Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG MATA LANGIT

BAB 21
Balas Dendam



Hilir mudik kendaraan berlalu lalang meramaikan susana kota Brastagi di malam hari.


"Dasar orang kaya, menghamburkan uang sudah seperti membuang sampah saja. Apa mereka belum pernah merasakan kemiskinan? Masa bodohlah dengan cara berpikir mereka. Orang kaya mah bebas." ucap Zee dibalik kemudi sambil mengingat kembali pertemuannya di kediaman Tuan Wiguna benerapa waktu lalu.


Pertemuan itu membuat Zee dengan terpaksa menerima hadiah yang Tuan Wiguna berikan, meskipun ia sendiri belum tahu apa yang akan direncanakan dengan kedua hadiah tersebut, yang berupa sebuah rumah dan sebidang gedung usaha.


Saat memikirkan itu, handphonenya berdiring.


"Hallo" Zee menerima telpon sambil satu tangannya memegang stir.


"Saya harap, kamu tidak membuka gerai seperti milikku." kata suara wanita dibalik telepon yang ternyata itu adalah Bu Ambar.


"Kenapa?" Zee bertanya balik.


"Gerai milikku akan bangkrut jika bersaing denganmu, bukankah itu sama saja membalas air susu dengan air tuba?" terang bu Ambar dengan sambungan telepon yang langsung tertutup begitu saja.


"Dasar pepaya gantung!!" umpat Zee lalu menginjak pedal gas nya semakin dalam, membuat laju mobilnya semakin kencang.


Sebelum balik ke rumahnya, Zee berniat mampir ke minimarket terlebih dahulu, berencana membeli keperluan yang ia butuhkan.


"Selamat datang….." sambut pramuniaga wanita membukakan pintu.


Pramuniaga itu seakan salah tingkah manakala Zee melemparkan senyum padanya. Entah apa yang dipikirkan pramuniaga itu.


"Mba cantiiik…. saya butuh sepuluh slop rokok Moalboros, tolong siapakan" pinta Zee di bagian kasir.


"Baik, tunggu sebentar pak, saya akan siapkan" ujar kasir wanita itu dengan pipi yang merona merah.


"Ada apa dengan senyumku? kenapa wanita itu bertingkah aneh?" batin Zee.


"Hanya ini saja pak, ada yang lain?" tanya kasir sembari memasukan rokok ke dalam kantong.


Zee tak menjawab apapaun, ia hanya senyum-senyum sendiri melihat wanita kasir didepannya. Sudah bisa ditebak bukan apa yang dilihat oleh Zee? Dengan kemampuan mata langitnya itu.


Mendengar tak ada jawaban dari konsumennya, kasir wanita itu melirik ke arah Zee dan berkata "Kalau tidak ada yang lain lagi, totalnya tiga juta rupiah".


"Pak, hallo hallo" ucap kasir itu berulang kali karena Zee tampak mematung.


"Apa yang dilihatnya sih? senyum-senyum gitu" batin wanita kasir sembari melihat kearah dirinya sendiri, namun tidak ada yang aneh padanya.


"Kakak… kakak… Apa kakak tertidur? Cepat bayar, aku sudah bosan mengantri, iya kan mah?" ucap bocah perempuan berusia lima tahun menoleh ke arah mamanya yang berdiri mengantri di belakang Zee.


"Eh…" Zee tersadar, ia menoleh kebawah melihat seorang bocah perempuan lima tahun menggenggam tangannya dengan wajah yang cemberut dengan kedua pipinya yang digembungkan, terlihat sangat menggemaskan.


Kemudian Zee berjongkok untuk berdiri sejajar dengan bocah itu, "Maaf tadi kakak melamun, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau kakak belikan kamu coklat" Zee mengambil sebatang coklat panjang dan menyodorkannya.


Mata bocah perempuan itu berbinar menandakan ketertarikan melihat coklat dihadapannya, namun hatinya merasa ragu lalu menoleh ke arah mamahnya seolah meminta izin.


Reaksi mamanya terlihat tersenyum, membuat bocah perempuan itu tampak sumringah.


"Baik, tapi aku maunya tiga coklat, kak. Baru aku akan memaafkan kakak" seru bocah itu dengan memalingkan wajahnya, tapi lirikan matanya tak lepas dari coklat.


"Bocah ini…" batin Zee menahan gemas.


"Jangankan tiga, kalau adik minta sepuluh pun, kakak akan berikan" ucap Zee lalu mencubit kedua pipi bocah itu.


"Hah… Benarkah itu kak? Asiiiiiik… Hore…." teriak bocah itu sambil berloncat-loncatan.


Zee menggigit bibir bawahnya, seolah merasakan kebahagian dari bocah itu, pikirannya melayang sesat mengingat masa lalunya di panti yang kurang dari kata berkecukupan. Saat Zee masih kecil, hatinya pernah menjerit melihat anak-anak orang kaya memamerkan coklat padanya tanpa ia diberi secuilpun.


Setelah membayar semua belanjaannya, Zee melangkah keluar dengan membawa sejuta perasaan di hati. Namun saat akan masuk kedalam mobilnya, Zee terdiam saat mendengar seseorang berkata padanya.


"Terimakasih nak, sudah memberikan kebahagiaan pada anakku".


Mendengar itu, Zee spontan menoleh, rupanya yang mengatakan barusan adalah mamanya bocah perempuan tadi.


Dilihat dari penampilannya, ibu ini tergolong rakyat biasa. Ditangannya hanya menggenggam sekantong tepung dan itu mungkin hanya setengah kilo.


"Gak seberapa kok bu, jadi itu bukan masalah buatku" ujar Zee mengusap lembut rambut bocah perempuan yang sibuk memakan coklat sedari tadi.


"Hei nak, pelan-pelan makan coklatnya. Bilang terimakasih lagi pada kakak ini" pinta mamanya.


"Momomaasih" kata bocah perempuan itu terdengar tak jelas, karena penuhnya coklat dalam mulutnya.


"Kenapa hanya membeli itu saja, bu?" pancing Zee berbasa-basi.


"Ee… itu… aaa…mmm" ucapnya, bingung tak tahu harus berkata apa.


"Tak apalah nak, ibu hanya membutuhkan ini saja. Kalau gitu, ibu akan pergi. Terimakasih sekali lag, ya" ujarnya sambil menggandeng lengan anaknya.


Baru beberapa langkah pergi, Zee memanggilnya untuk berhenti dan mengejarnya, "tunggu!".


Tanpa cang cing cung ceng cong lagi, Zee langsung menyodorkan sepuluh lembar uang ratusan.


Ibu itu hanya meliriknya sesaat, seolah tak tertarik, "Maaf nak, terima kasih. Ibu tidak bisa menerimanya."


"Kenapa tidak bisa?" batin Zee apakah kurang?


"Sebaiknya jangan menolak rezeki, terima saja uangnya, bu" ucap Zee memutuskan untuk memasukan lembaran uang pada kantong celana anaknya.


"Jaga ibumu baik-baik. Jangan nakal ya" ucap Zee sembari mencubit pipi anak itu dan segera berlari menjauh ke arah mobilnya dan pergi.


Ada embun di sepasang mata ibu itu, saat melihat punggung Zee semakin menjauh.


"Ayo nak kita pulang, bapakmu akan marah jika kita terlalu lama diluar." ajak mamanya.


Setibanya di depan pintu rumah, serpihan gelas berserakan karena barusan saja kena banting.


"Kenapa lama sekali?! Aku sudah bosan menunggu mu. Dan mana rokok dan minuman yang aku pesan?!!" bentak seorang pria berdiri didepan pintu rumah dengan berkacak pinggang.


"Bu… ayi takuuut, bapak" langsung bersembunyi dibalik mamanya.


Dengan menarik nafas dalam wanita itu berkata, "Kerjamu hanya mabuk, judi dan marah-marah. Kalau sudah tak becus menjadi suami, sebaiknya ceraikan saja aku!!" dengan kesal masuk kedalam rumah dengan menggendong anaknya.


Tak terima di ceramahi seperti itu, pria tersebut lantas mengejarnya ke dalam rumah. Terjadilah percekcokan suami istri.


Dari dalam mobil, Zee mengintai agak menjauh dari sisi halaman. Mata langitnya mampu melihat apa yang terjadi dari balik rumah itu. Sejak awal pertemuannya, Zee sudah merasa curiga melihat adanya luka-luka memar di tubuh si ibu. Intuisinya mengatakan ada yang tidak beres.


"Sudah kuduga!!" sungut Zee menampar kemudi lalu keluar dari mobilnya.


Tangisan bocah yang bernama Ayi tak henti-hentinya merengek, "Lepaskan pak… jangan pukul ibu lagi, huhuhu….".


BRAK, Zee mendorong keras pintu dengan emosi, lalu mendekat dan menahan lengan pria tersebut.


"Siapa kamu? Gak usah ikut campur urusan keluargaku!!" hardik pria itu.


"Kakak??" bocah itu terkejut karena Zee sudah berada dirumahnya.


"Tolong ibu, kak… Huhuhu…" lanjutnya dengan terisak.


Kilatan tajam dari mata pria itu, mengira-ngira bahwa Zee adalah selingkuhan istrinya.


"Kubunuh kamu!!" ancamnya.


Namun alih-alih membunuh, lengannya saja tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman Zee, sangat kuat bagai dicapit oleh tang. Dengan sedikit tekanan, Zee mendorong pria itu hingga terjungkal di lantai, ia tahu bahwa pria ini bukanlah seorang kultivator, akan sangat mematikan jika terlalu berlebihan.


"Ambil uang itu dan jangan pernah mengganggunya lagi!!" Zee melemparkan sepuluh juta lembaran uang di muka pria tersebut.


Dengan wajah berseri, pria itu berkata "Uang ini lebih berharga daripada wanita jalang itu. Terserah kau mau apakan dia, hahaha… Tapi ini rumahku, kalian semua pergi sana!!"


Zee mengajak si ibu bersama anaknya kedalam mobil, dan meninggalkan rumah tersebut.


Di Dalam mobil, ibu itu terisak pilu mengingat segala penderitaan bersama suaminya.


"Sudah bu, jangan menangis lagi" ucap Ayi menyeka air mata ibunya.


"Terimakasih nak…" balas mamanya sambil menghela nafas panjang.


Setibanya di rumah, Belut yang melihat kedatangan mobil Zee di garasi langsung berinisiatif membukakan pintu mobil dan menyapanya.


"Apa Kodok sudah datang duluan?" tanya Zee sembari keluar dari mobil.


"Sudah Master, dia sedang istirahat di kamar" jawab Belut.


"Oh ya… aku memintamu untuk jemput tadi, kenapa gak datang ke cafe?"


"Maaf master, saya bingung mau jemput pake apa."


"Lupakan saja" ucap Zee menyadari kebodohannya.


"Oh ya… ini adalah keluarga baru kita, tolong kamu siapkan kamar untuknya."


"Siap master."


Keesokan paginya.


Eroh dan Sulis terkejut saat turun kebawah, melihat seorang wanita seumurannya sedang sibuk mengepel lantai.


"Maaf… anda siapa yah??" tanya Sulis.


"Maaf nyonya, saya Ratna. Dan saya disuruh pak Zee untuk tinggal disini.


"Kok Zee gak bilang ya?" batin Sulis tampak bingung.


Eroh berbisik pada Sulis, "Zee kayaknya nyewa pembantu deh, Lis".


"Biarkan saja, mungkin kita memang butuh pembantu. Habis ini kamu jangan lupa bangunkan Zee, aku mau kepasar dulu" balas bisik Sulis.


"Ya sudah kamu lanjutkan saja Ratna, saya mau kepasar, pekerjaan kamu nanti akan dibantu sama Eroh".


-------------------------


POV Eroh


Sampai berapa kali aku harus mengetuk? Anak ini semenjak jadi orang kaya kenapa bangunnya selalu siang sih? Dulu gak gini deh… bahkan pagi-pagi buta sudah menimba air dan pergi ke pasar.


Masuk gak yah… tapi gak enakan deh…

Mmmm… kenapa harus gak enakan? bukannya dulu sering keluar masuk kamar Zee sewaktu di panti.


Ceklek, Lah gak dikunci? Anak ini dari dulu punya kamar gak pernah dikunci. Gimana kalau ada maling masuk coba?


*Flashback


"Kenapa wajahmu cemberut gitu Zee… Ayamnya mati lagi?" tanya Eroh.


"Ah bibi mah ngeledek mulu, aku tuh kehilangan duit lagi loh bi… Uangku tiap hari selalu saja berkurang".


"Bibi kan sudah berulang kali bilang, punya kamar tuh mbo ya di kunci, mau keluar kek…mau tidur kek… ya harus dikunci. Sudah pasti itu perbuatan kakak-kakakmu, siapa lagi coba."


"Menyebalkan, huufh…" dengus Zee.


*Flashback End.


"Zee bangun, nak" Aku pun menggoyangkan tubuhnya.


Namun tak kunjung bangun, malahan Zee ngulet dan tak sengaja selimutnya tertarik oleh kakinya sendiri.


Sontak saja, sebuah gundukan menonjol tercetak dari balik celana pendek ketat yang Zee pakai.


"Besar sekali kontolmu, nak" gumamku disertai nafas yang mulai terasa berat.


Memandangnya membuat ku seakan menjadi gila, tanganku terasa ingin menyentuhnya, ditambah lagi itilku terasa berdenyut membuat memekku semakin gatal.


"Oh, Zee… kenapa kamu jadi sepanas ini?" lenguhku sembari mengusap tengkuk yang mulai merinding.


Namun pikiran warasku segera menyadarkan diri.


"Tidak tidak. Dia itu sudah seperti anakku sendiri. Bagaimana kalau dia memergokiku seperti ini? Mau ditaruh dimana mukaku? Ah ini benar-benar membuatku gila".


Rasa frustasiku ini membuatku lemah dan terhuyung ke samping dan tak sengaja membentur meja yang terdapat segelas air. Airnya tumpah dan gelasnya jatuh.


PRANG


"Eh…." Aku pun turut terkejut dengan membungkam mulutku sendiri.


*POV Eroh End.


Aku yang tertidur terbangun duduk, saat setelah mendengar suara pecahan. Sebenarnya aku sendiri yang membuat sebab musabab gelas itu terjatuh.


Banyak sekali perubahan yang terjadi pada hidupku, semenjak aku memiliki kekuatan Mata Langit. Sedikit demi sedikit tabir kekuatan mata langit semakin aku pahami. Termasuk saat tertidur tadi, alam bawah sadarku tiba-tiba aktif dan memindai sendiri tingkat kewaspadaan.


Setelah mengetahui jika yang datang itu bi Eroh, aku membiarkannya saja dan tetap berpura-pura tidur. Rasa kesal muncul saat kembali teringat bayangan ibu dan bi Eroh bermain dildo dikamarnya waktu itu. Sehingga aku putuskan untuk balas dendam. Kutarik selimut dengan kakiku yang dengan pura-pura ngulet.


Dan benar saja, bi Eroh tampak terlihat sange melihat batangku yang mengeras dibalik celana setiap kali aku bangun pagi.


Tanpa bi Eroh sadari, kugunakan sedikit kemampuanku untuk mendorongnya. Targetku bagaimana caranya agar gelas di meja bisa pecah.


Setelah mendengar pecahan gelas, aku terbangun setengah duduk seolah-olah terkejut.


"Suara apa itu, bi? Loh kenapa gelasnya bisa pecah?" pura-pura tak tahu.


"Anu itu, kenapa ya, bibi juga gak tahu. Tau-tau udah pecah saja" jawabnya dengan gelagapan.


Tiba-tiba aku loncat dari kasur dan tanpa izin dari bibi langsung kuangkat tubuhnya, "Jangan bergerak bi, pecahan gelas ini bisa melukai kaki bibi".


Muka bibi langsung merah bagai kepiting rebus, saat merasakan tubuhnya bergesekan dengan tubuhku yang hanya memakai celana pendek ketat.


"Ah…." desisnya tampak terkejut.


Aku dudukan bibi di tepian sisi kasur yang lain. Sementara aku tetap berdiri dihadapannya. Kemudian menatap bibi yang diam duduk mematung, yang entah apa yang dipikirannya.


Tak lama bibi berkata tanpa sadar, "Rasanya keras sekali barusan".


"Apanya yang keras, bi?" tanyaku memancing.


"Itu" tunjuknya ke arah celana ketat yang kupakai.


Sadar dengan ucapannya, bibi hendak melarikan diri karena malu, "Ah bibi lupa mau masak".


Spontan aku tahan pundaknya dan bertanya padanya, "Katakan padaku, apa bibi yang mengajarkan ibu bermain dildo?".


JEDER, pertanyaanku membuat bibi setengah mati terkejut. Mukanya langsung meringis sambil menahan tangis, mungkin karena aku yang menatapnya dengan tajam.


"Dildo apa? Bibi sama sekali gak ngerti apa yang kamu maksud, Zee?"


"Gak usah ngelak deh, bi. Aku tahu, sebenarnya bibi jugalah yang membeli dildo itu. Iya kan??".


"Kenapa mesti dildo sih bi…?"


"Kenapa gak pakai yang ini saja" kataku sambil melorotkan celana pendek ketatku.


"Bibi butuh ini, kan?" Aku menggengkam batangku dan mengibas-ngibaskannya di depan wajahnya.


Dengan jengah, bibi membuang mukanya seketika, "Jaga batasan mu, Zee!!".


Kutarik wajahnya yang berpaling, lalu kugesekan pipinya dengan batangku yang mengeras.


"Asal bibi tahu, sejak kecil aku sering mengintip bibi mandi di sumur dan aku suka dengan jembutmu, bi".


"Anak kurang ajar!!…." matanya melotot dan hendak berdiri menamparku.


Kutekan pundaknya serta kutahan lengannya. Kujejalkan paksa batangku masuk kedalam mulutnya.


Mmmmm…..


PLOP batangku terlepas dari mulutnya.


"Berdosa sekali kamu, Zee!!" kesalnya dengan terisak.


"Mengajari ibu mengocok dengan dildo, apakah itu bukan perbuatan dosa juga, bi?" bentak ku yang tak terima karena bibi mengungkit soal dosa.


"Jangan ceritakan kejadian ini semua pada ibumu, nak. Bibi malu sekali" isaknya.


Hmmmm…


"Justru jika ibu tahu, akan sangat seru pastinya, bi".


"Tidak!! Kamu jangan kurang ajar, Zee!!".


PLAK, Bibi berdiri dan menamparku.


"Baiklah… jika bibi maunya kekerasan" kataku dengan emosi.


SRAK


Dengan sekali tarik, daster yang bibi pakai pun langsung robek, meninggalkan lubang besar di dadanya.


Bibi menjerit, dan langsung merangsek mundur di atas tempat tidur.


"Jangan mendekat, ini bibi mu Zee. Sadarlah!!" sambil menutup tubuhnya cepat dengan selimut.


"Pergi! Pergi!!" jeritnya histeris.


Saat aku merasa gelisah dengan teriakan bibi, mata langit menjabarkan tentang berbagai macam jenis formasi kubah bintang dengan berbagai tingkatan berikut cara penggunaannya.


Setelah membaca dan memahami, aku putuskan menggunakan formasi kubah bintang tingkat dua, yang kegunaanya untuk meredam suara serta mengaburkan pandangan. Hanya kultivator tingkat tinggi yang mampu mendeteksinya, bagi orang biasa hanyalah sebuah kesia siaan.


Persis yang diajarkan mata langit, aku mulai menggambar pola bintang di udara lalu mengisinya dengan energi petir.


"Kubah Bintang Aktif" lalu sebuah mantra ku ucapkan.


Dengan cepat Kubah Bintang bergerak membesar sesuai dengan yang aku inginkan. Aku berniat untuk menyegel seukuran kamarku saja.


Bibi sama sekali tidak mengerti apa yang kukerjakan, mungkin menganggapku bertingkah konyol. Melihat ada celah untuknya, ia segera bangkit dan melarikan diri. Tapi naas, setelah membuka pintu dirinya tampak tak bisa keluar. Seperti ada sesuatu yang menghalanginya.


Bibi tampak bingung dalam ketakutannya, berusaha kembali menerobos pintu yang terbuka, tapi tak kunjung juga bisa keluar.


Ketakutannya semakin jadi, saat aku mendekat ke arahnya. Tubuh bibi tampak menggigil dengan menggenggam sebagian dasternya yang robek.


Tak ada yang aku khawatirkan, jika nanti bibi akan mengadu pada ibu. Karena aku sendiri sudah memikirkan caranya.


Saat aku akan memangku bibi, sosok Belut tiba-tiba nongol di depan pintu kamarku yang terbuka. Tanpa pikir panjang, bibi berteriak ke arahnya.


"Belut tolong bibi, nak!!"


Namun sosok Belut yang berdiri di sisi luar pintu juga merasakan hal yang sama, dia terkejut merasakan tubuhnya tertolak.


Aku bisa mendengar apa yang dikatakan Belut dari luar.


"Apa!! Bukankah ini Formasi? Aku melihat tidak ada orang di dalam, lantas kenapa master membuat formasi di kamarnya? Bukankah itu hal yang sia-sia? Aku baru tahu jika master juga menguasai teknik formasi. Benar-benar mengerikan master ku ini."


Lalu belut hendak menutup pintu, tapi berhubung bingkai pintunya masuk kedalam, ia tak mampu meraihnya. Jadi ia memutuskan untuk membiarkannya tetap terbuka dan pergi begitu saja dari kamarku.


Melihat belut pergi, pupus sudah sepintas harapan di hati bibi, apalagi aku sudah menutup kembali pintunya.


"Bukankah bibi merindukan ini?" Kugenggam batangku yang mengeras dan menggoyangkan dihadapannya.


Tubuhnya bergerak mundur, "Jangan Zee… jangan… ini sangat berdosa. Insaf Zee… aku ini bibimu…"


Kulucuti dasternya yang robek dan memberanikan diri untuk lebih lagi dengan melepaskan bh nya.


"Aaaaah…" jerit bibi dalam tangisnya, payudaranya yang besar tampak menyembul saat aku meremasnya.


Karena sudah sangat bernafsu, dan ego kelelakianku meningkat, hasrat itu pun timbul. Aku belai tubuhnya perlahan dan terus turun sampai ke pinggulnya.


Kubuka celana dalamnya lalu kuhirup dalam-dalam aroma memeknya yang berjembut.


Setelahnya, kugendong dan kurebahkan bibi di kasur.

Terpampang di depanku sebuah pemandangan bugil yang menggairahkan, sepasang payudara dengan puting berwarna coklat kehitaman. Aku dengan rakusnya meremas dan mengulum puting kanan dan kirinya. Dalam deritanya, samar-samar masih mendengar isak tangis bibi yang bercampur dengan lenguhan.


Lidahku menyapu wajahnya, terasa begitu asin karena bercampur dengan air matanya. Cuping telinganya pun tidak terlepas dari sapuan lidahku, tak ayal membuat bibi bergidik.


"Uuuuugh" lenguh bibi.


"Enak kan bi…?" bisik ku padanya.


Lantas, lidahku memaksa bibi membuka mulutnya, lidah bibi terpancing ikut membelit, kelamaan gerakan lidah bibi semakin mendominasi. Gigit dan belitan kami saling beradu.


Bibi melepaskan ciumannya, menarik nafas dalam dan berkata, "Ini salah Zer… bibi takut".


"Takut pada ibu? Gak bi… justru lain waktu kita main bertiga. Zee hanya anak angkat jadi apa yang bibi takutkan?".


Wajah bibi pucat, ngeri dengan apa yang barusan aku katakan.


Tanganku kembali aktif, dengan lembut menjalar ke perut dan berhenti di gundukan jembutnya. Lalu kurentangkan kedua pahanya. Tiba-tiba tangan bibi menepisnya.


Bibi memohon, tetapi aku yang sudah dirasuki setan tidak ambil pusing, kucium bibirnya dan kuremas kembali payudaranya. Bibi terangsang.


Kucoba mengulang, kurentangkan lagi kedua pahanya, kali ini bibi tidak menepis tanganku. Semakin lebar, semakin jelas terlihat tebalnya memek bibi.


Kusibak jembutnya, ada cairan bening yang keluar dari celah memeknya. Rupanya bibi sudah benar-benar terangsang. Kemudian kujilat itilnya yang agak menyembul, kujilati terus hingga bibi dengan reflek menyilangkan kakinya ke leherku.


"Uuuuuuugh…..Zeeeee" desahnya.


Kumasukan dua jari untuk mengobel isi dalam memek tebalnya. Bibi semakin melenguh dan semakin merapatkan kakinya ke leherku sehingga mukaku terbenam dalam jembutnya. Aku tidak bisa bernafas, tapi aku hajar terus dengan mengobel memeknya sambil menghisap kuat itilnya.


Tubuhnya melenting seperti busur, diiringi semprotan di wajahku. Seeeer bibi merasa lemas merasakan orgasme bercampur kencingnya. Nafasnya tersengal-sengal dan jepitan kakinya mulai melonggar. Sehingga aku bisa bernafas dengan bebas.


Kulap wajahku dan memeknya yang basah kuyup dengan selimut sambil menunggu nafas bibi kembali teratur.


Kugenggam batangku ke arah memeknya, kugesek-gesekan pada bibir memeknya yang tebal. Sengaja ku ulang-ulang berulang kali agar bibi merasa kesal.


"Kok gak dimasukin sih!!" dengus bibi yang birahinya merasa dipermainkan.


"Jadi bibi minta di entot? Mohonlah padaku, bi!!" ujarku yang terus saja menggesek bibir memek tebalnya.


"Tolong masukan Zee, bibi sudah gak kuat. Siram memek bibi dengan pejuhmu" rengeknya memelas.


Jika hamil bagaimana? Batinku bertanya. Tiba-tiba mata langit kembali merespon, menampilkan tata cara pembuatan eliksir berbagai pil, termasuk pil anti kehamilan.


Aku terkejut ternyata begitu dalam dan luasnya kemampuan mata langitku ini.


Dengan rasa senang bercampur nafsu, aku tak lagi menggesek tapi mulai menyodok liang memek bibi.


"Aduh! Sakit Zee, sakiiit…." rintihnya merasakan besarnya batangku.


Kuremas dan kuhisap putingnya lagi untuk mengurangi rasa sakit di memeknya. Kusodok terus hingga mentok menyundul rahimnya.


"Aduh sakit, Zee… kok penuh sekali".


Saat setelah memeknya beradaptasi dengan batangku, pantatnya mulai menggoyang perlahan ke kanan dan ke kiri. Merasakan respon bibi, batangku pun tak tinggal diam, mulai mengaduk isi dalam memeknya.


"Ahhh… ahhh… yahh... uhhh… terus Zee!" kakinya dililitkan di pinggangku.


Semakin keras sodokanku, semakin bibi meracau tak karuan.


"Keras sekali Zee… Ahhh enaaaakk".


Aku terus menyodok dan terus tidak henti-hentinya. Batangku diremas dari dalam, remasan demi remasan otot memeknya semakin menjepit di batangku.


"Aaaaaaahhh…" ser ser ser.


Bibi keluar, terasa di batangku. Dia klimaks yang kedua kalinya. Aku terus menggempur, memacu mengejar klimaks ku sendiri. Kutekan tahan batangku di dalam, berdenyut-denyut. Mata bibi memutih merasakan siraman hangat pejuhku. Aku melumat bibirnya sambil menyembur-nyemburkan pejuh di dalam rahimnya.


Aku pun ambruk mendekap tubuhnya yang gempal, merasakan nafas perut bibi yang naik turun.


"Dasar anak nakal, bibinya sendiri diperkosa!, Huh!" ucapnya sambil menjambak rambutku dengan kesal.


"Tapi enak toh, bi? Enak mana coba dengan mang odang??"


PLETAK


Aku mengusap kepalaku karena nyeri dijitak bibi.


"Minggir! Bibi mau masak" serunya sambil turun dari kasur.


Melihat bokong bibi yang bergoyang, membuat batangku kembali bergetar. Kutarik bokongnya dan kutunggingkan. Kusodok dari belakang tanpa aba-aba.


"Auuuww!!" pekiknya.


Sambil memompa, kuremas payudaranya yang berayun. Juga tengkuknya tak luput dari jilatanku.


Birahi bibi melonjak bangkit, pantatanya mengimbangi goyanganku.


PLOK PLOK PLOK PLOK


"Ahhh… ahhh… ah…" desisnya."


"Jangan lama-lama, sebentar lagi ibumu pulang dari pasar."


"Yaaaaah bibi mau keluaaaaar"


Kupacu lebih cepat batangku hingga terasa akan muncrat. Kubalik tubuh bibi, dan kutumpahkan wajahnya dengan pejuhku.


"Terimakasih ya, bi. Lain waktu kita main lagi".


Bibi membalas dengan senyuman kaku di wajahnya. Lalu menarik sprei dan menyeka wajahnya yang berlumuran pejuh dan melililitkan sprei ditubunya. Tak lupa Bibi mengambil daster, bh dan celana dalamnya dan bergegas pergi.


Kulambaikan lenganku untuk menghancurkan formasi kubah bintang. Sehingga bibi kali ini dengan mudah keluar dari kamarku.


Aku belum bisa memberikan bibi pil anti kehamilan, aku akan membuatnya nanti. Sekalian aku akan membuat pil kecantikan. Kebetulan Tuan Wiguna memberikanku hadiah gedung usaha. Sepertinya aku akan menyulap gedung itu menjadi Gerai Kecantikan.


Bersambung…


 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd