Episode 7
“ Kau tidak harus pergi Bao an, tetaplah bersamaku. Tetaplah di rumah kita”
Aku menggeleng kepala
“ kurasa aku harus istriku. Maafkan aku”
Qiao memelukku. Ia menangis.
“ Berjanjilah kau akan pulang”
“ aku pasti pulang”
Aku memeluk Qiao. Lebih dari setahun kemudian. Setelah kami mulai hidup damai di Ibu Kota Xian. Qiao mengantarku ke bandara dengan mobil kami. Aku bangun di jam dini hari dan segera bersiap untuk bertugas. Aku berangkat saat fajar bersama Qiao. Kami tiba di bandara sekitar 15 menit kemudian.
Qiao meneteskan air mata. Aku harus bertugas kembali. Prajurit baret merah lain juga berbaris di pintu masuk khusus militer. Kami menyebut nama pangkat serta satuan kami. Kami lalu berjalan ke pusat komando militer darurat Han. Beberapa hanggar telah disulap menjadi pusat komando Militer Han.
Matahari terbit. Kami berbaris di depan sebuah hangar. Belasan jet tempur Han (gloster meteor) berbaris rapi di pinggir landasan. Puluhan pesawat piston juga berbaris rapi di pinggir lapangan. Ada sekitar 3000 baret merah dan belasan ribu tentara hijau. Han hanya berhasil menyelamatkan hanya 5000 tentara hijau dan sekarang bertambah menjadi belasan ribu setelah ditambah sukarelawan Han yang terdiri dari pengungsi dan rakyat Han yang menetap di ibu kota.
Itu adalah seluruh Militer Han saat ini. Mayor Jenderal Liao Ju, panglima besar Militer Han saat ini naik ke panggung dan memulai apel.
“ kalian adalah pendekar-pendekar terakhir kekaisaran Han. Pedang terakhir Kaisar, pedang terakhir Tanah air, pedang terakhir keluarga kalian. Perang belum berakhir dan tidak akan pernah berakhir sampai panji-panji kekaisaran Han, kembali berkibar di Ibu kota BeiYuan.”
Di apel itu beliau mengatakan jika kami adalah prajurit-prajurit Han yang terakhir. Militer berusaha menghubungi Jenderal-jenderal di dataran Han namun dikosongkannya BeiYuan, mengungsinya Kaisar Shi, membuat Jenderal-jenderal bertindak sendiri-sendiri.
Fakta jika sudah ada pemerintahan baru di daratan Han membuat moril setiap tentara menurun. Prajurit di daratan Han menolak mengungsi sehingga hanya sedikit yang menyebrang perbatasan dan bergabung di pusat kota dengan pesawat atau kereta api. Belum lagi pandangan buruk prajurit Han terhadap Kekaisaran Xian. Daripada kerjasama dengan musuh, mayoritas prajurit memilih menyerah dan bekerjasama dengan saudara sendiri. Lagipula tidak ada misi penyelamatan yang jelas selain penerbangan rahasia malam itu di BeiYuan.
Kebanyakan akhirnya membakar seragam mereka dan menjadi desertir, atau bergabung dengan Federasi Han. Sementara Jenderal-jenderal mengambil tindakan sendiri bahkan membangun pemerintahan sendiri di propinsi yang mereka duduki. Revolusi Han memasuki tahap baru, menjadi perang Para Jenderal. Perang itu adalah gerbang kedua menuju perang paling mengerikan dan terpanjang sepanjang sejarah Planet Wuwei.
Kekaisaran Xian secara resmi tidak terlibat dalam perang ini. Namun Xian melakukan segala cara untuk membantu Han dan Kaisar Shi. Keluarga, teman, sekaligus mantan musuh. Mulai dari meminjamkan pesawat, menyuplai senjata dan menyumbangkan gedung dan tanah kepada Militer dan pemerintahan darurat Han.
Kami mendengar suara tertawa besar. Diiringi suara cekikikan wanita-wanita muda. Sesosok pria gemuk besar muncul dari mobil mewah yang baru saja keluar dari Hotel Bandara, hotel di mana kementerian, majelis rakyat dan Kanselir Han mengungsi. Wang Dong Min. Kanselir yang naik tahta tepat saat Revolusi Han, ketika Kanselir lama Lee Hyunjin ditembak orang tak dikenal di rumah pribadi di BeiYuan. Aktor utama diduga para Kasim istana. Lee Hyunjin adalah Kanselir muda dari etnis Hanguk yang tidak disukai oleh bangsawan Han.
“ ini bukanlah akhir dari peradaban kita. Ini akan menjadi sejarah. Han akan bangkit lagi. Melalui perjuangan kita semua. Para pengkhianat laknat yang menduduki rumah kita, akan menerima pembalasan atas ulah mereka”
Kami lalu menyanyikan lagu kebangsaan Han. Lucu, aku agak asing dengan lagu kebangsaanku sendiri. Kecuali, itu memang bukan lagu kebangsaan negaraku. Aku bukan orang Han.
Kanselir Dong Min turun dari panggung. Kami membubarkan barisan. Kami lalu menurunkan senjata dari truk, yang merupakan bantuan dari Kekaisaran Xian. Kekaisaran Xian menyumbangkan ratusan ribu senjata kepada Kemiliteran Darurat Han. Kami membuka kotak demi kotak dan menemukan persenjataan tua dari zaman perang Raya.
Ada senapan bolt Action (mannlicher m1895), senapan serbu yang pertama kali ditemukan (FN BAR), ada pistol mesin dari zaman wabah besar (mp28) dan senapan mesin tua dari perang raya (MG08/15)
“ astaga senjata ini bahkan sudah dimuseumkan”
Ucap temanku sambil menenteng senapan mesin itu
“ hei Qiangshou, kau akan menggunakan senjata ini?”
Tanya seorang temanku sambil menyodorkan senapan mesin tua
“ kurasa aku tidak punya pilihan”
Aku mengambil senapan serbu, senapan bolt Action dan beberapa amunisi. Aku tahu senjata ini ketinggalan zaman dibandingkan senjata Federasi Han, apalagi mereka bilang pistol mesin/Smg Federasi Han salah satu yang terbaik (Thompson m1928)
Moril hampir setiap prajurit sangat rendah, bahkan baret merah sekalipun. Banyak yang bingung untuk apa kami bertarung lagi. Banyak yang setia pada Kaisar tapi membenci Wang Dong Min. Ada juga yang masih gigih dan optimis Han akan bangkit. Tapi tidak banyak.
Aku melihat para mekanik merakit sebuah pesawat angkut. Mereka juga memeriksa mesin pesawat dan mencat pesawat dengan warna dan lambang Kekaisaran Han. Pesawat itu adalah pesawat angkut ringan buatan Kedirgantaraan Xian. Satu pesawat dirancang mengangkut 20 prajurit. Han memesan 750 unit untuk mengangkut semua prajurit Han lewat Udara. Untuk saat ini Han membeli 25 pesawat penumpang bekas perusahaan penerbangan swasta dan menggunakan untuk evakuasi pengungsi dan prajurit dari suatu lapangan terbang atau bandar udara.
Waktu makan siang tiba. Kami berbaris makan mie instan. Tidak ada lagi ransum. Mie instan memungkinkan dimakan mentah sehingga dipercaya mengganti ransum karena lebih murah. Kami berbaris memakan mie instan kuah dari dapur militer bersama tentara Hijau. Darisanalah lahir istilah tentara Mie Hijau. Yaitu tentara yang memakan mie bungkusan hijau untuk bertahan hidup.
Kami belum ada tugas selain berlatih dan berlatih. Tidak ada yang tahu rencana Jenderal-jenderal Han di Xian selanjutnya. Matahari terbenam dan yang kami dapat setelah latihan, adalah mie instan. Kami tidur di dalam hangar. Sementara mekanik dibantu pengungsi bahkan terus merakit pesawat hingga malam hari. Mereka bergantian bertugas. Kami tidak dibebastugaskan namun banyak yang keluar bandara lalu minum-minum dan ke rumah bordir.
Aku ikut keluar. Aku berjalan ke telepon umum lalu menelepon Istriku. Qiao terkejut aku menelepon. Itu bahkan belum sehari tapi ia merasa kami sudah tidak bertemu berhari-hari. Saat itu juga ia mengakatan akan bertemu denganku di bandara.
Aku berdiri menunggu Qiao. Aku melihat seorang gadis dengan pakaian hanfu membagikan mie instan di malam hari. Ia masih sangat muda. Mungkin baru 18 tahun. Ia mendekat lalu tiba-tiba saja aku merasa aku seperti mengenalinya.
Ia melihatku dan ia tiba-tiba terdiam. Kami saling bertatapan. Ia perlahan mundur namun tiba-tiba langkahnya berhenti dan ia tersenyum
“ Hyewon?”
Ucapku menyapanya.
“ Kukira kau sudah lupa”
Ucapnya. Aku sadar itu bukan Hanfu, tapi Hanbok, pakaian tradisional suku Hanguk.
“ jadi kita pernah bertemu?”
Hyewon tersenyum
“ aku teman istrimu, kau ingat?”
Aku tidak ingat.
“ istriku, Qiao?”
Ia tertawa kecil
“ siapa lagi? Memangnya kau pernah menikah lagi?”
Kami tertawa bersama. Ia memberiku mie instan dan aku menyimpannya di sakuku. Ia pamit karena ia masih harus melakukan bantuan sosial malam itu kepada pengungsi dan prajurit-prajurit. Aku meminta maaf karena setahun lebih ini, Qiao tidak sempat mengabarinya kalau kami di Ibukota
“ sudah santai saja. Aku akan hubungi dia sendiri”
Ia membungkukkan badannya. Kami berpisah. Ia kembali melakukan bakti sosial. Tak lama mobil hitam Qiao parkir. Ia buka pintu lalu ia berlari dan langsung memelukku.
“ Suamiku, aku senang kita bertemu. Rasanya seperti sudah lama sekali”
“ Qiao, istriku”
Kami tertawa malu. Saat itu belum begitu malam jadi kami makan malam berdua. Aku masuk ke mobil, lalu menyetir dan kami makan malam di sebuah restoran cepat saji di dekat bandara.
“ Huaa aku mau kaki Babi kecap”
“ aku cukup Sup rumput laut saja”
Qiao memesan kaki Babi kecap. Sambil tersenyum ia mengatakan ia sangat suka daging babi. Saat itu entah bagaimana aku ingat aku tidak suka daging babi. Sehingga aku memesan sup rumput laut.
Tidak ada lagi sedikit pun bayangan tentang kehidupanku di bumi. Semuanya hilang. Hanya beberapa kebiasaan dan sifat yang masih melekat. Aku menjadi orang lain. Tapi sifat-sifatku di bumi dan kemampuan serta pengetahuan tentang senjata entah kenapa masih membekas.
Makan malam siap tidak lama setelah kami membayar di kasir. Aku membawakan makanan ke meja yang kosong. Kami duduk berdua dan mulai makan. Aku makan dengan lahap namun ia hanya diam, memegang sumpitnya, melihatku sambil tersenyum senang. Aku menoleh dan menatapnya bingung
“ ada apa?”
Qiao mencium pipiku
“ aku selalu senang lihat kau makan seperti ini. Hari ini aku belum makan malam karena aku rindu cara kau makan. Lahap, cepat dan berantakan. Seperti ini”
Ia mengambil sapu tangan lalu membersihkan nasi di mulutku.
“ aku juga senang kalau kau ikut makan. Sekarang ayo makan”
Sahutku. Qiao kembali tersenyum. Ia ambil sumpitnya lalu ikut makan bersamaku.
“ kurang? Tambah lagi ya”
Aku sangat lapar malam itu. Aku menambah tiga mangkuk nasi dan sup rumput laut. Qiao hanya makan satu mangkuk. Kami keluar dari restoran cepat saji itu dengan perut kenyang. Saat itu mendekati tengah malam. Banyak Prajurit yang masih diluar bahkan banyak yang baru bangun dan keluar bersenang-senang.
“ banyak yang bercinta malam ini”
Bisik Qiao. Aku tertawa kecil
“ bagaimana dengan kita?”
Godaku. Qiao tersenyum lalu mencubit tanganku pelan
“ genit ya”
Sahutnya. Aku dekup dia lalu aku cumbu dia dipinggir jalan itu. Kami bercumbu mesra. Di pinggir jalan itu, di bawah bulan dan bintang. Aku pejamkan mataku, melumatnya dengan penuh perasaan. Qiao membalas lumatan bibirku. Ia memelukku erat dan kami bercumbu dengan penuh cinta.
Qiao meneteskan air mata. Ia tatap wajahku dengan serius. Ia memelukku lalu ia berbisik
“ aku mencintaimu, Bao An ku”
Bisiknya pelan
“ Xingqiao, aku juga mencintaimu. Dari dulu, hingga Sekarang”
Qiao menangis haru. Aku hapus air matanya dan kami kembali bercumbu.
“ terima kasih, Qiao, malam ini kau membuatku menjadi pria paling beruntung”
Bisikku.
“ benarkah?”
Bisiknya dengan penuh isak tangis. Aku menangguk. Aku merasa ada banyak cinta di dalam diriku untuknya. Semua perasaan yang aku simpan yang aku berusaha buang, meluap setiap kali kami bersama. Semua itu membuatku seolah benar-benar mencintai Qiao. Aku sudah mencintainya sejak lama dan tak kusadari bahkan hingga sekarang. Meski dengan nama berbeda.
Kami berpindah ke mobil. Kami parkir di sebuah parkiran tertutup dan sepi. Kami bercumbu liar dan saling melepas pakaian. Ia naik kepangkuanku, lalu mencumbuku sambil mengalungkan kedua tangannya di leherku.
Ada banyak mobil yang juga sedang bercinta di parkiran itu. Kami bercumbu liar di atas kursi kemudi, dan diparkirkan yang gelap itu. Kami bercinta dengan liar. Aku remas buah dadanya lalu mengecup dan menghisap ganas putingnya. Qiao mendesah keras sambil menggesekkan kemaluannya ke tongkat besarku.
Aku pegang pinggulnya dan kami melompat ke permainan final. Aku hujamkan kemaluanku ke lubang kemaluannya hingga tenggelam seluruhnya. Kemaluanku berkedut-kedut dan dinding kemaluannya memijat batangku dengan manja. Aku mulai menghujamkan batangku dari bawah dan ia mendesah.
Aku kembali meremas buah dadanya. Aku mainkan putingnya sambil terus menghujamkan kemaluanku. Wajah Qiao memerah. Ia mendesah hebat dan mobil itu bergoyang mengikuti gerakan liar kami. Aku percepat hujamanku, menusuk-nusukkan kemaluanku dengan nafsu.
Qiao mendesah panjang. Kami keluar bersama-sama. Kemaluanku berkedut hebat memuntahkan air mani dengan deras ke dalam kemaluannya. Ia pun mendesah panjang dan carian kenikmatannya memuncrat deras. Dengan nafas terengah-engah kami tersenyum puas menikmati permainan singkat itu.
Ia jatuh kepelukanku. Waktu sudah tengah malam. Di ronde kedua ia duduk manis di kursi sedangkan aku dengan bebas menghujamnya dari atas, sambil menjamah buah dada dan sekujur tubuhnya, dan mencumbu bibir manisnya. Qiao mendesah panjang dan ia mencapai puncak kenikmatannya beberapa kali. Dan aku menikmati sensasi ejakulasi kedua di dalam lubang kemaluannya. Ia mundurkan kursi dan Aku berlutut diantara selangkangannya menjilati kemaluannya dengan lidahku.
Kami sama-sama puas. Qiao mengenakan gaunnya kembali dan aku kembali mengenakan seragamku. Kami kembali ke bandara. Kami berhenti di depan gerbang lalu turun dari mobil. Kami saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan.
“ semoga saja kita bertemu esok malam lagi”
Ucap Qiao.
“ perasaanku bilang kita akan bertemu lagi”
Qiao tertawa. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas jinjingnya.
“ aku lupa memberimu ini”
Ia memberiku sebuah kamera kecil. Sebuah kamera yang muat di kantungku
“ kamera?”
Tanyaku. Qiao mengangguk.
“ mulai sekarang, apapun yang terjadi, kau bisa ambil gambar dan menunjukkannya padaku”
Ia memberiku kamera dengan sebuah gantungan kunci yang cantik. Aku mengambilnya. Dan yang pertama yang aku ambil adalah wajah cantiknya. Lampu kamera menembak dan aku berhasil mengambil gambarnya.
“ ini keluaran terbaru. Bisa menangkap gambar berwarna. Modelnya memang sama dengan yang lama, tapi aku jamin gambarnya lebih cantik”
Jelas Qiao. Aku mencium pipinya
“ seperti kamu”
Godaku. Ia menepuk pundakku pelan.
“ kamu bisa saja ya”
Sahutnya. Qiao kembali naik ke mobil. Ia lambaikan tangannya dan aku melambaikan tanganku. Mobil itu melaju dan kami berpisah.
Aku berjalan kembali ke gerbang masuk markas darurat. Aku melihat Hyewon dan teman-temannya tertidur bersama pengungsi di pinggir jalan. Qiao tidak melihatnya. Mereka tertidur lelap dengan tas sebagai bantal, beralaskan tikar dan berselimut kain.
Aku mengambil gambarnya. Aku berjalan ke markas lalu istirahat di kasurku. Aku berencana akan mencetak semua gambar yang aku ambil esok sore atau malam ketika aku di bebas tugaskan. Aku ingin menyimpan gambar Qiao sebelum aku bertugas nanti.
Aku tersenyum. Aku sangat puas malam itu. Aku bisa berkencan dengan istriku meski sangat singkat. Teman-temanku kembali dalam keadaan mabuk. Kami harus apel pagi ini namun banyak sekali prajurit yang mabuk.