------------------------------
“Lah ini si bangsat kok ada disini?” tanya Arka Nadiem mendadak, setelah Stefan masuk tanpa permisi ke dalam studioku.
“Dua hal, pertama….”
“Kagak ngucapin apa-apa lagi, salam dulu kek, asalamualaikum gitu, ke yang punya rumah” ledek Jacob Manuhutu sambil menyetem upright bass nya.
“Berisik semua lu pada, gue penasaran sama dua hal, pertama sama musik band bocah asal Jogja yang Arya temuin kemaren, sama yang kedua, gue pengen denger Arya and The Kontols latian” umpat Stefan ke arah Arka dan Jacob.
Arka hanya tertawa tanpa suara, sambil duduk bersandar di kursi. Kakinya dia naikkan ke meja, sambil menunggu kedatangan seorang lagi. Sore ini studio agak terasa penuh, karena Aku, Jacob Manuhutu dan Arka Nadiem akan latihan perdana sebagai working group. Kami sedang menunggu sang drummer, yang direkomendasikan oleh Arka. Toni namanya, entah dia apakah akan datang atau tidak, karena dia sudah telat setengah jam dari waktu yang ditentukan.
“Lo kok gak bawa Hammond lo nyet?” tanya Stefan, sambil melongok ke dalam, melihat tumpukan keyboard Nord dan Rhodes yang teronggok begitu indahnya di dalam studio. Aku yang dari tadi ada di dalam, keluar ke ruangan monitor dan menjawab pertanyaan bodoh Stefan.
“Ngangkut Hammond berat tau”
“Ini dia si ketua Kontol” sapa Stefan melihat aku muncul keluar dari dalam.
“Mulut lo tuh ya….” tawa sang keyboardist sambil duduk dengan santainya.
“Arka...” tegurku.
“Yoo”
“Si Toni-toni ini mana sih?” tanyaku gusar.
“Biasa emang dia mah suka telat… Kan udah gue bilang tadi….” jawab Arka agak cuek.
“Gue pikir suka telat tuh 10 menit, 15 menit kek, ini mau setengah jam, untung studio ini punya gue sendiri, kalo bukan udah gue tinggalin….”
“So, tiap hari ya lo pasti ngewe” mendadak Stefan bertanya soal hal-hal yang berbau selangkangan seperti biasa, sambil menarik kursi dan duduk dengan cueknya di sebelah Arka.
“Gak sesering yang lo bayangin….” jawabku asal sambil memeriksa media sosial. Kyoko sedang ada di dapur, berjibaku memasak makan malam untuk kami semua hari ini.
Hari sudah mulai menuju maghrib, dan tampaknya Toni-Toni ini tidak kunjung datang juga. Aku celingukan, melongokkan kepalaku ke arah luar, kemana si drummer yang katanya keren ini?
“Arya!” panggil Arka dari dalam.
“Ya?” jawabku dengan segala rasa bosan yang ada.
“Mendingan lo kasih denger itu band yang elo ceritain ke gue tadi….” lanjut Arka sambil menguap.
“Ntar aja, mereka mau rekaman lagi yang bener, yang demo gue ceritain barusan itu, suaranya mendem, ga begitu enak lah sound nya….”
“Tapi mainnya lo bilang enak kan?”
“Enak”
“Enak kayak Kyoko apa enak kayak Kanaya?” tanya Stefan sambil memainkan rokok di tangannya.
“Bwahaha bangsat si Stefan” tawa Jacob yang baru saja beres menyetem upright bassnya.
“Enakan lubang idung elo Fan” jawabku dengan asal, sambil meregangkan tanganku yang diiringi dengan seribu kemalasan yang ada di dunia.
“Najis” balas Stefan, dengan nada kesal dan jutek ala Stefan.
“Eh gue jadi penasaran mendadak….” Arka menggaruk kepalanya.
“Penasaran sama apa…” lirik Stefan.
“Soal Anin, bener ga sih yang katanya dia sekarang pacaran LDR-an sama orang singapur yang tinggal di Jepang?” tanya Arka, berusaha mengkonfirmasi gosip yang mungkin dia dengar entah dari siapa.
“Bener” jawabku dan Stefan hampir bersamaan.
“Ooo….” Arka mengangguk paham, sepertinya dia baru mendapatkan konfirmasi dari berita-berita yang ia dengar. “Soalnya gue ga pernah liat foto mereka bareng di instagramnya Anin. Paling ada juga ada foto rame-rame, ada cewek yang kulitnya gelap di pojok mukanya kayaknya judes dan badannya kecil…. Yang itu bukan sih pacarnya?”
“100 buat Arka Nadiem” aku mengacungkan jempol kepada Arka.
“Lengkap amat nyebutnya kayak ngabsen di kampus” tawanya.
“Mending dengerin tuh band bocah…… daripada ngomongin si kingkong” Stefan menguap dan menggeliat.
“Yaudah gue setel deh….” aku menyerah dan mengambil casing CD warana oranye tersebut dan memasukkan CD nya dalam CD Player yang ada di salah satu kabinet di studioku.
Mendadak bunyi musik keras terdengar membahana di dalam studioku.
Kami berempat mendengarkannya dengan seksama. Bisa kulihat Stefan manggut-manggut dan kakinya bergoyang sesuai irama lagu pertama dari Speed Demon. Dipikir-pikir, nama Speed Demon agak jadul, tapi memang gahar. Tapi justru karena gahar, namanya agak tidak sesuai dengan tampang musisinya yang masih terlihat begitu muda dan lugu. Biar lah, nanti juga mereka pasti jadi pria-pria usia tigapuluhan seperti kami ini.
“Ahahaha solonya kekencengan tuh, di gas poll…. Bahasanya celemongan tapi oke lah buat anak-anak” komentar Arka ketika suara gitar menguasai tema lagu.
“Kayak buru-buru pengen beres gitu main gitarnya” komentar Stefan berusaha mencerna musik dari Speed Demon.
“Tapi emang sih, bener yang lo bilang, secara komposisi mereka udah asik banget, dipoles dikit, jadi deh…. Judas Priest dari Jogja” tawa Arka. Jacob hanya menutup matanya, sambil berusaha mendengarkan detil-detil dari musiknya Speed Demon.
“Nice” komentar Stefan setelah lagu pertama habis. Jacob tidak memberikan pendapatnya, dia malah mencoba-coba mengulang riff-riff bass dari Speed Demon dengan menggunakan mulutnya.
Mendadak intro lagu kedua, lagu yang slow, Romance Before Dawn, masuk. Air muka Arka, Stefan dan Jacob berubah. Mereka celingukan, sambil menekuk jidat mereka. Muka mereka makin aneh ekspresinya ketika suara vokal masuk.
“Ini kalo lo gak bilang lagu dari band yang sama ya, gue sangkain band yang beda lho” komentar Jacob.
“Beda banget yak” Arka berusaha menikmati irama musik slow rock yang menyayat hati.
“Kayak abis disuruh dengerin musik keras oktan tinggi, mendadak dikasih Steelheart…..” aku menyuarakan suara hatiku di depan mereka.
Stefan mengangguk tanda setuju.
“Gak nyambung banget ini…. “ bingung Stefan. “Bener-bener kayak beda band….”
“Wahahahahaha gitarisnya langsung muntah gini pas solo, teknik abis, sekil abis, dilalap semua not” komentar Arka sambil tertawa lepas. “Jago sih, cuma dia belom tau gimana cara komposisi solo yang asik biar gak cuma nunjukin teknik doang, tapi melodinya harus bikin yang denger hanyut”
“Hmmm… Musisi sekolahan mah begini omongannya” ledek Stefan. Arka hanya meringis, ngingung bagaimana caranya membalas ledekan Stefan. Dia belum sefasih Anin atau aku dalam membalikkan kata-kata Stefan.
“Coba di skip dong ke lagu ke tiga” celetuk Jacob dengan nada bosan.
“Eh, jangan, dengerin ampe abis..” tegurku.
“Nah, kalo produser omongannya kayak begitu…” ledek Stefan kepadaku.
“Berisik aja”
“Kalian semua lebih berisik daripada gue tau” Stefan berusaha membela dirinya sendiri.
“By the way… Kalo si Toni-toni ini ga dateng gimana ya?” aku mendadak ingat pada sang drummer yang tidak kunjung datang itu.
“Harap dimaklum lah, dia dari Gading rumahnya, dan naik motor….” jawab Arka.
“Loh… Naik motor kan harusnya lebih cepet kan? Gue kan motoran kemana-mana…… Dia nyasar kali ke Depok…” candaku dalam kesal.
“Ah, lagu keduanya dah abis, lagu ketiga ya” senyum Jacob, memperlihatkan deretan giginya yang putih, kontras dengan warna gelap kulitnya.
“Permisi….” suara seorang laki-laki yang tidak kukenal mendadak ada di depan pintu. Aku membuka pintu dengan buru-buru sementara lagu ketiga dari Speed Demon sudah terputar dengan kerasnya.
“Eh halo…” aku membuka pintu dan menemukan sesosok lelaki yang tidak kukenal. Berbadan sedang, berkacamata, dengan dandanan yang rapih, serta senyum yang ramah.
“Toni ya?” senyumku lega, sedikit lupa akan kekesalanku menunggunya.
“Iya Mas…. Kenalin… Maaf telat banget, tadi di jalan biasa lah, entah ada apa” jawabnya berdiplomatis, menutupi penyebab sebenarnya. Dia tersenyum dengan lebar sambil menatap menyelidik ke seluruh ruangan.
“Ton! Sini, kenalin ini Stefan, kalo mau spik-spik ama cewek lo belajar ama dia aja!” teriak Arka dari sudut ruangan yang lain. Toni lalu permisi dan berjalan ke dalam, sambil lantas berkenalan dengan Stefan.
“Stefan”
“Toni Mas, apa kabar…”
“Baik... Dah ditungguin tuh ama mereka dari tadi…”
“Ah iya, biasa lah Jakarta” senyumnya berdiplomasi.
“Biasa Jakarta nenek lu peyang… Kebiasaan lu telat, dah banyak tuh yang suka ngeluh-ngeluh di sama gue tau… Untung lo jago maen drumnya” tawa Arka dengan tatapan maklum.
“Ah… Jakarta Mas… Gimana?” senyumnya dengan muka manis.
“Yaudah, silakan disono drumnya, kita cobain lah main-main dikit” ajakku, agar tidak menunggu terlalu lama.
--------------------------------------------
Kami menatap Toni yang sedang bermain solo, setelah kami bermain beberapa lagu dan ngejam bareng. Aku memperhatikan gerakannya yang begitu cair, dan ketukannya yang super stabil. Matanya tertutup, menikmati suara perkusi yang mengalir dengan indahnya.
Arka dan Jacob hanya lihat-lihatan saja, maklum dengan kami semua yang tampak amazed oleh permainan Toni yang begitu indah. Walaupun tadi sudah terasa dalam jam session dan bermain musik bersama, tapi secara logika, harusnya tenaganya sudah habis karena kami dari tadi bermain seperti lupa waktu, sampai-sampai Kyoko harus masuk dan mengingatkan kami kalau waktu makan sudah tiba.
Dan sekarang Aku, Kyoko dan Stefan hanya bisa tertegun melihat permainannya yang begitu lincah dan atraktif.
“Jago nyet” bisik Stefan.
“Gak lu omongin juga udah tau gue kalo dia jago, gue punya mata ama kuping” balasku.
Sementara Kyoko tampak tersenyum melihat permainan Toni, yang entah kenapa memang dia mendadak iseng bermain solo ketika kami semua sudah siap untuk pindah ke ruang makan dan memakan makanan malam.
“Kyoko…” bisikku. Kyoko Cuma diam, terhanyut oleh irama solo drum Toni. “Sayang…”
“Nn” jawab Kyoko tak acuh.
“Anu, mama udah makan tadi sebelum kita kan?” tanyaku ke istriku.
Sial.
Kyoko hanya menyentuhkan jarinya di mulutnya, menyuruh aku untuk diam. Iya, memang semembius itu solo drum Toni. Dan akhirnya beres juga. Toni tersenyum dan lantas menaruh stik drumnya di tas yang teronggok di sebelahnya. Dia lantas meregangkan tangannya ke atas dan berdiri, menyelesaikan sesi latihan malam ini.
Aku bertepuk tangan sambil menggelengkan kepala. Bukan hanya karena skill nya, tapi karena konsistensi dan energinya, dan aku tidak melihat setitik pun keringat yang muncul di mukanya. Sepertinya menarik jika ia dan Bagas bertemu, mungkin akan banyak transfer ilmu diantara mereka berdua. Betapa beruntungnya aku selalu dikaruniai drummer berbakat dan keren-keren seperti ini.
“Aduh ah mas, mbak, ngapain tepuk tangan” ucapnya malu dengan sopan.
“Keren bangsat, tuker aja lah sama si Bagas, gue pengen punya drummer itu manusia kayak begini, bukan robot alien kayak Bagas” komentar Stefan.
“Kagak sopan ama temen ben sendiri si monyet” ledekku.
“Jya… Hebat sekari… Nah ayo… Makan, sudah siap makanannya…” senyum Kyoko menyambut Toni yang baru saja selesai solo drumnya.
“Iya mbak” jawabnya, mengikuti kami semua berjalan ke arah ruang makan, keluar dari studio.
Aku melirik ke Arka dan memberikannya senyuman, tanda puas akan permainan Toni yang merekatkan working group ini. Lengkap sudah, kami bisa latihan rutin, lalu mulai cari gig, dan lama kelamaan bisa bikin album. Nice.
“Kalian semua belom pernah makan masakannya Kyoko kan?” tanya Stefan ke Arka, Jacob dan Toni ketika kami sudah sampai di ruang makan.
“Belom” jawab mereka hampir bersamaan.
“Magic sih makanannya, enaknya minta mampus” candaku.
“Ano, minta manpus?” tanya Kyoko sambil bingung.
“Ah, ya pokoknya enak deh” senyumku. Aku lupa, Kyoko memang lancar bahasa Indonesianya, tapi dia belum paham banyak istilah-istilah slang dan bercandaan yang sifatnya mempermainkan kata.
“Jadi saking enaknya makanan elo, yang makan itu keenakan sampe mau mampus, alias mau mati” tawa Stefan sambil mulai mengambil piring dan mengambil makanan dengan agak seenaknya tanpa disuruh.
“Ahaha, terimakasih Stefan”
“Yaudah, jangan nunggu-nunggu, cepet abisin, untung ga ada Anin malem ini, kalo dia ada bisa disikat semua” candaku.
“Dan besok baru latihan Hantaman kan, asik, gue dua hari berturut-turut makan masakannya Kyoko” lanjut Stefan.
Tanpa menunggu lama, kami semua sibuk mengambil makanan untuk diri kami masing-masing, dan Kyoko memperhatikan kami dengan senyumnya yang selalu terkembang. Makanan malam ini, selain nasi, ada paha ayam yang digoreng tepung, sayur lobak, acar timun, dan telur dadar yang semuanya terlihat begitu menggoda, seperti bento khas Jepang. Dan kemudian mata Arka melotot ketika makanan sudah masuk ke dalam mulutnya.
“Wah, enak!” dia lalu melanjutkan makan dengan lahap. Memang enak, dan itu yang selalu membuatku bersemangat untuk makan di rumah setiap harinya. Makanan masakan Kyoko memang luar biasa, apalagi setelah dia beroperasi di dapur ini. Rasanya tiap hari ada saja makanan enak yang rasanya baru untuk kami sekeluarga.
“Eh, rame, bukannya sekarang bukan jadwal latihannya Hantaman?” mendadak suara familiar adikku terdengar dan semua mata menatap dirinya yang masih memakai setelan kantor dan sedang menenteng high heelsnya.
“Lama gak ketemu” sama Arka sambil melambaikan tangannya ke Ai.
“Eh Mas Arka! Ah aku ikutan makan deh, untung belom makan….” dia bergerak lincah ke arah meja makan dan dia tampak mengabsen satu persatu. “Oh emang bukan latihan Hantaman ya?” bingungnya melihat muka Jacob dan satu orang asing.
Ya, orang yang asing bagi Ai itu bernama Toni, drummer untuk working groupku dan dia sekarang sedang menghentikan kegiatan makannya karena perempuan yang ia stalk instagrammnya kini berdiri dan bergerak hidup di hadapannya.
“Mampus” bisik Arka ke Toni.
“Emang bukan latihan Hantaman kok dek… Ini buat working groupku, buat beresin albumku ntar….” aku menjawab pertanyaan Ai tadi.
“Ooo… terus orang ini ngapain disini?” tanyanya sambil melirik tajam ke arah Stefan.
“Suka suka gue dong” kesal Stefan sambil terus makan tanpa henti. Kyoko bangkit dan membantu mengambilkan makanan untuk Ai, sambil geli melihat interaksi Stefan dan Ai.
“Udah lo makan aja, gue nanyanya gak ke elo kok” balas Ai.
“Lo ga jelas nanyanya ke siapa”
“Bukan ke elo yang jelas” dan Ai lalu duduk di sebelah Stefan secara otomatis, dan dengan tidak sengaja ia duduk di hadapan Toni. Toni yang masih terpaku dan melihat Ai dengan tajam.
“Eh halo, belom kenal ya….” Ai menjulurkan tangannya sejenak ke arah Toni.
“Ah… Iya, kenalin , Toni”
“Ai, adiknya Mas Arya” tunjuk Ai kepadaku setelah bersalaman.
“Ini drummer yang bakal gue pake buat bikin quartet dek, keren loh mainnya, coba kamu tadi datengnya duluan, bisa liat dulu jago-jagonya dia” aku berusaha memperkenalkan Toni ke adikku.
“Oh, pasti jago lah ya Hahaha…. Emang musisi total atau bukan?” tanya Ai sambil makan dengan santainya.
“Total sih… Hehe” Toni tersipu malu, menatap Ai dengan dalam dan seperti sedang memetakan bentuk tubuh adikku.
“Total apa bukan itu maksudnya gimana sih?” tanya Stefan dengan nada sinis.
“Total itu kayak Mas Arya, Jacob, Mas Arka…. yang enggak itu kayak elu, masih kantoran juga” jawab Ai cuek.
“Manggil Arka pake mas, manggil gue enggak” ledek Stefan.
“Sori nyet” balas Ai ketus.
“Kon… Aduh” aku menginjak kaki Stefan agar tidak serta merta meneriakkan kata kotor kontol di dalam rumahku. Tidak enak didengar ibuku nanti.
“Rasain” tawa Ai.
“kontol……” bisik Stefan pelan di telinga Ai.
“Ngeselin deh”
“kontol……” bisiknya lagi.
“Udah ih makan aja sana”
“kontol……”
“Aya, apanya yang murah?” tanya Kyoko mendadak sambil berbisik kepadaku.
“Ah iya…. Soal itu, belum aku jelasin ya?” Ya, selalu terlupa soal ini, soal bahwa sebenarnya kontol itu tidak sama dengan murah seperti yang Kyoko sangkakan selama ini.
“Udah fan ah, gak enak didenger, ntar nyokap gue keluar kamar lo digantung lho” balas Ai.
“kontol…….” Stefan berbisik makin pelan di telinga Ai. Saking dekatnya sehingga aku melihat raut wajah Toni tampak ingin menolong Ai tapi dia tidak kuasa. Tidak kuasa karena chemistry Ai dan Stefan terlihat lain di matanya sepertinya.
“Sekali lagi bisikin gitu awas” marah Ai.
“kontol…..”
“Nih” kesal Ai sambil mengambil tulang ayam dan menusukkannya ke lubang hidung Stefan. Dan tepat.
“SIAL!!”
Dan tawa pun pecah di meja makan malam itu.
--------------------------------------------
Arka dan Jacob sedang membereskan peralatan mereka di dalam, dan Toni sudah pulang dengan raut muka yang tampaknya sedih dan kecewa karena melihat kedekatan Ai dan Stefan di meja makan tadi. Adik dan Istriku sementara sedang mencuci piring dan membereskan dapur bersama.
Aku menemani Stefan yang sedang merokok di teras Studio.
“Gimana so far, pernikahan lo yang udah jalan semingguan lebih ini?” tanyanya sambil menghisap rokok dalam-dalam. Terlalu dalam sehingga asap yang ia keluarga sangat banyak.
“Menarik, gue jadi rajin solat subuh karena bangun pagi bareng terus, gue jadi males keluar rumah karena makanan di rumah jadi enak banget dan bisa tiap jam tiap detik ngobrol ama Kyoko…” jawabku panjang.
“Dia seneng gak jadi ibu rumah tangga?”
“Keliatannya enjoy sih”
“Padahal dulu sibuk gawe di café ya, sekarang jadi emak-emak” lanjut Stefan.
“Iya” senyumku.
“Jadi fix ya, lo jadi bapak-bapak rumahan abis kawin….” Stefan tampaknya mengambil kesimpulan terlalu cepat.
“Pengen ditemenin ngelayap paling ni anak, ajak Anin aja sana, gue sih mending di rumah kalo malem-malem, nonton netflix bedua, atau cerita-cerita, atau apa lah, pokoknya semuanya nyenengin” tawaku.
“Ah Anin lagi, males, lo tau sendiri dia lagi ga bisa berhenti ngomongin Zee…..”
“Namanya juga lagi kasmaran”
“Tapi hebat ya dia masih perawan sampe sekarang” komentar Stefan.
“Eh masih?”
“Masih” jawab Stefan pelan.
“Tau darimana?”
“Gue interograsi abis-abisan di wassap, gue sangkain bullshit, taunya dia pake demi allah demi allah segala bilang belom pernah ngapa-ngapain sama Zee, gue tanyain kapan mau digarap, katanya entar aja abis kawin…. Itu anak udah jadi bapak-bapak dari kuliah gue rasa…. Boring, gak kayak elo” jawab Stefan panjang.
“Ya kalo lo emang pengen ditemenin sih boleh aja, tapi jangan sering-sering kayak dulu abis latihan gitu, seminggu dua minggu sekali lah, jangan subuh juga baliknya, jam 10-11 an gitu Fan” jawabku dengan nada yang tak enak.
“Lo pikir shift satpam apa jam 10-11 an, itu mah masih pagi bego” kesalnya.
“Ya… Gue sih mending di rumah” senyumku.
“Ah taik kan…. Yasudahlah, sendirian aja juga gapapa, paling ke tempatnya Cheryl aja gue abis ini……” tawanya.
“Apa kabar tuh anak sekarang?”
“Kanaya?” tanya Stefan.
“Cheryl, bukan Kanaya…..” aku mencoba meluruskan jawaban Stefan.
“Kanaya baik, kemaren kemaren sempet ngobrol, tapi kayaknya dia lagi sibuk banget jadi gue ga bisa nanyain dia masih single atau udah punya pacar, kalo masih single lo jadiin simpenan aja Ya, mayan seminggu sekali diewenya, lo hari-hari biasa ngewe bini….” candanya tak lucu.
“Gue nanyanya Cheryl, monyet”
“Jadi abis kawin senengnya malah sama yang udah kawin juga ya, boleh aja sih kalo lo mau tukeran pasangan ama mereka” tawanya sambil mematikan rokok di asbak dan mulai membakar batang baru.
“Kontol” kesalku sambil meregangkan badan.
“Eh, katanya lo mau beli mobil, kok belom?” tanya Stefan mengalihkan topik pembicaraan.
“Belom sih, udah ada beberapa yang gue kecengin…. Pengen test drive dulu…”
“Gue ada sih kenalan orang showroom kalo mau, SUV kayaknya cocok buat elo sama keluarga” komentarnya.
“Menarik, boleh dong kenalin”
“Besok gue agak free sih, pas jam makan siang mau? Ntar gue kabarin alamatnya” jawab Stefan.
“Boleh, sekalian kita makan di luar aja, gue ajak bini”
“Kok ajak bini…..” dia memicingkan mata.
“Loh kenapa emang? Kan kasian dia bosen kali kalo di rumah mulu, lagian apa salahnya ngajak bini liat mobil sama makan siang di luar, emangnya ngajak ke alexis?” tawaku.
“Yah…. terserah deh” senyumnya terpaksa.
“Emang kalo gue gak sendirian kenapa?” tanyaku.
“Yaaa…. gapapa sih…”
“Ah ada-ada aja elo, besok kabarin ya” sambungku sambil melihat Arka yang sudah siap berangkat, setelah mengangkut tumpukan keyboardnya ke mobilnya.
“Iya”
“Jangan lemes gitu ah, ntar gue coba deh, kapan gue bisa keluar malem ga bareng bini, gue temenin elo” tawaku.
“Tapi pasti ga bisa sampe malem banget kan?”
“Jam 10-11 an”
“Jam segitu masih sepi bar mah….”
“Ya ke tempat kopinya Zul aja, gue kan ga minum, sia-sia kan dibawa ke bar sekarang”
“Ah susah…. Yaudah deh, ntar gue kabarin buat ke showroom besok” dengus Stefan, sambil menatap ke langit.
Ah Stefan, jangan lupa kalau aku sudah menikah dan lebih nyaman di rumah. Tapi aku yakin, lama kelamaan dia akan mengerti soal kondisi ini.
--------------------------------------------
BERSAMBUNG