Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Liburan Semesterku

Untuk Bagian 18, Anggu dibawa ke mana nih?

  • Perkampungan suku kanibal.

    Votes: 14 20,9%
  • Perkampungan suku non kanibal.

    Votes: 23 34,3%
  • Camp sederhana tempat penculik tinggal.

    Votes: 30 44,8%

  • Total voters
    67
  • Poll closed .
BAGIAN 18


Dengung suara samar-samar terdengar semakin jelas. Suara-suara hentakan dari langkah kaki kedua laki-laki tua ini mulai menyadarkanku dari kegelapan. Seolah-olah sukmaku kembali ke jasad.

Pelan-pelan aku membuka sepasang mata, menyadarkan realita yang ada. Aku masih terikat di batang bambu. Mereka masih membawaku dengan berjalan dan tubuhku terikat pada batang bambu. Entah seberapa jauh mereka membawa raga ini sejak aku pingsan. Yang jelas mereka telah membawaku jauh ke dalam hutan.

Tiap langkah kaki mereka terasa menghujam sekujur kulit dan tulangku, serta terasa memperparah keadaanku yang sekarang. Guncangan demi guncangan membuat pergelangan kaki dan tangan yang terikat semakin terasa sakit. Rasanya telapak kaki dan tanganku kebas. Jemari-jemariku juga kebas. Darahku seolah tak dapat melewati ikatan di pergelangan tangan dan kaki.

Rambutku yang tertarik gravitasi berayun-ayun tertiup angin, sedangkan sepasang buah dadaku yang sekal berayun-ayun akibat guncangan langkah kaki mereka. Darah segar masih menetes ke bawah meninggalkan jejak dari setiap luka sayatan di tubuhku. Puting sebelah kiri yang berdarah sebelum pingsan tadi sempat menetes-netes, kini telah mengering. Yang parah ialah luka pada perutku yang sampai sekarang masih terlihat membentuk garis vertikal yang lumayan panjang. Rasa perih masih kurasakan ketika dedaunan dan ranting-ranting pohon menggoresi tubuhku. Sebagian tidak menyebabkan luka, tapi sebagian yang lain membuat baret. Rasanya seperti puluhan beling menancap di badan. Aku masih tersadar, tapi entah mengapa seperti ada diskoneksi antara pikiran dan ragaku, seiring kesadaranku yang berada pada batas bawah. Aku tidak bisa menggerakkan tangan dan kakiku, ototku terasa lemas, bahkan untuk mengangkat kepala pun aku tak sanggup.

Mati … Apakah aku akan mati?

Hari ini mungkin hari terburuk dalam hidupku. Beberapa kali aku berpikir untuk mati. Ingin rasanya mengakhiri penderitaan ini, tapi realitas berkata sebaliknya. Tubuhku menolak untuk mati. Malah, aku merasakan oksigen masih terhirup oleh lubang hidungku. Darah dalam paru-paruku masih bekerja mengikat oksigen untuk pembakaran dan metabolesme tubuh. Mataku masih menangkap kombinasi spektrum warna yang terbentuk dari hijaunya daun, birunya langit, kuningnya sinar mentari, dan merahnya darahku. Telingaku masih mendengar berbagai bebunyian alam di sekitar.

Sungguh tak pernah kubayangkan aku dalam posisi seperti sekarang ini, terikat dalam keadaan telanjang bulat di sebatang bambu dengan penuh luka. Aku diperlakukan tidak manusiawi oleh dua laki-laki bejat ini. Aku diculik. Ke manakah mereka akan membawaku?

Apa yang sedang mereka rencanakan? Apa yang akan mereka rencanakan?

Pertanyaan-pertanyaan itu silih berganti terngiang-ngiang dalam pikiranku. Tubuhku terombang-ambing mengikuti gerak kaki dari dua pria tua ini. Kadang kala langkah mereka cepat, kadang pula lambat. Sayup-sayup kudengar pembicaraan mereka. Instingku mengatakan kalau mereka akan berbuat jahat padaku. Apalagi disela-sela perbincangan, terselip canda tawa. Aku tak habis pikir, kalau seorang manusia bisa sejahat ini. Sebelumnya aku salah mengira, bahwa seluruh penduduk pulau ini adalah orang baik. Aku keliru dan aku terlalu naif. Di mana pun dirimu berada pasti ada orang baik dan ada pula orang jahat.

Kedua laki-laki tua ini sangat jahat, kalau tadi aku masih terus melawan pasti aku akan dibunuhnya, tapi entah apalagi yang menimpaku ke depannya. Walaupun tadi aku sempat akan diperkosa di atas pohon oleh salah satu dari mereka berdua dan bisa selamat melarikan diri, tapi kali ini aku tidak mungkin memiliki kesempatan untuk bisa melawan atau melarikan diri lagi. Mengingat dia telah meremas buah dadaku, memilin dan menarik-narik putingku, membelai kemaluanku, mencumbu tubuhku dengan ciuman liar, aku merasa sakit. Sakit karena tubuhku telah ternodai. Tubuh yang harusnya aku persembahkan untuk pendamping hidup, dirampas oleh dia. Noda-noda tak berbekas yang selamanya akan terpatri dalam ingatan.

"Ya Allah, Engkaulah Tuhan yang memberi keselamatan." Dalam hati aku berdoa. Berulang kali kuucapkan, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang. Semoga Allah memberikan rencana yang terbaik untukku.

Walaupun takdir berkata lain, aku harus bisa menerimanya. Itu karena aku sudah melakukan berbagai usaha untuk keselamatanku. Ikhtiar yang telah kulakukan terasa sudah maksimal. Kematian, hal itu yang paling aku takutkan sekarang. Selain itu aku harus dapat mempertahankan kesucianku, tapi jikalau harus memilih, aku akan pasrah bila harus mengorbankan kesucianku demi keselamatanku. Laki-laki tua tadi dengan ancamannya sudah memberiku dua pilihan. Perkataan Ria mungkin ada benarnya dan musibah tidak bisa dihindari. Lagi pula misalkan aku diperkosa karena paksaan, ke depan mungkin aku dengan lapang dada dapat menerimanya. Ya semoga calon suamiku, orang tuaku, calon mertua, dan orang-orang disekitarku dapat mengerti serta dapat menerimanya. Tentunya aku akan dimarahi habis-habisan. Aku tak tahu murka Papa dan Mama bakal kayak apa melihat anak gadisnya telah tidak lagi perawan. Melihat anak gadisnya durhaka dan membangkang.

Aku perhatikan dari hari pertama aku tiba di pulau ini, para penduduk sangat beradab. Mereka menjunjung adat istiadat, tak ada satu orang pun yang berani melanggarnya. Hawa nafsu tentang seks pun dapat mereka tahan, padahal pakaian adat penduduk di desa cukup terbuka, namun mereka dapat menahan libidonya. Bukan hanya penduduk saja, Ria yang notabene seorang eksibisionis dengan tubuh lebih bagus dan putih, serta mengenakan pakaian yang banyak menunjukkan aurat, mereka dapat menahannya. Toni adalah anomali karena budaya asing telah mengkontaminasi karakternya. Akan tetapi, bagaimana dengan dua laki-laki tua ini? Apakah ada beberapa kebudayaan di pulau ini? Ada yang berubah, dan ada yang tidak berubah tetap menjadi kebiasaan-kebiasaan lama primitif tidak beradab yang sulit berubah bagi segelintir orang. Apakah kedua laki-laki tua ini pada awalnya adalah satu komunitas yang sama dengan penduduk desa? Namun, karena menolak adat istiadat baru, mereka menyingkir atau disingkirkan oleh penduduk desa lalu membentuk komunitas lain di suatu tempat di pulau ini?

Kurasa penting untuk mengetahui motif dari kedua laki-laki tua ini menculikku. Aku bisa membuat rencana untuk melarikan diri. Ke mana mereka membawaku dan untuk apa mereka membawaku. Walaupun mereka berhasil mencabuliku di pohon tadi, mungkin aku akan tetap diculik untuk dijadikan budak seks mereka, sedangkan kalau kedua laki-laki tua ini membunuhku mungkin mayatku akan dibawa sebagai makanan mereka. Pikiran negatif terus tertancap dibenakku. Aku semakin takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi pada tubuhku.

"Allah, Engkaulah Tuhan yang memberi keselamatan." Aku masih berdoa untuk keselamatanku.

Tubuhku yang terikat di bambu ini sering berbenturan dan bergesekan dengan ilalang, ranting, dan dedaunan. Karena tubuhku yang masih lemas, untuk berteriak karena kesakitan pun aku sungguh tak sanggup, apalagi berteriak untuk meminta tolong. Aku seperti tak memiliki energi untuk menggetarkan pita suaraku. Bagi kedua laki-laki tua ini, jelas mereka menganggapku bagaikan properti yang tidak penting. Mereka tidak hati-hati menjinjingku, dan yang jelas mereka tidak peduli dengan keselamatanku. Hanya hewan buruan yang pantas diperlakukan seperti ini.

Perutku terasa terkocok karena hentakan dari gerakan kedua laki-laki tua ini. Ditambah bau liur laki-laki tua ini yang membekas di wajahku, aku merasa ingin muntah.

"HOEKKK!! HOEKKK!!"

Dalam perjalanan aku muntah, bebuahan yang sebelumnya aku makan keluar sebagian. Rasa kecut dari asam lambung seperti pemantik untuk ingin lebih mengeluarkan isi perutku.

“HOEEEEEEK!!!!”

Untuk kedua kalinya aku muntah. Muntahan kali ini lebih deras. Air liurku yang kental bercampur dengan isi perut membuat benang yang berayun-ayun mengikuti guncangan tubuh.

Aku dengar laki-laki tua di belakangku berceloteh dengan nada tinggi. Ia memarahiku sambil menampar-nampar paha kanan dan pantatku. Tiap kali aku muntah, dia selalu menamparku. Tentu saja aku meronta dengan menggerak-gerakkan badan. Tapi apa daya, gerakanku terlalu lemah. Sudah beberapa kali tamparan dia layangkan ke bagian paha dan pantatku, karena aku terus muntah.

Setelah beberapa saat, aku merasakan perutku terasa kosong. Mataku berkunang-kunang tapi aku masih tersadar. Kulihat sekitar, terik matahari seperti tertutup awan mendung. Entah pukul berapa sekarang. Tanah dan lumpur basah berada tepat di bawahku ketika kedua laki-laki tua ini berlari. Cipratan air bercampur lumpur dari pijakan kaki dan percikan dari ayunan kaki pria di depanku mengenai tubuh bagian depan. Buah dadaku, sebagian perut, juga sebagian paha juga terkena lumpur. Ditambah mereka sekarang membawaku bukan memikul, tapi menjinjing bambu di pinggang mereka hingga jarak tubuhku dengan tanah makin dekat. Tentu saja rambutku yang panjang menyapu lumpur. Bahkan, perutku yang sedikit ke bawah bergesekan dengan lumpur itu. Luka-luka di perut jadi terasa perih.

Air mataku yang mengering kini mulai berair lagi. Tak sanggup membayangkan aku pada posisi terhina seperti ini. Aku merasa tubuh ini telah ternoda, auratku terumbar dan dilihat bukan muhrimku, tubuhku telah disentuh dan terjamah oleh tangan laki-laki.

Kepalaku terasa pusing karena perlakuan dua lelaki tua ini yang mengikat dan menjinjingku tidak manusiawi dan terkesan brutal. Perutku kembali mual. Mataku berkunang. Seringkali aku muntahkan sisa isi perutku. Jelas kondisiku sekarang sangat buruk, tetapi kesadaranku tetap terjaga. Ingin rasanya aku pingsan, men-skip perjalananku dan segera tiba di tempat tujuan, dari pada aku tersiksa dengan keadaan seperti ini. Walau aku tak tahu mereka akan membawaku ke mana dan apa yang mereka akan mereka lakukan terhadapku. Aku pasrah saja.

Langkah demi langkah kedua lelaki tua ini menyusuri jalan setapak hutan ini. Hentakan demi hentakan dari getaran dua pasang telapak kaki kedua laki-laki tua ini terus merambat ke tubuhku seperti konduktor yang terus menyerap energi kinetik dari setiap hentakan kaki. Badanku semakin lemas. Bahkan, beberapa kali kepalaku menghantam tanah karena leherku tidak kuat untuk menopang kepalaku. Beberapa helai rambutku juga tercabut karena menyangkut di himpitan batu dan kayu selama mereka menjinjingku. Entah berapa lama lagi kesadaranku akan bertahan.

“Please, angkat dikit dong. Sakit nih,” mohonku dalam hati.

Sempat aku merasakan urinku keluar dari lubang uretra. Aliran urinku menjalar ke paha dalam sebelah kanan, kurasakan hangat terasa di kulitku. Ah! aku ngompol. Walau terasa menjijikkan, namun aku tak kuat untuk menahannya. Otot pelvisku terasa lemah karena guncangan yang aku terima. Kandung kemihku pun tidak kuasa untuk menahan karena tekanan yang diterimanya. Air seniku pun bercucuran dan menetes jatuh ke bawah. Sayup kudengar laki-laki tua dibelakangku membentak berbicara beberapa kata dengan intonasi yang tinggi, sesekali juga menampar paha dan pantatku dengan cukup keras.

"Awww!!" aku berteriak kecil ketika telapak tangan laki-laki tua menamparku.

Lelaki tua di belakangku berteriak cukup lantang sembari terus menampar paha dan pantatku. Nyaliku menciut. Selama hidupku hampir tidak ada orang yang membentakku sedemikian rupa, termasuk orang tuaku yang selalu bersikap ramah walau dalam keadaan marah. Aku dulu pernah melakukan beberapa kesalahan yang membuat orang tuaku marah, tapi tidak membentak kasar seperti ini. Ini merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan untukku, rasa takut terus menjalar di benakku. Lelaki tua di belakangku terus membentakku, demikian juga lelaki tua di depanku. Sambil sesekali menengok ke arah belakang, dari intonasi dia berbicara terdengar amarah yang ingin dia lampiaskan.

Aku rasakan suasana yang semakin mencekam, entah mengapa uretraku tidak berhenti untuk mengalirkan air seni, apakah ini dampak dari ketakutanku? ataukah karena suhu dingin dari dalam hutan yang menyelimutiku?

Cipratan air seniku terus bercucuran jatuh ke bawah. Sempat beberapa kali aku lihat telapak kaki laki-laki tua di belakangku menginjaknya. Kalau bukan karena kondisiku yang terikat sekarang, aku pasti akan meminta maaf. Tapi sekarang aku tak memedulikannya walau sebenarnya aku malu, harga diriku terasa terinjak-injak. Tak terbayangkan kondisiku jadi seperti ini sekarang. Kedua laki-laki tua ini tidak hanya melakukan pelecehan seksual dan percobaan perkosaan, tapi juga merendahkan martabatku sebagai perempuan baik-baik.

Setelah beberapa saat, kulihat aliran sungai kembali berada di samping jalan setapak ini. Aku merasakan langkah kaki kedua laki-laki tua ini melangkah lebih cepat. Sejenak mereka berhenti tepat di pinggiran sungai. Tampak tanah basah berada di bibir sungai tersapu oleh ombak-ombak kecil. Mereka menurunkanku secara perlahan. Rasa dingin terasa ketika kulit bagian depan tubuhku menyentuh permukaan tanah basah ini. Di mulai dari perut, buah dada, lalu kedua paha. Aku diturunkan dengan cara telungkup. Awalnya terasa perih karena luka-luka di perut, paha, puting, dan buah dadaku bersentuhan langsung dengan tanah berwarna merah kehitaman ini. Tapi lama-lama tidak begitu sakit. Cuma cenut-cenut saja. Tapi tetap saja sakit, uuhhh!! Kepalaku sampai menoleh ke samping kiri biar mukaku tidak berciuman sama tanah.

Saat diturunin, aku pikir mereka membiarkan kondisiku telungkup. Duh, bisa gawat nih batang bambu yang ada di punggungku. Mana diameter bambunya besar pula. Aku bisa gak kuat menahan beban bambu yang menindih tubuhku. Tapi, prasangkaku salah. Pelan-pelan, tubuhku dimiringkan, sehingga batang bambu yang berada di belakang punggungku tidak menindihku. Mereka memposisikan pergelangan kaki dan tanganku yang terikat tali pada bambu tidak tertindih oleh bambu. Kulihat kedua laki-laki tua itu saling berbisik, entah apa yang mereka bicarakan. Dengan posisi miring ke kanan, kepalaku bersandar pada lengan kiri. Bagian samping kanan tubuhku menumpu pada tanah basah ini. Leherku cukup pegal habis bergelantungan menahan beban kepala di bambu itu.

Di hadapanku, membentang panjang aliran sungai yang airnya jernih. Apakah sungai ini adalah satu aliran sungai yang sama dengan tempatku mandi tadi ya?

Kemudian aku lihat kedua laki-laki tua itu saling berjongkok. Mereka menangkupkan telapak tangan mereka dan mengambil air. Mereka membasuh wajah dan sesekali meminum air dari sungai itu.

"Pak, tolong kasih aku air. Aku haus," selorohku merasakan tenggorokanku terasa sangat kering. Rasa dahaganya seperti mengingatkanku habis latihan olahraga sama Ria. Bila kubiarkan mungkin dalam waktu singkat aku akan menuju fase kehilangan cairan dan elektrolit.

Telingaku mendengar salah seorang laki-laki tua itu berbicara. Sambil berseringai, kedua mata laki-laki tua itu menatap tubuh telanjangku yang terdampar dan tak berdaya di bibir sungai ini. Sambil bersuara, laki-laki tua itu kemudian menangkupkan air di telapak tangannya, dan mengisyaratkan dengan menyodorkannya kepadaku. Laki-laki tua ini kelihatannya mengerti apa maksudku. Dia tertawa. Laki-laki tua di sebelahnya pun ikut tertawa. Kulihat laki-laki tua itu kembali meminum air dari tangkup telapak tangannya. Dia tidak memberikannya kepadaku dan cuma pamer saja. Laki-laki tua satunya juga ikut meminum air dari tangkupan telapak tangannya. Terlihat di mataku mereka melakukan hal yang sama. Mereka melakukannya dengan ritme yang lebih cepat, mengambil air, dan meminumnya. Entah apa maksudnya, apa mereka mengejekku? ya tentu saja.

Aku merasakan ada hal yang aneh dengan mereka. Air yang mereka minum tidak ditelan. Pipi kedua laki-laki tua itu terlihat mengembung. Apa sih yang mereka lakukan? salah satu laki-laki tua itu terlihat mendekatiku, diikuti dengan laki-laki tua satunya. Jangan-jangan mereka ….

"Pak!! Jangan … Jangan." Aku berteriak sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Laki-laki tua itu memegang kedua pundakku. Dengan kasar mereka membalikan badanku pada posisi telentang. Kini tubuhku tiduran pada batang bambu yang berada tepat di bawah tubuhku. Rasanya sakit menusuk-nusuk. Di punggung atasku, salah satu ruas bambu masih ada cabang-cabang yang belum terpotong hingga terasa menusuk-nusuk kulit. Kedua kakiku pun mengangkangi bambu. Rasanya benar-benar perih. Aku yakin, kulit punggungku terluka akibat tusukan ruas cabang bambu itu. Belum lagi beberapa gelugut yang tanpa pembatas bersentuhan langsung dengan kulit punggungku.

"Jangan!! Jangan, Pak!! Tolong jangan lakukan." Aku terus berteriak sambil meronta-ronta. Tampaknya salah satu laki-laki itu mengerti. Ia mendekati dan berjongkok di sebelah kananku, lalu tangannya sigap mengangkat dan menopang punggungku.

Terdengar cabang-cabang di ruas bambu yang menusuk titik-titik punggungku ia patahkan. Lalu melepaskan hingga punggung atasku tidak begitu terasa nyeri lagi ketika bambu menjadi bantalan tidurku.

Namun, salah satu laki-laki tua yang datang membawa air di dalam mulutnya itu mencoba mencumbu bibirku. Mulutnya ia majukan membentuk kerucut dan mendekati bibirku secara perlahan. Aku hanya menggeleng-geleng saat ujung bibirnya sangat dekat dengan wajahku. Dengus nafasnya memburu menyemburkan karbon dioksida dan uap air. Saking dekat dan kencangnya, beberapa helai bulu hidung serta kumisnya ikut bergoyang melambai-lambai mengikuti terjangan dan hisapan yang berasal dari sepasang lubang hidungnya. Aku berusaha memalingkan wajah ke samping kiri, tapi ia memegangi kepalaku. Telapak tangan dan jemari kasarnya menghimpit pipi kiri dan kananku. Aku hanya bisa memejamkan mata. Tak lama kemudian, kurasakan bibir laki-laki tua itu menempel di bibirku. Aku dicumbunya. Ia mencoba memberikan air dari dalam mulutnya.

Aku tak sudi menerima air yang ada di dalam mulutnya. Batinku berteriak menolak perbuatannya. Seketika genangan air mata yang membasahi pelupuk mata.

"Hmmmmpphh." Aku mendengus dan tetap mencoba tetap menutup kedua mulutku rapat-rapat.

Tiba-tiba tangan kanan laki-laki tua yang menopang punggungku di sisi kanan ini kemudian meremas payudara kananku. Berbeda dengan remasan sebelumnya yang tidak terlalu kuat. Kali ini aku merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang muncul persis ketika bibir Ria menyentuh payudaraku kemarin.

"Hmmmpphh!!" Aku berusaha untuk tetap menutup mulutku.

Agak perih, karena ia meremas buah dadaku yang terluka. Telapak tangan kanan laki-laki tua itu terus meremas payudara sebelah kananku. Kurasakan remasan laki-laki tua ini terasa lembut. Dia meremas-remas seperti gerakan memijat. Meski demikian, kulit kasar telapak tangan dan jemarinya tetap terasa tidak nyaman. Berbeda dengan tangan dan jari Ria yang secara kualitas lebih lembut dan terawat. Sambil meremas lembut, payudara kananku diputar searah jarum jam. Gila ini, dikira buah dadaku adonan apa diputar-putar? Aku sedikit kesakitan. Ulahnya itu mengenai luka di payudara. Namun beberapa detik kemudian, ia memutar berlawanan arah jarum jam. Ia melakukan berulang kali hingga tiga kali. Jadi totalnya enam kali. Tiga kali searah jarum jam dan tiga kali berlawanan arah jarum jam.

Jari-jari laki-laki tua ini menjepit pangkal puting kananku tapi tidak terlalu keras. Ia lakukan sambil menangkupkan tangannya di buah dadaku. Sambil meremas lembut, areola di dekat pangkal puting kananku yang dijepit di antara jarinya menghimpit dan menekan-nekan hingga pangkal putingku seperti dicubit. Aku pun membuka mata perlahan dan menunduk ke bawah. Kulihat pria yang meremas dan menjepit putingku terkekeh-kekeh. Puting kananku berada di antara jari tengah dan jari manis. Ujung puting mungilku sampai menyembul. Diperlakukan demikian, air mataku tak henti-hentinya keluar membasahi pelipis. Harga diriku benar-benar hancur. Dia dengan seenaknya sendiri mempermainkan tubuhku. Buah dadaku seperti mainan. Jemari tangannya lihai membuat putingku menyembul dan menyusut. Apalagi, dia memainkan payudaraku sambil ngobrol sama temannya. Di sela-sela pembicaraan mereka, tercetus tawa terkikih-kikih seperti mengejekku.

Belum puas memperlakukan seperti itu, tiba-tiba ia melepaskan dan menghentikan remasan. Lalu, ia mengangkat dengan menjepit puting kananku dengan ibu jari dan jari telunjuk secara vertikal ke atas hingga buah dadaku mengerucut. Ia diamkan sesaat, lalu melepasnya hingga putingku dengan cepat tertarik ke bawah, kembali posisinya dengan memantul beberapa kali sebelum putingku pada posisi stagnan. Ia kembali menjepit puting kananku berulang kali. Rasanya benar-benar sakit. Terutama yang terakhir, ia menariknya terlalu tinggi seperti putingku mau lepas. Luka di putingku yang tadinya tidak begitu sakit, jadi terasa banget.

“Pak!!! Ah … S-Sakit!!”

Aku kira itu yang terakhir, ternyata tidak. Ia melakukan ke puting satunya. Puting kiriku diperlakukan hal yang sama. Ia meremas payudara kiriku dengan gerak memutar begitu seterusnya. Sama seperti yang ia lakukan ke payudara kananku. Tapi, kali ini lebih menyakitkan. Bukan karena kasarnya ia melakukannya, tapi payudara kiriku yang lebih banyak luka baret akibat perjalanan mereka membawaku hingga buah dadaku berdarah. Putingku terasa sakit saat ditarik-tarik olehnya.

“Aaaaaghh …,” pekikku seraya sepasang mata kualihkan melihat ke atas dengan tatapan kosong. Derai air mata keluar berurai dari saluran kecil di sudut mataku.

Aku sedih. Aku takut. Tapi, ada perasaan lain yang menjalar ke seluruh tubuhku, rasa yang ingin kuulang lagi dalam benak kecilku. Rasa di mana semua sarafku menjadi rileks. Aliran darah di saluran pembuluh darahku mengalir lebih deras. Degup jantungku berdetak lebih cepat. Epinefrinku meningkat. Kulit terasa menjadi lebih sensitif, dan tentunya selangkanganku berkedut-kedut. Kandung kemihku terasa penuh dan terasa ingin pipis yang tak bisa kutahan lagi. Seperti yang dilakukan Ria kemarin, ada keinginan yang kutuntaskan.

Aku …

Aku ….

Aku … ingin orgasme!!!

Rangsangan yang diberikan laki-laki tua ini membuatku terlena. Aku tidak kuasa lagi untuk membuka mulutku.

“Hmmmhh.”

Sayup-sayup aku mendesah lirih. Mulutku terbuka. Saat itulah, bibir laki-laki tua yang ada di depan wajahku langsung memagut bibirku. Lidahnya ia julurkan hingga melakukan aksi kanuragan dengan lidahku. Aku tidak melakukan apapun. Lidahnya yang melakukan jurus-jurus maut kepada lidahku, aku diamkan. Aku cuma bisa terdiam melihat laki-laki tua ini melakukan french kiss ke mulutku. Ya aku tahu istilah itu. Ria pernah bercerita padaku tentang french kiss. Saat itu aku membayangkan sesuatu yang jijik, di mana ludah dua manusia saling menyatu. Namun sekarang aku melakukannya, bahkan dengan laki-laki asing yang seumuran dengan kakekku. Mulut kakek ini terus mencumbu. Air sungai yang disimpannya cukup lama di dalam mulutnya mengalir ke mulutku membasahi rongga mulut. Aku tak kuasa menahan rasa haus, akhirnya air menjijikkan itu lolos melalui tenggorokanku. Aku rasa bukan cuma air sungai, melainkan air liur. Air sungai yang di dalam mulutnya tentu banyak terkontaminasi oleh air liur. Aku merasa jijik, tapi entah mengapa ada perasaan lain yang menghinggapi.

Aku horny!!

Aku tenggelam dalam gairah nafsu. Itu bukan karena dia memagut mulutku, tapi karena perlakukan rekannya yang memainkan sepasang buah dada dan putingku.

Waktu telah berlalu. Dua kakek-kakek ini terus mencumbuku, tangannya masih memainkan puting dan meremas-remas payudaraku hingga selangkanganku terasa berkedut-kedut. Sepasang bartholin di bawah sana sedang melumasi rongga kemaluanku. Seperti beberapa saat yang lalu, laki-laki tua ini tidak memperlakukanku secara buas dan liar, remasannya terasa lembut, dan cumbuannya ke mulutku terasa pelan.

“Emmhh …”

A … Aku mulai bergairah!

Sebuah reaksi yang wajar ketika bagian-bagian yang paling sensitif di tubuhku dirangsang sedemikian rupa. Seperti dikitik-kitik. Rasanya geli dan akhirnya tertawa. Tapi aku bukan menikmati untuk dicumbui oleh dua pria tua ini. Aku sungguh tidak menikmatinya. Andaikan yang merangsang adalah orang yang tepat, tentu aku menikmatinya. Seperti Ria yang membuatku terangsang. Itulah hari bersejarah dalam hidupku, yang mana untuk pertama kalinya aku bisa terangsang dan orgasme.

Apapun yang mereka lakukan, aku tak akan bereaksi untuk membalasnya. Tubuhku terdiam, aku hanya bersifat pasif atas rangsangan yang mereka berikan.

"Ahhh .. Nghhh .. Mmmphh," desahku lirih.

Mulutku terbungkam oleh cumbuan dan jilatan lelaki tua ini, lidahnya menari saling bertautan dengan lidahku, bibirnya memagut bibirku, mulutku sangat basah, air liur kami saling bercampur, hal yang semestinya menjijikkan. Derai air mata tak henti-hentinya mengalir. Pandangan mataku memburam.

"Emhhh."

Aku merasakan putingku dihisap oleh lelaki di sampingku. Kaki dan tangan yang terikat hanya kelojotan seperti cacing yang ditaburi garam. Putingku di dalam mulutnya terasa dipijat-pijat oleh lidahnya. Tekanan dan sentuhan organ tak bertulang itu membuat saraf-saraf di ujung buah dadaku seperti sengatan listrik.

Ah … aku tersiksa. Serbuan serangan pada titik sensitif tubuhku dirangsang habis-habisan. Darahku mendesir. Jantungku berdetak cepat. Aku yakin sepasang puting yang ereksi dipenuhi oleh darah, bak balon yang ditiup. Kelenjar bartholin yang keluar melumasi rongga vaginaku terus bereaksi. Sepertinya, cairan itu meluber offside dari sarangnya. Meleleh membasahi perineum. Mungkin, bisa jadi jatuh menetes mengenai batang bambu.

Tubuhku semakin memberontak. Akal sehatku mengatakan untuk tidak boleh terangsang, tapi jasmaniku berkhianat. Rangsangan yang dilakukan mereka berdua membuat pikiranku kalah. Yang awalnya aku masih bisa menahannya, kini tak dapat dibendung. Jika ada alat pengukur rangsangan yang kuterima, mungkin di kisaran sembilan puluh delapan persen. Kurang sedikit lagi, orgasme-ku akan meledak.

Lidah pria ini lihai dan kuat berlama-lama di dalam rongga mulutku. Rekannya pun sama. Ia tetap berlama-lama ngenyot putingku. Putingku yang satunya juga dipilin-pilin sambil dipencet-pencet.

Detik demi detik, mereka tanpa jeda membuatku kelabakan. Tak lama kemudian, bibir labiaku merasakan ada benda yang menyentuhnya. Bergerak dari perineum menuju ke atas secara perlahan. Dapat kurasakan jemarinya sedikit masuk ke lorong vaginaku, lalu merangkak ke atas melintasi lubang pipis. Pasti dia dapat merasakan denyut bibir bawahku yang berkedut-kedut. Namun, siksaan ini belum berakhir. Pada saat benda ini naik bersentuhan dengan biji mungil yang terdapat lebih dari delapan ribu ujung saraf, orgasmeku meledak.

“MMHHHHHHHH!!” jeritku dalam himpitan mulut sambil tetap memejamkan mata. Hanya suara yang keluar dari rongga hidung.

Rasanya bagai sebuah bom Tsar yang meledak. Dasyat. Mematikan.

Ini untuk yang kedua kali aku orgasme. Sungguh, aku tak dapat membedakan ledakan orgasme mana yang lebih besar.

Aku lemas.

Aku letih.

Tulang belulangku terasa lolos dari raga. Gula darah terkuras habis. Keringat bercucuran. Jiwaku yang tadi terasa melambung tinggi, sudah sampai ke bumi. Rasanya aku habis pergi ke Bulan, lalu kembali mendarat ke Bumi dengan selamat.

Mereka sepertinya paham kalau aku habis orgasme. Pria yang membungkam mulutku dengan mulutnya telah ia lepas, termasuk pria yang menyusu ke payudaraku. Tangan jahil yang meremasi dan memilin putingku juga menyingkir. Ah, akhirnya aku bisa bernafas lega. Mereka cekikikan tertawa saling memandangi satu sama lainnya. Mungkin ada rasa bangga karena sudah berhasil membuat diriku kelojotan. Mereka tidak tahu rasanya jadi cewek. Gimana rasanya diperlakukan demikian. Mereka seolah-olah tak memahami perasaanku yang sudah terluka. Luka yang mungkin akan memakan waktu yang lama untuk sembuh.

Setelah saling pandang, mereka saling berkomunikasi. Dari ucapan-ucapan yang keluar dari mulut, salah satunya mengangguk-angguk. Begitu juga dengan satunya yang mengangguk-angguk. Di sela-sela perbincangan, mereka masih tertawa bercanda di hadapanku yang tidur telentang di batang bambu. Aku berada di antara mereka berdua yang sedang berunding. Tubuhku seperti meja perundingan baginya. Meski aku tidak tahu apa yang akan mereka rencanakan, tapi aku merasa rencana mereka jauh lebih buruk dengan apa yang sudah mereka perbuat kepadaku. Mereka bisa bebas menikmati ragaku, tapi jiwaku tetap memberontak. Ingin rasanya ada malaikat maut yang saat ini juga datang menjemputku, entah gagal jantung, atau apapun itu. Aku merasa ingin meninggalkan dunia ini. Maafkan aku … Mama, Papa.

“Hikss … Hikss …”

Air mataku kembali menderai sesenggukan. Namun, baru dua kali menyengguk, mereka kembali menggerepeku. Belum usai badai orgasme yang kuterima, bagian sensitif tubuhku ia mainkan.

“Aaaaah, Pak … Geli.”

Secara bersamaan, mereka menyosor ke payudaraku. Kedua mulut laki-laki ini menyusu ke putingku. Karena baru saja aku selesai orgasme, yang kurasakan sekarang ini bukanlah rasa yang bikin aku terangsang, melainkan sebuah rasa yang rasanya lebih dari geli ketika digelitiki. Sungguh, rasanya tidak nyaman.

Mereka yang berjongkok di samping kiri dan kanan dekat ketiakku menghimpit tubuh sambil terus menyusu. Pria di sisi kiriku menempatkan telapak tangannya di ketiakku yang bersih tak berbulu. Rasanya tambah geli ketika jari jemari kasar dan pecah-pecah serta bau tanah itu bergerak di permukaan kulit ketiakku. Areola dan putingku masuk ke dalam mulutnya yang menghisap untuk mencari sari yang diproduksi oleh mammary duct. Sayangnya, hal itu tidak mungkin terjadi. Hormon di dalam tubuhku tidak memproduksi cairan yang berwarna putih itu, melainkan kehampaan.

Pria di sebelah kiriku kurasakan sedang menggigit-gigit pangkal putingku. Gigi-gigi yang kotor dan jarang digosok itu tidak sepantasnya menggigit putingku. Rasa jengkel serta marah bercampur aduk. Aku tidak pantas diperlakukan seperti ini. A .. Aku.

“Aaaaaiihhh… Sa, Sakit!!”

Dia menggigit pangkal putingku sambil menarik-narik hingga membuat bentuk payudara kiriku mengerucut. Kemudian, pria di sebelah kanan juga ikut-ikutan. Jadinya putingku juga ditarik-tarik secara bergantian. Kadang pula bersamaan. Di kala puting kiriku ditarik, puting kananku di ulur. Puting kiri mengerucut. Begitu juga sebaliknya. Lelaki di kananku menarik putingku dengan giginya, lalu di sebelah kanan mengulur. Alangkah sakitnya saat mereka menarik putingku secara bersamaan. Bentuk kedua buah dadaku jadi mengerucut. Tubuhku secara spontan memberontak dan bergerak ke kiri dan ke kanan. Tapi apa daya, putingku yang dijepit gigi-gigi seri mereka tetap tak lepas. Malah, aku seperti menyakiti diriku sendiri. Ketika aku bergerak ke kiri, payudara kananku semakin mengerucut dan putingku seperti tertarik seperti akan lepas. Begitu pula ketika aku bergerak ke kanan. Aku jadi serba salah.

Entah berapa kali mereka menarik-narik putingku. Rasanya benar-benar sakit. Tak kusangka perlakukan mereka yang awalnya lembut jadi kasar kayak begini. Rasanya putingku panas dan perih. Saat menarik-narik putingku yang digigit, mereka menatapku bersamaan. Tampak gigi-gigi serinya yang kuning, gelap, serta dipenuhi tartar dan ada lubang-lubang hitam itu menggigit pangkal putingku. Benar-benar menjijikkan. Apalagi ketika mereka menggigit dan menarik putingku saling berlawanan. Uhh, sakitnya minta ampun. Puting kiriku digigit dan ditarik ke kiri, sedangkan puting kananku digigit dan ditarik ke kanan. Sepasang putingku saling berjauhan. Bentuk buah dada kiriku mengerucut ke kiri dan buah dada kananku mengerucut ke kanan. Mereka seolah-olah sedang main tarik tambang.

“Pak ... Akkhhh. Sakit!!!”

Gila, sakitnya bukan main. Mereka dengan seenaknya menarik-narik bagian tubuhku yang begitu sensitif. Lelehan air liur yang keluar dari mulutnya pun merambat turun dari puting menuju ke bawah disertai aroma yang tidak sedap. Sepasang bongkahan daging kembarku kemudian dipegang pada bagian pangkalnya. Sepasang tangannya melingkari bukit kenyalku dan menekannya hingga bentuknya kini menggembung. Mulutnya tak lagi menggigit putingku, tapi menghisap-hisap.

Kali ini perlakuan mereka tidak sekasar tadi. Kenyotan pada putingku lebih lembut. Lidahnya menari-nari membelai putingku. Remasannya juga lembut seperti memijat-mijat. Bentuk buah dadaku jadi tak beraturan.

Aku tak lagi merasa geli, tapi terangsang. Titik-titik gejolak nafsuku pun meningkat secara alami. Kayaknya baru beberapa menit yang lalu aku orgasme, tapi sekarang aku jadi on lagi. Rangsangan di putingku membuat kemaluanku berdenyut dan membasah. Uhh, aku malu. Tapi, ini ….

“Mhhhhh … Stop …,” desahku melolong minta mereka menghentikan perbuatan cabulnya. Aku merasa kesakitan tapi terangsang. Di bagian buah dadaku yang terluka itu yang terasa perih.

Desahan-desahan itu keluar seiring dengan tubuhku yang menghangat. Aliran darah dari pacuan mesin pompa yang letaknya di antara paru-paruku bekerja lebih cepat. Tiap sel di tubuh segera butuh asupan oksigen dan nutrisi. Hasil pembakaran membuat tubuhku kian hangat disertai bulir-bulir keringat yang keluar dari pori-pori kulit. Pembakaran kalori sedang terjadi. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Posisi tubuhku, juga kondisi yang habis orgasme membuat tubuhku harus mengeluarkan energi tambahan.

Salah satu dari mereka beralih ke selangkanganku. Dia memainkan kemaluanku dengan jarinya yang kasar. Rasanya kini sungguh berbeda. Permukaan bibir labiaku saat bersentuhan dengan jarinya, rasanya seperti tersengat listrik. Tensinya lebih meningkat ketika jarinya bergesekan dengan kelentit. Putingku serasa seperti ikut tersengat listrik. Padahal yang dirangsang di bawah, tapi putingku ikut kesetrum.

“Uhhh … J-Jangan, Pak,” pintaku dikala kurasakan bibir bawahku merenggang dan ada benda yang masuk.

Oh, tidak. Dia mencoba memasukkan jarinya ke lubang senggamaku!!.

Jantungku berdebar-debar. Apakah ini takdirku untuk kehilangan selaput daraku?

Aku takut.

Aku takut.

Namun, tiba tiba ia menghentikan dorongan jarinya. Ada apa? Ada apa? aku bertanya-tanya dalam hati.

Pria yang berada dekat dengan selangkanganku kemudian menarik jarinya. Ia kemudian berbicara ke rekan yang sedang mencabuli buah dadaku. Pria itu kemudian menunjukkan jarinya yang terselimuti darah?

Apa? apakah aku sudah kehilangan keperawananku?

Seketika itu aku lemas. Aku tak menyangka dengan apa yang terjadi. Aku kehilangan keperawananku. Badanku seketika lemas. Tekanan yang kurasakan sungguh berat. Nasibku kehilangan keperawanan di tangan orang tua jelek macam dia. Apa yang aku bilang pada suamiku kalau aku tidak perawan? Aku takut. Komitmen untuk menjaga keperawanan sampai nikah berakhir sudah. Tubuhku melemas.

Sekarang yang kurasakan adalah tubuhku sudah lepas dari ikatan. Aku digendong oleh salah satu dari mereka. Dari sini aku dapat melihat wajah yang menggendongku tersenyum. Sesekali ia menunduk melihat wajahku. Meski aku telah kehilangan keperawanan, mereka tidak melepaskanku. Aku semakin takut akan dibawa ke mana ragaku yang tak suci lagi. Raga yang telah dijamah oleh pria yang bukan muhrimku.

Dalam keadaanku yang lemah dan setengah tidak sadar, aku melihat sesuatu di balik semak-semak di atas tebing. Sepertinya ada seseorang di sana? Tapi siapakah dia?

"T-Tolong.”

Aku mencoba berteriak, tapi suaraku lemah. Tekanan udara dari paru-paru tak dapat menggetarkan pita suara lebih nyaring. Nafasku juga melemah.

Tak lama kemudian bayangan di semak-semak itu menghilang. Aku pun tak dapat berbuat banyak lagi. Kiranya sang kuasa menolongku. Hanya Engkau harapan terakhirku.

Pandanganku mulai kabur. Aku kuat-kuatin untuk tetap sadar. Namun, ragaku sudah tak sanggup lagi. Gula darahku menipis. Akhirnya aku kalah. Pandanganku gelap disertai kehilangan indera pendengaran.


***


Hawa dingin menusuk kulit dan membuat raga dan roh bersatu. Kelopak mataku membuka secara perlahan.

Ugh!!

Aku merasa suhu tubuh meningkat, kepala terasa pusing berkunang-kunang, dan hidungku tersumbat. Rasanya aku lagi demam. Aku baru sadar, setelah lensa mataku sudah bisa fokus ternyata tubuhku terduduk bersandar pada dinding gua yang terasa dingin dan lembab. Dinding gua ini tidak kasar. Kedua kakiku lurus. Jika dilihat dari samping, bentuk tubuhku seperti huruf L. Aku mendongak dan kulihat kedua pergelangan tanganku terikat pada sebuah patok kayu yang ada di sebelah kanan dan kiriku, kedua kakiku yang lurus membuka lebar dan pergelangannya juga terikat di patok kayu yang berada di kanan dan kiri di depan pandangan mataku.

Kulihat masih ada noda darah di selangkanganku. Entah mengapa, aku kembali meneteskan air mata. Aku terisak-isak meratapi nasib. Namun, aku baru teringat sesuatu. Aku mengingat saat dalam perjalanan liburan semester ke sini. Waktu itu ingat kalau dalam satu atau dua hari ke depan aku bakal dapet. Tapi aku lupa kalau di tasku tidak membawa pembalut. Aku baru sadar, ternyata darah itu adalah darah kotor bulananku. Cairan merah itu tetap mengalir melalui kulit bagian dalam pahaku. Memang aku jarang sekali merasakan sakit saat dapet.

Kondisi fisikku benar-benar kotor. Bukan hanya noda darah dari bulananku, tapi tampak pula noda lumpur dan bekas muntahan yang bercampur di sekujur tubuh. Setelah diterpa beberapa siksaan yang kualami, fisikku akhirnya menyerah. Sadar-sadar sudah adah ada di dalam gua dengan tubuh terikat.

Aku melihat lingkungan sekitar. Kugerakkan bola mata ke arah kiri, lalu ke kanan. Gua ini sangat gelap karena berada di bawah permukaan tanah. Tak banyak sinar matahari yang menembus kedalaman gua. Setelah insiden darah menstruasiku yang keluar di tepian sungai tadi, kedua laki-laki tua ini menghentikan percobaan pemerkosaannya kepadaku. Mereka hanya menggendongku dengan tergesa-gesa dan membawaku ke kediaman mereka.

Terlihat mereka sekarang enggan mendekat padaku, entah apa yang ada di pikiran mereka. Mungkin ada mitos yang mereka percayai, kalau wanita yang sedang menstruasi dilarang untuk disetubuhi. Semoga hal itu benar. Setelah beberapa peristiwa pelecehan yang kedua laki-laki tua itu lakukan padaku, paling tidak aku terselamatkan dari pemerkosaan dan bisa sejenak untuk menghela nafas.

Aku berada di ruangan di dalam gua sendirian, kulihat secercah cahaya api yang tiba-tiba muncul di sebelah ruanganku. Gua ini memiliki beberapa ruang, mengingatku pada gua Cu Chi Tunnel di Vietnam yang pernah kukunjungi. Terlihat panjang dan tak berujung, hanya saja gua ini sedikit lebih luas. Sama luasnya dengan gua tempat Ria "bermain-main" dengan stalakmit kemarin. Yang berbeda, gua yang kukunjungi bersama Ria dekat dengan pantai dan curug. Salah satu hal yang mencolok ialah Chu Chi Tunnel dibuat oleh manusia, sedangkan gua ini terlihat masih alami. Hanya beberapa minor yang dibuat dan ditambah-tambahi.

Teringat beberapa waktu yang lalu akal sehatku hilang, gairah nafsu menguasai pikiranku, hingga aku merespon segala stimulus seks yang kedua laki-laki tua itu lakukan. Aku tak habis pikir, aku melupakan segala norma sosial dan agama yang kuanut, dan larut dalam lautan nafsu birahi. Kami saling mencumbu, aku membalas cumbuan yang mereka berikan di tengah kesadaranku. Badanku menggeliat menerima berbagai rangsangan sentuhan tangan kasar mereka. Bahkan, salah satu laki-laki tua itu sempat akan melakukan penetrasi pada mulut vaginaku. Ujung penisnya telah menempel di labia mayoraku. Tinggal sedikit dorongan saja, batang penis itu pasti merobek selaput daraku sebagai segel dan lambang kesucianku. Namun, patut kusyukuri semua itu benar-benar tak terjadi. Sedetik kemudian saat aku merasakan dia hendak mendorong kejantanannya, darah menstruasi mengucur dari mulut vaginaku.

Kini aku hanya bisa menunggu dan pasrah tentang takdir apa yang bakal kulalui. Samar-samar, terdengar kedua laki-laki tua itu saling berbicara di ruang sebelah. Aku hanya mendengar tanpa bisa menduga. Tak adakah sisi baik yang mereka punya? bagaimanapun juga mereka manusia bukan binatang, walau tercermin dari perlakuan mereka kepadaku selama ini yang jauh dari kata beradab.

Cahaya api dari lorong gua di sebelah kanan terlihat mendekatiku. Cahaya itu berasal dari ruang sebelah. Kurasakan hawa pengap semakin terasa di kulitku. Salah satu laki-laki tua itu masuk ke dalam ruanganku. Ia datang sambil telanjang bulat. Gada keperkasaannya yang hitam dan panjang itu lemas berayun-ayun mirip belalai gajah. Ayunannya bergerak diikuti langkah kaki yang tegap. Terlihat dia membawa daging panggang seekor binatang yang ditusuk oleh sebuah batang kayu. Dia mendekati tubuhku, tangannya kemudian mengayun ke arahku, seraya akan memberikan daging itu untuk ku makan.

Dia jongkok di samping kananku yang sedang terikat seraya tetap menahan daging kecoklatan berada di depan wajahku. Ia berbicara beberapa kata dengan intonasi cukup lembut dengan memperagakan mimik mulut yang membuka.

“Apa dia menawariku daging itu untuk ku makan?” ujarku dalam hati.

Jujur keadaanku sekarang menginginkan makanan untuk kumakan. Dagin itu. Ya, daging itu tampak lezat. Aroma dari uap dan asap yang mengepul dari daging itu membuat produksi air liur di dalam mulutku meningkat. Perutku terasa kosong dan perih. Setelah beberapa siksaan baik fisik atau batin yang kualami, serta mengingat makanan yang telah kumakan hari ini, daging itu adalah makanan yang paling istimewa. Tak dapat dibayangkan, subuh tadi aku hanya makan umbi-umbian. Siangnya, aku makan buah-buahan.

"Hewan apa itu?" Aku berkata dalam hati bertanya-tanya.

Aku seperti pernah melihat hewan itu, namun belum bisa mengidentifikasi. Kepalanya terpenggal, hanya menyisakan bagian tubuh dari leher sampai ekor. Dan, tentu saja keempat kakinya masih utuh. Badannya terlihat pendek, gemuk dan berlemak, dengan keempat kaki yang juga pendek. Dari anatomi hewan itu aku mencoba mengingat sesuatu.

"I-Itu, babi hutan!" Aku berkata lirih sambil memasang wajah kaget karena mengetahui bentuk ekor dari hewan itu. Ukurannya tidaklah besar, mungkin itu babi hutan yang masih muda.

Aku mendengar laki-laki tua itu berbicara sepatah kata. Apa dia membenarkan perkataanku tentang hewan itu? ataukah kata itu berarti “makanlah”? entahlah.

Dalam agamaku jelas itu hewan yang haram, namun batinku menginginkanya untuk kumakan. Setidaknya itu akan menambah energiku dan usahaku untuk tetap bertahan hidup. Di sisi lain, hewan itu dipastikan dibunuh bukan dengan cara islami. Apa pun hewan itu, walaupun bukan babi pun kalau tidak memakai cara islami tentu saja tetap haram. Sekarang kebimbangan melanda diriku.

Sejenak kuberpikir. Aku mengangguk tanda mengiyakan tawaran laki-laki tua itu. Aku tahu maksud dia memang baik menawariku untuk makan. Namun, dia menyodorkan makanan haram, tentunya dia tidak tahu kalau kepercayaanku melarangku untuk memakan makanan haram. Tapi apa boleh buat. Seperti yang kuketahui dan yang telah kupelajari, dalam keadaan terpaksa kita boleh memakan makanan haram bila tidak ada alternatif lain yang bisa dimakan. Bahkan, memakan daging manusia pun tetap halal.

Laki-laki tua itu kemudian melepas ikatan tangan kiriku, lalu meletakan daging itu tepat di atas batu di samping kiriku. Obor yang dibawanya ia letakkan di samping kananku. Ia tancapkan di bawah dan dijepit oleh dua batu agar obor tetap berdiri menemaniku sehingga ruangan ini menjadi terang karena cahayanya. Laki-laki tua itu kemudian beranjak pergi ke ruangan sebelah.

Apa aku akan benar-benar akan memakan daging ini? Perutku akan terisi dengan sesuatu yang diharamkan. Nutrisi dari daging yang kukonsumsi akan menjalar ke seluruh sel tubuh. Keraguan masih melanda pikiranku, pandanganku tetap terfokus pada daging babi hutan di depanku.

Kugerakan tangan kiriku, lalu kuraih gagang batang kayu penusuk daging babi hutan ini. Berat banget. Walaupun babinya kecil, tapi bobotnya sungguh berat. Aroma lezat daging babi hutan ini tercium tajam oleh hidungku. Aku mencoba untuk memakannya. Aku kemudian mengerahkan tenaga untuk mengarahkan daging babi hutan itu ke arah mulutku. Tanganku sedikit bergetar karena kelaparan. Mulutku kemudian terbuka, lalu mulai menggigit daging babi hutan ini. Satu gigitan kecil, lalu kukunyah. Dan, daging babi hutan ini kutelan masuk ke dalam perut.

Entah mengapa aku mulai meneteskan air mata. Aku melakukan hal yang diharamkan. Bukan cuma daging yang kumakan, tapi dari bercumbu dengan laki-laki yang bukan muhrimku, lalu sekarang aku memakan makanan yang diharamkan oleh agamaku.

Bulir-bulir air mata terus menetes membasahi pipiku. Aku mengunyah daging babi hutan ini. Rasanya gurih, sepoh, agak alot dan tekstur dagingnya lunak. Aku terus mengunyahnya dan memasukkannya ke kerongkonganku. Oh seperti inikah rasanya daging babi yang pernah Ria makan? Rasa gurih dari lemak dan kulit babi sangat berbeda dari daging sapi maupun daging kambing.

Aku terus terisak. Untuk pertama kalinya dalam hidupku memakan makanan haram. Di tambah, aku makan daging haram ini dengan tangan kiri. Terus kulanjutkan memakan daging babi hutan ini. Aku terus menggigit, mengunyah, lalu menelan. Walau hanya memegang dengan satu tangan, aku tetap melahapnya. Rasa lapar yang tak tertahankan membuatku terus memakannya. Jujur di bagian dalam daging ini terasa alot. Bau anyir darah pun masih tercium. Mereka mungkin tidak membersihkan dahulu hewan ini sebelum memanggangnya. Gigitan demi gigitan akhirnya perutku pun terasa kenyang. Aku lebih memakan bagian terluar babi ini, karena bagian kulit dan lemaknya benar-benar gurih dan lezat. Aku pun menjatuhkan daging babi hutan ini di depanku, tepatnya di depan kemaluanku yang menganga karena kedua kakiku terikat di kedua sisi. Rasa penyesalan tetap ada di benakku namun apa boleh buat. Keadaan memaksaku untuk memakan makanan haram.

Setelah kenyang, energiku pun lambat laun mulai terasa terisi kembali. Rasa letih yang selama ini menghinggapi tubuhku perlahan hilang.

"Pak, pak, lepaskan ikatanku." Aku berseloroh, meminta ke kedua laki-laki tua yang berada di ruang sebelah untuk melepas ikatan di tangan dan kakiku.

Tali yang mengekang tangan dan kakiku terasa kuat dan menggesek kulitku. Hanyalah perih kurasakan. Aku mencoba menjulurkan tangan kiriku untuk menggapai obor di samping kananku, tapi apa daya tanganku tak cukup panjang untuk meraihnya. Aku bukanlah superhero Fantastic Four yang salah satu tokohnya bisa memanjangkan tangan. Juga bukan pula Luffy si manusia karet dalam serial anime One Piece kesukaan adik sepupu.

Tak lama kemudian, laki-laki tua yang tadi memberikan daging babi itu masuk ke dalam ruanganku. Sama seperti tadi, ia datang dengan telanjang bulat. Aku memberi kode dengan gestur gerakan kepala, tangan, dan kakiku. Memberikan isyarat kepada laki-laki tua itu untuk melepas ikatan tali.

Semoga laki-laki tua itu mengerti apa yang kusampaikan. Aku tidak akan melarikan diri. Kalaupun ada niat, rasanya aku tidak akan mampu karena kedua laki-laki tua itu bakal dengan mudah melumpuhkanku dan aku pun buta area di dalam gua ini. Aku tidak tahu jalan keluarnya ke arah mana dan di sebelah mana. Yang ada mungkin mereka akan lebih marah padaku, dan kemudian menyiksaku atau bahkan akan membunuhku. Itulah yang kutakutkan saat ini.

"Pak, tolong lepaskan. Aku mohon." Aku berbicara kepada laki-laki tua itu.

Sejenak, dia berdiam merenungi apa yang aku ucapkan. Ia merenung dengan tatap wajah yang serius. Tentu dia berpikir sesuatu. Setelah beberapa menit, tampaknya ia mengerti dengan maksud perkataanku. Aku benar-benar tidak menyangkanya. Dia berjalan mendekat mencoba untuk melepaskan ikatan di pergelangan kedua kakiku. Setelah ikatan di kedua kakiku terlepas aku mencoba untuk terdiam. Kemudian laki-laki tua itu pun melepas ikatan di pergelangan tangan kananku. Kini tubuhku bebas tak terikat, punggungku aku masih bersandar di dinding gua.

Aku masih terdiam. Sebenarnya aku ada niat untuk menendang kepala laki-laki tua itu, namun urung kulakukan mengingat usahaku di atas pohon pun berakhir dengan kegagalan. Laki-laki itu pun terlihat bicara padaku. Telapak tangannya mengayun kepadaku seolah berkata untuk ikut dengannya. Aku pun bangkit dengan agak susah payah. Sambil tertatih-tatih, aku berjalan mengikutinya. Tempatku duduk terikat di belakangku terdapat noda darah menstruasiku. Kulihat selangkangan serta paha dalamku masih membercak darah segar juga darah yang mengering. Dia berjalan ke arah ruangan sebelah, tempat mereka tadi kudengar berbincang-bincang.

Sesampainya di ruang sebelah kulihat laki-laki tua yang satunya sedang berendam di sebuah bejana kuningan yang ukurannya besar. Bentuknya setengah lingkaran. Laki-laki tua itu bersandar di salah satu sisi bejana. Tangannya berpegangan pada pinggiran bejana. Terlihat di bawahnya terdapat tumpukan kayu dengan nyala api yang tidak terlalu besar. Tercium bebauan aroma wangi yang menyegarkan, mengingatku pada wewangian di tempat spa & sauna.

Apa maksud laki-laki tua ini mengajakku kemari? Apa aku diajak hanya untuk melihat seseorang yang sedang berendam? Dengan polosnya aku berpikiran demikian, namun ….

"Ah … ah … ah, Pak." Aku mendesah lirih.

Tiba-tiba dari arah belakang kurasakan laki-laki tua ini meremas kedua payudaraku. Telapak tangannya menangkup seluruh bongkahan gunung kembarku. Remasannya lembut. Lalu jemarinya meraih putingku. Menjepitnya dengan jari lalu dipilin sambil memencet-mencet hingga putingku tergencet dan menegang. Aku terus mendesah, hingga secara reflek aku memundurkan pantatku. Kurasakan kepala penis laki-laki tua ini menempel di belahan pantatku.

Aku terkaget, tapi kemudian laki-laki tua di belakangku mendekapku dari belakang, hingga punggungku dan dadanya yang dipenuhi bulu saling menempel. Laki-laki itu pun terus meremas payudaraku.

Senjata pamungkas yang terselip di antara bongkahan pantatku seperti mengeras. Apa yang akan dia lakukan? Apakah dia akan memerkosaku di sini? Sedikit kepanikan timbul dalam benakku. Namun, dalam keadaanku sekarang aku hanya bisa berserah diri. Biarlah aku merelakan keperawananku dibobol oleh mereka asal nyawaku bisa terselamatkan, itulah prioritas utamaku sekarang.

Laki-laki tua itu pun terus meremas sepasang buah dadaku. Pinggulnya dia gerakkan ke depan lalu ke belakang, menggesekkan kemaluannya dengan belahan pantatku.

“Huh, kurang ajar banget laki-laki ini!” Aku mengutuk dalam hati, tetapi entah kenapa desiran nafsuku perlahan bangkit. Aku terus mendesah. Bukan karena gesekan di pantatku, tapi rangsangan akibat remasan di buah dada dan gesekan jemarinya yang memainkan putingku seperti dawai gitar. Kedua laki-laki tua itu pun hanya cekikikan mendengarnya.

Belasan menit berlalu, dekapan laki-laki tua ini pun kemudian dia lepaskan. Aku tidak tahu, dia sudah ejakulasi atau belum. Melihat penisnya yang sudah tegang, aku yakin dia masih terangsang dan ingin bercumbu denganku. Pergelangan tangan kananku kemudian dia tarik. Ia mengajakku ke arah bejana tempat temannya berendam. Hingga tahap ini aku tahu maksud kedua laki-laki tua itu. Mereka ingin mengajakku mandi bersama dengan berendam di dalam bejana itu.

Air di dalam bejana itu terdapat beberapa jenis bunga dan dedaunan yang telah dimasukkan, sehingga dari sini tercium bebauan yang harum dan menyegarkan. Beberapa bunga tampak mengambang dan ada pula yang tenggelam.

“Apaan sih mereka ini? ngajakku mandi ya? dasar tua bangka mesum. Aku turuti saja deh, daripada kenapa-napa. Nanti kalau ada celah, aku bakal kabur. Saat ini aku turuti saja kemauan mereka,” kataku dalam hati.

Aku juga ingin berendam mungkin baik untuk recovery tubuhku. Tubuhku bau kecut habis berkeringat karena dicabuli habis-habisan. Walaupun aku yakin kedua laki-laki tua itu pasti akan melecehkanku saat aku berendam, tapi ini tidak ada pilihan lain. Kalau menolak pun percuma. Mereka pasti akan memakai cara kekerasan.

Punggungku didorong hingga kini aku telah berada di depan bejana. Dari sini sensor pada kulitku dapat merasakan panas dari api yang ada di bawahnya. Ruangan ini tidak terlalu pengap. Asap dari api keluar melalui beberapa celah lubang di langit-langit gua. Sinar cahaya pun bisa masuk dari situ dan membuat garis gradasi warna pada asap. Laki-laki di belakangku mendorong tubuhku untuk segera masuk ke dalam bejana. Aku angkat kaki kanan untuk masuk ke bejana yang ukurannya tidak terlalu tinggi, kira-kira lebih dari satu meter. Saat kaki kananku masuk, aku dapat merasakan air yang menyelimuti kulit kaki terasa hangat.

“Aw!” pekikku saat merasakan bibir bejana bersentuhan dengan bagian privatku. Kulit labiaku bersentuhan secara langsung dengan logam itu. Rasanya seperti tersengat. Kaget sih, tiba-tiba tanpa sengaja bisa nyentuh. Soalnya, saat kakiku masuk jaraknya terlalu jauh melangkah, sehingga jarak selangkanganku jadi lebih rendah.

Setelah kaki kananku masuk, kaki kiriku menyusul melangkah ke dalam bejana. Pria di hadapanku yang sedang duduk berendam menatap penuh nafsu. Begitu pula pria yang tadi mendorongku. Dia cengar-cengir gak jelas. Wajahnya jauh dari kata cakep. Giginya banyak yang tanggal dan kotor.

Sekarang aku sudah berdiri di dalam bejana. Pria di hadapanku berkata-kata sambil memberikan isyarat agar aku ikut duduk seperti dia. Tanpa disuruh dua kali, aku pun memposisikan diri untuk duduk, diikuti laki-laki tua di belakangku yang turut masuk ke dalam bejana. Rasanya perih pada buah dadaku saat berendam. Luka-luka baret dari benturan ranting serta duri tadi saat aku terikat di batang bambu masih membekas.

Gila. Aku pikir aku bakal mandi berdua. Ternyata bertiga!

Air hangat di dalam bejana kini telah menyelimuti permukaan kulit dari leher sampai ujung kaki. Telapak kakiku yang memijak dasar bejana sedikit agak panas. Jadi aku sedikit menggeser-geserkan kakiku. Pria di depanku yang sedang jongkok mengerti tingkahku. Ia berkomunikasi ke rekannya. Selang kemudian, pria di belakangku tampak mengeluarkan batang kayu perapian dan meninggalkan asap serta bara yang masih menyala.

Pria di depanku tiba-tiba mencumbui mulutku. Belum ada semenit aku berendam, dia sudah nyosor duluan. Tangannya memegangi kepalaku. Aku tak bisa mengelak saat lelaki tua itu melumat sepasang bibirku. Ia menghisap-hisap bibirku. Ujung bibirku sampai masuk ke rongga mulutnya dan bergesekan dengan gigi dan gusi. Pria yang di belakangku menjilati leher belakangku. Daun telinga bagian belakang pun tak luput dari jilatannya. Sepasang gundukan daging kenyalku diremasinya. Rasanya perih, terutama pada bagian yang terluka.

Pria di depanku memegang tangan kananku lalu mengarahkan ke selangkangannya. Pentungannya kupegang. Tanganku digerak-gerakkan untuk mengurut senjata pamungkas yang telah sepuh itu. Sedangkan tangan kiriku dipegang lalu diarahkan ke belakang memegang senjata rekannya. Jadi, aku memainkan dua gada sakti di dalam bejana. Kalau dilihat dari luar, kami bertiga hanya tampak kepalanya saja. Dari leher ke bawah, tubuhku digerayangi habis-habisan.

Mereka berdua mengapit tubuhku. Mulutku tak henti-hentinya dicumbui. Puting kiriku sekarang dipilin, sedangkan buah dada kananku tidak diapa-apakan. Meski demikian, nyatanya pria di belakangku yang sedang memilin puting tangannya beralih ke selangkanganku. Jadi itulah mengapa dia tidak menggrepe payudara kananku. Kemaluanku dibelai-belai. Aku dapat merasakan jarinya yang menggesek-gesek belahan labia dan memainkan titik yang paling sensitif di tubuhku. Biji mungilku ditekan-tekan.

“Mhhhh ….”

Aku mendesah seraya tubuhku sedikit sedikit mengejang. Pria di depanku melepaskan kuluman pada bibirku dan melepaskan pegangan kepalaku. Sekarang, pria di depanku menggosok-gosok kulitku. Telapak tangannya bergerak menggosok wajahku. Kulitnya yang kasar rasanya seperti parutan kelapa. Kontras dengan kulit wajahku yang selalu terawat dengan skincare bermerk. Akupun pasrah memejamkan mata. Telingaku juga tak luput dari jarinya. Ia sempat sedikit memasukkan jarinya ke telingaku. Bagian rongga telinga, lalu daun telinga ia bersihkan. Tentunya aku sambil mendesah-desah. Perlakuan pria yang menggesek-gesek kemaluanku bikin aku kegelian. Tapi itu tidak lama. Jadi aku merasa sedikit lega.

Pria di depanku sekarang menggosok leher serta pundakku. Bersamaan dengan itu, pria di belakangku menggosok belahan pantat serta anusku. Isshh.. gelinya minta ampun. Jantungku serasa senam Ayo Bersatu. Apalagi, saat jarinya berusaha masuk ke lubang rektumku. Ugh!! dasar cabul.

Rasa geliku sekarang semakin menjadi-jadi. Bagaimana tidak, tanganku diangkat dan ketiakku digosok.

“Awww, Pak!!! Geli!!” larangku.

Rasanya benar-benar tidak nyaman. Dia malah tertawa melihat reaksiku. Tidak berhenti di situ, ia mengangkat tanganku yang satunya lalu menggosok ketiakku. Aku pun kegelian. Oleh pria di belakangku, sepasang buah dadaku sekarang digosok-gosok sambil diremasinya. Tapi tidak lama, karena dia menggosok pinggangku.

“Awww!!” Geli banget.

Tidak sejengkal pun kulit tubuhku yang tak luput dari jamahan kedua pria ini. Pergelangan tangan sampai ujung tangan ia bersihkan. Dari selangkangan, paha sampi ujung jari juga dibersihkan. Setelahnya. kedua pria ini secara bersamaan menggosok-gosok rambutku dengan bunga. Mereka menyirami rambut dan mengguyurkan air ke kepalaku.

Setelah aku dimandikan oleh kedua laki-laki tua itu, aku diajak keluar dari bejana lalu dituntun memasuki salah satu ruang yang tak jauh dari tempatku mandi. Sesampainya ruangan itu aku melihat sebuah balok batu besar yang mirip dengan ranjang tempatku tinggal di desa. Hanya saja di atasnya tidak ada anyaman serat yang menjadikan alas sprei. Aku dituntun secara perlahan, lalu ditelentangkan dengan kaki mengangkang dan mengikat pergelangan kaki. Sepasang tanganku diarahkan ke atas dan sedang mengikat pergelangan tangan. Untuk ketiga kalinya pergelangan tangan dan kakiku diikat. Aku panik. Aku tidak tahu mereka akan melakukan apa.

Kepanikanku semakin menjadi-jadi ketika salah satu dari mereka pergi ke sudut ruangan dan kembali membawa tombak panjang. Mungkin panjangnya sekitar dua meter. Dia jongkok di selangkanganku. Rekan satunya ikut mendekat dan ikut jongkok. Aku menundukkan kepala melihat mereka mengamati selangkanganku. Apa yang akan mereka lakukan dengan tombak itu dan sambil melihat selangkanganku?

Saat mereka mengamati selangkangan, kulihat sekelebat bayangan di pintu. Siapakah itu? Aku semakin takut.

“Aaahhh,” desahku seraya melihat salah satu pria tua itu menggesek-gesekkan jarinya ke belahan kemaluanku. Mataku membelalak mengetahui rekan yang memegang tombak mengarahkan mata tombak ke selangkanganku. Aku semakin takut. Mereka akan membunuhku!!!

“Tolooong!! Tolong!!” teriakku.

Mereka tidak peduli. Tubuhku yang meronta-ronta dipegangi oleh rekannya. Pinggulku diapit erat-erat.

“Arggh, S-Sakit!!”

Ujung tombak itu bersentuhan dengan kemaluanku. Aku tak sanggup lagi, tombak itu perlahan membelah rongga kemaluanku. Rasanya perih. Sepertinya selaput daraku di bawah sana sedang merenggang dan akan pecah.

JLEB!! JLEBB!!

“AARGGG!!”

Pria yang memegang pinggulku tersungkur, dan pria yang memegang tombak berteriak kesakitan. Dari arah pintu, terdapat empat orang. Salah satunya perempuan, lalu dia …

“Kamu tidak apa-apa, Anggu?”

“Jangan gaslighting. Kamu gak lihat kondisiku sekarang tidak apa-apa ya?”

“Maaf, maaf.”

Dasar Toni. Udah tau aku terikat gini nanya gak apa-apa. Dia malah cengengesan sambil garuk-garuk kepalanya. Toni memandangi tubuhku. Tatapannya seperti hendak memangsaku. Retina matanya menatap dari ujung kaki, selangkanganku yang terbuka, perut, buah dada, wajah, sampai ujung tangan. Aku tidak dapat berbuat banyak saat aurat-auratku dilihat olehnya.

“TONII!!!”

“Eh, i … iya,” jawabnya.

Baru deh setelah aku teriaki, dia kemudian membantu melepaskan ikatan pada pergelangan kaki. Dia masih sempat-sempatin melihat kemaluanku.

“Jir, udah pecah perawan?”

“Bukan, aku mens. Buruan lepasin!!”

Dengan cepat ia melepaskan ikatan di pergelangan kaki. Dengan cepat aku rapatkan pahaku. Ia pun selanjutnya berjalan ke pergelangan tangan. Matanya masih melototi buah dadaku.

“TOON!!!”

Dia bergegas melepaskan ikatan pergelangan tangan. Dengan cepat, aku menyilangkan tangan di dada dan kemaluanku. Dia membantuku untuk berdiri. Kulihat tadi dia menatap nanar mencuri pandang aurat tubuhku.

“Wangi banget.”

“Terus kenapa kalau wangi?”

“Aku suka.”

“Huu …. dasar cabul.”

Terdengar suara rintihan kesakitan dari pria yang memegang tombak. Lengannya tertusuk anak panah. Namun nahas dengan rekannya. Anak panah menancap di pelipisnya. Rekan-rekan Toni segera menangkap dan mengikat pria tua yang kesakitan itu.

Aku berjalan sambil lengan kiriku dipegang Toni.

“Gak usah pegang-pegang napa? aku bisa jalan sendiri kok.”

“Jangan galak gitu, nanti cepet tua.”

“Isshh … amit-amit.”

“Makanya jangan galak.”

“Iya-iya,” jawabku sambil berjalan keluar dari ruangan ini.

Toni berkomunikasi dengan rekan-rekannya menggunakan bahasa daerah, lalu kembali menuntunku.

Sekarang aku berada di ruang tempat tadi aku mandi.

“Kamu tau dari mana kalau aku di sini?”

“Tadi aku ada warga yang sedang berburu melihat kamu.”

Oh, jangan-jangan orang yang tadi kepalanya muncul di atas tebing mengendap-ngendap adalah orang itu.

“Terus?”

“Warga itu berpapasan dengan kami yang lagi mencari kamu. Ada beberapa kelompok yang bertugas mencari kamu. Lantas mereka mengirim kami ke sini. Aku melihat noda darah, lalu mengarah ke gua.”

Itu noda darah menstruasiku.

“Kamu dari mana saja? bisa-bisanya ada di tempat ini.”

“Ceritanya panjang. Intinya aku kesasar.”

“Kata Arya kamu mandi. Aku sempat samperin di sungai, tapi kamunya sudah tidak ada. Teman-teman khawatir.”

Setelah melewati beberapa lorong, kami berhasil keluar dari gua.

GUK!! GUK!! GUK!!

“Astaghfirullahaladzim,” teriakku kaget. Tiba-tiba ada dua ekor anjing mendekati kami. Aku mundur perlahan, karena dua anjing itu mendekati kami. Toni berjongkok. Kedua anjing itu mendatangi Toni. Tangannya mengelus-ngelus punggung kepala serta leher kedua anjing itu. Ekornya bergoyang-goyang saat Toni mengelus mereka.

“Berkat mereka, kamu bisa ditemukan.”

Aku mendekat. Aku pikir anjing-anjing ini hendak berbuat jahat, ternyata perkiraanku salah. Aku kemudian ikut jongkok bersama Toni.

“Aku lihat-lihat, kamu makin cantik Anggu.”

“Ish dasar parno.” Aku menutup buah dadaku dengan paha bawah yang kutekuk di depan dada. Meski aku mati-matian menyembunyikan, tetap saja bagian samping tubuhku tetap terlihat. Paha samping dan sebagian pantatku ia lihat. Setidaknya, bagian dadaku tidak ia lihat.

“Bener loh. Kamu cantik.”

“Pasti ada maunya.”

“Nggak ada,” ujarnya. “ Ya kalau boleh sih.” Ia melanjutkan.

“Huuuuu … kamu nih otaknya mesum terus. Gak bisa lihat cewek cantik. Kurang puas kamu sama Ria? Apa sih yang ada di otakmu itu?” Aku mencubit lengan kirinya.

“Aw!! Aw!!”

Dasar. Rasain tuh.

Dari belakang beberapa saat kemudian datang rekan-rekan Toni. Toni berdiri, lalu berbincang-bincang dengan mereka. Pria tua yang lengannya tertusuk panah lengannya kirinya terikat di punggungnya. Salah satu rekannya kemudian memberikan pakaian yang terbuat dari kombinasi kulit hewan dan serat tumbuhan ke Toni.

“Pakai ini.” Toni menyerahkan lembaran kulit itu ke aku. Pakaian ini sepertinya mirip seperti punya Ria. Tapi motifnya berbeda.

“Gak ada yang lain pakaiannya?” tanyaku ke Toni.

“Tidak ada. Pilihannya cuma dua, kamu telanjang atau tidak.”

“Ini sih sama aja,” gerutuku.

“Kalau tidak suka, sini aku ambil.” Toni memegang pakaian ini.

“Nggak … nggak jadi.”

Aku kembali menarik pakaian ini lalu balik badan membelakanginya. Mau gak mau aku memakainya. Walaupun minim, tapi apa boleh buat. Lebih baik pakai ini daripada telanjang bulat.

Seorang perempuan rekan Toni mendekatiku. Ia membantuku untuk membebatkan kulit hewan itu kepadaku. Satu dibebatkan di pinggul, satunya melingkar dari dada ke punggung. Ia membantu mengikat tali di belakang leher serta di punggung. Setelah kukenakan, sebagian buah dadaku masih kelihatan. Terutama pada bagian sisi samping dan bagian bawah. Tali yang mengikat ke punggung posisinya berada di dekat ketiak. Jadi, ketika ada angin kencang dari bawah lembaran kain ini ikut ke atas hingga puting serta buah dadaku jadi kelihatan. Yang lebih serem lagi kain yang melingkar di pinggulku. Mirip cawat, cuma tidak ada bagian yang bentuknya huruf U yang menutupi vagina dan anusku. Lebarnya kurang lebih sejengkal. Itu pun hanya bagian depan dan belakang saja. Sedangkan pada pinggul, diameternya kecil. Setidaknya bagian paling pribadi tubuhku tidak terlihat. Rambut pubisku pada bagian atas sedikit keluar, tapi aku naikin dikit. Kalau terlalu ke atas, sama aja kemaluanku keliatan.

“Makasih,” kataku tersenyum ke perempuan ini disusul Toni menerjemahkan.

Bisa dibilang pakaianku sangat minim. Berbeda dengan cewek ini yang pakaiannya sedikit tertutup. Ya, mungkin ini pakaian patroli atau pakaian zirah buat perang. Jadi, pada bagian vital seperti dada perut tertutupi rapat. Pakaian Toni dan teman-teman cowoknya itu juga tertutup. Bagian dadanya juga terdapat pelindung. Mengingat kejadian kemarin, biasanya Toni pakai cawat doang kayak si Arya.

“Yuk, pulang.” Toni memimpin perjalanan di depan. Aku mengekor di belakangnya. Tiga rekannya dan pria tua yang kesakitan berada di belakangku.

Jalannya mendaki. Dari sini aku dapat melihat lokasi di bawah sana tempat aku tadi dimesumin sampai orgasme di tepi sungai.

“Kamu tahu apa yang bakal terjadi kalau kami telat datang?” ujarnya menoleh ke belakang. “Kamu mungkin sudah dimakan oleh mereka.”

“Isshh Tooon!! Kamu ini jangan nakut-nakuti.”

“Dia itu kanibal.”

“Apaan sih.”

Kami mendaki sudah cukup jauh. Mentari menjorok dibalik awan. Hutan tropis yang sejuk bak payung dari cahaya matahari. Suara-suara burung serta hewan mamalia saling bersahut-sahutan. Sekarang, jalan yang kulalui landai, akan tetapi tidak ada jalan setapak. Kami berjalan membelah hutan yang dipenuhi ilalang dan rumput yang tinggi.

“Beneran jalannya lewat sini, Ton?”

“Iya. Aku sudah paham kok area sekitar sini.”

“Aku takut.”

“Tenang ada aku. Kalau ada orang seperti dia, aku bunuh pakai ini.” Toni mengayun-ayunkan senjata tombaknya sambil menyingkirkan ranting dan ilalang yang menghalanginya.

“Bukan soal orang, tapi ular.”

“Kamu tahu kenapa kami bawa anjing?”

“Biar bisa menemukanku dengan mudah?” jawabku.

“Selain itu, bisa untuk jaga-jaga kalau ada hewan buas,” sambungnya.

“Oh, bener juga,” jawabku dalam hati. “Awww!!”

“Ada apa Anggu?” Toni balik badan mendekatiku.

“Dadaku sakit.”

“Sebelah mana?”

“Ini.” Aku menunjuk ke buah dada sampingku yang ada bekas tergores. Toni mengamatinya.

“Matamu itu loh, cabul.”

“Hahaha, anjir kamu, Nggu. Kalau gak mau nunjuki, jangan bilang.” Beneran kan, dia emang cari-cari kesempatan. “Nanti sesampainya di desa, kamu aku antar ke tabib. Teman-teman sekarang sedang membantu warga buat persiapan upacara.”

“Ria juga?”

“Iya. Dia ikut bantu-bantu juga.”

Hebat banget tuh anak. Padahal semalaman dia dikeroyok oleh empat orang, tapi dia ikut kerja bakti mempersiapkan upacara.

“Pagi tadi aku ke tempatmu, tapi hanya ada Arya. Katanya kamu, Ria, dan teman-temanmu lagi keluar.”

“Yo i, kami lagi keluar.”

“Emang ngapain aja?”

“Rahasia, hehehe.”

“Pasti gitu-gitu ya?”

“Ada deh.”

“Janjinya kamu gak bakal lakuin itu lagi ke Ria.”

“Ya mungkin.”

“Loh, kok gitu? Kamu sudah janji loh.”

“Ya gak tau juga kalau sudah balik ke rumah, hahaha.”

“Issh dasar. Emang Ria tau yang kalian lakuin sama dia semalam?”

“Nggak bakal tau.”

“Kok bisa begitu?”

“Ada deh. Pokoknya aku dan teman-teman cukup puas bermain sama Ria.”

“Tapi Ria gak apa-apa kan?”

“Dia segar bugar. Kamu tidak perlu khawatir.”

“Gak khawatir gimana, kelakuan kamu kemarin aja gitu ke Ria.”

“Hahahaha, dia sendiri yang minta.”

“Apa iya?”

“Nanti kamu coba tanyakan saja.”

“Oke, tapi ingat ya janji kamu. Gak boleh nyentuh Ria lagi.”

“Siap.”

Kami melanjutkan perjalanan membelah hutan sampai di depan ada batang pohon besar yang dijadikan jembatan melewati jurang yang lebarnya sekitar tujuh meter. Aku takut, tapi Toni menyemangatiku. Akhirnya biar aku yakin, Toni terlebih dahulu melewati batang pohon ini. Dua anjing menyusul di belakangnya. Barulah aku percaya. Aku sangat berhati-hati. Kalau tidak, aku bisa jatuh ke dalam dasar jurang. Untung tidak licin mengingat cuaca di sini lembab.

Langkah kakiku gemetaran karena pandanganku melihat dasar jurang yang seperti tak berujung dan diselimuti oleh kabut. Selain itu juga gelap, melihat kondisi menjelang sore dan sorot mentari yang tak dapat menyinari kedalaman hutan ini.

“Ayo sini, Nggu,” kata Toni menyemangatiku.

Dia tahu kalau aku ketakutan, lalu dia menghampiriku yang baru melangkahkan kaki di batang pohon ini. Aku trauma jatuh di sungai ketika aku bergelantungan ke akar pohon. Ini sih serem banget.

Toni bergegas menghampiriku. Ia pun memegang tanganku dan menuntunnya menyeberangi jurang. Meski dia mesum dan cabul, aku tak habis pikir dia bisa baik di saat-saat tertentu. Mudah-mudahan saja dia tidak minta imbalan yang aneh-aneh. Melihat penampilanku yang seperti ini saja, dia sudah menang banyak.

Secara perlahan dan hati-hati, aku pun berhasil menyeberangi jurang. Terlihat di seberang tiga rekan Toni dan seorang kakek cabul menyusul menyeberangi batang bambu. Seorang wanita yang tadi membantu mengenakan pakaian terlebih dahulu menyeberang, disusul pria tua dan seorang lelaki. Namun, si kakek itu mendorong wanita di depannya dengan badannya.

“AAAAAAAHH!!!”

Aku menjerit mengetahui kejadian itu. Wanita itu kemudian terjatuh, namun tangan kirinya berpegangan erat pada dahan pohon. Tubuhnya menggantung dengan menggunakan tangan satu. Anjing-anjing di dekati aku saling menggonggong. Lalu, kakek itu mendekati dan hendak menginjak tangan perempuan yang sedang berpegangan itu.

“Ton, tolongin!!”

Dengan sigap Toni mengambil kuda-kuda dengan tangan kanan memegang tombak. Dalam hitungan detik, tombak yang dilemparkan Toni melayang dan mengenai dada kiri tepat di atas puting kakek. Kakek itu pun jatuh ke samping kanan dan jatuh ke dalam jurang. Dua pria segera mendekat dan membantu menarik perempuan yang bergelantungan. Toni pun marah-marah ke dua temannya itu. Aku tidak dapat berbuat banyak. Tidak tahu yang salah siapa. Kalau melihat tanggung jawabnya sih memang dua teman Toni itu yang salah. Bisa-bisanya dia tidak memegangi kakek itu.

Wanita itu berhasil ditolong dan berjalan ke arahku. Aku pun memeluknya. Kami memeluk cukup lama. Dia tampak shock. Aku bersyukur dia masih selamat.

Cuaca berubah. Gumpalan awan-awan kumulonimbus saling mendekat. Penerangan berkurang. Rintik-rintik air dari langit berjatuhan disusul hujan deras disertai gemuruh petir. Toni tampaknya masih ngomel-ngomel. Kedua pria yang diomelin hanya menunduk. Aku tidak tahu, kenapa dia sepertinya takut ke Toni. Apakah Toni punya jabatan atau keturunan tertentu di suku ini?

Kami melepaskan pelukan, melanjutkan perjalanan dengan saling berpegangan tangan dan meninggalkan ketiga pria di belakang.



Bersambung ….
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd