pengawas2012
Semprot Baru
- Daftar
- 22 Jun 2012
- Post
- 46
- Like diterima
- 40
Hasil copy dari situs almarhum
Ledek Hot
Awalnya aku dan Joko ngobrol ke sana-kemari. Obrolan makin seru ketika topiknya masalah sex. Joko seumuran dengan ku sekitar 35 an. Akhirnya kuketahui bahwa dia berasal dari B**ra Jawa Tengah. Aku lalu minta konfirmasi mengenai daerah J***n, dekat B**ra yang terkenal sebagai gudangnya ledek penari Tayub. Aku pernah baca tulisan di majalah yang mengungkapkan kehidupan para ledek di J***n.
Dengan semangat Joko bercerita mengenai pengelanaannya ke J***n. Dia membenarkan bahwa memang J***n adalah gudangnya penari Tayub. Wah kapan ya kita bisa bareng ke sana, aku setengah bertanya ke Joko.
Wah kapan saja, kita bisa jalan bareng dan ambil cuti. Yang penting jangan musim hujan, ujar Joko.
Kami lalu menyepakati waktunya. Namun dia mengajukan syarat minta dibayari ongkos pulang pergi dari Jakarta ke B**ra. Syarat itu tidak terasa memberatkan bagiku, karena banyak penerbangan murah dari Jakarta Solo.
Pada hari yang ditentukan pagi-pagi sekali kami sudah bertemu di Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan ke Solo tidak terlalu lama, karena sekitar jam 8 pagi pesawat sudah mendarat di Solo.
Dari Bandara kami memesan taxi menuju terminal bus. Kami memang merencanakan jalan-jalan hemat, sehingga bus adalah pilihan untuk mencapai B**ra.
Sebelum memilih bus, kami sempat mengisi perut dengan soto di terminal. Wajah Joko berseri-seri. Dia kelihatan senang sekali dalam perjalanan pulang kampung kali ini. Berbagai promosi di ceritakan. Aku selalu menjawab tidak percaya, karena belum ada bukti Jawaban itu memang bikin kesal Joko, tetapi semangatnya bercerita tidak kendur.
Setelah terkantuk-kantuk di bus dalam perjalanan ke B**ra, akhirnya kami sampai juga. Joko memberi tahu kondektur dimana kami akan turun.
Setelah turun dari bus, Joko mengontak temannya yang di J***n. Temannya itu menawarkan menjemput dengan sepeda motor. Tapi aku memilih naik angkutan saja, karena jarak ke J***n lumayan jauh sekitar 14 km ke arah Cepu.
Tidak sampai setengah jam kami sudah turun dari angkutan di sambut oleh beberapa ojek. Joko celingak-celinguk sebentar lalu membalas lambaian tangan temannya yang berdiri di depan warung. Kami lalu mendatangi warung. Perut belum terasa terlalu lapar, tetapi saatnya makan siang memang sudah hampir. Apalagi di warung itu aku melihat sop balungan dengan daun kedondong. Makanan ini sudah lama ku idam-idamkan karena aku pernah merasakannya ketika di Bojonegoro beberapa waktu lalu. Tawaran teman Joko aku ikuti. Jadilah kami menyeruput sop iga dengan rasa agak asam dan pedas. Rasanya segar sekali. Joko memperkenalkan temannya dan rupanya temannya membawa satu orang lagi yang juga baru dikenal Joko.
Teman Joko mengatur aku dibonceng oleh teman baru Joko dan Joko dibonceng temannya. Kami masuk kampung sekitar perjalanan 10 menit masuk lebih jauh ke ke desa. Aku lupa apa nama desanya ketika kami berhenti di satu rumah disambut oleh seorang bapak dan istrinya. Perempuan yang diperkenalkan sebagai istri penyambut tadi lumayan cakep dan umurnya di sekitaran 30 tahun. Wajahnya manis khas orang desa dan badannya agak gempal dengan susu yang cukup besar.
Menurut cerita Joko, para istri di kampung ini bisa menerima tamu, meski suaminya masih dirumah. Istilah Joko, ngompreng. Aku lantas berpikir, wanita itukah yang nanti akan menemani tidur. Lumayan juga kalau jadi pasanganku. Tapi aku tidak bisa menghilangkan rasa rikuhnya, seandainya aku harus nginap di rumah itu lalu meniduri istri tuan rumah. Waduh gimana ya, aku lantas memainkan peran apa, mau berperan sebagai saudara, padahal baru kenal, sebagai tamu, tapi niduri istri orang sementara suaminya ada di situ, batinku.
Di tengah kegalauanku, kulihat Joko tidak merasa rikuh sedikitpun. Malah kesanku dia seperti mengunjungi rumah saudaranya yang lama tidak ketemu. Melihat Joko bertindak tidak canggung, aku pun terpaksa mengikuti gaya dan gerak-geriknya. Apalagi si tuan rumah yang suami nyonya rumah sudah berkali-kali menyilakan kami masuk. Kami duduk di ruang tamu. Seperti biasa basa-basi tuan rumah yang memperkenalkan diri dengan nama Sastro menanyakan kapan kami sampai dari Jakarta ? Naik apa dan sebagainyalah dengan pertanyaan standar berbahasa Jawa. Joko dengan lancar menjawab semua pertanyaan. Sebetulnya aku juga mau ikut menjawab, karena aku masih menguasailah bahasa Jawa, meskipun tidak selancar Joko. Tidak lama kemudian terhidang teh manis panas dengan singkong rebus dan kacang rebus. Sebetulnya aku berselera juga dengan hidangan itu, tetapi perut masih kenyang karena baru diisi. Nyonya rumah kemudian kuketahui bernama Rini. Dia ikut ngobrol dengan kami sambil duduk memangku nampan. Kami beramah tamah sekitar 10 menit lalu Joko berdiri dan menggamit aku untuk ikut keluar. Kami keluar rumah dan Joko memberi tahu bahwa dia yang akan memakai nyonya rumah ini. Aku sebenarnya ingin protes, karena aku juga berselera. Tapi protesku tak sampai terucap setelah Joko memberi jaminan bahwa cewek yang kelak akan bersamaku mutunya tidak kalah. Teman Joko yang ikut nimbrung malah memberi tahu bahwa pasanganku kelak jauh lebih bagus. Aku memang tidak bingung soal berapa nanti aku beri uang ke Nyonya rumah kalau menginap semalaman. Tapi melihat kondisi yang sebenarnya, informasi yang telah dikemukakan Joko jadi kurang meyakinkan, jadi aku tanya lagi. Yang menjawab bukan Joko, tetapi temannya. Lima ratus sudah banyak mas kalau di desa , katanya.
Setelah pembicaraan singkat itu Joko menyilakan aku untuk meneruskan perjalanan dengan pembawa motor yang menggoncengku tadi. Aku pamit ke tuan rumah dan istrinya. Mereka sempat bertanya aku akan menginap di mana. Teman Joko lalu menunjuk pemboncengku.
Pemboncengku memperkenalkan diri ketika bertemu di warung tadi dengan nama Kardi. Aku segera meluncur bersama Kardi. Joko dan temannya tinggal di rumah Sastro. Tidak sampai 5 menit Kardi menghentikan motornya di sebuah rumah yang letaknya agak masuk kedalam dan halamannya rimbun. Mari mas masuk, kata Kardi.
Kardi dengan santainya masuk kerumah dan dia langsung masuk ke dalam sementara aku dipersilakan duduk di ruang tamu. Gak lama kemudian Kardi keluar bersama perempuan yang berkulit putih, tidak kalah montoknya dengan istri Sastro. Mas perkenalkan istri saya, kata Kardi. Sosok istri Kardi ini mengingatkanku pada profil penyanyi Jawa Sunyah Ni
Seandainya aku sakit jantung, mungkin aku langsung pingsan, karena kaget. Ternyata si Kardi itu yang memboncengku akan menyerahkan istrinya untuk kutiduri. Oh istri sampeyan toh, ucapku ketika menyalami istrinya yang memperkenalkan diri dengan suara lirih bernama Warni.
Mas santai aja mas anggap saja rumah sendiri, mana barangnya biar saya masukkan ke kamar, Kardi berusaha memecahkan suasana rikuhku. Aku menyerahkan ranselku yang langsung di sambut Kardi dan membawanya ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan mengajakku masuk menunjukkan dimana kamar yang nanti akan menjadi tempatku menginap. Sebuah kamar yang sudah dirapikan dengan tempat tidur ukuran 160 terbuat dari besi dan diselubungi oleh kelambu. Kelihatannya spreinya baru diganti dengan motif batik. Ada meja rias dan ada lemari serta sebuah kursi makan di dalamnya. Kamarnya cukup luas. Kutaksir sekitar 3 x 4 m. Ada sebuah jendela dengan korden berwarna merah jambu yang menggantung hanya setengah tinggi jendela.
Apa mau istirahat dulu apa gimana, tanya Kardi.
Aku tentu saja malu kalau baru datang langsung masuk kamar. Untuk mengatasi kerikuhanku aku menanyakan dimana kamar mandinya, karena mau buang air kecil. Kardi menunjukkan kamar mandi di belakang dekat dengan dapur. Di dalam kamar mandi itu ada ember plastik yang ukurannya agak besar, mungkin difungsikan sebagai bak mandi, lalu wc jongkok dan ember kecil di dekatnya. Lantainya dari semen. Uniknya kamar mandi ini tidak berpintu, hanya ditutup oleh korden terbuat dari plastik tenda berwarna biru. Jadinya korden kamar mandi itu tidak bisa menutup rapat, masih ada celah yang memungkinkan orang di luar bisa melihat siapa yang berada di dalam. Kalau yang mandi telanjang, pasti orang yang di luar bisa sekilas melihat juga. Tantangan makin seru, batinku dalam hati.
Dari kamar mandi aku berpapasan dengan Warni yang kelihatannya baru menjerang air. Dia langsung bertanya, apakah aku mau dibuatkan kopi. Aku setuju lalu berjalan menuju ruang tamu.
Di ruang tamu Kardi sedang duduk sambil menghisap rokok kretek, langsung mempersilakan aku duduk. Dari obrolanku, kuketahui Kardi mempunyai dua anak, yang pertama perempuan baru kelas 2 SMUdan yang kedua laki-laki baru kelas 4 SD. Kardi tanpa sungkan menceritakan bahwa istrinya adalah penari tayub, alias ronggeng. Sekarang susah mas, ledek gak sebebas dulu lagi, mereka harus punya sertifikat yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata. Kalau tidak ada sertifikat, tidak boleh manggung. Lagi pula narinya tidak sebebas dulu lagi, jadi ya yang mau naik panggung agak kurang minat. Makanya sekarang semakin jarang orang nanggap tayuban, Lha wong udah gak seru lagi, kata Kardi.
Kardi mengaku dalam sebulan terakhir ini istrinya baru dapat 3 kali manggung. Itu pun sawerannya gak banyak, katanya.
Bayangin mas, nayub semaleman cuma dapat sejuta, kata Kardi.
Hatiku terus tergelitik ingin menanyakan gimana rasanya kalau istrinya aku tiduri. Sampai akhirnya waktunya kurasa tepat, kulepas pertanyaan yang bikin penasaran sejak aku berangkat dari Jakarta.
Ya gak apa-apa toh mas, disini sudah biasa , jawabnya sambil tertawa.
Sebetulnya jawabannya itu sudah cukup tetapi aku masih penasaran, maksudnya gak apa-apa gimana itu .
Ya sebelum jadi istri saya dia kan juga sudah terbiasa sama laki-laki lain. Saya pun mau mengawini Warni kan berarti harus bisa menerima keadaannya, iya toh kata Kardi.
Dari obrolanku yang seru itu ku ketahui pula bahwa meski Warni boleh main dengan laki-laki lain , tetapi Kardi tidak boleh nyeleweng. Aneh juga ya.
Penjelasan Kardi ternyata sederhana, Kalau laki-laki nyeleweng ongkosnya besar mas, tapi kalau istri nyeleweng, hasilnya lumayan mas, kata Kardi sambil tertawa. Istrinya yang duduk di samping Kardi tersenyum malu sambil mencubit dan memukul bahu Kardi.
Warni seperti umumnya wanita desa menggunakan kebaya dan jaritan. Belahan baju kebayanya sangat rendah sehingga buah dadanya yang terhimpit menampilkan pemandangan celah dan sedikit gundukan payudara. Kutaksir umurnya belum mencapai 35 tahun. Ternyata memang benar umurnya baru 30 tahun. Dia kawin dengan Kardi dengan status janda. Anaknya yang pertama hasil perkawinan dengan suaminya pertama. Dia dinikahi ketika masih umur 14 tahun, ketika itu katanya baru lulus SD. Tidak lama kemudian hamil dan lahirlah anak pertamanya yang perempuan.
Kami ngobrol banyak bertiga sampai anaknya pulang sekolah. Seorang gadis kecil dengan seragam putih biru mendekat lalu menyalamiku dengan mencium tangan. Diah oom, katanya ketika kutanya namanya. Gadis manis baru tumbuh dengan rambut lurus sebahu. Dia lalu berlalu masuk ke belakang. Tidak lama kemudian datang lagi anak berseragam SD dan menyalami ku juga. Dia menyebut namanya Herman.
Aku gundah juga rasanya. Memikirkan bagaimana keluarga ini lengkap dengan anaknya berdiam di satu rumah lalu menerima tamu yang kemudian tidur dengan ibunya. Mungkin benar juga kata pepatah alah bisa karena biasa
Kulirik jam di tangan menunjukkan jam 2 siang. Aku mengambil inisiatif mengeluarkan 4 lembar lima puluhan kuserahkan ke nyonya rumah. Ini untuk beli bahan makanan, untuk makan nanti malam, kataku.
Warni kelihatan bingung menerimanya. Suaminya juga terdiam sesaat. Mas e mau makan apa toh kok uangnya banyak bener, kata Warni.
Ah apa saja lah, kalau susah cari belanjaan ya belikan saja sate ayam, katanya sate B**ra enak, kataku memberi jalan.
Wah di desa sini gak ada yang jual sate, kata sang istri.
Wis tak golekne, gampanglah, kata Kardi.
Mereka berdua lalu masuk ke belakang. Mungkin mereka berembuk mau dibelanjakan apa uang itu.
Tak lama kemudian Kardi keluar sudah mengenakan jaket. Dia permisi mau keluar cari makanan untuk nanti malam. Aku sekalian memesankan agar jangan lupa membeli kopi.
Kardi berlalu dan Warni menemaniku di depan.
Mas e apa gak cape dari Jakarta kok belum istirahat, Kalau mau istirahat monggo nanti saya pijetin biar badannya lemes, kata Warni.
Aku antara segan dan ingin juga menanggapi tawaran Warni. Akhirnya aku tidak bisa nolak setelah tanganku digandeng. Rasanya malu sekali, karena warni menggandengku masuk kamar sementara kedua anaknya melihat kami. Di dalam kamar aku diberi sarung dan aku mengganti pakaianku dengan kaus oblong. Rasanya setelah pakai sarung aku jadi kebelet buang air kecil.
Aku permisi ke Warni ke kamar mandi. Di kamar mandi aku membayangkan apa yang akan terjadi di dalam kamar nanti ya. Apa bisa eksekusi, atau aku harus menahan diri, karena waktunya sempit. Ah bagaimana nanti sajalah. Setelah buang air aku membersihkan seputar kelaminku dengan sabun sehingga bekas keringat di lipatan selangkanganku baunya harum sabun.
Aku masuk kamar kulihat Warni sudah mengganti bajunya dengan hanya menggunakan kemben sarung. Buah dadanya jadi makin terlihat belahannya dan tonjolan ke atas. Kelihatannya dia tidak mengenakan BH di balik sarungnya. Baru membayangkan gitu saja senjataku langsung bereaksi.
Aku diminta membuka kaus, sehingga tinggal sarung dan di dalamnya masih ada celana dalam. Aku langsung mengambil posisi telungkup.
Warni memulai pijatan dari bahu menggunakan pelicin minyak kelapa yang dicampur dengan kayu putih. Harus diakui pijatannya mantep banget. Terlepas dari masalah birahi, tetapi pijatannya sudah sangat memuaskan. Otot yang kaku, katanya dia urut sampai rasanya nikmat sekali. Setelah bagian punggung, pinggang, Warni melonggarkan sarungku dan ditariknya ke bawah. Tangannya memijat bongkahan pantatku dan entah memang cara dia memijat begitu atau ada maksud lain, tetapi kedua ibu jarinya masuk ke dalam celana dalamku dan mengurut belahan pantatku sampai hampir mengenai biji.
Sarungku ditarik kebawah dan dilepas. Giliran kedua kakiku merasakan urutan tangan lembutnya yang cukup bertenaga.
Aku tinggal bercelana dalam. Warni mengangkangiku dia duduk di bongkahan pantatku. Aku merasa dia duduk di atas pahaku tanpa penghalang sarung. Posisi duduknya makin ke atas seiring dengan pijatan ke bahuku. Aku berkosentrasi bukan pada pijatannya yang memang sangat nikmat, tetapi aku mengerahkan konsentrasi ke syaraf perasa dipungungku. Rasanya Warni tidak mengenakan celana dalam, karena di punggungku terasa gerusan bulu-bulu jembut. Membayangkan itu, senjataku makin mengeras. Untung saja posisinya tadi tegak keatas, sehingga jika memuai tidak sampai menyakitkan.
Aku masih menikmati gerusan bulu jembutnya di punggungku, Warni kemudian memintaku berbalik posisi menjadi telentang. Tanpa minta izin dariku, celana dalamku dia tarik kebawah dan dilepas dan digantung di balik pintu. Senjataku tegak mengeras. Warni senyum-senyum melihat senjataku siap tempur. Dia memijati kedua kakiku lalu merambat keatas sampai ke selangkangan dan dia berusaha tidak menyentuh bagian-bagian sensitif di selangkanganku. Mungkin juga karena tangannya sedang penuh dengan minyak kelapa yang bercampur minyak kayu putih. Bisa-bisa aku belingsatan ke pedesan jika larutan minyak kayu putih mengenai bagian vitalku. Warni kembali mengangkangiku dan selangkangannya langsung berhadapan dengan senjataku Aku merasa belahan memeknya berada tepat di batang penisku. Pantatnya maju mundur mengikuti gerakan pijatannya. Sensasi yang luar biasa dan aku sudah merasa terbang ke awang-awang dan sama sekali lupa bahwa kini sedang berada di desa. Keahlian Warni patut aku acungi jempol. Dengan halusnya dia bisa menempatkan ujung penisku ke lubang memeknya dan gerakan lembutnya membawa penisku perlahan-lahan memasuki lubang vaginanya. Aku semakin melayang menikmati gelombang birahi yang dipacu oleh olahan Warni. Dia tidak lagi memijatku, tetapi pinggulnya dia gerakkan memutar, sehingga penisku terasa seperti dibetot-betot. Aku harus akui ketrampilan Warni memainkan penis di dalam memeknya memang luar biasa. Jujur saja aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini, walau dalam dunia perlendiran aku sudah mencapai tingkat Suhu. Air maniku seperti disedot oleh gerakan memeknya. Dia bisa membuat lubang memeknya seolah-olah vakum. Biasanya aku merasa hisapan ini jika dioral, karena memang penisku disedot. Namun kali ini vagina yang menyedot, dan nikmatnya jauh melebihi hisapan oral. Aku benar-benar tidak mampu bertahan oleh olah birahi Warni sehingga dalam waktu singkat jebollah pertahananku. Aku terpaksa mengaku kalah, karena kelihatannya dia belum mencapai orgasme. Ah apa peduliku, aku kan memang yang harus dilayani, batinku mencari pembenaran atas kekalahanku.