Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Lockdown Corona: Bella

Bimabet
Autor kayaknya ngambek gegara sering disindir soal potato
 
Asik... suhu pasti sedang mempersiapkan lanjutan kisah Bella ini dengan gaya bahasanya yg khas menghanyutkan dengan detil2 yang membuat para fans Bella makin waahhhh
Semangattt suhu
 
"Eh. Tapi Kak Zaki tadi bilang ke aku, katanya ngantuk?" Tanyaku mengada-ngada.
"Tidur dulu aja. Kan pulang bisa gak lewat tol."

Kak Zaki menatapku heran tapi ujung bibirnya tersenyum, seolah senang dengan ideku itu.

"Iya, bener, Zaki."
"Bahaya kalo malem-malem nyetir sambil ngantuk, tuh."
Timpal ibuku.

---

Jam dinding digital kamarku menunjukkan angka 12.14 saat aku melangkahkan kaki keluar kamarku. Di ruang keluarga, Kak Zaki terlihat sedang menonton berita tengah malam. Berwajah segar karena baru selesai mandi, mengenakan kaos dan celana pendek pakaian cadangannya dari kamar Kak Della.

Aku berjalan perlahan, melipir mendekati switch lampu ruang keluarga.

Ctek!
Ruangan mendadak redup, hanya lampu dari dapur dan teras yang menerangi, dan cahaya dari televisi yang redup-terang.

Kak Zaki yang sempat terkejut karena lampu dimatikan tapi kemudian tersenyum saat mengetahui aku yang mematikan lampunya.

"Kamu baru beres mandi?" Tanyanya.

"Ssssst." Bisikku sambil mengacungkan telunjuk di bibirku.

Kak Zaki diam dengan raut penuh tanya. Tapi pertanyaan di benaknya seperti hilang ketika aku berjalan ke arahnya. Matanya nanar melihatku yang hanya mengenakan kemeja tidurku.

cba7364227a762f9ef904df37a216769.png


Bukannya tak ingin tampil lebih seksi, tapi karena aku memang tak punya lingerie. Aku belum dinilai cukup dewasa oleh orang tuaku untuk membeli pakaian seerotis itu.

Aku meraih remot tivi di meja dan mematikannya. Kak Zaki sendiri sepertinya tak peduli berita yang tadi ditontonnya itu aku matikan.

Menghilangnya suara televisi membuat ruangan mendadak hening, menyisakan suara-suara binatang malam dan tetesan sisa air hujan. Nuansa lengangnya tengah malam makin terasa manakala sebuah raungan suara kendaraan yang entah berapa kilometer nun jauh di sana terdengar hingga ke sini.

Aku menghampiri Kak Zaki yang nampaknya masih terheran-heran menatapku. Aku pun duduk, tapi aku tak duduk di sofa, aku duduk di pangkuan Kak Zaki.

"Kamu seksi." Pujinya dengan suara pelan sambil memegangi pinggangku.

"Oh iya?" Tanyaku, sambil kusibak rambutku. Kutegakkan badanku agar kain kemejaku merentang, hingga Kak Zaki bisa melihat puting susuku yang tak berbeha itu mencuat dari balik kemeja putihku.

Kak Zaki menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum, mungkin karena ini pertama kalinya dia melihatku seberani ini. Walau pun tak bisa kupungkiri kalau sejatinya aku cukup was-was takut Ayah dan Ibu bangun, tapi di rumahku, aku tahu resiko apa saja yang mengancamku, tak seperti di kosan atau di rumah Kak Della. Di sini, aku merasa aman dan tahu harus apa yang harus kuperbuat seandainya ada apa-apa.

"Kalo ini. Seksi, gak?" Tanyaku pelan, agar suaraku tak sampai ke kamar orang tuaku. Kali ini sambil kurentangkan kedua paha telanjangku hingga ujung kemeja kedodoranku ini tersibak.

"Hmhhhh." Kak Zaki menghela nafas saat bola matanya menatap selangkanganku yang sudah tak bercelana dalam. Walau pun redup, aku yakin Kak Zaki bisa melihat kemaluanku yang membuka menantangnya.

"Kamu mau ML?" Tanya Kak Zaki, entah sarkastik, bercanda, atau memang serius.

"Engga, Kak." Jawabku sambil tertawa.

Baginya, mungkin ini cara menggoda yang biasa dia lihat saat Kak Della hendak mengajaknya berhubungan suami-istri. Aku sendiri tak punya niat untuk melakukan sejauh itu. Pikirku ketika itu, aku hanya ingin membuatnya senang. Paling tidak, di pertemuan terakhir ini, aku bisa memberikannya sesuatu yang istimewa.

Aku meraih tangannya, lalu kurogohkan ke selangkanganku yang terbuka. Kami pun segera berciuman sementara tangan Kak Zaki membelai-belai dan mengorek-ngorek kemaluanku. Aku sendiri tak mau kalah, kurogoh celana pendeknya, dan kubelai-belai kemaluannya.

"Ayah sama ibu kamu gak akan bangun?" Tanya Kak Zaki beberapa saat kemudian, ketika aku berusaha menarik celana pendeknya turun.

Sesaat, aku diam termenung. Membayangkan seandainya salah satu dari mereka tiba-tiba keluar dari kamar. Setelah kupikir-pikir, seandainya mereka melihatku sedang bernista seperti ini, bisa-bisa aku dibunuh mereka.

"Mau di kamar aja?" Tanyaku, agak memberanikan diri. Bagaimana pun, aku belum pernah mengajak cowok ke kamar untuk tujuan seperti ini.

"Kalo kamu gak keberatan." Jawabnya.

"Aku juga takut Ayah atau Ibu keluar kamar." Bisikku pelan, lantas bangun dan menarik tangan Kak Zaki untuk pergi ke kamarku.

Kamar yang baru kutinggalkan setahun yang lalu ini masih bernuansa anak sekolahan. Ruangan berukuran 3x4 dengan sejumlah pernak-pernik dan tempelan foto-fotoku bersama teman-teman. Kasur, meja belajar, cermin dandan, bahkan lemari bajuku masih bertemakan gadis remaja periang dengan warna-warna pastel yang centil.

"Wangi kamu." Ujar Kak Zaki sambil menciumi udara saat memasuki kamarku.

Aku menuntunnya untuk duduk di kasur, sementara aku pergi menyalakan lagu untuk menyamarkan suara di dalam ruangan ini.

Kuputar lagu paling sendu dari playlist Korea Romantis yang paling kusuka, Every Day Every Moment, lagu yang dinyanyikan Paul Kim. Kak Zaki tertawa, karena mungkin terkejut dengan liriknya yang berbahasa korea, tapi dia mengangguk setuju setelah mendengar beberapa baitnya yang sangat mellow. Setelah memastikan volumenya cukup untuk menyamarkan percakapan di dalam kamar, aku pun beranjak menuju pintu untuk aku kunci.

Clek!

"…
Nega eobs-i us-eul su iss-eulkka
Saeng-gagman haedo nunmul-ina
Himdeun sigan nal jikyeojun salam
Ijeneun naega geudael jikil teni
…"


Lagunya sangat syahdu, hanya saja sayangnya aku tak punya lampu tidur agar kamar lebih romantis. Ruangan mungkin jadi cukup absurd karena lagunya sangat romantis tapi lampu yang menyinarinya sangat terang.

Selesai mengunci pintu, aku pun berbalik ke arahnya, namun kali ini aku berbalik sengaja dengan kancing-kancing kemeja yang sudah kulepas.

Kak Zaki terperangah, menatapku seperti takjub.

Aku tersenyum bangga melihat reaksinya. Nampaknya, tubuhku tak pernah gagal di matanya. Karena sudah cukup percaya diri, aku pun membiarkan kemejaku jatuh dari kedua lenganku.

Untuk kedua kalinya, wajah Kak Zaki terperangah takjub. Tapi kali ini nampaknya Kak Zaki tak lagi bisa menahan ketertarikannya. Dia pun bangun dari kasur dan bergegas menghampiriku. Dipeluknya tubuhku, diciumnya bibirku, digenggam dan diremasnya buah dada dan pantatku.

"Aku perawanin aja ya?" Pintanya, antara serius dan bercanda, sambil menarik tanganku mendekati kasur.

Aku menggeleng dan tertawa.
"Gak boleh."

Dahi Kak Zaki berkerut sesaat.
"Eh, kok "gak boleh"?"
"Itu artinya boleh dong?"

"Eh enggak, enggak, enggak."
Potongku.
"Maksudku "jangan"" Jawabku sambil tertawa.

Kak Zaki tertawa.

"Emang pengen banget ya sama aku?" Godaku, sambil kubelai-belai kemaluannya yang masih berada dalam celana pendeknya itu.

"Aku terobsesi sama cewek perawan."
"Seumur-umur belum pernah ngerasain."
Curhatnya.

"Lah, Kak Della?"

"Della udah diperawanin sejak kapan sama mantannya yang pacaran empat tahun itu."

"Cewek yang lain?"


Kak Zaki menggeleng.
"Udah pada gak perawan."
"Jangankan ngerasain, ngeliat memek perawan aja cuma baru liat punyamu."

"Masa sih?"

"Serius."
"Eh tapi aku tadi belum beneran liat, loh"
"Sekarang boleh liat lagi gak?"
Tanyanya.

Aku mengerutkan dahi mendengarnya.

"Aku gak akan ngapa-ngapain." Ujarnya.
"Cuma liat aja. Aku penasaran, pengen tau bedanya."

Untuk kali itu, aku tak terlalu defensif. Mungkin karena aku berada di kamarku sendiri, kalau Kak Zaki macam-macam pun aku tahu harus berbuat apa.
Maka kemudian aku pasrah saja ketika dia mendorongku ke kasur. Aku tak menolaknya ketika pahaku dibukanya lebar-lebar.

"Aslinya, memek kamu tuh mulus banget." Pujinya.
"Putih, kenceng, kenyal, tembem lagi." Lanjutnya, seraya membelai-belai bibir kemaluanku.

"Kak Zaki mau godain aku apa penasaran pengen liat sih?" Protesku sambil mengangkat kepala. Usapan tangannya cukup merangsangku, aku was-was kalau kemaluanku tiba-tiba basah di depan wajahnya.

"Oke. Oke. Aku liatin aja." Katanya.
Kali ini, aku merasakan bibir kemaluanku dibukanya perlahan-lahan.

"Pink gini dalemnya ya."
"Ini apa sih? Kalo digini-gini, enak gak?"
Tanyanya, sambil mengelus-ngelus balung kemaluanku, dua daging kecil berbentuk seperti mahkota yang seukuran batang korek kayu yang tumbuh di bawah klitorisku.

"Kak Zaki, ihh." Protesku.
"Enak, tapi jangan sambil diliatin."

"Lah emang kenapa kalo sambil diliatin?"
Tanyanya.

Aku diam tak menjawabnya.

"Iya, maaf. Aku lanjut liatin aja." Jawabnya menurut.

Tapi kali ini, mendadak aku merasakan kemaluanku mekar, kedua bibir kemaluanku terasa tertarik ke samping.

"Kaaaak. Mau ngapain ih?!" Protesku, merasakan udara menyentuh lubang kencingku yang jarang-jarang menemukan udara bebas seperti itu.

Dia tak menggubris ucapanku, malahan, pintu lubang vaginaku yang tak pernah sekali pun aku buka mendadak terasa menganga.

"Kamu beneran masih perawan." Ujarnya.

"Emang keliatan?"
"Tau dari apanya?"

"Gak jelas sih, kecil banget lubangnya."
"Tapi ada selaputnya."


Lekas-lekas aku tutupkan pahaku, tak ingin Kak Zaki berlama-lama mengamati kemaluanku.
"Udah, ya." Pintaku baik-baik, karena aku merasa kasihan melihat wajahnya yang tiba-tiba seperti kecewa.
"Jangan sedih gitu, ih."

"Enggak. Aku cuma ngarep aja pengen ngerasain cewek perawan."
Ujarnya seraya merebahkan diri di sampingku, sementara jemarinya bermain-main dengan payudaraku.
"Lagian punya kamu beda banget sama yang lain."

"Beda gimana?"
Tanyaku penasaran.

"Punyamu lebih simpel gitu."
"Gak ada kerutan, gak ada gelambir-gelambir."
"Cuma lemak chubby, terus belah. Gitu aja."

"Eehmmm."
Aku mendeham, merasakan keenakan dari jamahan jemarinya di buah dadaku.

"Putting susumu juga masih imut."
"Pink gini warnanya."
"Cowok-cowok pasti suka."


Aku memiringkan tubuhku ke arahnya, lalu menciumi bibirnya. Permainan jarinya di putingku membuat aku tak tahan.

"Kalau Kak Zaki disuruh milih." Ujarku sambil masih menciumnya.
"Pilih memek aku apa susu aku?"

"Eh. Kok kamu bisa ngomong memek?"
Tanyanya keheranan.

"Mungkin karena aku udah nyaman." Jawabku, padahal memang sebegitu susahnya kata-kata itu keluar dari mulutku.
"Jadi, Kak Zaki pilih mana …"

"... pilih memeknya Bella atau susunya Bella. Hmhhh."
Bisikku sambil mendesah di telinganya. Rasa-rasanya, ini kali pertama mulutku bisa bicara sevulgar itu. Walau pun masih terasa mengganjal di lidahku karena belum terbiasa, tapi aku sangat merasa terangsang saat mengucapkannya.

"Kalo tangannya Zaki mau pilih susunya Bella." Jawabnya, balas berbisik di telingaku.
"Tapi kalo kontolnya Zaki mau pilih memeknya Bella."

"Hhhh.. Apah. Aku gak dengerhhh."
Bisikku sambil sambil mendesah. Tak kuat mendengar kata-kata erotis itu dari mulutnya, dengan tergesa-gesa aku menarik celana Kak Zaki, bahkan sampai kudorong dengan kakiku agar celananya lepas dari kakinya.

"Kontolnya Zaki pilih memeknya Bella." Bisiknya, sambil membiarkan aku naik ke atas tubuhnya.

"Hhh.. Kontolnya Zaki sukahh sama memeknya Bella? Hhhh." Tanyaku, sambil memaju mundurkan bibir kemaluanku yang sudah mengapit batang penis Kak Zaki.

"Suka bangeth."
"Memeknya Bella enak bangeth."
Jawabnya dengan mendengus.

Sejurus kemudian, aku sudah menunggangi Kak Zaki. Kali ini tak perlu ditarik dan didorong tangannya, aku sendiri yang melakukan semua itu. Tangan Kak Zaki jadinya lebih bebas, terkadang meremas payudaraku, terkadang meremas pantatku.

All With You yang dinyanyikan Taeyeon dari speaker bluetoothku terasa syahdu mengiringi dua kemaluan yang saling menggesek, menggisil, menggosok. Tak hanya aku yang berada di atas, sesekali Kak Zaki mendidih tubuhku.

Lima belas menit berlalu, kamarku yang biasanya dingin dan berudara segar sekarang sudah hangat dan lembab oleh uap keringat birahi. Kasurku yang biasanya tertata rapi, sekarang sudah kusut terkelut-melut oleh pergulatan syahwat. Aku dan Kak Zaki sendiri sudah menyudut di pinggir kasur, terdorong-dorong, terseret-seret oleh nafsu. Kami berdua bergelut telanjang, berbelit lidah, tangan, dan kemaluan.

Ketika itu, aku tengah asyik dalam terjangan gairah Kak Zaki. Aku terlentang dengan kedua tangan terentang, sementara Kak Zaki dengan sengaja menahan tanganku agar dadaku terbuka tanpa perlindungan. Bibirnya menyucup-nyucup, mencerup-cerup, menyedot-nyedot buah dadaku dan putingnya, sementara batang penisnya memijat-mijat, menyerut-nyerut klitorisku, membelah-belah bibir kemaluanku. Tak tahan dengan kenikmatan yang menyerangku dari berbagai arah, tubuhku mengeliang-geliut bak cacing kepanasan. Hingga entah bagaimana ceritanya, pada suatu ketika, geliat tubuhku membuat kepala penis Kak Zaki tersangkut di pintu lubang vaginaku.

"Ah!" Aku mengaduh.

Untuk beberapa saat aku terdiam saling bertatapan mata dengan Kak Zaki. Rasa-rasanya, sepersepuluh pintu vaginaku terdorong kepala penisnya. Penisnya yang lembut, panas, dan licin membuat benteng pertahanan terakhirku itu merekah.

Di saat diam itu, tiba-tiba Kak Zaki mendorongkan penisnya.

"Hhhhhhhaa!" Nafasku mendadak tersekat.
"Kak! Jangan!" Jeritku tertahan dan refleks meronta.

"Tapi kok kamu kayak yang keenakan?" Tanyanya.

Aku tak menjawab.
"Jangan." Pintaku, menggelengkan kepala dan sedikit memelas.

Entahlah, mungkin tadi aku memang sempat merasakan sesuatu yang enak, tapi hanya sekejap, sepersekian detik sebelum akhirnya aku tersadar.

Tak ingin alur kemesraannya rusak, Kak Zaki menarik kembali tubuhku yang sempat menjauh karena meronta tadi. Dengan kedua pahaku yang terbuka, Kak Zaki duduk sama membuka pahanya hingga kemaluanku dan kemaluannya berhadap-hadapan.

Dengan was-was, aku membiarkan tangan Kak Zaki mengarahkan batang kemaluannya ke arah kemaluanku. Dibelaikannya bibir kemaluanku dan klitorisku dengan penisnya yang licin itu.

Terbuai dengan kenikmatan, kekhawatiranku mereda.

Tapi di saat aku lengah, penisnya kembali tersangkut di pintu lubang senggamaku.

"Hhhhhhhaa!" Nafasku kembali tersekat, jantungku seolah berhenti berdetak.
Kali ini, dengan jelas aku merasakan kelembutan kepala penisnya yang merangsek, membuka seperdelapan pintu vaginaku. Panas kemaluannya terasa menggiggit-gigit pintu vaginaku dan bibir luar kemaluanku yang mencapit kemaluannya, licin kemaluannya terasa seperti belaian yang sangat nikmat.

Entah berapa detik aku diam terpana, sampai akhirnya kudorong tubuh Kak Zaki mundur.

"Kak Zakiii."
"Jangan dimasukiin."
Pintaku, memohon dan memelas.

Wajah Kak Zaki tampak kalut, sepertinya dia bingung karena di satu sisi, mungkin itu kesempatan buat dia merasakan lubang senggama seorang gadis perawan, di sisi lain, tentu saja dia tak bisa berbuat setega itu padaku.

Aku sendiri mendadak merasa sedih dan merasa bersalah.

Aku memajukan kembali tubuhku, kuraih penisnya dan kubenamkan dalam belahan kemaluanku. Sampai menyentuh pintu vaginaku, aku diam menatap wajahnya.
"Sampai sini aja, ya." Ujarku, memberinya kesempatan untuk merasakan himpitan pintu vagina perawanku.

"Boleh aku gerakin?" Tanyanya dengan hati-hati. Sepertinya dia khawatir aku akan memarahinya.

Aku mengangguk.
"Asal jangan sampe dalem."

Kak Zaki memundurkan penisnya, lalu maju, lalu mundur, lalu maju.

Diam-diam, aku merasakan sensasi kenikmatan yang lain dari pompaan penisnya. Permukaan dalam bibir kemaluanku yang terseret-seret, serta tekanan kepala penisnya yang menyundul-nyundul pintu vaginaku, rasanya membuat syaraf-syaraf penerima rangsangan di sekujur relung senggamaku terstimulasi.

"Seberapa dalem?" Tanyanya.
"Segini?"

"Hhhhhhhaa!"
Lagi-lagi nafasku tersekat, tubuhku mendadak kaku seketika.
"Ahhhhh." Jeritku tertahan, kali ini bukan karena terkejut, aku menjerit menahan nikmat.

Setengah kepala penis Kak Zaki rasanya sudah tenggelam dalam himpitan pintu vaginaku. Mungin saat ini, setengah pintu vaginaku sudah berhasil dibukanya. Tapi sungguh kali ini aku tak kuasa menolaknya. Kelembutan dan kehangatan kepala penisnya seperti buaian yang mengayunkanku ke batas langit. Rasa kepala penisnya yang tersumpal di mulut rongga senggamaku itu malah terasa menggelitik, bahkan pintu vaginaku yang dipaksa meregang itu bukannya terasa sakit, justru terasa digerogoti ribuan rayap yang sangat nikmat.

Aku membuka mata, menatap Kak Zaki, dan menggelengkan kepalaku, memintanya agar mencabut penisnya dari pintu vaginaku.
"Aaaaaaaaaah!!!" Aku kembali menjerit saat Kak Zaki menarik penisnya keluar dari kemaluanku. Lagi-lagi, aku menjerit bukan karena terkejut atau sakit, aku kembali menjerit karena menahan nikmat.

Tanpa aku sadari, aku menemukan diriku sedang terengah-engah, padahal Kak Zaki barusan bisa dibilang penisnya hanya terselip saja, dan bahkan itu pun hanya dalam satu gerakan.

---

Segini dulu, ya. Maaf, rupanya masih bersambung. Aku kejebak sama hal detail, jadi kepanjangan, tapi moga aja semuanya pada suka ya.


Kakak Gia......mana sambungannya nih
 
maha karya @giaraini ini paling saya sukai.. mengalir menghanyutkan, membawa emosi dan gairah dengan halus tapi menggemaskan. membuat penasaran dan jadi ingin dan ingin selalu mengikuti lanjutannya.. ruarrrrr biasa..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd