin tak enak, jalan setapak ini terlihat semakin dalam menuju hutan, “Kemana motor itu!” Mayor Pram menghentikan motornya, matanya celingukan mencari dua orang lokal tadi yang menghilang.

Samar-samar telinga Mayor Pram mendengar suara riuh motor datang mendekat, “Ada apa pak Mayor?” Tanya Dokter Frieska saat melihat wajah Mayor Pram terlihat tegang.

Mayor Pram meletakkan telunjuk di bibirnya, dia turun dari motor dan membantu Dokter Frieska turun, Mayor Pram mengendap menyelinap ke balik semak yang menjulang tinggi, disana dia mengendap menunggu suara riuh yang terdengar semakin jelas mendekat.

“Ada apa Mas..” tanya Dokter Frieska, Mayor Pram menatap dokter cantik itu, entah kenapa hatinya sedikit berdesir mendengar Dokter Frieska memanggilnya mas, “sepertinya kita dijebak oleh dua orang tadi.” Jawab Mayor Pram setengah berbisik.

“Dijebak?” Tanya Dokter Frieska terkejut, refleks jari telunjuk Mayor Pram menyentuh bibir dokter cantik itu, “jangan bersuara.” Ucap Mayor Pram, Keduanya serentak menoleh, beberapa motor datang mendekat, Mayor Pram mengajak Dokter Frieska untuk sedikit mundur, Mayor Pram perlahan mengambil pistol di pinggangnya, Dokter Frieska menatap Mayor Pram , sedikit terkejut Mayor Pram melihat tak ada raut ketakutan di wajah cantik itu.

Sekitar 9 sampai 10 orang berwajah garang dengan berbagai senjata tajam dan panah turun dari motor, “Dimana mereka, cepat cari mereka!” ucap seorang bertubuh gempal dengan rambut gimbal yang kusut, sepertinya dia adalah pimpinan dari kelompok tersebut.

Mayor Pram menarik tubuh Dokter Frieska hingga telungkup sejajar dengan Tanah, “Tetap tenang, jangan bersuara.” Bisik Mayor Pram lirih, dari tempat persembunyiannya, Mayor Pram melihat salah seorang diantara kelompok itu mendekati posisinya, orang itu mengibaskan parang memotong semak dan semakin mendekat, Mayor Pram membidikkan pistolnya dengan siaga, sesaat kemudian letusan senjata terdengar memekakan telinga, kelompok yang baru datang itu serentak menoleh ke arah suara tembakan, mereka bergegas berlari menuju ke sana, sesosok tubuh tergeletak mengucurkan darah, “Timo..!” ujar salah seorang diantara mereka.

“Bangsat! Lekas cari mereka..” si gimbal pimpinan kelompok itu berteriak menyuruh anak buahnya mencari buruan mereka, “Itu mereka..” salah seorang kemudian menunjuk ke kesuatu arah, terlihat bayangan dua orang berlari menjauhi tempat mereka berada.

Mayor Pram menarik Tangan Dokter Frieska sambil berlari membelah hutan, Mayor Pram sungguh tak tahu kemana arah mereka berlari saat ini, yang dia tahu, bahwa dia harus segera meninggalkan tempat tadi sejauh mungkin.

Suara riuh para orang-orang yang mengejar mereka berdua terdengar menyeramkan, Mayor Pram terus berlari, tiba-tiba tangan Dokter Frieska terlepas dari genggamannya, Dokter Frieska terjatuh tersungkur ditanah, kakinya tersandung akar pohon yang menyembul, Mayor Pram menghentikan larinya, dia bergegas menuju Dokter Frieska yang meringis, “bu dokter!...apa bu dokter baik-baik saja?” tanya Mayor Pram terlihat khawatir, Dokter Frieska tersenyum, “saya gak apa-apa mas, bantu saya berdiri.” Dokter Frieska menjulurkan tangannya ke Mayor Pram.

“Bu dokter yakin? Masih kuat berlari?” Tanya Mayor Pram kembali, Dokter cantik itu mengangguk sambil tersenyum, suara riuh orang-orang yang mengejar mereka semakin terdengar dekat, Mayor Pram kembali berlari sambil memegang tangan Dokter Frieska, baru beberapa saat berlari Dokter Frieska menjerit “Ahhh kakiku mas sakitt..” Mayor Pram menghentikan langkahnya, dilihatnya dokter cantik itu meringis menahan sakit, kaki kiri dokter itu terangkat, kemudian Dokter Frieska terduduk sambil meringis menahan sakit.

“Mas Pram cepat pergi dari sini…cepat mas, mereka semakin dekat, aku tak bisa lagi berlari, cepat mas pergi…ini semua salahku, tinggalkan aku disini mas gak apa-apa..pliss cepat pergi..” suara Dokter Frieska terdengar bergetar menahan sakit dan juga tangis.

Mayor Pram kemudian berjongkok memegang bahu Dokter Frieska, “Jangan konyol, kalau saya meninggalkan bu dokter disini, kenapa juga saya perlu repot mengantar bu dokter dari awal!”

“Jika perlu saya akan menggendong bu Dokter, saya tidak akan kemana-mana tanpa bu dokter paham! Jadi jangan nyuruh saya melakukan hal konyol.” Tiba-tiba telunjuk Mayor Pram diletakkan kembali dibibirnya, Telinganya yang tajam mendengar suara semak-semak diterabas, langkah beberapa orang berlari terdengar semakin dekat, Mayor Pram melihat tak jauh dibelakang posisi Dokter Frieska ada sebuah pohon besar dengan batangnya menjuntai kearah bawah, sepertinya tak jauh dari tempatnya beradam, ada sebuah palung atau ngarai, dengan cepat muncul pemikiran baru dari Mayor Pram. Digesernya ransel punggungnya ke depan, Mayor Pram menatap tajam dokter cantik didepannya.

“Dengarkan perkataan saya baik-baik, jangan membantah, ikuti saja ok, no jangan bertanya, gada waktu untuk itu, sekarang saya akan berbalik, naik segera ke punggung saya, dan selama dipunggung saya, tolong tutup mata bu dokter hingga nanti saya suruh buka kembali, paham!” walau tak paham apa yang dibicarakan pria gagah ini, namun tatapan pria itu sungguh membuat dirinya tak punya keberanian bicara, Dokter Frieska mengangguk.

Mayor Pram jongkok membelakangi Dokter Frieska, langkah-langkah kaki para pemburunya semakin jelas terdengar, dengan bersusah payah Dokter Frieska akhirnya bisa naik kepunggung Mayor Pram, tiba-tiba ketakutan yang mulai menjalar di setiap aliran darahnya berganti menjadi rasa aman dan terlindungi, Dokter Frieska melingkarkan tangannya dengan erat ke pundak Mayor Pram.

“Apapun yang terjadi nanti, percayalah pada saya, jangan pernah lepaskan pegangan bu dokter dari saya, dan saya mohon jangan buka mata hingga saya suruh, paham bu!” bisik Mayor Pram sambil menoleh, dilihatnya kepala Dokter Frieska mengangguk lemah, Mayor Pram melihat ketakutan di raut wajah cantik perempuan yang ada digendongannya ini.

Dengan secepat kilat Mayor Pram bangkit dan berlari, berbarengan dengan kedatangan para pemburunya, salah seorang pemburu itu melihat keberadaan Mayor Pram, “Itu mereka, kejar mereka.”

Salah seorang pemburu itu melepaskan anak panah beracun ke arah tubuh Dokter Frieska bertepatan dengan tindakan nekat Mayor Pram melompat ke dalam ngarai, anak panah itu menggores celana panjang yang dikenakan Dokter Frieska, terdengar jeritan kesakitan dari dokter cantik itu.

Tubuh Mayor Pram dan Dokter Frieska bergulingan turun cepat kebawah, pelukan Dokter Frieska terlepas, tubuhnya terlempar bergulingan didepan Mayor Pram, Ngarai itu teryata cukup dalam dan curam, Mayor Pram menahan sakit dan perih saat bebatuan dan ranting menggores tubuhnya.

Sementara itu

Diatas ngarai, para pemburu melihat kearah bawah, mereka terkejut dengan aksi nekat tentara yang tengah mereka kejar, “Bagaimana bos, apa kita turun juga kesana?” salah seorang diantara mereka bertanya pada si rambut gimbal

“Gila lu..kalo lu mau kejar, sana turun sendiri, sudah kita kembali saja, kita laporkan bahwa mereka telah mati jatuh ke jurang.” Si rambut gimbal melihat kebawah ngarai yang di tumbuhi rerimbunan pohon.

***
 
Terakhir diubah:
“Apa!!” Letnan Anton yang baru tiba membawa logistik makanan duduk lemas mendengar kabar dari Kopral Yudha

“Sejak kapan komandan pergi?” Tanya Letnan Anton, nada suaranya terdengar geram dan cemas.

“Sekitar dua jam lalu bang, aku sudah mencari dengan beberapa orang prajurit namun jejaknya menghilang.” Jawab Kopral Yudha, lalu Kopral Yudha menceritakan kembali ucapan Mayor Pram sebelum berangkat, agar segera mencarinya jika dalam 1 jam tidak ada kontak dari Mayor Pram.

“Saat pergi, komandan mengenakan rompi anti peluru dan helm baja bang, dan beliau juga membawa ransel survival.” lanjut Kopral Yudha.

“Berarti komandan telah mencurigai orang yang datang minta bantuan itu, lalu kenapa dia tetap pergi.” Gumam Letna Anton.

“Bener bang, sepertinya komandan memang sudah curiga, namun dokter siapa namanya itu yang mengenakan kacamata.” Kopral Yudha berusaha mengingat.

“Dokter Frieska!” Ucap Letnan Anton.

“Nah iya, Dokter Frieska memaksa untuk mendatangi rumah orang yang meminta bantuan itu.” Ujar Kopral Yudha.

“Dokter Frieska? hmmm dugaanku benar, ada sesuatu diantara mereka berdua.” Batin Letna Anton.

“Lalu apakah orang yang meminta bantuan itu menyebutkan nama desanya?” tanya Letnan Anton.

“Negatif bang, soalnya orang itu bicara dengan Dokter Frieska didalam, ada satu orang lagi yang datang bersamanya, sepertinya orang itu yang menerjemahkan untuk Dokter Frieska, oh ya, saat pergi, Dokter Frieska juga menggunakan rompi anti peluru dan helm baja bang.” Jawab Kopral Yudha.

Anton mengernyitkan keningnya, dia mulai menganalisa rekonstruksi kejadian, sepertinya Mayor Pram memang sudah curiga, namun karena Dokter Frieska memaksa untuk pergi, mau gak mau Mayor Pram harus menemaninya, dan sepertinya Mayor Pram memang telah bersiap untuk situasi terburuk.

“Bang, bagaimana sekarang, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Kopral Yudha.

“Kamu kembali ke posmu dulu, biar saya berpikir tenang, lagipula kita belum tahu apa yang terjadi, coba kamu selidiki siapa orang yang mengantar bapak yang minta bantuan itu, sementara itu kita berdoa aja supaya tidak terjadi apa-apa dengan Mayor Pram dan Dokter Frieska.” Jawab Letnan Anton.

“Siap Bang, saya permisi dulu.” Kopral Yudha berpamitan.

“Yud..” Letnan Anton memanggil Kopral Yudha kembali.

“ Ya Bang..”

“Tolong rahasiakan dulu kejadian ini dari siapapun, saya gak mau tiba-tiba menjadi kepanikan.”

“Siap Pak! Dimengerti.” Sebelum meninggalkan ruangan itu, Kopral Yudha memberi hormat pada atasannya itu.

Letnan Anton terpekur memegang kepalanya yang tiba-tiba menjadi pening, dia tak menyangka perwira sekelas Mayor Pram bisa berbuat nekat seperti itu, “Ini adalah pelanggran prosedur yang sangat fatal, dan Bang Pram tahu benar tentang itu, ahhh memang benar dugaanku, kalau abangku itu menaruh hati pada Dokter Frieska, cinta memang benar-benar rumit, perwira hebat seperti bang Pram bisa blunder fatal seperti itu, aku benar-benar tak paham.”

***​

Mayor Pram membuka matanya perlahan, seluruh bagian tubuhnya terasa nyeri, sesaat dia merasa kehilangan fokus, matanya berputar memandangi sekelilingnya, rimbunnya pepohonan membuat sinar mentari terlihat mengalami kesulitan menerangi tempat ini, “Dimana aku berada..” diusapnya kepalanya, terasa benda keras disana, Mayor Pram baru sadar dan mulai mengingat apa yang terjadi, helm baja yang dikenakannya masih melekat erat melindungi kepalanya, untung saja Mayor Pram mengenakan pelindung kepala, sehingga benturan bebatuan saat dirinya terjatuh berguling-guling tidak mengakibatkan hal yang fatal.

Tiba-tiba kekuatannya seolah kembali begitu saja saat teringat dia terakhir bersama Dokter Frieska, Mayor Pram duduk dan celingukan mencari keberadaan Dokter Frieska, matanya tertumbuk pada sosok yang telungkup tidak jauh di tempatnya berada sekarang, hatinya berdebar tak karuan melihat Dokter Frieska diam tak bergerak.

Dengan segenap sisa tenaganya, Mayor Pram merangkak mendekati Dokter Frieska, tak dipedulikan rasa nyeri tubuhnya terutama kakinya yang terlihat banyak luka akibat benturan bebatuan, dengan sekuat tenaga Mayor Pram membalikkan tubuh Dokter Frieska, “Ya Tuhan jangan biarkan wanita ini meninggal..” ada rasa panik dan perasaan tak karuan melihat kondisi Dokter Frieska, dengan tangan gemetar Mayor Pram meletakkan dua buah jarinya ke leher dokter cantik itu, tak lama kemudian Mayor Pram terduduk dan menhela napas lega, denyut nadi Dokter Frieska masih terasa, dia hanya pingsan.

Mata Mayor Pram melihat sesuatu yang janggal, dilihatnya celana Dokter Frieska terkoyak di bagian paha, Mayor Pram meraba luka di bagian kulit paha Dokter Frieska, lalu dia mencium jarinya sendiri, terkejut dia mengetahui aroma yang dikenalnya ini, aroma ini adalah aroma racun yang biasa di oleskan di ujung tajam anak panah para kelompok pemberontak.

Kembali dua jari Mayor Pram menempel di nadi Dokter Frieska, Mayor Pram melihat ke arah jam G-Shocknya, dia sepertinya menghitung denyut nadi Dokter Frieska, “Denyutnya cukup cepat, sesuai dengan ciri-ciri orang yang terkena racun itu, jika dalam 4 jam tak ada pertolongan pertama, maka denyut jantungnya akan semakin cepat dan mengakibatkan pecahnya pembuluh darah di otak.” Gumam Mayor Pram.

Mayor Pram mengambil belati militernya dari tas ransel, dia harus melakukan upaya darurat cepat, sejak jatuh tadi sudah satu jam mereka berada disini, masih tersisa 3 jam lagi waktu untuk menyelamatkan Dokter Frieska.

Mayor Pram mengoyak celana panjang Dokter Frieska, sehingga tersisa hanya 10 cm dari pinggangnya, sedikit berdebar hati Mayor Pram melihat kemulusan kulit kaki Dokter Frieska, Mayor Pram berusaha berkonsenstrasi kembali, diperhatikannya area luka yang terjadi akibat goresan anak panah beracun, untung saja hanya tergores, bukan menancap, hingga racun tidak langsung masuk ke pembuluh darah, namun kondisi itu tetap saja berbahaya.

Mayor Pram tidak membawa alat P3K di tas ranselnya, dia kemudian melihat sekeliling, sinar mentari yang temaram membuat pandangannya terbatas, namun sekejap dia tersenyum setelah melihat rimbunan pohon murbei didekat tempatnya berada.

Seolah tak merasakan nyeri dan sakit ditubuhnya, Mayor Pram memanjat pohon murbei tersebut, diambilnya banyak sekali buah murbei yang berwarna merah cerah dan hitam itu, disimpannya di balik pakaian lorengnya, setelah dirasakannya cukup, Mayor Pram mengambil sejumlah daun-daun pohon murbei itu.

Dari tempatnya berada, Mayor Pram melihat ada suatu aliran air jernih semacam selokan sekitar 100 meter didepan, di sisi sebelah kiri ada semacam gua yang tertutup rimbunan semak belukar, Mayor Pram teringat dengan kondisi Dokter Frieska yang harus segera mendapat pertolongan, dia bergegas turun dari atas pohon murbei ini.

Dengan gagang belatinya, Mayor Pram menggerus daun murbei hingga halus, dia mengambil sehelai daun yang cukup lebar sebagai wadah gerusan daun murbei itu, didekatinya Dokter Frieska yang masih tak sadarkan diri, dua jarinya kembali meraba denyut nadi Dokter Frieska, kini denyut nadi itu bertambah 10 kali dari hitungan terakhirnya.

Perlahan dengan ujung belatinya, Mayor Pram menggores pelan sisi luka goresan anak panah yang mulai membiru, semburat darah segar menyembul dari goresan belati Mayor Pram. Dengan cepat diborehkannya gerusan daun murbei ke paha Dokter Frieska, gerusan daun murbei itu dibalurkan merata di goresan bekas anak panah dan juga belatinya.

Mayor Pram memotong celana panjang Dokter Frieska, menjadi bagian lebih kecil, kemudian potongan itu disambung, lalu diikat kencang di paha Dokter Frieska untuk menahan gerusan daun murbei tak lepas.

“Tinggal menunggu reaksi daun murbei itu, mudahan-mudahan bisa menetralisir racun yang mulai menyebar didalam tubuhnya.” Gumam Mayor Pram sambil menatap wajah Dokter Frieska yang masih diam tak berdaya.

Mayor Pram membuka rompi anti peluru yang dikenakan oleh Dokter Frieska, ternyata dibalik rompi ini ada sebuah tas kecil menempel di dada dokter cantik ini, Mayor Pram tanpa pikir panjang menebaskan belatinya hingga tali tas itu terputus, Mayor Pram mengambil tas Dokter Frieska, dilihatnya logo seperti huruf H di bagian depan tas mungil ini, “Maafkan saya ya bu dokter, mungkin ini tas mahal, namun ini saya lakukan agar leher bu dokter tidak terganggu.”

Mayor Pram mengambil kantong air minum dari tas ranselnya, dia kemudian melangkah menuju selokan yang dilihatnya tadi, Mayor Pram mengambil sedikit air ditelapak tangannya, diperhatikan kejernihan air itu, terlihat cukup jernih dan tak berbau, lalu diteguknya air itu, terasa segar mengalir di tenggorokannya, “Ini jelas air yang berasal dari mata air.” Mayor Pram mengisi penuh kantung air minumnya, dalam perjalanannya kembali Mayor Pram mengumpulkan beberapa ranting kering dan juga daun-daun kering.

Mayor Pram kembali memeriksa denyut nadi Dokter Frieska, tak ada kenaikan selama 30 menit ini, namun denyut nadi itu juga belum turun ke normal, sepertinya daun murbei itu mulai mampu menetralisir racun akibat panah, Mayor Pram teringat dengan sesuatu, dibukanya tas mungil Dokter Frieska, dia tersenyum melihat barang yang dicarinya ada disana, diambilnya sebuah botol parfum kecil dari tas itu, aromanya cukup kuat, Mayor Pram yakin ini parfum mahal dan pasti harumnya akan tahan lama.

Di radius 2 meter dari posisi Dokter Frieska, Mayor Pram menyemprotkan parfum itu sedikit demi sedikit, hal itu dilakukannya untuk menjaga agar binatang melata seperti ular tak mendekat, karena ular tak menyukai wangi yang menyengat.

Mayor Pram mengambil selimut dari tas ranselnya, diselimuti tubuh Dokter Frieska hingga hanya menyisakan wajah cantiknya, Mayor Pram tersenyum dan berbaring disamping Dokter Frieska, tubuhnya mulai terasa lelah dan nyeri, tak berapa lama Mayor Pram ikut terlelap.

Mayor Pram terbangun ketika didengarnya suara berisik di rimbunan semak, Mayor Pram mengendap dengan waspada sambil menggenggam belatinya, dari temaram sinar bulan, Mayor Pram melihat seekor binatang menyerupai kelinci atau mungkin juga bukan, binatang itu tak terlihat jelas, namun Mayor Pram melihat sosok binatang itu sedang mencari sesuatu di rimbunan semak, saat dia mencoba lebih mendekat, suara erangan Dokter Frieska menghentikan gerakannya.

Mayor Pram memegang kening Dokter Frieska, lumayan terasa panas, diperiksanya kembali denyut nadi perempuan itu, walaupun masih tinggi, namun jumlah denyutnya semakin mendekati normal, ”Haus..” bibir perempuan itu bergetar.

Mayor Pram segera mengambil kantung air yang tadi di isi penuh, di sodorkan ke bibir wanita didepannya itu, namun banyak air malah terbuang percuma, tanpa berpikir dua kali, Mayor Pram menuangkan air itu ke mulutnya sendiri, lalu air yang berada dimulutnya di berikan ke mulut Dokter Frieska, berulang kali Mayor Pram melakukan itu hingga dirasakannya cukup.

Mayor Pram menatap wajah cantik Dokter Frieska yang terlihat pucat, di elusnya kening dokter itu dengan lembut, terasa basah disana, Mayor Pram tersenyum sepertinya Dokter Frieska mulai berkeringat, panas dan keringat adalah pertanda imun tubuh bekerja melawan penyakit.

Mayor Pram menggenggam tangan dokter cantik itu, “entahlah apa yang sedang terjadi dengan hati dan perasaanku, bertemu denganmu membuat aku bisa melakukan hal nekat seperti ini, mungkin aku akan dicap bodoh oleh seluruh dunia, namun kuakui, aku sungguh menyukai situasi ini, andaikata tak ada yang menyelamatkan kita, aku gak akan menyesal.” Mayor Pram tersenyum dan mengelus kening dokter friska dengan lembut.

Mayor Pram menatap keatas, di hutan seperti ini sungguh tak ada bedanya siang dan malam, sinar mentari dan bulan hanya mampu sedikit menembus lebatnya dedaunan, Mayor Pram mengambil Parafin dan sebuah korek api dari tas ranselnya, dengan berjongkok Mayor Pram meninggikan tanah didekatnya hingga menyerupai punggung kura-kura, Mayor Pram mematahkan beberapa ranting hingga kecil, lalu ditumpuknya menyusun berlainan arah diatas gundukan tanah tadi. Di patahkannya terus ranting kering yang dikumpulkannya tadi, dengan ujung belatinya yang tajam, Mayor Pram memotong sedikit parafin kemudian parafin itu disulut dengan korek, diletakkannya parafin yang mulai mengeluarkan asap ke bawah tumpukan ranting, asap mulai mengepul keluar dari rongga ranting yang disusunnya, Mayor Pram mengambil rompi anti pelurunya sebagai alat untuk mengipas tumpukan ranting itu. Berapa saat kemudian jilatan api mulai terlihat membakar ranting, dengan cepat Mayor Pram kembali mematahkan ranting yang tersisa, dilemparkannya patahan ranting itu ke arah api, begitupun daun-daun kering yang dikumpulkannya bersama ranting tadi, semua di jadikan sebagai sumber pembakaran, kini nyala api mulai sedikit membesar, hawa panas api membuat tubuh Mayor Pram menjadi hangat.

Api unggun kecil yang dibuat Mayor Pram lumayan menerangkan suasana di sekitar posisinya berada, kini Mayor Pram bisa melihat jelas sosok Dokter Frieska yang berbaring tak sadarkan diri, Mayor Pram memandangi Dokter Frieska, wajah cantik dokter itu mulai mengkilat karena peluh, Mayor Pram tersenyum gembira, hatinya lega, Racun dari anak panah yang menggores dokter itu tidak menyebabkan kondisi fatal bagi Dokter Frieska.

Mayor Pram mulai merasa lapar, di ranselnya terdapat 6 bungkus mie instant dan 2 kaleng sarden, namun dia tak ingin menggunakan bahan makanan itu untuk sekarang, diambilnya buah murbei yang dipetiknya tadi, Mayor Pram mulai memakan buah berwarna merah dan hitam itu, walau rasanya terasa asam dimulut saat digigit pertama kali, namun lambat laun buah ini cukup enak dan menagih. Buah murbei banyak mengandung nutrisi yang diperlukan tubuh sehari-hari, untuk keadaan darurat seperti saat ini, buah murbei adalah pilihan yang paling sempurna untuk bertahan hidup.

***​

Jam 21.00 WIT

Seluruh relawan berkumpul di ruangan briefing Markas Satgas Grup 3, Letnan Anton Sihombing didampingi sersan Kepala Taruna, dan Kopral Yudha memasuki ruangan briefing, semua relawan serentak berdiri, raut wajah mereka terlihat cemas menanti kabar tentang Dokter Frieska.

Suster Theresia yang selama ini terlihat tenang, kini tak bisa menyembunyikan ketegangan dan kecemasannya, “Bagaimana pak Anton, sudah ada kabar dari mereka?” Tanya Suster Theresia tak sabar.

“Harap tenang ya bu, kita harus tetap tenang, sampai saat ini kami sudah memantau kabar dari pusat, hasilnya sama sekali tak ada kabar, dan itu merupakan berita baik.” Ucap Letnan Anton.

Perkataan Letnan Anton membuat para relawan saling memandang bingung, kenapa tak ada kabar merupakan kabar baik?

“Begini rekan-rekan semua, yang saya maksud kabar baik, hampir dipastikan kalau Mayor Pram dan Dokter Frieska tidak di tangkap oleh para pemberontak pengacau keamanan, Karena jika keduanya ditangkap, pasti para pemberontak itu sudah memamerkan ke seluruh dunia, dan tujuan mereka untuk show up saat Presiden sedang melakukan kunjungan ke daerah ini.” Letnan Anton menjelaskan dengan gamblang maksud ucapannya itu.

“Dan juga pusat belum mengetahui kabar tentang hilangnya Mayor Pram dan Dokter Frieska, kami disini memutuskan untuk merahasiakan kondisi ini untuk sementara, karena konsentrasi keamanan saat ini terpusat pada kunjungan Presiden, kami melakukan itu dengan berbagai pertimbangan.” Lanjut Letnan Anton.

“Lalu apa yang terjadi pada mereka berdua pak, kalau kondisi hilangnya mereka dirahasiakan, bagaimana caranya mereka dapat ditemukan?” Tanya Anton Pardede dengan nada gusar, yang kemudian disambut dengan suara riuh para relawan yang saling bicara.

“Tenang bapak dan ibu, kami juga tidak tinggal diam, jika mereka berdua tidak tertangkap, maka ada kemungkinan mereka bersembunyi atau tersesat di hutan saat dikejar para pemberontak itu, jika itu yang terjadi maka saya malah bersyukur, kemampuan Mayor Pram bertahan hidup di hutan tidak perlu diragukan lagi, dan saya yakin Mayor Pram akan menjaga dengan baik Dokter Frieska, tapi….” Letnan Anton tercekat dan menghentikan ucapannya,.

“Tapi apa pak..?” Tanya Anton pardede tak sabar

“Saya khawatir mereka…mereka telah tewas, itu yang saya khawatirkan.” Terdengar getaran dari ucapan Letnan Anton.

Ratna satu-satunya perawat yang menggunakan hijab, memeluk erat suster Theresia, tangisnya mulai terdengar, para relawan mulai terpengaruh dengan tangis Ratna, Anton pardede mengusap air matanya berkali-kali.

“Tenang kawan-kawan, apa yang dikatakan pak Letnan tadi adalah beberapa kemungkinan, sekarang kita hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga Pak Mayor Dan Bu Dokter Frieska dilindungi Tuhan, saya yakin mereka masih hidup, mereka orang baik.” Ucap Suster Theresia terbata, walau cemas dan gelisah, Suster Theresia berusaha untuk tetap tegar demi mengembalikan semangat para anggota relawannya.

“Ya benar, apa yang dikatakan Suster Theresia benar, saya juga yakin mereka selamat, kita doakan bersama agar mereka bisa segera ditemukan.” Ujar letnan Anton.

Malam itu para relawan kembali ke kediaman mereka dengan perasaan penuh kesedihan, rasa cemas dan khawatir akan nasib Dokter Frieska sungguh membuat hati mereka sakit. Suster Theresia masih berada di ruang briefing, Letnan Anton memintanya untuk tetap tinggal, karena ada sesuatu yang ingin dibicarakan.

“Begini bu, tadi siang hingga sore kami telah mengumpulkan beberapa info penting tentang keberadaan tukang ojek yang mengantarkan orang yang menjebak Mayor Pram dan Dokter Frieska, kami telah berhasil mendapatkan titik lokasi tukang ojek itu, kemungkinan besok kami akan menciduknya, mudah-mudahan dari sana kita bisa mendapatkan hasil positif. Namun saya selaku pimpinan sementara disini menggantikan Mayor Pram, minta pada ibu untuk merahasiakan kejadian ini dari siapapun, khususnya keluarga Dokter Frieska, saya yakin ibu mengerti.” Ucap Letnan Anton mengatupkan kedua tangannya pada suster Theresia, perempuan paruh baya itu mengangguk dan tersenyum.

Sepeninggal Suster Theresia, letnan Anton berdiskusi dengan kedua rekannya, mereka menyusun rencana penyergapan terhadap Tukang ojek yang dibicarakan tadi, karena mereka yakin tukang ojek itu akan membuka kunci keberadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska.

Keputusan untuk merahasiakan hilangnya Mayor Pram dan Dokter Frieska adalah keputusan yang harus diambil letnan Anton untuk menyelamatkan karier dan nama baik komandannya, karena letnan Anton menyadari kesalahan yang dibuat oleh komandannya ini sangat fatal, dan akan menganggu karier komandannya ke depan.

Letnan Anton juga yakin kalau Mayor Pram dan Dokter Frieska masih hidup dan sekarang berada tak jauh dari tempat ini, yang perlu dilakukannya sekarang adalah menyusun langkah yang efektif dan efisien untuk segera menemukan Mayor Pram dan Dokter Frieska sebelum tercium oleh pusat.

***​

07.00

Day 2


Mayor Pram membuka perlahan matanya, dilihat jam G-Shocknya menunjukkan pukul 07 pagi, Tatapannya kemudian beralih ke arah tempat Dokter Frieska berbaring, Mayor Pram terkejut tak menemukan Dokter Frieska disana, Mayor Pram kemudian duduk melihat sekelilingnya, “Saya disini mas.” Mayor Pram menoleh ke arah suara, Dokter Frieska duduk bersandar pada sebuah pohon besar, sepasang kakinya terjulur ke depan.

Mayor Pram bangun dan berjalan menuju ke Dokter Frieska, dia berjongkok dihadapan dokter cantik itu, wajah dokter itu memang terlihat pucat, tanpa berkata apa-apa, Mayor Pram meraba kening Dokter Frieska, terasa sejuk, Mayor Pram tersenyum, “Syukurlah panas bu Dokter sudah turun.”

Tangan Dokter Frieska memegang ikatan kencang di pahanya, dia memandang Mayor Pram kebingungan, “Maaf saya terpaksa merobek celana bu dokter.” Mayor Pram menceritakan semua peristiwa yang mereka alami kemaren.

Dokter Frieska tertunduk setelah mendengar cerita Mayor Pram, tangannya menutupi wajahnya, tak lama punggungnya bergerak-gerak, terdengar sengukan isak tangisnya yang sedikit teredam oleh tangannya, Mayor Pram dengan lembut memegang jemari Dokter Frieska, diangkatnya tangan itu dari wajah cantik sang dokter, “Kenapa bu dokter menangis? Apa ada yang sakit?” Tanya Mayor Pram penuh perhatian.

Dokter Frieska masih menundukkan wajahnya, kepalanya menggeleng, “saya hanya..hanya merasa bodoh sekali mempercayai orang itu, andai saya gak keras kepala, Mas Pram pasti tidak ada disini, saya tahu Mas Pram beberapa hari lagi akan selesai bertugas disini, pasti Mas Pram sudah membayangkan bertemu dengan anak dan istri tercinta, namun sekarang malah terjebak disini, maafkan saya mas..maafkan…”

“Gak bu..semua ini adalah takdir saya, gak usah bicara seperti itu, saya sama sekali gak menyalahkan bu dokter.” Mayor Pram mengangkat dagu Dokter Frieska dan tersenyum manis kepada dokter cantik itu.

Tanpa diduga, dokter cantik itu memeluk Mayor Pram dengan erat, isakannya mulai reda, "Terima kasih banyak mas..” Mayor Pram hanya diam membiarkan Dokter itu memeluknya, rasa hangat menjalar di setiap denyut nadinya, desiran gairah sesaat terlintas, namun akal sehatnya masih bisa menguasai, telapak tangan Mayor Pram yang telah bersiap memeluk, terkepal dan di tariknya kembali.

Dokter Frieska melepaskan pelukannya dengan tersipu-sipu, mereka berdua salah tingkah dan merasa sama-sama canggung, “Oh ya apa kaki Bu Dokter sudah bisa digerakkan?” Tanya Mayor Pram memperhatikan kaki mulus Dokter Frieska, sedikit terpana Mayor Pram melihat kaki mulus dihadapannya, kaki yang putih bersih, duh hampir dua tahun Mayor Pram tak merasakan hangatnya tubuh wanita, dan kini ahh..untung saja akal sehat masih bisa menguasai dirinya.

“Lumayan, tapi masih nyeri pak, tadi pagi saat bangun saya kebingungan berada dimana, lalu saya berjalan, tapi ya cuma bisa sampai disini.” Jawab Dokter Frieska.

“Kalau Bu Dokter mau mandi atau bersih-bersih, sekitar 100 meter dari sini ada sumber mata air yang segar, saya bisa bantu bu dokter kesana.” Ucap Mayor Pram.

Dokter Frieska menggeleng, “nanti saja mas.”

“Baiklah kalau begitu saya mau bersih-bersih sebentar, sambil cari kayu dan ranting untuk masak nasi, Bu Dokter pasti lapar kan,” Tanya Mayor Pram.

“Terima Kasih mas, oh ya ngrobekin celana pakai apa mas, coba saya pinjam, biar yang sebelah sama, gak panjang pendek gini.” Ucap Dokter Frieska tersenyum.

“Sebentar bu.” Mayor Pram mengambil belatinya, “Pakai ini bu.” Mayor Pram menunjukkan belatinya yang tajam.

“Hah!..pakai itu? Duh gimana cara pakainya.” Dokter Frieska kebingungan.

“Biar saya bantu.” Mayor Pram mendekati Dokter Frieska lalu dengan hati-hati merobek celana panjang hitam yang dikenakan Dokter Frieska.

Mayor Pram yang merunduk di dekat Dokter Frieska membuat Dokter cantik itu semakin berdebar, jantungnya memompa darahnya begitu cepat, hingga napasnya terasa sesak , bibirnya kelu untuk berkata, dia hanya memandang sisi wajah pria gagah dihadapannya ini.

“Dah..sama rata sekarang bu!” Ucapan Mayor Pram mengejutkan lamunan Dokter Frieska, “eh kenapa kok kaget gitu?” tanya Mayor Pram.

“Gak apa-apa pak, eh mas.” Jawab Dokter Frieska salah tingkah.

“Beneran gak mau bersih-bersih? kalau Bu dokter mau, saya bisa gendong ke sana, maksud saya bu dokter kan belum bisa berjalan, saya antar kesana, nanti saya mau cari kayu bakar dan ranting untuk bikin api.”

“Hmmm saya kan gak ada baju ganti mas.” Ucap Dokter Frieska.

“Mayor Pram menghampiri ranselnya, dibukanya ransel itu, dikeluarkan pakaian singlet kaos tanpa lengan bermotif loreng, “sepertinya ini bisa untuk sementara bu, jangan khawatir kaos ini bersih, saya jamin.” Ujar Mayor Pram meletakkan kaosnya itu ke pangkuan Dokter Frieska.

Dokter Frieska memandang kaos itu, tiba-tiba Mayor Pram dalam posisi jongkok membelakanginya, “Ayo bu Dokter, saya antar ke sumber air, silahkan naik ke punggung saya.” Dokter Frieska tak punya pilihan selain naik ke punggung Mayor Pram, tubuhnya memang mulai gatal dan dia harus bersih-bersih agar tak terkena penyakit.

***​

Dokter Frieska melihat ke sekelilingnya, dia ragu untuk membuka pakaiannya, sebelumnya Mayor Pram mengantarnya ke tepi selokan, lalu Mayor Pram berangkat mencari kayu kering dan juga ranting, setelah yakin merasa aman, Dokter Frieska membuka pakaiannya satu persatu, hingga tak ada lagi yang melekat menutupi tubuhnya.

Dengan berjalan terpincang-pincang Dokter Frieska masuk kedalam selokan, lebar selokan ini sekitar 1.5 tubuh orang dewasa, dan dalamnya mungkin sekitar 1 meter, saat Dokter Frieska duduk didasar selokan, tubuhnya hanya terlihat pundak.

Air selokan ini sungguh terasa segar, air ini mengalir cukup deras entah menuju kemana, Dokter Frieska menikmati air sejuk dan segar itu, “Seger banget..” gumamnya tersenyum.

Setelah puas membersihkan diri, Dokter Frieska mengambil kaos loreng dan celana yang dipotong tadi, Tanpa memperdulikan tubuhnya yang basah kuyup, Dokter Frieska mengenakan kaos loreng dan celananya tadi, Dokter Frieska mengambil pakaian yang dikenakan sebelumnya, semua termasuk bra dan celana dalamnya, dia lalu menyimpannya di balik semak, Dokter Frieska malu kalau Mayor Pram sampai tahu.

Dengan tertatih Dokter Frieska kembali ke tempat semula, dilihatnya Mayor Pram sedang membuat semacam tonggak penopang dari kayu pohon seperti jemuran kecil, “Hai bu dokter, gimana segar kan airnya.” Sapa Mayor Pram, “Lho Bu Dokter gak pakai handuk?” Dokter Frieska menggeleng.

“Oh ya mana pakaian Bu Dokter? dijemur sini aja nanti.” Tanya Mayor Pram.

“Sudah saya buang mas, sudah kotor juga, dan banyak yang sobek.” Jawab Dokter Frieska.

Mayor Pram menatap Dokter Frieska, sedikit terkejut dia melihat tonjolan di dada perempuan itu, lengan mulus dokter itu sungguh kontras dengan baju loreng yang dikenakannya, apalagi saat Dokter Cantik itu mengikat rambutnya, terlihat sangat erotis di mata Mayor Pram.

“Kok liatin saya kaya gitu mas, jelek ya?” tanya Dokter Frieska agak jengah melihat tatapan tajam Mayor Pram.

“Gak kok, ga apa-apa, oh ya nanti saya akan masak beras bu, kita makan dengan apa adanya ya..sambil nunggu beras, kalau ibu lapar ada buah murbei yang saya petik kemaren, lumayan buat jaga nutrisi.” Ujar Mayor Pram yang kemudian berdiri mengambil tempat makan yang berbentuk seperti rantang dari ranselnya, tak lupa juga dia mengeluarkan beras dari ranselnya itu.

“Saya ambil air sekaligus cuci beras dulu bu.” Mayor Pram kemudian menuju tempat mata air.

Sepeninggal Mayor Pram, Dokter Frieska duduk dengan perlahan, kakinya masih terasa nyeri, bengkak pergelangan kakinya saat tersandung akar pohon sudah mulai pulih, yang terasa nyeri saat ini luka dipahanya, tadi saat mandi, dia membuang dan membersihkan baluran daun murbei diatas lukanya itu.

Terbayang oleh Dokter Frieska, apa yang dilakukan Mayor Pram padanya, mengambil buah murbei, menggerus daun murbei, membalurkannya, teringat juga saat terakhir dirinya berada di gendongan Mayor itu, seulas senyum tersungging dari wajah cantiknya.

Dokter Frieska memandang sekelilingnya, tempat ini sungguh terasa nyaman, tenang, dan damai, namun ini adalah ngarai, Dokter Frieska tiba-tiba pesimis keberadaan mereka disini dapat ditemukan, Dokter Frieska memejamkan mata, sungguh tak ada ketakutan dalam hatinya saat ini, yang ada hanya kecemasan dan rasa bersalahnya pada pria baik itu, Tiba-tiba dia terkejut saat sebuah tangan kekar memegang pundaknya.

“Kenapa diem bu, masih merasa bersalah ya, sudahlah jangan buang energi untuk memikirkan itu, sekarang saya akan masak untuk ngisi perut, setelah kondisi kaki ibu bisa berjalan jauh, kita akan cari jalan keluar, tenang aja, sekarang kita urus satu persatu dulu.” Mayor Pram mempersiapkan alat untuk membuat api.

“Di militer perbekalan ini cukup untuk 3 hari, berarti dalam waktu 3 hari kita akan keluar dari sini, percayalah..” ucap Mayor Pram sambil membuka kaleng sarden dengan ujung belatinya.

“Mudah-mudahan bu dokter suka ya makanan ini, kalaupun Bu Dokter gak suka, ya bayangkan aja ini makanan favorit ibu, kita harus makan bu, demi menjaga tenaga kita.” Mayor Pram memasukkan sarden pada nasi yang setengah matang di dalam rantang yang sedang dijilati api.

Beberapa saat kemudian mereka berdua makan makanan yang hampir mirip dengan muntahan bayi itu, walau merasa sedikit jijik, namun Dokter Frieska menelan makanan yang dimasak Mayor Pram tadi, entahlah apa rasanya di dalam mulut Dokter Frieska, namun hanya itu yang ada untuk dimakan, mau gak mau dia harus terima.

“Kalau ibu pikir saya terbiasa makan kaya gini, ibu salah besar, saya sangat jijik dengan bentuknya bu, namun kita perlu bertahan hidup untuk bisa keluar dari sini.” Ucap Mayor Pram sambil menelan suapan terakhirnya.

Dokter Frieska tertawa mendengar celoteh lucu pria gagah disampingnya ini, tawanya sungguh lepas hingga mengeluarkan air mata, Mayor Pram ikut tertawa kecil, dia senang melihat wanita cantik ini tertawa.

“Duh sakit perut saya mas, lucu banget sih mas Pram, jijik hahahahaha..” ucap Dokter Frieska di tengah tawanya.

“Loh bener kan, emangnya bu dokter gak jijik?” Tanya Mayor Pram.

Dokter Frieska kembali tertawa lepas…

***​

Mayor Pram kembali memborehkan gerusan daun murbei ke luka Dokter Frieska, “Gak perih kan?” Tanya Mayor Pram lembut.

Dokter Frieska tersenyum, kepalanya menggeleng, dia menatap lembut pria di depannya ini, mereka berdua saling menatap dan tersenyum.

“Jangan banyak bergerak ya bu, biar cepat kering lukanya, nanti setelah pulih, kita akan mencari jalan keluar bersama, saya janji akan mengembalikan bu dokter ke tengah keluarga lagi dalam keadaan hidup!” Ujar Mayor Pram sambil memborehkan gerusan terakhir di paha Dokter Frieska.

“Nah..sudah habis gerusannya, kayaknya gak perlu diikat lagi..” Ucap Mayor Pram, saat Mayor Pram ingin bangun, lengannya ditahan oleh Dokter Frieska, keduanya kembali saling menatap.

Dokter Frieska bangkit dan memeluk pria gagah didepannya ini, Mayor Pram hanya diam tak balas memeluk, jantungnya berdebar kencang.

“Terima kasih banyak ya mas, sudah menyelamatkan saya, tidak meninggalkan saya, berkorban untuk saya.” Suara Dokter Frieska mulai parau menahan tangis.

Mayor Pram mendorong tubuh Dokter Frieska hingga wajah mereka kembali berhadapan, Mayor Pram menyeka mata Dokter Frieska yang basah, dimajukan wajahnya hingga semakin dekat, dikecupnya bibir ranum dokter itu, kediuanya kemudian saling melumat, gairah keduanya mulai meninggi, Mayor Pram meremas buah dada Dokter Frieska sambil terus melumat bibir indah dokter cantik itu, tiba-tiba kesadaran Mayor Pram kembali menghentikan gairahnya, kening mereka saling beradu, napas keduanya tersengal..

***​

5 orang tentara berpakaian preman turun dari kendaraan, Letnan Anton berjongkok melihat ke sebuah warung, jaraknya kurang lebih 50 meter dari tempatnya berada. “Target berada di sana, kita berlima berpencar, Heru dan Lukman berjaga di dua sisi belakang warung. Andi kamu standby di mobil, saya dan joko menyergap dari depan, target harus ditangkap hidup-hidup, Oke laksanakan.” Letnan Anton mulai membagi tugas mereka.

Sesuai perintah, mereka kemudian bergerak mendekati warung, Letnan Anton dan Pratu Joko dengan cepat masuk ke warung, mengetahui yang datang Tentara, tukang Ojek yang bernama Matius Wagai berusaha kabur melalui pintu belakang, namun dibelakang sudah menunggu Prada Heru dan Prada Lukman yang langsung menyergap mereka, orang-orang di warung terkejut melihat insiden itu, namun melihat Letnan Anton memberikan kode bahwa mereka tentara, orang-orang itu hanya diam meyaksikan.

***

Ruang Interogasi Markas Satgas Pam Grup 3



“Saya tidak tahu bapak, saya hanya disuruh mengantar itu saja.” Wajah Matius terlihat pucat dan ketakutan, apalagi melihat tatapan Prada Joko yang terlihat mulai emosi.

“Kerja samalah maka kamu bisa bebas dari sini, siapa orang yang kamu antar itu, dimana kamu ketemu orang itu.” Tanya Serda Rahman dengan nada kalem.

“Betul bapak, saya tidak tahu bapak, saya hanya tukang ojek bapak..tolong bapak..” ucap Matius mulai panik.

“Heh! Kamu pikir ini main-main? Komandan kami sampai sekarang belum kembali, kalau kamu tidak mau kerjasama, jangan harap bisa keluar dari sini dengan utuh dan masih bernapas!” Ucap Serda Rahman mulai kesal.

“Tolong bapak, Saya benar-benar tidak tahu.” Martinus memelas.

“Ah saya capek ndan, biar Prada Joko saja yang menangani, saya gak tega harus cabut kuku orang ndan.” Ujar Serda Rahman pada Letnan Anton sambil menggeser kursinya bermaksud berdiri.

Mendengar itu Martinus semakin panik, dipegangnya kaki Serda Rahman, “bapak tolong saya bapak, saya benar benar tak tahu soal itu bapak.”

“Kau saja yang urus Jo..” ucap Serda Rahman

“Siap!” jawab Prada Joko sambil meletakkan sebuah Tang dan Sebilah Belati di meja, Prada Joko membuka pakaiannya.

“Maaf Ndan, saya buka pakaian dulu, soalnya tawanan yang kemaren saya interogasi, darahnya nempel di baju saya, susah hilang..” ucap Prada Joko pada Letnan Anton.

“Ya benar, lebih baik buka baju saja, apalagi kalau dicabut susah, kan harus dipotong.” Timpal serda Rahman.

Mendengar obrolan kedua tentara itu, kepanikan Matius semakin menjadi, wajah Prada Joko yang garang, terlihat seperti orang yang tak punya belas kasihan.

“Baik-baik, saya akan kasih tau orang yang kemaren nyewa ojek saya bapak, tolong bapak saya akan kasih tau.” Ujar Matius.

“Nah kaya gitu sejak tadi kan enak, tapi awas kalau kamu ngomong asal bunyi, bukan hanya kukumu yang copot, tapi lidahmu akan kutarik keluar sekalian.” Ujar Sersan Rahman, matanya menatap tajam Matius.

***​

Suara petir terdengar menggelegar, mengejutkan Mayor Pram yang sedang mengumpulkan kayu dan ranting kering, di belakangnya Dokter Frieska yang sedang tertidur ikut bangun juga, “Sepertinya akan turun hujan bu, kita tidak bisa bermalam disini.” Ucap Mayor Pram sambil memandang ke atas, walau kecil kemungkinan mereka bisa terkena hujan langsung, namun air yang mengalir dari batang-batang pohon akan membuat tanah menjadi basah.

“Di dekat parit mata air itu, ada sebuah goa, mau gak mau kita harus pindah kesana, saya sudah periksa tadi pagi, sepertinya goa itu cukup untuk tempat kita bermalam, sambil menunggu kaki bu dokter kuat berjalan.” Ujar Mayor Pram.

Dokter Frieska tidak berkata apa-apa, dia hanya mengangguk, “Ibu kuat berjalan? Mari saya antar ibu ke sana.” Tanya Mayor Pram.

“Sudah mas, cuman kalau untuk jauh saya belum kuat.” Jawab Dokter Frieska.

“Ya saya mengerti bu, mudah-mudahan besok sudah bisa pulih, karena kita harus mencari jalan keluar dari sini bu.” Mayor Pram bangun dari duduknya dan menjulurkan tangan pada Dokter Frieska.

“Biar saya bantu bereskan peralatan disini mas, jadi Mas Pram gak bolak-balik.” Ujar dokter cantik itu, Mayor Pram hanya tersenyum dan mengangguk.

Mayor Pram menyimpan kembali bahan makanan yang tersisa ke dalam ranselnya, begitu juga dengan matras dan peralatan untuk memasaknya, setelah semua beres, mereka berdua berjalan menuju goa, Mayor Pram berjalan di belakang Dokter Frieska, sesekali Mayor Pram menahan tubuh Dokter Frieska yang sedikit limbung karena jalannya tertatih.

Goa yang mereka masuki sebenarnya tidak terlalu gelap, di bagian tengah goa ini ada semacam celah, hingga cahaya matahari atau bulan bisa masuk menerangi gua, lantai gua ini merupakan tanah yang berkerikil, sisi-sisinya ada beberapa batu besar yang bisa mereka jadikan tempat untuk bermalam.

Mayor Pram kembali menyemprotkan parfum milik Dokter Frieska di sekeliling tempat mereka duduk, Mayor Pram yakin goa ini juga merupakan habitat hewan lain termasuk Ular. Dokter Frieska mengernyitkan keningnya saat menyadari kalau pria itu menyemprotkan minyak wangi miliknya.

“Maaf bu, kemaren saya periksa isi tas bu dokter, ya memang saya cari ini untuk menjaga agar ular tidak mendekat.” Ujar Mayor Pram menjawab pertanyaan dari mata dokter itu.

“Ular?” mendengar nama binatang itu disebut, bulu kuduk Dokter Frieska seketika meremang, Dokter Frieska sangat phobia terhadap ular, secara redleks tubuh Dokter Frieska semakin merapat ke Mayor Pram.

Mayor Pram tersenyum, dan berusaha menenangkan Dokter Frieska, “Tenang bu, kita gak usah takut, tadi kan saya hanya mengatakan kemungkinan,”

“Saya phobia mas sama ular.” Ucap Dokter Frieska lirih. Tanpa sadar Dokter Frieska mengamit lengan Mayor Pram.

Mayor Pram melihat kearah lengannya yang di peluk dokter cantik itu, “eh maaf mas.” Ucap dokter itu menarik tangannya.

Keduanya gugup dan terlihat canggung, entah kenapa tidak ada perasaan takut sedikitpun dari Mayor Pram, yang ada hanya rasa berdesir yang semakin kuat meletup di hatinya. Lama keduanya terdiam, sayup-sayup terdengar petir bersahutan menggelegar, kilatannya terlihat di celah gua, suara hujan yang cukup lebat terdengar menyeramkan.

“Apa ada kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini mas?” Tanya Dokter Frieska.

“Pasti Bu, saya akan berusaha mengeluarkan kita berdua dari sini, saya yakin mereka akan mencari kita juga bu, kita harus berpikiran positif saat ini, kunci untuk kita bisa survive adalah pikiran yang positif, jika pikiran kita positif kita akan bisa memikirkan rencana langkah selanjutnya, saat ini jangan terlalu banyak mikir, jika kaki bu dokter pulih, kita akan bersama mencari jalan keluar.” Ujar Mayor Pram lugas.

Dalam keremangan goa. Mayor Pram melihat seulas senyum manis mengembang di wajah Dokter Frieska, Mayor Pram kemudian mengambil sejumlah buah murbei.

“Sepertinya ditempat ini kita gak bisa bikin perapian bu, mau gak mau kita harus memakan buah ini sebagai makan malam kita, ini..” Mayor Pram memberikan segenggam buah murbei kepada Dokter Frieska.

“Asem!” Teriak Dokter Frieska saat menggigit buah murbei itu, segera di lepehkannya buah yang sudah masuk kemulutnya, Mayor Pram tertawa, “Ya memang asem dan pahit, namun kalau udah dikunyah kita akan terbiasa, buah ini sangat berguna menjaga nutrisi kita bu.”

“Tapi asem mas..” ucap Dokter Frieska sedikit merajuk.

“Kalau bu dokter gak ingin pulih, ya gak usah dimakan gak apa, paling kita akan disini terus, apalagi disini saya sendiri gak nyaman karena bisa didatangin ehmmm..” Ucap Mayor Pram. Dalam hatinya dia geli melihat kepanikan di wajah dokter cantik itu saat mendengar ucapannya.

Tanpa disuruh Dokter Frieska memakan kembali buah murbei yang ada digenggamannya, lambat laun Dokter Frieska mulai terbiasa dengan rasa warna-warni dari buah ini, malahan dia merasa kalau rasa buah ini mirip dengan hidupnya, asem dan pahit namun setelah terbiasa maka tak sulit bertahan.

Hari telah berganti malam, petir masih terus menggelegar bersahutan, hujan pun sepertinya belum ada tanda mereda, kedua insan berlainan jenis itu semakin asik ngobrol tentang berbagai hal, sesekali terdengar tawa renyah Dokter Frieska saat mendengar cerita lucu Mayor Pram, keduanya sadar mengobrol adalah cara terbaik untuk mengisi kebosanan, dan membuat pikiran mereka tetap waras.

Sementara itu

Letnan Anton mendapat wikipedia penting dari Markas Pusat operasi, kabar hilangnya Mayor Pram dan Dokter Frieska mulai terendus Markas Pusat Operasi (MPO), dalam balasannya Letnan Anton terpaksa membenarkan apa yang menjadi konsern MPO, lalu Letnan Anton menceritakan peristiwa yang terjadi kepada MPO, dan meminta izin MPO untuk melaksanakan operasi menemukan Mayor Pram dan Dokter Frieska.

Pihak MPO sendiri memerintahkan Letnan Anton untuk mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki untuk mencari keberadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska, Pihak MPO berasumsi kalau Mayor Pram dan Dokter Frieska diculik oleh kelompok pemberontak bersenjata. MPO memberikan waktu 2x24 jam bagi Letnan Anton untuk menyelesaikan misinya, jika Letnan Anton tidak bisa memenuhi tenggat waktu, maka pencarian akan diambil alih langsung Oleh MPO.

Sebenarnya bukan menjadi persoalan bagi letnan Anton, andai semua ini diambil alih oleh MPO, namun Letnan Anton menyadari jika MPO mengambil alih operasi pencarian, maka akan berdampak buruk bagi Mayor Pram, karena apa yang dilakukan oleh Mayor Pram, merupakan tindakan yang dianggap menyalahi prosedur, Karier komandan yang telah dianggapnya saudara itu akan terancam berhenti, bahkan bisa jadi Mayor Pram akan dipecat dari dinas TNI, karena dianggap membahayakan warga sipil.

Dan kini MPO telah memberikan target yang harus dia selesaikan demi menyelamtkan karier Mayor Pram, malam itu Letnan Anton mengumpulkan beberapa koleganya untuk mematangkan rencana penyergapan yang akan dilakukan subuh dini hari nanti.

Berdasarkan laporan Inteligen lapangan, komplotan yang dipimpin Kely Pigai telah diidentifikasikan sebagai komplotan yang menyerang Mayor Pram dan Dokter Frieska, dan pihak inteligen telah memberikan titik koordinat lokasi markas mereka, yaitu sekitar 3 kilometer dari markas Satgas Grup 3 ini.

Letnan Anton memutuskan untuk membawa setengah peleton pasukannya untuk menyerang markas kelompok Kely Pigai pada pukul 05.00 waktu setempat. Berbagai persiapan kemudian dilakukan oleh para prajurit yang akan mengemban tugas itu, Letnan Anton kemudian membuka peta daerah target operasi, disana dia mulai menyusun strategi penyerangan.

30 menit menjelang pukul 5 pagi, dua buah panser pengangkut pasukan beriringan menuju target operasi, kedua Panser itu melewati kediaman para relawan, suster Theresia melambaikan tangan pada iring-iringan itu, dengan menggengam sebuah benda ditangannya, suster theresia menunduk berdoa demi keselamatan para prajurit yang akan mencari keberadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska.

Relawan lain yang mengetahui maksud iring-iringan itu juga ikut berdoa sesuai kepercayaan mereka masing-masing, mereka sangat mencemaskan keadaan Dokter Frieska dan juga Mayor Pram, mereka sangat berharap bahwa pasukan yang dibawa oleh Letnan Anton akan berhasil menemukan Mayor Pram dan Dokter Frieska dalam keadaan hidup.

***​
 
Terakhir diubah:
Setelah memastikan lokasi target, semua pasukan keluar dari panser dan mengambil posisi siaga, Letnan Anton memberikan kode kepada pasukannya untuk berpencar dengan formasi melingkar, dua pertiga pasukan mengendap dan kemudian berlari runduk menuju bagian belakang target, sisanya merunduk mendekati target dari depan, Letnan Anton juga meminta empat orang sniper membidikkan senjatanya ke arah jalan masuk target.

Dengan kode tangannya, Letnan Anton memerintahkan Pasukan yang berada dibelakang target menyerbu masuk, terdengar suara pintu didobrak dan rentetan tembakan senjata, seketika jeritan terdengar dari rumah, beberapa orang terlihat berlarian menuju pintu keluar, sniper melepaskan tembakan untuk membuat mereka semakin berpencar tak tentu arah, pasukan yang berada di bagian depan langsung menyerbu, dan mengamankan beberapa orang yang tiarap di tanah.

Namun tanpa diduga dari arah kiri lokasi, ternyata ada beberapa anggota komplotan yang cukup banyak, rupanya ada dua lokasi tempat persembunyian para kompoltan pemberontak itu, mereka kalap menyerang dengan pasukan yang berada di dalam rumah, terdengar kembali suara tembakan bersahutan di dalam rumah, beberapa anggota kelompok yang berusaha kabur dapat dibekuk dengan mudah oleh para prajurit, 3 orang yang diduga pimpinan komplotan berhasil ditangkap dan dibawa ke hadapan Letnan Anton, salah satu yang tertangkap adalah si rambut gimbal Keli Pigai!

Beberapa prajurit terlihat menggandeng rekannya yang terkena bacokan parang dan tertusuk panah para pemberontak, Letnan Anton memerintahkan sebagian pasukan kembali ke markas untuk memberikan pertolongan pada prajurit yang terluka.

Letnan Anton kemudian menginterogasi 3 orang tadi, si rambut gimbal dengan gigi hitam tersenyum mengejek, dan meludahi wajah Letnan Anton, sebuah hantaman popor senjata mendarat di mulut si rambut gimbal, beberapa giginya terlepas, mulutnya mengeluarkan darah. Kedua orang yang ikut tertangkap ketakutan melihat kejadian itu.

“Kalau kalian masih tak mau memberikan informasi dimana tawanan kalian itu, maka satu persatu dari kalian akan kami berikan perawatan gigi dan kuku.” Ujar Letnan Anton mengangguk kepada salah seorang prajuritnya.

Prajurit itu mendekati salah seorang komplotan itu, dengan cepat dia menarik tangan pemberontak, dan mulai memasangkan mulut tang ke kuku orang itu. “Kamu, kalau kamu mau kerjasama, kamu gak akan tersiksa, gak mau kan merasakan kukumu dicabut dengan tang itu.” Ucap Letnan Anton.

Wajah pemberontak itu terlihat pucat ketakutan, si rambut gimbal kemudian berteriak. “gak usah takut mereka hanya mengancam saja, jangan takut.”

Tak lama terdengar jeritan menyayat hati dari salah seorang pemberontak, kuku jari telunjuknya lepas dan mengeluarkan darah. “Hei kalian melanggar HAM, ini melanggar konfrensi jenewa..” teriak si rambut gimbal.

Letnan Anton cukup terkejut mendengar ucapan si rambut gimbal itu, sepertinya dia bukan pemberontak biasa. “Upps maaf gak sengaja bro.” ucap Letnan Anton enteng.

“Gimana kami gak main-main kan, tunjukkan dimana tawanan kalian, maka kalian akan kami lepaskan.” Ketegaran pemberontak yang dicabut kukunya itu semakin goyah.

“Baik-baik, saya akan tunjukkan tempatnya bapak, tolong jangan cabut kuku saya lagi.” Ucapnya memelas hampir menangis. Salah seorang pemberontak terlihat basah di celananya.

“Dasar lemah kau, bangsat kau! Penghianat!” teriakan terakhir si rambut gimbal, karena kemudian kepalanya terkulai pecah di tembus peluru, darah si rambut gimbal terpapar di wajah pemberontak yang celananya basah tadi, pemberontak itu kemudian menjerit histeris ketakutan.

“Kalau kau bohong, maka kepalamu akan sama seperti si jelek itu paham kau!” ucap Letnan Anton geram.

“Ya ya bapak, saya gak akan bohong, tolong bapak biarkan saya hidup, anak saya banyak bapak..tolong bapak, saya akan bantu bapak..” Ucap pemberontak itu.

“Ikat orang yang pingsan ini, untuk mayat si gimbal biarkan dulu mereka disini, kita menuju lokasi tawanan mereka, ayo..” Letnan Anton menarik tubuh pemberontak dengan gemas.

***​

“Kau yakin disini..” Tanya Letnan Anton saat mereka tiba di pinggir ngarai.

“Ya bapak, tentara itu melompat ke dalam sana, dia menggendong seorang perempuan berpakaian putih, kami tidak menangkap mereka, saat kami kejar, tiba-tiba mereka nekat melompat kesana.” Jawab si pemberontak.

Letnan Anton memperhatikan raut wajah si pemberontak, tak terlihat kebohongan di matanya, apalagi dia dalam posisi ketakutan, tak mungkin dia berbohong, tiba-tiba salah seorang anggota pasukan berteriak memanggilnya, Letnan Anton bergegas menghampiri.

Sebuah sepatu berwarna krem ditemukan tak jauh dari bibir ngarai, Letnan Anton memeriksa sepatu itu, sepertinya ini sepatu merek mahal, dia yakin ini milik Dokter Frieska, letnan Anton seolah bisa melihat kejadian sebelumnya, di bayangannya Dokter Frieska terjatuh atau tersandung, lalu Mayor Pram menggendongnya, dan mereka melompat ke dalam ngarai itu saat posisi mereka terdesak.

“Letnan saya menemukan sebuah pistol.” Teriak salah seorang prajurit, Letna Anton bergegas mendekati prajurit itu, sekitar 5 kaki dari bibir ngarai ditemukan pistol milik Mayor Pram, “sepertinya Mayor Pram berusaha memberitahu jejak terakhirnya sebelum melompat.” Batin Letnan Anton.

Letnan Anton melihat ke arah bawah ngarai, ngarai ini cukup curam dan dipenuhi rimbunan pohon, tiba-tiba hati letnan Anton berdesir, dia khawatir kedua orang itu telah tewas, namun dia tahu benar komandannya itu, pasti telah memperhitungkan resikonya saat melompat. “Aku Yakin Mayor Pram dan Dokter Frieska masih hidup, sebaiknya aku memberitahu MPO untuk membantu evakuasi komandan dan Dokter Frieska. Mau gak mau itu jalan satu-satunya.”

Letnan Anton memerintahkan pasukannya untuk kembali ke markas dan membawa semua tawanan dan mayat si gimbal.

***​

Mayor Pram terjaga pagi itu, dilihatnya Dokter Frieska masih tertidur menyender pada sebuah batu besar dibelakangnya, Perlahan Mayor Pram turun dari batu besar tempat mereka berdua duduk sepanjang malam tadi, dia tak ingin membuat Dokter Frieska terbangun.

Mayor Pram mengambil kantung airnya dari dalam ransel, berjalan perlahan keluar dari gua, sungguh terasa segar udara pagi itu di luar gua, tanah yang basah akibat sisa hujan semalaman membuat aroma lembab menyergap di hidung Mayor Pram, butiran air di dedaunan yang tertiup angin menyapanya pagi ini.

Mayor Pram mengulet sejenak, pinggangnya terasa kaku karena tidur dalam posisi duduk, entah sampai jam berapa Mayor Pram dan Dokter Frieska selesai mengobrol tadi malam, Mayor Pram memeriksa ranting yang dikumpulkannya kemaren, ranting-ranting itu basah dan itu artinya tak bisa membuat perapian untuk masak.

Mayor Pram berjalan menuju parit, setelah mengisi kantung airnya dengan penuh, Mayor Pram kembali memanjat pohon murbei, dikumpulkannya buah murbei itu di dalam kaos yang dikenakannya, setelah dirasanya cukup, Mayor Pram turun kembali.

Mayor Pram membuka seluruh pakaiannya hingga tak ada yang tersisa satupun, dia lalu masuk kedalam parit, air parit yang dingin membuat dirinya terkejut, namun tak lama tubuhnya bisa beradaptasi, Mayor Pram memejamkan mata menikmati kesegaran air parit membasuh pori-pori kulitnya.

Sambil membersihkan setiap jengkal tubuhnya, Mayor Pram memperhatikan sekeliling tempatnya berada, sejauh matanya memandang hanya terhampar batang-batang pohon besar dan rerimbunan semak, tiba-tiba hatinya menjadi sedikit khawatir dan ragu apakah mereka berdua bisa keluar dari tempat ini, bahan makanan tinggal sedikit, apalagi sepertinya hujan mulai sering turun, tandanya sulit untuk menemukan ranting yang bisa dijadikan kayu bakar, udara di gua cukup lembab, rasanya gak mungkin terus-terusan berlindung di dalam gua itu.

Mayor Pram memandang aliran air parit ini, entah kemana aliran ini menuju, rasanya akan sia-sia jika mengikuti aliran air parit ini, Mayor Pram tak yakin parit ini bisa membantunya mencari jalan keluar dari tempat ini, dia tahu ini adalah sebuah ngarai atau jurang, untuk keluar dari tempat ini dia harus mendaki naik keatas, dengan kondisi kaki Dokter Frieska yang terluka akan butuh waktu baginya untuk bisa berjalan normal, “Dalam Kondisi kakinya sehatpun, aku gak yakin Dokter Frieska bisa memanjat, apalagi dalam kondisi terluka seperti sekarang.” Batin Mayor Pram.

Mayor Pram berusaha menyingkirkan semua keraguan dalam hatinya, keraguan itu akan menimbun rasa prustasi nantinya, dan apabila rasa prustasi memuncak maka pikirannya akan menjadi tidak waras nantinya, mirip seperti orang yang terkena syndrome dendrophobia, teringat saat pendidikan survival dulu, ada teman seangkatannya yang menjadi seperti orang gila, menyangka kalau pepohonan sedang mengejar dia, bahkan setangkai mawar yang indah dalam penglihatannya seolah seperti ingin menerkamnya.

“Aku harus optimis, pasti ada jalan keluar dari tempat ini, dan aku yakin Anak buahku cukup cerdas membaca tanda-tanda yang kutinggalkan diatas.” Mayor Pram keluar dari parit dan mengenakan pakaiannya kembali, tadi saat di parit, matanya menangkap ada rimbunan pohon bambu tak jauh dari parit, Mayor Pram memutuskan kembali ke gua untuk membawa kantung air dan buah murbei yang dipetiknya tadi, agak siangan nanti dia akan berusaha mencabut sebagian pohon bambu tadi.

Saat masuk kegua, telinganya sayup-sayup mendengar suara isak tangis, dilihatnya Dokter Frieska tertunduk menyembunyikan wajahnya dalam lipatan kakinya, Mayor Pram bergegas menghampiri dokter itu, saat tahu yang datang Mayor Pram, Dokter Frieska memeluk Mayor Pram dengan erat, tangisnya pecah dipelukan Mayor Pram.

“Ada apa bu? Kenapa ibu seperti ketakutan?” Tanya Mayor Pram.

“Saya kira Mas telah pergi meninggalkan saya, tolong jangan tinggalkan saya mas, saya takut…” Kembali tangisan dokter itu pecah dipelukan Mayor Pram.

Sepertinya Dokter Frieska mulai dihantui berbagai halusinasi, sehingga menimbulkan kecemasan yang berlebihan dari dirinya, Mayor Pram mengelus lembut rambut Dokter Frieska, “Saya gak akan meninggalkan bu dokter, tak akan pernah bu.”

Dokter Frieska memandang wajah Mayor Pram, wajah Dokter Frieska terlihat kusut, matanya bengkak akibat menangis, Satu sisi lemah dokter tegar itu terpampang di hadapan Mayor Pram, rasa iba dan ingin melindungi perlahan timbul di sanubari Mayor Pram.

Jempol tangan Mayor Pram menghapus jejak bening di kelopak mata Dokter Frieska, “Jangan punya pikiran konyol, sejak awal saya tak pernah meninggalkan bu dokter, dan saya tak akan memulainya sekarang bu..”

Wajah cantik itu kembali terbenam dalam pelukan pria gagah didepannya, rasa nyaman menjalar di segenap aliran darahnya, dalam pelukan Mayor Pram, Dokter Frieska menemukan sesuatu yang selama ini tak pernah dia rasakan, Cinta!! Perlahan dengan pasti Dokter Frieska mulai bergantung dengan Mayor Pram, bukan hanya fisik, pria gagah ini bahkan telah menggenggam erat hatinya.

Kedua insan berlainan jenis ini saling berpelukan dengan erat, keduanya terdiam dalam kenyamanan, hati mereka saling bicara satu sama lain, keduanya tenggelam dalam hasrat, gairah dan kenyamanan, bibir Mayor Pram menyentuh lembut bibir Dokter Frieska, mata keduanya saling memandang , kilat gairah terpancar di mata keduanya, Bibir Dokter Frieska menjemput bibir pria yang telah mencuri hatinya itu.

Keduanya saling melumat dalam gairah, Dokter Frieska melingkarkan tangannya erat ke leher Mayor Pram, mereka berdua saling mencumbu dan melumat, Dokter Frieska mengerang lirih saat bibir dan lidah Mayor Pram menyapu leher jenjangnya, Dokter Frieska berusaha membuka celana yang dikenakan Mayor Pram, begitupun Mayor Pram yang sedang mengangkat lepas kaos loreng yang dikenakan dokter cantik itu.

Mayor Pram tertegun memandang payudara indah dokter cantik dihadapannya ini, bongkahan payudara putih bersih dengan putting bulat berwarna pink membuat syahwatnya semakin naik, Mayor Pram meremas lembut bongkahan payudara mulus itu, Dokter Frieska menatapnya dengan sayu, desis pelan terdengar dari bibir indahnya.

Mulut Mayor Pram menghisap rakus putting berwarna pink tersebut, hisapannya liar dikuasi birahi, Dokter Frieska merintih dan mengerang, “Pelan-pelan sayang..” rintihnya saat putingnya terasa perih, namun dokter itu malah menekan kepala Mayor ram semakin dalam ke payudaranya, lidah Mayor Pram terus melata histeris di sekujur kulit mulus dokter cantik itu.

Entah sejak kapan celana Mayor Pram lepas, penis besarnya menjuntai menyentuh tangan halus dokter cantik itu, tangan lembut Dokter Frieska menangkap penis Mayor Pram yang telah tegang sempurna, hampir dua tahun Mayor Pram tak melepaskan syahwatnya, kini seolah semua gairah dan birahinya berkumpul dalam aliran darah di sekujur penisnya.

Dokter Frieska mengocok liar penis besar di genggamannya itu, mulut kedua saling melumat satu sama lain, Dokter Frieska mendorong tubuh gagah didepannya ini, Mayor Pram mengerti apa yang dikehendaki waanita cantik ini, Mayor Pram kemudian berbaring dengan alas matrasnya, Dokter Frieska dengan gerakan erotis dan tatapan nakal mulai membuka satu-satunya kain yang masih melekat ditubuhnya.

Tatapan Mata Mayor Pram tak berkedip melihat tubuh telanjang Dokter Frieska, tubuhnya terlihat sempurna, walau usianya sudah tak muda lagi, namun tubuh Dokter Frieska yang terawat bagaikan pualam yang berkilat, “Ahhhh..” Mayor Pram mengerang, dia terkejut saat tiba-tiba Dokter Frieska menggengam dam mengocok penisnya dengan kasar, belum sempat Mayor Pram bicara, kini kembali erangannya keluar, penisnya kini tengah dijilati lembut oleh lidah dokter cantik itu.

Mayor Pram mencoba untuk melihat apa yang sedang dilakukan dokter cantik itu, ahh, rasa ngilu dan geli kini dirasakannya, ujung lidah Dokter Frieska tengah mengorek lubang kencingnya, Ahhh luar biasa dokter ini, Mayor Pram mengangkat sedikit bahunya, dilihatnya Dokter Frieska tengah menghisap penisnya dengan kuat, Ahhh ini luar biasa…belum pernah Mayor Pram merasakan hal seperti ini, selama ini hubungan intim dengan istrinya hanya biasa saja, tak pernah sekalipun istrinya menghisap kemaluannya seperti yang dokter cantik ini lakukan.

Dokter Frieska bagai wanita jalang yang sedang kerasukan birahi, tanpa sungkan dan jijik dia melahap kepala penis Mayor Pram, dihisapnya penis besar itu kuat-kuat, dikoreknya semua cairan precum yang semakin banyak keluar, bahkan kantung pelir Mayor Pram dilumatnya dengan kuat, Dokter Frieska menyukai erangan dan rintihan mayor gagah itu, setelah puas, dia kemudian berdiri mengangkangi penis Mayor Pram, perlahan Dokter Frieska berjongkok mengambil batang penis besar itu, dituntunnya masuk kedalam lubang senggamanya, Dokter Frieska menringis nyeri saat batang penis itu mulai masuk, namun dia tak peduli perihnya, di dudukinya penis besar itu hingga amblas menghilang di dalam lubang senggamanya, kini keduanya saling menyatu sempurna dalam balutan syahwat yang menggelora.

Dokter Frieska mulai menggerakkan pantatnya naik turun, gerakannya perlahan karena penis itu sungguh penuh di dalam vaginanya, Dokter Frieska mencoba menikmati setiap tumbukan penis itu didalam rongga vaginanya, tanganya bertumpu pada dada bidang Mayor Pram, setelah beberapa saat, Dokter Frieska mulai memeprcepat gerakannya, dia mengerang dan mendesis lirih seiring dengan semakin cepat gerakaannya, namun sepertinya tenaga Dokter Frieska tak mampu mengimbangi hasrat birahinya, dokter cantik itu mulai kehabisa tenaga untuk memompa kenikmatannya.

Mayor Pram kemudian menarik tubuh telanjang Dokter Frieska ke pelukannya, di peluknya erat punggung dokter cantik yang mulai dipenuhi peluh itu, dengan gerakan cepat, Mayor Pram mulai menyodok vagina Dokter Frieska dari bawah, hentakan demi hentakan mayotr pram membuat Dokter Frieska menggila dalam serangan birahinya, tumbukan penis Mayor Pram terasa begitu dalam mengorek vaginanya, keduanya kembali saling melumat dalam posisi Dokter Frieska terkulai diatas tubuh Mayor Pram.

Tenaga Mayor Pram sungguh luar biasa, mungkin karena sudah begitu lama syahwatnya tak tersalur, kini semuanya seolah berkumpul dalam hubungan intim ini, dengan gerakan cepat dan memababi buta, pantat Mayor Pram memompa penisnya tanpa ampun ke dalam vagina Dokter Frieska, tentu saja dokter cantik itu kewalahan mengimbangi gelombang birahinya yang semakin meninggi, tak lama Dokter Frieska menjerit tertahan, tubuhnya mengejang gemetaran dlama pelukan erat Mayor Pram.

Terasa cairan pipis Dokter Frieska mengalir di kantung pelir Mayor Pram, namun seolah tak kenal belas kasihan, Mayor Pram sama sekali tak menghentikan pompaannya, malah pompaannya semakin cepat saat dirasakan puncak syahwatnya telah berkumpul diujung penisnya, dengan hentakan kuat dan eraman yang menyeramkan benih-benih Mayor Pram melompat keluar berebutan berusaha membuahi rahim dokter fieska.

Napas keduanya tersengal, punggung Dokter Frieska yang basah oleh peluh terlihat bergerak cepat mengatur napasnya yang terengah-engah, keduanya saling berpelukan bermandikan peluh, Dokter Frieska menatap wajah Mayor Pram, keduanya saling tersenyum penuh kepuasan, mereka saling berciuman singkat, Dokter Frieska merebahkan kepalanya didada bidang mayor gagah itu, seulas senyum bahagia tersungging di wajah cantiknya.

***

Berita hilangnya Mayor Pram dan Dokter Frieska mulai menyebar kemana-mana, pihak militer akhirnya melakukan konfrensi pers untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut, namun pihak militer belum memberikan penjelasan mengenai kronologi insiden tersebut, dengan beralasan saat ini yang terpenting adalah upaya menemukan keberadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska.

Presiden yang sedang melaksanakan kunjungan kerja di Timika, memerintahkan pusat komando operasi untuk melakukan segala upaya untuk menemukan keberadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska apapun kondisinya.

Pihak Angkatan Darat kemudian membentuk tim khusus yang terdiri dari prajurit-prajurit yang telah berpengalaman dalam berbagai operasi penyelamatan, bersama peralatan dan perlengkapan medis tim itu dikirim segera ke lokasi dengan menggunakan helikopter.

Letnan Anton Sihombing di beri tugas sebagai komandan tim penyelamat, Letnan Anton kemudian membentuk tim penyelamat menjadi 2 regu, setiap regu akan bergantian turun ke ngarai, tenda besar akan dipersiapkan di pinggir ngarai, sejumlah relawan juga siap membantu evakuasi, Letnan Sihombing akan mencari selama 24 jam hingga keduanya bisa ditemukan.

Sejumlah persiapan dilakukan prajurit, tak jauh dari lokasi terakhir Mayor Pram di duga berada, savana terbuka tengah dipersiapkan sebagai landasan heli untuk mengangkut kedua korban, sejumlah alat berat mulai berdatangan untuk membabat semak-semak belukar diarea sekitar itu.

Di markas Satgas grup 3, Letnan Anton memimpin persiapan terakhir untuk Evakuasi, rencananya siang ini mereka akan mulai membangun tenda di pinggir ngarai, namun melihat cuaca yang gelap dan kemungkinan hujan lebat, Letnan Anton memutuskan untuk mulai evakuasi keesokan esok, sekitar pukul 5 pagi, malam ini Letnan Sihombing memutuskan untuk mengadakan doa bersama untuk keselamatan dan kelancaran proses evakuasi, terutama untuk keselamatan Mayor Pram dan Dokter Frieska.

Sebagian relawan pesimis dengan kondisi Mayor Pram dan Dokter Frieska, sudah empat hari mereka hilang, apalagi ngarai yang cukup curam ditambah hujan lebat beberapa hari ini, membuat mereka tak yakin keduanya masih hidup.

Letnan Anton dan beberapa petugas tengah memeriksa peralatan yang akan digunakan untuk evakuasi, ada genset pembangkit untuk keperluan penerangan, thermal scanner untuk melacak panas, kacamata night vision, tandu, serta peralatan panjat tebing, setelah yakin semua sudah lengkap, Letnan Anton memerintahkan seluruh tim untuk istirahat sebagai persiapan evakuasi besok.

Letnan Anton memacu motornya menuju bukit, dalam pandangannya, sosok komandannya yang selalu ke bukit tiap hari seolah masih berada disana, Letnan Anton juga pesimis dengan keadaan mereka berdua, namun dia juga tak ingin larut dalam perasaannya, kini dia bertekad untuk menemukan komandannya dalam kondisi apapun

***​

Hujan turun lebat di ngarai tempat Mayor Pram dan Dokter Frieska berada, air hujan yang menetes deras dari batang pohon membuat tanah menjadi becek dan licin, Mayor Pram bergegas memikul beberapa bambu yang berhasil di cabut, tak lupa dia juga menenteng satu tandan kecil pisang yang sebelumnya dia petik, pakaiannya telah basah kuyup campuran keringat dan air hujan, walau lebatnya hujan masih terhalang oleh rimbunnya daun, namun udara disekitar menjadi turun drastis.

Mayor Pram terpeleset saat berlari, dia mencoba bangun, rasa nyeri terasa di pergelangan kakinya, “sepertinya kakiku terkilir.” Ucapnya lirih, di letakkannya bambu yang dipetiknya tadi, dia hanya menyeret tandan pisang dengan jalan tertatih, dengan susah payah akhirnya Mayor Pram berhasil sampai ke goa kembali.

Melihat kedatangan Mayor Pram, Dokter Frieska bergegas menyambutnya, Dokter Frieska cukup terkejut melihat keadaan Mayor Pram yang basah kuyup dengan bibir menggigil, tampak bibir Mayor Pram mulai sedikit membiru.

“Bu dokter, saya bawa pisang untuk makan malam kita, sepertinya kita gak bisa buat api malam ini.” Ujar Mayor Pram tersenyum, wajahnya terlihat pucat.

“Kaki mas kenapa?” Dokter Frieska membantu membawa pisang yang di pegang Mayor Pram, dilihatnya Mayor Pram berjalan terpincang-pincang.

“Saya jatuh kepleset tadi bu.” Ujar Mayor Pram, sambil membuka pakaiannya yang basah.

“Kenapa mas gak pakai baju, itu ada baju tersisa masih kering.” Ujar Dokter Frieska mengambilkan sebuah kaos untuk Mayor Pram.

“Gak apa bu, itu buat bu dokter besok pagi, saya gak apa-apa gak pakai baju.” Ucap Mayor Pram kemudian berbaring diatas matras.

Tipuan Angin dingin masuk kedalam gua membuat Dokter Frieska sedikit menggigil, “duh mas, cuaca dingin seperti ini, jangan konyol deh, ini pakai.” Tak ada jawaban dari Mayor Pram.

Dokter Frieska menghampiri Mayor Pram yang tertidur, wajah Mayor Pram pucat dengan bibir sedikit membiru, tubuhnya menggigil, Dokter Frieska menyelimuti tubuh Mayor Pram dengan selimut, disentuhnya tubuh pria yang tengah berbaring itu, tubuhnya dingin seperti es. Wajah Dokter Frieska mulai khawatir.

Dirabanya leher Mayor Pram, Dokter Frieska melihat jam tangan Mayor Pram dan mulai berkonsentrasi, tak lama wajah dokter cantik itu menjadi tegang setelah mengetahui denyut nadi Mayor Pram terasa lemah, dan tak normal.

“Hipotermia!!” gumam Dokter Frieska.

Dokter Frieska melihat sekelilingnya, di bongkarnya tas ransel Mayor Pram, ada sebuah kantung tidur yang belum pernah digunakan, Dokter Frieska membawa kantung tidur itu di samping Mayor Pram, dengan bersusah payah Dokter Frieska berusaha mengenakan pakaian kering ke tubuh Mayor Pram, tubuh Mayor Pram terasa sangat dingin, bibirnya kini mulai bergetar.

Terdengar gumaman dari bibir Mayor Pram, sepertinya Mayor Pram mulai berhalusinasi dan maracau tak jelas, Dokter Frieska mengusap peluhnya, memakaikan pakaian ke tubuh Mayor Pram membuat energinya habis, Dokter Frieska membuka resleting kantung tidur itu, lalu dengan susah payah dia menggulingkan tubuh Mayor Pram hingga masuk kedalam kantung tidur, bergegas dia berusaha keras mengancingkan resleting kantung tidur itu.

Gumaman dan racauan tak jelas kembali terdengar dari bibir Mayor Pram yang membiru, dokter cantik itu sedikit panik dan hampir menangis melihat kondisi pria yang dicintainya, “Jangan, aku gak boleh panik, aku adalah dokter berpengalaman.” Dokter Frieska berusaha melawan kegelisahannya. Namun dia tak mampu berbuat apa-apa, tidak ada peralatan yang cukup memadai paling tidak untuk pertolongan pertama, Dokter Frieska menyelimuti kantung tidur Mayor Pram, lalu dia berbaring disamping pria itu, dipeluknya tubuh kantung tidur Mayor Pram dengan erat, “Mas pliss jangan tinggalin aku…mas janji akan mengeluarkan kita berdua, mas…” Dokter Frieska sesekali menggosok tangannya hingga hangat lalu dibalurkan ke pipi lelaki yang telah menggenggam hatinya ini.

***​

Dokter Frieska terjaga pagi itu, tangannya meraba kembali kening Mayor Pram, masih terasa dingin, berdasarkan pengalamannya, kemunginan suhu tubuh Mayor Pram sudah diambang mengkhawatirkan, satu-satunya cara yang efektif adalah mengkompresnya dengan air hangat.

Dokter Frieska menyelimuti Mayor Pram serapat mungkin, dia lalu keluar dari goa membawa rantang makanan yang telah bersih, parfumnya dan juga korek api, bagaimanapub caranya dia harus membuat air panas untuk mengkompress.

Setelah mengambil air dari parit, Dokter Frieska bergegas menuju ke tempat perapian lama yang dibuat Mayor Pram, masih terdapat unggukan arang dari ranting bekas pembakaran, matanya celingukan mencari ranting-ranting yang ada, ada seoonggok ranting di sekitar perapian itu, namun ranting-ranting itu terlihat basah, dengan menangis putus asa Dokter Frieska memilih ranting yang terasa kering, dia hanya butuh untuk memanaskan air saja untuk kompres.

Dokter Frieska berusaha mengingat pelajaran survival yang pernah dia ikuti dulu, ditumpuknya ranting yang terlihat agak kering, lalu dibakarnya parafin yang dibawanya menggunakan korek api, diletakkan parafin itu dibawah onggokan ranting, Dokter Frieska membuka parfumnya yang mengandung alkohol, harapannya alkohol bisa membantu mempercepat munculnya api, perlahan asap mulai terlihat muncul disela-sela ranting, dengan sekuat tenaga Dokter Frieska mengipasi asap itu dengan rompi anti peluru yang ada disana

“Ya Tuhan tolong aku, jangan biarkan terjadi apapun pada Mas Pram, tolong Tuhan, aku tahu sudah begitu lama aku tak pernah ikut kebaktian, bahkan aku tak pernah lagi mengingatMU, namun tolonglah diriku sekali ini saja, jika memang harus ada yang Kau ambil, ambil saja aku, jangan Mas Pram, dia adalah pria yang baik, tolong Tuhan, aku mohon..”

Tiba-tiba secercah api muncul, tak lama apipun semakin membesar, “Terima kasih Tuhan.” Ucap Dokter Frieska sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangannya.

Dokter Frieska meletakkan rantang tempat makan yang berisi air ke gantungan tempat pembakaran, api menjilat rantang itu, jemari dokter frieska terus memantau panasnya air dalam rantang itu, setelah dirasakannya cukup Dokter Frieska bergegas membawa rantang itu ke dalam goa, dengan menggunakan kaos bekas pakai Mayor Pram, Dokter Frieska mulai mengkompres kening Mayor Pram, lalu bergantian mengkompres lehernya.

Saat air di dalam rantang mulai dingin, Dokter Frieska bergegas menghangatkan kembali rantang itu di perapian, untung saja rantingnya cukup bertahan menahan api menjadi tak padam, setelah cukup hangat kembali Dokter Frieska membawanya ke dalam goa untuk mengkompres Mayor Pram.

Baru saja dia mengkompress leher Mayor Pram, hujan lebat kembali turun, petir menggelegar bersahutan, Dokter Frieska menghela napasnya, sungguh benci dirinya saat itu dengan hujan. Diletakkan kaos hangat itu ke kening Mayor Pram, dipandangi wajah pria di hadapannya ini, wajah pria itu semakin tampan di pandangannya, dibelainya pipi pria itu dengan lembut, Dokter Frieska merasa tubuh Mayor Pram sudah tak sedingin tadi, bahkan denyut nadinya mulai terasa normal, Dokter Frieska menarik napas lega.

Rasa lelah bolak balik menghangatkan air baru terasa olehnya, Dokter Frieska berbaring di samping Mayor Pram. Hatinya kembali berdoa..

‘Hgghhhh…airr…” Dokter Frieska tersentak mendengar suara Mayor Pram, seulas senyum tersungging di bibirnya, “Mas…” Dokter Frieska menghambur memeluk pria yang terbungkus kantung tidur itu.

***​

“Jadi ibu yang menaruh saya di kantung tidur?” tanya Mayor Pram sambil melahap pisang yang disuapi Dokter Frieska.

“Ho oh..” jawab Dokter Frieska singkat sambil kembali memasukkan potongan pisang ke mulut Mayor Pram.

“Kuat juga ya ibu..” ucap Mayor Pram.

“Pasti karena kekuatan cinta mas..” ujar Dokter Frieska memandang lembut Mayor Pram. Keduanya saling menatap.

Hujan lebat disertai gemuruh petir saling bersahutan, kilatan petir sesekali menerangi wajah mereka berdua. Mayor Pram membelai lembut pipi Dokter Frieska, tangan besar itu segera ditangkap oleh Dokter Frieska, tangan itu memberi kehangatan di seluruh jiwanya yang selama ini dingin, jemari kedua insan itu saling bertaut tanpa suara, Dokter Frieska menyurukkan kepalanya ke bahu Mayor Pram.

“Kemaren saya takut gak bisa keluar dari tempat ini, namun sekarang saya takut mereka akan menemukan kita, karena saat mereka menemukan kita, semua ini hanyalah mimpi mas, kita akan kembali ke kenyataan, mas akan kembali ke keluarga mas, dan semua kisah ini akan berakhir.” Ujar Dokter Frieska membelai jemari besar Mayor Pram.

Mayor Pram hanya diam tak merespon. sungguh dia tak tahu hendak bicara apa, pikirannya kini sama seperti Dokter Frieska, saat mereka ditemukan, maka semua ini akan berakhir, dia akan kembali ke kehidupannya sedia kala, menunggu penempatan baru di kota baru.

Di luar, Hujan semakin deras membasahi bumi, petir saling bersahutan menyeramkan, di dalam goa, kedua insan yang saling berbeda dalam segala hal saling berpelukan satu sama lain, cinta mempersatukan semua perbedaan mereka berdua, Mayor Pram dan Dokter Frieska tak pernah menyangka mereka akan menemukan cinta di tempat dan situasi seperti ini, sejenak mereka melupakan semua yang mereka tinggalkan, meupakan semua problem yang terjadi dalam hidup mereka, tempat ini telah menyembuhkan luka hati mereka, andaikan hidup mereka harus berakhir di tempat ini, mereka rela dan ikhlas, karena mereka telah menemukan apa yang ingin ditemukan setiap orang didunia ini, yaitu cinta sejati, cinta yang menghidupkan setiap hasrat dan gelora jiwa mereka, bukan cinta yang berbelas iba dan kepalsuan.

***​

Hujan perlahan reda saat hari mulai beranjak gelap, Letnan Anton tanpa membuang waktu segera memerintahkan 10 orang prajurit untuk bersiap turun ke ngarai, Letnan Anton memutuskan akan bergabung dengan mereka, Tim pertama yang akan turun mulai mempersiapkan segala sesuatunya, antara lain kaca mata night vision, thermal scanner, rompi anti peluru serta senjata lengkap , Letnan Anton bersiap maksimal untuk menghadapi berbagai kemungkinan di bawah, dua orang prajurit menggendong tandu portabel dipunggungnya.

Sebelumnya mereka telah memantau kedalaman ngarai ini melalui sebuah alat sling baja, ternyata ngarai ini cukup dalam, lebih dari 10 meter kebawah, dan kini para prajurit yang tergabung dalam tim pertama tengah bergantian meluncur ke bawah, satu persatu prajurit meluncur dan Letnan Anton menjadi orang terakhir yang turun.

Tanah yang mereka pijak di dasar ngarai terasa lembab dan licin, sepasang kaki salah seorang anggota tim terbenam kedalam tanah yang mirip lumpur saat melompat, rekannya beramai-ramai membantu menarik dari benaman lumpur tersebut.

“Hati-hati, lihat jalan kalian, dan tetap waspada dengan sekitar!” Ucap Letnan Anton. Jalan yang akan dilalui mereka sedikit menurun, Mereka berjalan perlahan dengan penuh kewaspadaan, hujan membuat medan yang mereka lalui menjadi berat, menurun dan licin, melalui kacamata night vision, mereka bisa memantau keadaan sekitar yang gelap gulita, Letnan Anton mengepalkan tangannya ke atas, pertanda pasukan untuk berhenti sejenak, Letnan Anton berjongkok mengambil potongan kain yang tersangkut di ranting pohon yang melintang, “sepertinya Ini potongan pakaian Dokter Frieska.”

Tiba-tiba suara senapan menyalak mengagetkan semua pasukan, Letnan Anton menoleh ke prajurit yang melepaskan tembakan, “Ada ular pak di arah jam 12.” Ujar prajurir tersebut, Letnan Anton melihat seekor Ular sepertinya berjenis Cobra terkapar. Letnan Anton mengacungkan jempolnya dan mengucapkan terima kasih kepada prajurit tersebut.

Letnan Anton kemudian memerintahkan pasukannya untuk kembali berjalan, hati letnan Anton menjadi tak karuan, membayangkan Mayor Pram dan Dokter Frieska terjatuh dari atas dan menghantam ranting dan batu berserakan, Letnan Anton mulai merasa pesimis dengan keselamatan Mayor Pram dan Dokter Frieska, ditambah potongan kain yang tadi ditemukannya, cukup menjadi gambaran betapa dahsyatnya benturan yang dialami mereka berdua.

Hampir satu jam mereka telah berada di dalam ngarai, kini mereka merasa jalan yang mereka lalui mulai melandai dan akhirnya datar, sepertinya mereka telah mencapai dasar ngarai, Letnan Anton memutuskan untuk berhenti sejenak, sepatu yang mereka pakai terasa berat oleh lumpur yang menempel.

Sambil membersihkan sepatunya dengan belati, Letnan Anton melihat sekeliling tempatnya berada, pandangannya seketika melotot melihat tonggak perapian sekitar 50 meter di sebelah kanan tempatnya duduk.

“Lihat..” teriak Letnan anton, seluruh prajurit melihat kearah yang ditunjuk oleh komandannya, mereka saling berpandangan, senyum lebar tersungging di wajah mereka, bergegas mereka mendekati tonggak perapian itu.

Seluruh prajurit memeriksa setiap sudut di sekitar tonggak perapian itu, pakaian loreng milik Mayor Pram tergeletak di tanah, ranting-ranting basah yang rapih ditumpuk, seorang prajurit memeriksa pembakaran, “Let, ini parafin seperti milik kita.” Ucapnya pada Letnan Anton.

Letnan Anton memeriksa parafin itu, dia manggut-manggut, letnan Anton mulai memasang thermal scanner yang mampu memantau hawa panas tubuh dalam radius 50 meter. Dalam citra tampilan di layar thermal, hanya ada sepuluh hawa panas yang terdeteksi, rasa khawatir mulai menghinggapi perasaan letnan Anton. Membayangkan jatuh dari ketinggian dan terhantam batu atau ranting, pasti Mayor Pram dan Dokter Frieska terluka, “apa jangan-jangan…”

“Letnan..cepat kesini, disana ada aliran air dan sebuah gua..” teriak salah seorang prajurit, Letnan Anton dan seluruh prajurit bergegas menuju tempat prajurit itu berdiri, mereka serentak melihat ke arah yang ditunjuk prajurit itu.

Tanpa membuang waktu Letnan Anton berlari menuju ke goa, jalan masuk goa terbuka lebar, goa itu gelap gulita, dari kaca mata night visionnya letnan Anton tak menemukan sosok yang dicarinya, dia kembali menyalakan thermal scannernya, tampak di scanner dua orang berbaring berdekatan satu sama lain. Letnan Anton menghela napas lega. “Kita menemukan Mereka!” Teriak Letnan Anton.

Melihat keadaan Mayor Pram dan Dokter Frieska tengah tidur berpelukan mesra membuat Letnan Anton sedikit tak enak dengan para prajurit, “Kalau ada yang membocorkan apa yang kalian lihat disini, saya bersumpah akan mencari kalian dan membuat hidup kalian sengsara, paham!” teriak letnan Anton lantang. “Siap Pak!” ucap Para prajurit serempak.

Kebisingan di gua membuat Mayor Pram dan Dokter Frieska terjaga, suasana gelap membuat mereka tak bisa melihat siapa yang datang, Dokter Frieska memeluk erat Mayor Pram, mereka menyangka para pemberontak datang menemukan mereka, namun seketika Mayor Pram terkejut saat mengenali suara orang yang sedang berteriak tadi, “Anton…apakah itu kamu?”

“Ya Ndan kami datang untuk menjemput komandan, maaf kalau saya terlambat ndan.” Ucap Letnan Anton memegang tangan Mayor Pram, keduanya saling berpelukan, tangis Mayor Pram pecah dipelukan Letnan Anton.

***​

2 hari kemudian

Berita ditemukannya Mayor Pram dan Dokter Frieska menjadi headline semua surat kabar dan televisi, proses evakuasi yang dramatis menjadi pelengkap berita, video saat tandu yang membawa Mayor Pram dan Dokter Frieska dimasukkan ke dalam helikopter menjadi video epic yang sungguh dramatis.

Mayor Pram di kamar perawatannya mematikan televisi, dia turun dari ranjang sambil membawa infusnya, dia menuju kamar sebelah, tempat Dokter Frieska di rawat, dari balik kaca dia melihat seorang pria dan seorang anak perempuan tengah menemani Dokter Frieska, Mayor Pram tahu siapa mereka, Dokter Frieska tersenyum berbincang dengan anak perempuan itu.

Dari balik kaca, Mayor Pram tersenyum melihat wajah Dokter Frieska yang telah pulih, wajah cantiknya begitu segar saat ini, Dokter Frieska memandang Mayor Pram, namun tak lama Dokter Frieska memalingkan wajahnya kembali seolah tak mengenal Mayor Pram, hati Mayor Pram sedikit tersentak, dia kembali berjalan ke kamarnya, “ternyata hanya cinta sesaat.” Gumamnya sambil melangkah.

Dokter Frieska kembali melihat ke arah jendela, namun wajah yang dirindukannya itu sudah menghilang, Dokter Frieska berusaha menahan tangisnya, dia berusaha menanggapi kelakar putrinya, “Maafkan aku mas, bukannya aku cuek, tapi aku berusaha menahan diri untuk tak memelukmu, aku tak ingin kerinduanku ini menyulitkanmu.” Sebutir air mata menetes diujung mata cantiknya.

***​



1 Bulan Kemudian


Pagi hari yang cerah rutinitas berjalan normal di Markas Besar TNI Cilangkap, di dalam kantornya Mayor Pram sedang memeriksa beberapa dokumen yang baru disinya, sebentar lagi dia akan mengikuti pendidikan Seskoad, karena kabar santer Mayor Pram akan ditugaskan sebagai Kasdam di wilayah Sulawesi, dari hpnya terdengar suara notifikasi chat whatsapp, dua kali beruntun notifikasi itu masuk, mengusik konsentrasi Mayor Pram.

“Aku tunggu nanti jam 4 sore di restoran xxx bogor, ini lokasinya aku share” sebuah gambar peta lokasi dikirim di bawah chat itu, “Aku sangat menanti kehadiranmu mas, jika kamu gak datang, maka aku tidak akan menghubungi kamu lagi selamanya..f.”

Mayor Pram melihat nomor yang asing sebagai pengirimnya, tidak ada nama, berarti nomor ini tak pernah dia simpan, namun Mayor Pram sangat tahu siapa gerangan yang mengirimkan Chat ini. Mayor Pram meletakkan hpnya kembali ke meja, tak lama terdengar kembali notifikasi chat whatsapp, Mayor Pram segera mengambil Hpnya, namun ada sedikit raut kecewa setelah tahu ternyata atasannya yang mengirimkan chat, “Mayor, segera ke ruangan saya!”

Di Ruangan Atasannya kembali Mayor Pram terbayang sosok yang mengirimkan whatsapp tadi, walaupun terlihat penuh perhatian mendengar ucapan atasannya, namun ucapan Atasannya itu bagaikan gumaman di pikiran dan telinganya, seluruh benaknya dipenuhi sosok yang dia rindukan, sosok yang selama ini selalu merasuk dalam setiap mimpinya, dan sosok itu sekarang ingin bertemu dengannya.

“Anda paham maksud saya Mayor?” suara atasannya mengejutkan lamunannya, “Siap Pak, maaf saya kurang konsentrasi tadi.” Jawab Mayor Pram.

“Apa kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu kurang sehat, wajahmu terlihat pucat, ya sudahlah kita bicarakan nanti, kamu kembali ke ruanganmu, kalau kamu kurang enak badan, izin saja, ini perintah!” ucap atasannya lagi.

“Siap Pak!” Mayor Pram kembali keruangannya.

“Apa ya dia yang mengirimkan chat itu?” Gumam Mayor Pram, walau nomornya tak dia kenal, namun Mayor Pram sangat yakin dengan firasatnya.

“Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan romansa singkat itu, sebentar lagi aku akan promosi, satu-satunya yang harus aku hindari ya ini, terlibat affair..no gak mungkin, gak usah diladeni saja, biar saja dia menghilang dari benakku dan juga hidupku, ya itu pilihan terbaik untukku.” Tekad Mayor Pram.

***​

Mayor Pram sesekali melihat G-Shock di pergelangan tangannya, sudah hampir pukul setengah empat sore, Mayor Pram melajukan kendaraannya dengan cukup kencang di jalan tol Jagorawi, melalui gps hpnya yang terpasang di atas dashboard , jarak posisinya sekarang dengan lokasi yang dishare oleh pengirim chat tadi sekitar 30 menit lagi.

Sekali lagi hatinya diliputi kebimbangan, dua sisi batinnya bergejolak saling mempengaruhi niatnya, satu sisi dia ingin menuntaskan kerinduan yang selama ini menyiksanya, di sisi lain bayangan kariernya yang kemungkinan akan hancur, atau bahkan mungkin juga rumah tangganya, semua itu membuat hati Mayor Pram berdesir tak karuan.

Tanpa disadarinya, mobilnya kini telah masuk ke halaman restoran tempat pengirim chat tadi menunggu, Mayor Pram terpekur di balik kemudinya, dilihatnya jam tangannya menunjukkan jam 15.55, dengan menghela napas Mayor Pram turun dari mobil.

Seorang pelayan wanita bergegas menyambut kedatangan Mayor Pram, “Pak Pram kan, mari silahkan ikut saya, ibu sudah menunggu di atas.” Mayor Pram mengikuti langkah pelayan tersebut.

Di lantai dua restoran ini, Mayor Pram melihat sosok perempuan menggunakan hijab melambaikan tangannya, Mayor Pram memicingkan matanya mencoba mengenali siapa gerangan perempuan itu, langkahnya semakin dekat.

“Silahkan Pak..” pelayan Wanita tadi kemudian meminta izin untuk menyiapkan hidangan.

“Apa kabar mas Mayor..pangling ya atau emang udah lupa denganku?” tanya perempuan berhijab dan berkacamata hitam itu.

Mayor Pram kini bisa melihat jelas, walau berkacamata hitam dan mengenakan hijab, namun wajah cantik itu tak akan pernah bisa dia lupakan, “Saya pangling aja, gak nyangka pakai hijab.”

“Hihihi, ya saya soalnya menjaga kehormatan Mas Mayor, eh apa udah naik pangkat?” Tanya wanita itu.

Mayor Pram menggeleng, “ Bu dokter sendiri apa kabarnya..”

“Kalau fisik, saya baik-baik saja, namun dari sisi perasaan, saya gak bisa bilang baik-baik saja mas.” Jawab Perempuan itu.

“Apa ada yang menganggu ibu?” Tanya Mayor Pram

“Menurut mas, apa kira-kira yang menganggu perasaan saya?” Perempuan didepannya malah balas bertanya.

Mayor Pram menatap tajam perempuan yang duduk dihadapannya ini, perempuan itu membuka kaca matanya, “Bisa jawab Mas?”

Mayor Pram menggeleng, “Sebenarnya apa yang bu dokter inginkan? sehingga jauh-jauh menyuruh saya kesini.”

Para pelayan datang menghentikan sejenak perbincangan kedua insan berlainan jenis itu, mereka menghidangkan makanan dan minuman di meja, setelah semua tertata rapih, pelayan-pelayan tersebut meninggalkan mereka berdua.

“Silahkan mas..” ucap Dokter Frieska, Mayor Pram meminum es lemon tea yang disajikan.

“Ada apa bu dokter meminta saya datang? Apa yang Bu Dokter inginkan?” Tanya Mayor Pram menatap tajam mata Dokter Frieska.

“Sama seperti yang mas inginkan.” Jawab Dokter Frieska

“Seperti yang saya inginkan? Emangnya apa yang saya inginkan, Bu dokter sok tahu!” ucap Mayor Pram dengan senyum sinis.

“Saya gak sok tahu, tapi saya tahu.” Balas Dkter Frieska singkat.

“Emangnya apa yang saya inginkan? Coba saya mau tahu..” ucap Mayor Pram tertawa.

“Sama seperti saya, mas Pram ingin bertemu saya! sama seperti yang saya rasakan, mas Pram begitu merindukan saya, sama seperti yang saya alami, mas Pram sering terbangun karena begitu tersiksa di dera kerinduan, apa perlu saya lanjutkan..” Ucap Dokter Frieska dengan nada bergetar.

Mayor Pram sesaat tertegun dengan ucapan emosional Dokter Frieska, namun dia tak ingin membiarkan dirinya larut, “sok tahu.” Ucap Mayor Pram, sesaat kemudian Mayor Pram memejamkan matanya, dia merasa menyesal berkata seperti itu.

“Gak sok tahu..mas mayor sendiri yang bilang.” Sahut Dokter Frieska.

“Saya gak ngomong apa-apa kok.” Ucap Mayor Pram

“Mata Mas Mayor telah mengungkap semua yang ada dihati mas!” ujar Dokter Frieska. Ucapan dokter cantik itu bagaikan sebuah pukulan keras yang menampar wajah Mayor Pram, setiap kata yang dokter cantik itu ucapkan, adalah semua hal yang mayor Pram rasakan.

Mayor Pram terdiam menunduk, jari telunjuknya memutar diameter gelas yang ada dihadapannya.

“Apa ucapanku salah mas?” Kejar Dokter Frieska.

Mayor Pram menatap wajah perempuan cantik didepannya itu, “Kalau benar, trus mau gimana?” Mayor Pram menghela napasnya.

“Ada satu lagi yang aku perlu buktikan untuk memantapkan perasaanku mas.” Ucap Dokter Frieska sambil balas menatap mata pria yang jadi lawan bicaranya itu.

“Aku ingin mengulang kejadian di goa tempo hari.” Ucap Dokter Frieska kali ini suaranya terdengar parau.

Wajah Mayor Pram sedikit merah mendengar ucapan dokter cantik itu, dia tak menyangka Dokter Frieska bisa berkata seperti itu.

“Apa yang bu dokter katakan? Ini gila bu!”

“Gila! Kenapa ini gila? Apa karena kita sudah mempunyai pasangan masing-masing?”

“Ya itu salah satunya, selain itu apa yang akan terjadi setelah ini, bagaimana dengan karier bu dokter, karier saya, andai semua orang tahu apa yang terjadi diantara kita?”

“Saya juga gak tahu!!!”

“Saya juga gak tahu mas, saya cuman gak ingin menjadi gila di dera kerinduan yang menyiksa ini, semua perasaan ini sungguh membuat saya tersiksa mas..5 hari itu membuat hidup saya berubah total, saya menjadi ahhh…gak tahulah..” Bu dokter menundukkan wajahnya, kedua tangannya menutup wajah cantiknya itu, terdengar senggukan tangis disana.

Mayor Pram juga menundukkan wajah, dia tak tahu harus berkata apa, “Saya juga sama bu..sama tersiksanya dengan kerinduan ini, 5 hari itu adalah hari terbaik yang pernah saya lalui..Tapi saya juga gak berani melangkah lebih dari itu bu..maafkan saya.” Ucap Mayor Pram dalam hati.

***​

Di sebuah kamar hotel

Kepala Dokter Frieska rebah di dada Mayor Pram, keduanya tersengal-sengal setelah bergumul hebat melepaskan segenap rindu dan hasrat yang tertahan, jemari lentik Dokter Frieska berputar di sekitar puting Mayor Bram. Bibir Dokter Frieska mencium lembut dada Mayor Pram yang penuh peluh.

“Sejak bayi aku telah menjadi orang kaya Mas, semua hidupku gampang ditebak, sejak kecil aku diproyeksikan menjadi dokter seperti papahku, tanpa kusadari aku kehilangan sisi emosional, aku memilih sesuatu bukan karena aku ingin, tapi karena itu yang terbaik, aku menikah tanpa cinta mas, memang aku dijodohkan, cuman waktu itu aku merasa kalau suamiku adalah orang yang lebih baik dari diriku dari segi karier dan materi, saat aku sadar hidupku membosankan, aku mulai mencari hal lain, aku ikut menjadi relawan di daerah konflik, disana aku menemukan keasikan sendiri, aku menemukan dunia yang berbeda, dunia yang berwarna dari hidupku selama ini, aku menemukan kebahagian disana mas, hidupku jadi lebih balance.” Ujar Dokter Frieska sambil memainkan putting Mayor Pram.

“Apa saat jadi relawan di daerah konflik, kamu juga melakukan hal yang eghhhhhhhh yang kaya di goa itu sama prajurit?” tanya Mayor Pram.

Dokter Frieska duduk dan memandang wajah Mayor Pram dengan bibir cemberut, sesaat berikutnya cubitan mendarat di perut Mayor Pram, membuat Mayor Pram teriak kesakitan.

“Aduh kok dicubit..” Tanya Mayor Pram mengusap perutnya.

“Rasain, kamu kalo ngomong pedes banget sih, makanya tuh pedes gak cubitanku..aku tuh gak mikirin hal-hal kaya gitu saat jadi relawan, Cuma ma kamu tau gak! Kamu pikir aku perempuan gatel apa?” jawab Dokter Frieska dengan nada gusar.

Mayor Pram mengusap punggung telanjang dokter cantik itu dengan lembut, “sori-sori aku cuman becanda kok sayang..”

“Awas kalau ngomong kaya gitu lagi..cie udah manggil sayang nih..jadi kita udah resmi jadian dong..hihihi..” ucap Dokter Frieska yang secepat itu merasa bahagia.

“Hmmm seperti yang kamu bilang aku perlu pembuktian untuk memantapkan perasaanku..” ujar Mayor Pram

Dokter Frieska kembali cemberut dan mengernyitkan keningnya, “Pembuktian?”

“Ya yuk sekali lagi wik-wik…biar tambah yakin..” ucap Mayor Pram sambil merengkuh tubuh mulus Dokter Frieska. “biar tambah yakin perlu uji sekali lagi…..” Mayor Pram menarik selimut menutup tubuh mereka berdua, terdengar cekikikan manja Dokter Frieska..”Masss..duhhh iya iya geli..hihihi massss.”

-----------

TAMAT.
 
Terakhir diubah:
mohon maaf sudah saya edit menjadi 3 postingan, agar sesuai rules, isi cerita sama sekali tidak saya ubah, saya hanya mengubah pembagian saja hingga pas menjadi 3 postingan sesuai rules, thanks
 
Terakhir diubah:
Mohon Maaf sudah saya edit menjadi 3 postingan saja sesuai rules, terima kasih
 
Terakhir diubah:
Terima kasih atas segala perhatian, mudah-mudahan bisa memenuhi unsur persyaratan yang di minta oleh juri, ini adalah sumbangsih saya untuk forum semprot tercinta..

Semoga apa yang saya sajikan bisa menghibur pembaca semua
 
Terakhir diubah:
Wuaahh uda ada satu cerita lg buat LKTCP 😍

Anyway, cuma mau ngingetin rules om @pujangga2000 maksimal cerita 20rb kata dan dibagi 3 postingan secara berurutan

Kalau aku liat ini 5 postingan untuk ceritanya ya, mungkin bisa di edit, sayang kalau cerita bagus kena diskualifikasi karna ga sesuai rules. 😊
Benarkah, soalnya aku cuma lihat yg huruf tebal di psotingan om wil, yaitu minimal 5000 kata dan maksimal 20 ribu kata, sedangkan kata selanjutnya disebut boleh, bukan harus, yaitu boleh di posting dalam 3 postingan berurutan, jadi apakah boleh disini berarti maksimal 3 postingan berurutan?
 
Benarkah, soalnya aku cuma lihat yg huruf tebal di psotingan om wil, yaitu minimal 5000 kata dan maksimal 20 ribu kata, sedangkan kata selanjutnya disebut boleh, bukan harus, yaitu boleh di posting dalam 3 postingan berurutan, jadi apakah boleh disini berarti maksimal 3 postingan berurutan?
Mungkin maksudnya maks 3 post untuk cerita, suhu. Karena biasanya oneshot hanya satu post aja.

Lebih aman di edit aja jadi maks 3 post.
 
alurnya predictable, bahasanya halus, yang keren adalah teknis cerita cukup detil dan sepertinya membutuhkan riset atau setidaknya pengalaman di alam bebas.
point plus banget : semangat persatuan yang dinarasikan dengan baik dari awal hingga akhir cerita

sebentar , 17an udah lewat kan yah?? :Peace::Peace:
 
Dirgahayu TNI ke 76, semoga semakin kuat dan jaya di darat, laut dan udara
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd