Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mengejar Masa Silam

10. Kekhawatiran Ki Ardayat

Udara terasa sangat dingin dan Ki Ardayat meringkuk berlindung dibalik selimut tipisnya yang menutup hingga ke kepala. Samar-samar terdengar suara azan di kejauhan dengan nada sedih. Tidak usah heran kalau di kampung ini ada azan berkumandang pada jam 3 pagi. Azan ini bukan untuk penanda solat subuh, melainkan tanda bagi orang-orang kampung yang ingin melakukan solat tahajjud. Yang membedakan dengan azan subuh adalah azan awal ini terdengar sedih dengan nada minor.

Sebuah lengan yang hangat tiba-tiba bergerak lalu memeluk tubuh Ki Ardayat dari belakang, diikuti oleh merapatnya sesosok tubuh yang juga hangat. Ki Ardayat yang tadinya akan bangun untuk melakukan tahajjud akhirnya membatalkan niatnya.

Hangat sekali pelukan Sella, pikirnya.

Pikiran Ki Ardayat bercabang antara terus melanjutkan tidur dalam dekapan anaknya, atau bangun untuk melakukan kebiasaannya solat tahajjud. Sudah beberapa hari ini sebenarnya dia merasa rikuh atas kehadiran Sella. Dirinya memang merasa bahagia, tetapi sangat disayangkan kondisi warung kecil tempat tinggalnya kurang memenuhi syarat untuk dipakai tidur bersama Sella yang telah menjadi wanita dewasa. Entah sampai kapan Sella akan tinggal bersamanya, mudah-mudahan tidak terlalu lama.

Sekali lagi, bukan Ki Ardayat tak ingin hidup bersama Sella tetapi lebih karena kondisi yang tak memungkinkan. Walaupun dirinya telah tua, walaupun Sella adalah anaknya, tetap saja dirinya adalah lelaki. Terkadang kelelakiannya bangkit juga ketika Sella memeluknya seperti ini.

Astagfirullah…… Ki Ardayat berbisik didalam hati lalu memaksakan diri menyingkirkan lengan Sella dan bangun. Dia duduk sembari melipat selimut tipisnya. Mata tuanya yang telah rabun berusaha menembus remangnya ruang warung untuk melihat jam dinding.

Sudah jam 3 lewat 10 menit.

Aku mungkin harus bilang agar Sella kembali ke Jakarta saja nanti kalau dia sudah bangun, pikir Ki Ardayat sambil memandang Sella. Tidak baik kalau keadaan seperti ini terus, lama-lama malah bisa menimbulkan dosa dan fitnah.

Tetapi matanya tak bisa lepas dari tubuh sella yang juga meringkuk. Sebagian selimut yang dikenakan Sella tersingkap dan Ki Ardayat dapat melihat kakinya yang begitu putih dan mulus.

Gusti…. Kudu kumaha urang teh….
(Gusti, aku harus bagaimana ?)

Hati Ki Ardayat tambah gundah.

Sudah puluhan tahun dia tak pernah lagi melihat tubuh semolek ini, paha semulus ini. Tapi ini Sella….. Anaknya.

Tangan Ki Ardayat gemetar menyentuh paha Sella.

Ampuuun…. Meni mulus kieu….
(ampun… kok mulus banget kaya gini)

Astagfirullah…..

Ki Ardayat menarik lagi tangannya lalu memejamkan mata, berusaha menghilangkan pikiran kotor dari otaknya.

Sialnya, Sella malah bergerak menjadi terlentang. Satu kakinya menekuk hingga lututnya terangkat sebelah. Mata Ki Ardayat terbuka lagi, menatap selangkangan Sella yang bercelana dalam putih tipis. Tak terasa sesuatu di selangkangan Ki Ardayat mengeras.

Emh… kanyut aing bisa keneh ngaceng geuningan ?
(Emh… tititku masih bisa ngaceng ternyata ?)

Tentu Ki Ardayat heran, karena sejauh ini telah bertahun-tahun dia tak pernah merasakan bangkitnya libido, apalagi sampai ngaceng.

Di balik celana dalam putih tipis itu samar-samar membayang bulu-bulu hitam halus. Tetapi yang lebih menggoda adalah tepat di tengahnya celana dalam itu terjepit nyempil pada sebuah lembah yang pada kedua sisinya menggunduk daging yang nampak halus.

Jemari Ki Ardayat perlahan menyentuhnya sambil gemetaran.

Meni haneut kieu….. Hipu deuih.
(Betapa hangat begini….. Empuk pula)

Telunjuknya menekan nekan perlahan.

Aduh…. Meni ngenyod nyoy-nyoy.
(maaf saya bingung mengalih bahasakannya susah. Para suhu semprot yang paham tolong dibantu artikan)


Astagfirullah…. Naha aing jadi jorang kieu.
(astagfirullah… kenapa aku jadi berpikir jorok begini)

Ki Ardayat menarik tangannya cepat-cepat lalu memaksakan diri bangkit ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dia kemudian solat tahajjud dilanjutkan dengan wirid lamaaa sekali untuk meminta ampun pada Yang Maha Pengampun.

Setelah azan subuh terdengar, Ki Ardayat melanjutkan dengan solat subuh dan kembali wirid memohon ampun hingga matahari terbit.


**********

“Sella…. Sampai kapan atuh kamu mau disini ?” Ki Ardayat bertanya sembari menaruh sepiring pisang goreng di meja. Sella duduk di kursi sambil mengerudungkan selimut di tubuhnya. Waktu sudah jam 8 pagi tetapi udara di kampung ini masih tetap saja dingin.

“Bapak nggak suka Sella disini ya ?” Terdapat nada kesedihan dalam suaranya. “Sella masih kangen sama bapak.”

“Bapak disini ngga apa-apa kok, bapak udah sembuh. Kamu pulang aja ke Jakarta.”

Sella termenung, dia memang sudah hampir dua minggu disini dan merasa betah.

“Kasian kamu kalau terus disini, tidurnya nggak nyaman Sel.”

Iya juga sih, pikir Sella. Tapi dia merasa khawatir kalau meninggalkan bapaknya sendirian di kampung.

“Bapak ikut Sella aja ke Jakarta, gimana ?”

“Bapak udah tua Sel, udara Jakarta nggak cocok sama bapak.”

“Coba dulu aja gimana Pak ? nanti kalau nggak betah bapak bisa balik lagi ke kampung.”

Ki Ardayat memang masih kangen juga pada anaknya, karena atas kehadirannya dia tak lagi merasa hidup sebatang kara.

“Biar Sella juga merasa tenang pak. Sella khawatir kalau bapak disini sakit lagi sendirian.”

Ki Ardayat memandang Sella yang berbicara sembari memain-mainkan ujung rambutnya dengan jarinya yang lentik.

“Ikut aja dulu ya pak ?”

Wajah Sella yang cantik merajuk, berusaha membujuk bapaknya.

Akhirnya Ki Ardayat tak tahan juga menolak.

“Ya udah nanti bapak ikut, tapi bapak nanti pulang lagi kesini ya nak.”
“Aaah bapak……” Bibir Sella cemberut. Wajahnya berpaling, memandang bungkusan kopi berbagai merk yang tergantung di warung.

“Ya udah….. Bapak ikut seterusnya deh.” Ki Ardayat mengalah.

“Asiiiik…..” Sella langsung gembira dan bangkit untuk memeluk Ki Ardayat yang gelagapan atas pelukannya.

Gustiii…..

Kelelakian Ki Ardayat bangkit dan mengeras, tetapi dia berusaha kuat agar Sella tak mengetahuinya.


**********


Sore itu Sella mengunjungi rumah tua itu sekali lagi untuk berpamitan pada Jati.

“Jadi besok pagi kamu balik ke Jakarta ?”

“Iya Jat. Lagian tempat tinggal bapak disini kecil banget, nggak enak juga.”

Jati menaruh sebatang charcoal yang dari tadi digoreskannya pada sebuah kain kanvas. Kepalanya nongol dari balik kain kanvas yang sedang dikerjakannya.

“Nggak akan kangen sama aku ?” wajahnya nyengir penuh canda. Sella melotot menanggapi candaan Jati lalu bangkit dari duduknya untuk mencubit perut Jati.

“Eh… eh… eh…. Jangan bergerak…..!” Seru Jati.

Sella kembali duduk di tempatnya sambil cemberut.

“Jangan cemberut gitu dong….” Kepala Jati menghilang lagi di balik kain kanvas. Sesekali melongok untuk kembali menghilang.

“Biarin.” Jawab Sella tetap cemberut.

Jati terus menggoreskan charcoal, membiarkan Sella cemberut.

Lima belas menit kemudian Sella capek juga cemberut.

“Udah belom sih ?”

“Bentar Sell…. Sabar bentar napa.” Jati terus menggambar.

“Bentaaar…..” Lanjutnya.

“Dikiiiit lagi…..” Katanya berkali-kali.

Sella cemberut lagi, dia bosan disuruh duduk tak bergerak sudah sejam lamanya.

“Naaaah…. Selesai.” Kata Jati.

Sella segera menghampiri Jati.

Wajahnya tergambar pada sebuah sketa realistik hitam putih di kain kanvas itu.

“Ini…… ini……. “ Sella tercengang, matanya terbuka lebar dengan mulut menganga.

“Nggak mungkin……” Desisnya.

“Apanya yang nggak mungkin ?” Kata Jati sambil membersihkan arang hitam yang memenuhi jarinya dengan sebuah lap kumal.

“Kamu …… melukis aku pakai arang doang ?” Sella masih terbelalak tak percaya.

Jati mengangguk sambil nyengir bangga.

“Kenang-kenangan dari aku buat kamu.” Katanya.

“Kamu…… pelukis ?” Tanya Sella.

Jati tertawa terbahak-bahak atas pertanyaan itu.

“Aku penulis buku.” Jawabnya.

“Hah ?” Sella makin tak percaya. “Kok penulis bisa melukis ?”

Mereka bertatapan.

“Ini bukan melukis….. Ini namanya menggambar.” Jawab Jati, tak melepaskan tatapan mereka.

“Bedanya apa ?” Buat Sella, menggambar dan melukis sama saja tak ada bedanya.

“Ini menggambar……” Jati menunjuk pada sketsa di kanvas.

“Kalau melukis seperti ini…….”
Sella tak pernah menyangka bahwa Jati seberani itu, dan Sella juga tak pernah menyangka bahwa dirinya hanya diam tak melawan ketika tiba-tiba saja wajah Jati mendekat dan mendaratkan kecupan ringan di bibirnya.

Mata Sella malah terpejam menikmati ketika tubuhnya dipeluk oleh Jati.

“Ini namanya melukis……” bisik Jati. Mereka berdua bertatapan dalam pelukan.

“Meluk dan kiss ?” tebak Sella.

Jati tersenyum lalu menjawab.

“Bukan.”

Ternyata bukan meluk dan kiss seperti yang sudah sering Sella dengar dari gombalan murahan sekian banyak lelaki yang pernah merayunya.

“Jadi ?” Tanya Sella dengan tatapan sayu.

“Ini melukis cinta di hati kamu.” Bisik Jati di telinga Sella.

“Gombaaaaalllll……..” Sella cemberut, tetapi hatinya tersenyum.

Lelaki ini sepertinya tak pernah canggung untuk memuji, merayu, menggoda, mengungkapkan apa yang ada di pikirannya tanpa filter. Padahal perkenalan mereka baru terjadi beberapa hari yang lalu.

Sebuah alarm berbunyi di otak Sella.
Awas Sella….. Lelaki seperti ini biasanya playboy cap kacang garing. Gampang merayu, gampang meninggalkan, semua dilakukan hanya untuk kesenangan semata.

Tapi wanita mana yang tak suka lelaki playboy yang badboy ? Apalagi yang selalu sopan dalam berkata dan bertindak.

Hey…. sopan bertindak apanya ? dia tiba-tiba saja mengecupmu, apa itu namanya sopan ?

Sella hanya diam menikmati kecupan demi kecupan di bibirnya, tak perduli kata hatinya.

“Sampai ketemu lagi kapan-kapan.”

Mata Sella terbuka, melihat Jati membereskan peralatan gambarnya. Hati Sella menggerutu, kenapa Jati tiba-tiba saja melepaskan pelukan dan menghentikan kecupan ? Padahal dia sedang menikmatinya.

“Kita…. Ketemu lagi ?” Tanya Sella penuh harap.

“Entah ya….. Aku minggu depan juga pergi.”

“Kemana ?”
“Mungkin ke Sukabumi.” Jati terus membereskan peralatannya tanpa memperhatikan Sella.

“Kota Sukabumi ?”

“Gunung Halimun.”

“Oooh…..”

Jati terus membenahi peralatannya hingga Sella merasa dicuekin. Kenapa tadi dia begitu hangat memperlakukan dirinya dan sekarang begitu cuek ? ngeselin banget.

“Ngapain ke Gunung Halimun ?”

Jati tak menjawabnya, melainkan menorehkan pinsil pada secarik kertas.

“Aku nggak pernah pakai handphone, kalau kamu mau menghubungi ke email-ku yang ini aja.”

Tangan Sella menerima secarik kertas itu. Sebuah alamat email tercantum diatasnya : ajatsurajati2@proton.me

“Ini alamat email kamu ?” Tanya Sella.

“Ya iyalah, masa alamat email orang lain.” Jati tertawa.

Begitulah perpisahan Sella dengan Rangga Jati. Sebenarnya Sella masih penasaran dengan lelaki misterius ini. Siapa sebenarnya dia ? Tetapi besok dia harus kembali ke Jakarta untuk meneruskan hidupnya lagi. Meneruskan hidup yang tak jelas masa depannya.

Bersambung.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd