Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mengejar Masa Silam

6. Hutang Budi

Terima kasih Tuhan
Untuk kasih setiaMu
Yang kualami dalam hidupku....


Seluruh pengunjung gereja saat itu berdiri dan melambaikan tangan. Kristin berdiri pula sembari bibirnya ikut mengumandangkan lagu terakhir dengan khidmat sebagai penutup ibadah. Seorang anak kecil berusia dua tahun berada dalam dekapannya, di samping kiri dan kanannya turut berdiri pula bapak Yonas Wijaya dan ibu Angel Wijaya mengapit dirinya.

Sesekali Pak Yonas melirik pada Bu Angel sambil tersenyum. Mereka bahagia sekali dapat melakukan ibadah bersama-sama dengan menantu dan cucu kesayangan walaupun anak tercinta tak pernah hadir di gereja.

Satu per satu pengunjung gereja di sebuah mall yang tak laku itu mulai meninggalkan tempat. Pak Yonas sekeluarga termasuk yang terakhir keluar dari tempat ibadah itu. Pak Pendeta mengucapkan salam perpisahan di pintu.

"Sampai ketemu lagi minggu depan, Pak Yonas, Bu Angel, Nak Kristin..... halo Jimmy..." Pak Pendeta menyapa seluruh anggota keluarga.

"Nak Donny pasti sedang sibuk ya, Pak Yonas." Ada semacam sindiran dalam ucapan pak pendeta.

"Ahh iya.... tapi masih terwakilkan oleh istrinya kok." Bu Angel berusaha menjawab pak pendeta sebaik-baiknya.

Pada perjalanan pulang, Pak Yonas sendiri yang mengemudikan mobil. Dia masih terfikirkan sindiran pak pendeta tadi, dalam hatinya Pak Yonas mengumpat anaknya yang tak pernah mau diajak beribadah.

"Nggak usah sedih pah, kan Titin sama Jimmy yang mewakili Donny." Kristin yang memanggil dirinya sendiri sebagai Titin berusaha menghibur Pak Yonas.

"Sepertinya Donny makin jauh saja dari gereja, Tin." Jelas sekali kehawatiran yang diucapkan Pak Yonas.

"Kalau keadaan seperti ini terus, mungkin sebaiknya kita coret nama dia dari wasiat warisan." Lanjut Pak Yonas lagi, terutama diarahkan pada Bu Angel yang duduk di sampingnya.

"Mungkin ide papah baik juga dilakukan supaya Donny bisa berpikir lebih baik, pah. Jimmy mungkin bisa menggantikan Donny di surat waris." Kristin yang duduk di belakang bersama Jimmy setuju dengan pendapat Pak Yonas.

"Gimana menurut mama ?" Tanya Pak Yonas pada Bu Angel yang dari tadi diam saja.

"Mungkin sebaiknya mama ngomong dulu sama Donny, pah. Mama nggga terlalu setuju sama papah." Walau bagaimanapun kasih seorang ibu pada anak selalu lebih besar daripada bapak terhadap anak.

"Udah berapa kali sih mama ngomong itu ke Donny, tapi dia sepertinya nggak perduli." Pak Yonas berusaha meyakinkan Bu Angel.

Bu Angel kembali diam, tak bersuara. Pandangannya keluar jendela mobil memperhatikan jalanan di Kelapa Gading Jakarta yang macet oleh pembangunan dan perbaikan.

"Jimmy masih terlalu kecil buat dimasukkan surat waris pah." Ungkap Bu Angel setelah beberapa waktu.

Sekarang Pak Yonas yang diam sambil mengemudi.

"Sampai Jimmy dewasa kan Titin yang ngatur mah. Buat apa Titin menyelesaikan kuliah jurusan bisnis di Trisakti kalau ngga mampu ngurus harta papah selama Jimmy masih kecil." Kristin mengajukan ide nya lagi.

Pak Yonas dan Bu Angel diam tak menjawab. Pikiran mereka berdua penuh dengan berbagai skenario yang baik untuk memaksa Donny lebih konsentrasi pada urusan bisnis dan keluarga. Selama ini Donny terlalu banyak main-main dengan teman-teman klub mobilnya. Pak Yonas menarik nafas panjang.

"Terus itu pah... kayanya Donny punya pacar diluar....." Dengan hati-hati Kristin mengadu.

"Jadi istri jangan curigaan begitu, Tin. Donny itu anak baik, mana mungkin dia melakukan hal seperti itu." Bu Angel langsung tidak setuju dengan Titin. Pak Yonas diam memikirkan hal itu.

"Iya Tin jangan curigga dulu, tapi kalau kamu punya bukti, Tin.... coba kasih ke papah." Pak Yonas menengahi.

"Iya pah...." Titin bertekad untuk mendapatkan bukti itu.

Mobil telah sampai pada pintu gerbang sebuah rumah yang luar biasa besar. Rumah itu bergaya Mediteranian dengan tiang-tiang Romawi yang juga besar dan tinggi. Pak Yonas menekan tombol remote, dan pintu gerbang rumah itu terbuka. Mobil masuk ke garasi yang berisi berbagai macam kendaraan, lalu pintu gerbang yang berat itu tertutup sendiri.


**********


Brigadir Dua Charly memandang wanita muda keturunan Manado yang tengah menyeruput secangkir teh camomile didepannya. Permintaan wanita itu rasanya tak sanggup dia laksanakan karena melanggar berbagai aturan di kesatuannya.

Charly hanya memandang ke arah laut di sebuah resto yang ada di lantai paling bawah hotel bintang lima di area Ancol itu. Dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan histeris dari pengunjung Dufan yang berada tak jauh di depan hotel. Charly sedang menimbang-nimbang resiko yang akan diterimanya jika ketahuan melanggar prosedur di satuannya.

"Inget Li, dulu ngana numpang di rumah kita waktu ngana baru datang dari kampong." Kristin mengingatkannya pada hutang budi. Waktu jadi pengangguran dulu, dia datang dari Manado tanpa membawa apa-apa kecuali sebuah surat dari papanya yang meminta bantuan pada papanya Kristin. Papanya dan Papa Kristin dulu berada di satuan yang sama ketika belum pensiun dari penegak hukum.

"Oke Tin, torang pikirkan dulu ngana pe mau." Tak ada yang bisa dikatakan lagi oleh Charly kecuali mengulur-ulur waktu. Kristin tersenyum, sebuah rencana sudah disusunnya dari semalam.

"Eh jo... ngana ikut dulu nanti, ada titipan dari kampung." Ujar Kristin.

"Titipan ?" Charly heran, tumben dari kampung ada nitip sesuatu. Biasanya hanya minta, bukan nitip.

Charly yang berpangkat rendah sebagai penegak hukum itu akhirnya mengikuti Kristin naik ke lantai lima. Di dalam lift hanya ada mereka berdua, dan parfum yang digunakan Kristin merebak didalam lift sempit. Parfumnya beraroma vanilla yang tercium sedap di hidung.

Lift berhenti di lantai tiga, dan serombongan orang berseragam pegawai negeri yang tengah mengikuti seminar masuk kedalam lift. Kristin menggeser berdirinya ke belakang, agar lima orang pegawai negeri tersebut bisa masuk semua. Tubuhnya merapat ke dada Charly.

Lift berjalan naik dengan lambat, dan aroma parfum Kristin begitu merangsang. Terlebih lagi pantat Kristin sekarang menempel dengan ketat kepadanya. Dengan cepat, hormon testosteron yang tengah diproduksi dengan gencar oleh tubuh Charly yang baru lepas dari usia remaja itu membuat kejantanannya tak dapat dikendalikan : keras bagai besi.

Sialnya, Kristin selalu bergerak-gerak membuat pantatnya bergesekan. Kejantanannya makin tegang, maklumlah selepas pendidikan dia belum berani untuk berpacaran karena ingin konsentrasi dulu pada kariernya.

Rombongan pegawai negeri itu turun semua di lantai empat. Kristin mendongakkan kepalanya untuk memandang mata Charly yang langsung merasa bersalah. Kristin terus menatap mata Charly dengan tajam.

"Maaf Tin." Charly hanya bisa meminta maaf, dalam hati dia mengutuk kepala kecil dibawah sana yang tak mau diatur.

Mereka berdua akhirnya keluar dari lift di lantai lima. Charly mengikuti langkah Kristin dari belakang. Pantat Kristin bergoyang, begitu pula ujung rok yang dikenakannya melambai-lambai seakan menggoda dirinya.

Di depan kamar 505 Kristin menempelkan kartu pada pintu, dan pintu hotel terbuka.

"Masuk Li." Katanya.

Tak ada siapa-siapa disana, tadinya Charly berpikir bahwa disana akan ada anaknya Kristin beserta suster.
"Jimmy nggak ikut ?" Tanya Charly setelah ikut masuk.

Kristin menutup pintu hotel, langsung menguncinya dari dalam. Sebelum Charly sempat bertanya, tubuh Kristin langsung menubruknya. Bibir Manado yang ranum itu menyambar bibir Charly yang tergagap.

Charly merasa malu dengan seragam yang tengah dikenakannya. Tetapi bibir Manado itu terlalu menggoda untuk dilewatkan. Akhirnya desakan hormon mengalahkan rasa hormat terhadap seragam yang sedang dikenakannya. Charly membalas pagutan bibir Kristin bagai singa lapar.

Dua orang yang berasal dari kampung yang sama di Manado itu sibuk saling mengecup. Aroma parfum Kristin begitu memabukkan, akal Charly entah hilang kemana. Logikanya tak mampu lagi berjalan. Tubuh Charly didorong Kristin ke tempat tidur yang empuk berseprai putih bersih.

Kaki Charly masih menjuntai ke lantai walaupun tubuhnya telah terlentang di tempat tidur. Kristin dengan buas naik, mendudukinya tepat di selangkangan.

Aaaahhh..... Charly mendesah sewaktu selangkangan Kristin yang menduduki kejantanannya berputar. Tangan Charly secara otomatis meraih dada Kristin.

"Diam." Kata Kristin menyingkirkan tangan Charly, tak mau diremas buah dadanya. Charly tak ingin memaksa, lagipula kedudukan Kristin sebagai menantu seorang pengusaha kaya sudah tentu tak ingin dilawan olehnya.

Kristin membuka ritsluiting celana berwarna coklat yang dikenakan Charly. Seragam itu diloloskan berikut celana dalamnya oleh Kristin. Kejantanan Charly tegak dengan gagah. Kristin menggeser duduknya, menempelkan selangkangannya yang masih mengenakan celana dalam pada benda besar yang tegang itu.

Oooooh... Tin.... desis Charly ketika kejantanannya terhangatkan oleh gundukan daging lembut yang nikmat. Tubuh Kristin mendekat ke arah dada Charly, bibirnya juga mendekat ke bibir Charly yang menatap Kristin dengan nanar.

Bibir mereka hampir menempel, selangkanggan Kristin bergoyang berputar hingga kejantanan Charly berdenyut-denyut dalam jepitan daging hangat yang hanya terbatasi oleh sehelai celana dalam tipis Kristin.

Charly menghirup nafas yang dihembuskan di sela bibir Kristin yang mendesah. Satu tangan Kristin meraih tas Louis Vuiton yang berada di samping tempat tidur dan mengambil sesuatu.

Ketika bibir Charly hendak mengecup bibirnya, Kristin bangkit sambil menaruh sebuah amplop coklat berisi segepok uang di dada Charly.

"Ini titipannya buat kamu Li."

Charly menatap Kristin yang berdiri merapihkan pakaian. Kejantanan Charly seakan berteriak menagih dipuaskan.

"Kalau ngana selesai mengambil isi pesan dari handphone Koh Donny, baru ini dapat jatahnya." Kata Kristin sambil menyentuh kepala kejantanannya yang berdenyut.

Kristin keluar dari kamar begitu saja meninggalkan dirinya yang pusing tujuh keliling.


**********


"Charly !" Sebuah suara memanggilnya.

"Siap ndan." Charly menjawab dengan sigap.

"Sudah selesai kau ambil data tersangka ?" Kepala unitnya bertanya.

"Belum selesai ndan, butuh waktu."

"Aduh, lambat kali kerja kau Li. Berapa lama lagi ?"

"Siap, besok sore selesai ndan."

Komandan berhitung didalam kepalanya. Tak mungkin, pikirnya.

"Besok pagi harus udah selesai Li." Katanya.

"Siap, tidak bisa ndan waktunya kurang."

"Kau kerjakan malam ini lah, bawa alatnya ke kosan aja."

Charly nyengir dalam hati, rencananya berhasil. Data tersangka padahal sudah selesai dia ambil dan dianalisanya dari sejak siang.

"Siap."

Dengan hati girang Charly meninggalkan markas sambil menenteng sebuah koper hitam dengan tulisan Pelican. Dalam pikirannya terbayang Kristin menjerit-jerit dan menggeliat dalam pelukannya.

Tepat jam 20:00 Kristin menyambutnya di rumah besar itu.
"Ayo masuk, duduk dulu." Kristin memintanya duduk di ruang tamu yang sebesar sepuluh kali kamar kosannya. Charly duduk ragu-ragu pada sofa besar empuk. Pandangannya berkeliling melihat seisi ruangan.

Si Kristin beruntung sekali bisa lepas dari kemiskinan, batin Charly. Charly masih ingat rumah orang tua Kristin yang juga di Jakarta, sempit sekali rumah di gang itu. Tapi sepertinya memang Kristin pandai berstrategi mengatur masa depannya.

"Pah... ini anaknya Om Willy temen papaku dulu. Dia mau nginap disini semalam ini aja, besok dia harus ke Papua tapi nggak ada tempat menginap." Charly diperkenalkan Kristin pada mertuanya.

"Ohh... nak Charly... waah hebat, masih muda sudah berseragam." Pak Yonas bersalaman sambil menilai Charly.

Umurnya paling baru 19 tahun, pikirnya.
"Kenal dengan Jendral anu ?" Tanya Pak Yohan setelah melihat badge yang menunjukkan satuan kerja Charly.

"Saya kenal dia pak, tapi dia belum tentu kenal saya. Pangkat saya terlalu rendah untuk dikenal beliau."

Pak Yonas tertawa lalu mengajak ngobrol Charli ngalor ngidul menceritakan hubungannya dengan berbagai pejabat di penegak hukum. Charly hanya bisa menjawab dengan siap dan siap. Dirinya langsung merasa inferior, tak berarti di hadapan Pak Yonas.

Kristin hilang entah kemana, Charly mengutuki Kristin yang membuat dirinya terjebak oleh percakapan yang tak disukainya. Tapi Kristin tak muncul hingga Donny pulang ke rumah saat waktu menunjukkan hampir tengah malam.

"Yang... ini anak dari temennya papah...." Kata Kristin pada Donny yang terlihat tak keruan. Tadi dia baru saja minum-minum di klub mobilnya. Donny tanpa meladeni ucapan Kristin langsung pergi ke kamar, tak muncul lagi.

"Duh... nak Charly, maaf ya anak saya kayanya kecapaian bekerja seharian di proyek." Pak Yonas memohon maaf.

"Oh iya, gak apa-apa pak."

"Tin... tunjukin kamarnya nak Charly."

Kristin menunjukkan Charly ke bagian belakang rumah tersebut, dimana ada beberapa kamar kosong untuk tamu. Charly membawa koper hitam berat itu ke kamar.


Setengah jam kemudian, pintu kamarnya diketuk.
Kristin memberikan sebuah handphone pada Charly.
"Waktu ngana cuman 30 menit Jo." Katanya tegas. Charly mengangguk menyanggupi.

Pekerjaan itu sih enteng, dia sering melakukannya bahkan hanya dalam hitungan waktu beberapa menit saja. Sepeninggal Kristin, Charly langsung membuka koper hitam yang terdiri dari sebuah laptop dan beberapa kabel serta kotak-kotak hitam dengan lampu-lampu kecil yang berkedip.

Seutas kabel USB Type C dicolokkan pada handphone itu, lalu dicolokkan pula ujung lainnya pada sebuah kotak hitam kecil yang tersambung ke beberapa kotak lainnya.

Charly membuka laptop, dan memasukkan password Windows dengan lincah. Ini memang pekerjaannya sehari-hari, dengan mata tertutup pun dia sanggup melaksanakannya. Terbayang olehnya, nanti Kristin akan masuk memberikan apa yang dijanjikannya.

Handphone itu langsung nyala dan meminta PIN. Charly mengetikkan beberapa perintah di keyboard. Layar laptop berubah menunjukkan berbagai kombinasi PIN dengan cepat. Sistem sedang melakukan bruteforcing.

Diambilnya sebatang rokok, lalu dinyalakan dan dihisapnya.
Hmm.... tubuh mulus Kristin terbayang lagi, dia akan berusaha membuktikan bahwa dirinya mampu memuaskan Kristin agar perempuan cantik itu terus terikat padanya. Bibirnya tersenyum lagi.

Belum sebatang rokok habis terbakar, laptop membunyikan notifikasi.

740128

Angka itu terpampang pada layar laptop. Charly meraih handphone dan memasukkan angka itu. Handphone Donny berhasil diretasnya hanya dalam waktu kurang dari tiga menit.

Tangannya kembali mengetikkan beberapa perintah di laptop, dan berbagai pesan pada handphone Donny dianalisanya. Kemudian beberapa pesan ditandai.

Selembar kertas berukuran kecil seperti struk toko keluar perlahan dari dalam koper hitam. Charly menyobekkannya setelah selesai melakukan print. Sekali lagi dibacanya takut ada yang terlewat.

Dengan rasa puas, Charly mengirimkan pesan pada Kristin.
"Udah selesai. Sini dong." Sambil menunggu dengan terlentang pada ranjang, Charly meremas kejantanannya yang sudah tegang.

Sabarlah dik.... sebentar lagi dapet jatah, katanya dalam hati.

Kristin memang datang lagi ke kamar, tapi saat Charly menarik tangannya perempuan Manado cantik yang mengenakan baju tidur tipis itu menolaknya.

"Nanti...." Katanya sambil membawa pergi handphone yang tadi diretasnya, berikut selembar kertas hasil print pesan-pesan yang berhasil diambil.

Charly menunggu dan menunggu.


BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd