------------------------------
Ciuman yang hangat. Tampaknya ciuman itu membuat Karina merasa nyaman. Dia memelukku dengan perasaan yang galau, terasa dari bahasa tubuhnya. Bisa kruasakan dia tampak butuh seseorang terus meneriakinya untuk tidak berpikir sejauh dan seburuk itu. Terutama tentang dirinya.
"Arya... Lo bisa kan temenin gue malem ini?" bisiknya sambil memeluk diriku.
"Bisa..." bisikku perlahan, sambil memegang dagunya. Aku kembali menciumnya, sambil memainkan rambut panjangnya yang indah, rambutnya yang begitu halus, lembut dan wangi. Semua bagian wajahnya terasa sangat indah. Terasa begitu nikmat untuk dinikmati mataku. Matanya yang lentik, bibir tipisnya dan dagunya yang lancip membuatku merasa aman malam itu. Aman untuk akhirnya melepaskan perasaanku kepadanya.
Ciuman itu membawa kami berdua duduk di tepi kasur. Kami dengan ragu saling berpandangan, sebelum akhirnya tanganku mulai bergerak terlabih dahulu, memeluknya. Memeluknya dan lantas kembali meraihnya, menjelajah ke dalam pakaiannya. Merasakan kulitnya yang halus dan lembut, bertemu dengan kulit tanganku. Entah kenapa perasaan kami berdua tercampur pada malam itu. Perasaan dirinya yang tampak ingin selalu dilindungi dan dijauhkan dari perasaan menyalahkan diri sendiri. Dan disitulah mungkin aku bisa masuk. Bisa menjaganya dari melukai dirinya sendiri. Dari pemikirannya yang tanpa cela, yang selalu mencela apapun yang ia perbuat di atas panggung. Bibir kami berdua bertemu sambil aku perlahan membuka kancing kemejanya. Kemeja kasual berwarna cream yang cocok dengan dirinya. Sementara ia mencoba membuka tracksuitku. Tracksuit adidas berwarna biru tua.
Entah sudah berapa lama waktu terlewa. Kami sudah berhasil menelanjangi diri kami masing-masing, namun kami berdua hanya di balik selimut, berpelukan, saling mencium. Saling meraba area-area yang membuat hati kami berdua nyaman, punggung, paha, bahkan perut. Seperti ada keraguan untuk melanjutkannya ke hal-hal yang berbau seksual.
Tapi rasanya begitu perfect. Tubuh telanjang kami berdua berpelukan di kamar hotel itu, ditemani oleh langit yang kosong. Dan keramaian manusia di luar sana selepas Java Jazz.
"Arya... Gue pingin bisa careless kayak elo....." bisiknya perlahan, sambil menggerakkan tubuh telanjangnya ke atas tubuhku. Aku merespon dengan memeluk pinggangnya yang ramping.
"Gak bisa seserta merta itu, prosesnya panjang"
"Tau. Makanya itu jadi harapan gue" dia kembali menciumku. Menciumku dengan penuh perasaan. Aku tak kuasa lantas merayapkan tanganku dari punggungnya ke buah dadanya yang firm.
"Nggh..." Karina sedikit menunjukkan reaksi kegelian dari genggaman tanganku. Jariku mengambil alih. Bisa kurasakan putingnya yang lembut, bertengger di tengah daging dan kulit halus yang proporsional. Aku lantas mencoba untuk mendekatkan badannya ke diriku, meraih buah dadanya ke bibirku. Dia merespon dengan baik, aku lantas memainkannya. Kumainkan dengan segala cara yang kubisa. Kuciumi, kuremas lembut, bahkan kupermainkan putingnya dengan lidahku. Karina tampak menerimanya dengan baik. Dia pasrah, sambil memainkan tangannya di telinga dan rambutku. Rambut panjangnya tergerai, dengan indahnya kadang terbawa jatuh, mengenai badanku.
Aku lantas mendorong badannya agar berbaring telentang. Dengan posisi itu aku bisa lebih leluasa lagi menjelajahi setiap jengkal tubuhnya. Aku mulai bekerja. Aku mulai dari mencium bibirnya dengan erat. Menciumnya dengan segala perasaan yang ada pada saat itu. Lama kami berciuman, lantas aku bergerak ke lehernya, menjelajah setiap lekuk yang ada disana, sambil terus meraba tubuh halusnya.
Aku bergerak semakin kebawah, menciumi seluruh permukaan yang bisa kucium, buah dadanya, lalu belahannya, perutnya, lalu begitu terus, sampai ke daerah kewanitaannya. Sampai ke daerah yang privat. Daerah yang bisa jadi terlarang bagi siapapun yang tidak ia izinkan. Namun dia pasti sudah mengizinkanku. Mengizinkanku untuk menjadikan aku dan dirinya satu malam itu. Menjadikan ini semua terjadi.
Mendadak Karina menghentikan penjelajahanku. Dia menahan kepalaku untuk bergerak terus kebawah.
"Jangan... Gue sensitif banget disitu... " senyumnya malu. Aku tersenyum, lantas mencoba merabanya dengan tanganku. Oh well. Sudah lembab dan siap. Sudah basah. Ternyata tidak hanya perasaannya saja yang sensitif. Badannya pun agak over sensitif. Sedikit rangsangan dan dia sudah lebih siap daripada aku. Sudah lebih siap untuk menjadikanku miliknya. Untuk menjadikan malam ini hanya milik kami semata, yang lain entah kemana.
Karina melebarkan pahanya, tanda kalau ia siap untuk menerimaku apa adanya malam ini. Tak lama kemudian aku telah siap. Dia berbaring di bawah badanku, dan mencoba untuk memasukkan penisku ke dalam tubuhnya. "Pelan-pelan...." bisiknya kepadaku, memohon agar aku memperlakukannya dengan baik. Aku lantas bergerak pelan, membiarkannya masuk dengan alami.
"Uhh..." Badan Karina menegang saat penisku masuk ke dalam. Karina memelukku dan kemudian menerimaku dengan pasrah. Aku perlahan menggerakkan pantatku dan membuatnya merasakan kenikmatan dengan stabil.
"Ahhh... ahhh.. ahh..." Karina mendesah dengan perlahan di telingaku, seiring dengan iramaku malam itu. Suaranya terdengar seperti lagu yang paling indah yang pernah kudengar. Irama gerakanku bersahutan dengan suaranya. Call and Response. Saling menyahut, seperti dua buah nada improvisasi yang indah, bercampur dalam irama yang satu. Menjadikan diriku miliknya dan dirinya milikku. Terus aku bergerak, dan berusaha membuat tubuhnya merasakan kenikmatan.
Aku berusaha mengangkat tubuhnya, mendudukkannya. Dia menurut. Kami lantas berhubungan dengan posisi itu. Aku duduk di kasur, dan Karina duduk di pangkuanku. Dia sekarang ikut menggerakkan badannya perlahan, mencoba mengimbangi ritmeku dengan ketukannya sendiri. Wajahnya yang cantik tampak makin cantik dalam nafasnya. Rambut panjangnya tergerai indah dengan aura yang sangat menggoda. Aku tidak menyesali keputusanku untuk menemaninya malam ini. Karena kami jadi satu. Memainkan musik dalam irama yang sama. Berbicara dengan bahasa tubuh, saling mencoba memuaskan. Rasanya sungguh luar biasa, saat badannya yang ramping dan cantik itu beradu dengan badanku di dalam kamar itu. Keringat berbalas desahan, dan desahan berbalas ciuman, sungguh sulit rasanya menahan semua hasrat yang tersimpan selama ini.
Perlahan tapi pasti, kami terus berusaha bergerak saling memuaskan.
Masih lekat di ingatanku waktu itu. Betapa dia lalu mendorong diriku, dan mengambil alih kendali. Dirinya seperti menari di atas diriku. Pantatnya bergerak dengan indah, menggoyangkan dan mengurut penisku dengan gerakannya yang luar biasa. Semuanya terasa nikmat, sangat nikmat sampai kau tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kenikmatan yang tiada tara.
Karina terus bergoyang, tapi makin lama rasanya semakin tidak beraturan. Tanganku menggenggam pinggangnya dengan lembut, sedangkan dia sambil bergerak, memainkan buah dadanya sendiri, dan menutup matanya seakan-akan kenikmatan itu sudah berada diubun-ubunnya. Kegilaan melanda dirinya. Dirinya terus bergerak naik turun dengan tidak beraturan. She's enjoying herself.
"Arya... Gue..." dia mendesah dengan tidak sabar. Aku mengerti. Aku lantas mencoba menstimulasinya lebih dan lebih lagi. Aku mulai memompakan penisku ke dalam vaginanya dengna kekuatan penuh. Dengan kekuatan yang luar biasa. Dengan ajaib Karina mendadak menggelinjang.
"Ahhh... Ahh... Ahh.... Ahhh...." Badannya menegang mendadak, seperti terserang kejang yang tidak tertahankan lagi.
"Uhhh....." Badannya menjadi kaku, lalu ia melepas penisku. Dan meringkuk, badannya bergetar perlahan. Nafasnya terengah-engah dan tampaknya matanya sangat tidak fokus. Aku mencoba mendekatinya, mengelus rambutnya dan memeluknya. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang luar biasa.
"Maaf.... gue.. sensitif banget badannya. Maaf kalo gue mendadak kayak tadi" bisiknya saat aku berusaha memeluknya.
"Gakpapa" jawabku sambil menciumi keningnya.
"Lo mau juga kan?" wajah cantiknya tampak tidak enak kepadaku. Aku tersenyum dan mencium pipinya.
"Gak usah segitunya, sini, kita tiduran aja..." bisikku kepadanya.
Dan dia menurut, aku memeluknya dengan penuh perasaan, berniat ingin melindunginya. Kucium rambutnya yang indah itu, lalu berusaha membuatnya tenang dengan tidur bersamanya. Bersama dengannya. Kuharap semua ini indah pada akhirnya.
--
Tapi itu dua tahun yang lalu. Setelahnya, selalu seperti yang pernah kudeskripsikan. Berantem. Baikan. Mesra. Berantem. Pisah. Baikan. Berantem. Ada saja yang kami jadikan bahan untuk bertengkar, masalah musik, masalah makanan, masalah apapun. Jadi intinya memang hubungan yang unik ini memusingkan kami berdua. Tapi aku bermimpi soal jepang, karena ceritanya. Betapa jalan di Ochanomizu penuh dengan gitar-gitar antik secondhand. Dan scene Jazz Jepang, terutama scene undergroundnya memang edan. Tidak sehebat Amerika Serikat memang, tapi biaya dan usaha ke Jepang tidak sehebat usaha untuk pergi ke Amerika Serikat.
Membayangkan dikelilingi gitar dan melihat scene underground Jazz disana, tampaknya menyenangkan. Untunglah aku sudah memberikan notice ke anak anak Hantaman kalau setelah rilis album kedua ini, aku akan pergi ke Jepang. Mereka mengiyakan saja. Aku sudah membeli tiket, pulang pergi. Sebentar lagi aku akan mengurus visa di kedutaan, dan aku memang berniat tinggal disana selama sebulan penuh. Untuk tempat tinggal, aku memutuskan menurunkan egoku sedikit dengan menumpang temanku jaman SMA yang memang studi di sana. Dia sudah setuju. Tabunganku dari hasil bermusik, berstudio dan lain-lainnya tampaknya sudah cukup untuk belanja gitar dan efek disana, juga untuk makan sehari-hari. Tampaknya aku akan mengakrabi mini market. Aku ingin hidup sementara di scene Jazz mereka. Itu tujuanku. Mimpi yang dipengaruhi oleh Karina, walau keakrabanku dengan dia memudar dan mendekat dengan anehnya.
------------------------------
------------------------------
------------------------------
Aku mengajak Kanaya malam itu. Dia memang penasaran dengan permainan gitarku di luar musik cadas. Kebetulan yang baik. Akan ada Karina nanti. Membawa Kanaya kesana seakan memberi tanda kepadanya "Gue bisa bareng sama orang selain elo". Memang itulah senjata kita berdua kalau salah satu dari Aku atau Karina ingin kembali menjali hubungan "Aku gak bisa kalo gak sama kamu" klasik. Tapi selalu bisa menangkap kami di situasi yang tidak nyaman itu terus-terusan.
Jacob akan tampil sebelum Karina. Bagus lah, jadi aku tidak usah menontonnya atau terpaksa ada di situasi awkward yang ujung-ujungnya malah ada pembicaraan serius dan nantinya mengarah kepada balikan lagi. Capek.
Kanaya membonceng di belakangku, dan aku memeluk gitarku di depan, posisi yang biasa kulakukan kalau aku harus pergi kemana-mana dengan membawa gitar. Tidak masalah. Yang masalah kalau nanti aku dan Karina terjebak berdua dalam satu percakapan yang tak nyaman. Dan tinggal dulu nanti lama kelamaan siapa yang mengajak untuk balikan duluan.
Mahgrib itu akhirnya aku dan Kanaya tiba di Kemang. Di salah satu resto yang terletak disana, yang memiliki program live music setiap Jumat malam. Dan bulan ini aku sedang hectic-hecticnya. Undangan pensi, radio, live show, dan segala macamnya membuatku hampir tidak bisa bernapas. Untunglah ada satu hiburan untuk bermusik Jazz yang terakhir kalinya, sebelum aku dan Hantaman pergi ke Bali, lalu sepulangnya dari Bali aku akan terbang ke Jepang. Sebulan. Tampak lega membayangkannya, melepaskan diri dari kepenatan dan kesibukan selama ini.
Jacob menyambut kami dengan sumringah, kami bertiga lantas duduk di salah satu meja, sambil memperhatikan panggung yang sedang disetting.
"Stefan mau dateng katanya entar" infoku ke Jacob.
"Wah, lucu lho kalo liat dia, blingsatan mulu kayak setan"
"Emang" jawabku singkat.
Kami masih menunggu pianis dan drummer kami yang akan bermain bersama kami. Tenang saja, pianisnya bukan Karina. Kanaya tampak excited menunggu saat pertunjukkan tiba. Jacob memberiku partitur, sebagai panduan. Tampaknya ada sedikit perubahan komposisi lagi, last minute. Katanya dia sudah mengirim partiturnya tadi kepada drummer dan pianisnya, via media sosial. Terserahlah, i'll play along with it. Kanaya masih sibuk memperhatikan sekitar, melihat-lihat sedikit demi sedikit musisi datang. Ah, aku hapal beberapa mukanya. Haha. Bassist dan drummer Karina sudah datang. Cuek sajalah, pasti sebentar lagi Karina datang.
Dan benar.
Karina datang, dengan ekspresi pura pura dingin seperti biasa. Tampangnya yang tenang dan kalem membuat kita tertipu. Di balik bentuknya, di dalam sana, kesannya sebagai orang yang insecure dan paranoid masih membekas dengan kuat dalam ingatanku. Terutama pertengkaran terakhir yang kami alami. Aku memperdengarkannya hasil mastering album kedua hantaman. Masih kuingat kata katanya. "Solo gitar kamu di lagu ini Alex Scolnik banget..."
"Emang"
"Ini mah niru"
"Kagak, cuma mulainya aja sama, aku kan butuh rangsangan biar lancar bikin solonya" argumenku waktu itu.
"Jangan niru tapi"
"Ga ada yang bakal nyadar juga"
"Aku nyadar"
"Kamu kan wawasannya luas"
"Jangan muji aku untuk nyembunyiin kekurangan kamu dong" ketusnya.
"Lho... Ini cuma beberapa lick pertama doang... Emangnya itu kekurangan?"
"Kamu gak original"
"Gak semua orang se perfeksionis kamu Rin"
"Sekarang malah nyindir ya..." galaknya.
"Mau apa sih ribet" keluhku.
"Oh emang bener kan aku ribet di mata kamu...."
Dan lanjutannya bisa ditebak. Argumen argumen penuh kemarahan dan tanpa akhir merusak suasana tiga bulan yang lalu itu. Dan sekarang aku bertemu dengan Karina lagi. Mata kami lalu bertemu. Lalu membuang muka. Cuek saja lah. Lebih baik aku fokus mengobrol dengan Kanaya dan Jacob.
------------------------------
"Makasih buat semuanya... Lagu terakhir.. Meditation, dari Antonio Carlos Jobim.." sahut Jacob di depan Microphone. Aku tersenyum melihatnya. Aku melirik ke arah meja yang ada Kanaya dan Stefan disana. Kanaya masih bingung dan sumringah melihatku. Stefan menyeringai dan membuat gerakan masturbasi dengan tangannya ke arahku. Orang gila.
Intro gitar mulai kumainkan, dan selanjutnya lagu itu mengalir dengan indah.
Tepuk tangan mengakhiri penampilan kami, tentunya beberapa penontin juga tampak bingung dengan kehadiranku di panggung, memainkan gitar tanoa efek distorsi dan tanpa vokalis gila yang sekarang sedang mencoba ngobrol dengan seorang perempuan. Perempuan itu adalah Karina. Stefan berusaha ramah dengannya. Aku hanya menggaruk kepala saja, karena artinya kalau nanti aku kembali ke meja, mau tak mau aku harus menyapa Karina yang memang sedang berada di sekitar mejaku tadi. Tapi pasti hanya sebentar, toh dia sebentar lagi harus naik panggung.
Aku turun dari panggung dan berjalan menenteng gitar ke backstage. Kami membereskan peralatan, sementara aku berusaha berlama-lama membereskan gitarku karena malas bertemu dengan Karina. Suara background music mengalun sayup di telingaku, memberikan rasa malas, rasa ingin segera pulang.
Bassist dan drummer Karina sudah bersiap untuk menaiki panggung, kami tersenyum kepada mereka ramah. Karina belum muncul. Aku berharap ia segera naik panggung dan tidak berpapasan denganku.
"Pacar kamu ya tadi?" mendadak suara yang kukenal menyapaku dengan cara yang tidak nyaman.
"Bukan"
"Kata Stefan iya"
"Mau percaya sama dia?"
"Gapapa sih, hebat aja udah punya pacar lagi, ga nyaman ya soalnya kalo sama aku, berantem mulu" ketus Karina panjang seperti biasa. Ada sisi yang sangat kusukai darinya, ada juga sisi yang membuatku muak dan tidak tahan padanya. Seperti saat ini.
"Good luck manggungnya" sinisku dan lantas berjalan pelan ke arah mejaku.
------------------------------
Karina baru selesai membawakan lagu pertamanya. Aku sudah malas saja rasanya ingin pulang. Sejenak aku bergidik membayangkan kemungkinan aku dan dia kembali bersama lagi, kalau saja aku tidak ditemani Kanaya kesini. Kenapa aku berpikir seperti itu? Karena memang hal seperti itu terjadi beberapa kali. Mendadak kami jadi lupa kalau kami sudah bertengkar dan memutuskan untuk berpisah. Mendadak semua terasa biasa saja, apalagi kalausudah melibatkan diskusi musik. Untung ada Kanaya sebagai bemper. Jadi ingin kutraktir rasanya kenalan baruku ini.
"Balik ah..." celetukku pelan.
"Belom selesai lho" jawab Kanaya.
"Capek, mau istirahat, mana Minggu gue ama Stefan ada manggung di acara pensi SMA" jelasku.
"Kan cuma nonton ini sekarang bego" sahut Stefan.
"Lagian lo yang mendadak semangat pas ada yang kontak kita buat pensi" balasku.
"Kan biar bisa gue pake sebiji aja anak SMA..." seringainya seram.
"Kalo lo mau tetep nonton ama Stefan juga gapapa Nay"
"Gak deh, kalo lo mau balik gue ngikut aja, kan elo yang ngajak gue kesini. Lagian misi gue kan cuma liat elo main selain di Hantaman kan..." senyumnya cool. Tapi sepertinya dia bisa merasakan kalau aku merasa agak tak nyaman. Apalagi sejak aku melihat muka tidak puas Karina sehabis lagu pertama. Walaupun dia tadi tersenyum dan terlihat charming di atas panggung, tapi aku hapal mikro ekspresi itu. Ekspresi tidak puas. Karina banget. Pasti dia mencari-cari kesalahan dirinya, entah apa, walaupun permainannya terdengar sempurna di telingaku. Pantas saja Karina jarang ikut jam session, bisa stress dia. Kadang aku berpikir, harusnya dia main musik klasik saja, instead of Jazz. Perfeksionis memang perlu, tapi kalau sampai mengganggu mata pencaharian utama dan cara menikmatinya, pasti akan timbul masalah.
------------------------------
"Bro, gue duluan" bisikku ke Jacob yang sedang serius menonton penampilan Karina.
"Hah, belom beres kan acaranya?"
"Capek"
"Oh.. ya udah"
Aku dan Kanaya lantas menuju ke motorku, dan tak berapa lama kemudian kami sudah menembus jalanan malam Jakarta yang ramai dan temaram, penuh dengan cahaya lampu mobil dan hingar bigar yang tertelan dalam sayupnya jalanan.
"Itu tadi mantan lo ya? Makanya males?" tanya Kanaya. Ia berbisik dari belakang, dan terpaksa maju dan berpegangan ke pinggangku agar kami dapat berbincang dengan jelas.
"Iya, kok tau?"
"Dikasih tau Stefan"
"Duh dia mah ya..."
"Haha, tapi lo hebat ya, bisa temenan sama orang kayak gitu, gue sih pasti sebel ama mahluk genit kayak gitu" komentarnya.
"Kan dia gak pernah genitin gue" jawabku tersenyum.
"Eh btw makasih karena dah nemenin gue ya" lanjutku.
"Gue yang makasih, udah liat sisi lain lo soalnya" jawab Kanaya.
"Eh laper gak?" tanyaku.
"Banget"
"Mau makan dimana?"
"Belom kepikiran, udah jam mau jam 9 lagi, ntar pada tutup..."
"Mau di rumah gue aja, lumayan anak kosan makan gratis? Di rumah selalu ada makanan sih" tawarku.
"Boleh, gue suka banget makanan nyokap lo" senyum Kanaya.
------------------------------
"Mas, aku jalan sama temen-temen + pacarku sampe malem banget abis ngantor ya, Mama juga bakal balik malem banget, atau malah gak balik, Omnya Papa meninggal soalnya baru aja" pesan singkat dari Ai baru saja kulihat saat aku tiba di rumah.
Aku menggelengkan kepala. Mama masih saja mau mengurus hal-hal yang berhubungan dengan keluarga besar almarhum ayahku. Aku dan Ai tidak pernah dekat dan masa bodo dengan mereka. Bukan salah mereka sebenarnya, tapi karena sikap dan sifat ayahku yang super bajingan membuat kami malas untuk mengenal mereka, semacam ada penghalang bagi kami berdua untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Berbeda dengan keluarga besar mamaku. Kami sangat akrab dengan mereka, apalagi sepupu-sepupunya. Tak jarang dulu malah ketika Ai sedang tertekan sangat hebat oleh perlakuan ayahku, dia beberapa kali kabur dan menginap di rumah Dian. Kabur yang selalu dikamuflase oleh ibuku ke ayahku sebagai "Main ke rumah sepupu". Kebetulan memang Kakaknya Dian memang tinggal di Singapura. Jadi, alibi "Main ke rumah sepupu" bisa ditambah dengan alibi "Dian kesepian, ngajakin Ai main".
Ah, intinya aku selalu pusing dan sangat antipati dengan hal-hal yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan ayahku. Almarhum ayahku.
"Kok sepi?" Kanaya bingung saat aku sedang merogoh sakuku untuk mencari kunci rumah.
"Lagi pada keluar ampe malem" jawabku ringan.
"Ngejebak ya?" curiga Kanaya.
"Ngejebak buat ngapa2in elo?" tawaku.
"Iya" senyum konyol Kanaya terlihat.
"Haha, tenang, gue bukan Stefan"
Aku lantas membuka pintu, mempersilahkan Kanaya masuk dan langsung menuntunnya ke meja makan. Kami lantas bekerja sama berdua. Bekerja sama untuk menyiapkan dan memanaskan makanan yang sudah dimasak ibuku. Ternyata walaupun bertato dan terlihat independen, Kanaya tampak sangat bisa diandalkan di dapur. Jauh lebih baik daripada Karina.
Tunggu. Kenapa harus dibandingkan? Karina mantan pacar, dan Kanaya cuma teman. Sudahlah. Makan saja.
Makanan sebentar lagi siap untuk dimakan.
------------------------------
"Lo gak kerja hari ini?" tanyaku.
"Enggak, gue gak harus ada disana jumat ini. Gue baru kerja lagi besok. Sengaja ambil libur, penasaran liat elo soalnya" senyumnya sambil menyantap makanan masakan ibuku yang luar biasa enak itu. Pemandangan lucu, seperti keluarga kecil yang sedang makan bersama.
"Lo gak capek apa kerja kebalik jamnya?" tanyaku.
"Sama aja, cuma dibalik doang kan?" jawabnya santai. "BTW, Stefan tadi bilang sesuatu juga ama gue" lanjutnya.
"Apa tuh?"
"Katanya lo aneh, gak minum, gak ngerokok, tapi..."
"Aduh... Tu anak.. Kenapa sih semua mua diceritain ke elo?" tanyaku bingung. Aku agak sedikit paham. Menceritakan hal-hal yang seperti itu bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang, sekaligus aku bisa mencium niat Stefan untuk segera mendekatkan aku dan Kanaya.
"Haha... Boleh dong?" senyumnya manis berharap bisa sedikit menikmati daun kering itu.
"Aah... Yaudah deh, tapi jangan sering-sering, lo tau kan itu gak murah..."
"Gue juga ada dikit di kosan, tapi kalo gue harus ngambil sendiri kan bolak balik. Lagian enak kalo ada temennya. Bisa ngobrol ngaco.... Hiburan itu" balas Kanaya panjang lebar dengan senyum khasnya.
Aku hanya bisa tersenyum sambil meratapi nasib persediaanku yang menipis. Awas saja kalau Stefan minta-minta lagi. Soalnya perkara mendapatkan persediaan saat ini bukan perkara mudah, mengingat polisi sedang getol getolnya razia dan sebagainya.
------------------------------
"Gakpapa ngerokok disini?" tanya Kanaya di dalam kamarku.
"Gapapa kalo disini mah" jawabku sambil membuka tupperware andalanku. Memasukkan beberapa helai ke gerinda, lalu dilanjutkan kegiatan menghaluskannya. Perlahan tapi pasti. Serpihan halus itu nantinya akan dimasukkan kedalam gulungan kertas rokok. Atau yang biasa disebut papir. Jangan lupa untuk membuat "filter" nya dari kertas biasa atau dari kertas yang lebih keras. Cara lain, bisa juga dengan mengeluarkan tembakau dari rokok dan menggantinya dengan daun itu. Bisa juga menggunakan alat bantu pipa atau bong. Bebas.
"Apa yang nyebabin lo bisa bisanya ngisep ginian tapi gak ngerokok ya?" tanya Kanaya.
"Beda tau, rokok mah jelas-jelas bikin kecanduan"
"Iya sih... Kalo ini gak ketemu bertaun taun juga gak kenapa napa" jawabnya.
Aku masih dengan giat melinting. Kanaya duduk di sofa kecil yang hanya muat dua orang di kamarku itu. Layout dan furniture di kamarku memang membuat orang betah. Ada bed yang cukup untuk dua orang di pojok. Di pojok satunya ada sofa kecil, coffee table yang menhadap ke televisi layar datar yang kecil dan murah itu. Ada satu meja belajar yang berisi komputer dan tumpukan efek gitar. Tak lupa amplifier kamar dan beberapa gitarku mejeng disana.
Lemari baju dua pintuku terbuka dengan malasnya. Aku memang tak suka menutupnya, membuatku malas mencari baju sebelum berangkat ke manapun.
"Lo bajunya kok kaos band semua gitu?" tanya Kanaya.
"Kebiasaan dari jaman kuliah" jawabku. Memang hari ini aku memakai t shirt hitam yang bertuliskan "Level 42" sebuah band pop-jazz yang berasal dari Inggris. Kaosku yang bertema musik memang banyak. Tidak hanya yang bertema musik cadas, tapi juga banyak yang nyeleneh. Seperti t shirt Noah ataupun Ratu jaman Mulan dan Maia masih akur.
"Nih" aku menyerahkan satu lintingan yang agak gemuk ke Kanaya. Dia menerimanya dengan suka cita.
Dia membakarnya dengan penuh antusias. Dan baunya yang khas sudah tercium tajam di kamarku. Saatnya deodorizer beraksi. Aku pun membakar punyaku. Dan bergegas pindah ke sebelah Kanaya, untuk mendekatkan diriku dengan asbak.
Kami sudah menghabiskan setengah jalan. Sudah mulai terasa. Badan sudah agak lemas dan hal hal biasa jadi menarik dan lucu. Kanaya tampak sedang menahan senyum. Perasaan santai itu datang. Senyumnya mulai keluar.
"Jadi kan dia main piano ya"
"Siapa?" tanyaku.
"Itu, ada lah orang"
"Orang"
"Iya jadi kalau dia nikah sama elo, ntar anak kalian bisa main musik apa?"
"Alat nya?"
"Iya itu maksud gue. Alat"
"Oh... Jemuran kali ya.."
"Jemuran?" Kanaya bingung sambil senyum tertahan.
"Hahaha..."
"Apa kok ketawa?" tanyanya kepadaku.
"Haha"
Aku sengaja menambah kekuatan angin dari AC. Supaya baunya cepat hilang. Atau gak ngaruh? Gak tau juga. Yang penting usaha. Aku terus menyemprotkan deodorizer agar sebenarnya... Pusing. Pikiranku sedang melayang di udara. Kanaya bersender dengan santainya di sebelahku, kakinya mendadak kurang ajar dan menjadikan coffee table sebagai tatakan. Tapi biasa kok. Selama tidak ada makanan disana sih santai saja. Santai... Duh, habis ini enak tidur pasti. Eh ada Kanaya. Biar pulang dulu dia. Tapi pulang juga nunggu dia sadar dulu ya? Haha.
"Duh kok sesek ya" Kanaya mendadak meremas dadanya sendiri. Aku kaget.
"Sesek?"
"Kekencengan kayaknya make BH nya" ucapnya cuek. "Panas lagi" lanjutnya.
"Panas apaan? Dingin kok"
"Perasaan lo doang kali...." balasnya asal.
Kanaya lantas membuka jaketnya, melemparnya ke ujung ruang. T Shirt hitam polos ketatnya terlihat indah di tubuhnya. Dia pun melepas kaos kakinya dan melemparnya ke arah yang sama.
"Gila..." dia lantas merebahkan dirinya, menjadikan bahuku sandaran.
-----------------------
BERSAMBUNG