Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
BAGIAN 19



Yarna. Sebuah nama yang di dalamnya tentu terdapat makna, harapan, dan doa. Kulit eksotis dengan tubuh atletis menambah kesan seorang petarung. Pakaian dengan bagian-bagian yang terbuat dari material yang kuat guna melindungi organ vital yang ada di baliknya. Rambutnya yang keriting menjadi salah satu ciri khas penduduk sini.

Meski outfit yang dikenakan lebih tertutup dan beberapa bagian saja yang terbuka, itu jauh lebih pantas daripada outfit yang kukenakan. Setidaknya bagian tubuh di bawah leher sampai lutut tertutupi. Sedangkan punyaku, mana buah dada kelihatan mencolok dan selangkangan cuma dibebat dan dilingkari oleh kain dari kulit yang kecil. Kalau sedikit melorot, rambut pubisku bakal mencuat keluar. Kalau ditarik sedikit ke atas, kemaluanku yang kelihatan. Aku jadi serba salah. Memang benar apa yang tadi dikatakan Toni. Pilihannya aku telanjang atau aku pakai pakaian ini. Meski kesannya memaksa, tapi ya gak segitunya kali. Masa iya dia tega bawain aku pakaian minim dan super terbuka kayak begini? Aku sih gak berpikir dia sengaja bawain ini buat aku. Mungkin di desa ini pakaian yang tertutup itu ya pakaian buat perang seperti yang dikenakan Yarna. Pakaian penduduk di sini memang terbuka. Tidak terlalu berbeda dengan daerah Indonesia lainnya yang memang kebanyakan terbuka karena daerah tropis. Memang ada beberapa wilayah pakaian adatnya telah mengikuti syariat islam, seperti Aceh.

Dalam perjalanan kembali ke desa, Yarna ternyata sedikit bisa berbahasa Indonesia. Meski bicaranya terbata-bata, tata letak kata yang tidak tepat, dan memiliki sedikit kosakata, aku dapat memahaminya. Dia bercerita, bahwa dia dari kecil memang ingin sekali menjadi petarung. Ayahnya seorang pendekar yang gugur di medan perang melawan suku lain. Aku menuturkan bela sungkawa atas meninggalnya ayah Yarna. Semasa hidup, ayahnya mengajari seni bela diri dan tenaga dalam. Kalau ibunya seorang pedagang di pasar. Dia anak semata wayang. Sebenarnya dia punya kakak, tapi sudah meninggal waktu masih balita karena wabah yang dulu melanda desa. Dia juga bercerita, sesampainya di desa, Yarna akan membantu untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada kerusuhan. Dia pun meminta kesedianku untuk membantu upacara sakral. Aku jawab dengan anggukan.

Matahari hampir tenggelam. Cahayanya yang memendar tampak indah. Bias-biasnya menembus dedaunan dan pepohonan rimbun di sekeliling kami. Dari arah kanan, tampak kumpulan awan kumulonimbus yang disertai angin berhembus kencang. Beberapa daun dan ranting berjatuhan. Kilatan-kilatan petir dan suara gemuruh menandakan kalau sebentar lagi akan turun hujan.

“Yarna, kita berteduh dulu yuk?” ajakku.

“Ber … teduh? Sana … gua. Dekat. Mari ikut,” ujarnya seraya menunjuk arah.

Akhirnya, kami menuju ke gua tersebut. Hujan pun turun. Guyuran air hujan terus menghujami tubuh kami. Yarna berjalan mendahuluiku.

Puluhan meter kulalui. Aku memperlambat laju kaki hingga berhenti pada satu titik. Aku tidak sanggup lagi untuk berjalan. Bukan karena kelelahan, namun, karena pandanganku semakin buram melihat keadaan sekitar, karena hujaman air hujan, suhu dingin, serta kabut yang terus menyelimuti hutan ini.

Aku berjongkok di tengah jalan setapak ini. Tubuhku menggigil kedinginan, tangan kusilangkan mendekap bagian dadaku. Dalam derasnya hujan, samar-samar aku dengar suara Toni memanggilku, namun aku urung bergerak. Dalam keadaan sekarang, sangat berbahaya untuk terus melangkah. Salah langkah aku bisa celaka. Cahaya mentari yang minim karena terhalang oleh mendung yang tebal. Meski demikian, aku tahu kalau di tepi kanan sepanjang jalan ini terdapat jurang yang di bawahnya membentang sungai yang panjang.

Beberapa saat, terasa sentuhan tangan berada pundakku.

“Ayo.” Dia mengulurkan tangannya, lalu dengan cepat aku memegang tangannya. Ia menarik hingga aku kembali berdiri. Kami pun kembali berjalan sambil digandeng oleh tangannya.

Cukup jauh kami berjalan. Entah sudah beberapa langkah aku berjalan. Kondisi hujan tak kunjung mereda. Sesekali Yarna menoleh ke arahku.

“Masih jauh?” tanyaku. Aku tidak tahu, kata “dekat” menurut dia itu seberapa jauh. Bagiku ini terlampau jauh.

“Itu,” katanya menunjuk ke arah jam sebelas ketika kami tak melewati jalan yang di sampingnya tak berjurang.

Suasana hutan yang diselimuti kabut ini terasa sepi dan menakutkan, hanya terdengar suara air hujan, kilat petir, dan gesekan antara rerantingan pohon. Kok, jadi horror gini, ya? Mirip film-film hantu di bioskop saja. Hawa dingin terus menusuk kulitku. Sinar matahari mungkin telah terbenam di ufuk Barat.

Dari penglihatanku yang serba terbatas, di sebelah sana kulihat samar-samar wujud sebuah pintu gua yang terapit di dinding bebatuan. Kami harus melewati semak belukar untuk menuju ke sana.

“Yarna, itu ya guanya?” tanyaku menunjuk ke arah jam dua belas.

“Iya.”

Ini ide yang bagus. Lebih baik berteduh dalam gua daripada melanjutkan perjalanan. Aku tidak menginginkan badanku yang jadi sakit karena masuk angin. Seluruh tubuhku sudah basah kuyup. Pakaian yang kukenakan juga basah.

Yarna melepas pegangan tanganku. Dengan senjata di tangannya, ia membelah semak-semak untuk membuka jalan. Aku berjalan mengekor dari belakang. Kedua tanganku ikut menyingkirkan dedaunan yang menghalangi jalan. Dengan hati-hati, kami berjalan pelan-pelan menyusuri semak belukar. Meski sudah berusaha menyingkirkan daun, tentu masih banyak sebagian kulitku yang bergesekan dengannya. Beruntung daunnya bukan dari keluarga rumput-rumputan yang tepian daunnya tajam.

Selepas itu, kami pun berada di depan mulut gua. Aku rasa di sekitar sini tidak ada orang selain kami berdua. Aku khawatir ada orang seperti dua orang yang mencabuliku dan hampir memperkosaku. Dan, sepertinya Toni dan teman-temannya masih berada jauh di belakang. Aku tidak tahu pasti, mereka berteduh juga atau melanjutkan perjalanan. Aku juga tidak terlalu khawatir, karena sekarang ada Yarna. Setidaknya, aku punya orang yang bisa jagain aku dari orang asing maupun hewan liar.

Pergelangan tangan kananku dipegang lalu ditarik perlahan menuju ke arah mulut gua. Yarna berpikiran hal yang sama dengan yang ada dalam benakku. Ya, itu sesuai dengan yang kuharapkan. Di luar masih hujan dan semakin gelap. Gawat juga kalau dipaksain kembali ke desa. Aku tidak terbiasa dengan air hujan, takutnya flu dan demam.

Sekarang kami berdua berjalan memasuki pintu gua. Ukuran mulut guanya cukup tinggi, mungkin sekitar dua meter dengan lebar sekitar satu setengah meter. Namun, ketika masuk, ternyata bagian dalam gua cukup banyak ruang. Kuperkirakan luasnya seluas kamar ART di rumah yang sekarang jadi gudang. Kecil sih tapi cukup untuk berteduh daripada harus menerjang hujan di luar. Apalagi dengan pakaian minim seperti ini dan tentunya basah kuyup terbilas air hujan. Di dalamnya pun masih bisa mendapat sedikit cahaya dari luar yang masuk melalui mulut gua.

Di bagian dalam, aku dapat melihat keseluruhan tiap sudut-sudut gua. Ada yang kurasa aneh dari gua ini, tampak ada bekas api unggun di tengah-tengah ruang. Di pojok juga terdapat beberapa tombak dengan mata bilah yang terbuat dari bebatuan yang runcing. Spekulasi mengemuka di dalam hati, gua apakah ini? Namun, kulihat raut muka Yarna tidak menunjukkan adanya kekhawatiran. Jadi, aku rasa tampaknya gua ini tempat yang aman.

Terdengar suara humming Yarna yang menyusun nada-nada indah. Aku kurang paham tentang musik, mungkin lagunya dimulai dari tangga nada mayor, karena terdenger menyenangkan. Ya, barangkali saja suasana hatinya memang lagi senang. Entah apa yang lagi dia alami dan dia rasakan, mungkin kalau sempat nanti aku akan tanya deh. Kembali lagi mengenai gua ini, dari sudut pandangku, Yarna terlihat tidak asing dengan gua ini. Sebagai seorang pejuang, sikap waspada mungkin akan menjadi hal utama, apalagi ketika berada di suatu tempat baru yang asing. Tetapi yang kulihat wajah Yarna tetap tenang, sesekali kulihat bibir yang tersenyum dari raut mukanya.

Memang sih, dari pengalamanku selama beberapa hari tinggal di desa, tampak perilaku dari penduduk desa yang ramah dan murah senyum walaupun berhadapan dengan orang asing. Tidak terkecuali dengan Yarna.

Kulitnya khas penduduk desa yang berwarna coklat agak gelap, dengan garis wajah yang tegas. Kalau tebakanku benar, umurnya mungkin tidak jauh berbeda denganku. Badannya lebih tinggi dari aku, mungkin selisih belasan centimeter. Kayaknya tingginya sepadan dengan Arya. Tipikal tubuhnya mirip laki-laki menurutku, terlihat dari pundak yang tegap dan otot tangan serta lengan yang menonjol. Tetapi yang agak aneh suaranya imut banget, hihihi. Beberapa bekas luka sayat tampak dari beberapa bagian kulit yang tidak tertutup pakaian adat. Jelas sih, dia merupakan prajurit sejati dengan pengalaman perang yang tidak sedikit.

Aku masih diam tertegun melihat Yarna. Jikalau dia laki-laki, mungkin dia akan jadi sosok yang suami-able banget buatku. Ehh!! kok aku malah berpikir yang aneh-aneh ya. Hihihi.

Yarna kemudian terlihat berjalan sekeliling mencari sesuatu. Aku masih berdiri diam sambil melihat kondisi di sekitar gua ini. Kemudian Yarna membawa satu sampai dua buah ranting yang kemudian dia gesek berputar dengan dahan kayu yang pipih. Oh dia akan menghidupkan perapian.

"Asyikk!!” Aku berteriak riang dalam hati. Kondisi gini memang asyiknya buat api unggun untuk menghangatkan badan. Pakaian yang kukenakan dan rambut juga basah, jadi sekalian mengeringkannya.

Beberapa menit aku melamun lalu tersadar karena suara percikan apik. Cepet banget ya Yarna membikin perapian. Ya mungkin penduduk desa sini sudah terbiasa membuat api dengan cara sederhana, apalagi belum ada listrik dan teknologi dari luar pulau. Kalau aku yang suruh buat, mungkin sejam pun gak akan jadi apinya, hehe.

Suara gemeretak dari kayu yang dilalap api membawa ke suasana lain. Desis angin dan suara hujan mengguyur hutan adalah alunan yang menemani kami. Kulihat Yarna datang ke arahku, memegang pergelangan tangan tangan kananku, mendekatkanku ke perapian. Diajaknya aku duduk di alas yang terbuat dari tumpukan jerami dan daun pisang.

Sekarang kami berdua duduk berdampingan di dekat perapian. Posisiku sekarang sedang duduk berjongkok dengan lutut yang ditekuk dan saling merapat, tapi lama kelamaan aku mulai berani dengan sedikit merenggangkan kaki lebih lebar. Toh, hanya aku dan dia saja. Memang, kalau dilihat-lihat mungkin kurang sopan. Kemaluanku tepat menghadap ke arah perapian. Tapi, ah bodo amat, setelah pengalaman buruk yang baru saja menimpa, aku hanya ingin bersantai sekarang, merilekskan badan dan wasting time for me time.

Hmmm, hangatnya pancaran radiasi dari perapian ini. Kedua tanganku pun kujulurkan agar ikut merasakan kehangatan. Bunyi air hujan di luar dan bunyi percikan api yang membakar kayu membuat suasana senja yang syahdu. Hmmm nikmat banget deh.

Kami berdua terjebak dalam kondisi di luar yang hujan deras dan berkabut. Aku sekarang memikirkan Toni dan teman-temannya. Kira-kira sekarang mereka sampai mana ya? Entahlah, mungkin sudah sampai desa kali. Aku ingat kalau sekarang adalah ada ritual yang diadakan selama 49 tahun sekali dan tak lama lagi akan segera dihelat. Melihat keadaan sekarang, aku tidak memaksa untuk melihatnya namun kalau kondisi lebih kondusif untuk sampai ke desa, aku pasti berniat untuk menghadiri dan melihatnya. Ritual 49 tahun tidak mungkin hanya ritual suku biasa, pasti ada hal-hal yang istimewa di dalamnya.

Pandanganku sekarang tertuju pada api unggun di depanku, entah mulai kapan di atasnya ada kuali. Kayaknya Yarna sedang memasak sesuatu. Entah makanan atau minuman. Aroma dari kepulan uap dari dalam kuali itu tercium oleh hidungku, aromanya seperti perpaduan jahe dan sereh.

Oh, iya. Setelah kupikir-pikir, gua ini kemungkinan besar adalah basecamp dari para prajurit. Mungkin saja saat aku diculik kakek-kakek mesum, Yarna dan teman-temannya mendengar jeritanku. Soalnya dari tebing di depan gua tadi bisa melihat sungai tempatku terdampar. Dugaan yang menguatkanku adalah adanya beberapa persenjataan dan tumbuh-tumbuhan yang mungkin dijadikan P3K ketika terluka. Walaupun luas ruang di gua ini tidak terlalu besar, kayaknya gua ini bisa muat sekitar empat atau lima orang deh.

Menit demi menit berlalu, kulihat Yarna sedang mengaduk ramuan yang ada di dalam kuali.

Eh!!! Itu kenapa Yarna malah telanjang? Sejak kapan?

Aku kaget dong, dia tiba-tiba gak pakai baju. Mungkin karena terkaget, Yarna menoleh ke arahku hingga menyedot atensinya. Ia tersenyum, kemudian lanjut mengaduk. Mungkin wajahku saat kaget melongo kali ya.

"Ah!! Kenapa, sih, aku malah banyak ngelamun?" bisikku dalam hati seraya mengelus dahiku dengan tangan kanan.

"A … da apa?" tanyanya terbata-bata.

"Tidak ada apa-apa, hahaha."

Yarna ikut tertawa. Ini pertama kalinya aku melihatnya tertawa. Meski bukan orang modern sepertiku, giginya termasuk bersih.

Sekarang aku malah melototin Yarna. Sambil mengaduk isi kuali sesekali dia melempar senyum padaku. Aku amati dengan seksama tubuh telanjang Yarna. Payudaranya kecil, mungkin lebih kecil dari punya Ria. Tapi bukan berarti datar kayak cowok loh ya, dia tetap ada sisi feminin. Mungkin cup A. Bentuk putingnya samalah kayak punyaku. Warnanya coklat kehitaman. Begitu juga areolanya. Eksotis.

Pada bagian pantatnya pun tidak besar, malah terkesan flat buatku. Namun, yang agak sedikit terkejut, yaitu ketika Yarna berdiri di seberang kuali dan menghadap ke arahku. Tidak kusangka, selangkangannya bersih tanpa bulu. Aduh, aku malah insecure, soalnya akunya tidak pernah mencukur bulu kemaluan. Haha.

Melihat tubuh telanjangnya, ada pikiran aneh di benakku. Pertama, aku beranggapan kalau bentuh tubuhku lebih indah dari bentuk tubuhnya. Bentuk payudara dan pantatku lebih sekal. Jelas laki-laki bakal lebih horny melihatku, sih. Kedua, aku kok ada pikiran ingin memegang dan meraba tubuhnya.

Duh Anggu!! aku malah kepikiran hal-hal mesum kaya gini. Nggak!!! Nggak boleh!!! Aku sombong menganggap diriku lebih bagus dari dia. Padahal, aku sangat tahu kalau tiap wanita memiliki karunianya masing-masing. Ingat ya, sombong itu termasuk teman setan.

Hmmm … kalau boleh jujur, perasaanku sekarang sangat bergejolak. Ada trauma atas kejadian pemerkosaan yang dilakukan oleh dua pria tua. Namun, di sisi lain ada semacam gairah terlarang yang tiba-tiba muncul. Dan … aku mulai menikmatinya. Uggh, parah!! Prinsip-prinsip yang kupegang telah ternodai ketika aku tiba di pulau ini. Bibit-bibit perangai dalam diriku mulai melenceng. Aku tidak mengira, hanya dalam waktu dua hari sudah dapat pengalaman baru yang boleh dibilang … hmmm aku sampai sulit mengatakannya. Ya, kalian tau sendiri deh, Ketika aku sedang horny aku seperti lupa segalanya. Aturan agama, wejangan dari orang tua, dan bodohnya aku bahkan seperti membiarkan gairah ini menyelimuti dan merasukiku. Aku seperti pasrah tenggelam dalam lautan birahi. Apakah aku menyesalinya? Entahlah aku saja bingung untuk menjawabnya sekarang.

Sekejap, dalam riuhnya suara gemeretak kayu yang dimakan api berpadu dengan suara hujan, samar-samar aku dapat mendengar suara azan.

"Hah, suara adzan?" dalam hati aku keheranan. Meski tidak begitu jelas, aku yakin itu adalah suara seruan untuk memanggil salat. Karena suaranya pelan, aku sampai menoleh ke kiri-kanan untuk mendengarkan sumber suara tersebut. Aku yakin suara itu bukan dari arah luar gua. Aneh sih, aku bisa mendengar suara azan di dalam gua. Masa itu suara Jin? Gak mungkin ah. Ini bukan mimpi, kok. Aku sampai menepuk-nepuk pipi kiriku, mengucek mata guna memastikan suara azan itu nyata dan berharap kalau pengalaman di pulau ini adalah mimpi buruk dan aku terbangun di tengah gema lantunan suara azan. Tetapi aku harus kecewa, ternyata aku tidaklah sedang bermimpi dan ini merupakan realita yang sedang kualami.

Beberapa saat kemudian, Yarna berjalan ke arah pojok gua. Sesampainya di sana, dia merogoh sesuatu di dalam sebuah tas berbahan kulit hewan, lalu mengeluarkan sebuah benda yang sangat familiar.

"Eh, Itu HP-ku," ujarku.

Yarna kemudian balik badan berjalan arahku, lalu menyerahkan HP itu. Ketika aku menerima HP-ku, seketika itu juga tanpa kusadari sepasang mataku berair dan pandangan mataku memburam. Air mataku merambat di pipi lalu jatuh menetes. Ternyata suara azan itu berasal dari aplikasi pengingat waktu salat yang terinstal di HP-ku. Suaranya mungkin tidak dapat terdengar jelas karena tertutup oleh tas kulit itu.

Mendengar suara azan ini bagaikan tamparan keras karena mengingat kelakuanku yang seperti hanyut di kuasai nafsu setan, bahkan meninggalkan ibadah salat dzuhur siang tadi. Aku malah bertelanjang di hutan, kemudian dilecehkan oleh dua laki-laki tua bejat. Air mataku terus mengalir sambil sesenggukan mengingat perlakuan kedua laki-laki tua tadi.

Sungguh, melepas jilbab saja aku sudah malu, apalagi telanjang sampai berbuat zina sedemikian rupa dengan orang yang bukan muhrimku. Aku tidak tahu berapa besar dosa yang kuperbuat. Apakah aku terampuni? Aku sadar kalau tubuh ini tidak lagi suci. Auratku telah banyak diumbar dan dilihat mata lelaki. Penyesalan ini seperti menghanyutkanku seperti tenggelam ke dasar palung Mariana.

Yarna kemudian mendekapku, memberikan pelukan penuh kehangatan. Mungkin Yarna mengerti perasaanku sekarang. Apalagi dia perempuan sepertiku yang punya perasaan dan emosi yang sama.

Pelukan ini seperti obat penenang. Trauma yang kualami sedikit mereda, kemudian aku membalas pelukan Yarna. Kulingkarkan kedua tanganku di punggungnya sambil meletakkan wajahku di dadanya. Aku pun menangis sejadi-jadinya.

Payudara Yarna basah oleh kucuran air mataku. Aku terus menangis tersedu sambil terus mengusapkan wajahku di dadanya. Usapan tangan Yarna juga mengusap rambutku. Walau baru saja kenal, kurasakan kehangatan kasih sayang dari dia.

Kami terus berpelukan, aku merasa nyaman dengan posisi kami sekarang. Kehangatan yang timbul bukan hanya karena panas tubuh dari kami melalui kulit saling tersentuh, bukan pula dari api yang membara di samping kami. Namun, ada hal yang lain daripada itu. Perasaanku sekarang seperti terselimuti dan menjadi hangat karena dekapannya.

"Anggu …. harus … kuat, ya."

Cukup lama Yarna memelukku. Perasaanku sekarang sedikit demi sedikit jadi jauh lebih baik. Kurasakan cinta, kasih sayang, dan kedamaian di dalamnya. Traumaku perlahan juga mulai menghilang.

Yarna kemudian melepaskan dekapannya dariku, dan kemudian melanjutkan aktivitasnya untuk mengaduk ramuan.

Aku sekarang jauh lebih tenang. Tangisku telah berhenti dan menyisakan ingus di hidung dan sisa-sisa air mata di pipi. Aku mengambil HP yang sebelumnya tergeletak di tanah. Saat ini lagi periode, sehingga aku tidak ada kewajiban untuk salat. Aku kemudian menghapus semua aplikasi yang berkaitan dengan agama di ponsel. Aku merasa malu, kalau aplikasi-aplikasi itu masih terinstal di ponsel yang di dalamnya ada foto-foto telanjang Ria yang kemarin kuambil sendiri. Aku juga membolak-balikkan ponsel untuk mengecek kondisi ponsel. Ada beberapa goresan-goresan di casing dan sedikit retakan pada tempered glass. Selain itu fungsi-fungsi lainnya masih terbilang normal. Kamera depan dan belakang masih berfungsi. Beberapa kotoran dan bekas sidik jari masih menempel.

Di pojok kanan layar ponsel menunjukkan persentase baterai yang tersisa 30%. Buset tuh Toni. Bateraiku padahal awet-awet saja buat foto dan ngambil vide. Biasanya aku pakai buat dokumentasi acara di kampus dari penuh masih tersisa 60%, ini malah sisa 30%. Pasti mereka pakainya kelewat wajar. Dibandingkan dengan ponsel lain, ini masih tergolong awet. Coba pakai yang lain, pasti gak mampu deh. Haha, aku malah promoin ponselku. Mungkin pantas ya aku jadi bintang iklan. Haha.

Oh iya, ponselku ini habis dipakai untuk merekam dan memotret aktivitas kenakalan yang dilakukan Arya, Toni dan teman-temanya kepada Ria. Entah, kenapa aku sangat penasaran. Lagi pula sinyal hp ini menampilkan tanda silang sehingga tidak bisa untuk menghubungi siapapun, dan aku gabut juga di gua ini.

Aku mulai meng-scroll tampilan menu di ponselku, sampai aku menemukan menu galeri. Wuih, emang tuh anak!! Jumlah foto dan video di dalamnya telah bertambah banyak dari yang kuingat sebelum aku meminjamkan ponselku kepada Toni. Aku scroll isi foto dan video di galeri ponsel. Dari foto terbaru sampai foto terlama sangat banyak. Terlihat banyak sekali thumbnail foto dan video yang menampilkan adegan mesum mereka. Videonya pun memakan porsi yang tidak sedikit. Beberapa video daei yang berdurasi sekian detik dan ada pula yang berdurasi sekian menit. Aku lihat yang terpanjang berdurasi sekitar 12 menitan.

Aku scroll ke bawah lalu random nge-tap salah satu thumbnail foto. Dari thumbnail yang berukuran kecil, seluruh bidang layar ponselku menampilkan foto Ria yang tengah telanjang dengan pose nungging, sedangkan di bawahnya dan di belakang ada laki-laki teman Toni dari desa. Lalu, Toni berada di depan Ria. Aku dapat melihat dengan jelas wajah-wajah tersebut. Para lelaki itu sedang memcabuli sahabatku. Pose dan gaya mereka sangat mesum. Jelas ini adalah posisi berhubungan seks. Aku lihat kon … eh, penis hitam laki-laki di bawah Ria yang berukuran biadab itu melengkung ke atas dan masuk ke vagina Ria.

Tapi apa yang dilakukan laki-laki di belakang Ria dan Toni di depan wajah Ria, ya? aku bertanya-tanya dan penasaran. Kemudian aku coba nge-zoom gambar itu namun juga tidak tampak jelas apa yang mereka lakukan karena pencahayaan dari foto ini kurang bagus. Sebagian besar tubuh Ria tertutup bayang-bayang dari laki-laki yang sedang berdiri di belakangnya.

Karena masih penasaran aku mencari video dengan thumbnail yang serupa. Aku scroll ke atas bawah dan akhirnya aku menemukannya, yaitu sebuah file video berdurasi 5 menit 26 detik yang mempunyai tampilan thumbnail yang mirip. Aku kemudian meng-tap video tersebut.

"Ah … ah … aahh."

Suara Ria dari speaker ponselku keluar dengan cukup nyaring memecah suara hujan dan perapian. Aku terkaget mendengar suara ini. Aku malu kalau sampai terdengar ke telinga Yarna. Namun, tampaknya sedikit terlambat. Yarna yang terlihat mengaduk ramuan, tertawa kecil melihatku. Duh malunya aku. Mungkin wajahku sekarang merah. Seketika aku pause dengan nge-tap layar ponsel, lalu menekan tombol volume di sisi samping ponsel untuk mengecilkannya.

"Itu …." Yarna memasang wajah curiga.

"Ah, bukan apa-apa, kok. Hahaha."

Hihihi, kayaknya aku ketahuan lagi nonton video porno. >,<

Aku kemudian memundurkan badanku Badanku dengan cara menggerakkan pinggulku dan mendorong kedua kakiku hingga tubuhku bersandar pada dinding gua. Harapannya sih biar Yarna gak kedengeran. Malu banget kepergok nonton video bokep. Apalagi pemerannya itu teman-temanku. Kemungkinan ini adalah pertama kalinya aku lihat bokep, padahal sebelumnya gak tertarik dengan hal kayak gitu.

Setelah kurasa sudah aman dan Yarna sedang sibuk dengan kuali, aku pun nge-tap layar ponsel untuk melanjutkan video tadi. Volume agak ku naikan sedikit, mungkin sekitar 20%. Dengan intensitas suara segini dan ada jarak dari Yarna, aku kira suara dari ponselku tidak akan terdengar. Lagian suara Hujan di luar lebih keras dari ponselku. Andai saja punya headset, pasti akan lebih fokus nontonnya. Huh, dasar. Aku malah berandai-andai.

Kuamati dengan seksama video yang diputar. Desahan Ria terdengar pelan di telingaku. Ponsel agak kudekatkan ke arah wajahku. Posisiku badanku tetap seperti ketika aku di perapian tadi dengan kedua kaki yang kutekuk ke arah depan. Cukup jauh dari perapian dan masih merasakan kehangatan.

Aku agak terheran-heran setelah mengamati apa yang dilakukan Toni dan kedua temannya. Menurutku Ria ini benar-benar kelewat abnormal. Okelah kalau memang dia itu hypersex, tapi setidaknya satu pasangan saja gitu. Tapi ini tidak, dia menerima penetrasi di mulut, kemaluan, juga anus. Ini sih sudah kelewatan. Aku lihat Toni dan teman-temanya terus melakukan penetrasi ke tiga lorong milik Ria.

"Hmmm … hmmff … hmmm … aw …." Aku dengar desahan dan rintihan dari mulut Ria yang disumpal oleh kemaluan Toni.

Mereka juga melakukan hal yang kasar ke tubuh Ria. Sesekali kulihat Toni menjambak rambut Ria, memajukan kepala Ria untuk menelan seluruh penis Toni hingga Ria tersedak.

“Prufff, Uhuk!!! Uhuk!! Kamu maksa banget ya, Ton? Gak bakal muat mulutku nelan kontolmu.”

“Kalau memekmu kok muat?”

“Yaelah, itu bedalah. Kalau di bawah emang tempatnya kontol.”

“Yaudah, sekarang aku biasakan mulut kamu juga bisa nampung kontol.”

“Anjir, maksa banget…. aaaaaughhh!!! Ugghhh!!”

Toni kembali menjambak rambut Ria dan memaksa masuk kemaluannya ke mulut Ria. Kelihatan banget kalau Toni ingin mengerjai Ria. Bukan hanya Toni, teman-temannya menurutku juga sama kasarnya. Laki-laki di belakang Ria terus menampar dan meremas pantat Ria, sedangkan laki-laki di bawah Ria sesekali menggigit dan menarik puting Ria. Tentu saja suara desahan Ria semakin menjadi-jadi.

"Hei, Arya. Arahin kesini, dong." Toni memerintah Arya untuk meng-close up adegan yang dilakukannya sambil menunjuk-nunjuk yang dimaksud. Oh, jadi Arya yang merekam dan mengambil foto di ponselku. Aku yakin ini pasti karena paksaan dan perintah Toni. Arya kan orangnya agak cupu, hehe. Jadi, pasti dia nurut aja ketika diperintah si Toni.

Beberapa saat kemudian layar ponsel menunjukkan wajah Ria yang mulutnya sedang disesaki oleh penis Toni.

“Tahan nafas bentar ya, Ria.”

Tiba-tiba Toni menarik punggung kepala Ria hingga seluruh penisnya tertelan di mulut Ria. Mulut Ria yang mungil jadi melebar. Emang diameter penis Toni itu lebar. Bibir atas dan hidung Ria sampai terbenam di rambut kemaluan Toni. Cukup lama Toni menahan kepala Ria seperti itu, mungkin sekitar belasan detik. Sepasang mata Ria sampai membelalak dan raut wajahnya memerah disertai bulir-bulir keringat yang keluar dari pori-porinya.

“Uhuk!!!! anjir, Ton. Kamu mau bunuh aku, ya?” keluh Ria saat kepalanya dilepas Toni. “Ahhhh.. mas, jangan kenceng-kenceng gigit putingku. Anjir emang kalian semua.”

"Aaaaaaghh, jangan digigit woi!!!"

"Kalau kamu ngulangi lagi, bakal cacat permanen tuh kontol."

"Sorry, deh, sorry, Ria cantik."

"Gak usah gombal. Aku dari lahir emang sudah cantik, hahaha," kata Ria yang kulihat dari wajahnya kelihatan kalau dia suka dipuji. "Udah, ah gombalnya. Eh, kalau mau masukin sampai mentok, ke memekku saja. Jangan di mulut."

"Siap," balas Toni kemudian melihat ke arah kamera. "Arya, coba shoot memek Ria. Muat gak tuh dihajar kontol mereka?"

"Kayaknya gak sampai setengah, tuh," jawab Arya.

Widih, gila emang. Benar kata Arya, senjata lelaki yang memenetrasi kemaluan Ria sepertinya hanya mampu masuk sekitar 30% sampai 40%. Penis itu sampai bengkok kayak gitu.

"Hahaha, sombong banget kamu Ria. Sok-sokan bisa nampung kontol mereka. Gak sampe setengah tuh."

"Ya, soalnya kontol diantara mereka, kontolmu yang paling pendek. Makanya aku bilang, memekku bakal muat, weeek!!!"

"Biar kecil kayak gini, tapi bisa bikin kamu orgasme tujuh kali," ucap Toni sambil menampar-namparkan penisnya ke wajah Ria. "Bener, kan?"

"Tauk, aku lupa … Aaaaakh!!! Ton, tolong bilangin teman kamu, jangan dimentok-mentokin. Rahim aku nyeri."

Ria protes apa yang dilakukan teman-teman Toni. Toni pun berbicara ke teman-temannya, lalu yang terdengar hanyalah erangan suara mereka.

Ria masih saja terus mendesah. Suaranya sangat mendominasi di antara yang lain. Gestur tubuhnya juga menandakan bahwa dia menikmati perlakuan kasar teman-teman Toni, juga perlakukan Toni yang menjambak-jambak. Sesekali Ria malah yang menggoyangkan pinggulnya untuk menerima hujaman penis di kedua lubang di selangkangannya. Tangannya juga sesekali memaju-mundurkan penis Toni di mulutnya. Aku tahu ini yang dinamakan oral, tapi menurutku agak menjijikan. Air liur Ria dan cairan penis Toni menyatu dan menetes-netes ke bawah. Tapi entahlah kalau hal itu dilakukan ketika manusia sama-sama lagi horny. Aku jadi teringat ketika menerima cumbuan laki-laki tua dimana rasa takut dan horny menyatu dan aku membalas cumbuannya dalam posisi sadar.

Ketika aku sedang fokus menonton video Ria tiba-tiba video terhenti.

Yah, sudah habis. Durasi pun berakhir. Memang video ini hanya sekitar lima menitan, tapi aku agak terhanyut melihat video ini.

Aku scroll lagi beragam thumbnail yang nampak di galeri HP-ku. Pertama-tama aku mau melihat foto-foto dulu.

Astagfirullah, banyak banget foto-foto porno yang mereka ambil. Aku terus scroll scroll masih belum selesai. Ibu jariku sampai pegel geserin layar ponsel. Akhirnya, aku mengubah setelan gambar thumbnail yang besar menjadi thumbnail yang lebih kecil.

Lanjut kugulir satu-persatu. Sama seperti video yang aku tonton tadi, Foto-foto Ria juga menampilkan beragam posisi adegan seks, ada juga yang solo. Foto-foto mereka tidak melulu tentang berhubungan badan. Ada foto dimana Ria digendong mirip seperti monyet yang memanjat pohon kelapa, ada lagi dimana Ria terlihat mengkulum penis laki-laki dalam posisi atas bawah dengan arah yang terbalik, ada foto Ria dengan wajah belepotan sperma, ada juga posisi Ria terlentang dan digrepe banyak tangan. Foto-foto penetrasi benda-benda asing ke vagina Ria juga tak kalah banyak. Ada yang dimasukin sebatang bambu yang sepertinya sudah diraut, akar-akar pohon, ranting-ranting pohon termasuk daunnya, bebatuan, hingga potongan kayu. Ihh, apa gak sakit dimasukin kaya gitu? Tapi kalau dilihat dari ekspresi wajah Ria, dia tampaknya senang.

Di antara foto-foto itu, ada foto Ria sedang telentang dan kaki mengangkang, lalu masing-masing jari telunjuk Toni, Arya, dan dua teman Toni secara bersamaan dimasukkan ke vagina Ria dan membuka lebar hingga rongga dinding lapisan vagina di dalamnya yang berwarna merah muda itu terlihat jelas. Bahkan, lubang servik yang mungil pun terlihat. Bentuk vagina yang dicolok jari-jari itu bukan bulat seperti huruf O, melainkan persegi empat. Di foto itu, keempat pria tertawa, sedangkan Ria malah mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah kamera dan tersenyum manis.

Ibu jari tanganku lanjut lagi men-scroll thumbnail foto-foto di galeri HP, beberapa di antaranya menurutku ada yang estetik. Ada foto Ria yang telanjang bulat namun dengan background pohon-pohon besar dan daun-daun kering yang jatuh ke bawah. Indah banget lihatnya. Kalau tidak punya pikiran jorok, ini karya fotografi yang cocok buat pameran menurutku. Di foto lain tampak Ria dengan telanjang bulat tentunya bercengkrama dengan anak-anak desa. Kulihat banyak senyum merekah di wajah bocah-bocah itu, Ria juga terlihat happy di foto itu. Ada lagi yang menurutku menarik, Ria berfoto dijadikan semacam piring makanan, tubuhnya terbaring di batu dan di atas tubuhnya disajikan berbagai menu makanan, baik dari sayuran, daging dan ikan bakar. Wow, mirip restoran naked sushi yang ada di Jepang. Tidak kusangka ketika tubuh wanita dieksploitasi dalam frame karya seni akan jadi hal yang semenakjubkan seperti ini. Gak hanya laki-laki, akupun sebagai seorang perempuan sangat menyukainya.

Kalau dipikir-pikir, foto-foto tadi diambil di pagi hari. Bukankah perjanjiannya sudah berakhir ya? Tapi, kok? Entah. Mungkin kalau foto-foto tidak masalah. Kalau gak salah, yang tidak boleh itu mesumin dia.

Banyak banget foto-foto estetik dari Ria. Berbagai macam pose Ria tampilkan. Ada yang sedang mengendarai kuda, duduk di dahan pohon, melakukan gerakan yoga di atas batu, berlari di sungai dangkal, bahkan ada foto Ria yang tidur di atas tanah dengan tatapan kosong juga tampak fotogenik bagiku. Semua dilakukan dalam keadaan telanjang bulat. Foto-foto pose yoga pun tergolong sulit, di antaranya Handstand Scorpion, Formidable Face, Eight Angle, Foot to Face, One Legged Forarm Wheel, dan lain-lain. Meski aku bisa split, tapi masih kaku dan tidak selemas Ria.

Sambil melihat foto-foto ini, aku jadi terbayang bagaimana kalau aku di foto kaya Ria gitu. Bertelanjang bulat menyatu dengan alam. Bagaimana bila aku melihat fotoku sendiri? Apakah akan se-estetik foto Ria, ya?

Tiba-tiba dorongan hasrat kuat membuatku ingin difoto seperti. Kalau untuk konsumsi pribadi atau paling banter ditunjukkan kepada Ria atau sahabat perempuanku gak papa kali ya? Uh, kok malah jadi ngebet di foto sih.

Foto-foto Ria yang estetik akan kusimpan, sedangkan yang menurutku buram dan jelek akan kuhapus. Aku hapus saja sampai di rumah nanti deh. Sekalian disortir bareng-bareng sama Ria. Haha.

Meski memory ponselku banyak, tapi masih ada sisa 30 gigabyte. Benar-benar gak nyangka, dari free 180 gigabyte, hanya menyisakan 30 gigabyte. Kapasitas memory-ku memang banyak, yaitu 256 gigabyte.

"Anggu, Anggu." Aku mendengar Yarna memanggilku. Ia berjalan ke arahku, kemudian duduk di sampingku. Aku matikan layar ponselku.

Kami pun bercerita dan curhat. Aku juga bertanya tentang ponselku ini, kenapa bisa ada di gua. Dia pun menjelaskan. Meski bahasanya terbata-bata, susunan kalimat yang kebolak-balik, dan penggunaan kata yang tidak tepat, aku cukup memahaminya. Dia ada effort untuk menjelaskannya. Ternyata, ponselku memang dibawa Toni. Waktu berpatroli, mereka singgah di gua ini lalu mendengar suara teriakanku. Akhirnya ponselku ditinggal di sini.

Kalau dilihat-lihat, Yarna seperti penasaran dengan HP-ku. Dia terlihat mencoba menengok HP-ku. Ah aku foto aja deh.

Aku memintanya untuk bergeser duduk lebih dekat di sebelahku, dan kami berbagi layar hp. Aku hidupkan layar ponsel yang menampilkan galeri foto Ria, lalu men-swipe layar HP ke arah kiri dan kanan. Eh, dia terlihat takjub melihat foto-foto yang tertampil di layar HP. Kelihatan banget kalau dia sangat senang.

Eh bagaimana ya kalau aku mengambil foto dia dan memperlihatkan hasil foto padanya, bagaimana reaksinya? Tiba-tiba aku punya inisiatif.

Lalu aku memegang kedua tangan Yarna, mengangkatnya pelan untuk berdiri. Setelah itu aku mundur dua langkah bersiap untuk mengambil foto. Dia tampak bingung, nih. Dari layar bidik kameraku, raut wajahnya tampak kebingungan.

"Bukan … bukan. Ini, seperti ini," ujarku mengarahkan sambil aku ikut memperagakan gaya.

Setelah memastikan pose yang pas, aku sentuh ikon shutter kameraku dan aku pun berhasil men-capture foto Yarna.

Aku perlihatkan hasil foto ke Dia dan wajahnya tersenyum. Andaikan aku bawa printer portable, aku pasti langsung cetak di sini sebagai kenang-kenangan buat dirinya.

Wajah Yarna terlihat happy banget.

"Lagi … lagi," pintanya yang sepertinya mulai kecanduan buat difoto. Aku mengambil foto lagi.

Cekrek-cekrek, banyak sekali jepretan foto yang dihasilkan. Walau Yarna bukan foto model, namun kelihatan dia cepat beradaptasi dengan pose-pose baru yang kuajarkan.

Aku perlihatkan foto-foto itu padanya. Tak lupa aku ajarkan secara sederhana cara mengoperasikan ponselku. Mulai dari swipe, zoom in, sampau zoom out sebuah foto. Kuajarkan juga cara memotret. Terlihat dia antusias. Setelah kuajarkan, dia mulai membidik apa saja yang ada di ruangan ini. Kubiarkan saja Yarna menggunakan HP-ku. Dia sangat aktif mengarahkan kamera ke sana-sini lalu me-review hasil fotonya sendiri.

Tak lama kemudian, dia berjalan ke arahku lalu mengambil fotoku.

"Eh, kok tiba-tiba dia mengambil gambarku?" protesku dalam hati sambil tertawa kecil. Gak papalah kalau dia yang ngambil foto. Eh, tapi aku juga penasaran bagaimana hasilnya.

Tanpa kuduga-duga, dia nyamperin aku. Haha

“Ba gus?” tanyanya terbata-bata.

“Iya, bagus,” jawabku sambil menganggukkan kepala.

Meski masih amatiran dan baru belajar, tapi hasilnya lumayan. Dia ngambil fotonya setelah kamera fokus ke diriku. Memang fitur auto focus di ponselku termasuk fast respon. Mungkin ini adalah foto pertamaku yang diambil menggunakan pakaian adat yang cukup terbuka. Sebelumnya, aku jadi tukang foto buat Ria. Ya sekali-kali gapapa, lah. Masa yang punya ponsel gak menyempatkan diri buat foto diri sendiri? mumpung lagi di perkampungan megalitikum loh, hihihi.

Aku sebenarnya memang ada rasa cemburu saat melihat foto Ria tadi. Rasanya gimana gitu. Aku sih tidak ada pikiran foto telanjang seperti dia, tapi setelah melihat hasil fotonya Yarna, I think my body is so sexy, haha.

Foto asal seperti ini yang dihasilkan saja sudah cukup bagus, apalagi kalau diarahkan dan photo shoot oleh seorang fotografer, banggaku sedikit narsis, hehe.

Asal tau saja, aku jarang berswafoto. Bukan gak pernah ya, tapi jarang. Paling foto bersama ortu dan teman-temanku. Itu pun dengan gaya yang dibuat sebagus mungkin dan seindah mungkin. Pakaian yang kupakai tentunya yang sopan dan tidak mengumbar aurat. Aku akui, aku memang agak narsis, sih. Seringkali aku berkaca dengan dengan memakai selembar handuk. Meski aku punya handuk berjenis kimono, aku juga punya bath towel yang kalau dipakai bisa nutupin badanku dari dada sampai di paha atas. Aku takut foto selfie sendiri pemberian Ria. Takut kalau image-ku rusak kalau-kalau foto itu tersebar. Masa seorang gadis yang berjilbab foto-foto dengan handuk. Paling tidak itu yang ada di dalam benakku saat itu. Hingga aku akhirnya melihat fotoku dengan outfit terbuka untuk pertama kalinya dan aku sangat terkesima.

Bagaimana ya pendapat Ria, ya? Bagaimana ya pendapat Arya? Bagaimana ya pendapat Toni melihatku dalam pose seksi? Eh untuk Toni kayaknya masuk ke daftar pengecualian deh. Soalnya dia tadi melihatku dalam keadaan telanjang di antara dekapan laki-laki tua bejat. Dan, si Toni kelihatan girang banget gitu. Meski aku dengan cepat menyilangkan tangan di dada dan selangkangan, tapi dia officially adalah orang pertama di antara temanku yang melihatku telanjang. Beruntung banget itu anak, pasti pikirannya mesum.

Di foto ini, beberapa bagian tubuhku sendiri kuperhatikan, memang kalau di-zoom lebih dekat, luka gores di kulitku jelas terlihat, namun itu bukan masalah, nantinya luka-luka itu dengan perawatan rutin pasti juga akan hilang sendiri seiring berjalannya waktu.

Eh, bagaimana kalau aku telanjang lalu minta Yarna untuk mengambil foto diriku?

Duh Anggu, jangan aneh-aneh deh. Resikonya besar juga. Tapi di sini cuma ada aku dan dia.

Tiba-tiba aku terbesit ide ini. Yarna adalah orang asing dan baru kenal tak lebih dari tiga jam, karakternya juga masih sangat primitif, gak mungkin dong dia nyebarin fotoku di internet. Selain itu aku juga penasaran sejak kemarin aku bermain di pantai bersama Ria, lalu saat mandi berdua dengan Ria dan saat aku berpetualang sendirian di tengah hutan dan di sungai. Semuanya kulakukan tanpa ada pakaian yang melekat di tubuhku, tapi tidak ada dokumentasi ketika aku melakukan hal-hal tersebut. Kan, jadi sia-sia jadinya kalau hanya disimpan di dalam memori otakku.

Ah, aku coba saja merealisasikan ideku ini. Lagi pula hanya kami berdua yang berada di gua ini. Di luar juga masih hujan. Toh, HP ini ya milikku. Pokoknya jangan sampai jatuh ke tangan orang lain.

Sekarang aku coba melepaskan ikatan bagian atas pakaian adat ini, aku agak kesulitan melepasnya.

“Anggu …. lepas baju … kenapa?”

Yarna ternyata mengerti hal yang kulakukan.

“Gerah, saya boleh lepas di sini?”

Yarna menganggukkan kepala. Lalu dia berinisiatif membantuku melepaskan pakaian adatku. Setelah simpul di punggung atas berhasilkan dilepaskan, aku letakkan lembar kain pakaian adat ini di atas batu. Walau ini bukan pertama kali auratku dilihat oleh orang lain, tapi rasa malu masih mendera di hatiku, tanganku masih kusilangkan menutupi dadaku. Akan tetapi aku berpikir, kenapa harus malu? Tubuh telanjangku sudah dilihat oleh orang yang bukan muhrim-ku. Meski telah dilihat oleh banyak orang, tetapi aku sendiri bahkan belum pernah melihat refleksi tubuh telanjangku sendiri. Aku tahu ini hal yang tabu, tapi aku ingin mencobanya. Toh telanjang pun gak masalah. Katanya nanti di Padang Mahsyar dan di hari penghakiman seluruh manusia telanjang. Selain itu, di sini ada Yarna yang pandai beladiri. Kalau ada orang asing, tentu dia bisa menghajar mereka. Ditambah, di sini ada senjata yang jumlahnya belasan.

Di galeri foto, aku juga melihat foto Ria yang membantu menata bunga, memilah hasil pertanian, dan memasak cuma mengenakan selembar kain dari kulit hewan yang kecil dan hanya menutupi kemaluannya saja. Ria telanjang dada dan payudaranya terumbar bebas juga gak kenapa-kenapa. Dia sepertinya bebas melakukan apa saja di tengah desa dan di tengah kerumunan masyarakat. Kalaupun tadi aku mengalami percobaan perkosaan itu juga bukan karena kedua laki-laki tua melihatku telanjang saja, tapi memang dasar hati mereka aja yang jahat dan nafsu yang tinggi. Dia juga ingin memakanku pula. Toh, akhirnya aku bersyukur mereka semua mati.

Dibalik keraguanku aku terus menguatkan keyakinanku. Mungkin inilah hasratku yang selama ini terpendam. Kadang aku ingin melakukan sesuatu secara bebas, namun karena berbagai aturan dan norma agama menjadikannya sebuah belenggu. Ingin aku melepaskan belenggu itu. Hidup cuma satu kali dan aku ingin melakukan apapun yang kumau. Aku terus berkata seperti itu di dalam hati. Dan, di kesempatan liburan semester ini aku ingin melampiaskan unek-unekku karena setelah pulang aku mungkin tak akan bisa melakukannya lagi. Dari dulu aku merasa ada perasaan aneh melihat melihat Ria. Mulai dia ke kampus tidak pakai celana dalam dan segala keeksibisionisannya dia. Aku ingin melakukan sesuatu yang baru dengan sepenuh hati, tanpa ada jaim, tanpa memperdulikan apa kata orang. Memang sih Ria sudah tidak perawan lagi dan dia bisa merasakan penetrasi. Sedangkan aku, hmmm. Yah, kayaknya aku bisa menjaganya. Pokoknya jangan sampai aku tidak perawan. Titik!!!

Segel keperawananku ini tidak membatasi hasratku. Ini hanyalah kumpulan sel yang menyatu menjadi selaput dara. Yah, pada saatnya nanti pasti akan robek oleh penis. Entahlah ….

Sekarang aku meraih salah satu simpul rok pakaian adat di pinggulku. Dengan sekali tarikan, simpul itu telah lepas dan lembaran kain itu melorot, melayang jatuh ke tanah. Aku pun dengan sigap menutupi kemaluanku dengan tangan satunya.

Yarna berdiri telanjang bulat di depanku. Sedangkan aku masih setengah-setengah. Lagian tadi waktu Toni dan kawan-kawan menolongku dan membantu mengenakan pakaian, dia sudah melihatku telanjang bulat. Perlahan aku singkirkan tanganku yang menutup dada dan kemaluanku. Kini aku telanjang bulat di depan Yarna. Aku tidak menutupi lagi bagian alat vitalku, payudaraku dan vaginaku kubiarkan terekpose di depan mata Yarna. Kulihat Yarna sedikit bengong melihat tubuhku.

"Can .. tik," ujarnya dengan khas medok logat daerah.

"Makasih,"

“Bagus .. itu punya Anggu.”

“Ini? Ah biasa saja. Punya Yarna juga bagus, kok.”

“Nama .. itu apa?” tanyanya dengan telunjuk jarinya menyentuh ke dadaku sebelah kanan di samping puting.

“Payudara.”

“Pe … yu … la .. ra.”

“Pa Yu Da Ra.”

“Payudara.”

“Iya itu.”

“Anggu payudara bagus.”

"Makasih." Aku agak tersipu malu mendengarnya, baru kali ini aku mempertontonkan payudaraku dengan keinginanku sendiri dan aku langsung mendapat sanjungan. Dia wanita desa pribumi pertama yang menyentuh bagian privasiku. Kalau yang pertama, tidak perlu diceritakan. Pokoknya dia orang pertama yang bikin aku merasakan apa itu yang disebut orgasme.

Aku merasa senang disanjung Yarna. Tapi sayang, payudaraku telah dijamah oleh laki-laki. Hal itu sepatutnya kusesali, tapi apa daya semua telah terjadi. Sepertinya aku harus berbaikan dengan masa lalu.

Kini di dalam gua ini kami sama-sama telanjang. Yarna terlihat masih tertegun melihat tubuhku.

"Hei Yana, ayuk foto aku," ajakku.

"Eh a .. yok," jawabnya.

Kalau aku sering mengajaknya berbicara berbahasa Indonesia, kemungkinan besar dia cepat belajar dan mungkin fasih. Lidahnya masih agak kaku, tapi mungkin lama kelamaan dia bakal lancar. Mungkin aku jadi mentor dia berbahasa Indonesia, hahaha.

Seandainya dia mau ke luar pulau dan bahasa Indonesia-nya lancar, mungkin saja dia jadi atlet beladiri, atau bintang film laga. Penduduk di desa ini tergolong mampu dan cepat belajar sesuatu. Pemerintahnya saja tidak menjangkau ke sini. Katanya tujuh belas ribu pulau, tapi satu pulau ini tidak dijamah. Gimana sih.

Kemudian aku mengambil ponselku yang sempat kuletakkan di atas tanah, kemudian kuberikan pada Yarna.

"Yarna, tetap berdiri di sini ya. Nanti, kamu tinggal sentuh ini," paparku menjelaskan kepadanya. Tidak lupa aku mengaktifkan fitur lampu flash.

"Iya," jawabnya singkat.

Lensa kamera ponsel kemudian terlihat membidik ke arahku. Aku mundur beberapa langkah ke belakang supaya seluruh tubuhku bisa tertangkap oleh kamera dan angle dalam foto bisa lebih luas.

"Duh, gaya apa, ya," kataku dalam hati, mendadak aku bingung mau berpose ketika difoto. Jelas Yarna bukanlah Ria yang bisa memotret dan bisa memberikan arahan untuk melakukan pose yang estetik. Tapi sementara ini, di sini tidak ada Ria. Yang ada hanyalah Yarna.

Apa boleh buat, aku pakai gaya ini saja deh. Aku silangkan tangan kiriku secara horizontal menutupi buah dadaku, dan tangan satunya menutupi selangkanganku. Meski sebagian besar buah dadaku kelihatan, tapi yang terpenting puting dan areola tidak tampak.

“Yarna,” ujarku sambil memberikan aba-aba. Beberapa detik kemudian lampu flash menyala. Dan itulah foto seksi pertamaku. Ini belum berakhir, bakal banyak lagi foto-foto erotis dan lebih menantang. Pastinya begitu.


Bersambung …
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd