Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
BAGIAN IV

POV RIKO

Dag-dig-dug-ser, itu adalah perasaan sesungguhnya yang terlukiskan ketika Mirna bergayut birahi dengan Pak Yanto. Aku juga terangsang sebagai suami menyaksikan setiap gerak-gerik Pak Yanto dan istriku selama tak berbusana di Puncak. Aku tidak akan melakukan ini cuman sekali, baik Pak Yanto atau Mirna pasti menginginkannya lagi. Fantasi berbulan-bulan telah rampung total dengan segala dramanya, bahkan aku memiliki video singkat rekaman hubungan badan istriku dan Pak Yanto. Aku simpan baik-baik sebagai dokumentasi penting jika sewaktu-waktu merindukan momen tersebut pada saat kurang bergairah.

Sepulang dari sana, aku dengan Pak Yanto bersepakat bahwa selama aku menginginkan dia untuk bersetubuh dengan Mirna, aku akan selalu membuka jalan tersebut, asalkan ada kehadiranku mengawasi mereka. Pak Yanto menyanggupi dengan senang hati. Baginya ini sudah jauh luar biasa. Impiannya terkabul. Demikian impianku. Pun istriku menikmati disetubuhi oleh pria lain. Kami bertiga semua bahagia.

"Harus bagaimana Pak?"

"Suruh Jajang urus sendirilah", kataku menemani Wawan makan siang.

"Bukannya waktu itu Pak Riko bilang mau bantu Pak Jajang meredam amarah istrinya karena hubungan gelap dengan Rani?"

"Jajang belum ada bilang apa-apa, untuk apa aku repot-repot"

"Bener juga, mengapa Pak Riko yang harus cape-cape", jawab Riko merenung. "Ada tapinya pak..."

"Hmmm, tapinyaa..."

"Apaa? Ada bilang apa Jajang padamu?! Bilang saja, jangan takut..."

"Pak Jajang pengen menjauh dari Rani"

"Kemudian masalahnya?"

"Raninya mengejar-ngejar dia terus, kan Pak Riko tahu sendiri kesepian Rani selama ini yang mengisi Pak Jajang"

"Terus sekarang karena istrinya, ia mau menghilang? Begitu?!"

"Kurang lebih seperti itu", ungkap Wawan menyalakan sebatang rokok.

"Bajul cabul! Sudah kencingin bini orang, mau lepas pergi begitu saja, dikira Rani itu perekny dia apa?!"

"Satu lagi"

"Ada lagi???!"

"Pak Jajang pengen saya menggantikan posisi dia"

"Ganti posisi bagaimana? Kamu jadi kepala gudang?? Ya mana bisa"

"Bukan, tapi aku yang sekarang mengisi kesepian Rani, Pak"

"Gembel, jangan main-main kamu, Wan!", aku terperanjat mendengar kabar dari Wawan. Lekas aku memperingatkan Wawan supaya tidak ikut andil mengikuti keinginan Jajang.

"Bener Pak, sumpah! Jadinya saya nanti kalau ke mana-mana harus nemenin Rani"

"Sudah? Itu bagaimana bisa? Raninya mau? Kegatelan dia"

"Belum Pak, Pak Jajang lagi menyusun rencana, Rani tidak tahu apa-apa"

"Baik, informasi kamu bagus sekali. Saya mohon sekali, kamu tolong jangan ikut-ikutan, dan jangan sampai Jajang tahu mengenai obrolan kita di sini"

"Siyaph Pak Riko"

"Tolong dijaga yaa"

"Amaaan Pak, terkunci rapat"

Kami makan siang bersama saat jam istirahat. Itu rutinitas yang lazim kami lakukan kalau isi kantong memadai. Kepada Wawan, aku turut menceritakan bahwa aku bertemu Pak Yanto kemarin. Dia membenarkan karena ketika ingin berangkat pagi hari tadi bertemu di depan rumah Pak Yanto. Menurut Wawan, warga sekitar menyisakan tanda tanya besar ketika Pak Yanto pergi meninggalkan rumah sehingga rumahnya terlihat seram, gelap, dan sunyi. Apakah penyebab Pak Yanto harus bertolak dari rumah sehingga jarang terlihat? Mereka menduga-duga karena keributan di rumahku terlepas mereka kurang tahu masalahnya. Aku sejujurnya tidak pernah mau tahu gosip yang beredar di lingkungan komplek, kecuali ada seseorang bertanya langsung padaku, termasuk ketika Aku bermasalah dengan Pak Yanto. Sebaliknya Aku ingin Pak RT menutup rapat-rapat masalah ini. Isu yang semakin berhembus sekadar Pak Yanto yang genit berupaya menggoda istriku. Wawan juga kurang mendengar jelasnya bagaimana. Dia tidak ikut mengumbar berita angin tersebut karena masalah pribadi rumah tangga orang. Benar atau tidaknya telah tersebar simpang siur.

"Pantas saja pak"

"Pantas bagaimana?", tanyaku. Kami beranjak meninggalkan rumah makan.

"Pantas Pak Yanto saat di rumah sakit sering kasih saya uang. Dia bilang enggak apa-apa kalau saya mau ngerokok atau ngopi di luar. Asal selalu siap kalau dipanggil"

"Emmmhh..."

"Itu satu dua kali ketemu istri Pak Riko"

"Ada yang dia bilang gak saat itu?"

"Siapa?"

"Pak Yanto"

"Ya itu saja, saya boleh keluar duduk ngisap sebatang dua batang, ngopi. Tapi kalau ditelepon harus tanggap"

"Enggak ada yang lain?"

"Enggak"

"Ya sudahlah, sudah lama, sudah berlalu"

"Saya sempat tebersit istri bapak punya hubungan istimewa dengan Pak Yanto loh pak hehehe"

"Kok bisa?"

"Ya Pak Yanto ini siapanya, kok rela lebih dari sekali mengunjungi pas bapak gak ikut pula"

"Hhhmm itu memang saya yang menyuruh karena saya merasa bersalah. Pak Yanto kan masuk rumah sakit sehabis saya ajak jalan pagi. Apalagi saya masih tetep harus kerja", jawabku mengalihkan pikiran Wawan.

"Hhmmmm begitu"

"Kalau ibu-ibu komplek gunjing informasinya dari mana? Kamu tahu?"

"Beritanya yah? Hnngh... dari ibu saya sih pak. Ya katanya kadang mereka enggak sengaja suka melihat Pak Yanto anteng di warung Bu Aminah bareng istri bapak. Yang kadang melihat juga Pak Yanto mampir nemenin pulang anter barang belanjaan ke rumah. Jarang loh ya ini"

"Iya itu saya sudah tahu, sudah biarkan saja"

"Kalau boleh tahu nih ya, memang masalahnya apa? Saya kepengen menanyakan ini sudah lama sekali, namun takut sensitif. Saya urungkan", berupaya mengalihkan, akhirnya Wawan menembak pertanyaan intinya.

"Masalahnya ya? Haha. Kepengen tahu banget kamu, Wan?"

"Ya enggak juga sih, kalau Pak Riko tidak bisa ya enggak apa, jangan terbebani"

"Lain kali ya, Saya ceritakan"

"Sebisanya Pak Riko, saya juga enggak memaksa", ujar Wawan tersenyum. "Bapak lagi sakit ya?"

"Kenapa bilang begitu?"

"Saya lihat Pak Riko minum obat"

"Emmmh itu obat lambung saya", jawab ngeles.

Kami mengakhiri jam istirahat dengan kembali masuk ke dalam perusahaan. Wawan mempertanyakan masalah yang pernah menimpaku dan Pak Yanto. Sayangnya, Aku tidak bisa memberitahukan. Lagipula Pak Yanto di Puncak kemarin aku ingatkan bahwa masalah kami dahulu jangan sampai ada yang tahu, kecuali Pak RT. Selain itu, Mengenai ia bersetubuh dengan Mirna juga harus dirahasiakan dari siapapun. Pak Yanto menyepakati. Dia mengatakan agar aku tidak terlalu menggelisahkan. Selebihnya Pak Yanto telah kembali ke rumahnya. Ia bisa tinggal dengan tenang tanpa harus dilanda takut berhadapan denganku. Aku sampaikan kepadanya apabila Pak RT bertanya katakan bahwa kami sudah berdamai.

Aku dan Wawan akan bekerja lagi. Ketika hendak memasuki ruangan, dari kejauhan Aku memandang Wawan berpapasan dengan Rani. Mereka terlibat percakapan penuh senyum yang aku tidak bisa mendengarnya. Selanjutnya mereka jalan berdampingan seraya menunjukkan ponselnya ke Wawan. Aku tiba-tiba ingin bergabung dengan mereka. Aku khawatir Wawan memiliki rencana sendiri. Dia mrngabaikan apa yang kuutarakan. Apalagi kalau dia belum punya pasangan alias pacar. Aku perlu buat perhitungan dengan Jajang pulang dari kantor nanti.

Siang Hari Pukul 13.30

Pak Yanto: kangen
Mirna: baru juga kemarin. Enggak malu? Dibaca Mas Riko loh.
Pak Yanto: kan udah dibolehin chat sama kamu.
Mirna: iya tahu deh yang seneng, dah gak ngumpet-ngumpet lagi.
Pak Yanto: tadi kenapa enggak ke warung bu aminah?
Mirna: stok dapur masih ada di kulkas. Masa belanja mulu.
Pak Yanto: biar bisa ketemu kamu. Hehe
Mirna: jangan sering-sering, entar bosen.
Pak Yanto: susah bosannya, malah nagih. Sudah makan siang?
Mirna: sudah.
Pak Yanto: ya sudah aku beli makan siang dulu.

Pak Yanto sekarang leluasa berbalas chat dengan Mirna. Mereka berdua tak harus kucing-kucingan lagi dengank. Syaratnya adalah aku tahu isi percakapan mereka yang lepas ingin membahas topik apa sekalipun mengandung unsur cabul. Malam ini aku berkeinginan mengundang Pak Yanto makan malam di rumah. Mumpung Rengga tengah menginap di tempat temannya. Pasti akan seru. Aku menyangka sepulang dari Puncak fantasi ini akan habis. Justru ingin mengekplorasi lebih dan lebih. Lagipula yang berbahagia bukan hanya aku. Aku masih saja penasaran. Padahal semua sudah terjadi.

Siang Hari Pukul 13.35

Jajang: aku mau minta tolong...
Aku: tolong apa? Kau bukannya bisa urus dirimu sendiri? Heh? Biasanya kau suka meledek aku kan Jang?
Jajang: aku menyerah.
Aku: apa maumu?
Jajang: bantu aku.
Aku: kau yang cari dan buat masalah, bukannya maniskan? Malah pahit jadinya sekarang? Iya?
Jajang: jadinya kamu mau bantu aku tidak?
Aku: aku sampai hari ini masih menganggapmu teman, Jang, walau kemarin berkali-kali kamu berusaha memprovokasiku.
Jajang: soal kemarin aku betul-betul minta maaf. Namun kali ini aku mohon dengan sangat.
Aku: apa yang bisa aku bantu?
Jajang: tolong bantu aku bicara dengan istriku.
Aku: Hmmm....
Jajang: bagaimana? Mau membantuku?
Aku: dengan satu syarat.
Jajang: katakan. Jangan macam-macam.
Aku: jangan tumbalkan Wawan hanya karena kau coba cari selamat dari Rani. Itu syaratnya.
Jajang: kalau itu berat, aku tidak bisa.
Aku: aku pun.

Jajang terjebak dengan permainannya sendiri. Dia kelimpungan. Padahal istrinya tidak jauh berbeda dengan Rani dari segi postur bentuk tubuh. Rani unggul dari segi raut wajah. Lebih muda, energik, dan cantik. Tabiat manusia tidak pernah puas. Jajang perlu wanita lain sebagai sandingan. Apakah ia pernah memikirkan bagaimana jika istrinya tahu? Tentunya tidak. Buktinya ia kewalahan menghadapi istrinya yang berhasrat mengumpat Rani. Istri Jajang tidak terima suaminya harus berbagi kasih sayang. Rani mutlak telah mengganggu rumah tangga orang akibat Jajang kelewat nafsu. Istrinya mengambil tindakan, perlu diberi peringatan. Namun Jajang bersikeras meredam amarah sang istri. Bagaimanapun caranya. Jika tidak, pemecatan adalah buah pahit yang akan dipetik Jajang setelah menikmati buah manis yang telah direngkuh bersama Rani. Berbeda denganku. Berlainan denganku, pahit dulu, manis kemudian. Hehehe.

Jajang telah mengemis pertolongan. Apakah aku akan menolong. Seharusnya ya, dengan sebuah syarat, namun dia keberatan. Bagiku itu keselamatan untuk semua pihak, kendati yang paling dirugikan tetaplah Rani.

Siang Hari Pukul 13.41

Jajang: pulang kantor bisa bertemu?
Aku: untuk apa? Aku tidak akan mengubah penawaranku.
Jajang: kamu dengarkan penawaranku dulu.
Aku: apa penawaranmu? Yang jelas pastinya aku tidak ingin kau mengubah penawaranku. Itu. Jangan kau libatkan Wawan. Atau tidak sama sekali.
Jajang: kamu boleh bertahan dengan maumu itu, tapi coba kau lihat ini. [SCREENSHOT CHAT] (Jajang mengirim beberapa screenshot percakapan via WA antara Wawan dengan Rani. Dari percakapan itu sekilas tidak ada yang aneh dan perlu dicemaskan. Akan tetapi, yang patut dicermati ialah Wawan telah membangun kedekatan hubungan dengan seolah-olah menganggap Rani adalah kakak perempuan baginya)
Aku: maksudmu apa?
Jajang: mereka dekat sebagai teman curhat layaknya adik-kakak. Apa kamu tega?
Aku: sebaliknya mengapa kamu tega mau menumbalkan Wawan, lalu menjauhi Rani setelah kau dapat segalanya dari dia? Cari selamat? Pecundang kau, Jang!

Wawan tidak mengatakan bahwa dia sudah sedekat itu dengan Rani. Aku menduga tidak akan ada gunanya aku memperingati Wawan jika dari dalam diri Wawan tidak mau mendengar. Justru dia telah larut dalam kedekatan itu. Percuma. Aku tidak perlu mewanti-wantinya lagi karena aku bukan orang tuanya. Baik Jajang maupun Wawan, aku tidak akan peduli. Mereka akan menanggung akibatnya masing-masing. Aku mau fokus kerja. Mesti tenangkan pikiran sebentar. Aku izin keluar ruangan.

"Lagi apa Pak?"

"Ini baru dari Warteg, ada apa ini Pak Riko sepertinya penting banget, jarang-jarang telepon siang"

"Hehehe enggak ada apa-apa kok, nanti malam Pak Yanto ada rencana mau ke mana?"

"Wah saya di rumah saja, ini habis bersih-bersih rumah"

"Saya ada rencana main ke rumah bapak nanti malam, boleh?" (Tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku punya rencana lain yang jauh lebih mengasyikkan)

"Rumah saya enggak sebagus rumah Pak Riko, gak ada apa apa juga pak. Hehehe"

"Jangan khawatir Pak Yanto, sekedar silaturahmi apa salahnya. Bapak gak usah repot-repot, yang terpenting stamina disiapin (aku memberi kode).

"Woalaahhh hahahahaha siap, siap Pak Riko"

"Hahahaha"

"Wawan bagaimana di sana? rajin kerjanya?"

"Payah pak"

"Payah bagaimana?"

"Di kantor ada peraturan bahwa sesama pegawai tidak boleh ada yang menjalin hubungan percintaan, Wawan malah lagi dekat dengan seseorang"

"Waduwh, mesti dikasih tahu itu, tapi dia tahu mengenai peraturannya kan?"

"Sudah saya beritahu pak, balik lagi tergantung orangnya mau mendengarkan atau tidak"

"Yaa betul, betul kembali ke diri masing-masing, kalau sudah bebal, gak akan mempan sampai kumur-kumur ngomongnya pula"

"Coba juga bantu kasih tahu pak, si Wawan"

"Emmmm.... iya ya, susah-susah cari kerja, bukannya kerja yang bener malah deketin perempuan"

"Oh ya, Pak Yanto masih rutin berobat?", tanyaku mengenai perkembangan kesehatan Pak Yanto.

"Sudah enggak, selama konsumsi yang sehat-sehat badanku normal"

"Mesti harus kontrol Pak, bapak ada BPJS kan?"

"Adaa"

"Lebih baik mencegah daripada mengobati"

"Betul sih Pak Riko, tetapi saya merasa baik-baik saja sekarang"

"Baiklah kalau memang Pak Yanto merasa baik-baik saja"
"Saya tutup teleponnya ya"

"Baik Pak Riko sampai jumpa nanti malam"

Aku lekas mengabarkan Mirna bahwa nanti malam kita akan berkunjung ke rumah Pak Yanto. Mirna mengiyakan dan apa saja yang perlu dipersiapkan. Aku mengatakan kepadanya bahwa ia mau memasak atau membeli makan malam saja. Pada dasarnya kita akan makan malam bersama Pak Yanto. Akan tetapi, Aku tidak mengutarakan kepada istriku bahwa Pak Yanto juga bermaksud menyetubuhinya pada momen yang sama agar Mirna mengetahuinya sendiri entah Pak Yanto yang memberitahu atau sadar dengan sendirinya. Waktuku bekerja. Aku memusatkan perhatian kepada setumpuk pekerjaanku. Semua masalah sudah ditangani, perlu menunggu bagaimana dampak yang ditimbulkan. Cemas sudah pasti ada. Aku harus bisa mengontrol diri. Terbayang langkah-langkah menjahili istriku malam ini. Apakah ia mau melakukannya? Jadi bergairah. Astaga aku sedang bekerja. Fokus!

"Langsung tanya saja ke Jajang, saya enggak tahu-menahu masalahnya"

"Riko, tolong...., saya enggak tahu mesti ke mana lagi kalo bukan ke kamu, saya sudah susah percaya dengan Jajang, jadi rumit semuanya. Kebanyakan bohong dia"

"Hhhmmm ya mungkin dengan suasana yang santai, tenang, bisa diobrolkan baik-baik. Kasihan anak-anak juga kan"

"Kalau kamu kasihan dengan anak-anak saya, seharusnya kamu bantu, Riko"

"Saya enggak mau mencampuri perkara rumah tangga orang lain, maaf, beribu maaf, tolong dimengerti sekali"

"Hmmm kamu mau uang berapa? Saya beri, asalkan kamu mau menolong saya. Tolong banget Riko... saya mohon... demi saya dan anak-anak..."

Bukan hanya suaminya, tetapi juga istrinya ingin aku melibatkan diri dalam penyelesaian masalah rumah tangga mereka. Padahal aku sedang mengurus pekerjaan. Aku jadi bingung yang mana pekerjaanku, seharusnya juga yang sakit kepala bukan aku, tetapi Jajang. Keparat itu orang. Bikin sakit hati di mana-mana. Harus diberi pelajaran penjahat kelamin seperti dia.

"Baik saya bantu, tetapi bukan saya yang akan membantu secara langsung"

"Terus siapa?"

"Soal uang tadi benar kan?"

"Benar, butuh berapa? Bilang saja"

"Saya perlu hubungi orangnya dulu", jawabku tak ingin berlama-lama tersambung telepon dengan istri Jajang.

Sore hari Jam Pulang Kerja...

Aku berdiri di lapangan parkir perusahaan memandang matahari terbenam beriringan dengan rentetan karyawan yang keluar dengan kendaraannya masing-masing. Aku sedang menanti Wawan yang belum kelihatan batang hidungnya. Aku berharap dengan ini Wawan juga mengurungkan niat terpendamnya yang tidak diakuinya secara jujur kepadaku agar aku pula tidak dikejar-kejar lagi, baik oleh Jajang atau istrinya sekalipun supaya masalah dapat benar-benar beres, tak berlarut-larut. Untung saja masalahku dengan Mirna dan Pak Yanto sudah selesai. Kami sedang memetik bahagianya. Pun malam ini. Aku tidak sabar. Masalah Jajang sedikit merusak. Aku seharusnya tidak perlu tahu dari awal kalau akhirnya bermuara padaku. Ah dongkol!

"Waan, kau bohong yaaa! Belum ada setahun kerja loh kamu!"

"Bohong bagaimana pak, aduh.... aduh...", panik raut muka Wawan ketika aku langsung labrak.

"Kau kubilang jangan dekat-dekat, kau jangan ikut-ikutan Jajang, mau saja diperalat dia! Mau dipecat kau!"

"Maaf pak, maksudnya bagaimana?"

"Maaf, maaf..."

"Ayo ikut aku sebentar"

"Tapi saya sedang buru-buru Pak Riko"

"Buru-buru mau ke mana?! Ketemuan dengan Rani?!!"

"Ppsssssttt... Jangan kenceng-kenceng pak ngomongnya", beberapa karyawan yang berada di parkiran menoleh ke kami.

"Ayo buruan", desakku mengarahkan Wawan ke warung kopi depan kantor. Aku meminta Wawan duduk agar menjelaskan seterang-terangnya mengenai masalah Jajang dan sejauh apa dia sudah terlibat. Wawan menunduk malu. Ia mengakui telah melakukan kesalahan besar semata-mata turut terpikat kecantikan dan kemolekan Rani sebagai perempuan yang tengah jauh dari suaminya. Barangkali penyebabnya karena Wawan sering mendapatkan dan menonton video adegan seks Jajang dan Rani. Bukan sekedar tergiur, dia juga ingin merasakan yang dilakukan oleh Jajang. Kalau dapat durian runtuh, mengapa tidak Wawan menerimanya, menerima operan dari Jajang. Operan selangkangan.

"Ingat aturan di kantor ini saat tanda tangan kontrak? Ingat?!"

"Ingat pak"

"Enggak lupa kan?"

"Enggak!"

"Ayo jelaskan, jujur! awas ketahuan bohong lagi! Ingat Wan! Kau di sini bukan Jajang. Baru seumur jagung! Pecat! Pengangguran lagi kau!"

"Iya saya mengaku salah Pak Riko. Saya mengaku salah, mulanya saya sudah menolak, tapi karena iming-iming yang pernah Pak Jajang alami, dan dipengaruhi terus saya tergoda juga. Laki-laki normal saya pak.. maaf ya pak... tolong maafkan saya... tolong masalah ini jangan diadukan ke HRD... Saya tidak mau dipecat"

"Oke kamu saya beri maaf, tetapi kamu perlu menebus kesalahanmu", aku langsung menyampaikan maksudku kepada Jajang karena sudah ingin segera pulang.

"Bagaimana pak?"

"Kamu mau uang?"

"Jelas mau pak"

"Mau uang apa selangkangan?"

"Kalau bisa keduanya ya dua-duanya"

"Kacau kamu! Pilih salah satu!", seruku

"Uang Pak!"

"Hhhmmm... ini kamu hubungi istri Jajang"

"Untuk apa?", tanya Wawan memerhati isi ponselku.

"Kamu hubungi saja dia. Dia minta tolong kamu supaya bisa membongkar borok suaminya. Karena masalah ini kamu lebih tahu"

"Seandai Pak Jajang mengancam balik saya?".

"Ada saya dan HRD di belakangmu. Jangan cemas. Lakukan saja demi kebaikan orang lain, demi uang, karena istri Jajang akan memberimu uang jika kamu membantunya. Saya kirimkan kontaknya kepadamu"

"Mmmm..."

"Oke Wan, sekarang semua bergantung padamu. Percuma kau sembunyi menutupi, pada dasarnya akan ketahuan juga, lebih baik kau jujur selama bekerja di sini, kalau tidak, kamu tahu kan konsekuensinya?", tanyaku menepuk punggung Wawan, sebelum hendak beranjak pulang.

"Tahu pak, dipecat..."

BERSAMBUNG...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd