Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Bimabet
...

Kenapa enggak ada postingan outfit pemerannya lagi sih, Boss...???

Kayak Kyoko dan juga Ai....

Hhhhhhh...

Padahal itu salah satu komponen keren dari cerita ini... Dan aku suka...

...
 
Happy ada Ai lagi haha..
meskipun udah ulang2 baca mdt1 & mdt2, imajinasi gue gak bisa bikin gambaran seberapa cantiknya face Ai, nggak bisa diilustrasiin pake face cewek yg gue kenal/tau . Tapi gue ngerasain Ai tuh cantiknya 1 paket komplit bin istimewa hahaha..
Aura/inner beauty Ai kali ya yang bikin karakter dia jadi cantik..
 
Tererengkyu om udatenya...ane tunggu tuh buat obat bosen di kantor hehehe
 
MDT SEASON 2 – PART 17

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Sudah sekitar tiga hari proses rekaman ini dilakukan. Ada total 10 lagu yang direncanakan untuk direkam. Dan so far, materi yang terkumpul baru untuk dua lagu. Anak-anak Speed Demon sudah makan malam, setelah berbuka puasa, dan sebentar lagi mereka akan pulang ke rumah saudaranya Panji di Pulo Gadung, menumpang taksi online. Tentunya biayanya dicover oleh kami sebagai label.

“Mas, Saya kok bingung, gimana sih caranya supaya bisa solonya tuh enak banget kayak di lagu-lagunya Mas… soalnya dari kemaren, tiap saya solo kok rasanya gitu lagi gitu lagi ya…. Bingung saya….” tanya Nanang, penasaran, sambil menyeruput kopi yang dibikinkan Kyoko untuknya.
“Gak cuma latihan doang sih, kalo latihan nambah skill…. Kalo buat nambah ‘kalimatnya’ mending coba dengerin banyak-banyak lagu…” jawabku, di tengah kepulan asap rokok para anak muda itu.

“Tapi saya perasaan dah denger banyak lagu…”
“Lagu apa aja emang…”
“Kemaren saya abis donlot banyak Mas, Motorhead, terus opo ya.. Anu… Iron Maiden yang album terakhir…” jawabnya.

“Hahaha…” tawaku, yang disambut kebingungan keempatnya.
“Kok ketawa mas?” bingung Panji.

“Ya kalian kalo pengen tambah kaya bahasa musiknya, jangan dengerin musik yang itu-itu aja dong” senyumku sambil menghirup aroma kopi dari Mitaka itu.
“Anu tapi saya sukanya kan metal-metal gitu mas” Nanang berusaha menjelaskan selera musiknya.
“Justru” aku menatap matanya dengan tatapan sok menggurui. “Kalo lo banyak denger lagu-lagu lain selain lagu metal, lo bakal banyak dapat inspirasi…. Serius deh”

“Lagu macam apa misalnya mas?”
“Lagu apapun, rock, pop, dangdut, apapun…” aku nyengir kuda saja sambil melihat kebingungan di muka Nanang.

“Dan untung elo bisa dibilangin anaknya, tadi sampe berapa kali take lagu kedua buat solo gitarnya?” tawaku.
“Iya mas, dan saya baru tau, kalo buat ngetake gitu bisa sendiri-sendiri ya?”

“Bisa dong, kalian maen bareng dulu itu kan direkam dalam berapa track? Vokal 1 track, gitar satu track buat rhythm, terus bass satu track, drum yang banyak, 8 track….” jawabku.
“Dan karena si solonya dipisah tracknya dan direkam belakangan, jadinya kalo ada salah-salah itu ndak usah ngulang-ngulang ya yang lain ngerekamnya” angguk Billy.

“Iyak, dan itu juga makanya vocal elo direkam belakangan…. Biar kalo ada salah lirik, lupa lirik, dan anu-anunya bisa direkam terpisah tanpa harus ngeganggu proses rekaman yang lain” jawabku.
“Jadi banyak ilmu disini” senyum Panji, membakar rokok lagi.

“Tapi mas… Saya jadi bingung tiap coba ngajak ngobrol Mas Bagas…. Anu… Apa saya kurang sopan ya?” tanya Ibam dengan nada tidak enak.
“Ah… Dia mah, emang begitu… Orangnya susah diajak ngobrol dan cuek banget, mau jawab aja udah untung” jawabku.

“Padahal saya pengen nanya-nanya soal ngedrum, soalnya jago mas….”
“Ntar pas gue latihan quartet jazz, working group gue, nonton aja, ada drummer yang gak kalah jagonya daripada Bagas”
“Wah, menarik”

“Tiap selasa ya mas?” tanya Nanang.
“Iya” jawabku sambil mendengar suara mobil yang baru saja masuk. Ai pasti. Tumben pulang malam, biasanya kalau bulan puasa, dia segera pulang setelah mungkin membatalkan puasa terlebih dahulu di kantor. Tak lama kemudian, terdengar suara high heels yang beradu dengan lantai.

“Tumben malem” tegurku sambil tersenyum, melihat sosok adikku yang masuk ke dalam rumah.
“Abis buka bareng” dia menjulurkan lidahnya kepadaku.

“Baru minggu pertama udah buka bareng lagi? Gile…. Aku aja baru ada buka bareng ntar, pas masuk minggu ke dua akhir…..” tawaku.
“Biar kagak rame tau…. Ntar Mas Arya susah cari tempat lho…”
“Kan ada tempatnya Zul”
“Curang”
“Biarin…”

“Yaudah ah, mau istirahat, deeh…” Ai pun berlalu, masuk ke dalam rumah dan sosoknya lalu menghilang. Aku tersenyum sambil meregangkan badanku, lalu melipat kaki dan mengambil kopi di meja teras.

“Mas… Anu… Mbak nya…” bisik Ibam.
“Paan?”

“Mbak nya, Adeknya Mas Arya itu apa…. Kok anu…” lanjutnya.
“Kok anu apaan, coba ngomong yang jelas”
“Masih kuliah ya?” tanyanya.

“Kuliah? Kuliah dari hongkong” jawabku.
“Loh…”

“Udah kerja toh mas?” tanya Panji, penasaran juga.
“Udah”

“Udah berapa lama?” tanya Billy.
“Udah lama”

“Setahun gitu ya, baru lulus?” tanya Nanang.
“Engga, dia udah kerja di perusahaan yang sekarang sih baru kira-kira 4 taun gitu….”
“Yang sekarang?” tanya Nanang lagi dengan muka bingung.

“Iyak” jawabku dengan santai.

“Loh berarti…. Umurnya?” tanya Billy tanpa rem.
“Ngaco, ndak sopan” tegur Panji dengan muka risih terhadap pertanyaan Billy.

“28” jawabku pelan sambil tertawa dalam hati, dan mendadak keempat anak itu melongo sejadi-jadinya. Melongo heran, dan terkejut, seperti pertama kali mereka melihat Ai masuk ke dalam studio, membawakan makanan untuk mereka. Lucu juga, mengingat mereka sepertinya tidak begitu kaget melihat Kyoko, yang menurutku sangat-sangat cantik dan good looking. Ah, mungkin Kyoko memang bukan selera mereka, atau mereka tahu umur Kyoko 30-an, karena memang terlihat dengan jelas.

“Mas jangan bercanda ah” senyum Nanang dengan malunya.

“Gak bercanda kok, jujur, masa Kakak ngebecandain umur adeknya sendiri” tawaku.
“Tapi keliatan muda banget ya mas…” bisik Panji, dengan muka yang malu-malu juga.

“Gak Cuma kalian sih yang bilang begitu”
“Iya jadi kita sangkain masih kuliah kali ya… Hehehheeheh” tawa Ibam malu-malu. Semuanya aja malu-malu, padahal Ai nya ada di dalam rumah, tidak di depan mereka.

“Tapi udah punya pacar belom sih mas?” tanya Nanang malu-malu. Lagi-lagi malu-malu. Malu-malu terus, padahal mau. Yakin aku.

“Belom…. Doain aja ya” aku menggosok mukaku dengan telapak tanganku dan tertawa dalam hati. Lucu sekali mereka. Bukannya anak band sering dekat dengan perempuan ya biasanya? Kalau menurut pengalamanku sih biasanya begitu. Tapi tingkah mereka seperti malu-malu kucing melihat Ai yang lewat di depan mereka. Hanya lewat. Bukan ngajak ngobrol, ngajak makan, apalagi ngajak jalan. Nanti gimana kalau mereka lihat yang semacam Dian, Anggia, atau malah Kanaya? Bisa pingsan nanti.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Mumpung anak-anak itu udah balik, kita breakdown hasil rumusan gue siang ini” Stefan membuka laptopnya, menunjukkan sebuah slide presentasi dengan kotak-kotak, panah-panah dan tulisan-tulisan yang semuanya terlihat penting.

“Duit dari sponsor, deal nya sekian” Stefan menunjukkan suatu angka yang jumlahnya lumayan besar namun tidak fantastis. “Terus, ini perkiraan buat kalo bikin acara launching di Jogja, sebulan abis lebaran… Data-data ini semua gue dapet gak asal, tapi gue emang udah nelponin vendor-vendor di Jogja, lewat link-link yang biasa kita hubungin kalo kita manggung disana dulu”

“Mantep” puji Anin, sambil matanya terus menatap ke arah laptop.

“Terus, jadinya segini duit yang cocok buat jadi tiket acara launchingnya buat ukuran jogja, udah sama CD dan first drink” senyum Stefan, memperlihatkan kemampuannya budgeting dan lain-lainnya.
“Anu tapi” potongku.

“Ya silakan bapak Achmad” Stefan mempersilahkanku untuk bicara.
“Gue gak setuju soal first drink…”
“Jelaskan” Stefan menanyakan alasannya kepadaku.

“Speed Demon umurnya umuran anak kuliah, mungkin yang bakal banyak dateng ya temen-temen kuliah mereka, temen-temen pas SMA atau temen-temen komunitas…. Nah, jangan sampe kesannya mereka kita cekokin miras…” aku beralasan.
“Hmm”

“Bener juga sih, kalo kita gak sediain first drink, kan kita jadi bisa cuci dari dosa” sambung Anin.
“Oke gue catet, kalo kayak gini, jadinya harga tiket masuknya bisa dibikin jadi lebih murah lagi…. Cuman dapet CD doang” balas Stefan.

“Venuenya udah dapet?” tanya Anin.
“Belom, gue lagi penjajakan sama beberapa tempat, ada yang punya anak temennya bokap gue sih, siapa tau bisa dimintain diskon… Atau malah gratis sekalian… Mayan, tapi kalo gratis, kita jadinya ga bisa jual tiket masuk, Cuma bisa jual CD doang….” jelas Stefan panjang lebar.

“Atur lah, kita soal duit dan perduitan mah percaya sama Pak Stefan…..”
“Tapi entar pas acaranya, kita bertiga harus ke Jogja, atau minimal dua orang lah, buat ngawasin acara, walau panitianya pake panitia dari venue….” lanjut Stefan.

Menarik. Dengan berbisnis kita jadi tahu skill teman-teman kita sendiri yang selama ini mungkin tidak terlalu kelihatan. Terutama Stefan. Untuk promosi dan kawan-kawannya, Anin memang belum banyak bekerja. Tapi Stefan, ya ampun, untuk urusan pengembangan bisnis dan lain-lainnya, yang urusannya sama uang, dia cekatan sekali. Memang benar-benar dia terlahir jadi anak orang kaya yang pintar mengelola harta. Tak heran ayahnya mempercayakan posisi yang lumayan tinggi di kantor itu.

“Padahal lo di kantor kan pemimpin redaksi ya…. Tapi gape banget masalah perduitan dan bisnis bisnisnya” puji Anin.
“Pemred itu cuman titel doang, aslinya mah sama bokap, gue dijadiin pembantu umumnya dia, semua aja gue urusin….” kesalnya.

Ya, secara tidak langsung ayahnya Stefan sedang mendidik dia untuk menjadi penerus bapaknya. dan hasilnya sudah terlihat ketika ia mengurusi label ini.

“Sekarang giliran gue laporan” lanjut Anin.

“SIlakan, kepada tuan siluman monyet gila” ledek Stefan.
“Makasih, pendeta Dewa Kontol” balas Anin.
“Kampret”

“Nah, jadi gini… soal masalah cover album dan segala macemnya, gue udah ada beberapa alternatif, tentunya didesain oleh tidak lain dan tidak bukan, sepupunya Arya tercinta”
“Sepupu ipar, yang sepupu gue itu bininya” ya, ini kita sedang membicarakan suaminya Dian.

“Begini designnya” Anin mendadak agak bingung, dan dia merogoh ke saku celananya.
“Masih di flashdisk ternyata ya, kampret memang…” kesal Stefan. “Eh, kalo yang design itu laki sepupunya si Arya, kenapa jadi elo yang ngurusin, gue pikir elo Cuma mikirin masalah nyetak cover dan produksi fisiknya Nin” tanya Stefan.

“Soalnya gue udah capek banget di produksi musiknya, ini abis mantengin dan produserin mereka selama bulan puasa ini, gue harus berjibaku dua-tiga minggu sendirian di studio, buat mastering, dan itu bisa bikin gila kalo gue ngurusin yang laen…… Apalagi masalah design, biar Anin aja lah” aku membantu menjawabkan.
“Yaudah…”

“Nah ketemu” senyum Anin konyol. Dia mengeluarkan flashdisk yang entah tadi berada di saku mana dan memberikannya ke Stefan. Kami lalu melihat isinya.

“Apaan nih folder tulisannya Kancolle The Movie? Film buat Coli?” tanya Stefan asal.
“Bukan ah, udah, itu aja bukan folder cover art Speed Demon” jawab Anin dengan asal juga.

“Ini” Stefan lalu membukanya. Dan kami melihat sekitar ada tiga alternatif yang sudah dirancang oleh suaminya Dian. “Bagus amat ya bikinan dia” puji Stefan.
“Seleranya emang bagus” sambung Anin.
“Selera perempuannya juga” sambung Stefan.

“Kalian ngomongin sepupu gue” sambungku.
“Biarin emang cantik” balas Anin.
“Dia dokter apa sih, kalo kapan gue sakit, gue pengen berobat ke dia” tanya Stefan penasaran.

“Bagus, biar entar gue suruh elo disuntik biar kejang-kejang ga berenti aja” ledekku.
“Serius”
“Penyakit Dalem”

“Mantep, ntar spik-spikin ah, siapa tau bisa main dokter-dokteran” tawa Stefan.
“Tai”
“Jangan-jangan incest sama elo juga” ledek Stefan.

“Apaan incest-incest” mendadak ada suara Ai.
“Eh, kok kemari?” tanyaku.

“Bosen, belom ngantuk, aku kesini aja, tadi nonton sama Mbak Kyoko, eh dia ketiduran di sofa, ditonton TV, mau bangunin ga enak, jadi aku ngeloyor kesini aja… Pada ngapain sih?” tanya Ai.
“Lagi ngurusin duit” jawab Stefan ketus.
“Label ya?”
“Gak salah” jawabku.

“Hebat ya kalian… Siapa dulu dong, yang punya ide bikin label, kakak gue…” puji Ai.
“Gue sumpel pake kucing aja ni anak kali ya” kesal Stefan.

“Eh ini bikinan suaminya Dian, mana yang paling kamu suka?” tanyaku ke Ai, mengalihkan lagi-lagi perhatian Stefan dari ledek-ledekan.
“Cover art buat Speed Demon ya?” tanya Ai, dan dia duduk di sampingku, tidak mengindahkan keberadaan Stefan dan Anin.

Dia melihat secara seksama, dan melihat satu demi satu.

“Tapi… Apapun yang aku suka, pilihan pasti ada di anak-anak itu kan?” senyumnya kepada kami bertiga.
“No shit” jawabku.

“Nah, berhubung aku males menilai, ya udah, terserah mereka aja” tawanya sambil bersandar di kursi.
“Ah kirain mau bilang apa gitu, yang ini gimana dan yang itu gimana” kesalku.
“Yakali, bikinannya si Mas mah bagus semua, menurutku semuanya keren dan bagus, gimana jadi? Mau bilang apa?” balasnya.
“Yah apa gitu kek pendapat kamu?” tanyaku lagi.

“Kayak ngaruh aja hahahahaha”
“Siwalan”
“Aku kan gak expert kok ditanya” ledek Ai kepadaku.

“Aku kan gak nanya kamu sebagai expert, sebagai orang awam, yang mau beli cdnya Speed Demon, lebih suka yang mana, yang catchy gitu loh di mata kamu” kesalku.
“Aku mah ga akan beli kaset nya Speed Demon, orang ga suka”
“Kaset…. CD!” kesalku.

“Ini naga-naganya incest lagi nih, bini tidur, ledek-ledekan sama adik sendiri, lima menit lagi pasti cipokan nih gue hitung mundur pake stopwatch” ledek Stefan.
“Ngomong apa sih cumi” kesal Ai.
“Ngomong biasa aja seperti apapun yang biasa gue omongin” balas Stefan.

“Sekarang dah kapok ya dia mas, gara-gara insiden siapa itu? Chiaki?” ledek Ai ke Stefan.
“Bisa gak sih ga usah dibahas lagi soal itu” kesal Stefan, dan dia membakar rokoknya.

Ya, kartu mati. Insiden itulah yang membuat Stefan jauh lebih teratur sekarang. Dia jadi tidak seliar dulu, walau ada kompensasi sedikit di sikap uring-uringannya yang makin terlihat jelas. Dia juga jadi lebih galak dan sinis.

“Jadi, gimana soal cover art, besok tunjukin ke mereka ya…” Anin berbicara kepadaku, menitip pesan.
“Siap”
“Ntar kalo mereka udah milih, kita obrolin pas buka bareng angkatan kita” senyum Anin.

“Nah, emang dia mau dateng?” tanyaku sambil tertawa, merujuk kepada insiden lama, insiden Bram vs dirinya. Insiden siram kopi panas legendaris yang masih kami ingat sedemikian rupa.
“Gue tanya sih katanya mau, ngajak Dian tapi….” Anin meringis, membayangkan apa yang mungkin terjadi nanti kalau suaminya Dian bertemu dengan Bram.

Bram, tokoh yang mengesalkan di angkatan kami memang notorious dengan mulutnya yang benar-benar pedas dan tidak nyaman untuk didengarkan. Perkataannya selalu berkesan ngesok, dicampur dengan sinisme yang tidak tepat.

“Kalo ngajak Dian, gue ngajak Kyoko deh, Rendy ngajak Anggia gak?” tanyaku ke Anin.
“Katanya mau sih, ntar gue tanyain lagi, biar kumpul bini ya” tawa Anin.

“Kan Rendy sama Anggia belom kawin” tawaku.

“Ngomongnya lokal banget nih, gue roaming… Anggia itu yang cantik banget itu kan” sela Stefan.
“Iya yang sama-sama Cina sama kayak elo Fan” ledekku.
“Rasis anjing”

“Kalo sama temen mah ga rasis” tawaku. “Eh, tapi bener gitu apa gak bakal berantem tuh si Bram ama lakinya si Dian?” lanjutku ke Anin.
“Ga bakal, gue sama Rendy udah ngomong ke Bram, dan Zul juga udah kita omongin, duduknya dijauhin, Bram ntar sama gue dan beberapa orang lain, Rendy, Elu sama sang tersangka satu meja biar enak lah…..” jawab Anin.

“Yakin? Lo tau kan lakinya si Dian itu rada-rada melankolis pendendam dan orangnya rada susah ditebak?” tanyaku. Lagi. Karena rasanya tak pasti.
“Santai Ya, kagak bakal berantem tu orang dua, apalagi bawa istri, pasti malu” senyum Anin.

“Eh kalian acara sampe jam berapa?” tanya Stefan mendadak.
“Kalo resminya sih dari jam 4 sampe jam 8 malem ya….” jawab Anin.
“Lewat jam 8 gue dateng, pastiin aja elo sama Kyoko belom pulang” senyum Stefan mendadak.

“Ada apaan nih tiba-tiba” bingungku.
“Ada hal menarik yang muncul di kepala gue” tawanya.
“Hal menarik apaan…”

“Udah, ntar aja ceritanya gue pas lagi kalian semua buka barengnya dah beres, asal jangan kemana-mana abis itu oke?”
“Oke…. Tapi apaan dulu?” bingungku dan bisa kulihat raut muka Ai dan Anin juga ikut bingung.

“Ah ga penting, gue nanya elo aja, progres rekaman anak-anak itu udah sampe mana?” tanya Stefan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Anu… sekarang lagi jalan lagu ke empat….” jawabku sambil mengusap-ngusap mukaku.

“EMPAT?” tanya Stefan.
“Iya”

“Cepetan woi, tar ga kelar sebelom lebaran”
“kelar…” jawabku dengan lemas.

“Ya, serius cepetan…”
“Iya bisa, besok-besok lembur….”
“Kasih tau keanak-anak itu, sebulan di jakarta bukan liburan, kerja woi…. Time is of the essence!!”

“Iya pak direktur” aku mengangkat tanganku tanda menyerah. Ya, baru masuk lagu keempat, sementara waktu makin lama semakin habis. Mudah-mudahan lancar seperti apa yang direncanakan….

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
--------------------------------------------

sebstu10.jpg

Sudah sekitar tiga hari proses rekaman ini dilakukan. Ada total 10 lagu yang direncanakan untuk direkam. Dan so far, materi yang terkumpul baru untuk dua lagu. Anak-anak Speed Demon sudah makan malam, setelah berbuka puasa, dan sebentar lagi mereka akan pulang ke rumah saudaranya Panji di Pulo Gadung, menumpang taksi online. Tentunya biayanya dicover oleh kami sebagai label.

“Mas, Saya kok bingung, gimana sih caranya supaya bisa solonya tuh enak banget kayak di lagu-lagunya Mas… soalnya dari kemaren, tiap saya solo kok rasanya gitu lagi gitu lagi ya…. Bingung saya….” tanya Nanang, penasaran, sambil menyeruput kopi yang dibikinkan Kyoko untuknya.
“Gak cuma latihan doang sih, kalo latihan nambah skill…. Kalo buat nambah ‘kalimatnya’ mending coba dengerin banyak-banyak lagu…” jawabku, di tengah kepulan asap rokok para anak muda itu.

“Tapi saya perasaan dah denger banyak lagu…”
“Lagu apa aja emang…”
“Kemaren saya abis donlot banyak Mas, Motorhead, terus opo ya.. Anu… Iron Maiden yang album terakhir…” jawabnya.

“Hahaha…” tawaku, yang disambut kebingungan keempatnya.
“Kok ketawa mas?” bingung Panji.

“Ya kalian kalo pengen tambah kaya bahasa musiknya, jangan dengerin musik yang itu-itu aja dong” senyumku sambil menghirup aroma kopi dari Mitaka itu.
“Anu tapi saya sukanya kan metal-metal gitu mas” Nanang berusaha menjelaskan selera musiknya.
“Justru” aku menatap matanya dengan tatapan sok menggurui. “Kalo lo banyak denger lagu-lagu lain selain lagu metal, lo bakal banyak dapat inspirasi…. Serius deh”

“Lagu macam apa misalnya mas?”
“Lagu apapun, rock, pop, dangdut, apapun…” aku nyengir kuda saja sambil melihat kebingungan di muka Nanang.

“Dan untung elo bisa dibilangin anaknya, tadi sampe berapa kali take lagu kedua buat solo gitarnya?” tawaku.
“Iya mas, dan saya baru tau, kalo buat ngetake gitu bisa sendiri-sendiri ya?”

“Bisa dong, kalian maen bareng dulu itu kan direkam dalam berapa track? Vokal 1 track, gitar satu track buat rhythm, terus bass satu track, drum yang banyak, 8 track….” jawabku.
“Dan karena si solonya dipisah tracknya dan direkam belakangan, jadinya kalo ada salah-salah itu ndak usah ngulang-ngulang ya yang lain ngerekamnya” angguk Billy.

“Iyak, dan itu juga makanya vocal elo direkam belakangan…. Biar kalo ada salah lirik, lupa lirik, dan anu-anunya bisa direkam terpisah tanpa harus ngeganggu proses rekaman yang lain” jawabku.
“Jadi banyak ilmu disini” senyum Panji, membakar rokok lagi.

“Tapi mas… Saya jadi bingung tiap coba ngajak ngobrol Mas Bagas…. Anu… Apa saya kurang sopan ya?” tanya Ibam dengan nada tidak enak.
“Ah… Dia mah, emang begitu… Orangnya susah diajak ngobrol dan cuek banget, mau jawab aja udah untung” jawabku.

“Padahal saya pengen nanya-nanya soal ngedrum, soalnya jago mas….”
“Ntar pas gue latihan quartet jazz, working group gue, nonton aja, ada drummer yang gak kalah jagonya daripada Bagas”
“Wah, menarik”

“Tiap selasa ya mas?” tanya Nanang.
“Iya” jawabku sambil mendengar suara mobil yang baru saja masuk. Ai pasti. Tumben pulang malam, biasanya kalau bulan puasa, dia segera pulang setelah mungkin membatalkan puasa terlebih dahulu di kantor. Tak lama kemudian, terdengar suara high heels yang beradu dengan lantai.

“Tumben malem” tegurku sambil tersenyum, melihat sosok adikku yang masuk ke dalam rumah.
“Abis buka bareng” dia menjulurkan lidahnya kepadaku.

“Baru minggu pertama udah buka bareng lagi? Gile…. Aku aja baru ada buka bareng ntar, pas masuk minggu ke dua akhir…..” tawaku.
“Biar kagak rame tau…. Ntar Mas Arya susah cari tempat lho…”
“Kan ada tempatnya Zul”
“Curang”
“Biarin…”

“Yaudah ah, mau istirahat, deeh…” Ai pun berlalu, masuk ke dalam rumah dan sosoknya lalu menghilang. Aku tersenyum sambil meregangkan badanku, lalu melipat kaki dan mengambil kopi di meja teras.

“Mas… Anu… Mbak nya…” bisik Ibam.
“Paan?”

“Mbak nya, Adeknya Mas Arya itu apa…. Kok anu…” lanjutnya.
“Kok anu apaan, coba ngomong yang jelas”
“Masih kuliah ya?” tanyanya.

“Kuliah? Kuliah dari hongkong” jawabku.
“Loh…”

“Udah kerja toh mas?” tanya Panji, penasaran juga.
“Udah”

“Udah berapa lama?” tanya Billy.
“Udah lama”

“Setahun gitu ya, baru lulus?” tanya Nanang.
“Engga, dia udah kerja di perusahaan yang sekarang sih baru kira-kira 4 taun gitu….”
“Yang sekarang?” tanya Nanang lagi dengan muka bingung.

“Iyak” jawabku dengan santai.

“Loh berarti…. Umurnya?” tanya Billy tanpa rem.
“Ngaco, ndak sopan” tegur Panji dengan muka risih terhadap pertanyaan Billy.

“28” jawabku pelan sambil tertawa dalam hati, dan mendadak keempat anak itu melongo sejadi-jadinya. Melongo heran, dan terkejut, seperti pertama kali mereka melihat Ai masuk ke dalam studio, membawakan makanan untuk mereka. Lucu juga, mengingat mereka sepertinya tidak begitu kaget melihat Kyoko, yang menurutku sangat-sangat cantik dan good looking. Ah, mungkin Kyoko memang bukan selera mereka, atau mereka tahu umur Kyoko 30-an, karena memang terlihat dengan jelas.

“Mas jangan bercanda ah” senyum Nanang dengan malunya.

“Gak bercanda kok, jujur, masa Kakak ngebecandain umur adeknya sendiri” tawaku.
“Tapi keliatan muda banget ya mas…” bisik Panji, dengan muka yang malu-malu juga.

“Gak Cuma kalian sih yang bilang begitu”
“Iya jadi kita sangkain masih kuliah kali ya… Hehehheeheh” tawa Ibam malu-malu. Semuanya aja malu-malu, padahal Ai nya ada di dalam rumah, tidak di depan mereka.

“Tapi udah punya pacar belom sih mas?” tanya Nanang malu-malu. Lagi-lagi malu-malu. Malu-malu terus, padahal mau. Yakin aku.

“Belom…. Doain aja ya” aku menggosok mukaku dengan telapak tanganku dan tertawa dalam hati. Lucu sekali mereka. Bukannya anak band sering dekat dengan perempuan ya biasanya? Kalau menurut pengalamanku sih biasanya begitu. Tapi tingkah mereka seperti malu-malu kucing melihat Ai yang lewat di depan mereka. Hanya lewat. Bukan ngajak ngobrol, ngajak makan, apalagi ngajak jalan. Nanti gimana kalau mereka lihat yang semacam Dian, Anggia, atau malah Kanaya? Bisa pingsan nanti.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Mumpung anak-anak itu udah balik, kita breakdown hasil rumusan gue siang ini” Stefan membuka laptopnya, menunjukkan sebuah slide presentasi dengan kotak-kotak, panah-panah dan tulisan-tulisan yang semuanya terlihat penting.

“Duit dari sponsor, deal nya sekian” Stefan menunjukkan suatu angka yang jumlahnya lumayan besar namun tidak fantastis. “Terus, ini perkiraan buat kalo bikin acara launching di Jogja, sebulan abis lebaran… Data-data ini semua gue dapet gak asal, tapi gue emang udah nelponin vendor-vendor di Jogja, lewat link-link yang biasa kita hubungin kalo kita manggung disana dulu”

“Mantep” puji Anin, sambil matanya terus menatap ke arah laptop.

“Terus, jadinya segini duit yang cocok buat jadi tiket acara launchingnya buat ukuran jogja, udah sama CD dan first drink” senyum Stefan, memperlihatkan kemampuannya budgeting dan lain-lainnya.
“Anu tapi” potongku.

“Ya silakan bapak Achmad” Stefan mempersilahkanku untuk bicara.
“Gue gak setuju soal first drink…”
“Jelaskan” Stefan menanyakan alasannya kepadaku.

“Speed Demon umurnya umuran anak kuliah, mungkin yang bakal banyak dateng ya temen-temen kuliah mereka, temen-temen pas SMA atau temen-temen komunitas…. Nah, jangan sampe kesannya mereka kita cekokin miras…” aku beralasan.
“Hmm”

“Bener juga sih, kalo kita gak sediain first drink, kan kita jadi bisa cuci dari dosa” sambung Anin.
“Oke gue catet, kalo kayak gini, jadinya harga tiket masuknya bisa dibikin jadi lebih murah lagi…. Cuman dapet CD doang” balas Stefan.

“Venuenya udah dapet?” tanya Anin.
“Belom, gue lagi penjajakan sama beberapa tempat, ada yang punya anak temennya bokap gue sih, siapa tau bisa dimintain diskon… Atau malah gratis sekalian… Mayan, tapi kalo gratis, kita jadinya ga bisa jual tiket masuk, Cuma bisa jual CD doang….” jelas Stefan panjang lebar.

“Atur lah, kita soal duit dan perduitan mah percaya sama Pak Stefan…..”
“Tapi entar pas acaranya, kita bertiga harus ke Jogja, atau minimal dua orang lah, buat ngawasin acara, walau panitianya pake panitia dari venue….” lanjut Stefan.

Menarik. Dengan berbisnis kita jadi tahu skill teman-teman kita sendiri yang selama ini mungkin tidak terlalu kelihatan. Terutama Stefan. Untuk promosi dan kawan-kawannya, Anin memang belum banyak bekerja. Tapi Stefan, ya ampun, untuk urusan pengembangan bisnis dan lain-lainnya, yang urusannya sama uang, dia cekatan sekali. Memang benar-benar dia terlahir jadi anak orang kaya yang pintar mengelola harta. Tak heran ayahnya mempercayakan posisi yang lumayan tinggi di kantor itu.

“Padahal lo di kantor kan pemimpin redaksi ya…. Tapi gape banget masalah perduitan dan bisnis bisnisnya” puji Anin.
“Pemred itu cuman titel doang, aslinya mah sama bokap, gue dijadiin pembantu umumnya dia, semua aja gue urusin….” kesalnya.

Ya, secara tidak langsung ayahnya Stefan sedang mendidik dia untuk menjadi penerus bapaknya. dan hasilnya sudah terlihat ketika ia mengurusi label ini.

“Sekarang giliran gue laporan” lanjut Anin.

“SIlakan, kepada tuan siluman monyet gila” ledek Stefan.
“Makasih, pendeta Dewa Kontol” balas Anin.
“Kampret”

“Nah, jadi gini… soal masalah cover album dan segala macemnya, gue udah ada beberapa alternatif, tentunya didesain oleh tidak lain dan tidak bukan, sepupunya Arya tercinta”
“Sepupu ipar, yang sepupu gue itu bininya” ya, ini kita sedang membicarakan suaminya Dian.

“Begini designnya” Anin mendadak agak bingung, dan dia merogoh ke saku celananya.
“Masih di flashdisk ternyata ya, kampret memang…” kesal Stefan. “Eh, kalo yang design itu laki sepupunya si Arya, kenapa jadi elo yang ngurusin, gue pikir elo Cuma mikirin masalah nyetak cover dan produksi fisiknya Nin” tanya Stefan.

“Soalnya gue udah capek banget di produksi musiknya, ini abis mantengin dan produserin mereka selama bulan puasa ini, gue harus berjibaku dua-tiga minggu sendirian di studio, buat mastering, dan itu bisa bikin gila kalo gue ngurusin yang laen…… Apalagi masalah design, biar Anin aja lah” aku membantu menjawabkan.
“Yaudah…”

“Nah ketemu” senyum Anin konyol. Dia mengeluarkan flashdisk yang entah tadi berada di saku mana dan memberikannya ke Stefan. Kami lalu melihat isinya.

“Apaan nih folder tulisannya Kancolle The Movie? Film buat Coli?” tanya Stefan asal.
“Bukan ah, udah, itu aja bukan folder cover art Speed Demon” jawab Anin dengan asal juga.

“Ini” Stefan lalu membukanya. Dan kami melihat sekitar ada tiga alternatif yang sudah dirancang oleh suaminya Dian. “Bagus amat ya bikinan dia” puji Stefan.
“Seleranya emang bagus” sambung Anin.
“Selera perempuannya juga” sambung Stefan.

“Kalian ngomongin sepupu gue” sambungku.
“Biarin emang cantik” balas Anin.
“Dia dokter apa sih, kalo kapan gue sakit, gue pengen berobat ke dia” tanya Stefan penasaran.

“Bagus, biar entar gue suruh elo disuntik biar kejang-kejang ga berenti aja” ledekku.
“Serius”
“Penyakit Dalem”

“Mantep, ntar spik-spikin ah, siapa tau bisa main dokter-dokteran” tawa Stefan.
“Tai”
“Jangan-jangan incest sama elo juga” ledek Stefan.

“Apaan incest-incest” mendadak ada suara Ai.
“Eh, kok kemari?” tanyaku.

“Bosen, belom ngantuk, aku kesini aja, tadi nonton sama Mbak Kyoko, eh dia ketiduran di sofa, ditonton TV, mau bangunin ga enak, jadi aku ngeloyor kesini aja… Pada ngapain sih?” tanya Ai.
“Lagi ngurusin duit” jawab Stefan ketus.
“Label ya?”
“Gak salah” jawabku.

“Hebat ya kalian… Siapa dulu dong, yang punya ide bikin label, kakak gue…” puji Ai.
“Gue sumpel pake kucing aja ni anak kali ya” kesal Stefan.

“Eh ini bikinan suaminya Dian, mana yang paling kamu suka?” tanyaku ke Ai, mengalihkan lagi-lagi perhatian Stefan dari ledek-ledekan.
“Cover art buat Speed Demon ya?” tanya Ai, dan dia duduk di sampingku, tidak mengindahkan keberadaan Stefan dan Anin.

Dia melihat secara seksama, dan melihat satu demi satu.

“Tapi… Apapun yang aku suka, pilihan pasti ada di anak-anak itu kan?” senyumnya kepada kami bertiga.
“No shit” jawabku.

“Nah, berhubung aku males menilai, ya udah, terserah mereka aja” tawanya sambil bersandar di kursi.
“Ah kirain mau bilang apa gitu, yang ini gimana dan yang itu gimana” kesalku.
“Yakali, bikinannya si Mas mah bagus semua, menurutku semuanya keren dan bagus, gimana jadi? Mau bilang apa?” balasnya.
“Yah apa gitu kek pendapat kamu?” tanyaku lagi.

“Kayak ngaruh aja hahahahaha”
“Siwalan”
“Aku kan gak expert kok ditanya” ledek Ai kepadaku.

“Aku kan gak nanya kamu sebagai expert, sebagai orang awam, yang mau beli cdnya Speed Demon, lebih suka yang mana, yang catchy gitu loh di mata kamu” kesalku.
“Aku mah ga akan beli kaset nya Speed Demon, orang ga suka”
“Kaset…. CD!” kesalku.

“Ini naga-naganya incest lagi nih, bini tidur, ledek-ledekan sama adik sendiri, lima menit lagi pasti cipokan nih gue hitung mundur pake stopwatch” ledek Stefan.
“Ngomong apa sih cumi” kesal Ai.
“Ngomong biasa aja seperti apapun yang biasa gue omongin” balas Stefan.

“Sekarang dah kapok ya dia mas, gara-gara insiden siapa itu? Chiaki?” ledek Ai ke Stefan.
“Bisa gak sih ga usah dibahas lagi soal itu” kesal Stefan, dan dia membakar rokoknya.

Ya, kartu mati. Insiden itulah yang membuat Stefan jauh lebih teratur sekarang. Dia jadi tidak seliar dulu, walau ada kompensasi sedikit di sikap uring-uringannya yang makin terlihat jelas. Dia juga jadi lebih galak dan sinis.

“Jadi, gimana soal cover art, besok tunjukin ke mereka ya…” Anin berbicara kepadaku, menitip pesan.
“Siap”
“Ntar kalo mereka udah milih, kita obrolin mas buka bareng angkatan kita” senyum Anin.

“Nah, emang dia mau dateng?” tanyaku sambil tertawa, merujuk kepada insiden lama, insiden Bram vs dirinya. Insiden siram kopi panas legendaris yang masih kami ingat sedemikian rupa.
“Gue tanya sih katanya mau, ngajak Dian tapi….” Anin meringis, membayangkan apa yang mungkin terjadi nanti kalau suaminya Dian bertemu dengan Bram.

Bram, tokoh yang mengesalkan di angkatan kami memang notorious dengan mulutnya yang benar-benar pedas dan tidak nyaman untuk didengarkan. Perkataannya selalu berkesan ngesok, dicampur dengan sinisme yang tidak tepat.

“Kalo ngajak Dian, gue ngajak Kyoko deh, Rendy ngajak Anggia gak?” tanyaku ke Anin.
“Katanya mau sih, ntar gue tanyain lagi, biar kumpul bini ya” tawa Anin.

“Kan Rendy sama Anggia belom kawin” tawaku.

“Ngomongnya lokal banget nih, gue roaming… Anggia itu yang cantik banget itu kan” sela Stefan.
“Iya yang sama-sama Cina sama kayak elo Fan” ledekku.
“Rasis anjing”

“Kalo sama temen mah ga rasis” tawaku. “Eh, tapi bener gitu apa gak bakal berantem tuh si Bram ama lakinya si Dian?” lanjutku ke Anin.
“Ga bakal, gue sama Rendy udah ngomong ke Bram, dan Zul juga udah kita omongin, duduknya dijauhin, Bram ntar sama gue dan beberapa orang lain, Rendy, Elu sama sang tersangka satu meja biar enak lah…..” jawab Anin.

“Yakin? Lo tau kan lakinya si Dian itu rada-rada melankolis pendendam dan orangnya rada susah ditebak?” tanyaku. Lagi. Karena rasanya tak pasti.
“Santai Ya, kagak bakal berantem tu orang dua, apalagi bawa istri, pasti malu” senyum Anin.

“Eh kalian acara sampe jam berapa?” tanya Stefan mendadak.
“Kalo resminya sih dari jam 4 sampe jam 8 malem ya….” jawab Anin.
“Lewat jam 8 gue dateng, pastiin aja elo sama Kyoko belom pulang” senyum Stefan mendadak.

“Ada apaan nih tiba-tiba” bingungku.
“Ada hal menarik yang muncul di kepala gue” tawanya.
“Hal menarik apaan…”

“Udah, ntar aja ceritanya gue pas lagi kalian semua buka barengnya dah beres, asal jangan kemana-mana abis itu oke?”
“Oke…. Tapi apaan dulu?” bingungku dan bisa kulihat raut muka Ai dan Anin juga ikut bingung.

“Ah ga penting, gue nanya elo aja, progres rekaman anak-anak itu udah sampe mana?” tanya Stefan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Anu… sekarang lagi jalan lagu ke empat….” jawabku sambil mengusap-ngusap mukaku.

“EMPAT?” tanya Stefan.
“Iya”

“Cepetan woi, tar ga kelar sebelom lebaran”
“kelar…” jawabku dengan lemas.

“Ya, serius cepetan…”
“Iya bisa, besok-besok lembur….”
“Kasih tau keanak-anak itu, sebulan di jakarta bukan liburan, kerja woi…. Time is of the essence!!”

“Iya pak direktur” aku mengangkat tanganku tanda menyerah. Ya, baru masuk lagu keempat, sementara waktu makin lama semakin habis. Mudah-mudahan lancar seperti apa yang direncanakan….

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
Yosh.. Pertamax diamankan..
 
“Ah ga penting, gue nanya elo aja, progres rekaman anak-anak itu udah sampe mana?” tanya Stefan berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Anu… sekarang lagi jalan lagu ke empat….” jawabku sambil mengusap-ngusap mukaku.

“EMPAT?” tanya Stefan.
“Iya”

“Cepetan woi, tar ga kelar sebelom lebaran”
“kelar…” jawabku dengan lemas.

“Ya, serius cepetan…”
“Iya bisa, besok-besok lembur….”
“Kasih tau keanak-anak itu, sebulan di jakarta bukan liburan, kerja woi…. Time is of the essence!!”

sek, sek, sebentar. ane gak dapet clue seberapa lama speed demon rekaman. sampe sampe kang epan marah gara-gara baru dapet 4 lagu. satu-satunya clue time line cuma ini

Sudah sekitar tiga hari proses rekaman ini dilakukan. Ada total 10 lagu yang direncanakan untuk direkam. Dan so far, materi yang terkumpul baru untuk dua lagu.

3 hari dapet 4 lagu bukanya udah bagus ya om RB?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd