Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Mengejar Masa Silam

4. Menjemput Masa Lalu

Desa Campaka Mekar diguyur hujan sejak tadi malam tanpa henti. Desa itu adalah sebuah tempat terpencil di Kuningan, sebuah kabupaten di Jawa Barat. Jalan sepanjang belasan kilometer menuju Desa Campaka Mekar belum sekalipun mendapat sentuhan aspal. Jalan berupa tanah merah naik turun berkelok-kelok di perbukitan. Air hujan telah membuat jalan tanah itu berubah menjadi kubangan di beberapa tempat.

Sebuah mobil sedan bersusah payah menyusuri jalan yang rusak parah itu. Pengemudinya tak pernah mengira bahwa tempat yang ditujunya begitu terpencil dengan akses yang sulit dilalui. Berulangkali mobilnya nyangkut dan selip di kubangan. Pengemudinya yang tak lain adalah Sella, berulangkali pula mengumpat. Apalagi pada kubangan yang ini dia tak mampu untuk keluar dari jebakan lumpur. Kekesalannya semakin menjadi-jadi.

Sella masih mengumpat-umpat saat sebuah mobil Mitsubishi L 300 yang sudaha tua lewat di sebelahnya melahap kubangan itu seperti tanpa kesulitan. Berpasang-pasang mata di mobil tua itu menatap dia yang sedang berjuang lepas dari kubangan.

"Pli... bantuin atuh... kasian tuh kejebak lumpur." Kata supir L 300 pada kernetnya sambil tertawa. Jelas saja dia menertawakan pengemudi bodoh yang berani-beraninya datang ke Desa Campaka Mekar menggunakan sedan.

"Aaah biarin aja Kang, nanti juga dia bisa jalan kalau kubangannya udah kering." Kipli malah asik menghitung lembaran uang dekil yang berhasil mereka kumpulkan hari itu.

"Berenti pir... berenti dulu... kasian lah." Seorang lelaki berusia empat puluhan yang berdiri di pintu L300 meminta supir untuk berhenti. "Siapa tau dapet duit lah." Katanya sambil loncat saat supir memperlambat kendaraanya.

"Waah si Mang Amin mah bukan niat ngebantuin, dia mah niat nyari duit." Kata supir sambil kembali menginjak pedal gas.

"Maklum pir, Colt diesel Pa Haji lagi rusak jadi Mang Amin ngga bisa narik sayuran ke Jakarta." Kata salah satu penumpang. Penduduk Desa Campaka Mekar memang mengenal satu sama lain karena kampung mereka begitu kecil dan terpencil.

L300 terus melaju meninggalkan Kang Amin yang mendekat ke sedan yang terjebak lumpur itu. Agar sandal jepit yang dikenakannya tidak terperangkap lumpur, dengan hati-hati Kang Amin melangkahkan kakinya. Celana panjang warna kelabu telah digulung hingga lutut. Tas selempang kulit khas kota Garut tersampir selalu di bahunya.

"Jangan digas kaya gitu pak.... nanti malah tambah dalem terjebaknya." Dia teriak memberi petunjuk pada supir sedan yang semua kaca jendelanya hitam.

Alangkah kagetnya Kang Amin saat kaca jendela itu terbuka, seraut wajah cantik berkulit begitu bening terlihat sedang panik.

"Eeeh... neng... kirain teh laki-laki. Kenapa datang kesini sendirian atuh ?" Kang Amin masih terpana oleh Sella.

"Pak... bisa bantuin nggak ?" Sella merasa lega ketika Kang Amin mengangguk.

"Biarin akang yang nyupir aja neng, soalnya nyupir di daerah sini mah perlu trik husus." Kang Amin menawarkan diri dan Sella mengangguk mengiyakan.

Kang Amin membuka pintu supir dan alangkah terkejutnya ketika dilihatnya Sella mengenakan baju putih yang sangat pendek dan kedua ujungnya diikat di depan perut hingga pinggangnya yang ramping dan putih bersih terlihat jelas oleh matanya yang terbelalak. Apalagi perempuan cantik itu mengenakan rok jeans yang pendek sekali sampai rok itu tertarik hingga jauh ke paha. Dari robekan-robekan di rok jeans itu bahkan Kang Amir dapat melihat paha putih mulus itu lebih jauh lagi hingga hampir ke selangkangan. Kang Amin menelan ludahnya.

"Saya pindah dulu, Kang." Kata Sella yang sekarang tidak memanggil Kang Amin dengan sebutan bapak. Sella telah mengeluarkan sebelah kakinya yang indah itu keluar dari pintu, tetapi begitu menyadari bahwa mobil dikelilingi lumpur yang berwarna coklat maka dia mengurungkan niatnya tadi untuk pindah tempat duduk melalui luar.

"Saya pindah lewat sini aja kang." Sella mengangkat pantatnya dari kursi supir agar dia dapat melangkahkan kaki ke kursi di sebelah supir.

Kaki kiri Sella terangkat tinggi, melangkah melewati console box yang ada diantara kursi penumpang dan supir. Kang Amir merasa sangat beruntung bahwa dia tadi memutuskan untuk menolong mobil ini. Pandangannya lekat ke arah kedua kaki yang mulus itu. Rejeki ini mah....

Saat Sella mendudukkan pantatnya di kursi sedan yang rendah dan kaki kanan masih terangkat melalui console box, celana dalam Sella mengintip diantara celah rok.

"Ayo Kang... katanya mau bantuin ?"

Aaaaah... bantuin megang selangkangannya aja ya ? batin Kang Amin mulai cunihin. Bagi yang belum tau, cunihin itu padanan kata dalam bahasa Indonesianya adalah genit.

Astagfirullah..... Kang Amin menyebutkan itu bukan berarti ingin mengusir setan berjenis perempuan cantik yang membuatnya terpana itu. Dia masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Sandal yang dikenakannya langsung mengotori karpet dengan lumpur yang dibawanya. Seketika hidungnya menangkap aroma wangi parfum yang enak sekali.

"Mau kemana atuh Neng cantik teh berani-beraninya jalan kesini sendirian." Dengan sudut matanya, Kang Amin dapat melihat kaki jenjang yang mulus itu terlihat amat menggiurkan.

"Saya mau ke Desa Cempaka Mekar, Kang. Kebetulan disana ada bapak saya yang udah lama nggak ketemu." Sella merasa bahwa Kang Amin adalah orang baik sehingga dia tidak ragu-ragu mengutarakan niatnya datang ke daerah itu.

Otak Kang Amin bekerja keras berputar-putar mengingat-ingat seluruh penduduk di kampung, tapi rasanya tidak ada orang tionghoa.

"Ada bapaknya neng disana ? kok saya ngga pernah tau ya."
Sembari menyatakan keheranannya, Kang Amir mulai menggerak-gerakkan tubuhnya keatas kebawah secara pelan-pelan sambil ngegas. Kepalanya berangguk-angguk mirip seperti boneka hawaii yang sering ada di dashboard mobil. Sella ingin tertawa melihatnya, tetapi jurus itu berhasil membuat ban mobil bisa menggigit tanah licin. Mobil mulai berjalan perlahan keluar dari kubangan.

"Memangnya Kang Amin tau nama bapak saya ? kan saya belum bilang." Sella pun tertular gerakan mengangguk-anggukan kepala dan badan, membuat mobil semakin lancar keluar dari jebakan lumpur.

"Belum bilang sih... tapi kayanya ngga ada penduduk kampung yang eeeh... maap.... orang cina gitu neng." Kang Amin sekarang cengengesan melihat Sella ikut-ikutan mengangguk-angguk sampai rambutnya yang lurus itu bergoyang-goyang menggemaskan.

"Nama bapak saya Pak Ardayat, Kang."

"Hah ? Ki Ardayat ? Bapaknya neng ?" Mobil terjerembab lagi ke kubangan lumpur karena Kang Amin kaget oleh pengakuan Sella sampai kaki Kang Amin lepas dari pedal gas.
Dia memandang wajah Sella baik-baik. Nggak mungkin Ki Ardayat yang asli orang Kuningan itu punya anak semuda secantik dan seputih ini.

"Beneran itu teh neng ? aslina ?" Tetap dia tak percaya.

"Iya kang, dari istrinya yang di Jakarta waktu tahun 90an."

Kang Amin menggeleng-gelengkan kepala tak percaya yang didengarnya.

"Ibu neng oraaaang....... ?" Kang Amin kikuk menyebut kata itu.

"Mama saya asli Cina Semarang, Kang."

Makin sulit dicernanya, gimana ceritanya Ki Ardayat diwaktu dulu punya istri kedua di Jakarta ? orang tionghoa pula ?

"Ayo Kang, jalan lagi." Sella mengingatkan Kang Amin yang terbengong menatap pahanya. Sella memperbaiki duduknya lalu berusaha menarik-narik ujung roknya agar bisa menutupi lebih baik paha indahnya.

Kang Amin ngegas lagi mobil sedan itu. Dengan merayap perlahan di kelokan-kelokan yang berbatasan langsung dengan jurang, mobil itu sedikit demi sedikit mulai berejalan lancar. Saat melewatii gubuk kecil di sebuah kebun sayur di pinggiran kampung, sempat juga Kang Amin berkhayal untuk menarik perempuan cantik seksi ini kesana, sepertinya enak untuk digumuli. Disuruh nungging, angkat roknya, lalu sikat dari belakang.... hmm... pasti gurih. Tapi Kang Amin hanya berkhayal, dan dia terkekeh sendiri.

"Kenapa kang ?"

"Ah... nggak apa-apa."


Dari cerita Kang Amin, penduduk Campaka Mekar baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda, akhirnya mengetahui bahwa anak Ki Ardayat itu tidak yang seperti mereka bayangkan selama ini.

Ibu-ibu ahli gosip menggunjingkan masa lalu Ki Ardayat yang misterius, sedangkan bapak-bapak merasa iri pada masa lalu Ki Ardayat. Para remaja putri penasaran ingin tahu gaya perempuan kota seperti apa, para remaja pria juga tak ketinggalan. Apalagi cerita Kang Amin terlalu dilebih-lebihkan dengan cerita yang sudah dibumbui gaya hiperbola katanya anaknya Ki Ardayat mirip artis siapa lah yang pernah tersebar videonya lagi mesum dengan olahragawan.


Ki Ardayat sendiri tak menyangka bahwa Sella datang dari jauh ke tempat terpencil ini untuk menengoknya. Selama ini dalam bayangan Ki Ardayat, Sella masihlah gadis kecil berusia sepuluh tahun hingga saat ini. Tapi perempuan cantik itu masih dapat dikenalinya, dan dia yakin bahwa itu adalah benar anaknya.

"Punteeen......" Sebuah suara memotong Ki Ardayat yang sedang menuntaskan rasa rindu pada anak yang telah ditinggalkannya selama dua puluh tahun lebih.

"Ki... beli roko Tjap Gentong." Di depan warungnya tiga pemuda melongok-longokkan kepalanya ke dalam warung.

"Udah abis, ujang." Kata Ki Ardayat yang merasa tergganggu hari ini dengan kedatangan pembeli. Dari sejak Sella datang sore itu, warungnya nyaris tak pernah sepi oleh pembeli.

"Roko Tjap Pak Tani kalau gitu." Tiga pemuda itu malu-malu melihat Sella Anastasia yang duduk di kursi menghadap ke mereka. Lututnya terbuka sedikit, membuat tiga pemuda tadi cengengesan.

"Abis juga. Tinggal Sampurna Mil aja."

"Oooh yaudah deh ngga jadi Ki." Uang tiga pemuda tadi tidak cukup untuk membeli rokok yang dimaksud Ki Ardayat.

"Pak.... warungnya tutup aja." Kata Sella, juga merasa terganggu.

"Memang udah waktunya tutup, nak." Ki Ardayat setuju dengan Sella. Dia mulai memasang kayu-kayu papan penutup warung.

"Bapak tidur dimana biasanya ?"

Ki Ardayat menunjuk tumpukan kardus di sudut yang dialasi oleh kasur busa tipis yang terlipat. Sella seketika itu juga merasa bingung serta kasihan.

"Saya tidur dimana, pak ?"

Sekarang Ki Ardayat yang bingung. Tidak mungkin anaknya ini tidur di tempat seperti itu.

"Ya udah, saya juga tidur disini aja pak." Sella masih ingat ketika dulu waktu usia delapan tahun di Semarang juga dia tidur di sudut toko.

"Gimana ya nak.... kayaknya ngga pantes...."

"Nggak apa-apa pak, kita nostalgia seperti dulu lagi waktu masih miskin di Semarang." Sella tertawa kecil mengingat itu.

"Bapak sekarang masih miskin, nak." Ki Ardayat terkekeh.

Matahari telah tenggelam, kampung Campaka Mekar gelap gulita dan hanya diterangi sedikit lampu-lampu dengan watt yang kecil.

Ki Ardayat solat magrib disambung dengan wirid sampai dengan waktu Isya. Sella mendapat kebahagiaan baru dari kenangan masa lalu ditengah kegalauannya akan masa depannya bersama Donny sang kekasih. Tangannya sibuk memainkan hape hingga Ki Ardayat selesai melaksanakan sholat Isya.

Bapak dan anak itu kembali menuntaskan rasa rindu mereka dengan ngobrol hingga larut malam.

"Pak.... besok ikut Sella aja ke Jakarta ya." Ajak Sella pada Ki Ardayat yang tidur di sebelahnya. Mereka berbagi satu bantal untuk tidur.

Ki Ardayat merenung, menimbang-nimbang.
"Bapak takut merepotkan kamu, nak."

"Nggak akan merepotkan kok."

"Gimana kalau kukung sama popoh tau ?" Ki Ardayat mengingatkan Sella.

"Mereka sudah lama meninggal, Pak. Sella sekarang sebatang kara. Cuma tinggal bapak aja yang Sella punya."

Hening.

"Maafin bapak, udah ninggalin kamu dulu." Air mata tergenang di pelupuk mata Ki Ardayat.

Sella tak menjawab, melainkan memeluk Ki Ardayat dengan erat.

Kontras sekali, di sebuah warung kecil yang berantakan ada seorang lelaki tua mengenakan sarung belel, kaus singlet yang sudah bolong, tergeletak diatas kasur busa tipis dengan dipeluk seorang wanita cantik berkulit putih mulus.

Malam semakin larut, udarapun semakin dingin, dua manusia itu akhirnya tidur berpelukan.

Bersambung
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd