Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
IX

POV RIKO


Aku: ayolah Wan, temani saya... sebentar saja....

Wawan: Pak Riko gak konsisten, kemarin suruh saya jauh-jauh dari Rani, jangan mampir ke tempat kosnya Rani, sekarang malah minta tolong saya temani ke tempat kosnya Rani. Ini bagaimana cerita?

Aku: tolong ya Wan... tolonglah saya... saya mohon...

Wawan: enggak Pak, maaf, saya sudah malas berurusan dengan Rani dan Pak Jajang. Saya merasa sudah cukup senang dengan uang tunai yang diberikan istrinya Pak Jajang. Sekarang enggak mau dibikin repot lagi. Cukup, tutup kasus. [Aku membatin merasa sombong betul si Wawan]

Aku: Ya sudah kalo kamu tidak mau, saya tidak mau memaksa juga.

Wawan: hati-hati loh Pak, jangan sampai kesambet, kemakan omongan sendiri.

Aku: maksud kamu Wan?! Jangan sembarang bicara!

Wawan: Saya hanya mengingatkan loh Pak. Enggak salah kan?

Aku: saya tahu itu, kamu gak perlu sok-sok ajari Saya.

Wawan: baik pak, saya minta maaf, ya sudah saya pamit pulang duluan.

Aku: [Terdiam melihat Wawan menggeber motornya, menjauhi tempat parkir motor perusahaan]

Aku bersikeras sore ini bertemu Rani di kafe kemarin ketika aku menemuinya. Ia tadi siang jam istirahat menemuiku lagi, mengatakan bahwa aku bisa mulai menyelidik tidak dari tempat kosnya, melainkan dari kafe kemarin karena Jajang bermaksud bertemu Rani sore ini, sedangkan Rani sudah berupaya menghindar, tetapi Jajang secara sembunyi-sembunyi masih mengejar-ngejar, terlepas dari istrinya yang telah menegaskan ancaman. Diliputi ketakutakan ancaman istri Jajang, Rani ingin menepati janjinya, menunjukkan jelas-jelas kepadaku, memperlihatkan betapa ia sangat tidak mutlak paling disalahkan sebagaimana yang telah dituduhkan oleh istri Jajang. Yang tersebar dia sudah sangat takut, kapok dengan peringatan yang dibentangkan oleh istrinya. Yang sungguh disayangkan adalah istri Jajang tidak mengetahui bahwa suaminya yang paling patut disebut pantas bersalah, menggoda bini orang, kendati pada akhirnya Rani kemakan bujuk rayu juga.

Karena alasan yang cukup penting dan mendesak, demi membantu Rani, aku terpaksa membohongi istriku bahwa aku akan pulang malam karena hendak berkunjung ke rumah seorang kawan yang sedang sakit parah di daerah Bogor. Mirna percaya. Ia mengabulkan, namun memohon agar aku tetap cepat-cepat pulang. Aku mengiyakan akan berusaha. Tiba-tiba Rani mengirim chat-WA agar aku datang lebih awal. Ia ingin mempersiapkan dan memasang sesuatu agar aku pakai. Atas instruksi tersebut, aku segera mengemudikan motor keluar area perusahaan menuju sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari kantorku, satu arah dengan kepulangan, dekat dengan tempat kos Rani dan tempat kos Jajang dahulu.

Sesampainya di sana, situasi kafe di lantai dua sepi, sebagian kecil pelanggan baru memenuhi lantai bawah. Rani sudah duduk di sebuah kursi meja di lantai dua, ia yang memakai blazer biru gelap dan rok sepaha berwarna biru gelap jua, memperlihatkan padaku sebuah earphone yang ingin aku memakainya. Earphone tersebut tersambung pada sebuah perangkat perekam yang harus kupegang. Menurut Rani, dari earphone itu, aku dapat menyimak percakapan antara Rani dan Jajang, namun aku tidak bisa menanggapi percakapan mereka berdua yang akan berlangsung tak lama lagi. Jajang sedang dalam perjalanan.

Rani: Pak, katanya, temen anaknya bapak ada yang mau magang di bagian administrasi ya?

Aku: iya betul, tolong titip yaa.

Rani: tenang pak, nanti saya bantu bimbing kok [Rani duduk di sebelahku, membantu menyetel pengaturan perangkat yang akan aku kenakan]

Aku: Jajang masih lama?

Rani: sudah dekat kok.

Aku: ya sudah, buru-buru gih. Ini saya posisi mesti di mana? [Aku bertanya mengamati Rani dengan blazer dan blus berwarna hitam, berbelahan dada rendah, sulit mataku untuk tidak tergiur melirik sepasang paha pun belahan dadanya. Manusiawi]

Rani: Pak Riko kayaknya itunya gede ya [Rani menyetel perangkat sambil menggodaku]

Aku: jangan macam-macam deh. sok tahu, buruan.

Rani: Mmmm... [Rani melirik ke arah selangkanganku]

Aku: lagian kalau gede kenapa? Kalau kecil kenapa? Bukannya yang penting tahan lama?

Rani: Enghhmm... berarti Pak Riko anunya tahan lama nih? hehe [Rani tersenyum bercanda, menatapku tajam]

Aku: terus kalo tahan lama kenapa? Mau ngerasain?

Rani: emang boleh?

Aku: enggak ah cukup Jajang aja yang bermasalah, saya enggak mau. Di sini saya bermaksud untuk membantu kamu jangan sampai dipecat. Itu aja! Titik!

Rani: Pak Riko di lantai atas aja ya. Aku nanti duduk di bawah ketemuannya dengan Pak Jajang.

Aku: silakan diatur. Kamu yang lebih paham.

Rani: baik Pak.... Nah, beres! [Rani menyerahkan padaku untuk dipasang]

Aku: akhirnya....

Rani: berarti Pak Riko mau di atas? Aku yang di bawah?

Aku: Lantainya......

Rani: beneran gak mau nih Pak? [Rani tiba-tiba membuka kancing blusnya satu demi satu]

Aku: eitsss mau ngapain kamu?! Jangan macem-macem!

Rani: jangan nolak dulu pak, lihat dulu...

Rani menyibakkan kancing blusnya yang seluruhnya sudah tercopot. Ia memamerkan kepadaku sepasang gunung kembar yang terbungkus BH berwarna krem. Tak berhenti sampai di situ, ia menaikkan kedua pahanya agar mataku leluasa memandang kegemulaian sepasang paha yang selama ini dijamah oleh Jajang. Rani membelainya untuk memancing agar aku mau menyentuhnya. Aku bertahan untuk tidak tergoda.

Aku: Sudah tutup, kelihatan orang banyak [aku membuang muka]

Rani: ayo pegang dulu pak, siapa tahu habis megang jadi kepengen. [Rani mencengkeram tanganku, tetapi aku mengelak]

Aku: sudahlah, ditutup! kasih lihat Jajang aja.

Rani: sombong banget ya Pak Riko ihhh. Lihat dulu pak, nihhh ini lihat[Rani tidak menyerah. Ia malah membuka kedua CUP BH nya]

Aku: Apaa-apaan sih kamu! Tutup! Mau ditolongin gak?!

Rani: dah keras banget ih pentilnya, pak. pengen diisepin. [Aku melirik warna puting payudaranya yang hampir menyerupai milik Mirna]

Aku: minta tolong Jajang aja nanti, kan mau ke kosan juga kan kalian berdua?

Rani: tolong pak dipegang, sebentar aja.... [pinta Rani memohon dengan nada memelas. Aku hampir goyah]

Aku: sudah Rani, kamu apa-apaan sih. Minta tolong Jajang aja nanti.

Rani: please Pak pegang, sebentaran... Kok tega sih... [Rani meraba-raba pahaku, tangannya merayap ke wilayah selangkangan]

Aku: itu Jajang telepon tuh, diangkat. Udah hampir sampai dia.

Rani: Pak Riko pegang dulu tetek aku.. hayuk...

Aku: enggak Rani, enggak!

Sebuah panggilan dari Jajang masuk ke ponsel Rani sehingga ia terdesak mengkoreksi pakaiannya. Aku bernafas lega, lolos dari rangkaian percobaan rayuan nakal Rani. Aku bisa duduk dengan tenang serta tidak terusik. Aku bersiap menyimak percakapan Rani dan Jajang sebelum pada akhirnya konon mereka akan melanjutkan pertemuan di sini di tempat kos Rani. Setelah meyakini pakaiannya rapi dan tidak ada yang tertinggal, Rani turun ke bawah, menyapa Jajang yang sudah berada di depan kafe. Aku tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan ketika perjumpan. Mengintip saja terlalu berisiko, kecuali hanya mendengarkan percakapan mereka berdua sebagai sejoli yang seharusnya sudah bubar.

Rani: mau ngapain lagi sih ketemu aku? Semua kan udah jelas. Nanti istrimu marah-marah lagi. Minta aku jauhin kamu. Aku lagi yang disalah-salahin, dibilang genit, ganjen, Apa kamu ada bela aku?

Jajang: Aku kangen kamu. Kamu jangan khawatir, kamu dan aku enggak akan dipecat kok.

Rani: bagaimana bisa kamu yakin? Istrimu aja marah-marah sama aku.

Jajang: sudah cuekkin aja.

Rani: kamu bisa cuekkin istrimu?

Jajang: bisa. Ini buktinya. Kamu ada cuekkin suami kamu gak?

Rani: aku udah biasa dicuekkin sama dia, untuk apa cuekkin duluan.

Jajang: hhhmmm... udah pesen?

Rani: udah, kamu belum...

Jajang: nanti malam aku mau nginep di kosanmu yaa?

Rani: mau ngapain lagi? Sudahlah cukup.. mau aku laporin?

Jajang: jangan dong. Kangen banget sama kamu.

Rani: kamu kangen karena ada maunya aja.

Jajang: emangnya kamu gak mau?

Rani: enggak.....

Jajang: bohong banget, dari kemarin bilang enggak, tapi sekalinya dimasukkin minta terus-teruss huuuuuu..... malah nambah, aku kasih juga hehehe

Rani: jangan ngomong begitu. Aku enggak suka.

Jajang: kan itu faktanya.... ada videonya juga... hehehe

Rani: hapus-hapusin, aku enggak suka.

Jajang: ada syaratnya.

Rani: syaratnya gak jauh-jauh dari seputar itu-itu juga. Maaf aku enggak mau. Aku kapok dibegoin kamu.

Jajang: Lagi sange aku sayang, pengen entot kamu [Jajang dengan suara lirih]

Rani: obrolin yang lain aja. Kalau sange ya kamu ke istrimu. Bukan ke aku...

Jajang: obrolin yang lainnya nanti aja, kita ke kosan dulu yuk... aku tuh sangenya sama kamu...

Rani: ogah, enggak mau...

Jajang: ayolah.... kamu jangan pura-pura gak butuh...

Rekaman percakapan ini sudah cukup jelas. Aku merasa tidak perlu sampai ke tempat kos Rani untuk membuktikan hal yang lain yang tidak semustinya terjadi berulang. Rekaman percakapan ini akan kusodorkan kepada HRD untuk mempertimbangkan ulang seandai Rani akan benar-benar dipecat. Jika tidak, bagaimanapun aku akan mendesak HRD agar memecat Jajang. Aku merasa tidak perlu melakukan koreksi terhadap istrinya Jajang. Dia sangat tersakiti sehingga sulit menerima kenyataan bahwa suaminyalah penyebab/dalang utama dari segalanya. Yang terpenting Rani terbebaskan dari ancaman pemecatan tanpa dalih yang valid dan akuntabel.

Kemudian aku turun ke bawah mengendap-ngendap, mengamati Jajang yang berdiri berupaya menarik-narik tangan Rani agar mau menuruti kemauannya, bergegas pindah lokasi ke tempat kos Rani. Jajang sedang tidak butuh ngopi, tetapi yang memuaskan birahi. Aku mengambil gambar pose tersebut, memperkuat narasi-narasi yang akan kubangun bahwa Jajang yang memaksa-maksa Rani, bukanlah Rani yang menggodanya karena Rani sudah beritikad menjauh sebaliknya Jajang tidak.

Dengan begini pula aku tidak perlu pulang larut malam, kendati sudah terlanjur membohongi Mirna. Namun, yang kuharapkan tidak segampang yang aku kira di depan mata. Jajang mengerahkan tenaganya. Ia memberhentikan taksi yang lewat memasukkan Rani ke mobil. Petugas keamanan mencegah, tetapi pemilik kafe melarang untuk ikut campur karena sudah dibayarkan juga, tak ada yang diutangi.

Aku yang ditinggal terkatung-katung bingung ke mana harus melangkah pergi. Suara yang mengalir via earphone sudah terputus hilang suara Rani dan juga Jajang. Apakah aku harus pulang? Karena Semua yang kuperlukan sudah didapat. Aku tunda sejenak. Aku mau tahu apakah yang dilakukan Jajang setelah blak-blakkan istrinya menggertak akan menggugat cerai kalau tak kapok-kapok nakal lagi? Aku segera menyusul mereka berbekal alamat yang pernah diberikan oleh Wawan kepadaku. Menuju ke sana, memakan waktu kurang dari 10 menit.

..........................................

Jajang: urghh... digesekkin saja cukup? Heh?!

Rani: Ohhhhh... masukkin aja sebentar, yaa? Sebentar ajaaa....

Jajang: urghhh katanya enggak mau, sekarang justru minta aku masukkin.

Rani: Aahhh... kamu ceraiin saja istrimu, supaya kamu tinggal di sini sama aku. Kita bisa ngentot sepuasnya...

Jajang: urghhh... kamu sendiri gimana? Mau cerain suami kamu?

Rani: Aaaahhh ayo dimasukkin...

Jajang: hehehee, kangen kan?

Rani: Ohhhh.... masukkin Mas Jajang... please... jangan digesekin terusss...

Jajang: sabar, biar memekmu bener-bener basah dulu.

Rani: sekarang aja Mas, aaaaahhhhss.....

Karena sudah dekat, perangkat ini otomatis tersambung kembali, terdengar suara Rani dan Jajang hendak bersenggama. Aku datangi bangunan yang terkesan tua dengan cat mengelupas. Bangunan berlantai dua ini adalah tempat yang para penghuninya kosnya digabung, baik pria dan wanita. Bukan tempat kos khusus perempuan saja atau sebaliknya pria. Setelah memohon izin dengan penjaga kos berperawakan seperti Mbah-Mbah, aku mengutarakan latar belakangku kemari. Si Mbah pun menunjukkan tempat kos Rani. Benar pula bahwa Jajang pernah kos di sini. Jauh sebelum ngekos pula Jajang sering bertandang. Memang tidak ada aturan yang melarang penghuni kos mengajak teman pria atau wanitanya, asalkan tidak digunakan sebagai tempat pelacuran terselubung.

Untuk kemudahan melacak dan menggali keterangan lebih lanjut aku meminta nomor si Mbah. Mbah Paijo namanya. Setelah berhasil kusimpan, kami berhenti di depan sebuah kamar. Ia menunjuk ke sebelah kanan kami. Di sanalah kamar Rani selama bermukim di Jakarta. Si Mbah mohon pamit. Aku lantas merujuk ke kamar Rani memantau sebentar saja yang akan terjadi untuk ke sekian kali, persetubuhan Rani dan Jajang terjalin. Aku tidak bisa melihat hubungan badan yang tengah berlangsung. Lagipula aku di sini tak lama.

BLEEESSSSHH.....

Jajang: Urghhhh.... akhirnyaa.....

Rani: Aaaahhhhhhhhh.....

Jajang: bagaimana rasanya setelah lama kita tidak bertempur sayang?

Rani: aaaaahhh kangen kamu Masss

Jajang: Hehehe...

Rani: ayooo digenjotnya agak cepet....

Jajang: hehe, baru juga mulai, udah sange banget ya?

Rani: He'eh... ohhhh......

Jajang: Urghhh.... Lain kali kita ajak cowok satu lagi supaya bisa tambah muasin kamu bagaimana?

Rani: Ahhhhh bolehh....

Jajang: kamu mau siapa cowoknya?

Rani: terserah kamu aja Mas.....

Jajang: Urghhh... Aku mau kamu yang memilih....

Rani: Aaaaahhh... Pak Riko aja bagaimana?

Jajang: hahahaha apakah dia mau?


DEGH....


~•~

Aku tak mau menyia-nyiakan waktuku untuk berlama-lama di tempat kos Rani, mendengarkan suara lenguh Jajang dan desah Rani berkemelut birahi ah-uh-oh, sebagaimana pasangan kumpul kebo. Namaku disinggung tajam, akan diseret dalam persenggamaan mereka berikutnya, corak baru bercinta direncanakan, tidak selalu mereka berdua saling mencurahkan. Ada keikutsertaan orang lain ikut permainan bukan hanya menyaksikan layaknya fantasiku selama ini. Aku tercengang, Rani telah menyebut-nyebut namaku ketika Jajang bertanya seraya menggenjotnya, didesak-desak siapa kiranya pria yang diharapkan dapat melakukan hubungan threesome dengan mereka. Mengapa harus aku? Bukan Wawan atau orang-orang lain yang lebih baik atau lebih buruk dariku, khususnya yang memiliki minat yang sama.

Kehadiranku adalah untuk menolong Rani agar tidak dipecat, bukan malah menimbrung berhubungan badan. Hal itu sama saja aku menjebloskan diri ke masalah serupa. Pantas saja Rani yang pendiam di kantor berusaha menggodaku ketika bertemu di kafe menjelang kedatangan Jajang. Ada kemungkinan yang mereka lakukan sudah direncanakan jauh-jauh atau jangan-jangan dalam rencana tersebut bermaksud menjerumuskan diriku. Hampir! Rani memang tak tertandingi menggiurkannya di kantor, namun istriku tetap nomor satu. Apabila ada perempuan cantik dan bahenol, benakku lantas mengirim alarm bahwa Mirna adalah segalanya.

Di sisi lain, Aku meragukan Rani mau keluar dari jerat masalah ini. Ia terkesan tidak serius. Jika aku bantu ia lolos dari pemecatan, apakah ia akan tetap berhubungan dengan Jajang? Kalau iya, sama saja bohong. Bukankah alangkah lebih baik keduanya sama-sama dipecat? Supaya kapok atau jera menimpa, kecuali apabila Rani benar-benar memperlihatkan bahwa dirinya adalah seseorang yang paling tersudutkan akibat hubungan pertemanan dengan embel-embel untung selangkangan ini. Lagipula ia mengatakan kepadaku bahwa Jajanglah yang memulai, menekan secara halus, lalu lambat laun hubungan keduanya sudah sedekat ini.

Aku baru sampai rumah, menceritakan yang barusan terjadi kepada Wawan.

Percakapan Whatsapp

Malam Hari Pukul 19.00

Wawan: sudah saya bilang kan Pak, bener kan.... Untung bukan saya. Kalau iya, sudah ikut joinlah... hahaha....
Aku: Asal bunyi kamu... Mestinya kamu ikut, biar saya ketarik join juga.. hahaha...
Wawan: Lucu ya pak, Pak Jajang berniat mengoper ke saya, tetapi masih saja nempelin Rani.
Aku: Itu berarti kamu yang sebetulnya diajak awalnya, Wan. Hahaaha...
Wawan: bapak sih, pakai acara larang-larang. rugi bandar dong saya…
Aku: kalau enggak dilarang, saya enggak akan ada disebut dong, Wan...
Wawan: Aargh... jadinya bapak sebenernya berharap juga nih... Karena enggak ada saya aja, makanya enggak mau...
Aku: Ah ngaco kamu, ya enggaklah. Saya setia dengan istri saya.
Wawan: hahahaha sombong banget, mentang-mentang istrinya cakep, Pak Riko.
Aku: Makanya kamu buruan cari istri.
Wawan: bantu cariin dong Pak... Saya cari pekerjaan saja sudah hampir setengah mati.
Aku: akhirnya dapat juga kan?
Wawan: yaiya sih, tapi tetep jatuhnya beda.
Aku: memang kamu punya kriteria perempuan yang seperti apa sih?
Wawan: seperti Rani pak. Hahahahah
Aku: aaghh jangan bercanda... masa bini orang...
Wawan: ya bukan bini orang juga, yang masih gadis, secara fisik seperti Rani.
Aku: duh tinggi juga seleramu, sedangkan modal sedikit punya.
Wawan: tuh kan apa saya bilang. Enggak heran, saya belum ketemu-ketemu juga.
Aku: banyak-banyak ngaca diri kamu, Wan.
Wawan: Saya jelek yah?
Aku: nasibmu mungkin hahahahahaha....
Wawan: parah banget Pak Riko ngehinanya.
Aku: enggak ada maksud menghina.
Wawan: iya pak, kadang meledek dan menghina beda-beda tipis. Hehehehe.
Aku: Wan, main ke sini lah, kamu ini jarang banget ke tempat saya. Sekalinya ke sini juga cuman anter surat, anter berkas, sekali-sekali yang santai-santailah...
Wawan: bapak apa enggak bosen ketemu saya mulu? Di kantor ketemu. Masa di rumah ketemu lagi Hahaha...
Aku: kita kalo sudah di rumah, ngobrol yang santai-santai, jangan bahas pekerjaan lagi.
Wawan: ajak Pak Yanto juga pak.
Aku: Pak Yanto balik kampung, kamu enggak tahu?
Wawan: bukannya sudah di Jakarta?
Aku: balik ke kampung lagi karena istrinya sakit.
Wawan: whoaah kasihan sekali.
Aku: kamu saja ke sini, kita ngobrol berdua, enggak harus ada Pak Yanto, kan?
Wawan: baik Pak Riko, gak lama lagi saya ke sana. Mau bantu-bantu ibu beres rumah sebentar.
Aku: Saya tunggu traktirannya, kan kamu dah dapat persenan dari istrinya Jajang kan? Hahahhah....

Mirna menatapku cemberut di ambang pintu. Barangkali jengkel aku pulang terlalu lama karena menjenguk seseorang teman yang sakit. Padahal, sebenarnya aku bertemu Rani di kafe, mengikutinya hingga ia digagahi oleh Jajang. Mirna telah memerhatikan aku sejak memarkirkan motor di perkarangan, membalas satu per satu chat Wawan yang kuterima sambil senyam-senyum.

Mirna: Kamu pulang kerja itu seharusnya langsung masuk ke rumah, Mas..

Aku: ini aku mau masuk. [Aku masih sibuk memerhatikan ponsel, sekilas kulihat istriku mengenakan kimono tidur berwarna ungu violet, berbahan satin. Pangkal pahanya yang gempal mengkilap, menyusuk pandangan yang lelah karena berkendara. Aku terhibur bahagia, disambut cemberut wajah istri, disambut manis dan manja oleh bodi sensualnya]

Mirna: kamu sudah berapa lama berdiri di situ. Balesin chat siapa sih senyum-senyum sendiri? Curiga aku....

Aku: ini si Wawan, tuh... [Aku menjawab sambil menunjukkan isi percakapanku dengan Wawan di ponsel]

Mirna: sehabis mandi memangnya enggak bisa?

Aku: iyaa maaf, tanggung... Hehe... [Aku mencopot sepatu dan menaruhnya di rak yang terletak di sudut pintu depan]

Mirna: yaudah kamu langsung ambil handuk, terus mandi..

Aku: iyaa sayang... Rengga sudah di rumah?

Mirna: masih dalam perjalanan katanya... Makan malam sudah aku siapin ya, tinggal kamu ambil sendiri di atas meja.

Aku: oke. Terima kasih sayang... [Aku masuk ke dalam rumah, berjalan ke arah kamar. Mirna menutup pintu lalu berjalan ke arah dapur]

Mirna: Mas, tadi pagi Pak RT sudah berikan surat himbauan kerja baktinya.

Aku: Hmmm… ada ngomong apa aja beliau?

Mirna: enggak banyak siih, ngasih surat sama nagih iuran RT yang belum kamu bayar.

Aku: Oh iya… aku lupa iuran RT, terus sudah kamu bayarkan?

Mirna: udaahh...

Aku: maaf aku kelupaan, karena entar-entaran mulu, gak berasa sudah kelewat bulan. [Aku keluar kamar menenteng handuk. Mirna sedang di dapur. Kami bicara saling bersahutan]

Mirna: makanya pas lagi ditagih langsung dibayarin aja, gak enak kan Pak RT menagih sampai ke sini.

Aku: iya maaf, lain kali pasti langsung aku bayar. [Aku masuk ke kamar mandi, namun pintu belum kututup]

Mirna: Lain kali terus, tapi kamu sering banget kelupaannya…

Aku: hehehehe….

Mirna: Aku di kamar ya, mas... [Mirna pamit hendak masuk ke kamar setelah menaruh piring dan alat makan lainnya untukku]

Aku: iyaa..., hhhhmm nanti ada Wawan mau kemari. Habis Isya......

Mirna: ikut makan malam juga? Kalau iya aku siapin sekalian piringnya.

Aku: enggak usah, rumahnya deket inihh.

Mirna: berarti aku enggak usah ngapa-ngapain lagi kan?

Aku: enggak...

Mirna: yaudah aku mau istirahat kalo gitu. Tolong jangan ganggu aku ya sehabis ini….

Aku: Iya sayang……

Barulah ketika Mirna masuk ke kamar, pintu kamar mandi kututup. Aku lantas membersihkan diri, menyingkirkan keringat dan debu yang telah mengikuti sepanjang hari. Dalam benak, aku merenung tak akan bermaksud menceritakan pertemuanku dengan Rani hari ini kepada istriku, termasuk saat namaku disebut-sebut. Mirna akan menduga bahwa aku mau berlaku ulah lagi atau timbul fantasi macam-macam sehingga pikir Mirna nanti bukan tak mungkin aku terlibat bersama Jajang dan Rani. Oleh karena itu, aku akan memendamnya, cukup bercerita kepada Wawan.

Aku: tumben jam segini dah mau tiduran aja. [Setelah mandi dan meletakkan pakaian kotor, aku masuk ke kamar. Aku dapati Mirna duduk di sandaran tempat tidur, mengamati ponselnya]

Mirna: ya habis mau ngapain lagi?
Aku: Temenin aku makan makan kan bisa…

Mirna: Emm… Lagi kepikiran sesuatu, Mas.

Aku: kepikiran apa? [Aku duduk di pinggir tempat tidur, di sisi Mirna]

Mirna: Aku pernah bilang ke kamu kan.... seandai seusai aku mengabulkan permohonan fantasi kamu itu kalo aku jadi nakal bagaimana?

Aku: Hmmm... ya terus? Ya seharusnya jangan nakal dong.

Mirna: Bukannya aku sudah nakal ya?? Dari kemarin beberapa kali kamu mengizinkan Pak Yanto dan Aku berhubungan suami-istri, itu bukan sudah kategori nakal buatku, dan buat kamu juga?

Aku: iya juga sih, tetapi nakal yang bagaimana ini….

Mirna: ya yang kamu bayangin….

Aku: kamu ditiduri pria lain?

Mirna: Iya…

Aku: teruss? Maksudnya bagaimana? Terus terang aja sih sayang….

Mirna: enggak jadi deh….

Aku: Hmmm kangen Pak Yanto yaa… hehehe… coba aja chat, tanya dia sudah di kampung apa belum, kalau belum ya suruh ke sini… hehe…

Mirna: enggak yee….

Aku: terus kenapa dong?

Mirna: Mungkin aku lagi pengen istirahat saja, Mas. Cape… [Mirna memelorotkan diri. Ia berbaring memeluk guling, membelakangiku.

Aku: Lagi kepengen?

Mirna: Enggak juga.

Aku: terus kenapa? [Aku penasaran, memijat-mijat lengan hingga jenjang kaki Mirna, berusaha meringankan lelahnya, namun ia malah diam, tetap tidak merespon]

Kemudian Aku bangkit berdiri mengambil kaos dan celana dari dalam lemari. Aku kenakan, bergegas untuk makan malam. Aku benar-benar gelisah, tidak memahami yang sedang dirasakan oleh istriku saat ini. Aku menebak bahwa ia sedang merindukan Pak Yanto. Rindu malam-malam disebadani, rindu vaginanya dijajah penis yang begitu mendambakan tubuhnya. Betapa murah dan gampang pandanganku terhadap istriku karena beberapa hari belakangan Mirna telah mendapat kepuasan dari Pak Yanto. Aku pula juga menikmatinya, kendati mengorbankan jatahku demi Pak Yanto. Ketika akan keluar kamar, Mirna mencegat.

Mirna: Mas??!!

Aku: Kenapa?!

Mirna: Mmm… gak jadi…

Aku: huh… kamu sebenernya kenapa sih? [Aku mendekati Mirna kembali, mencegahnya berbalik badan]

Mirna: Aku mau ngomong sesuatu, tetapi bingung bagaimana menyampaikannya…

Aku: tinggal bilang, kayak aku orang lain ajah…

Mirna: Mmm… aku pengen nyusul Pak Yanto ke kampungnya, bagaimana?

Aku: Tuh bener kan, kamu kangen dia kan… hahahaha…. Kok bisa?

Mirna: kayak ada yang hilang aja. Kamu sih ishh… [Raut wajah Mirna berubah masam. Ia membuang muka]

Aku: Aku kenapa? Loh kok aku….???

Mirna: Iya, aku sudah pernah bilang berkali-kali juga kan ke kamu, seandai ada laki-laki lain yang berhubungan intim denganku, terus aku malah jadi kepikiran laki-laki itu terus bagaimana… soalnya Aku jadi suka kebayang digituin sama Pak Yanto, mas…

Aku: hahahahaha… sabar ya sayang… kalo sama aku dulu aja bagaimana?

Mirna: Hmmm… rasanya nanti akan beda kayaknya… meskipun aku bayangin kamu, seolah-olah kamu adalah Pak Yanto.

Aku: begitu yaa, terus solusinya apa? Pakai vibrator atau dildo? Enggak perlulah sampai menyusul Pak Yanto segala. Istrinya lagi sakit, biarkan dia fokus sama istrinya, bukannya kamu sendiri yang bilang begitu ke Pak Yanto? Iya kan?

Mirna: Iya sih Mas... Hmmm… yaudah deh aku sabar-sabarin aja kali yaa…

Aku: Chat aja coba Pak Yantonya, tanyain sudah sampai belum, bagaimana kabar istrinya [Aku mengelus-ngelus dahi Mirna. Aku kecup keningnya. Ia tersenyum]

Mirna: Enggak mengganggu?

Aku: Ya enggak, kecuali kamu nyuruh Pak Yanto ke Jakarta sekarang juga. Hehehe.

Mirna: Emmm… nanti aja... [Mirna tiba-tiba menyentuh tanganku] kamu makan malam dulu, sana Mas…

Aku: temenin yuk…

Mirna: Aku lagi pengen bener-bener istirahat, maaf yah mas…

Aku: Emmhh.. Iya…. Enggak apa-apa. Aku tinggal makan malam ya…

Mirna: Iyaa….

Aku bisa sedikit tenang sekarang setelah memastikan bahwa benar istriku galau karena ditinggal pergi jauh oleh Pak Yanto, walau pada akhirnya ia tetap berdiam diri di kamar. Ia sedang ingin disentuh, dipeluk, dan dikangkangi. Namun aku tidak bisa menolong banyak karena sentuhan yang diharapkannya adalah sentuhan Pak Yanto. Aku agak cemburu pun tidak dapat melakukan sesuatu. Apabila biasanya jika sedang birahi, Mirna meluapkan hasrat seksualnya kepadaku. Kini ia sedang berkobar-kobar, jatuh mengharapkan kepada laki-laki lain. Aku telah menyadari konsekuensi tersebut sehingga tidak terlalu berat menerima kenyataan karena Mirna tetap memegang kesetiaannya kepadaku selaku suami. Kalau dipaksakan melampiaskannya kepadaku juga akan percuma, Mirna tak mendapatkan apa yang sedang diinginkan.

Aku lalu keluar kamar, mengawat ponsel dengan pasrah, mengesisikan istriku yang tengah terapung-apung oleh birahi ditelanjangi oleh Pak Yanto. Sebaliknya perutku memelas segera diisi. Ia sudah lapar hendak melahap sajian malam yang telah dipersiapkan oleh Mirna. Aku tengok jam, ketibaan Wawan belum ketahuan. Kiranya kami akan mengobrol yang ringan-ringan, bukan yang berat-berat seperti membahas hubungan Jajang dan Rani yang terlampau banyak memberi ganjalan dan menguras energi.

Percakapan Whatsapp

Malam Hari Pukul 19.15

Rani: Pak Riko maaf yaa... sekarang bapak sudah bisa lihat sendiri kan, bagaimana Pak Jajang masih suka mendekati aku.
Aku: enggak perlu minta maaf. Saya sudah percaya kok kalau Jajang masih selalu berusaha mendekatimu, tetapi seharusnya enggak mesti juga kamu melayaninya di atas tempat tidur. Itu bukan berarti sama aja, masih mau sama mau?
Rani: Eemmh, bapak enggak mengerti situasinya aja, situasi emosiku, aku itu sudah sering dibujuk-bujuk berhubungan badan sama Pak Jajang. Jadi, kalau menolak, dari awal sudah menolak, namun lama-lama rasanya sulit karena Pak Jajang maksa-maksa terus.
Aku: Setidaknya kamu harus memperlihatkan itikad baikmu dulu dengan kamu menunjukkan perangai yang baik. Kalau begini yang terjadi, saya sulit menolong kamu. Dipaksa-paksa buruk, kamu menurut, menjadi baik mengapa tidak bisa? Apa perlu dipaksa juga?
Rani: yaah bapak, jangan begitu dong Pak..., aku kan enggak mau kehilangan pekerjaan loh pak. Aku enggak mau dipecat.
Aku: Kamu enggak mau kehilangan pekerjaan, sedangkan tetap aja bergaul dengan yang bentar lagi kehilangan pekerjaan. Apakah itu enggak salah?
Rani: Salah Pak, iya salah.
Aku: kalau kamu bener enggak mau kehilangan pekerjaan, perlihatkan itu ke saya. Enggak usah kemana-mana. Bukan sekedar memperlihatkan Jajang maksa kamu, tetapi juga diri kamu berusaha tidak lagi berhubungan dengan Jajang dalam bentuk apapun.
Rani: baik Pak, aku akan lakuin supaya bisa bertahan.
Aku: Apa maksud kamu juga menyebut nama saya ketika indehoy dengan Jajang. Di kantor kamu diem-dieman dengan saya, lalu di kafe malah mendadak menggoda.
Rani: Mohon maaf ya Pak Riko, di kantor saya diem karena sudah terlanjur lelah didekati banyak pria, difitnah ini-itu, ditambah skandal dengan Pak Jajang berlarut-larut. Aku enggak mau banyak bicara, takut justru memperumit diriku sendiri.
Aku: Faktanya kamu diem pun akhirnya juga mempersulit diri kamu sendiri kan? Kamu tersangkut dengan Jajang. Ini bukan masalah kamu diem atau enggak, melainkan etika dan perilaku kamu bekerja. Kalau dari awal kamu tahu Jajang sudah beristri, kamu bersuami, hal ini enggak akan pernah terjadi. Sebaliknya kamu kalah.....
Rani: iya pak, aku kalah. Aku kalah karena kesepian di sini.
Aku: ya sudah, kamu sudah paham kan apa yang harus kamu atasi? Kamu enggak perlu tunjukkan apa-apa lagi ke saya. Kalau kamu bekerja punya perilaku lurus, ya akan terjawab dengan sendirinya.
Rani: bapak masih mau menolong aku kan?
Aku: Saya enggak bisa kasih komentar banyak. Enggak menjanjikan pula...
Rani: tolong aku pak Riko, apapun akan aku lakukan pak...
Aku: sudah yaa.. selamat beristirahat. Saya yakin, tanpa saya beritahu secara langsung, kamu sadar apa yang mesti kamu lakukan..

Percakapan melalui chat dengan Rani merusak selera makanku. Makanan yang dimasak oleh Mirna yang tadinya enak terasa sedikit hambar bercampur masalah Rani yang tersusup ketika makan malam. Aku menjawab pesan yang masuk agar Rani mengerti mengapa aku terlanjur kecewa dan mulai ragu menolongnya.
Aku berharap Rani bisa berubah, memberinya satu kali kesempatan tanpa harus ia tahu, supaya tampak kesungguhannya benar atau hanya mengada-ngada. Di samping itu, aku tidak mau mengulang-ngulang melontarkan nasihat. Kemudian dia balik memohon-mohon.

Pak RT: Assalamualaikum! Assalamualaikum!

Aku: iya walaikumsalam [mendengar suara seseorang mengucap salam di depan pintu pagar, aku buru-buru ke depan. Dari ambang pintu, aku melihat Pak RT dengan baju koko dan kopiah hitam berdiri. Aku lantas menyambutnya]

Pak RT: maaf Pak Riko malam-malam mengganggu nih...

Aku: iya, enggak kok Pak RT. Ada yang bisa saya bantu? Ayo duduk dulu…. [Aku membuka pintu pagar mempersilakan Pak RT duduk di bangku teras depan kamarku. Ia memakai baju koko berwarna putih dan sarung bermotif kotak, perpaduan coklat tua dan muda, terdapat kombinasi garis putih dan kuning]

Pak RT: Terima kasih…

Aku: Kalau boleh tahu, apa yang dapat saya bantu nih?

Pak RT: Enghh… Pak Yanto ada masalah lagi dengan sampeyan?

Aku: enggak kok Pak, enggak ada masalah lagi di antara saya dan Pak Yanto. Kenapa?

Pak RT: Hhhmm begitu.. seinget saya kemarin dia sudah pulang loh, lalu mengapa tiba-tiba kosong lagi ya rumahnya? Saya juga malah belum sempet tegur sapa dengannya.

Aku: woalah, kirain apa. Iya pak pada dasarnya hubungan Pak Yanto dengan saya sudah baik-baik saja, kita udah enggak menyimpan masalah, termasuk dendam satu sama lain.

Pak RT: Dia lalu ke mana lagi? Apa sedang keluar rumah sebentar? Saya tadi mampir ke rumahnya pulang dari masjid, lampunya mati, gelap.

Aku: Pak RT sudah mencoba tanyakan langsung ke Pak Yantonya? [Aku tidak berkenan menginformasikan kemana Pak Yanto pergi. Apabila kuberitahukan terkesan Pak Yanto dan diriku memiliki hubungan kedekatan khusus sebagai warga klaster. Lantas dicurigai]

Pak RT: belum, ya saya mampir dikira ada masalah lagi antara kalian. Heheheh

Aku: enggak kok Pak, di antara kami sudah baik hubungannya.

Pak RT: baguslah kalau seperti itu adanya.

Aku: eh iya, besok Minggu kerja bakti kan ya pak? [Aku berupaya mengalihkan pembicaraan]

Pak RT: Iya betul, sudah saya antarkan suratnya, yang nerima istri bapak tadi pagi.

Aku: iya Mirna sudah mengatakan. Katanya iuran juga sudah dibayarkan Pak.. terima kasih banyak ya Pak RT. Maaf saya kadang suka terlambat beri iuran.

Pak RT: Sama-sama Pak Riko. Enggak apa-apa. Banyak juga kok yang terlambat. Malahan ada yang sukar membayarnya, berkelit-kelit. [Pak RT menggaruk jambang dan dagunya yang ditumbuhi rambut saling bersambung]

Aku: pastinya akan selalu ada yang seperti itu.

Pak RT: tentu ada... ya saya sebagai RT hanya bisa memaklumi kalau memang lupa atau belum ada uangnya. Hehehe. Kadang suka terbawa kesal juga. Tapi yaa... mau bagaimana lagi, harus banyak mengelus dadanya saat menghadapi warga. Tidak bisa pakai emosi. Hahahaha....

Aku: benar banget Pak.

Selagi mengobrol empat mata dengan Pak RT, Wawan datang menyapa kami. Ia berjalan kaki dengan penampilan necis kaos biru muda dibalut jaket sweater berwarna hitam, serta celana chinos abu-abu gelap. Rambut ikalnya disisir ke samping, terlihat klimis. Aku sebetulnya hendak memperkenalkan Wawan dengan Pak RT, namun Pak RT justru sudah mengenal Wawan karena ayah mereka saling kenal. Aku berharap obrolan terjalin tidak di antara aku dan Wawan saja, melainkan juga Pak RT seolah-olah dia ialah pengganti Pak Yanto.

Pak RT: Kamu anaknya si Muhtar ya?

Wawan: iya benar Pak. Saya anaknya Muhtar. [Aku membukakan pagar untuk Wawan yang langsung disapa oleh Pak RT]

Pak RT: ayahmu kenal saya. Tolong sampaikan, bilang aja dapat salam dari Pak Komar.

Wawan: iya pak nanti saya sampaikan hehehe [Wawan malu-malu. Ia berdiri dengan lirikkan mencari bangku untuk duduk, karena hanya ada dua bangku yang telah Pak RT dan Aku dudukki. Kemudian aku menarik bangku kayu dari ruang depan ke teras]

Aku: sekantor sama saya Pak... [Aku menatap Pak Yanto, menunjuk ke Wawan]

Pak RT: ohhh sudah dapat kerja kamu, Alhamdulillah ya... Pasti senang banget ayah dan ibumu. Akhirnya kamu dapat kerja juga.
Wawan: iya bener Pak. Mereka langsung sujud syukur sewaktu denger saya diterima bekerja.

Pak RT: terima kasih banget dong kamu sama Pak Riko, ya? [Pak RT melempar senyum, melirik ke Wawan]

Wawan: iyaa bener banget hehehehe....

Aku: enggak juga Pak, Wawan diterima bekerja juga karena punya kemampuan dan kompetensi. Kalau enggak, bulan pertama bekerja pasti dah kedengeran telinga saya tentang jelek-jeleknya dia hehehe...

Pak RT: Alhamdulillah, mesti rajin-rajin kamu bekerjanya...

Aku: harus itu... [Aku menengok Wawan. Ia cengengesan]

Wawan: iyaa Pak Komar terima kasih atas nasehatnya, bagus sekali hehehe.

Aku: pada mau minum apa nih?

Pak RT: sudah gak usah repot-repot. Saya mau langsung balik. Takutnya nanti istri saya malah nyariin… [Pak RT mencomot ponselnya dari saku baju koko. Ia periksa apakah ada chat WA yang masuk]

Aku: baru juga datang pak, udah dicariin aja. Masih sore looh... hehehe…

Pak RT: Saya baru pulang dari Masjid, belum ada laporan mau mampir-mampir ke istri....

Aku: Hhhmmm....

Pak RT: boleh pakai kamar mandi sebentar?

Aku: oh kamar mandi, masuk aja Pak... [Aku bangkit berdiri, menuntun Pak RT berjalan masuk hingga di depan pintu kamar mandi. Ia melepas kopiahnya. Agar tidak basah, Pak RT menggulung sarungnya tinggi-tinggi sehingga tampak kedua pahanya yang berwarna coklat hitam nan gelap berbulu, ada jejak koreng dan bekas luka. Pak RT juga sudah mencopoti kancing bagian atasnya, tampak kutang putih yang robek bagian dada]

Setelah Pak RT masuk dan menutup pintu kamar mandi, aku hendak menemui Mirna di kamar. Apakah ia dapat membuatkan minum untuk aku, Wawan, dan Pak RT. Aku sambangi kamar yang lampunya menyala, agak panas dan gerah, baling-baling kipas angin berputar-putar, dari kejauhan Mirna sepertinya sudah terlelap. Ia memejamkan mata, berselimut, mendekap gulingnya. Kendati ada pergerakan sedikit-sedikit pula, Aku ragu mengutarakan, teringat bahwa Mirna telah mengatakan kepadaku hendak istirahat serta tak ingin diganggu.

Aku: sayang, aku boleh minta tolong? [Aku menjawil-jawil lengan Mirna. Kelopaknya matanya layuh nan berat. Namun, ia sempat menengok muka ke arahku]

Mirna: ada apa sih Mass, aku ngantuk banget loh. Aku kan udah bilang sama kamu...

Aku: hhhmm... beneran gak bisa bikinin minuman aja ya? Ada Pak RT dan Wawan di depan.

Mirna: kamu kan juga bisa sendiri, kenapa harus selalu aku...

Aku: tolong dong sayang.... [Aku berusaha keras membujuk Mirna, namun ia kukuh menolak]

Mirna: udah gampangnya, beli minuman di luar aja. daripada kamu repot-repot[Mirna menggerutu, melengos, mengabaikanku]

Respon Mirna yang lamban menghadapkanku pada pilihan-pilihan berselok-belok yang harus aku tentukan. Apakah aku akan membikinkan minuman untuk Wawan dan Pak RT atau mencari tempat alternatif untuk kami bertiga. Kutinggalkan Mirna yang lelah, segan aku memaksa-maksanya. Aku lantas keluar menemui Wawan yang melamun. Barangkali ia memiliki solusi yang pas.

Wawan: katanya hanya berdua Pak, mengapa RT diikutsertakan segala?

Aku: kebetulan kemari... hehe...[Aku duduk kembali menatap muka Wawan]

Wawan: ooohh kirain...

Aku: ngopi-ngopi di luar aja bagaimana?

Wawan: boleh banget Pak. Kalau rumahan begini kurang nyaman, takut tetangga sebelah terganggu. Mau ngopi di mana?

Aku: deket-deket sini aja, jangan jauh-jauh. Jadi Kamu yang traktir kan?

Wawan: atur saja pak. Haha. boleh tuh, sekarang? [Wawan berbicara denganku seraya sibuk menepuk nyamuk yang menggigiti wajahnya]

Aku: tunggu Pak RT dulu, mau ikut atau enggak beliau.

Wawan: okee....

Aku: Ooo ya... Wan, nanti saya titip temen-temen anak saya ya? Mereka kan Senin besok udah mulai magang. Kamu dari segi usia dengan mereka kan enggak terlalu beda jauhlah umurnya. Jadi supaya mereka nanti kalo mau kemana-mana jalan barengnya sama kamu aja ya. Sekalian bantu diarahin, Waan.

Wawan: Nurut pak. Yang mau magang di bagian administrasi kan?

Aku: persis! Ada dua orang nanti yang magang. Laki-laki semua...

Wawan: yaahh... enggak ada ceweknya apah... hahahaha... tolong bilangin anak bapak, kalo ada cewek, bolehlah didaftarin magang juga.

Aku: belum rezekimu itu... hehehe... saya nerima info dari anak saya aja. Kalau ditanya ada mahasiswinya atau gak, saya gak akan berani bertanya begitu, entar dikira saya bapak-bapak ganjen, genit, duh akan serba salah pokoknya.

Wawan: iya pak, santai, bagaimana enaknya Pak Riko saja saya mah.

Aku: terima kasih banyak ya Wan...

Wawan: sama-sama Pak Riko.... Pak Yanto tadi pagi balik ke kampungnya?

Aku: iya, kemarin malam bilang ke Saya kalau anaknya minta dia pulang.

Wawan: seharusnya kalau mau istrinya ikut ke sini atau kalau enggak, yaudah Pak Yanto di kampung aja, rumah di sini supaya dikontrakkin, kan lumayan ada penghasilan tambahan daripada minta saya cariin kerja...

Aku: wah iya baru keinget saya....

Wawan: keinget apa pak?
Aku: waktu itu Pak Yanto bilang ke saya kalau kamu nawarin dia pekerjaan jadi tukang ojek pribadi seseorang, siapa orang yang kamu maksud?

Wawan: ada pak, temen saya SMA dulu, kebetulan dia perempuan gak bisa bawa motor. Kan kerjanya lumayan jauh dari Jaksel ke Jakut, dia mau naik ojek aja katanya, tapi belum ada kabar lanjutan lagi sih ini jadi apa enggak.

Aku: lalu Pak Yanto mau ambil pekerjaan itu?

Wawan: ya mau, namanya juga duit, siapa nolak. Malah temen saya ini orangnya cantik pula.

Aku: Hhhmmm... pantes Pak Yanto mau kejar yaah. Hahaha....

Wawan: itu mah orang tua emang dasarnya mata keranjang hahaha....

Aku: hafal banget kayaknya kamu hehe... urusanmu dengan istri Jajang sudah beres?

Wawan: sudah Pak, enggak punya beban lagi saya. Hehehe [Wawan memperlihatkan wajah sumringahnya. Ia mendapatkan sesuatu yang telah dijanjikan oleh istri Jajang, yakni uang]

Aku: berapa kamu dapat? Roman-romannya banyak nih?

Wawan: ah gak terlalu juga, belum bisa untuk beli rumah Pak. Hahaha

Aku: Syukuri saja. Belum tentu kamu dapat lagi yang seperti itu di kemudian hari....

Wawan: hah bener banget pak, dalam hidup saya jarang-jarang hal ini terjadi.

Aku: kalau sudah rezekimu, pasti akan berjodoh. Karena sekalipun kamu cape, selama tak berjodoh ya akan begitu-begitu saja. Jangan terlalu dipikirkan, Wan...

Wawan: siapp Pak Riko, terima kasih petuahnya.

Aku: jadi kita ke kafe? Atau warung kopi?

Wawan: bentar, Pak Komar aja ke mana? Lama banget, buang air kecil apa boker tuh. [Wawan mengecek jam di ponselnya]

Aku: iya bener juga, lama banget, aku cek dulu ya Waan, takutnya terkunci di dalam kamar mandi jangan-jangan hehehe...

Wawan: hahahah, masa sih pak…

Aku masuk ke dalam rumah, buru-buru meninjau Pak RT, sudah selesai dengan urusannya di kamar mandikah? Jika sudah, aku ingin mengajaknya pergi ke kafe atau warung kopi bersama Wawan karena istriku sedang tidak bisa menyediakan minuman apapun. Aku juga tengah sama malasnya. Namun yang kudapati di dalam rumah adalah pintu kamar mandi yang terbuka. Mirna yang kuketahui sedang tertidur, terdengar suaranya bersama Pak RT di dalam. Lekas kuperiksa.

Mirna: Mass, kerannya patah... [Mirna sudah beda pakaian. Ia memakai daster coklat dengan tali tipis bermotif batik. Telapak tangannya kebasahan. Rambutnya tersimpul ke belakang]

Pak RT: iya, saya bermaksud mematikan kerannya, namun malah patah. [Raut muka Pak RT panik, kutang yang robek basah terciprat air. Kini ia mengulur-ngulur turun sarungnya yang tadi terangkat tinggi-tinggi]

Mirna: sudah ditutup tapi sih Mas, disumbat pakai plastik dan karet pipanya sama Pak RT

Aku: yaudah gapapa, besok kita panggil tukang deh.

Pak RT: Saya bisa membetulkannya, biar saya saja.

Aku: Gak usah Pak RT. Jangan... memang sudah waktunya kerannya diganti itu...

Pak RT: besok saya yang akan betulkan, tolong izinkan saya yang bertanggung jawab, agar bapak dan ibu tidak keluar biaya juga. [Pak RT hilang kopiahnya, ternyata tergantung di belakang pintu kamar mandi]

Aku: ya sudah pak, sekarang kita ngopi-ngopi dulu aja yuk di luar.

Pak RT: Saya pulang dulu ya...

Aku: iyaa pak, senyamannya Pak RT. Nanti saya dan Wawan temani.

Pak RT dan aku bergerak menuju teras depan. Ia memakai baju kokonya sembari berjalan. Sebaliknya Mirna usai buang air kecil sudah masuk ke kamarnya. Sebelum meninggalkan rumah, aku sempat pamit dengan istriku. Ia mengizinkan.


=YYY=


POV MIRNA

Percakapan wikipedia

Malam Hari Pukul 19.30

Aku: istri Mas Rundjan tahu kalau kita sedang balasan chat?
Rundjan: tahu kok. Kita itu sebagai pasangan jujur-jujuran aja, terbuka, gak ada yang ditutup-tutupi. Daripada bohong atau sembunyi-sembunyi, yang timbul curigaan malahan...
Aku: boleh aku chat istrinya nanti lewat WA?
Rundjan: boleh banget. Ketemu juga boleh Mba. Ini juga dia lagi merhatiin aku balas chat dengan Mba Mirna. Hehe.
Aku: hehehe jadi gak enak sayanya...
Rundjan: Mba Mirna lagi apa? Lain kali kita ketemuan. Mba Mirna ajak suaminya juga.
Aku: boleh Mas. Ide bagus. Kalau saya ketemu sama Mba Melaninya dulu gapapa kan?
Rundjan: Enggak masalah. Mba mau chat-chatan dulu juga gapapa. Dibikin santai.
Aku: iya Mas. Aku lihat baiknya seperti apa.
Rundjan: Mba kita mau makan dulu yaa. Nanti dilanjut lagi. Mungkin nanti istri saya yang akan ngechat Mba Mirna.
Aku: iya Mas dilanjut dulu aja kesibukannya dengan istri.

Aku hampir mengungkapkan apa yang kualami hari ini kepada Mas Riko, tetapi aku batalkan karena aku khawatir pikir kami sedang tidak sejalan. Aku tidak mau Mas Riko kumat seperti yang sudah-sudah. Ditambah aku meragukan rutinitas Mas Riko mengonsumsi obat kejiwaannya secara rutin atau tidak.

Aku sebetulnya ingin menuturkan yang terjadi hari ini ketika Pak RT mengantarkan surat serta Rundjan yang mengirimkan chat kepadaku. Jika diterangkan, apakah nantinya fantasinya justru memburuk? tambah tak karuan, ya? Bagaimanapun tetap saja tak bisa aku sangkal, vaginaku sedang ‘gatal-gatalnya’.
Bukannya aku tidak mau diselesaikan oleh Mas Riko. Faktanya adalah vaginaku menginginkan batang penis Pak Yanto yang menggaruknya, menyusup ke dalam, mengobrak-ngabrok. Beruntung Mas Riko menyadari akibat dari yang telah ia perbuat kepadaku. Ia tidak marah mengetahui keinginanku. Ia bisa menerima realita bahwa cintaku tetap setia dan hanya untuk dirinya, namun liang senggamaku berat melupakan batang kejantanan yang telah mengirimkan benih-benih hangat ke rahimku yang tidak sedang mengalami masa subur. Ia bebas sesuka hatinya menyemprotkan mani lalu menggenjot tubuhku.

Percakapan Whatsapp

Malam Hari Pukul 19.35

Pak Yanto: baru sampai rumah. Saya gantian jaga dengan anak. Karena baru sampai, anakku pengen aku istirahat dulu.
Aku: kondisi istri Pak Yanto sendiri bagaimana?
Pak Yanto: sudah membaik. Katanya terlampau kelelahan, telat makan juga.
Aku: oh begitu, terus kata dokternya apalagi?
Pak Yanto: harus dirawat intensif dulu, mau dilihat kondisi dalam beberapa hari ke depan. Buat saya enggak apa apa, supaya istri saya istirahat gak mikirin kerja dan duit melulu.
Aku: turut prihatin ya Pak Yanto. Sabar, sabar jaga dan rawat istrinya...
Pak Yanto: terima kasih.
Aku: pak yanto udah makan malam?
Pak Yanto: sudah, sebelum balik ke rumah, tadi saya makan dulu. Anak saya yang membelikan.
Aku: berarti besok pak yanto gantian jaga lagi?
Pak Yanto: iya giliran. Saya jaga dari pagi sampai sore karena anak saya harus kerja paginya.
Aku: [Aku menyurutkan maksud bercerita ke Pak Yanto. Menyadari dia sedang tertimpa musibah, sepertinya bukan waktu yang tepat]
Pak Yanto: kamu bagaimana kabarnya? Udah kangen belum? Hehehe.

Aku enggan mengungkapkan bahwa aku sedang ingin berhubungan badan dengan Pak Yanto. Bisa-bisa bikin dia besar kepala. Lebih baik aku bikin Pak Yanto cemburu saja. Barangkali ia bersemangat balik ke Jakarta. Aku mengatakan secara jujur apa yang kualami hari ini, khususnya mengenai Pak RT. Namun Pak Yanto bukannya cemburu, malah meledek balik diriku. Aku tak berdaya, bertubi-tubi disinggung oleh Pak Yanto. Padahal cerita tersebut juga sudah kutambah-tambahi, bertujuan memanas-manasi sekaligus menyerang Pak Yanto agar dia cemburu.

Pak Yanto: awas ditaksir Pak Komar. Kamu dikasih kode sesuatu itu pertanda dia perhatian sama kamu loh... hehe... cie dilirik Pak RT Hehehe...
Aku: serem candaannya...
Pak Yanto: katanya tadi seneng... dilirik-lirik Pak Komar. Bukan main loh sebenarnya, kamu dilirik pejabat hahaha...
Aku: sudah cukup Pak...
Pak Yanto: hehehe.. terus Pak Komar beneran lihat puting susu kamu pas kamu nunduk?
Aku: kayaknya sih lihat. Aku enggak berani nanya juga.
Pak Yanto: kalau beneran lihat bagaimana?
Aku: ya enggak bagaimana-bagaimana. Rezekinya Pak RT, ya kan?
Pak Yanto: kamu kebagian rezekinya gak?
Aku: rezeki apa?
Pak Yanto: rezeki ngelihat kontol Pak Komar. Katanya lihat resletingnya kebuka.
Aku: ngelihat, tapi pas lagi lemes.
Pak Yanto: gede?
Aku: gak terlalu jelas, aku langsung mengalihkan pandangan.
Pak Yanto: mana gede pas lagi lemes ukurannya dengan punya saya?
Aku: hhhmmmm mana yaa...
Pak Yanto: ayo punya siapa?
Aku: rahasia... [Gantian aku mengerjai Pak Yanto]
Pak Yanto: baiklah kalo kamu mainnya rahasia-rahasiaan. Saya betah di sini, kayaknya lama gak akan ke Jakarta...
Aku: terserah, bebas....
Pak Yanto: bener begitu yaa... bener nih? Hehehe.
Aku: [Pak Yanto menanyakan pertanyaan seperti itu saat aku sedang ingin disetubuhi olehnya]
Pak Yanto: bagaimana? Bener nih? Ayo dijawab Mirna....
Aku: hhhmmm....
Pak Yanto: Satu...... Dua....... Tii.......
Aku: jangan Pak Yanto, jangan lama-lama di kampung dong... [Aku tak sadar mencegah, merasakan selangkanganku terpancing]
Pak Yanto: hehehe... tahan dulu ya, beres semua masalah di sini, saya langsung gas ke Jakarta... kita puas-puasin, sepuasnya ngentot nanti hehe...
Aku: Enggghh... udah ah, ngobrolin yang lain aja.
Pak Yanto: Riko sedang apa?
Aku: lagi ngobrol sama Wawan dan Pak RT.
Pak Yanto: Hhhmm... sedang ada tamu toh... Riko tahu kita lagi berbalas chat?
Aku: enggak.
Pak Yanto: kenapa gak tahu?
Aku: ya biarin aja, enggak semua mesti dia tahu, kecuali Pak Yanto pengen berhubungan intim denganku, benerkan?
Pak Yanto: bener juga....

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu berkicut. Mas Riko masuk ke kamar. Aku pura-pura tertidur mendekap guling, meruyupkan mata. Ponsel kutengkurapkan agar sinarnya tidak terlampau kentara baru dihidupkan. Mas Riko akan mengira bahwa aku sudah tidur. Padahal, Aku sedang malas-malasnya bergerak, sudah terlanjur nyaman rebahan. Aku justru menduga bahwa Mas Riko mencariku hanya untuk membikinkan sesuatu, untuk para tamunya yang suara mereka terdengar dari depan kamar ini. Sedikit mengganggu waktuku istirahat.

Ketika aku abaikan, Mas Riko berusaha mencolekku. Aku lantas berakting, berpura-pura mengantuk berat dengan tubuh lemas. Lucunya Mas Riko percaya. Kemudian dia pergi. Aku bernafas lega.

JETREK |Pintu tertutup kembali.

Aku kembali merengkuh ponselku, namun entah mengapa suasana begitu panas dan gerah, sedangkan kipas angin sudah kunyalakan. Aku mengambil inisiatif mengganti kimono tidur yang kupakai dengan daster yang tergantung di dalam lemari. Setelah kutelanjangi diriku, aku sempat bercermin, memandangi tubuh sintalku seraya memegang kedua payudara yang berputing cokelat. Tubuhku masih bagus dan indah, kendati Pak Yanto telah mengangakangi dan meniduriku. Bahkan puting susu yang digemari Pak Yanto ini tak lecet, meski kalau hadir Pak Yanto terkadang aku harus menyusuinya.

Percakapan Whatsapp

Malam Hari Pukul 19.45 WIB

Aku: FOTO [Mengirim foto telanjangku ke Pak Yanto]
Pak Yanto: bikin sange aja kamu.
Aku: supaya jangan betah lama-lama di sana.
Pak Yanto: chat seks saja, mau? Video call?
Aku: Enggak mau, rasanya pasti beda, gak puas. Pengen yang beneran.
Pak Yanto: wah saya gak bisa bantu kalau begitu. Hhhm.. menyerah..
Aku: baru gitu aja menyerah, giliran dulu lagi deketin aku hampir enggak pernah menyerah.
Pak Yanto: beda. Sekarang kan lagi jauhan kita, Mirna. Kalau bisa terbang, saya langsung terbang ke kamar kamu. Hehehe.
Aku: karena gak bisa, ya berarti payah dong hehehe.
Pak Yanto: payah terbangnya, kuat ngentot kamunya hahaha.
Aku: hhhhmm... [Aku menjawab chat Pak Yanto seraya mengenakan daster batik yang kuambil dari dalam lemari. Karena gerah, aku sengaja tidak memakai pakaian dalam]
Pak Yanto: Hhhmm kenapa?
Aku: Hhhmmm aja enggak kenapa-kenapa.
Pak Yanto: Oooo... kamu tahu gak Pak RT kita dulu itu mantan preman, emmhh... preman apa jawara ya. Saya lupa.
Aku: beneran pak? Sok tahu deh.
Pak Yanto: Lah, kan saya kenal dekat beliau. Kamu gimana.
Aku: begitu yaa...
Pak Yanto: istrinya yang sekarang itu istri ketiga.
Aku: pertama dan keduanya?
Pak Yanto: pertama meninggal, kedua cerai. Yang sekarang dia suka cerita ke saya kurang bisa muasin birahinya.
Aku: aahh bohong banget Pak Yanto, ngarang deh.
Pak Yanto: aaarghh kamu gak percaya. Ya namanya istri seumuran dengan dia, kepala lima, ya susah ngimbangin. Pak RT nafsunya masih kenceng itu.
Aku: udah aahh bohong banget.

Aku menjatuhkan ponsel beringsut di kasur karena Pak Yanto seakan-akan sedang berusaha merangsang birahiku yang jelas-jelas sudah terangsang. Aku tidak mau melayaninya chat seks atau video call seks karena aku tak akan puas. Ketika aku diamkan. Dia beberapa kali menelepon, tetapi tetap aku tak jawab panggilan teleponnya.

Kemudian Aku bermaksud bangun dari tempat tidur, buang air kecil sekaligus mengambil minum, melepas dahaga selagi suamiku sedang berada di teras. Apabila aku berpapasan dengannya, aku takut ia menagih kembali, ingin aku membantunya membikinkan minuman. Aku membuka pintu kamar pelan-pelan, melangkah menuju dapur. Aku menjumpai pintu kamar mandi tertutup. Aku penasaran siapa di dalam. Aku awalnya mengira ini adalah putra semata wayangku, Rengga, tetapi suaranya saja belum kudengar. Aku ketuk dan menyapa pelan supaya tidak terdengar oleh Mas Riko. Namun sapaanku tidak dijawab sama sekali kendati sudah kuulang-ulang. Akhirnya aku memutuskan untuk meminum segelas air untuk melepas dahaga.

Ketika dahaga kering itu lenyap lalu menenangkan, Aku sangat terkejut ketika pintu kamar mandi lantas terbuka. Sangkut pautku yang masih mengendap tentang Pak RT, menjadi nyata. Pak RT berdiri di hadapanku. Aku berusaha melempar senyum.

Pak RT: Eh ibu, maaf keran kamar mandinya patah, apakah ada plastik dan karet gelang?

Aku memerhatikan sekujur tubuh Pak RT. Dia mengenakan kutang yang compang camping dan dada berbulu. Tubuhnya agak kurus namun kokoh, tangguh, dan kekar. Aku sedikit percaya apa yang Pak Yanto katakan. Apalagi terdapat bekas luka baret di salah satu lengannya. Astaga! sarungnya terangkat tinggi-tinggi, tatapanku menerawang ke selangkangan Pak RT. Aku memalingkan muka. Tak bisa juga kuhindarkan Pak RT turut memandangiku yang tengah mengenakan daster seksi ini. Apakah aku biarkan saja? Mendebarkan. Apakah harus lewati momen ini samahalnya kejadian tadi siang?

Aku: boleh saya lihat? [Pak RT keluar kamar mandi. Aku masuk menyaksikan koyaknya keran air yang entah kapan itu sudah dipasang. Air meluber deras ke bak yang lambat laun mengisi penuh. Aku lalu keluar kamar mandi. Di lemari dapur, aku berupaya mencari-cari karet gelang dan plastik untuk menyumpal aliran arus air]

Aku yang berdiri, berjongkok, menunduk lantas menungging sadar tidak sadar diamati pergerakannya oleh Pak RT. Dia betah dengan sarung terangkat tinggi. Demikian aku ketika menunduk, sengaja mengundang tatapan mata Pak RT ke arah belahan dadaku demi menghilangkan rasa penasaran.

Pak RT: mau saya bantu?

Aku: boleh Pak... [aku menyeka keringat di dahi. Mata Pak RT tiba-tiba melirik ke arah ketiak tangan yang menyeka]

Pak RT: biasanya ditaruh di mana?

Aku: di atas lemari itu pak biasanya... [aku menunjuk ke atas lemari dapur yang ada di depanku. Lemari tersebut tinggi, tidak terjangkau oleh pandangan mata dan tanganku untuk meraba-raba keseluruhan. Aku berharap Pak RT yang mengecek. Kemudian tiba-tiba Pak RT justru menyenderkan tubuh bagian depannya, terutama selangkangan, baik disengaja atau bukan, bersentuhan dengan bokongku. Aihhh.. dia tidak memakai celana dalam. Ujung kepala hingga batang penisnya sesekali menyandar di belahan bokongku]

Pak RT: gak ada kok...

Aku: di sebelahnya mungkin pak [Aku bukannya mendesak Pak RT menjauh, melainkan membiarkan dia bermain-main. Aku bisa merasakan penis yang kulihat terkulai lemas itu sedang garang-garangnya. Ukurannya kurasai melebihi dari yang kulihat]

Pak RT: enggak ada juga... [Pak RT tidak berkomentar]

Aku: enggak ada yah... di mana ya... [aku menungging mencari di laci lemari, namun lagi-lagi Pak RT menubruk halus bokongku. Sarung Pak RT dan Dasterku yang menghalang bersinggungan. Ujung kepala penis Pak RT terus menggodaku]

Pak RT: ada buu?

Aku: Adaaa paakk... ini... [Aku berikan plastik dan karet tersebut sehingga sentuhan itu menghilang seketika]

Pak RT: bisa bantu saya?

Aku: bantu apa? [Aku menyusul masuk ke kamar mandi, mengamati Pak RT yang sedang berusaha menyumbat lubang pipa yang bocor dengan plastik yang kuberikan. Sumbatan di pipa itu sudah diikat karet, namun tekanan air yang deras berhasil menerobosnya. Air pun menyiprat ke mana-mana kami berdua kebasahan. Pak RT terus berusaha keras memegangi dan mengikat kuat, namun tiba-tiba sarungnya kendur dan jatuh ke lantai kamar mandi. Terlihat jelaslah yang menyentuh bokongku adalah batang penis yang sedang mengacung tegak milik Pak RT. Penis tersebut berwarna lebih gelap daripada kepunyaan Pak Yanto. Rambut yang mengelilingi pula lebih sedikit. Aku yang sudah terlanjur melihat, memalingkan wajah.

Pak RT: maaf bu....

Aku: iya gak apa apa... bagaimana pak, sudah? Apa yang bisa saya bantu?

Pak RT: tolong pegangi sumbatannya dulu dengan kedua tangan ibu. Saya mau mengikatnya dengan karet. [Kami bertukar tugas. Aku yang menyangka Pak RT akan mengenakan sarungnya dahulu ternyata tidak. Ia langsung mengikat sumbatan plastik di pipa, tak menghiraukan bagaimana aku tengah curi-curi tatap batang penisnya yang sedang tegang sekali.

Aku: sudah pak? [Pak RT malah menepuk pantatku keras]

PLAAAKKKK | Aaaaahhhhh!

Pak RT: Sudah... itu saja yang belum hehehe. [Pak RT terkekeh. Barulah ia memakai sarungnya. Ia gulung tinggi-tinggi lagi]

Tak lama kemudian. Mas Riko datang. Wajahnya terbingung-bingung memandangi Aku dan Pak RT berduaan di kamar mandi. Sebaliknya Aku hanya terbungkam membisu dalam batin, bahwa semakin sulit menceritakan apa yang telah terjadi hari ini kepada Mas Riko.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd