Episode 19
Dreadful Calm Before the Thunder Rolls
“Saya, Nadila Cindi Wantari …. Menyatakan lulus dari JKT48.”
Sontak seisi teater kembali terdengar riuh. Nadila yang berada diatas panggung pun membungkuk, memberikan penghormatan kepada seluruh penonton yang hadir. Dia pun melambaikan tangan kearah penonton selepas bangkit. Wajahnya terus melayangkan senyum meski terlihat seperti dipaksakan. Air mata pun semakin banyak meleleh membasahi pipinya.
Pantas saja Nadila memintaku menonton pertunjukkan teaternya hari ini. Ternyata dia ingin mengumumkan sesuatu yang sangat penting. Nadila menyatakan lulus dari JKT48, grup yang sudah tumbuh bersama dirinya selama lebih dari delapan tahun.
Dia terus melambaikan tangannya kearah penonton, sembari memandangi ke arah mereka. Sampai pada akhirnya, pandangan kami bertemu.
“Makasih, ya.”
Setidaknya itu yang bisa kutangkap dari gerak bibirnya saat kami bertatapan. Aku pun hanya membalasnya dengan senyuman. Dia pun ikut tersenyum setelahnya. Senyuman yang sangat manis.
“God, she’s so beautiful tonight.”
.
.
.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Nadila yang mengatakan kegiatannya selesai sebentar lagi membuatku turun menuju parkiran mobil di basemen lantai tiga. Aku pun lantas menunggu didalam mobil, menunggunya turun menyusulku kemari.
Nadila pun muncul keluar dari balik lift beserta tiga orang temannya sesama member JKT48. Mereka terlihat mengobrol sesaat sebelum Nadila memisahkan diri dari mereka. Nadila awalnya berjalan cepat menuju kearah mobilku. Namun, tak lama dia menjadi sedikit berlari.
“Maaf ya sayang, kamu nunggu kelamaan,” ucap Nadila sembari tersenyum saat dirinya sudah masuk kedalam mobil. Nadila benar-benar terlihat amat manis, entah karena dia sedang berada dalam mood yang baik atau aku sendiri yang jarang bertemu langsung dengannya.
Cuph
Tiba-tiba saja Nadila mengecup pipiku. Aku yang kaget lantas menoleh kearahnya.
“Makasih banyak ya, sayang. Kamu selalu ada buat aku,” ungkap Nadila sembari menatap kearahku. Senyum terus terpancar dari wajahnya yang bulat. Melihatnya seperti itu, aku pun ikut tersenyum.
“
Always, Nad …” jawabku sembari mengelus pipinya yang gembil menggemaskan. “Kita pergi sekarang, ya?”
Nadila mengangguk. Kami pun langsung pergi meninggalkan Mall yang sebentar lagi akan menjadi sejarah bagi Nadila. Mall yang selama delapan tahun kebelakang menjadi rumah kedua baginya.
“Jan ….” Nadila yang sedang asik bermain dengan gawainya tiba-tiba memanggilku. “Kita kesini dulu, ya? Aku udah lama pengen kesana.”
Kupelankan laju mobilku dan menoleh kearahnya. Nadila pun menyodorkan layar gawainya tepat kedepan wajahku.
“
Ice cream?” Yang Nadila tunjukkan adalah sebuah kedai eskrim. Jaraknya pun tak begitu jauh dari tempat kami berada. “Larut malam seperti sekarang kamu menginginkan
Ice cream?”
Nadila pun mengangguk. “Dah lama aku pengen kesana, tapi nggak pernah ada waktu. Kamu mau nemenin aku kesini, kan?”
“As you wish, Nad.” Nadila kembali tersenyum lebar mendengar jawabanku. Tak lama, mobil yang kukendarai akhirnya sampai ketempat yang dia inginkan, sebuah kedai eskrim yang tak begitu jauh dari jalan utama. Kami pun langsung berjalan masuk setelah kuparkirkan mobilku tepat didepan kedai tersebut.
Suasana kedai ini terlihat nyaman. Tidak banyak yang berkunjung karena memang sudah cukup larut. Kami pun langsung mengambil tempat duduk setelah selesai membereskan pesanan. Nadila memesan
Strawberry Cheesecake Gelatto sedangkan aku sendiri menunggu kopi yang kupesan diantarkan.
Nadila nampak menikmati eskrim yang dia pesan. Wajahnya tampak bersinar saat lidahnya terus menjilati eskrim yang yang ada digenggamannya.
“Is that good?” tanyaku sembari tertawa kecil. Nadila hanya tersenyum menjawab pertanyaan tersebut.
“Kamu tau nggak, Jan?” Nadila tiba-tiba berucap sembari menatap kearahku. “Aku tuh udah lama banget mikirin buat lulus dari jeketi. Cuman aku masih takut, kalo aku nggak bisa nerusin impianku buat jadi penyanyi.”
Nadila tertunduk sejenak. Kemudian, dia mengangkat wajahnya dan kembali menatap kearahku. Kemudian, dia pun tersenyum. “Beruntung, disekitarku banyak banget yang dukung aku supaya aku bisa lebih dari sekarang. Terutama kamu, Jan.”
Aku pun berinisiatif menggenggam tangan kirinya yang berada di meja. Nadila nampak menoleh kearah tangannya sebelum kembali menatap kearah mataku.
“Aku akan selalu mencoba jadi yang terbaik untukmu, Nadila,” ucapku sembari tersenyum. Kutatap dalam kedua bola matanya yang sekarang sudah terlihat berkaca-kaca.
“Makasih banyak ya, Jan ….”
.
.
.
Perlahan aku membuka mata. Kuusap wajahku seraya mengumpulkan kesadaran. Beberapa saat berpikir, aku baru menyadari jika aku bangun di tempat yang bukan merupakan kamar tidurku. Meski demikian, tempat ini tak asing, paviliun tempat Nadila tinggal.
Sepulang dari kedai eskrim, Nadila lantas memintaku untuk menemaninya semalaman penuh di paviliunnya. Suasana yang amat romantis membuat kami bercinta hampir semalaman. Kelelahan, kami berdua pun tertidur tanpa sehelai kain pun menutupi tubuh kami. Beruntung kami tidur didalam selimut sehingga tubuh kami tetap terlindung dari terpaan AC yang ternyata di set cukup dingin. Terutama Nadila yang mudah sekali terserang masuk angin.
Tubuhku seperti tertindih sesuatu saat mencoba bangun. Saat kutoleh ternyata Nadila masih terlelap disampingku. Dia pun menggunakan bahuku sebagai alas untuk kepalanya.
Kukecup ringan kening Nadila yang terlihat cukup menggemaskan saat tertidur pulas. Sepertinya kecupan tersebut cukup mengganggu tidurnya. Perlahan, Nadila membuka matanya.
“Jam berapa sekarang, Jan?” Tanya Nadila pelan. Matanya terlihat masih setengah terpejam. Namun, bibirnya nampak tersenyum. Senyuman manis yang membuat parasnya semakin terlihat cantik.
“Setengah delapan, Nad.”
“Oh … masih ngantuk …” jawab Nadila manja. Dia pun kembali memejamkan mata sembari memeluk tubuhku dengan lebih erat. Tubuhnya terus menggeliat, seperti mencari posisi yang nyaman untuk bersandar diatas bahuku.
Kubelai rambut Nadila sembari terus mengecup keningnya. Nadila pun semakin merapatkan tubuhnya, membuat kulit tubuh kami terus bergesekan. Nadila sepertinya ingin beristirahat sebelum dia kembali magang pukul dua siang nanti. Lain halnya denganku, yang lambat laun mulai kembali dikuasai oleh nafsu birahi.
Tanganku kini mulai jahil menggerayangi tubuh Nadila. Sembari mengecup wajahnya, tubuhnya yang terasa halus berisi terus kuelusi dengan lembut. Nadila nampak tak menggubris seluruh perlakuanku. Dia tetap tak bergeming. Hingga akhirnya, tanganku sampai kedepan payudaranya. Kuremasi payudara yang bulat itu, sembari mencolek putingnya dengan jari.
Lambat laun, Nadila pun mulai bereaksi. Mulutnya mulai mengeluarkan desahan meski terdengar lirih. Sepertinya, dia pun mulai terangsang.
“Nngghh, Jaan …” lirih Nadila sembari membuka matanya. Sambil merengut, dia menatap tajam kearahku. Hal tersebut sontak membuat jantungku berdegup kencang. Aku malah menjadi takut dia akan marah atas aksiku mesum yang akhirnya kuhentikan.
“Kenapa berhentih?” tanya Nadila sedikit merengek. Respon dari Nadila sungguh tak bisa kuduga. Nadila memejamkan mata saat aku kembali mencium keningnya. Dia pun memegang kepalaku, lalu menarik kearahnya hingga bibir kami pun bertemu.
“Cuuphh … ccllppkk ….”
Dibakar oleh nafsu, cumbuan kami pun berlangsung cukup panas. Tubuh Nadila kini terus menggelinjang menerima seluruh rangsanganku terhadap tubuhnya. Tanganku bergerak dari payudara Nadila, terus turun menelusuri kulit perutnya yang halus, hingga kini berada tepat d ujung vagina Nadila.
“HHmmpp! Ahmmpp … cclkkpp ….”
Dia mendesah kuat hingga cumbuan kami terlepas saat vaginanya mulai kurangsang. Sesaat dia menatap sayu kearahku, kemudian dia kembali menyambar bibirku dengan ganas. Tubuhnya terus menggelinjang seiring dengan semakin cepatnya jariku menggosok klitorisnya. Nadila yang sepertinya sudah sangat terangsang pun ikut menggerayangi tubuhku dengan tangannya.
“Uugghh, Nad ....” Aku melenguh cukup kencang saat Nadila menekan penisku dengan cukup kuat. Nadila yang sepertinya puas melihatku melenguh keenakan kemudian tersenyum nakal kearahku. Dia pun terus mengocok penis yang sudah mengeras itu. Terasa jempol Nadila pun mengolesi kepala penisku dengan cairan pre
cum yang keluar dari ujungnya.
“Jaann …” lirih Nadila saat aku mendorong tubuhnya hingga terlentang diatas ranjang. Aku pun lantas merangkak diatas tubuh Nadila. Sejenak kupandangi tubuh mungil yang tak pernah bosan untuk kunikmati itu. Tak lama, aku pun mulai membuai payudara bulatnya dengan bibir dan tanganku. Kujilati memutar puting payudara kanannya lalu kuhisap dengan cukup kuat.
“Uuuhh … jaann gellihhh ….” Nadila melenguh sembari menggeliat keenakan. Beberapa kali puting kiri dan kanannya kuhisap sebelum ciumanku kembali turun menyusuri tubuhnya. Terus turun hingga kini vaginanya tepat berada dihadapan wajahku.
Pinggul Nadila sedikit menghentak saat lidahku mulai menyeruak membelah lipatan vaginanya. Pahanya terus menekan saat kujilati vaginanya dengan rakus hingga aku harus memegangi kedua pahanya yang tebal itu.
“Ouuhh … Jaanuhhh ….” Sambil menjambak rambutku, Nadila terus meracau nikmat. Tangannya kini terus memegangi kepalaku, meremas rambut serta menekan kearah vaginanya. Cairan bening pun terus mengalir dari liang yang sudah semakin basah itu. Terus kujilati liangnya sembari jemariku ikut menggosok klitorisnya dengan cepat.
“JAann-UUHHH!!!” Pinggul Nadila menghentak kuat. Cairan bening pun meleleh membasahi selangkangannya. Dia orgasme. Tubuhnya terlihat kembang-kempis, saat dia coba untuk menghela nafasnya yang terdengar berat.
Aku pun bangkit dan duduk bersimpuh dihadapan Nadila. Kusibak rambut lepeknya yang menghalangi wajah, seraya menatap matanya yang sayu. Dia pun lantas tersenyum sembari terus menghela nafas.
Beberapa saat kemudian, aku pun mulai memposisikan penisku tepat di bibir vaginanya. Aku pun kembali menatap kearah Nadila, seakan meminta ijin. Nadila yang mengerti hanya tersenyum lemah. Namun, aku mengerti bahwa itu merupakan persetujuan darinya.
“Aawwhh Jaann …” lirih Nadila sembari mendesah saat penisku mulai menjejali vaginanya. Dia memejamkan mata sembari sedikit mendongak, seakan meresapi setiap senti gesekan antara kulit kemaluan kami. Aku pun sedikit melenguh karena dinding vagina Nadila yang berdenyut seakan memijiti penisku didalamnya.
Langsung kucumbu bibir Nadila saat dia kembali menoleh kearahku. Pinggulku pun mulai kugerakkan, memompa penisku keluar-masuk liang vaginanya. Lenguhan dan desahan terus keluar dari sela-sela decak ludah percumbuan bibir kami.
Tubuh Nadila terus menghentak seiring dengan semakin kencangnya penisku menghujam vaginanya. Kuangkat tubuhku atasku sedikit agar kudapat memompa penisku dengan lebih kencang. Kembali, Nadila memejamkan matanya, menggigit bibir bawahnya seakan sedang menahan kenikmatan yang tiada tara. Pemandangan tersebut membuatku semakin bernafsu untuk menggenjot vaginanya dengan lebih kencang.
“Januuhhaahhh ….” Nadila terus mendesah seiring dengan vaginanya yang terasa semakin basah. Aku kembali bangkit, memposisikan tubuhku bersimpuh dihadapannya. Kutarik kedua tangannya kearahku, sembari menahan kedua pahanya agar tetap terbuka lebar membentuk huruf M. Kembali, kugerakan pinggulku dengan cukup kencang, memompakan penisku dengan cepat kedalam vaginanya.
Nadila hanya bisa terpejam sembari meringis menerima genjotanku yang semakin kencang. Ranjang yang menjadi tempat kami beradu nafsu pun ikut berguncang hebat. Payudaranya pun berguncang cukup hebat seiring dengan sodokan penisku. Desahannya pun semakin bertambah liar.
“Uuuhh … jann-AAHHH!!!” Nadila mendesah cukup kencang ditengah sodokanku. Pinggangnya pun menegang, melengkung sejenak seperti busur. Dia kembali orgasme. Pinggulnya pun terasa mengejan saat vaginanya menyemprotkan cairan yang semakin membasahi penisku didalamnya. Kuhujamkan penisku dalam-dalam sembari melepaskan tangannya. Nadila pun menggelinjang keenakan.
Aku pun kembali merangkak diatas tubuh Nadila. Deru nafas terdengar saling bersahutan diantara kami. Keringat pun mulai menetes dari tubuhku. Nadila pun demikian, tubuhnya kini basah kuyup oleh tetesan keringat yang keluar dari tubuhnya.
Kami pun kembali saling berpandangan. Terlihat Nadila tersenyum lemah menatap sayu kearahku. Dapat kupastikan dia puas akan permainan kami. Dia pun mulai membelai wajahku.
“Masih belum, sayang?” tanya Nadila lemas. Aku menggeleng. “Kamu capek? Biar aku yang diatas, ya?”
Tawaran Nadila tersebut hanya kubalas dengan anggukan. Nadila lantas mengangkat kepalanya, mencoba mencium bibirku. Selepas berciuman, kami pun bertukar posisi. Nadila kemudian berjongkok dengan kedua kakinya menghimpit tubuhku yan terlentang.
Nadila lantas memposisikan bibir vaginanya tepat diatas penisku. Dia gunakan tangan kanannya untuk bertumpu kedadaku, sedangkan tangan kirinya menggenggam penisku, mengarahkan penis tersebut untuk masuk kedalam vaginanya. Setelah merasa pas, dia pun menurunkan pinggulnya hingga penisku mulai menembus bibir vaginanya.
“Aahh ….”
Nadila mendesah lirih saat pinggulnya semakin turun. Matanya terpejam, seakan menahan rangsangan yang sepertinya mendera dinding kemaluannya. Dia menghela nafas cukup panjang saat selangkanganku bertubrukan dengan pantatnya.
“Kumulai, ya ….” Sambil bertumpu kepada dadaku, Nadila mulai menggenjot penisku keluar masuk dari vaginanya. Dia goyangkan pantatnya naik-turun. Sesekali dia gigit bibir bawahnya sembari memejamkan mata. Terdengar desahan tertahan keluar dari mulutnya yang tertutup.
Melihatnya bernafsu, aku pun ingin ikut menjamah tubuhnya. Kumainkan payudaranya yang sedikit berguncang akibat goyangan tubuhnya. Dapat kurasakan puting Nadila yang kembali mengeras. Kutekan dan kupilin puting itu seraya sesekali meremas gundukan payudaranya dengan cukup kencang. Hal tersebut sontak membuat Nadila menjadi blingsatan dan tak mampu menahan desahannya.
Nadila kini meraih pipiku. Dia lantas membungkuk serta menjadikan tanganku yang meremasi payudaranya sebagai tumpuan. Dengan penuh nafsu dia pun menciumi bibirku. Terasa bibirnya yang basah terus melumat bibirku, lidahnya pun ikut aktif menjelajah rongga mulutku. Vaginanya pun semakin bergoyang semakin cepat, menggenjot penisku yang semakin basah oleh cairan vaginanya.
Deru nafas Nadila terdengar semakin memburu. Dinding vaginanya pun kembali berkedut. Sepertinya dia akan kembali orgasme. Aku pun memeluk tubuh Nadila, menekan tubuhnya agar semakin merapat. Puting payudaranya yang keras kini terus bergesekan keatas kulitku, semakin cepat seiring dengan pinggulnya yang semakin liar menggenjot.
“NNGGHHMMMPPP!!”
Tiba-tiba saja Nadila melumat bibirku dalam sembali mengerang kencang didalam cumbuannya. Nafasnya terdengar sangat berat. Goyangannya semakin lama semakin melemah, namun diiringi dengan hentakan yang keras. Dia sepertinya orgasme. Tubuhnya sempat menggelinjang sebelum akhirnya genjotannya menjadi semakin lemah. Namun, dinding vaginanya terasa lebih hangat dan basah, mungkin cairan cintanya keluar cukup banyak akibat orgasmenya barusan.
Nadila pun menghentikan genjotannya dan langsung merebahkan kepalanya diatas dadaku. Tubuhnya kembali kembang-kempis seirama dengan tarikan nafasnya yang berangsur pulih. Kuelusi rambutnya yang benar-benar terasa basah oleh keringat.
Nadila yang sudah cukup bertenaga kini menoleh kearahku. “Masih belum mau keluar, Jan?” tanyanya lemas. Aku hanya menggeleng sembari tersenyum. Dia pun kembali merebahkan kepalanya keatas dadaku. Dia sepertinya benar-benar kehabisan tenaga.
“Biar aku bereskan, Nad.” Nadila pun mengangguk lemah. Kuangkat tubuhnya lalu kubaringkan diatas ranjang. Kubuka lebar kedua paha Nadila sebelum kembali memasukkan penisku kedalam rongga vaginanya.
Nadila mendesah keenakan saat aku mulai menggenjot vaginanya. Dia pun lantas memeluk tubuhku. Kami kembali bercumbu mesra. Sambil berciuman, aku pun mulai mempercepat genjotan penis, mulai mengejar orgasme yang sepertinya sebentar lagi akan tiba.
Nafas Nadila kini kembali terdengar memburu. Dia menarik salah satu tanganku, lalu mengarahkan tangan tersebut kedepan payudaranya. Sepertinya genjotanku yang stabil dan cukup cepat kembali membuatnya mendekati orgasme.
“Hmm … ccppmmhh ….” Decak ludah terus mengiringi genjotanku yang semakin kencang. Ciuman kami terlepas saat Nadila melenguh sembari menengadah. Lehernya yang mulus kemudian menjadi sasaran cumbuanku berikutnya. Kujilat dan kucucup kulit leher yang terasa menggairahkan itu.
Rasa gatal diujung penisku pun memuncak. Aku pun semakin kencang memompakan penisku. Liang vagina Nadila pun semakin lama semakin terasa hangat. Desahan Nadila semakin tak beraturan, begitupun dengan nafasnya. Rangkulannya pun semakin lama semakin erat.
“Jaann-NNGGHH!!”
Nadila kembali menggelinjang keenakan. Dinding vaginanya pun terus berkedut. Dia orgasme, orgasme keempatnya pagi ini. Kedutan dari dinding vaginanya pun merangsang penisku nikmat, hingga akhirnya aku pun sampai di puncak kenikmatan.
“GGHHH!”
Kutusukkan penisku dalam sembari menyemprotkan spermaku didalam vaginanya. Nadila sedari malam membiarkanku untuk keluar dimanapun sesuka hati, karena memang dia sedang tidak subur. Kugenjot penisku beberapa kali, memastikan semua spermaku keluar didalam vaginanya yang hangat itu. Aku pun kembali mencium bibir Nadila, dimana dia pun langsung membalas ciuman tersebut.
“I love you, Jan …” ucap Nadila selepas ciuman kami. Tangannya yang lembut ikut mengelus wajahku.
“
Love you too, Nad.”
Sejenak kami pun berpandangan, sembari mengumpulkan mencoba kembali mengumpulkan tenaga. Tak lama, aku pun beranjak dari atas tubuhnya, membuat penisku yang sudah setengah menciut terlepas dari vaginanya.
“Pagi-pagi udah bikin capek, huft!” ungkap Nadila dengan nada kesal. Wajahnya terlihat merengut menatap kearahku.
“Maaf, ya … Nad. Biar kubuatkan sarapan, ya? Kamu istirahat saja dulu.” Nadila pun mengangguk. Dia pun kembali memejamkan matanya. Aku pun bangkit dari atas ranjang, kemudian mulai merapikan diri dan bersiap.
.
.
.
Selepas makan siang, aku pun langsung mengantar Nadila pergi ke tempat magangnya. Nadila yang kelelahan hanya tertidur selama perjalanan kami. Aku pun tak ingin mengganggunya. Kukendarai mobilku senyaman mungkin sehingga membuatnya terus terlelap. Wajah tidurnya sungguh terlihat menenangkan. Sesekali kutatap wajahnya agar tetap tenang menghadapi lalu lintas kota yang cukup menggemaskan ini.
Tak lama kami pun tiba di gedung tempat Nadila bekerja magang. Langsung kuarahkan mobilku untuk parkir di lantai dua parkiran gedung ini.
Nadila sendiri masih tertidur saat mesin mobil kumatikan. Memang tidak ada bedanya, karena sedari tadi aku menggunakan
e-mode pada
G30ku sehingga sedari tadi mobilku hanya menggunakan mesin listriknya. Ingin rasanya kubiarkan dia beristirahat. Namun, waktu sebentar lagi menunjukkan pukul dua siang, waktu dimana jam kerja magangnya dimulai.
“Nad …” ucapku sembari mengguncangkan tubuhnya. “Bangun …. Kita sudah tiba ditempat magangmu.”
Perlahan Nadila pun membuka matanya. “Udah sampe ya?” Aku mengangguk. Nadila pun sedikit menggeliat serta meregangkan tubuhnya. Dia pun lantas memandang tajam kearahku. Bukan marah, memang itu merupakan salah satu raut wajahnya ketika baru terbangun, apalagi ketika dia bangun dalam keadaan masih lelah. Perlu beberapa saat bagiku untuk menyadari hal tersebut.
“Kita beli kopi terlebih dahulu, ya? Mungkin itu bisa membuatmu lebih segar.” Nadila pun mengangguk mendengar ajakanku. Seperti setengah sadar, dia pun mengikutiku pergi ke sebuah kedai kopi yang ada di lobi gedung ini.
Aku pun langsung memesan kopi begitu tiba di depan kedai tersebut. Nadila yang masih mengantuk menyenderkan kepalanya kebahuku sembari berdiri. Beruntung dia mengenakan masker sehingga tak ada satu pun yang menyadari dia merupakan anggota idola ibukota.
Pesanan kopi kami pun selesai. Kuambil kopi tersebut seraya menarik Nadila untuk duduk sejenak di bangku kedai.
“Ini pesananmu, Nad. Seperti biasa.
Iced Cofee Latte.” Matanya terlihat tersenyum sembari meraih minuman kesukaannya itu. Dia pun membuka maskernya, kemudian menyeruput minuman tersebut.
Tap
TIba-tiba saja punggungku ditepuk dari belakang. Suara yang tak asing lantas memanggil namaku.
“Januar Hadiwinata,” sapa pria yang tak lain adalah Bang Renaldy. “Tumben-tumbenan elu anterin doi kesini?” Dia pun mengambil tempat duduk disamping Nadila.
“Beliin gue juga atu, ya?” pintanya sembari cengengesan. DIa pun lantas menoleh kearah Nadila kemudian menggodanya. “
Ciye yang dianterin sama cowoknya ….”
“Apaan sih, Bang Ren.” Nadila pun merengut sembari memukul bahu Bang Renaldy. Mereka pun kemudian bercengkrama dengan akrab. Melihat kelakuan mereka, aku pun teringat akan suatu hal.
Ya, tentang sambungan telepon dimalam itu. Sambungan telepon dimana Nadila menjawabnya sembari mendesah.
“Bang Renaldy, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyaku kepada Renaldy. Mendengar ucapanku, sontak Renaldy dan Nadila kini berhenti bercanda.
“Elu mau nanya apaan, sih? Tanya mah tanya aja, kali,” balasnya sembari cengengesan. Namun, entah kenapa suasana menjadi seperti berat. Bahkan Nadila pun sedikit tertunduk.
Setelah menghela nafas sejenak, aku pun meneruskan pertanyaanku. “
When I called Nadila some days ago, you two had sex, right?”
Renaldy sedikit terbelalak mendengar pertanyaanku. Wajahnya seakan terhenyak. Suasana disekitar kami mendadak seperti hening. Padahal, cukup banyak juga orang yang berlalu-lalang disekitar kami.
“Ka-kamu nanya apaan, si-sih, Jan?” Tiba-tiba saja Nadila menyangkal seluruh ucapanku sembari terbata. Rona ketakutan jelas terlihat dari wajahnya.
“Aku tak bertanya kepadamu, Nadila,” ucapku dingin sembari menatap kearahnya. Nadila pun kembali menundukkan kepala. Jelas, telah terjadi sesuatu diantara mereka berdua. Aku sedikit mengetahui tabiat Renaldy yang suka sekali memanfaatkan keadaan. Apalagi mengenai wanita. Sepertinya, ketakutanku sekarang benar-benar terjadi.
“Maafin gue, Jan.” Bang Renaldy pun mulai berbicara. “Gue ama Nadila emang ada maen dibelakang elu.”
Aku sedikit terhenyak mendengar pengakuan Bang Renaldy. Dia kemudian menjelaskan bahwa hubungan mereka pun berdasarkan
consent antara kedua belah pihak. Tidak ada rasa penyesalan keluar dari mulutnya, hanya pembenaran tentang seluruh aksi mereka selama ini. Selama penjelasan Bang Renaldy, Nadila sendiri terus menunduk. Dia seakan tak berani menatap kearahku.
“Cukup, Bang Renaldy.” Kusela seluruh penjelasan yang diberikan oleh Bang Renaldy, karena itu semua tak mengubah fakta bahwa Nadila telah mengkhianati hubungan kami.
“Sepertinya, kita harus mengakhiri hubungan ini, Nadila.” Nadila yang menunduk kemudian menatap kearahku. Matanya terlihat membulat. Namun, dia seperti tak kuasa berkata apa pun.
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung meninggalkan mereka berdua. Tak kutoleh sedikit pun kearah Nadila dan Bang Renaldy yang sepertinya masih terdiam di meja tersebut. Sembari mencoba tenang, aku terus melangkah menuju tempat dimana mobilku terparkir. Aku ingin segera meninggalkan tempat ini.
Meninggalkan Nadila dengan segala kenangan tentangnya.
.
.
.
tbc