Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

CHAPTER 8


Wanita cantik yang mempunyai mata yang indah dan tubuh yang seksi, membuatku selalu betah berada di dekatnya. Bu Yati memang mempunyai sex appeal yang sangat kuat untukku. Senyuman dan sentuhannya membuatku seperti tersengat listrik. Gaun tidur transparan yang dipakai Bu Yati membuatku bisa merasakan dengan jelas getaran-getaran birahi yang disalurkan bidan cantik itu. Juniorku mulai mengamuk lagi di bawah sana. Paha Santi yang menyentuhnya pun merasakan betapa juniorku sudah menjadi keras dan tegang kembali.

“Ya ampun ... Ini sudah bangun lagi ...” Desis Santi sembari meraih kejantananku yang sudah sangat keras dipegang Santi seakan sudah menjadi hak miliknya saja.

“Kalian minum dulu. Kalian pasti haus kan.” Ucap Bu Yati dengan menyodorkan dua botol air mineral dingin. Aku ambil satu di tangannya lalu aku teguk hingga setengahnya.

“Terima kasih.” Kataku sambil memberikan botol air mineral kepada Bu Yati. Begitu pula Santi. Bu Yati meletakan kedua botol air mineral tersebut di meja kecil samping tempat tidur.

Bu Yati kemudian naik ke atas tempat tidur dan langsung saja mengangkangi tubuhku persis di bagian selangkanganku. Vaginanya yang hangat menekan batang ereksiku. Bu Yati menggoyangkan pinggulnya sehingga menggesek-gesek batang kejantananku. Ternyata vagina Bu Yati sudah basah. Gerakannya yang menggesek batang kejantananku oleh vaginanya membuat penisku terlumasi oleh cairan birahinya.

“Basah sekali.” Godaku pada Bu Yati. Kemudian tanganku menarik gaun tidur transparannya ke atas. Bu Yati pun membantuku hingga gaun itu terlepas dari tubuhnya.

“Suara berisik kalian tadi yang membuatnya basah.” Ujar Bu Yati sambil tersenyum.

Dalam posisi di bawah seperti ini, aku bisa leluasa meremasi payudara ibu bidan ini, lalu aku pun berkata, “Aku semakin bersemangat bikin anak kalau kamu bergabung di sini.”

“Aku kan nunggu kamu membuahi Santi dulu.” Genit Bu Yati membuatku gemas.

“Xi Xi Xi ... Sekarang giliran Bu Yati yang kamu buahi.” Canda Santi.

“Ihk ...” Pekik manja Bu Yati keluar begitu saja sambil memukul pelan paha Santi.

“Ha ha ha ... Ayo girls ... Kita bersenang-senang malam ini.” Kataku bersemangat.

Kedua wanita cantik itu pun cekikikan genit. Aku kemudian menyuruh Santi untuk mengangkang di mukaku. Sementara Bu Yati pasti tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan posisi ini, aku bisa melihat vagina Santi yang merah dan indah. Kuusap sesekali vaginannya, masih terasa basah. Akupun mulai menciumi vaginanya. Terasa lengket tapi harum sekali. Kukira Santi selalu menjaga bagian kewanitaannya ini dengan teratur sekali.

“Ooohh ... Aaahh sayangh ... Enak sayangh ...” Racau Santi. Pinggulnya bergoyang seiring jilatan lidahku di sepanjang vaginanya. Vagina merahnya semakin basah oleh lendir vaginanya yang harum dan jilatanku.

Sementara itu di bawah sana aku merasakan jemari tangan Bu Yati yang lentik memegang batang penisku dan mengarahkannya tepat di lubang vaginanya yang sudah basah oleh lendir. Perlahan Bu Yati menurunkan pinggulnya secara lembut, maka melesaklah seluruh batang penisku yang sudah mencapai ereksi maksimal. Aku sempat mendesah ketika penisku diselubungi oleh kelembutan yang hangat. Bu Yati mulai bergerak naik turun, dan aku pun menaik-turunkan pinggulku. Saat pinggulnya naik, aku menurunkan pinggulku sampai-sampai penisku menjauh dari vaginanya. Waktu pinggulnya bergerak ke bawah, aku menekankan pinggul sampai-sampai penisku menancap dalam ke vaginanya.

“Aaahh ... Aaahh ... Aaahh ...” Bu Yati lantas mendesah-desah kenikmatan.

Desahan Santi juga semakin hebat ketika kumasukkan lidahku ke dalam lubang vaginanya. Santi menggelinjang hebat. Tanganku yang sedang meremas pantat Santi yang padat ditariknya ke payudara. Tanganku pun bergerak meremas-remas payudaranya yang kenyal. Sementara lidahku terus menerus menjilati vaginanya. Kaki Santi menjepit kepalaku dan pinggulnya bergerak tidak beraturan.

Dua pasang tangan wanita itu bertumpu pada dadaku bersamaan. Kedua wanita ini menggerak-gerakan tubuhnya bersamaan. Tentu saja aku bisa membayangkan dada besar mereka bergoyang seirama satu salam lain. Tak lama, aku mendengar suara ciuman, aku yang tak bisa melihat karena pandanganku terhalang selangkangan Santi bisa memastikan kalau mereka berdua sedang berciuman sambil terus menaik-turunkan tubuhnya di atasku.

"Mmhhh mmhh ngghh..."

Desahan mereka sama-sama tertahan karena ciuman. Beberapa saat kemudian aku mendengar suara ciuman terlepas dan mereka sama-sama bisa mendesah bebas. Santi terus menggesekkan vaginanya pada lidahku yang menari-nari di bawahnya.

"Bagaimana Sinta? Aah aah nggh... Lidahnya hebat bukan? Aakhh akhh!" Tanya Bu Yati pada Santi.

“Aaaahh ... Aaaahh ... Aaaahh ...” Santi tak mampu menjawab pertanyaan menggoda Bu Yati. Kini Santi tampak terus fokus menghujam mulutku dengan vaginanya.

Getaran, goncangan kuat kenikmatan yang semakin memuncak, menyiksa dengan kesenangan yang tak mampu aku tolak. Kenikmatan demi kenikmatan bergantian memukul semua syaraf kesadaranku. Hangat kini dirasakan menjalar ke seluruh tubuhku. Irama sensual erangan kedua wanita di atasku lembut dan malu-malu. Rasa nikmatku begitu kuat, putus asa namun terkendali. Tiba-tiba terasa getaran tubuh Santi yang aku tahu itu adalah tanda-tanda orgasme. Namun dengan segera Santi menyingkir dari wajahku. Aku tentu saja menatapnya heran.

“Aku ingin orgasme sama kontolmu.” Ucap Santi yang akhirnya aku mengerti dengan tindakannya itu.

Aku tersenyum lalu memfokuskan diri pada bidan cantik yang sedang naik turun di selangkanganku. Bu Yati terus menggenjotkan tubuhnya sendiri di atas penisku. Kedua tangannya yang bertumpu ke belakang mencengkram pahaku. Baik aku maupun dirinya dari tadi sama-sama belum mencapai pelepasan kami.

"Aahh ahh nikmatnya! Oohh ohh kontolmu makin membesar dalam diriku, sayang. Aahhh ahh ssshhh! AAHH SAMPAIII! AAH AHHH!" Bu Yati menjerit tanpa malu. Dan akhirnya tubuh bidan cantik di atasku mengejang saat orgasme itu tiba tak tertahan. Tubuhnya melengkung beberapa detik, tangannya mencengkram pahaku kuat-kuat. Sementara itu aku merasakan siraman cairan hangat dari dalam tubuhnya. Ia pun akhirnya melepas penisku dan terlentang lemas.

“Giliranku.” Sambung Santi yang beberapa saat asik menyaksikan persetubuhanku dengan Bu Yati.

Aku pun memandang wajah Santi sambil tersenyum dan berkata, “Terlentanglah. Biar spermaku masuk sempurna ke dalam rahimmu.”

Tanpa diperintah dua kali, Santi merebahkan diri terlentang dengan membuka kedua pahanya lebar-lebar. Aku pun memposisikan diri di antara kedua paha Santi dan menempelkan kepala penisku pada bibir vagina wanita itu. Setelah dirasa pas, dengan sekali gerakan aku menghujamkan kejantananku dalam-dalam. Santi setengah menjerit, kaget sekaligus keenakan. Santi memejamkan mata kembali menikmati genjotanku dengan penuh penghayatan. Aku semakin bernafsu, permainanku yang tadinya lembut kini menjadi liar. Dengan ganas aku menghujam-hujamkan penisku yang menyebabkan Santi menggelepar-gelepar bagai sedang disembelih. Dengan sisa tenaganya, Santi melingkarkan kedua kakinya di pinggangku sehingga tubuhnya kini terpaut ke tubuhku. Kami lalu berpagutan bibir dan beradu lidah dengan penuh gairah sehingga desahan tertahan terdengar dari mulut kami. Sensasi yang timbul dari pergesekkan penisku dengan dinding dalam vaginanya benar-benar membuat aku serasa terbang, nikmat sekali.

“Aaahh... Aarrgghh... Oohh… Sayangh…. Mau keluar!!” Tangan Santi memeluk erat tubuhku, kukunya sampai mencakar punggungku ketika di ambang orgasme.

“Aaahh... Say... Enak banget… Ooohh…!” Aku juga mengerang-ngerang dan genjotanku semakin bertenaga.

Mata Santi merem-melek saat gelombang dahsyat itu menerpanya, tubuhnya mengejang hebat, gelombang kenikmatan itu menjalar dari vagina ke seluruh tubuhnya. Kakinya yang mengapit pinggangku ia pererat agar penisku bisa masuk lebih dalam. Tak lama kemudian aku juga mencapai klimaks. Aku menekan dalam-dalam batang penisku dalam vagina Santi dan menyemburkan isinya. Cairan hangat itu tertumpah di dalam rahim wanita itu. Penisku berangsur-angsur menyusut di dalam sana, lalu aku mencabut batang kemaluanku hingga akhirnya kami terbaring bersebelahan, dan Bu Yati pun ikut berbaring di sebelah kiriku.

“Kamu kuat banget sayang. Bisa ngalahin kami berdua.” Ucap Bu Yati dengan posisi tubuhnya sedang memelukku menyamping.

“He he he ... Habisnya kalian sangat menggairahkan.” Balasku.

“Aku bahkan sampe dua kali.” Sambung Sari.

“Hi hi hi ... Sebelum kamu ketahuan hamil. Kamu harus rajin-rajin disuntik.” Canda Bu Yati dan terasa tangannya kini membelai-belai kejantananku yang setengah tegang.

“Aku sih maunya setiap hari ... Xi xi xi ...” Ujar Santi dan kini ia pun menyamping dan memeluk tubuhku.

“Kalau setiap hari, spermaku akan kering. Itu tidak sehat buat spermaku.” Balas candaku.

“Tenang saja. Ada suplemen yang membuat spermamu gak habis-habis. Nanti aku kasih sama kamu.” Ucap Bu Yati yang semakin intens mempermainkan kejantananku.

Kami pun tertawa bersama-sama. Entah apa yang terjadi pada malam ini, tetapi kami menghabiskan malam dengan terus bercinta. Kami bertiga tidak peduli apa yang kami perbuat dan hanya fokus pada menuntaskan birahi kami. Rasa lelah yang menyambar belum dapat menghentikan kami bertiga untuk terus memburu kenikmatan demi kenikmatan. Ya, malam ini menjadi malam paling indah yang pernah aku rasakan, bahkan terlalu indah jika hanya di kata sebagai kenangan indah. Malam ini terlalu istimewa sampai aku bingung harus mengatakan malam ini dengan nama apa.

.....
.....
.....


Cuaca pagi menjelang siang ini sangat cerah dan matahari bersinar terang. Aku keluar Villa Bukit Pinus Cobanrondo setelah mobil Santi yang membawa Bu Yati terlebih dahulu meninggalkan villa. Deru mesin motor terdengar bertambah keras saat pergelangan tanganku memutar setang gas, lalu membawa Si Black meluncur di jalan beraspal. Setelah sekitar 20 menit berkendaraan, aku sampai di rumah. Tak seperti biasanya, kakek sudah menungguku di teras. Kedatanganku disambut dengan ramah. Penyambutan kakek seperti ini sungguh membuatku terheran-heran. Sepertinya ada sesuatu penting yang ingin kakek sampaikan padaku.

“Ada apa kek? Kok kayak yang genting banget.” Tanyaku sambil duduk di kursi dengan sedikit membanting pantat.

“Kakek mau memintamu untuk menolong seseorang.” Ucap kakek sangat serius.

“Menolong seseorang? Menolong apa?” Tanyaku menjadi penasaran.

“Anak Pak Haji Yanto yang kamu sudah mengenalnya. Dia hamil dua bulan. Gak ada yang mau bertanggung jawab. Maukah kamu menjadi suami sementaranya sampai dia melahirkan bayinya? Kakek kasihan sama Pak Haji Yanto, namanya akan cemar jika masyarakat tahu kalau anak gadisnya hamil di luar nikah.” Jawab kakek to the point.

“Ha ha ha ...” Aku tertawa seketika mendengar kalimat permohonan kakek yang sangat menggelitik. “Kenapa harus aku kek? Kan banyak pemuda yang pasti mau menikahinya. Gak perlu sementara, selamanya mereka pasti mau. Ha ha ha ...” Lanjutku sambil meneruskan tertawaku.

“Masalahnya anak gadis Pak Haji Yanto, hanya mau sama kamu.” Ungkap kakek yang membuat tertawaku terhenti seketika. Aku menatap kakek tak percaya.

“Dia membenciku kek.” Tegasku.

“Dia tidak membencimu. Saat dia bertemu kamu di rumah makan padang, pikirannya sedang kacau. Dia sedang marah pada laki-laki yang menghamilinya karena tidak mau bertanggung jawab. Laki-laki yang kamu temui saat menghajar Jafar lah yang dianggap Sri sebagai ayah dari bayinya.” Jelas kakek. Aku langsung teringat saat gadis cantik itu menatapku dengan pandangan sendu.

“Tapi ... Kenapa dia memilihku?” Tanyaku masih dengan berusaha menetralkan keterkejutanku.

“Dia melihatmu saat kamu menghajar Jafar dan kawan-kawannya. Dia beranggapan kalau kamu laki-laki yang bisa menjaganya.” Jawab kakek lagi.

Sebenarnya aku ingin menolak, tetapi aku ingin mengetahui keinginan kakek, “Menurut kakek ... Apakah aku harus menolongnya?”

“Kakek tidak ingin memaksamu harus menuruti keinginan kakek. Tapi hati kecil kakek berharap kamu mau menolong Pak Haji Yanto untuk menyelamatkan nama baiknya. Kakek merasa kasihan sama beliau. Pak Haji Yanto adalah orang terpandang dan dihormati warga. Bahkan setelah Pak Kades yang sekarang pensiun, dia ingin mencalonkan sebagai Kades. Menurut kakek dia pantas menjadi Kades selanjutnya untuk desa ini.” Jelas kakek lagi panjang lebar.

Aku termenung sejenak, menghela nafas seketika. Menikahi gadis hanya untuk menyelamatkan nama baik orangtuanya. Ya, memang hal yang satu ini mungkin terdengar aneh karena akua anggap sebagai cerminan pemaksaan kehendak orangtua terhadap anaknya. Aku juga berpikir bahwa bila hal ini terjadi dapat dipastikan tidak akan menumbuhkan sebuah cinta yang utuh, pernikahan ini tidak akan menghasilkan ikatan batin yang erat.

Namun aku tidak ingin berpikir terlalu jauh seperti itu, karena menurutku apapun yang kakek kehendaki pastilah itu yang terbaik dan karena itulah aku juga akan mencoba menjadikan itu yang terbaik. Selain itu, kalau pun hal ini merupakan salah satu cara yang bisa membahagiakan kakek kenapa tidak? Toh, selama ini aku belum bisa membalas segala yang kakek berikan kepadaku hingga saat ini.

“Apakah kakek senang kalau aku menolongnya?” Tanyaku ingin tahu isi hati kakek.

“Ya, pasti kakek senang.” Senyum kakek mulai tampil di wajahnya.

“Kenapa?” Tanyaku lagi.

“Sejujurnya, kakek sangat suka dengan keluarga besar Pak Haji Yanto. Mereka itu ramah-ramah dan baik kepada sesama. Sangat dermawan dan tak terlihat kecacatan dalam kehidupan mereka. Ya, mungkin kasus yang menimpa anak gadisnya sebagai pengecualian. Sri memang anak yang sulit diatur.” Ungkap kakek dan mulai membakar rokoknya.

“Kek ... Apakah kakek bisa membayangkan. Bagaimana rasanya hidup dengan orang yang tidak menyukaiku dan aku juga tidak menyukainya?” Tanyaku untuk yang kesekian kalinya.

“Kakek harap kamu bisa tahan sampai bayi yang dikandung Sri lahir. Setelah itu kamu bisa menceraikannya. Itu tidak akan lama.” Jawab kakek yang menurutku bukan sebuah solusi.

“Ya sudah ... Demi kebahagiaan kakek. Aku akan menolong keluarga Pak Haji Yanto.” Akhirnya aku memutuskan.

“He he he ... Baiklah ... Kakek akan mengabari Pak Haji Yanto sambil menentukan hari pernikahan kalian.” Raut wajah kakek tampak begitu bahagia.

Aku dan kakek akhirnya melanjutkan obrolan ke tema yang lain. Seperti kebiasaan kami, rokok dan kopi selalui tersedia sebagai pelengkap di tengah obrolan kami berdua. Saat kami asik ngobrol, tiba-tiba terdengar suara mesin motor yang berisik memasuki halaman kami, lalu menyusul bunyi jatuh motor ke tanah seperti sengaja oleh si pemilik dibantingnya. Aku dan kakek terperanjat kemudian berdiri dan bergegas ke teras. Belum juga sampai pintu, Jafar dengan wajah dan tubuh berlumuran darah masuk ke dalam rumah.

“Jafar!” Pekik kakek yang langsung memburu tubuh Jafar yang sudah tersungkur di lantai.

“Tolong aku, Azka ... Tolong ... Ada orang-orang yang mengejarku ...” Ucap Jafar dengan suara menggigil. Rasa takutnya begitu hebat sampai-sampai badannya menggigil.

“Kenapa? Kenapa kamu dikejar-kejar mereka?” Tanya kakek sembari mengangkat tubuh Jafar yang berlumuran darah.

“Aku ingin dibunuhnya ...” Jawab Jafar dengan tubuh menggigil seperti sedang meriang berat.

Aku yang menyadari keadaan langsung mengambil botol air mineral tempat bersemanyam batu cahaya. Aku minum dua teguk lalu menyimpan kembali ke tas pinggangku. Aku pun keluar dan berdiri di teras untuk menyambut kedatangan tamu tak diundang. Beberapa tetangga berdatangan dan langsung saja aku perintahkan kembali ke rumah masing-masing dengan alasan mungkin akan membahayakan mereka. Untungnya warga menuruti perintahku, mereka kembali tetapi tampaknya mereka penasaran dan berdiri di teras rumah masing-masing.

Benar saja, sebuah motor dan dua buah jeep berjenis wilis masuk ke halaman rumahku. Untuk yang mengendarai motor aku mengenalnya karena dia warga di desaku, namun untuk sepuluh orang lainnya yang menaiki jeep wilis tak seorang pun aku mengenalinya. Jika dilihat sekilas mereka berasal dari kota. Kaos ketat, jelana jeans dan sepatu tentara yang mereka kenakan terlihat elegan sebagai dandanan orang kota.

“Ada apa?” Tanyaku mendahului mereka yang datang.

“Serahkan Jafar pada kami!” Ucap seseorang berbadan besar dan kekar sembari maju dua langkah dari barisan teman-temannya.

“Jafar terluka parah. Kami akan membawanya ke rumah sakit lalu kami serahkan ke pihak yang berwenang.” Kataku sangat tegas.

“Aku peringatkan kau! Jangan ikut campur urusan kami.” Orang besar dan kekar itu mulai menebar ancaman.

“Aku peringatkan juga padamu! Jangan membuat kekacauan di desa kami. Lebih baik kalian pergi sebelum warga marah dan menyakiti kalian!” Aku tak kalah garang mengancam mereka.

“Ha ha ha ... Aku suka gaya sok jagoanmu! Aku tak pernah takut pada siapa pun. Berapa banyak orang akan aku hadapi. Sekarang, sebelum kau menyesal. Berikan si Jafar padaku!” Katanya.

Sial! Orang ini benar-benar tak mempunyai rasa takut. Kepercayaan dirinya pun sudah di level dewa. Aku tahu dia orang yang sangat berbahaya. Langsung saja otakku berputar untuk membuat skenario supaya komplotan berbahaya ini pergi. Aku bisa saja membuat mereka linglung dan pergi begitu saja, namun aku pikir tidak seru. Setidaknya aku sedikit memberi mereka efek jera.

Tiba-tiba otakku memberikan ide. Sambil tersenyum miring, aku menghayal kalau orang kekar di depanku terlihat sebagai Jafar oleh teman-temannya. Lalu disiksa dan dibawa pergi ke markas mereka. Orang-orang akan tersadar jika yang mereka siksa dan dibawa ke markas mereka adalah temannya sendiri.

“Jangan membuang-buang waktu! Serahkan si Jafar padaku sekarang juga!” Suara orang kekar itu mulai meninggi.

“Tunggu sebentar.” Kataku sembari masuk ke dalam rumah.

“Ka..kau ... Akan menyerahkan a..ku pada me..mereka?” Tanya Jafar sesaat aku sudah berada di dekatnya.

“Tidak.” Jawabku. “Mereka sebentar lagi akan pergi.” Lanjutku santai.

Tak lama, terdengar suara pukulan dan teriakan keributan di halaman rumah. Aku menahan kakek yang hendak keluar rumah. Aku melihat si orang kekar sedang dikerubuti teman-temannya. Si orang kekar berteriak-teriak marah kepada teman-temannya yang menyerang secara membabi buta kepadanya. Aku akui kalau si orang kekar itu lumayan juga cara membela diri. Dia masih bisa menghindar dan membalas serangan orang-orang yang jumlahnya sepuluh orang. Namun sekuat apapun, orang pasti ada lengahnya. Pada suatu kesempatan, kepala si kekar terhantam balok kayu sehingga dirinya tersungkur. Dari situlah, tendangan dan injakan tidak berperi-kemanusiaan menghujami tubuh si kekar hingga pingsan. Kemudian tubuh pingsan si kekar digotong ke salah satu jeep wilis. Mereka pun pergi dan suasana kembali sepi.

“Kenapa mereka menyerang pimpinannya sendiri ya?” Tanya kakek terheran-heran.

“Mereka itu wong edan ...” Selorohku tak peduli.

“Aneh sekali?” Kakek masih berdiri di tempatnya sembari melihat ke halaman. Rupanya kakek masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.

“Sudah kek ... Jangan dipikirkan. Ini Jafar perlu perawatan.” Kataku.

“Oh ya ... Bawa ke Puskesmas ... Pinjam mobil ke Pak Surya sana ...!” Ujar kakek sambil memegangi tubuh Jafar yang limbung.

“Gak perlu Azka ... Aku gak perlu dibawa ke Puskesmas. Aku masih kuat. Aku hanya perlu istirahat.” Sahut Jafar.

“Yakin kamu masih kuat?” Tanyaku.

“Iya ... Baringkan saja aku di lantai.” Sahutnya lagi.

“Kalau begitu. Telepon saja Bu Yati. Suruh dia ke sini!” Perintah kakek sembari membaringkan Jafar di lantai.

Aku segera menyambar smartphoneku dari saku celana lalu menelepon Bu Yati. Sial alat komunikasinya tidak aktif, Bu Yati tidak bisa dihubungi. Walau bidan, Bu Yati pasti bisa menolong Jafar untuk pertolongan pertama sebelum di bawa ke rumah sakit. Aku coba menghubunginya lagi, tetap hasilnya nihil. Setelahnya, aku masukan lagi smartphoneku ke dalam saku celana dan menghampiri Jafar yang terbaring meringkuk sambil mengerang-erang kesakitan.

“Bu Yati tidak bisa dihubungi.” Kataku pada kakek.

“Ambilkan air minum.” Ucap kakek lirih yang sedang jongkok di samping tubuh Jafar.

Aku secepatnya ke dapur dan mengambil air putih yang kucicikan dalam gelas besar. Saat aku hendak melangkah ke ruang depan, botol air mineral tempat bersemayam batu cahaya terasa bergerak-gerak cukup keras dalam tas pinggangku. Aku pun mengeluarkan botol tersebut dari tas pinggang. Alisku seketika menukik begitu melihat batu cahayaku mengeluarkan gelembung-gelembung seperti air mendidih. Air di dalam botol yang tinggal setengah itu tiba-tiba membentuk tornado air kecil yang menyundul-nyundul tutup botol.

Aku simpan gelas besar berisi air putih untuk Jafar di meja, lalu membuka tutup botol air mineralku. Ajaib! Tornado kecil itu meluncur keluar dari botol dan perlahan terbang mengarah gelas besar berisi air minum yang aku persiapkan untuk Jafar. Tornado kecil itu bergabung dengan air di gelas besar. Aku melongo kayak orang paling bodoh di dunia, mataku terpaku melihat keajaiban itu. Belum juga sadar dengan keheranan dan keterkejutan, tiba-tiba di telingaku ada yang berbisik.

Berikan air itu segera, sebelum nyawanya hilang.” Itulah bisikan yang aku dengar.

Seketika aku langsung tersadar bahwa aku harus menolong Jafar. Aku sambar gelas besar di atas meja yang sebelumnya aku meletakan botol air mineral tempat batu cahaya terlebih dahulu di atas meja makan. Aku berlari hingga sebagian air tumpah. Sesaat kemudian, aku jongkok di depan wajah Jafar, aku ambil belakang lehernya lalu meminumkan secara paksa air putih yang kubawa ke dalam mulut Jafar. Akhirnya air putih tersebut terminum walau beberapa teguk.

“Yang pelan-pelan dong.” Kakek menegurku.

“Aku panik kek.” Kataku jujur dan berharap nyawa Jafar terselamatkan.

“Sini ... Sisanya biar kakek yang berikan.” Kata kakek.

Aku memberikan gelas besar di tanganku kepada kakek. Masih ada setengah lebih air putih di dalamnya. Dengan telaten kakek meminumkan air putih itu kepada Jafar. Benar saja, tanpa tumpah, air putih itu bisa dihabiskan oleh Jafar. Kakek memintaku untuk mengambil lagi air minum. Aku kini bisa bernafas lega karena aku yakin Jafar selamat dari mara bahaya. Aku kembali ke dapur. Sebelum mengisi gelas, aku isi dulu sampai penuh botol air mineral tempat batu cahayaku tinggal dan memasukan kembali ke dalam tas pinggang. Setelah itu aku mengisi gelas besar dan kemudian berjalan ke ruang depan. Aku semakin melebarkan senyum ketika melihat Jafar kini sudah bisa duduk di kursi menghadap meja tamu di sebelah kakek.

Benar-benar ajaib batu cahayaku.” Kataku dalam hati. “Gimana? Udah enakan?” Tanyaku kemudian pada Jafar sambil meletakkan gelas berisi air minum di depannya.

“Lumayan ...” Jawabnya sambil menganggukan kepala kepadaku.

“Jadi sudah bisa bercerita?” Tanyaku.

“Aku malu.” Ucap Jafar sambil menudukan wajah.

“Ha ha ha ... Preman kok punya kemaluan?” Candaku.

“He he he ... Ya pasti punya ...” Jafar membalas candaanku. Dari ucapannya sekarang aku yakin kalau Jafar sudah tidak apa-apa dan tampak sehat.

“Sekilas aku bisa menilai kalau orang-orang yang mengejarmu bukan orang biasa-biasa saja. Tapi aku yakin juga kalau mereka bukan polisi atau tentara. Jadi aku menyangka kalau mereka semacam kelompok preman gede atau mafia. Apakah pikiranku benar?” Aku coba memberi Jafar jalan untuk bicara.

“Benar ... Mereka mafia ...” Jawab Jafar sambil melirik padaku.

“Bagaimana kau bisa terlibat dengan mereka?” Tanyaku lagi.

“Aku menjual narkoba mereka.” Jawabnya yang sudah kuduga.

“Kamu mau dibunuh mereka. Itu katamu tadi. Kenapa?” Aku sudah seperti wartawan saja.

“Aku telat setor. Uangnya aku pakai.” Jawab Jafar lalu menghela napas.

“Sudah jangan ditanya-tanya lagi.” Kakek memotong pembicaraanku. “Sekarang pikirkan bagaimana caranya memberantas peredaran narkoba di desa kita. Kalau bisa sekalian menangkap dan memenjarakan para mafia itu.” Lanjut kakek.

“Mereka tidak bisa diberantas eyang ... Jaringannya sangat luas dan mereka kuat.” Ujar Jafar.

“Paling tidak mereka tidak beroperasi di daerah kita.” Lanjut kakek.

“Kita libatkan polisi.” Kataku.

“Sulit Azka! Polisi di kita pun komplotan mereka. Polisi akan menangkap pengedar kecil sepertiku, tapi bandarnya tak akan pernah tersentuh karena polisi juga menikmati uang mereka.” Jelas Jafar masuk akal.

“Tapi gak semuanya begitu. Aku yakin banyak juga polisi yang bersih.” Kataku.

“Ya itu tadi ... Susah menemukan polisi yang bersih di sini.” Jafar teguh pada pendiriannya.

“Kakek punya kenalan polisi berpangkat lumayan di Polres. Kakek yakin dia polisi yang bersih. Besok kakek akan menemuinya.” Ujar kakek cukup melegakan.

“Itu bagus kek ...” Responku senang.

“Mafia itu pasti akan kembali mencariku. Aku harus bagaimana?” Tiba-tiba Jafar bersuara dengan nada khawatir.

“Itu nanti bisa diatur. Sekarang kamu pulang saja.” Kata kakek.

“Aku takut mereka kembali.” Wajah Jafar memelas menghadap ke arah kakek.

“Mereka tidak akan kembali sampai besok. Kalau kataku, kamu pulang dulu dan bersembunyi di tempat yang jauh dari sini. Nanti setelah aman, kamu bisa kembali.” Aku coba memberinya saran.

“Baiklah. Aku akan sembunyi dulu untuk sementara waktu.” Ucap Jafar sembari berdiri. “Terima kasih atas bantuannya.” Kata Jafar sambil menyodorkan tangannya padaku.

Aku langsung berdiri dan menjabat tangannya, “Aku harap kamu sadar dan hidup sebagai warga yang baik. Ini adalah pelajaran buatmu.” Kataku.

“Ya ... Aku kapok sekarang. Aku akan menjadi orang yang baik. Maafkan atas segala kesalahanku.” Kata Jafar lagi terdengar sangat tulus.

“Ya ... Sama-sama ...” Jawabku tak tuntas takut menyakiti harinya.

“Eyang ... Terima kasih ... Terima kasih sangat ...” Ucap Jafar sambil mengambil tangan kakek lalu mencium punggung tangannya.

“Jadilah anak yang baik.” Ucap kakek sembari mengusap bahu Jafar dengan tangan kirinya. “Menjadi orang yang baik akan lebih dihargai oleh warga. Hentikan berbuat kekacauan yang membuat masyarakat resah. Ganti dengan kebaikan. Eyang yakin segala masalahmu akan mendapat bantuan dari warga sekitar.” Lanjut kakek memberi nasehat kepada Jafar.

“Saya janji pada eyang. Saya akan berhenti membuat kekacauan.” Jafar pun berjanji di hadapan kakek.

“Pergilah! Bersembunyi dulu sebelum keadaan aman untukmu.” Kata kakek lemah lembut.

“Terima kasih eyang ... Terima kasih Azka ... Aku pergi ...” Ucap Jafar lalu keluar rumah yang aku dan kakek antar sampai halaman.

Motor rombeng milik Jafar pun melaju meninggalkan halaman rumahku. Setelah hilang dari pandangan, aku dan kakek kembali ke dalam rumah. Aku dan kakek membersihkan kekacauan yang diakibatkan Jafar, dan tak terasa hari sudah di pertengahan. Kakek kemudian memutuskan ke ladang di belakang rumah, sementara aku berdiam di kamar sembari memperhatikan batu cahayaku yang kusimpan di atas meja kayu yang dulu kupergunakan sebagai meja belajar. Aku menatap batu cahaya penuh selidik. Entah kenapa aku kini percaya kalau aku bisa berinteraksi dengan batu cahaya itu. Mengingat bisikan yang kudengar saat menolong Jafar tadi.

“Batu cahaya ... Aku tahu kamu hidup. Kamu bisa berbicara. Aku ingin berbicara denganmu.” Aku berbicara dengan batu cahayaku seperti orang gila.

Tak ada respon. Sebagaimana benda mati pada umumnya, batu cahayaku diam. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya aku menyerah. Aku ambil lagi botol air mineral tempat batu cahayaku tersimpan, lalu kusimpan lagi di dalam tas pinggang. Aku pikir belum waktunya, tetapi aku masih yakin suatu saat nanti batu cahayaku akan berinteraksi denganku. Saat aku menggantungkan tas pinggang di tempat gantungan baju, terdengar suara salam dari depan rumah. Rupanya ada tamu, tetapi entah siapa. Aku pun segera memburu pintu depan lalu membukanya.

“Eh ... Pak Haji ...” Sapaku dengan hati terkejut bukan kepalang. Pasalnya yang datang adalah Pak Haji Yanto beserta istri juga si gadis sombong yang bernama Sri.

“Nak Azka ... Apakabarnya?” Tiba-tiba Pak Haji Yanto menyodorkan tangan dan langsung aku menjabatnya.

“Baik pak ... Silahkan masuk ... Aduh, tapi berantakan begini.” Kataku sedikit gugup.

“Tak apa-apa Nak Azka. Kita kan bukan tamu agung.” Sahut Pak Haji Yanto.

“Nak Azka ...” Kini giliran Bu Hajah Nengsih, istri Pak Haji Yanto menyalamiku.

“Baik bu ... Silahkan ...” Jawabku sambil mempersilahkannya masuk.

“Mas ...” Giliran Sri menyodorkan tangan dengan suara ramah dengan senyum manisnya.

“Dek ...” Jawabku sembari bersalaman. Duh, tangannya super lembut. “Silahkan dek.” Lanjutku mempersilahkan dia duduk.

“Sebentar ya pak, bu ... Saya panggilkan kakek dulu di ladang belakang.” Kataku sembari membungkuk-bungkuk badan tanda hormat kepada tamu.

“Oh ya Nak Azka ... Silahkan ...” Sahut Pak Haji Yanto.

Aku bergerak cepat mendatangi kakek di ladang. Tak lama, aku memberitahu kakek kalau Pak Haji Yanto sekeluarga datang ke rumah. Buru-buru kakek berjalan ke rumah lalu membersihkan badannya yang kotor, kemudian menemui Pak Yanto di ruang depan. Aku terus mengikuti kakek di belakangnya.

“Waduh ... Ada tamu jauh ...” Ujar kakek sembari bersalaman kepada ketiga tamunya.

“Sudah lama saya tidak berkunjung ke rumah bapak. Ya, sekalian untuk menanyakan masalah yang kita bicarakan kemarin malam.” Ucap Pak Haji Yanto sembari melirikku.

“Aku sudah bicara dengan Azka dan Azka bersedia membantu bapak. Benarkan cu?” Jawab kakek yang diakhiri dengan bertanya padaku.

“Oh ... Iya ... Saya bersedia membantu bapak.” Jawabku sedikit canggung.

“Syukurlah ... Saya bahagia mendengarnya. Saya ucapkan terima kasih atas pertolongan bapak dan Nak Azka. Sebelum lebih jauh membicarakan acara pernikahan, apakah ada permintaan dari phak bapak terutama dari Nak Azka?” Kini Pak Haji Yanto memandang wajahku.

Aku malah menatap kakek. Kakek pun tersenyum lalu berkata, “Katakan saja permintaanmu. Jangan ragu.”

“Permintaanku sederhana saja. Selama masa pernikahan, saya ingin dianggap sebagai suami sungguhan oleh Dek Sri, dan tentu saja saya juga akan menganggap Dek Sri sebagai istri sungguhan.” Pintaku.

“He he he ... Itu yang akan menjawab Sri sendiri. Bagaimana nak? Apakah kamu bisa menerima permintaan Nak Azka?” Tanya Pak Haji Yanto pada anak gadisnya.

“Ya ... Aku menerimanya ...” Jawab Sri tanpa keraguan dari nada suaranya.

“Tuh ... Sudah dijawab tuntas ... Apakah ada permintaan lain?” Tanya Pak Haji Yanto dengan wajah sumringah.

“Tidak pak ...” Jawabku sambil melirik pada gadis cantik di dekatku yang sedang menunduk.

“Walau pun pernikahan ini ada batas waktunya, tetapi kakek harap kamu memperlakukan Sri sebaik-baiknya. Satu lagi, jangan pernah bilang pada orang-orang kalau pernikahanmu hanya untuk menolong Pak Haji dan keluarga. Kamu harus merahasiakan latar belakang pernikahanmu.” Kata kakek padaku.

“Ya, aku berjanji.” Jawabku sambil tersenyum.

“Bagus ... Kakek tidak pernah meragukanmu.” Respon kakek senang.

“Ah ... Sampai lupa bikin minum ...” Kataku dan segera aku berdiri untuk membuat minum untuk tamu.

“Tak usah Nak Azka ...” Kini Bu Hajah Nengsih berbicara.

“Gak sopan kalau ada tamu tidak disuguhi bu ... Walau hanya sekedar air.” Kataku sembari bergerak ke dapur.

“Aku bantu ...” Tiba-tiba Sri berdiri dan mengikuti langkahku. Aku sengaja tidak melarangnya karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan padanya.

Sesampainya di dapur, aku membiarkan Sri merebus air dan mempersiapkan teh manis untuk orangtuanya. Pelan-pelan aku ajak ngobrol tentang diri kita masing-masing. Pengalaman, hobi, makanan dan lain-lain. Tak lama, aku dan Sri membawa minuman yang baru saja diolah ke depan.

“Sebenarnya, kalian itu serasi loh.” Respon ibu Hajah Nengsih saat aku dan Sri sampai di ruang depan.

“Sayangnya ... Kalian bertemu sangat telat.” Sambung Pak Haji Yanto.

Aku dan Sri hanya tersenyum mendengar komentar mereka. Akhirnya kami semua terlibat obrolan kekeluargaan. Sri banyak berdiam, hanya sesekali menjawab pertanyaan kakek. Bila ditelisik, sebenarnya aku mendapatkan anugerah karena bisa memperistri Sri yang menurutku perempuan tercantik yang pernah aku kenal. Ya, gadis calon istri sementaraku ini bagai seorang putri yang luar biasa cantik. Kecantikannya sungguh tak tertandingi. Tidak Tamara Blezinski, tidak Artika Sari Devi, Nadine Chandra Winata, atau putri kecantikan sejagat sekali pun. Kecantikan Sri tak terkirakan, membuat jakunku bergerak naik turun. Aku sering kali mencuri pandang padanya dan sesekali pandangan mata kami saling beradu. Sri mengulum senyum saat mendapati aku sedang memperhatikannya.

Setelah sekitar setengah jam berlalu, keluarga Pak Haji Yanto pun berpamitan. Aku dan kakek mengantar mereka ke mobil yang digunakan mereka di pinggir jalan. Tiba-tiba Sri melambaikan tangan padaku saat mobil bergerak maju. Aku balas lambaian tangannya sambil memberi senyum terbaikku. Saat aku dan kakek kembali ke dalam rumah, kakek mengatakan Pak Haji Yanto akan ‘menghitung’ dulu hari acara pernikahan. Besok atau lusa beliau akan mengabari kakek.

Kakek kembali ke ladang, aku kembali ke kamar. Kurebahkan tubuh di atas ranjang. Aki pikir perjalanan hidup memiliki kisahnya masing-masing. Tak melihat siapa, dimana dan kapan, sesuatu tiba-tiba saja terjadi. Dalam kasus perjodohanku kali ini, aku melihatnya dari sisi optimis kehidupan, tetapi aku juga cukup realistis untuk berjaga-jaga bahwa ada masalah yang kompleks di dalamnya. Satu yang akan kupegang teguh adalah jangan pernah mengharapkan apa pun dari siapa pun agar aku tidak kecewa. Aku percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Membiarkan hidup dengan caranya sendiri akan menggiring aku menuju sebuah jawaban.
Bersambung

Chapter sembilan di halaman 57 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd