Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Bimabet
Disini bebas rapi jali suhu... Kalo bales setiap komen itu sebuah kebahagiaan.. Lakukanlah suhu.. Yg penting suhu happy... RL aman.. Update lancar jaya... Hehehe... Kalo ada yg enggak nyaman.. Suruh minum air keramat rendeman batu cahaya aja... Hehhehehe
 
Udud mah loba, keur nga-durukan oge mahi... ngan ieu kopi ka beak keun... duh... mastaka meuni janghat... rieuuuttt...
Nuwun sewu hu ... Saya ora mudeng ... Pokoke Kopi dabest ...
Disini bebas rapi jali suhu... Kalo bales setiap komen itu sebuah kebahagiaan.. Lakukanlah suhu.. Yg penting suhu happy... RL aman.. Update lancar jaya... Hehehe... Kalo ada yg enggak nyaman.. Suruh minum air keramat rendeman batu cahaya aja... Hehhehehe
Makasih hu dukungannya ...
 
CHAPTER 4

Tugas Sekdes memang berat, harus bisa menghandel tugas desa dan banyak berhadapan dengan masyarakat secara langsung. Keluhan warga pun kini menjadi santapan sehari-hariku. Mulai dari keluhan berskala kecil sampai pada yang berskala besar. Pagi ini aku sedang berhadapan dengan warga yang mengeluhkan tanahnya diserobot orang lain. Tidak tanggung-tanggung, tanah yang dipersengketakan seluas tiga hektar. Pak Margo, seorang kakek tua yang kutaksir usianya sekitar 68 tahunan, mengadukan kalau tanahnya yang seluas tiga hektar akan dijual oleh orang lain. Pak Margo tidak bisa berbuat apa-apa karena tanahnya telah disertipikatkan oleh orang yang akan menjual tanah tersebut.

“Apakah benar bapak tidak pernah menjual tanah bapak ini kepada orang lain?” Tanyaku sambil memeriksa surat girik milik Pak Margo.

“Demi Tuhan, saya tidak pernah menjual tanah saya itu pada siapa pun. Anak-anak saya pun tahu, kalau saya tidak pernah menjualnya. Kalau saya menjual, saya tidak akan memegang lagi surat girik ini. Pasti ini ada permainan curang, kok tau-tau tanah saya diserpikat orang lain.” Jelas Pak Margo hampir menangis.

“Ya, sudah ... Saya akan selidiki dulu, apa yang terjadi. Saya akan memeriksa secara administrasi dan legalitas tanah bapak. Besok, saya akan ke pengadilan untuk minta pengesahan pengadilan untuk menunda penjualan tanah bapak ini dan menyatakan tanah ini dalam sengketa.” Kataku.

“Saya mohon bantuan bapak. Selamatkan tanah saya.” Ucap Pak Margo memelas.

“Saya akan membantu bapak sekuat tenaga.” Aku coba menghibur orang tua ini.

“Kalau begitu saya permisi. Tolong hubungi saya kalau ada perkembangan.” Ujar Pak Margo sambil bangkit dari duduknya.

“Ya, pak ... Pasti akan saya menghubungi bapak setiap ada informasi penting.” Janjiku.

Kami pun bersalaman dan Pak Margo keluar dari ruangan. Walau pun iba kepada Pak Margo tetapi aku tidak boleh gegabah. Aku harus menemukan fakta yang sebenarnya terlebih dahulu, baru kemudian aku bisa memutuskan langkah-langkah apa yang harus diambil. Menemukan fakta adalah penting dalam proses pembuatan keputusan. Fakta yang salah pasti akan melahirkan keputusan yang salah. Dalam masalah ini aku harus berhati-hati karena menyangkut masalah hajat hidup seseorang dan uang yang besar.

Saat aku membuka dokumen laporan pembangunan desa, tiba-tiba smartphoneku berdering tanda masuk pesan singkat. Kulihat nama Bu Yati lah yang ada di balik layar ponsel pintarku. Langsung saja aku buka aplikasi Whatsapp lalu membaca pesan yang dikirim Bu Yati dan membalasnya.

Bu Yati: “Sibukkah?”

Aku: “Tidak terlalu. Ada yang perlu saya elus?”

Bu Yati: “Ihk, kok elus sih?”

Aku: “Ya, siapa tahu ada yang mau di elus. Maaf ya bu bercanda. Ada yang bisa saya bantu?”

Bu Yati: “Oh nda, saya hanya ingin mengajak bapak makan siang.”

Aku: “Oh siap. Saya jemput ibu ya sekarang.”

Bu Yati: “Iya.”

Aku: “Saya meluncur sekarang.”

Bu Yati: “Iya.”

Kulirik jam dinding yang berada di atas kepalaku, sedikit membalikan badan dan terlihat, jarum jam menunjukan pukul 11:50 siang. Ya, sudah masuk jam istirahat rupanya. Aku pun segera keluar ruangan untuk pergi menjemput Bu Yati, si bidan cantik dan semok. Tidak lupa aku menyambar tas pinggang berisi botol air keramat. Aku berjalan menuju Si Black yang terparkir di halam kantor desa, dan tak lama Si Black telah meluncur ke tempat yang akan kutuju.

Sekitar 15 menit berselang, aku sampai di Puskesmas. Bu Yati, si bidan cantik dan seksi itu langsung naik ke atas motorku dengan posisi duduk menyamping. Sambil melaju, kami memutuskan uang makan siang di Cafe Sawah yang hanya memakan waktu 15 menitan. Sepanjang perjalanan kami berbincang segala hal. Dari mulai latar belakang kehidupan hingga hal-hal kecil lainnya.

Akhirnya kami sampai juga di Cafe Sawah. Tempat ngopi, ngemil dan makan dengan pemandangan yang sangat indah, suasana yang jauh dari bisingnya kota. Tak lama kami mendapatkan gazebo dan Bu Yati yang memesan makanan serta minuman buat kami. Sambil menunggu pesanan datang, kami bercengkrama dan tak kehabisan bahan bahasan. Aku merasa senang, akhirnya ada seseorang yang bisa membuatku tertawa tanpa beban.

“Apa kamu punya pacar?” Tanya Bu Yati yang kini sudah memanggilku dengan sebutan nama atau kamu. Begitu pula denganku, aku juga sudah memanggil wanita paruh baya ini dengan sebutan lain selain panggilan ‘ibu’.

“Pernah ... Dan sekarang jomblo.” Jawabku sambil tersenyum. Memoriku kembali memutar saat kejadian aku dan pacarku pulang sehabis kuliah, kecelakaan itu berhasil merenggut nyawa orang yang aku cintai walaupun hampir juga merenggut nyawaku dengan menjalani kritis selama beberapa minggu.

“Apakah kamu belum berniat mencari pasangan?” Tanya Bu Yati lagi.

“Boleh dibilang aku ini dalam masa trauma bercinta. Cinta tidak pernah memihakku. Dua kali bercinta, semua kandas di tengah jalan.” Jawabku dengan senyum getir.

“Kamu jangan menyerah dong. Pasti akan ada gadis yang mau sama kamu.” Bu Yati coba menghiburku.

“Ya mungkin suatu saat nanti. Tapi yang aku pikirkan adalah hari ini. Apakah dia akan menerima rasa sukaku.” Aku merubah senyumanku. Senyuman nakal muncul di bibirku.

“Oh ya? Siapa gadis itu?” Tanya Bu Yati antusias.

“Kamu ...” Tanpa beban aku melontarkan kata itu.

“Eh ...” Bu Yati tampak terkejut namun hanya sekejap. Bidan cantik ini menyembunyikan wajah merahnya dan kuluman senyumnya dengan menunduk.

“Aku menyukaimu ...” Kataku sembari meraih jemari tangan wanita yang sedang malu itu.

“Aku juga ...” Suaranya sangat pelan hampir tak terdengar.

Aku melepas genggaman tanganku saat pelayan cafe datang mengantar pesanan kami. Aku dan Bu Yati mulai makan. Tak bisa dipungkiri ada kecanggungan di antara kami. Namun tak butuh lama untuk kami berdua untuk mengembalikan suasana akrab. Bahkan kami mulai berani saling menatap dan saling meraba tangan. Aku dan Bu Yati semakin berani menunjukkan rasa ketertarikan kami masing-masing, hingga perasaan itu mengalir begitu saja. Ya, kami saling suka dan akhirnya kami pun saling menerima.

Tak terasa waktu sudah semakin siang, kami pun memutuskan untuk kembali ke tempat kerja masing-masing. Kami berjalan ke tempat parkir. Genggaman tangan Bu Yati yang lembut dan hangat membuatku semangat. Sesampainya di parkiran, kami naik ke motor kesayanganku. Bu Yati memelukku dengan tangannya masuk ke jaketku, menempelkan bagian depan badanya ke punggungku agak ditekan hingga aku dapat merasakan kekenyalan payudaranya.

“Siap ...” Kataku memberi aba-aba.

“Ya ...” Jawabnya singkat.

Pelan dan santai aku mengendarai motor. Seperti saat keberangkatan, kami ngobrol seru. Di saat seperti ini aku ingin waktu berjalan lebih lambat. Namun nyatanya malah terasa lebih cepat. Tak terasa, aku sudah sampai di Puskesmas tempat Bu Yati bertugas. Setelah berpamitan, aku segera memacu Si Black kencang ke arah kantorku. Dan kurang dari 15 menit aku sudah sampai. Aku datang telah setengah jam, untung saja Pak Kades tidak melihatku telat. Langsung saja aku melanjutkan pekerjaanku.

Akhirnya aku dapat menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Jam kerja usai dan aku langsung pulang. Kulajukan Si Black ke arah rumahku dengan kecepatan sedang. Sesampainya di rumah, aku selalu melakukan kegiatan rutinku. Kegiatan pertamaku adalah mandi dan mengganti pakaian. Kegiatan selanjutnya ngopi dan merokok dengan kakek di ruang depan. Seperti biasa aku selalu mengevaluasi pekerjaan dengan kakek. Bagaimana pun kakek adalah matan kepala desa yang telah menjabat selama 10 tahun. Kakek sangat mengetahui seluk beluk pekerjaanku sebagai Sekdes.

“Hari ini aku kedatangan seseorang yang mengaku kalau tanah miliknya disertipikat oleh orang lain.” Kataku dan sontak kakek menoleh dengan mimik terkejut.

“Siapa?” Tanya kakek.

“Namanya Pak Margo. Warga RW 16.” Jawabku.

“Hhhmm ... Kakek tahu orangnya. Dia itu memang mempunyai tanah yang luas, tetapi anak-anaknya penjahat. Suka menjual tanah bapaknya diam-diam. Pak Margo sering kecolongan sama anak-anaknya.” Ungkap kakek.

“Oh ... Benarkah?” Sepertinya aku punya pencerahan.

“Enam bulan yang lalu, Pak Margo kehilangan empat petak sawahnya yang dijual anak sulungnya. Sampai menjadi kasus kepolisian. Eh setelah diselidiki ternyata anaknya yang maling.” Jelas kakek sambil geleng-geleng kepala.

“Jual beli tanpa surat tanah itu tidak sah kek ...” Kataku.

“Memang ... Tapi si pembeli menginginkan uang kembali. Celakanya uang sudah habis dan terpaksa Pak Margo membiarkan tanahnya lepas begitu saja demi anaknya.” Jelas kakek masuk akal.

Tidak salah jika aku berpikiran kasus yang sama terjadi pada tanah tiga hektar Pak Margo. Bisa jadi ini semua karena kelakuan anak-anaknya yang menjual tanah tersebut tanpa sepengetahuan Pak Margo. Akhirnya kuutarakan prediksiku pada kakek, dan kakek pun mempunyai persangkaan yang sama. Jika ini adalah faktanya maka aku harus segera ke kantor BPN kabupaten untuk mencari tahu perbuatan hukum jual beli atas tanah tiga hektar milik Pak Margo.

“Besok aku akan memeriksanya di BPN kek.” Kataku.

“Ya, itu langkah yang jitu. Pastikan dulu, apakah ada jual beli atas tanah itu.” Sambut kakek.

“Baik.” Jawabku singkat.

Baru dua menit aku melanjutkan obrolan dengan kakek, tiba-tiba smartphoneku berbunyi tanda ada telepon masuk. Aku pun melihat identitas si penelepon. Tertera nama Bu Yati di sana. Segera saja menerima telepon dari pacar gelapku itu.

“Hallo ...” Sapaku sembari berjalan ke teras rumah. Aku tidak ingin kakek mendengar percakapanku.

Sedang apa, sayang ...” Balasnya sampai bulu-bulu halusku merinding. Kata 'sayang' itu membuatku nyaris menggigil.

“Sedang tidak melakukan apa-apa. Hanya ngopi dan ngobrol sama kakek.” Jawabku.

Aku memasak buat anak-anak. Tapi mereka pergi ke Yogyakarta mendadak. Kata mereka, besok ada perlombaan basket di sana. Jadi mereka berangkat tadi sore dan menginap semalam di Yogya. Maukah kamu menemaniku untuk makan malam?” Jelasnya yang tentu saja tidak akan pernah aku tolak.

“Baik ... Aku meluncur ke rumahmu sekarang.” Jawabku bersemangat.

Cepetan ya ... Keburu dingin makanannya.” Ujar Bu Yati.

“Siap ... Secepatnya datang.” Jawabku.

Buru-buru aku berpamitan pada kakek dan kakek hanya tersenyum seolah mengerti apa yang akan aku lakukan. Mungkin dalam pikiran kakek aku akan berkunjung ke rumah seorang gadis, padahal aku akan pergi ke rumah wanita bersuami yang kesepian. Tak perlu berpikir berat untuk menyimpulkan kalau bidan cantik itu kesepian. Faktanya cukup jelas bahwa dia lama ditinggal suaminya bertugas di laut dan dia juga tipe wanita yang mudah jatuh hati.

Aku menggeber motor kesayangan di jalanan desa yang sepi. Berkejaran dengan angin yang berhembus sejuk. Rumah Bu Yati tidaklah terlalu jauh dari Puskesmas, sehingga dalam 15 menit aku sudah sampai di rumahnya. Aku disambut wanita cantik itu dengan senyuman ramah. Aku dibawanya masuk ke dalam rumah langsung ke dapur. Di sana sudah tersedia makanan yang menggugah selera. Kami pun duduk di kursi meja makan dan siap menyantap makanan.

“Seadanya saja ya ... Jangan kecewa kalau tidak enak.” Katanya sambil tersenyum manis padaku.

“Apapun yang kamu masak pasti enak.” Pujiku basa-basi.

“Ah, jangan memuji dulu. Coba rasakan dulu makanannya.” Pipi Bu Yati langsung merona. Rupanya dia juga tipe wanita yang senang dipuji dan digombali.

Kami mulai makan sambil bercanda. Bu Yati sering kugoda dengan rayuan gombal, dia tersipu malu sampai pipinya merah. Bidan cantik ini senang dirayu. Dan wanita mana yang tidak tersanjung karena itu? Memang sudah kodratnya, wanita itu senang dirayu dan disanjung. Sudah bukan lagi rahasia umum jikalau wanita adalah makhluk yang paling senang dirayu. Pasalnya, dengan rayuan dilontarkan seorang pria wanita merasakan kebahagiaan tersendiri. Ia merasa tinggi dan tersanjung dengan pujian yang dihaturkan oleh seorang pria.

Setelah selesai makan kami menuju ruang keluarga. Kami pun melanjutkan cengkrama hangat kami. Aku dan Bu Yati duduk bersebelahan sambil menonton film dengan tekun, rupanya film yang kami tonton bergenre romantis yang sering menampilkan adegan percumbuan. Aku yang sudah terpengaruh tontonan mulai menggeser badan hingga badan kami bersentuhan. Tanpa rasa sungkan, aku pun melingkarkan tangan di pinggang Bu Yati dari belakang.

“Filmnya romantis banget ya ... Aku jadi gak tahan.” Ucapku mulai memprovokasi.

“Gak tahan apanya?” Tanya Bu Yati yang kuanggap pura-pura tidak tahu.

“Ingin seperti di film itu.” Jawabku sambil mempererat lingkaran tanganku.

“Kalau begitu ... Apa lagi yang kamu tunggu?” Ucapan Bu Yati adalah sinyal hijau bagiku untuk mengeksekusi.

Aku raih wajahnya hingga menghadap wajahku. Mata kami saling bersitatap sejenak, sebelum akhirnya aku menyambar bibir manisnya. Kami berciuman lembut tetapi penuh nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan tempat kami berada. Perlahan, jemariku mulai merayap naik, meremas buah dada Bu Yati yang montok, menggosok dan memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut Bu Yati, menikmati remasan dan rangsanganku pada buah dadanya.

“Mmh… Sayangh…” Desah Bu Yati. Tangannya yang mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede banget…” Ucap Bu Yati setelah melepas ciuman.

“Kamu itu yang gede banget…” Bisikku sambil memijit-mijit daging empuk di dadanya.

Kami pun tersenyum bersama dan aku langsung menciumi leher kurus bidan cantik ini sambil meremas buah dadanya dengan lembut. Beberapa kali mengelus perut dan punggungnya. Bu Yati menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya. Satu fakta kutemukan lagi, Bu Yati adalah tipe wanita yang sangat mudah terangsang alias nafsu seks yang tinggi. Aku bisa mengetahuinya dari remasan tanganku di payudaranya. Aku pernah membaca dalam sebuah artikel bahwa wanita yang memiliki gunung kembar lumayan besar itu menandakan bahwa wanita tersebut memiliki ciri-ciri nafsu seks tinggi, maksud lumayan besar gunung kembar disini adalah buah dada wanita tersebut lebih kencang dari pada payudara wanita pada umumnya.

“Sayang… Kamu baru digituin masa udah keras sekali susunya?” Tanyaku menggodanya.

“Aaa… Kamu kan ngeremesnya heboh… Gimana ga keras.” Jawab Bu Yati sedikit malu.

Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, bra biru muda yang dikenakannya hampir tidak muat oleh payudaranya. “Hmmmhhh… Kamu seksi banget, sayang…” Kataku kemudian.

Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 36 C itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas bra Bu Yati. Aku mundur dan terdiam sebentar. Astaga pemandangan ini sangat membuatku turn on. Aroma tubuhnya sangat menggoda untuk dicoba. Tak pernah aku habis pikir bagaimana Bu Yati bisa memiliki payudara sebagus dan sebesar ini. Putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku membenamkan wajahku dalam keempukannya.

“Aah… Pelan-pelan sayang…” Desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan bibir dan lidahku, membuatnya semakin kegilaan.

Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalamku yang sempit karena tangan Bu Yati sejak tadi menstimulasi kejantananku dari luar celana. Akhirnya Bu Yati membuka resletingku, dikit demi sedikit aku merasakan kelegaan karena tidak sesak lagi. Kejantananku dibebaskan dari kerangkengnya oleh tangan lembut bidan cantik ini. Celana panjang dan celana dalam yang kugunakan pun jatuh ke lantai.

Aku pun segera meloloskan rok dan celana dalam yang Bu Yati kenakan. Setelahnya, aku menarik tubuh Bu Yati untuk merangkak di atasku dan menyuruh bidan cantik itu menggunakan gaya 69, saling memberi kenikmatan di masing-masing organ intim kami. Bu Yati pun membuka lebar pahanya di atas wajahku dan membiarkan Bu Yati meraup penisku, sedangkan aku sendiri memilih menjilat dan menciumi vagina Bu Yati dengan hisapan basah.

"Nghh...! Hmphh...!" Bu Yati mendesah disela-sela lumatannya di kejantananku. Ia menggerakkan lidahnya dari ujung hingga ke pangkal kejantananku, menjilat dan mengecup benda keras itu. Aku tidak mau kalah, aku juga berhasil membuat Bu Yati mendesah hebat saat lidahku terampil menghajar vagina Bu Yati. Bahkan jariku pun ikut bermain di lubang vaginanya. Kegiatan itu menghasilkan suara decakan saliva dan hisapan yang nyaring. Memenuhi ruang keluarga dengan bunyi erangan dan lenguhan penuh nafsu.

"Sayangghh ... Aaahh ... Berbalik ..." Perintahku seraya menepuk pantat Bu Yati dengan pelan.

Bu Yati tidak banyak protes, ia menyetujui perintahku dan mulai berbaring telentang di atas sofa. Aku langsung mengatur posisi di antara kedua pahanya lalu mengangkat kedua paha Bu Yati dan mulai mengecup liang senggamanya itu dengan lembut dan penuh kasih sayang, seakan-akan memberi salam perkenalan pada lubang nikmat yang sebentar lagi akan memanjakan kejantananku. Lidahku terjulur untuk menjilat vagina yang sudah basah kuyup oleh lendir cintanya bercampur dengan salivaku, memberikan sentuhan kecil pada benjolan kecil di atas bibir vagina yang membuat paha putih itu bergetar. Setelah puas menggerayangi lubang nikmat itu, aku menarik diri dan mulai memposisikan ujung kejantananku di depan pintu lubang surgawinya.

“Aku masukkan ya ..." Ujarku pelan. Meminta ijin terlebih dahulu pada pasangan bercintaku. Bu Yati mengangguk, ia semakin memperlebar kedua pahanya dan memberikan akses lebih untuk batang kerasku menerobos vaginanya.

"Lakukan... Aaahh... Dengan lembut ... Itu sudah lama tidak ada yang memasukinya..." Pinta Bu Yati dengan desahan erotis yang membuat akal sehatku terlempar jauh. Menyisakan sekeranjang penuh hawa nafsu dan bisikan setan untuk memulai persenggamaan kami.

Aku tersenyum, lalu mencondongkan tubuhku agar bisa mengecup bibir ranum Bu Yati, "Aku tahu ... Mmpphhh ..."

Aku menepukkan penisku di lubang vagina Bu Yati, seakan-akan menyampaikan salam perkenalan terlebih dahulu, kemudian mulai menusuknya secara perlahan dan hati-hati. "Hggh...! Aghh...! Ketat sekali lubangnya... Hghhh..." Ujarku dengan suara tercekat.

Bu Yati pun ikut mengerang, "Aahhhk! Pelan-pelan... Aahhk...! sayang!"

Bu Yati mencengkram bahuku dengan kuat saat benda besar dan panjang milikku mulai menerobos vaginanya. Paha bidan cantik ini bergetar keras, napasnya terengah-engah dan kepalanya menengadah dengan mulut yang terbuka untuk menangkap oksigen. ‘Erotis’ adalah kata yang bisa mendeskripsikan ekspresi yang ada di wajah Bu Yati. Dengan semburat merah di pipi, peluh yang membanjiri keningnya, serta napasnya yang terengah-engah, semua hal itu membuatku semakin terangsang untuk menggagahinya.

Aku kemudian menangkap pinggang Bu Yati, dan mulai menggerakkan tempo sodokan dengan lambat dan dalam. Satu menit kemudian, genjotan lembutku itu berubah menjadi hentakkan keras dan brutal. Membuat istri kesepian yang berada di bawah tindihanku mengerang keras dengan napas tersedak.

"Aaahhk..! Sayang..! Aaahhk..! Nghh..!" Bu Yati tersentak ke atas dan ke bawah seirama dengan hentakkan penisku di lubangnya. Suara lenguhannya terus keluar tanpa bisa dihentikan. Wanita cantik di bawahku menikmati gerakan brutal dan agresif yang aku lakukan untuk mendominasi lubang senggamanya. Memberikan sensasi arus listrik yang menggelitik di penisku.

"Sayang... Aaahh..hghh..! Nikmat.." Aku mendengus penuh nafsu. Aku gerakkan penisku keluar-masuk tanpa henti. Peluh yang membanjiri tubuhku tidak aku pedulikan sama sekali. Gairahku meningkat seiring desahan Bu Yati, libidoku terus terpompa hingga mencapai titik maksimal, yang ada di otakku hanyalah bersetubuh dengan bidan cantik ini. Mengintimidasi setiap inchi tubuh putih dan langsing itu dengan kejantananku yang terus berdenyut.

"Hhh.. Sayangh..." Bu Yati bersuara dengan suara putus tersengal-sengal, tangannya terjulur menyentuh wajahku. "Sayangh... hhh... Aku menyukaimu... Nnghh..." Bisiknya disela nada desahan dari suaranya.

Aku terdiam sesaat, aku pun tersenyum kecil. Bibirku memberi kecupan pada punggung tangan Bu Yati, "Aku tahu ... Aku juga mencintaimu ..." Balasku dengan suara bariton berat.

Bu Yati menarik lengkung bibirnya untuk tersenyum, ia kembali menarik tubuhku mendekat, kemudian melingkarkan kedua lengannya di bahuku, "Aaahhk..! Sodok aku sayang..! Aaahhhnn! Buat aku nikmat... Aaahhk...!"

Aku mencengkram pinggang Bu Yati dengan erat. Aku kembali memompa vaginanya dengan kejantananku yang terus berdenyut liar. Peluhku menetes tanpa henti dari kening, sedangkan dengus napasku semakin cepat tidak terkendali, seperti irama detak jantungku saat ini.

"Aaggh..! Nikmat.. Sempit..! Gila..! Hghh..!" Aku menggeram kecil ketika rasa nikmat terus memanjakan penisku. Aku menjatuhkan kecupan berkali-kali di bibirnya untuk meredam desahan kami. Tentunya, aku tidak ingin aktifitas panas kami sampai diketahui para tetangga.

"Sayang... Aaahhk...! Gagahi aku... Aaaahhh...!" Bu Yati mendesah nikmat. Ia mengangkat kedua kakinya dan melebarkan pahanya agar kejantananku lebih bebas mengobrak-abrik vaginanya dengan leluasa.

Aku sama sekali tidak menolak undangan gairah Bu Yati. Aku mulai mengangkat pinggul dan menghentakkannya dengan keras ke lubang senggama bidan cantik ini, sesekali aku membuat gerakan memutar untuk memberikan kenikmatan yang membuat tubuh Bu Yati bergetar hebat.

"Sayang... Aaahh... Berbalik..." Pintaku lagi.

Bu Yati menurut, ia membalikkan posisinya hingga tangan tertumpu di sofa dan lututnya tertumpu pada lantai, sedangkan pantatnya ditunggingkan ke arahku. Aku kembali mendekatkan ujung kejantananku ke liang vaginanya dan menusuknya dengan cepat. Tanganku mencengkram pinggul bidan cantik itu.

"Aaahhk..! Nikhmhat..! Saayyaannghh.. Aaaahhk...!" Tubuh Bu Yati terhentak maju-mundur dengan brutal. Jarinya mencakar alas sofa dengan erat. Setiap sodokan yang aku berikan membuat erangannya menggema penuh hawa nafsu.

Manik istri kesepian ini terbalik penuh kenikmatan, mulutnya terbuka dengan lidah menjulur yang meneteskan benang saliva. Membuatnya terlihat makin erotis dan sensual untuk disetubuhi. Aku benar-benar terangsang melihat ekspresinya itu. Aku mengangkat satu kaki Bu Yati dan menaruhnya di bahu, kemudian kembali menggenjot liang surgawi itu dengan hentakkan keras yang liar.

"Aaahhk...! Aaaggh...! Saayyannghh... Nikhmat...!" Lenguh Bu Yati lagi.

Aku merasakan kalau penisku menggesek dinding vaginanya dengan cepat dan kasar yang membuat paha Bu Yati semakin bergetar. Aku menyodok lubang nikmat itu tanpa henti. Suara becek terdengar dari arah vagina Bu Yati, memeriahkan suasana panas yang ada di ruangan ini. Erangan dan rintihan yang keluar dari mulut Bu Yati membuat libidoku meningkat tanpa henti, sampai nanti saat aku mengeluarkan air mani.

"Hghh...! Aghh...! Sayang...hhh..." Aku mendengus semakin cepat. Aku menggertakkan gigi untuk menahan sodokanku agar tidak tergesa-gesa dalam menggagahinya. Namun sempitnya lubang Bu Yati membuat aku tidak bisa mengendalikan diri lagi. Aku menghajar vagina Bu Yati tanpa terkendali, kasar dan brutal. Membuat liang hangat itu semakin nikmat dirasakan.

Aku tahu kalau Bu Yati mati-matian menahan jeritannya, mataku memejam lalu mengunci rapat bibirnya. Aku menyentuhnya di bagian-bagian paling sensitif di dalam vaginanya. Nafas Bu Yati yang terengah-engah seperti atlit lari yang baru lomba marathon. Provokasi kejantananku yang keluar masuk vaginanya memacu birahi. Aku terus menggerakan kelelakianku dalam penyatuan tubuh kami mencoba menggapai kenikmatan yang kami cari. Saling memacu, saling melumat, mencecap dan merapatkan tubuh.

Centi demi centi, kejantananku memenuhi rongga vaginanya berbarengan dengan rasa nikmat dan hangat di kejantananku. Cengkraman vaginanya yang begitu kuat terasa mengurut senjataku. Aku terus menggenjotnya kuat. Tanganku meremas kedua buah dadanya. Butir-butir keringat semakin membasahi tubuh kami berdua, dan tak lama Bu Yati berteriak histeris dan menggigit pundakku, tubuhnya mengejang kaku, otot-otot vaginanya berkontraksi, dan wajahnya agak memerah melepas orgasmenya.

“Aaaaacchhh ...!!!” Teriak Bu Yati saat merasakan orgasmenya.

Aku terus menggenjot lebih cepat dan lebih kuat. Erangan Bu Yati justru membuatku makin semangat untuk memuaskannya lagi. Akhirnya klimaksku pun telah mendekat. Iramanya kupercepat dan Bu Yati pun mengikuti iramaku agar batang kemaluanku bisa masuk sedalam mungkin. Pas sebelum aku klimaks, kurasakan dinding lubang kemaluan Bu Yati mengeras dan mencengkeram batang kemaluanku dengan kuatnya dan dia pun mendapatkan orgasmenya sekali lagi. Tidak lebih dari dua detik, aku pun menyemprotkan spermaku di dalam liang kemaluannya.

“Aaaaarrrgghh ...!” Aku menggeram merasakan klimaksku yang luar biasa.

Jiwaku seakan terbang melayang jauh ke atas awan, begitu tinggi, terasa begitu nikmatnya. Tubuhku seakan menggelepar dirajam kenikmatan yang tak terkira, begitu indah dan enaknya saat daging liang vagina Bu Yati yang menyempit hebat menggesek semakin cepat pula batang penisku yang sedang collapse, ejakulasi, seakan milikku diurut-urut mesra sembari memuntahkan air mani yang sangat banyak dan kental.

Badan kami lemas sekali, kucabut penisku dari liang senggamanya. Aku duduk di lantai bersandar di sofa. Sekitar satu menit berselang, Bu Yati duduk di sebelahku. Kami saling tersenyum dan bertatapan, akhirnya aku menarik tubuhnya hingga bersandar di dadaku lalu kucium pucuk kepalanya.

“Terima kasih.” Ucap Bu Yati dengan senyum samar.

“Tadi itu benar-benar hebat.” Kataku. Sedetik kemudian Bu Yati menampakkan sederet giginya yang putih dan cemerlang padaku.

“Apakah kamu menyukainya?” Tanya Bu Yati dengan nada menggoda di dalamnya.

“Tadi kan aku bilang hebat ... Aku sangat menyukainya.” Aku tersenyum lembut sambil mengusap pipi Bu Yati yang bersemu merah.

“Hi hi hi ... Gimana kalau kita lanjutkan di kamar?” Ucapan Bu Yati sungguh menggoda.

Tak perlu jawaban untuk menerima usulannya. Aku pun bangkit, begitu pula dengan Bu Yati. Baru saja aku berdiri tegak, tiba-tiba smartphoneku berdering tanda ada panggilan telpon. Ketika kulihat nama si penelepon, dan tertera nama ‘Pak Kades’, aku pun buru-buru menjawabnya.

“Ya, pak ...” Sapaku sedikit kaget. Tak biasanya malam-malam Pak Kades meneleponku.

Kamu ada di mana?” Tanya Pak Kades dengan nada super serius.

“Ada di rumah teman, pak.” Jawabku agak berbohong.

Segera kamu ke kantor. Ada kejadian yang sangat menggemparkan di desa kita.” Kata Pak Kades yang membuatku terperanjat.

“Ada kejadian apa pak?” Tanyaku mulai panik. Aku langsung menyambar pakaianku dan memakainya tergesa-gesa.

Ada pembunuhan. Pak Margo dibunuh di ladangnya tadi sore. Sekarang kamu mau dimintai keterangan oleh polisi terkait dengan kejadian pembunuhan ini. Ada informasi tadi pagi Pak Margo menemui kamu di kantor. Polisi ingin tahu apa yang kamu bicarakan dengan Pak Margo tadi pagi.” Jelas Pak Kades.

“Oh, baik pak ... Saya akan segera ke kantor. Lima belas menit sampai.” Kataku yang kini hatiku bergetar.

Saya tunggu secepatnya di kantor.” Kata Pak Kades yang terdengar seperti perintah.

“Baik pak.” Jawabku.

“Ada apa?” Tiba-tiba Bu Yuli bertanya dengan wajah khawatir.

“Ada pembunuhan di desa kita.” Jawabku sembari berpakaian.

“Pembunuhan?” Bu Yuli memekik dengan mata terbelalak.

“Aku harus segera ke kantor desa ... Kunci pintu semua.” Kataku sembari berjalan cepat ke pintu ruang depan.

“Hati-hati ...” Ucap Bu Yati penuh perhatian.

“Ya ... Kamu juga hati-hati ...” Kataku sambil keluar rumah.

Aku berlari untuk menggapai Si Black. Setelah mesin Si Black menyala, aku langsung membesutnya. Aku terus menambah kecepatan motorku. Beruntung jalanan desa sangat sepi sehingga aku bisa mencapai kantor desa kurang dari waktu yang telah kujanjikan kepada Pak Kades. Di kantor desa sudah banyak polisi yang berjaga. Aku parkirkan motor persis di depan pintu masuk gedung kantor desa. Aku berjalan cepat melewati para polisi dan menemui Pak Kades di ruangannya.

“Nah ... Dia sudah datang.” Ujar Pak Kades dan seorang polisi berpakaian bebas berjaket kulit ikut berdiri bersama Pak Kades.

“Bagaimana kejadiannya?” Tanyaku sambil menjabat tangan si polisi. Lalu duduk di sofa yang tersedia di ruangan Pak Kades.

“Awalnya ada laporan dari masyarakat. Mayat Pak Margo ditemukan di ladangnya. Kami pun segera ke tempat kejadian. Pemeriksaan awal kami, Pak Margo dibunuh karena terdapat luka tusukan dan luka penganiayaan. Menurut keterangan Pak Margo menemui bapak pagi harinya. Sebenarnya, apa yang Pak Margo bicarakan dengan bapak pagi itu?” Tanya inspektur polisi padaku.

“Pagi itu Pak Margo berkeluh kesah karena tanahnya telah disertipikat dan akan dijual oleh orang lain. Dan saya berjanji akan mengurus dan menyelesaikannya. Saya berjanji kepadanya kalau saya akan ke pengadilan untuk menunda penjualan tanah tersebut dan menetapkannya sebagai tanah sengketa.” Jawabku.

“Apakah ada hal lain yang Pak Margo bicarakan?” Tanya inspektur polisi lagi.

“Tidak ada pak ... Hanya itu yang kami bicarakan tadi pagi.” Jawabku.

“Apakah Pak Margo memberikan sesuatu pada bapak?” Tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak, entah kenapa aku merasa ragu mengutarakannya, “Ada ... Beliau memberikan surat giriknya kepada saya.”

“Surat girik itu terpaksa harus saya bawa untuk diperiksa dan untuk kepentingan penyelidikan. Bisakah bapak memberikannya pada saya?” Pinta sang inspektur polisi.

“Oh, bisa ... Bapak tunggu sebentar. Saya akan ambil di ruangan saya.” Kataku walau berat hati.

Aku pun beranjak dari ruang Pak Kades ke ruanganku. Entah kenapa, hati kecilku seperti melarang memberikan surat girik milik almarhum Pak Margo. Tetapi aku tak berdaya oleh aparat yang memang bertugas menangani dan menyelesaikan kasus pembunuhan ini. Tidak ada hukumnya untuk menolak permintaan polisi demi kepentingan penyelidikan. Aku ambil surat girik milik almarhum Pak Margo, lalu kembali ke ruangan Pak Kades.

“Ini pak surat giriknya.” Kataku sembari memberikan surat girik di tanganku pada inspektur polisi tersebut.

“Baiklah. Kalau begitu saya cukupkan pemeriksaan malam ini. Bila bapak-bapak diperlukan lagi, saya harap bapak bersedia menerima panggilan dari kami.” Ujar sang inspektur polisi.

“Kami selalu siap membantu.” Jawab Pak Kades.

Aku pun bersalaman dengan inspektur polisi sebelum dirinya keluar ruangan Pak Kades. Aku mengikuti Pak Kades dan inspektur polisi keluar gedung kantor desa. Aku edarkan pandangan untuk menelisik muka-muka polisi yang tidak kurang dari tujuh orang. Sebisa mungkin aku ingat muka-muka itu. Tak lama semua polisi keluar dari area kantor desa. Aku dan Pak Kades kembali masuk dan duduk di ruangannya.

“Aku mencurigai sesuatu.” Tiba-tiba Pak Kades bersuara seperti itu.

“Apa itu pak?” Tanyaku benar-benar penasaran.

“Tapi ini baru persangkaan dan hanya untuk kita berdua saja.” Ucap Pak Kades agak berbisik.

“Ya.” Jawabku singkat yang juga berbisik.

“Tanah itu penjualnya adalah jenderal polisi dari Mabes Polri. Aku curiga ini permainan mereka.” Bisik Pak Kades.

“Pantas hati kecil saya merasa berat memberikan surat girik itu.” Aku coba menyambungkan kecurigaan Pak Kades dengan perasaanku.

“Ya sudah ... Kita gak usah ikut campur. Jauhi mereka.” Pak Kades coba memperingatiku.

“Baik.” Jawabku sambil menganggukan kepala.

Beberapa menit kemudian, aku dan Pak Kades keluar dari gedung kantor desa. Kami berpisah kembali ke rumah masing-masing. Aku berpikir memang lebih baik menghindari masalah ini karena aku tak ingin terlibat dengan masalah polisi. Ya, aku memilih mencari aman karena aku tahu bahwa ini adalah sebuah permainan yang sedang dimainkan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sebenarnya itu bukan caraku, namun aku akan memilihnya, karena cepat atau lambat masalah tersebut akan berlalu.
Bersambung

Chapter 5 ada di halaman 32 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Akhirnya karya sastra yang aku tunggu muncul juga, emang keren banget karyamu @Aswasada , slalu setia menunggu karya2 sastranya👍👍👍👍👍
Ha ha ha ... Karya sastra kelas kambing ini sih hu ...
Anjir cerita misteri pembunuhannya lebih menarik ditungguin . .
Nantikan saja kelanjutannya hu ...
Akhirnya update jg. Thanks suhu ditunggu klnjutannya :cup: :cup:
Perasaan saya setiap hari update hu ...
Saya dah mulai jarang membaca wkkww
Makasih brother ... Sering-sering saja ke sini ... Kalau pusing baca ceritanya, baca saja komen-komennya ... ;)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd