Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

BAB 12

Tepat pukul setengah satu siang, setelah Fania selesai melaksanakan kewajiban empat rakaat dan makan siang, Alif datang bersama temannya. Fania membantu Citra menyiapkan beberapa pesanan online. Mawar sedang sibuk mencatat orderan yang masuk hari ini.

"Assalamu'alaikum, Fania."

"Wa'alaikumussalaam, Alif."

"Fania, kenalkan ini temanku--Renata."

Fania berkenalan dan berjabat tangan dengan Renata. Seorang gadis berparas manis yang usianya sama dengan Alif.

"Saya jadi mengambil model gamis dan baju koko yang kemarin, Mbak," ucap Renata dengan ramah.

"Sudah saya siapkan."

Fania mengajak Renata ke dalam ruang packing. Mawar segera menyerahkan beberapa pakaian yang sudah terbungkus rapi. Renata membuka salah satunya kemudian memperhatikan. Dia pun tersenyum puas.

"Bagus warnanya, bahannya juga adem. Saya jadi ambil masing-masing sepuluh ya, Mbak," ujar Renata dengan gembira.

"Masyaa Allah, baik, Mbak. Untuk ukurannya bagaimana, Mbak?"

"Ini sudah oke. Rata-rata size L. Bungkus saja semua, Mbak."

"Alhamdulillah kalau begitu. Mawar, tolong kamu siapkan semuanya, ya."

"Baik, Mbak." Mawar segera merapikan kembali pakaian yang sudah dibeli Renata, kemudian memasukkan ke dalam dua tote bag besar yang terdapat tulisan nama toko Fania.

Setelah membayar pesanan, Renata dan Alif pun berpamitan. Fania mengantar mereka ke depan toko, sampai kendaraan roda empat Renata berlalu dari pandangan. Fania kembali pada aktivitasnya, memeriksa laporan penjualan dan laporan keuangan. Semua dikerjakan Fania sendiri karena Fania adalah seorang sarjana akuntansi.Waktu pun berlalu, pekerjaan Fania sudah selesai. Toko milik Fania sudah tutup karena benda bulat di dinding menunjukkan pukul lima sore. Mawar dan Citra sudah pulang terlebih dahulu. Fania menunggu Bambang menjemputnya, sembari merapikan beberapa barang dagangan yang terpajang di atas etalase. Suara ketukan pintu, membuat Fania terkejut. Dia pun mengernyitkan dahi melihat siapa yang datang. Fahri masuk ke dalam dan membiarkan pintu toko terbuka lebar.

"Fahri?"

Fahri tersenyum lega saat melihat Fania masih berada di tokonya.

"Alhamdulillah kamu belum pulang. Fania, ini ada titipan dari Ummi, tolong diterima." Fahri menyerahkan dua kotak makanan berwarna putih.

"Masyaa Allah, sampaikan terima kasih Fania pada Ummi Aini." Fahri tersenyum dan mengangguk mengiakan.

"Insyaa Allah nanti Fahri sampaikan. Kamu menunggu abi, ya?" Fahri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia masih belum ingin pulang. Suasana canggung karena mereka tak pernah bicara hanya berdua saja.

"Iya, sudah di jalan kok. Sebentar lagi juga datang," jawab Fania dengan kepala tertunduk.

Mereka pun diam untuk beberapa saat. Jantung keduanya pun berdegup dengan kencang. Fahri menyadari, gadis bercadar itu mulai merasa tak nyaman. Fahri tersenyum dan memandang gemas Fania yang masih diam dan tak berani memandangnya. Padahal selama ini Fahri mengenal Fania sebagai gadis yang pemberani dan tegas. Fahri pun berniat segera pulang. Namun sebelum berpamitan, Amir datang dan langsung masuk ke dalam. Dia berdiri di hadapan mereka dengan kedua tangan berkacak pinggang.

"Oh, jadi benar kalian memang ada hubungan?" teriak Amir.

"Paman Amir! Tolong jangan berteriak!" ucap Fahri tak terima.

"Paman sudah bilang sama kamu kalau kamu akan segera menikah dengan Nazifa. Paman kali ini tidak menerima penolakan! Dan kamu, gadis kampung! Apakah kamu tidak mengerti apa yang saya sampaikan waktu itu? Saya yakin kamu hanya mengincar harta Fahri!" Amir bicara dengan suara yang lantang dengan jari telunjuk tertuju pada Fania. Fahri geram dan mulai marah.

"Paman! Paman jangan bicara sembarangan tentang Fania!"

"Ooh ... kamu berani melawan Paman demi membela gadis ini?"

"Tentu saja saya berani. Mulai sekarang saya tidak takut dengan ancaman Paman!" Fahri melawan.

"Dasar anak tak tahu balas budi! Apa yang kamu punya sampai berani melawan pamanmu ini, hah?! Dan kamu gadis kampung! Saya peringatkan lagi kalau sampai kamu tetap berhubungan dengan Fahri, saya akan..."

"Apa yang akan Anda lakukan? Siapa Anda berani-beraninya mengancam putri saya?" Bambang datang dan langsung menyahuti ucapan Amir dengan emosi. Dia tak terima mendengar orang lain membentak putrinya. Amir membalikkan badan menghadap Bambang. Dia pun sangat terkejut saat mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya.

"Bam ... Bambang??"

"Apa kabar, Amir?" Bambang mengulurkan tangan mengajak Amir bersalaman. Amir pun menjabat tangan Bambang dengan terpaksa.

"Baik ... jadi, dia putrimu? Apa gadis ini putrinya Fatimah?" tanya Amir penasaran. Dia sama sekali tak menyangka bertemu dengan Bambang.

"Ya, benar! Apa kamu pamannya Fahri?"

"Iya, Om, Paman Amir ini paman saya. Dia kakak kandung abi," sahut Fahri menjawab pertanyaan Bambang.

"Dunia memang sempit, kita bisa bertemu di sini. Tolong, jangan sekali-kali kamu membentak putriku. Aku sebagai abinya saja tidak pernah membentaknya," ucap Bambang dengan tegas.

"Maaf, aku tidak tahu kalau dia putrimu." Suara Amir melemah, membuat Fania dan Fahri heran. Bahkan Amir terlihat takut dan segan pada Bambang.

"Kali ini aku maafkan. Tapi kalau aku melihat kamu mengganggu putriku, kamu tanggung sendiri akibatnya!" ancam Bambang dengan geram.

"Sekali lagi aku minta maaf. Kalau aku tahu dia putri Fatimah, aku pasti tidak akan mengganggunya. Kalau begitu, aku akan pulang," pamit Amir.

Sebelum beranjak pergi, Amir bicara pada Fania dan Fahri.

"Maafkan paman, Fania, Fahri. Paman pamit pulang dulu." Fania dan Fahri pun mengangguk meskipun tidak mengerti dengan perubahan sikap Amir.

Setelah mengucap salam, Amir berjalan keluar dan segera melajukan kendaraan roda empatnya meninggalkan toko Fania. Sementara itu, Fahri yang penasaran segera bertanya pada Bambang.

"Om ... apakah Om mengenal Paman Amir? Apakah kalian bermusuhan?" Bambang tersenyum dan menggelengkan kepala.

"Om memang mengenal Amir tapi kami tidak bermusuhan," jawab Bambang dengan tenang.

"Tapi Om terlihat tidak suka dengan paman. Om, saya mohon, jangan hubungkan permusuhan Om dengan lamaran saya. Tolong, Om. Saya tulus menyayangi Fania ...."

"Kamu tenang saja, Fahri. Om bukan orang seperti itu. Pulanglah! Hari Minggu, datanglah ke rumah. Fania akan memberimu jawaban. Om dan Fania akan pulang, sebentar lagi maghrib." Bambang menepuk pundak Fahri perlahan. Fahri merasa tenang mendengar ucapan ambang.

"Alhamdulillah kalau begitu. Baiklah, Om, saya pulang dulu. Fania, kita bertemu lagi hari Minggu."

Fania hanya mengangguk tanpa bisa mengucapkan satu kata pun. Dia masih syok karena mengetahui Bambang mengenal Amir. Pria paruh baya itu mengusap lembut kepala putrinya yang tertutup khimar Panjang sambil tersenyum.

"Ayo kita pulang." Fania pun mengangguk mengiakan.

*********


Malam harinya, seperti biasa mereka bertiga berbincang santai di ruang keluarga. Fania memberanikan diri bertanya pada Bambang tentang Amir.

"Sebenarnya ada hubungan apa Abi dengan Paman Amir? Sepertinya Paman Amir juga kenal bunda dan kelihatannya takut sama Abi. Ah, Abi memang keren. Sama Ummi Laila kenal, sama Paman Amir yang galak itu juga kenal."

"Ceritanya panjang, yang pasti dia tidak akan berani macam-macam sama kamu. Abi sudah pegang kartu as-nya. Kalau sampai dia menyentuh putri Abi, Abi akan masukkan dia ke penjara!" jelas Bambang.

"Apa dia seorang buronan, Pak?" Fania masih saja penasaran.

"Bisa dikatakan seperti itu tapi Abi juga salah karena sudah melindunginya. Dulu, Amir juga suka sama bunda tapi bunda lebih memilih Abi yang menjadi suaminya. Lama kita nggak bertemu sampai suatu saat kami ternyata bekerja di satu perusahaan." Bambang menarik napas dalam sebelum bicara.

"Singkat cerita, Amir melakukan penyelundupan tapi Abi tidak melaporkannya. Dia memohon pada Abi." Bambang terpaksa menceritakan tentang Amir pada Laras dan Fania.

"Abi berdosa, dong!" sahut Fania.

"Abi juga manusia biasa. Abi tidak tega. Apalagi waktu itu alasannya istrinya sakit parah dan harus membiayai keponakannya yang yatim. Mungkin yang dimaksud Fahri."

"Tapi Abi tidak ikut-ikutan, kan?"

"Astaghfirullah ... tentu tidak! Abi hanya tahu dia melakukan penyelundupan tapi Abi tidak melaporkannya. Itu saja! Karena tidak ada bukti, kasus pun ditutup dan dianggap salah data."

"Terus, menurut Abi bagaimana sekarang? Abi tetap setuju nggak kalau Fania sama Fahri?" tanya Laras.

"Semua ini tidak ada hubungannya dengan Amir. Kalau memang Fania menerima lamaran Fahri, Abi setuju saja. Abi lihat Fahri baik, sopan, dan tidak macam-macam. Ummi Aini juga sayang Fania," jawab Bambang sambil tersenyum.

"Alhamdulillah kalau begitu. ummi kira setelah Abi bertemu dengan pamannya, Abi jadi nggak suka sama keponakannya."

"ummi kan tahu sifat Abi bagaimana ...."

"Ya, barangkali saja beda, abi. Ini 'kan hubungannya sama masa depan putri kita satu-satunya,” jelas Laras.

"Fania sudah melibatkan Allah dalam urusan lamaran ini. Insyaa Allah Fahri yang terbaik buat putri kita. Benar begitu 'kan, Fania?"

"Insyaa Allah, abi."

"Abi tadi sudah menyuruh Fahri datang hari Minggu nanti. Tolong ummi siapkan menu spesial. Abi mungkin akan mengundang Hasan, Humaira, dan Alif. Juga tetangga lainnya. Tapi setelah acara resminya selesai. Nggak apa-apa 'kan, Nduk?"

"Apa nggak terlalu mewah, abi? Kan hanya kasih jawaban saja." Fania mencari alasan.

"Tetangga kita harus tahu kalau kamu sudah dilamar. Abi yakin jawabannya pasti iya. Kita nanti sekalian musyarawah tentang tanggal pernikahan kalian." Kedua pipi Fania merona mendengar ucapan Bambang.

"Bahagianya ... putri ummi akan segera menikah," goda Laras membuat Fania semakin tersipu malu.

"Abi, apa nggak terlalu cepat? Fania masih takut."

"Niat baik jangan ditunda, harus disegerakan."

Fania pun mengangguk pasrah. Bambang dan Laras tersenyum melihat kedua pipi putrinya yang semakin merah merona.

*********


Sementara di rumah Fahri, dia segera menyampaikan pesan Bambang pada Aini. Mereka duduk berbincang di teras depan, menikmati suasana malam dan memandang langit yang bertaburan bintang. Fahri membuat minuman coklat hangat untuk dirinya dan Aini.

"Ummi, hari Minggu kita ke rumah Fania. Dia akan memberi jawaban." Aini tersenyum senang mendengar ucapan putranya.

"Baiklah, semoga Fania menerima lamaranmu. Ummi sudah tidak sabar melihat kalian menikah. Usiamu juga sudah dewasa."

"Aamiin ... semoga saja, Ummi."

Tanpa sepengetahuan aini dan fahri, Bejo, ayah Nazifa masuk kedalam rumah tanpa permisi. Kendaraan roda empatnya langsung masuk begitu saja saat pintu gerbang rumah Aini terbuka lebar.

"Fahri! Kamu tidak bisa seenaknya membatalkan lamaranmu pada Nazifa! Aku tidak terima!" teriak Bejo.

Fahri berdiri dan berusaha menghadapi Bejo dengan tenang. Aini gelisah melihat kedatangan Bejo.

"Om Bejo, silakan duduk dulu ...."

"Tidak perlu! Aku ke sini karena pamanmu yang sudah ingkar janji!"

"Om Bejo, maaf, saya tidak bisa menikah dengan Nazifa. Saya tidak mencintainya." Ucapan Fahri membuat Bejo emosi.

"Tapi pamanmu sudah melamar putriku untuk kamu, Fahri. Putriku juga sudah suka sama kamu. Jadi kamu harus menikah dengannya!" tegas Bejo tak mau kalah.

"tapi paman amir melamar nafiza tanpa mendapat persetujuan dari fahri." Amir berusaha meminta maaf pada Bejo.

"Aku tidak peduli, yang pasti kamu harus menikah dengan Nazifa. Kalau tidak ...."

"Kalau tidak apa, Om?" tanya Fahri penasaran. Bejo pun tersenyum licik.

"Kalau tidak, kamu harus membayar hutang pamanmu”

“Fahri menolak. Itu hutang paman bukan hutang fahri” tolak fahri

“Baik kalo kamu tidak mau, tunggu saja pembalasanku nanti” ancam Bejo lalu kemudian dia dan nafiza meninggalkan rumah fahri dengan rasa marah.

********

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam... Ustadzah Nisa? Ayo masuk." Ustadzah Haifa.

Segera Nisa masuk ke dalam rumah Ustadzah Haifa. Bukan tanpa alasan kenapa ia menemui Ustadzah Haifa. Ia bermaksud meminta bantuan Ustadzah Haifa untuk meminjam uang demi penyembuhan ibunya. Nisa merasa hanya Ustadzah Haifa teman mengajarnya di pesant yang bisa membantunya saat ini. Nisa sendiri adalah seorang Ustadzah yang mengajar di pesantren milik Ustadzah Haifa dan suaminya KH Samir. Walaupun agak canggung, Nisa mulai menceritakan masalahnya saat ini dan berharap Ustadzah Haifa mau membantunya. Tentu saja Ustadzah Haifa merasa prihatin dengan musibah yang di alami Nisa. Ustadzah Haifa meraih tangan Nisa.

"Maafkan saya Ustadzah Nisa! Saya turut prihatin mendengar kabar Ibu kamu di rawat di rumah sakit." Ujar Ustadzah Haifa yang tampak menyesal karena tidak bisa membantu mengurangi penderitaan Nisa.

"Saya harus meminta bantuan siapa lagi Ukhti?"

"Sebenarnya masih ada satu orang lagi yang bisa membantu masalah yang kamu hadapi saat ini, tapi Ukhti tidak yakin kamu mau menemui orang itu." Jelas Haifa, seraya menghela nafas.

"Siapa orangnya Ukhti?"

"Kamu sangat mengenalnya! Pak Bejo..." Ucap Haifa.

Nisa terhenyak mendengar nama itu di sebut oleh Ustadzah Haifa. Pria mesum yang ingin menidurinya, tentu saja Nisa tidak sudih meminta bantuan kepada orang yang menjijikan seperti Pak Bejo.

Melihat reaksi Nisa, Haifa sama sekali tidak terkejut, ia sadar kalau Nisa adalah sosok yang memiliki pendirian teguh.

"Tidak akan pernah Ukhti."

"Kenapa kamu begitu membenci Pak Bejo? Apa hanya karena ia pernah meminta mu tidur." Ujar Haifa dengan sikap tenang.

"Ukhti sudah tau jawabannya."

Haifa menghela nafas perlahan. "Pria manapun pasti ingin tidur dengan mu Nisa, kamu cantik." Ujar Haifa, membuat Nisa tidak habis pikir kenapa Ustadzah Haifa terkesan membela Pak Bejo.

"Istighfar Ukhti."

"Apa yang salah Nisa? Itu sudah menjadi kodratnya manusia." Jelas Ustadzah Haifa.

"Maaf Ukhti, saya sudah menikah! Di agama kita itu di sebut zina dan hukumnya dosa." Jawab Nisa, andai saja lawannya bukan Ustadzah Haifa, mungkin ia sudah pergi dari tadi meninggalkan sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini.

Nisa tidak mengerti kenapa Ustadzah Haifa seakan mendukung perzinahan, mengingat Ustadzah Haifa adalah seorang Ustadzah.

"Berzina memang membuat kita berdosa, tapi tidak kalau kita melakukannya dengan pernikahan!"

"Masalahnya saya sudah menikah."

"Kamu bisa saja melakukan kawin kontrak dengan nya." Usul Haifa, membuat Nisa makin terhenyak mendengar jawaban Ustadzah Haifa.

"Astaghfirullah Ukhti..."


"Ana ingin sekali membantu kamu, tapi uang 100 juta itu sangat besar! Satu-satunya orang yang bisa membantu kamu adalah Pak Bejo." Ujarnya lagi, kini ia kembali menggenggam tangan Nisa.

"Tapi Ukhti..."

"Ini bukan demi kamu, tapi demi orang tua kamu yang telah membesarkan kamu, yang rela berkorban nyawa untuk kamu! Apa menurut kamu dengan tidur bersama Pak Bejo itu sebuah pengorbanan besar?" Tanya Haifa, sedetik kemudian Haifa menggelengkan kepalanya.

"Tidak Ustadzah... Pengorbanan orang tuamu tanpa batas." Nasehat Haifa dengan nada pelan.

Nisa menunduk, ia merasa sebagai seorang anak ia belum melakukan apapun untuk membahagiakan orang tuanya. Tanpa sadar Nisa menitikan air matanya, membayangkan Ibunya meninggal dunia karena tidak mendapatkan pertolongan.

"Ana tidak memaksamu untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaan mu! Tapi... Ana hanya ingin bilang, nyawa orang tuamu jauh lebih berharga dari hanya sekedar mempertahankan keyakinanmu yang belum tentu kebenarannya." Sambung Ustadzah Haifa membuat hati Nisa kian menjerit.

"Ana tidak tau Ukhti." Lirih Nisa sembari menghapus air matanya.

Pikirannya kini berkecamuk, antara ingin menyelamatkan nyawa Ibunya, atau mempertahankan keyakinannya selama ini. Nisa sadar kalau dirinya sudah tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta bantuan Pak Bejo, walaupun rasanya berat sekali, tetapi demi keselamatan nyawa Ibunya ia harus berkorban, karena hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menolong Ibunya. Di temani oleh Ustadzah Haifa, mereka menemui Pak Bejo di sebuah hotel mewah yang ada di tengah-tengah kota. Pak Bejo menyambut mereka dengan suka cita, rasanya ia tidak sabar ingin merasakan kehangatan memek Ustadzah Nisa yang di kenal dingin selama ini. Ia tidak sabar melihat tubuh Nisa kelajotan di dalam pelukannya.

"Jadi bagaimana Bu Ustadzah?" Tanya Pak Bejo.

Nisa tertunduk lemas. "Sa-sa-ya bersedia kawin kontrak dengan Pak Bejo." Jawab Nisa, sembari menyapu air matanya di ujung kelopak matanya.

"Berapa mahar yang harus saya bayar?"

"100 juta Pak." Jawab Ustadzah Haifa menggantikan Nisa yang tampak terpukul.

Kemudian Pak Bejo mengambil sekantong uang dan meletakannya di atas meja. "Silakan di hitung dulu." Ujar Pak Bejo tak sabar.
Saat Ustadzah Haifa hendak menghitungnya, Nisa mencegahnya. "Tidak perlu di hitung, saya percaya Pak." Jawab Nisa.

"Jadi bisa kita mulai." Ucap Pak Bejo tak sabar.

Dengan berat hati Nisa menganggukkan kepalanya. Di bantu oleh Ustadzah Haifa sebagai mediator, mereka di nikahkan dengan cara sederhana, dan singkat. Setelah selesai menikahkan mereka Ustadzah Haifa meminta kesediaan keduanya menandatangani sebuah kontrak pernikahan, Pak Bejo lebih dulu mendatanganinya. Ketika giliran Nisa, wanita cantik itu tampak ragu, mengingat dirinya yang telah bersuami. Tetapi bayangan wajah Ibunya membuat Nisa akhirnya memantapkan hatinya menandatangani kontrak tersebut.
Maafkan aku Mas, aku terpaksa melakukan ini semua...

"Kalau begitu saya pergi dulu ya Pak! Selamat atas pernikahan nya." Ujar Ustadzah Haifa. "Nisa kamu layani Suami kamu dengan baik, Ana tunggu kamu di lobby hotel." Nasehat Ustadzah Haifa kepada Nisa yang tampak sedih. Tanpa disadari Nisa, kalau saat ini ia tengah di jual oleh Ustadzah Haifa.

"I-iya Ukhti."

Selepas kepergian Ustadzah Haifa, kini hanya mereka berdua saja di dalam kamar hotel. Jujur rasanya sangat canggung sekali berada satu kamar dengan pria yang bukan muhrimnya, apa lagi Nisa tau sebentar lagi tubuhnya akan menjadi milik Pak Bejo. Membayangkan tubuhnya di nikmati pria lain, membuat Nisa rasanya ingin mati saja.

"Di minum Ustadzah." Tawar Pak Bejo.

Segera Nisa mengambil minuman tersebut dan meneguknya hingga habis. "Terimakasih Pak... Apa kita bisa mulai sekarang?" Tanya Nisa, ia ingin semuanya cepat selesai sehingga ia bisa pulang dan bertemu dengan Suaminya.

"Kamu mandi dulu aja, pakaiannya sudah saya siapkan di dalam kamar mandi." Ujar Pak Bejo.

Tanpa menjawab Nisa beranjak dari tempat duduknya, menuju kamar mandi yang ada di pojokan. Di dalam kamar mandi Nisa menumpahkan semua kesedihannya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia merasa kalau dunia ini tidak adil kepadanya. Bayangan wajah Suaminya yang hangat membuatnya merasa sangat bersalah, tetapi mau bagaimana lagi, ia melakukan ini semua karena baktinya kepada orang tua. Setelah sedikit merasa tenang, barulah Nisa membasuh tubuhnya hingga bersih. Layaknya seorang pengantin yang tidak ingin terlihat kucel di hadapan Suaminya, walaupun Pak Bejo hanya menjadi suaminya selama beberapa jam saja.

Terkadang Nisa berfikir apa bedanya dirinya dengan pelacur, mereka sama-sama di bayar untuk memuaskan nafsu pria hidung belang, akad nikah yang mereka lakukan terlihat seperti formalitas saja, dan pernikahan mana yang mengatur berapa lama mereka menjadi pasangan Suami Istri. Selesai mandi Nisa segera mengeringkan tubuhnya dengan selembar handuk yang sudah disiapkan di dalam kamar mandi. Saat hendak mengenakan pakaian, di situlah Nisa baru sadar kalau pakaian yang di sediakan oleh Pak Bejo sebuah pakaian yang biasa di kenakan seorang pelacur, rasanya tidak ada bedanya ia telanjang dengan memakai pakaian tersebut. Karena tidak ada pilihan Nisa terpaksa mengenakan pakaian yang sudah di sediakan, sehelai lingerie transparan berwarna hitam, di hiasi pita di bagian bawah kerah dadanya yang berbentuk V, sementara di bagian bawahnya di hiasi renda burkat yang terlihat cantik.
Ini terlalu seksi... Aku tidak bisa memakainya.

Nisa sempat ragu apakah dia harus keluar dengan pakaian seseksi ini, tapi bayangan wajah Ibunya, berhasil memantabkan hatinya. Saat Nisa keluar dari kamar mandi, Pak Bejo tersenyum menyeringai sembari meneguk khamar. Tidak salah ia membuang uang sebesar 100 juta untuk wanita secantik Nisa. Nisa berjalan menghampiri Pak Bejo sembari menyilangkan kedua tangannya untuk menutupi ketelanjangannya saat ini.

"Kenapa harus di tutupi? Kamu malu... Sebentar lagi aku akan menikmati tubuh indahmu itu, jadi untuk apa kamu malu sayang." Goda Pak Bejo, mempermainkan perasaan Ustadzah Nisa.

"Astaghfirullah..." Lirih Ustadzah Nisa.

Pak Bejo melambaikan tangannya. "Kemarilah, duduk di sampingku." Pinta Pak Bejo.

Nisa tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti perintah Pak Bejo sembari menitikan air matanya. Di dalam hidupnya, sekalipun Nisa tidak pernah memimpikan dirinya melayani pria lain selain Suaminya tercinta. Ia duduk di samping Pak Bejo, dengan sedikit menjaga jarak. Pak Bejo memaklUkhtinya, bahkan ia menikmati sikap enggan yang di perlihatkan Ustadzah Nisa kepadanya. Ia meraih jemari Nisa dan menggenggamnya, jemari itu yang terasa dingin dan kaku. Kemudian Pak Bejo menatap wajah cantik Nisa yang polos tanpa make up. "Kamu cantik sekali! Pertama kali saya melihat Ustadzah, saya langsung jatuh hati kepada Ustadzah, siapa sangkah, Ustadzah malah datang sendiri menawarkan diri untuk saya nikmati." Ujar Pak Bejo yang dengan sengaja mempermainkan perasaan Nisa.

Memang benar apa yang di katakan Pak Bejo, dirinyalah yang mendatangi Pak Bejo, bahkan dirinyalah menawarkan tubuhnya kepada Pak Bejo. Tangan kanan Pak Bejo menyentuh dagu Nisa, ia mendekatkan bibirnya ke bibir Nisa yang tampak terpejam, lalu saat bibir mereka bertemu di situlah Nisa kembali menitikan air matanya. Seakan tidak perduli dengan tangisan Nisa, Pak Bejo melumat bibir Nisa yang terlihat pasif. Kesal karena tidak ada respon, Pak Bejo melepaskan lumatannya. Ia berdiri meninggalkan Nisa, mengambil botol minuman dan menuangkannya ke dalam gelas. Dengan santainya ia meneguk khamar di depan Nisa.

"Saya tidak pernah memaksa kamu untuk kawin kontrak dengan saya! Kalau Ustadzah keberatan melayani saya, silakan pergi dari kamar ini, dan kembalikan uang saya." Ujar Pak Bejo, sembari menatap sinis kearah Nisa yang tampak shock.

"Tapi Pak..."

"Oh ya satu lagi..." Potong Pak Bejo. "Jangan lupa mengundang saya di pemakaman Ibu kamu." Bisik Pak Bejo, seraya tersenyum sinis.

"Pak... Tolong maafkan saya! Apapun akan saya lakukan, tapi... tapi... Jangan batalkan kawin kontrak kita." Melas Nisa yang tampak ketakutan, ia sangat membutuhkan uang tersebut untuk kesembuhan orang tuanya.

"Saya ingin kamu berprilaku layaknya seorang Istri, melakukan apapun yang di perintahkan suaminya, tanpa ada kata penolakan, bagaimana? Kamu bisa..." Tantang Pak Bejo.

Dengan berat hati Nisa menganggukkan kepalanya. "Saya bisa Pak... Saya bisa..." Jawab cepat Nisa.

Pak Bejo berdiri di depan Nisa. "Tolong buka handukku." Suruh Pak Bejo.

Nisa tampak terkejut mendengarnya. "A-apa?" Kaget Nisa.

"Apakah perintahku tadi kurang jelas."

Sadar kalau posisinya saat ini hanya bisa mematuhi semua keinginannya Pak Bejo. Dengan amat terpaksa Nisa membuka handuk yang di kenakan Pak Bejo. Ketika handuk itu terlepas, wajah Nisa terlihat sangat terkejut melihat ukuran kontol Pak Bejo. Reaksi wajah Nisa membuat Pak Bejo sangat senang, karena itulah yang di inginkan Pak Bejo.

"Kamu pasti tau apa yang harus kamu lakukan sekarang." Ujar Pak Bejo sembari menggoyangkan pinggulnya, membuat kontolnya berayun-ayun di depan wajah Nisa.

Ingin sekali rasanya Nisa pergi saat itu juga, andai saja ia tidak mengingat bagaimana perjuangan orang tuanya dalam membesarkan dan mendidiknya hingga menjadi seperti ini. Dan sekarang saatnya giliran dia yang berbakti kepada Ibunya. Jemari Nisa gemetaran saat menggenggam kontol Pak Bejo, dengan perlahan ia mengurut kontol Pak Bejo dengan perlahan.

"Sssttt... Enak sekali! Aaahk... Jari kamu terlihat seksi dengan cincin mas di jemari manismu." Ejek Pak Bejo, membuat wajah Nisa merona merah.

Tetapi Nisa berusaha mengabaikan ucapan Pak Bejo, walaupun hatinya menjerit. Masih ingat betul bagaimana suaminya menyematkan cincin pernikahan itu di jari manisnya tepat ketika mereka selesai mengucapkan janji suci. Pak Bejo mendorong ke depan kepala Nisa hingga mendekat kearah kontolnya.

"Kulum kontol saya." Perintah Pak Bejo.

Bola mata Nisa melebar mendengarnya. "Ta... Tapi Pak... Saya belum pernah melakukannya." Panik Nisa, karena memang benar Suaminya tidak perna memintanya melakukan hal yang aneh-aneh kepadanya.

"Bagus, berarti saya orang pertama! Lakukan sekarang..." Perintahnya lagi.

Nisa sadar kalau dirinya tidak punya pilihan, tapi bagaimana cara melakukannya. Saat ia sedang sibuk berfikir, tiba-tiba Pak Bejo sudah mendorong kontolnya hingga menubruk bibir merah Nisa.

"Buka mulutmu." Suruhnya lagi.

Dengan berat hati Nisa membuka mulutnya, dan membiarkan benda asing tersebut masuk ke dalam mulutnya. Rasanya keras, asin dan hangat...

"Gerakan mulutmu maju mundur." Ujar Pak Bejo memberikan instruksi.

Walaupun terasa kaku, Nisa tetap melakukannya, ia menggerakan mulutnya maju mundur, maju mundur dengan perlahan. Sementara Pak Bejo tampak senang bisa mendapatkan blowjob dari seorang wanita muslimah yang berstatus Istri orang. Awalnya Nisa hanya memaju mundurkan kepalanya, tetapi lama kelamaan ia terlihat mulai terbiasa memanjakan kontol Pak Bejo. Sesekali ia menyedot kontol Pak Bejo hingga kedua pipiny tampak kepot, saat rahangnya mulai pegal, Nisa menggantikannya dengan sapuan lidahnya. Permainan mulut Nisa membuat Pak Bejo tampak tidak tahan, beberapakali ia mendesis nikmat, bahkan ia nyaris ejakulasi andaikan saja Pak Bejo tidak menarik kontolnya dari dalam mulut Nisa.

"Cukup... Sepertinya kamu sangat menyukai kontolku." Ejek Pak Bejo, membuat kedua telinga Nisa yang mendengarnya terasa panas.
Kemudian Pak Bejo duduk di samping Nisa, ia merangkul dan mendekap pundak Nisa. Bibir tebalnya menyosor bibir merah Nisa. Berbeda dengan sebelumnya, kini Nisa membalas lumatan Pak Bejo. Ia sedikit terkejut ketika tangan Pak Bejo menangkup payudaranya, tapi pada akhirnya ia membiarkan saja telapak tangan Pak Bejo meremas payudaranya.

Perlahan tapi pasti, sentuhan Pak Bejo mulai membangkitkan birahinya. Bahkan Nisa beberapa kali sampai lupa bernafas sanking nikmatnya. Sebisa mungkin Nisa mengendalikan pikirannya, agar tidak terbawa oleh suasana erotis yang tengah di bangun oleh Pak Bejo, dengan cara membayangkan wajah Suaminya yang saat ini tengah menunggunya di rumah.

"Eeehmm... Aaahkk... Ehmmppsss... Hah... Hah..." Lenguh Nisa putus-putus di tengah-tengah ciumannya bersama Pak Bejo.

Tangan kanan Pak Bejo terjulur kebawah, menuju selangkangan Nisa. Saat jemari Pak Bejo menyentuh kulit pahanya, tubuh Nisa tampak gemetar. Rasa geli yang di rasakan Nisa membuat memeknya berkedut-kedut.

Jangaaan... Jangaaan...

Perlahan cairan cintanya merembes keluar seiring sentuhan tangan Pak Bejo yang semakin naik keatas, menuju kemaluannya.

"Eengkk..." Nisa terpekik kecil ketika jemari Pak Bejo sudah mencapai bibir kemaluannya.

Pak Bejo melepas ciumannya, menatap wajah cantik Ustadzah Nisa yang tengah birahi, membuatnya semakin bersemangat mempermainkan perasaan Ustadzah Marsika yang kini di landa kebimbangan, antara menikmati sentuhan Pak Bejo, atau melawannya. Tangan kiri Pak Bejo menyusup masuk ke dalam lingerie Nisa, ia meraih payudara Nisa, meremasnya dan memilin puting Nisa yang semakin membesar.

"Hah... Hah... Aaahkkk..." Desah Nisa tak tahan.

"Tetek kamu empuk, kenyal seperti agar... Beruntung sekali Suamimu Ustadzah..." Bisik Pak Bejo, membuat rasa bersalah semakin membunca di hati Nisa.

Ia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa nikmat yang membelenggunya saat ini.

"Pak... Aaahkk... Sssttt... Aaahkk..." Lenguh Nisa kian tak berdaya oleh sentuhan Pak Bejo.

Kedua jemari Pak Bejo menerobos masuk ke dalam liang senggama Marissa yang terasa hangat dan seret, dengan gerakan perlahan ia menusuk-nusuk memek Nisa, membuat wanita Soleha itu makin kalang kabut di buatnya. Nisa menggigit bibirnya, menahan suara desahannya untuk menjaga marwah islam di dalam dirinya. Tetapi usahanya sisa-sisa saja.

Sloookksss... Sloookksss... Sloookksss...

Dengan cepat kedua jari Pak Bejo keluar masuk, keluar masuk di dalam memek Nisa, sementara cairan cintanya keluar semakin banyak, hingga menetes, mengalir di sela-sela pahanya.

"Paaaak... Oughk..." Jerit Nisa.

Tubuhnya kelojotan, bergetar hebat saat orgasme itu tak lagi bisa ia tahan. Saat Pak Bejo menarik keluar kedua jarinya, tampak cairan cintanya muncrat beberapa kali. Pinggul Marissa tersentak-sentak menikmati orgasmenya barusan.

Creeettss... Creeettss... Creeettss...

"Oughk... Aaahkk... Hah... Hah..." Lenguh Nisa.

Pak Bejo membelai clitoris Nisa, menggosok-gosok clitorisnya dengan kedua jarinya dengan sangat cepat, hingga orgasme yang tadinya mulai meredah kini kembali datang. Bagaikan tsunami susulan, semburan deras cairan cintanya kembali menyembur deras dengan jumblah yang lebih banyak.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr...

Creeettss... Creeettss... Creeettss...

"Ckckck... Nafsu Ustadzah besar juga ya, pasti suamimu kesulitan mengimbangi nafsu Ustadzah yang begitu besar." Ledek Pak Bejo membuat Nisa sakit hati mendengar ucapannya, tapi ia tidak bisa marah.

Sejujurnya Nisa juga bingung kenapa ia bisa begitu mudanya orgasme, padahal selama ini saat bercinta dengan Suaminya ia sangat sulit sekali mendapatkan orgasme, apa lagi sampai mendapatkan squirt berkali-kali. Pak Bejo berbaring di atas tempat tidur, ia meminta Nisa naik keatas tubuhnya dengan gaya terbalik, atau gaya 69. Dengan berat hati lagi-lagi Nisa menuruti kemauan Pak Bejo, ia mengangkangi wajah Pak Bejo, sementara wajahnya berada di depan kontol Pak Bejo yang tengah mengancung keras.

"Kulum kontol saya." Suruh Pak Bejo.

Jemari halus Nisa kembali membelai kontol Pak Bejo, mengocoknya dengan perlahan sembari mencium kepala kontol Pak Bejo dengan lembut. Lalu ia memasukan kontol Pak Bejo ke dalam mulutnya, dan mulai menghisap kontol Pak Bejo. Sementara Pak Sobir terlihat tengah memandangi memek Nisa, ia dengan sengaja membuka libia majora vagina Nisa agar bisa melihat lobang memek Nisa yang tampak berkedut-kedut, bahkan dengan isengnya ia meniup lobang kemaluan Nisa. Wajah cantik Nisa merona merah karena malu, bagi Nisa ini adalah kali pertama seorang pria melihat memeknya dengan jarak yang sangat dekat.

"Sluuppss... Sluuppss... Eengkk... Bapak! Hah... Pak... Aduuuh... Aaarrt..." Erang Nisa saat merasakan sapuan lidah Pak Bejo di bibir kemaluannya.

"Memek kamu enak Ustadzah... Sluuuppsss... Sruuupsss... Sluuppss... Sluuppss... Apa suamimu pernah menjilati memek Ustadzah?" Tanya Pak Bejo dengan lantangnya.

Andai dalam kondisi normal, Nisa tentu akan mencak-mencak kalau di tanya seperti itu, tapi kondisinya saat ini berbeda, karena dirinya memang sudah menjadi milik Pak Bejo, sehingga ia harus menjawab pertanyaan yang memalukan tersebut.

"Be... Oughk... Belum Pak... Aaahkk..." Erang Nisa.

Pak Bejo tersenyum mendengarnya. "Berarti saya orang pertama yang mencicipi memek Ustadzah! Sruuupsssss...." Tiba-tiba Pak Bejo menyeruput kuat kemaluan Nisa, membuat tubuh Nisa melejang-lejang tak karuan.

"Bapaaaaak..." Jerit Nisa.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr...

Creeettss... Creeettss... Creeettss...

Memek Nisa berkedut-kedut sembari menumpahkan cairan cintanya kewajah Pak Bejo yang tampak menyeringai senang, menyeruput lendir yang keluar dari memek Nisa. Setelah puas Pak Bejo meminta Nisa terlentang dengan pose mengangkang. Sembari memalingkan wajahnya dari tatapan Pak Bejo, Nisa menahan kedua lipatan bagian belakang lututnya dengan kedua lengannya, posisi ini sama saja dengan Nisa mengizinkan Pak Bejo menikmati keindahan memeknya.

"Aku akan mengawinimu sekarang!" Goda Pak Bejo sembari menggesek-gesekkan kemaluannya di bibir memek Nisa.

Maafkan aku Mas... Maafkan Istrimu ini.

Nisa memejamkan matanya ketika kepala kontol Pak Bejo membela bibir kemaluannya, menerobos masuk dengan perlahan ke dalam lobang memeknya yang terasa legit dan nikmat. Kening Nisa berkerut, menahan rasa ngilu bercampur nikmat ketika kontol Pak Bejo semakin dalam menusuk memeknya.

"Eengkk... Aaahkk... Sssttt... Aaahkk..." Lenguh Nisa.

Wajah Pak Bejo tidak kalah tegangnya, akhirnya ia bisa merasakan memek Ustadzah Nisa.

"Sempit sekali... Aku yakin kontol Suamimu sangat kecil." Masih sempat-sempatnya Pak Bejo mempermainkan perasaan Nisa yang tengah di landa kebimbangan.

"Aduuu... Pak! Aaahkk..."

"Ougk... Enaknya memek Istri solehah ini." Racau Pak Bejo sembari mengayunkan pinggulnya maju mundur, memompa memek Nisa.

Nisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak tahan ketika Pak Bejo semakin cepat menyodok-nyodok memeknya. Rasanya geli-geli tapi nikmat, membuat nafasnya memburu keenakan setiap ujung kepala kontol Pak Bejo menabrak bagian terdalam memeknya. Kedua tangan Pak Bejo meraih payudara Nisa, meremas-remasnya dengan kasar seiring dengan tempo permainannya yang semakin cepat.

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Creeettss... Creeettss... Creeettss...

Tepat ketika Pak Bejo mencabut kontolnya, cairan cinta Nisa langsung berhamburan keluar bagaikan air mancur yang menyembur begitu deras.

"Hah... Hah... Hah..." Nafas Nisa yang tampak kepayahan.

Tubuh indah Nisa terkulai lemas setelah kembali di buat orgasme oleh Pak Bejo. Dengan pandangan sayu, Nisa menatap Pak Bejo. Kembali Pak Bejo menindih tubuh Nisa, ia mendekap kepala Marsika sembari melumat bibir manis Nisa dengan rakus, sementara kontolnya kembali menjelajahi relung memek Nisa yang terasa semakin licin, hingga mempermuda laju gerak kontol Pak Bejo.

"Gimana rasanya Ustadzah? Enakkan?" Goda Pak Bejo.

Nisa memalingkan wajahnya, ia merasa sangat hina mendengar pertanyaan Pak Bejo. "Aaahkk... Aaahkk... Sssttt... Pelan-pelan Pak! Hah... Aaahkk..." Desah Nisa yang terdengar sangat manja di telinga Pak Bejo.

Kemudian Pak Bejo mencabut kontolnya, dan mengajak Nisa menuju sofa. Nisa hanya menurut saja ketika di minta tiduran diatas sofa dengan posisi telentang, sementara pinggulnya di sangga oleh senderan tangan sofa sehingga pantatnya sedikit terangkat. Pak Bejo mengangkat kedua kaki Nisa diatas pundaknya sementara kontolnya di posisikan sejajar dengan memek Nisa. Dengan muda Pak Bejo kembali menusukan kontolnya ke dalam memek Nisa. Lagi-lagi tubuh Nisa di buat menggeliat seperti cacing kepanasan.

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Bagaikan mesin bor, kontol Pak Bejo menghujam tanpa ampun, mengobok-obok memek Nisa yang tampak memerah. Tapi anehnya wanita Soleha itu malah tampak sangat menikmati permainan kasar Pak Bejo kepada dirinya. Hentakan-hentakan kontol Pak Bejo membuat payudara Nisa tampak berayun-ayun. Saat Nisa hampir kembali mendapatkan orgasmenya, tiba-tiba Pak Bejo berhenti menghentak-hentakkan kontolnya di dalam memeknya.

"Putar badan kamu." Suruh Pak Bejo.

Pria paruh baya itu tampak menyeka keringat yang ada di dahinya. Dengan bersusah paya Nisa memutar tubuhnya, Nisa menyandarkan perutnya di atas sandaran tangan sofa, sementara tubuh bagian atasnya sepenuhnya jatuh keatas sofa dengan pantat yang menungging kearah Pak Bejo. Kedua tangannya terjulur kebelakang, membuka pipi pantatnya. Dari belakang Pak Bejo menuntun kontolnya untuk kembali merajai memek Nisa Bleeesss... Dengan satu sentakan, kontolnya amblas sedalam-dalamnya ke dalam memek Nisa. Lagi dengan kekuatan power full Pak Bejo menggenjot memek Nisa, sementara tangan kanannya berpegangan dengan pundak Nisa.

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Di posisi ini membuat kontol Pak Bejo masuk semakin dalam, membuat Nisa tampak kelimpungan menghadapi setiap hentakan kontol Pak Bejo di dalam lobang surgawi miliknya.

"Aaahkk... Aaahkk... Aaahkk..." Desah Nisa.

Dengan rahang yang mengeras, Pak Bejo menghentak-hentakkan pinggulnya dengan keras.

"Oughk... Enak sekali memekmu Ustadzah... Aaahkk... Hah... Hah..." Racau Pak Bejo.

Suka atau tidak Nisa harus mengakui betapa hebatnya Pak Bejo dalam urusan ranjang, buktinya ia kembali mendapatkan orgasmenya. Selama melayani Suaminya ia tidak pernah bisa mendapatkan orgasme berkali-kali, bahkan satu kalipun jarang, tetapi dengan Pak Bejo ia bisa berkali-kali mendapatkan orgasme, membuatnya merasa melayang ke langit ketujuh sanking nikmatnya. Kedua tangan Pak Bejo menarik kedua tangan Nisa kebelakang, hingga Ustadzah Nisa berdiri tegak di depan Pak Bejo, sementara kontol Pak Bejo masih saja tertancap di dalam memeknya. Dari belakang Pak Bejo memeluk erat perut Nisa sembari mencium pipinya.

"Aaahkk... Hah... Hah..." Desah Nisa terputus-putus.

"Kontol saya ennakkan Ustadzah? Saya yakin setelah ini kontol suamimu tidak akan berasa di memek Ustadzah! Hahaha..." Ejek Pak Bejo yang tampak senang sekali menggoda, mempermainkan perasaan Nisa yang terlihat semakin pasrah.

"Paaaak... Aaaaahkk... Hah... Hah... Saya mau keluar Paaaak... Aduh... Aaahkk..." Erang Nisa, tubuh indahnya kembali kelojotan.

Tapi tiba-tiba Pak Bejo mencabut kontolnya, membuat lorong memek Nisa terasa kosong, dan rasa nikmat yang hampir memuncak mendadak hilang bagaikan di telan angin. Dengan tatapan sayu Nisa menatap Pak Bejo, rasanya sangat tidak enak kalau menggantung seperti ini.

"Belum saatnya." Ujar Pak Bejo.

"Pak..." Melas Nisa.

Kemudian ia duduk di sofa dengan kedua tangan menjadi sandaran di kepalanya. "Kamu mau ini Nisa? Jangan malu-malu katakan saja." Goda Pak Bejo sembari mengocok kontolnya yang tampak basah.

"Eehmm..." Nisa mengangguk lemah.

Pak Bejo tersenyum. "Duduk diatas pangkuanku sekarang." Suruh Pak Bejo seraya menatap tubuh telanjang Nisa yang terlihat indah.

"I-iya Pak..."

Nisa merangkak naik keatas sofa, dengan posisi mengangkangi kontol Pak Bejo. Kedua kakinya ia tekuk kebelakang sebagai penopang tubuhnya. "Kamu harus meminta izin terlebih dahulu kalau menginginkan kontol saya." Ujar Pak Bejo menggoda.

"Eh...."

"Dan beritahu alasannya kenapa kamu menginginkan kontolku, hahaha..." Tawa Pak Bejo yang tampak begitu puas mempermainkan perasaan Nisa.

Nisa yang seakan sudah kehilangan rasa malumya dengan cepat meminta izin kepada Pak Bejo. "Pak... Kontolnya saya masukin ya..." Pinta Nisa dengan suara gemetar, menahan gejolak birahinya.

"Masukan kemana?"

"Ke memek saya Pak..."

"Kenapa?"

Nisa terdiam, haruskah ia mengatakannya? "E-enak Pak... Kontol Bapak besar jadi rasanya enak banget." Jawab Nisa sejujur-jujurnya walaupun ia tau ucapan nya barusan sudah sangat merendahkan harga dirinya.

"Lakukan sesukamu Ustadzah." Bisik Pak Bejo.

Nisa meraih kontol Pak Bejo, mengarahkannya ke depan memeknya. Dengan perlahan ia menurunkan pantatnya, menelan kembali kontol Pak Bejo yang terasa sangat nikmat.

"Eeengkk... Aaaahk.... Aaahkk..." Lenguh Nisa merasakan nikmatnya setiap inci kontol Pak Bejo masuk ke dalam memeknya.

Kemudian dengan gerakan perlahan ia mulai mengangkat dan menuruni pinggulnya, mengocok-ngocok kontol Pak Bejo dengan memeknya. Kedua tangan Nisa melingkar di leher Pak Bejo, wajahnya mendongak keatas menikmati setiap pertemuan rahimnya dengan kontol Pak Bejo. Rasa gatal di dalam memeknya, membuat Nisa semakin mempercepat goyangannya. Sementara Pak Bejo terlihat begitu menikmati payudara Nisa yang berayun-ayun, mengikuti gerakan tubuh Nisa.

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Splooookss.... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss... Splooookss...

Suara benturan pantat dan paha Pak Bejo terdengar begitu nyaring, bagaikan sebuah melodi indah yang menambah keintiman mereka, membuat birahi mereka kian menggebu-gebu.

"Aaahkk... Hah... Hah... Hah..." Erang Nisa makin keras.

"Enak sekali memek Ustadzah... Kontol saya rasanya seperti di peras-peras oleh memek Ustadzah." Racau Pak Bejo keenakan.

"Yaaah... Aaahkk... Pak... Enak Pak... Aaahkk... Hah... Hah... Oughk..."

"Enakkan mana di bandingkan kontol suamimu?" Goda Pak Bejo, sembari meremas-remas payudara Nisa yang membusung indah.

"Enak kontol Bapak... Aaahkk... Kontooool Bapak enaaaak... Aaahkk... Hah... Hah... Saya mau keluar Pak... Saya sudah tidak tahan lagi...." Jerit Nisa tidak sadar atas apa yang barusan ia katakan.

Punggungnya menekuk kebelakang, dengan wajah mendongak keatas ia menyambut orgasmenya.

Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr.... Seeeeeeeeeeeeeeeerrrr....

Pantatnya tersentak-sentak, menikmati sisa-sisa orgasme yang baru ia dapatkan. Tubuhnya yang lemas tidak berdaya jatuh ke dalam pelukan Pak Bejo, yang membiarkan dirinya menikmati sisa-sisa orgasmenya. Perlahan Pak Bejo berdiri sembari menggendong tubuh Nisa tanpa melepas kontolnya dari dalam memek Nisa. Lalu ia mulai mengayun-ayunkan tubuh Nisa ke udara, sehingga kontolnya tertancap semakin dalam ke dalam memek Nisa. Rasa gatal dan nikmat kembali merasuki jiwa Nisa, ketika kontol Pak Bejo yang menancap dalam ke dalam memeknya setiap kali pinggulnya turun kebawah.

"Oughk... Pak... Aaahkk... Aaahkk..." Erang Nisa keenakan di dalam gendongan Pak Bejo.

"Paaak... Aduuuh... Enaaak... Pak..." Jerit Nisa seakan tidak pernah kenal lelah.

Pak Bejo mengajak Nisa berjalan-jalan mengelilingi kamar hotel, sembari menyodok-nyodok memek Nisa dari bawah. Kemudian ia membaringkan tubuh Nisa dengan posisi dirinya berada diatas tubuh indah Nisa. Pak Bejo yang mulai kepayahan dengan kasar menggejot memek Nisa. Ia ingin segera mengakhiri kesenangannya hari ini. Sembari melumat bibir Nisa yang terasa manis, Pak Bejo menggenjot memek Nisa dengan sangat berutal membuat wanita Soleha itu tampak kewalahan, tapi sangat menikmati keberutalan kontol Pak Bejo yang menusuk-nusuk lobang memeknya.

"Eehmmmppss... Aaahkk... Emmppsss... Sslpppsss... Aaahkk... Ehmmppss... Ehmmppss..." Hanya itu keluar dari bibir manis Nisa.

Dengan satu tusukan dalam, pinggul Pak Bejo tersentak-sentak dan beberapa detik kemudian, tampak lahar panas keluar dari dalam kontolnya, menyambar rahim Nisa. Pada saat bersamaan Nisapun kembali mencapai klimaksnya, menenggelamkan kontol Pak Bejo dengan lendir cintanya yang begitu banyak.

"Oughk..." Lenguh Nisa.

Ustadzah Haifa tampak duduk santai di lobby hotel sembari membaca majalah. Tidak lama kemudian ia melihat Nisa yang berjalan tertatih-tatih mendekatinya dengan wajah pucat pasih. Ustadzah Haifa bisa menebak, kalau Nisa di hajar habis-habisan oleh kontol Pak Bejo.

"Sudah selesai?" Tanya Haja Haifa layaknya seorang mucikari.

Ustadzah Nisa mengangguk lemah. "Sudah Ukhti! Kita pulang sekarang Ukh." Ajak Ustadzah Nisa, ia ingin segera beristirahat di rumahnya.

"Yuk..."

Mereka berduapun segera meninggalkan hotel, menuju sebuah mobil yang sudah siap mengantarkan mereka pulang. Ustadzah Haifa terlihat senang karena rencananya telah berhasil, berbeda dengan Ustadzah Nisa yang tampak murung setelah menyerahkan tubuhnya untuk di nikmati Pak Bejo.

30 menit setelah kepergian Ustadzah Nisa dan Ustadzah Haifa, amir datang ke hotel menemui Bejo yaitu ayah nafiza untuk membahas soal batalnya pernikahan.

“sepertinya perjodohan fahri dan nafiza akan batal” kata amir

“apa kau tak bisa mengusahakannya?” sanggah Bejo

“sepertinya sulit. Fahri tetep memilih calonnya sendiri, aku tak bisa berbuat apa-apa”. Jawab amir

“apa yang kau takutkan amir, tidak biasanya kau seperti ini” tanya Bejo heran

“masalahnya ada pada ayah gadis itu, dia punya kartu AS ku” jawab amir pasrah

“memangnya siapa ayah gadis itu?” tanya Bejo dengan wajah penasaran

“kau pasti terkejut kalua mendengar Namanya” mendengar jawaban amir Bejo semakin penasaran

“siapa pria itu” tanya Bejo sambil menatap amir

“Bambang” jawab amir datar

“Bambang….maksudmu Bambang mantan suami Fatimah…Bambang yang merebut Fatimah dariku??” kata Bejo terkejut

“benar” mendengar jawaban amir ekspresi Bejo berubah menjadi marah teringat akan dendam masa lalu.

“jadi gadis itu anak Fatimah” tanya Bejo

“sepertinya begitu, gadis itu anak yang dilahirkan Fatimah sebelum dia meninggal karena secara penampilan mereka terlihat mirip” jawab amir datar

“kalo begitu biarkan mereka menikah” jawab Bejo datar

“apa kau menyerah?” tanya Bejo penasaran

“tentu saja tidak. Tujuanku sekarang berubah” jawab Bejo

“memang apa tujuanmu?” tanya amir makin penasaran

“balas dendam” jawab Bejo setelah menghisap rokoknya

“aku akan membalas dendam lamaku pada Bambang. Dan aku punya rencana bagus. Apa kau mau membantuku amir?” tawar Bejo pada amir

“membantumu” kata amir ragu

“bukankah kau bilang Bambang punya kartu AS mu, mungkin ini satu-satunya kesempatanmu merebut kartu AS itu” tawar Bejo membuat amir mulai tertarik

“baiklah aku setuju” jawab amir dengan senyuman jahat diwajahnya

**********

"Mbak, ada Bu Maryam menunggu di ruangannya Mbak." Mawar berkata pada Fania yang baru datang,

"Terima kasih, Mawar."

"Sama-sama, Mbak."

Fania berjalan menuju ruangannya kemudian mengucap salam pada Maryam, yang tersenyum padanya.

"Bu Maryam, apa kabar?" sapa Fania dengan ramah.

"Antara baik dan tidak." Jawaban Maryam membuat Fania tersenyum.

"Bu Maryam ini ada-ada saja."

"Memang begitu kenyataannya. Putraku benar-benar keras kepala. Ibu ke sini mengantarkan undangan pernikahan Bejo dan Shella. Ibu terpaksa menuruti mereka, dari pada nanti terjadi sesuatu dengan anak gadis orang, Ibu malah berdosa. Kamu bisa datang, kan?" Fania menerima undangan yang diberikan Maryam dan membacanya.

"Hari Minggu, ya? Maaf, Bu, Fania tidak bisa datang. Hari Minggu besok, Fania juga ada acara di rumah." Mendengar alasan Fania, Maryam kecewa.

"Sayang sekali, padahal Ibu sangat berharap kedatanganmu. Jam berapa pun, Ibu akan menunggumu. Datanglah, malam juga nggak apa-apa," balas Maryam tak ingin menyerah.

"Baiklah, insyaa Allah Fania akan mengusahakan." Fania pun mengalah karena tak tega melihat ekspresi wajah Maryam.
"Terima kasih, Fania. Ibu tunggu kedatanganmu. Ibu langsung pamit, masih ada urusan. Ibu sengaja menunggumu, Ibu kangen. Sudah lama kita nggak ngobrol."

"Hati-hati di jalan, Bu. Jaga kesehatan."

Maryam memeluk erat tubuh langsing Fania sebelum meninggalkan ruangan. Fania duduk dan memandang kartu undangan yang ada di tangannya.

"Shella dan Bejo pasti masih membenciku. Kalau aku datang ke pesta pernikahan mereka, apa tidak ada masalah nantinya. Tapi kalau tidak datang, kasihan Bu Maryam," gumamnya.

Fania meletakkan kartu undangan itu di meja dan mulai fokus pada tumpukan kertas-kertas di hadapannya. Diperiksanya satu per satu rekapan penjualan dari Mawar dengan teliti.

"Assalamu'alaikum ...."

Suara salam seseorang mengejutkannya. Fania mendongak, di hadapannya sudah berdiri seorang pemuda tampan yang tersenyum padanya.

"Wa'alaikumussalaam ... Fahri?"
"Maaf, aku tadi langsung disuruh Mawar masuk ke sini."

"Tidak apa-apa, duduklah!" pinta Fania, Fahri mengangguk sopan. Fahri melihat kartu undangan yang ada di meja kemudian membacanya.

"Oh ... kamu juga diundang?"

"Iya, Bu Maryam sangat berharap Fania datang tapi Fania masih takut Shella masih marah," ucap Fania sedih.

"Datanglah bersamaku ...."

"Tidak bisa! Kita masih belum mahram." Fania mencari alasan. Fahri pun tersenyum penuh arti.

"Aku punya ide! Kalau jawabanmu iya, bagaimana kalau hari Minggu besok kita langsung menikah saja?"

Fania berdecak sebal mendengar ucapan Fahri.

"Fahri, tidak bisa begitu ...."

"Aku bercanda, Fania. Tapi kalau kamu mau, Alhamdulillah," sahut Fahri memotong ucapan Fania.

Kedua bola mata gadis bercadar itu melotot mendengar Fahri yang mulai berani menggodanya.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Fania dengan nada ketus. Fahri terkekeh.

"Sama calon suami kok gitu, sih! Yang mesra, dong." Fania mencebik lirih, memutar bola matanya malas.

"Ada apa Mas Fahri?" Fania sengaja bertanya dengan suara yang dibuat manja.

"Masyaa Allah, adem dengernya. Fahri disuruh Ummi memberikan kue ini untuk kamu, Mawar dan Citra. Kamu saja nanti yang bagikan ke mereka. Tamu yang datang banyak sekali. Kuenya lebih-lebih di rumah. Heran sama orang-orang itu, kita berduka jadi seperti pesta. Maaf, jangan tersinggung, tidak ada maksud apa-apa. Hanya saja Ummi ingat sama calon menantunya."

"Terima kasih. Ini banyak sekali, Mas." Tanpa disadari, Fania mengubah panggilannya pada Fahri. Pemuda itu senyum-senyum sendiri dan kembali menggoda Fania.

"Maaf, aku nggak dengar, barusan kamu ngomong apa?"

"Ini banyak sekali, Mas. Masak sih nggak dengar!" ujar Fania kesal.

"Masyaa Allah, bahagianya aku dipanggil Mas ...."

"Lebay!!" Fahri kembali terkekeh mendengar suara ketus gadis bercadar di hadapannya.

"Tapi ... apa kamu nanti nggak malu kalau punya istri dari kalangan sederhana seperti Fania, Mas?"

"Kenapa harus malu? Kalangan atas atau bawah nggak ada bedanya. Yang membedakan itu akhlak dan agamanya. Eh, tapi ... itu tadi kode, ya?"

"Kode apa?" tanya Fania tak mengerti.

"Kode kalau kamu menerima lamaranku. Alhamdulillah ...."

"Ish, GR!" Fahri kembali terkekeh. Dia mulai suka menggoda gadis bercadar di hadapannya.

"Ya sudah, aku pulang dulu. Insyaa Allah kita bertemu dua hari lagi." Fahri berpamitan meskipun sebenarnya dia masih ingin berlama-lama dengan Fania.

"Sampaikan salam Fania sama Ummi, ya, Mas," balas Fania.

"Insyaa Allah."

Fahri diam tetap di tempat duduknya. Rasanya dia enggan berdiri. Fania menjadi salah tingkah karena Fahri memperhatikannya. Dia pun mengalihkan pandangannya pada layar laptop. Terdengar suara helaan napas sebelum Fahri mengucapkan kalimat yang membuat kedua bola mata gadis itu terbelalak.

"Fania, kita nikah aja, yuk! Aku sudah siap!"

"Kamu itu ... pulang sana! Gangguin orang kerja saja. Mentang-mentang Bos ...."

"Lha kamu 'kan juga Bos!"

Keduanya pun tertawa. Namun, tawa itu berhenti seketika saat mereka melihat seseorang yang datang dan mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Fauzan?"

"Hei, kamu ngapain ke sini?" tanya Fahri.

"Kamu sendiri ngapain ke sini?" Fauzan pun tak mau kalah.

"Astaghfirullah ... kalian ini kalau ketemu seperti Tom dan Jerry. Lebih baik kalian berdua pulang semuanya, Fania mau lanjut kerja," usir Fania.

"Tapi aku belum ngomong...."

Fahri berdiri kemudian merangkul pundak Fauzan.

"Yuk, kita pulang, Zan. Fania lagi nggak mau diganggu! Dari pada kamu kena marah, lebih baik kamu ke restoranku saja. Aku akan traktir kamu makan dan minum sepuasnya," ajak Fahri.

"Memangnya aku nggak punya uang sampai kamu mau mentraktirku?" Fauzan menolak ajakan Fahri.

"Anggap saja ini tanda persahabatan kita." Fauzan mengernyitkan dahi mendengar ucapan Fahri.

"Kita bersahabat?"

"Kalau kamu nggak mau sih, nggak masalah. Alhamdulillah uangku utuh." Fahri pun bersiap untuk pergi.

"Baiklah, aku mau." Fauzan pun akhirnya menerima ajakan Fahri.

"Nah, gitu dong! Fania, kami pamit dulu. Jangan lupa hari Minggu."

Fania menganggukkan kepala dan memandang kedua pemuda itu sampai keluar dari toko. Dia tersenyum mengingat ucapan Fahri. Namun, dia segera mengucap istighfar.

"Astaghfirullah ... fokus kerja, Fania. Fokus ...."

Fahri dan Fauzan duduk berhadapan di dalam restoran milik Fahri. Mereka berbincang santai dan mulai akrab, tak ada lagi sinyal permusuhan.

"Memangnya hari Minggu ada acara apa?" tanya Fauzan penasaran.

"Ada deh! Kamu nggak perlu tahu soal itu." Fahri tak ingin bicara jujur karena takut Fauzan sakit hati.

"Nggak usah main rahasia segala. Fahri, insyaa Allah aku akan menikah dengan gadis pilihan keluargaku. Aku menyerah, mengaku kalah. Kalau memang kamu tertarik sama Fania, tolong cepat khitbah dia, bila perlu ajak nikah! Fania gadis yang istimewa. Jangan sampai kamu keduluan sama yang lain." Fahri terkejut mendengar ucapan Fauzan.

"Insyaa Allah. Kenapa kamu menyerah? Bukankah kamu juga naksir berat sama Fania?"

Fauzan menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Fahri.

"Aku tidak bisa berkutik. Aku tidak bisa melawan keluarga besarku. Apalagi Fania sudah memberi nasihat, aku berusaha ikhlas menerima perjodohan ini."

"Fania memberimu nasihat? Kapan itu?" Fahri heran mendengar jawaban Fauzan.

"Iya, dia datang ke rumah waktu aku ngambek." Fahri terkekeh.

"Hahaha ... Pasti kamu malu!"

"Sebenarnya malu tapi mau bagaimana lagi. Ummi juga aneh-aneh saja pakai lapor sama Fania," balas Fauzan terus terang,

"Sebenarnya aku penasaran, sejak kapan kamu suka sama Fania? Aku lihat kamu sempat terobsesi sama dia."

"Aku sudah suka semenjak bertemu di masjid waktu awal-awal dia kuliah. Nggak sengaja aku membantu mengambilkan bukunya yang jatuh. Aku langsung jatuh cinta sama suaranya waktu dia bilang terima kasih."

"Ya, kamu benar. Awalnya aku juga tertarik dengan Fania karena suaranya. Sayang sekali sekarang kamu menyerah. Aku jadi nggak punya saingan!" goda Fahri, Fauzan tersenyum masam.

"Om Bambang benar, aku nggak mungkin melawan keluarga besarku."

"Aku juga salut sama Om Bambang. Pamanku yang tadinya menentang, setelah bertemu Om Bambang langsung setuju kalau aku berhubungan dengan Fania. Keren nggak, tuh?" Fauzan mengangguk setuju.

"Om Bambang memang keren. Ummiku saja kenal sama Om Bambang tapi aku sendiri nggak tahu ada hubungan apa di antara mereka. Yang pasti, aku sekarang sudah Ikhlas melepas Fania, apalagi kalau kamu yang jadi suaminya. Aku tahu kamu baik, tampan dan mapan. Aku juga sudah tahu kalau restoran ini milik kamu. Kalau kamu masih menuntut nazar yang pernah aku ucapkan waktu itu, aku bersedia." Fahri Kembali terkejut dengan ucapan Fauzan.

"Hari ini kamu banyak memberiku kejutan. Sudahlah, lupakan! Aku tidak akan menuntut baik di dunia maupun akhirat. Aku bersyukur kita bisa berteman seperti ini. Tapi, aku sebenarnya penasaran. Kamu 'kan belum tahu wajah Fania tapi kenapa dulu kamu bisa mengejar-ngejar dia sampai seperti itu?" Fauzan berdecak kesal.

"Kamu sendiri juga nggak tahu wajahnya, kenapa bisa naksir sama dia, hayo?" Kedua pemuda tampan itu pun tertawa.

"Aku sih yakin banget Fania itu cantik. Om Bambang saja tampan. Tapi yang paling penting, Fania itu calon istri idaman. Anaknya baik, tutur katanya lembut, tegas, apalagi Ummi juga sudah sangat suka sama dia. Bagiku itu saja sudah cukup."

"Memang sih, tapi cowok 'kan pasti juga butuh kecantikan fisik!" sahut Fauzan, membuat kening Fahri berkerut.

"Kenapa kamu bisa bilang begitu sementara kamu sendiri belum pernah melihat wajah Fania?"

Fauzan kembali menghela napas panjang. Tiba-tiba ingatannya kembali pada kejadian beberapa tahun yang lalu.

"Sebenarnya aku punya rahasia. Karena itu aku sempat terobsesi sama Fania."

"Eh, rahasia apa?" Fahri semakin penasaran.

"Percaya atau tidak ... tanpa sengaja, aku sudah pernah melihat wajahnya ...."

*******


"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" Aini memperhatikan Fahri yang baru saja pulang dari restoran.

"Nggak apa-apa, Ummi. Yang pasti anak Ummi yang tampan ini sedang bahagia," jawab Fahri senang.

"Hemm ... Pasti ada hubungannya dengan Fania. Awas, lho, kamu jangan punya pikiran mesum!" sahut Aini mengingatkan, Fahri menggelengkan kepala sambil mengucap istighfar.

"Astaghfirullah ... nggaklah. Aku nggak pernah punya pikiran aneh-aneh. Aku hanya berpikir, kalau besok jawaban Fania iya, kenapa kita nggak langsung nikah saja? Kita bisa nikah sirih dulu kemudian aku akan segera mengurus surat-suratnya." Fahri mengungkapkan keinginannya.

"Fahri, Ummi sih setuju saja. Tapi kamu juga harus memikirkan perasaan Fania. Pak Bambang juga belum tentu setuju. Sebaiknya kita tunggu jawabannya Fania dulu," balas Aini dengan sabar.

"Minggu besok aku juga bisa lihat wajah Fania, kan?" tanya Fahri dan Aini mengangguk mengiakan.

"Insyaa Allah, kita pasti dibolehkan melihat wajahnya. Fania dan Pak Bambang sudah bilang ke Ummi waktu itu," jawab Aini terus terang.
"Aku jadi nggak sabar menunggu hari Minggu." Aini menggelengkan kepala mendengar ucapan putranya.

"Anak Ummi sudah dewasa, usiamu memang sudah waktunya menikah. Wajar saja kalau kamu sudah nggak sabar segera menghalalkan gadis yang sudah membuatmu jatuh cinta. Tapi, kalau wajah Fania tidak sesuai harapanmu, bagaimana?" tanya Aini penasaran.

"Insyaa Allah, pasti sesuai," tegas Fahri.

"Yakin sekali kamu. Tapi Ummi sarankan, bagaimanapun keadaannya Fania nanti kamu harus menerima."

"Insaa Allah, jangan khawatir. Ummi kita tidak punya saudara. Terus kita besok ke rumah Fania apa hanya berdua saja?" Aini terkekeh mendengar pertanyaan Fahri.

"Sudahlah, kita berdua saja dulu nggak apa-apa. Kamu ini, yakin banget diterima!"

"Yakin, Ummi. Fania saja sudah memanggilku Mas. Astaghfirullah ... aku jadi teringatterus saat dia memanggilku Mas Fahri tadi," ujar Fahri bahagia.

"Ummi jadi ikut senang mendengarnya. Pantas saja ngebet mau nikah. Kalau begitu, nanti Ummi akan ajak teman Ummi yang suaminya penghulu, biar bisa menikahkan kalian." Fahri spontan memeluk Aini yang duduk di sampingnya.

"Alhamdulillah, semoga Fania benar-benar menerimaku. Terima kasih, Ummi."

"Aamiin Allahumma Aamiin. Oh ya, setelah ini kalian akan tinggal di mana? Apakah kamu akan tinggal di rumah sendiri atau tinggal sama Ummi?" Fahri tahu Aini pasti kesepian, kalau dirinya tinggal berdua dengan Fania saat menikah nanti.

"Terserah Fania saja, Ummi." Aini mengangguk setuju.

"Ummi berharap Fania mau tinggal di sini. Tapi kalau Fania keberatan dan ingin tinggal terpisah, Ummi tidak masalah yang penting kalian nyaman." Perasaan Fahri Kembali bahagia, mendengar ucapan Aini yang bijaksana.

"Masyaa Allah, sekali lagi terima kasih, Ummi. Ummi memang yang terbaik." Aini mengusap lembut kepala Fahri.

"Ummi ... kata Fauzan, Fania itu sangat cantik." Ucapan Fahri membuat kening Aini berkerut.

"Dari mana dia tahu?" tanya Aini tak percaya.

"Dia pernah nggak sengaja melihat wajahnya waktu masih kuliah dulu," jawab Fahri.

"Astaghfirullah ...."

"Tapi dia menyerah, nggak ngejar Fania lagi. Dia akan menikah dengan gadis pilihan keluarganya," jelas Fahri, tak ingin Aini cemas.

"Ya sudah kalau begitu. Semoga saja dia memegang omongannya dan nggak akan mengganggu rumah tangga kalian nantinya."

"Kok Ummi bisa berpikiran seperti itu?" tanya Fahri tak mengerti.

"Ummi tidak suudzon tapi hanya mengingatkan saja. Seorang laki-laki kalau sudah jatuh cinta, setahu Ummi, dia tidak akan mudah menyerah begitu saja. Apalagi kamu bilang, Fauzan sudah pernah melihat wajah Fania. Wajar kalau Ummi khawatir." Aini menjelaskan agar Fahri tak salah paham.

"Insyaa Allah Fauzan tidak akan seperti itu, Ummi," balas Fahri meyakinkan.

"Aamiin ... semoga saja."

Sementara itu di rumah Fauzan, Ghaffar mengajak putranya berbicara. Laila duduk di samping Ghaffar dan diam mendengarkan.

"Fauzan, orang tua Amira ingin pernikahan kalian diadakan dua bulan lagi. Bagaimana?" tanya Ghaffar pada pemuda yang wajahnya sangat mirip dengannya itu.

"Terserah, aku ikut saja. Seandainya aku menolak pun juga percuma." Ghaffar berdecak kesal mendengar jawaban putranya.

"Jangan bicara begitu, Fauzan. Kamu "kan sudah setuju, jadi kamu boleh berpendapat. Kamu maunya bagaimana?"

"Aku sih maunya lima atau enam bulan lagi. Aku memang menerima tapi aku belum siap menikah," jawab Fauzan terus terang.

"Tapi kalau sama Fania, kamu maunya langsung nikah!" sahut Laila menggoda Fauzan.

"Beda itu. Aku sudah tergila-gila sama Fania sejak kuliah. Abi saja yang nggak setuju.”

"Memangnya cantikan siapa Fania sama Amira?" tanya Ghaffar tak terima.

"Ya nggak tahu, Bi, Fania 'kan pakai cadar. Jadi belum tahu wajahnya seperti apa." Jawaban Laila membuat Ghaffar tertawa.

"Hahaha ... Kamu ini, Zan ... Zan ... Belum tahu wajahnya kok sudah tergila-gila. Jelas lebih baik sama Amira. Cantik, putih, baik, shalihah, anaknya juga diam, nggak pernah macam-macam."

"Iya, Bi. Fauzan 'kan sudah mau sama Amira. Nggak usah dibahas lagi." Fauzan tak mau berdebat dengan Ghaffar. Dia sudah berusaha ikhlas menerima keputusan keluarganya. Sebagai pewaris satu-satunya Ghaffar, Fauzan mengerti beban berat yang ditanggungnya apabila dia melawan. Semua dilakukannya demi Fania.

"Memangnya dia anak pengusaha mana? Kok Ummi juga mendukung Fauzan sama yang namanya Fania itu?" Pertanyaan Ghaffar membuat Laila gugup. Ghaffar juga mengenal Bambang dan juga perasaannya dulu pada mantan sopir pribadinya itu.

"Dia bukan anak pengusaha, Bi. Dia itu anaknya Om Bambang. Barangkali saja Abi kenal soalnya Ummi juga kenal." Fauzan menjelaskan tanpa ragu.

"Sebentar ... sebentar... Bambang... Bambang... Abi kok pernah dengar nama itu, ya? Tapi di mana..."

"Bi, ayo kita istirahat saja di kamar, sudah malam. Nggak usah dibahas lagi masalah Fania." Laila berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Bambang.

"Abi ingat sekarang. Bukankah Bambang nama mantan sopir kamu itu? Mantan sopir yang pernah membuat Ummi jatuh cinta? Pantas saja Ummi berharap Fania jadi menantu di rumah ini. Ternyata tujuan Ummi karena ingin sering bertemu dengan ...."

"Tidak, Bi! Tolong, jangan salah paham. Ummi sama sekali tidak ada maksud seperti itu. Ummi melakukan hanya demi Fauzan, Bi. Percayalah sama Ummi." Laila memohon.

"Kurang apa Abi selama ini? Abi selalu berusaha membahagiakan Ummi tapi Ummi masih saja tidak berubah! Kapan Ummi bisa move-on dari mantan sopir itu? Abi kecewa!" Fauzan akhirnya tahu hubungan antara Bambang dengan Laila. Ghaffar masih memandang tajam istrinya.

"Abi, Ummi sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi sama Bambang. itu hanya masa lalu, Bi. Tolong percaya sama Ummi," pinta Laila.

"Abi, tolong maafkan Ummi. Setiap orang pasti punya masa lalu." Fauzan mencoba membela Laila.

"Tentu saja Abi sudah memaafkan Ummi, jangan khawatir Fauzan. Abi hanya kecewa, itu saja! Dan Abi menyadari kalau kalian berdua sama saja. Ummimu suka abinya dan kamu suka anaknya. Pantas saja kamu ingin mengulur-ulur waktumu menikah dengan Amira. Apa yang sudah kamu rencanakan, Zan?"

"Abi jangan suudzon, aku hanya ingin memantapkan hati. Kalau memang pernikahanku dengan Amira bisa membuat Abi bahagia, baiklah. Segera tentukan tanggal pernikahanku. Kalau perlu, minggu depan aku akan menikahinya!"
 
BAB 13

"Masyaa Allah ... bagus-bagus ya tadi, harganya juga terjangkau. Rasanya aku pengen borong semuanya," ucap Safira dengan ekspresi wajah yang gembira.

"Kebiasaan!" sahut Fania.

Safira tertawa mendengar Fania yang kesal padanya. Meraka berdua baru pulang dari acara launching produk terbaru salah satu distributor langganan mereka.

"Tapi 'kan nanti dijual lagi. Nggak masalah dong kalau aku borong." Safira mencari alasan.

"Ya memang nggak masalah kalau dipajang, terus dijual. Lha, kalau kamu "kan beda. Habis borong, dipajang, tapi diambil lagi buat koleksi pribadi. Itu Namanya pemborosan." Safira kembali tertawa.

"Habisnya aku nggak tahan. Kalau warna tasnya cocok dengan warna gamisku, rasanya pengen aku ambil buat koleksi pribadi." Fania hanya berdecak sebal melihat kebiasaan sahabatnya itu.

"Kamu dari dulu memang nggak berubah. Padahal kamu tahu sendiri 'kan bagaimana hukumnya?" tanya Fania mengingatkan.

"Iya... Iya ... aku tahu. Setiap barang yang kita miliki akan ada hisabnya. Masuk lemari dua, buang dua, bila perlu buang semuanya!" Jawaban Safira membuat Fania tertawa terpingkal-pingkal.

"Hahaha ... gitu aja marah. Jangan marah, nanti cantiknya hilang lho," goda Fania, bibir Safira mengerucut kesal.

"Kenapa sih aku kok nggak bisa seperti kamu? Aku juga ingin bisa mengendalikan hawa nafsu. Aku juga ingin, membeli sesuatu sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan. Aku juga ingin, tidak tergoda dengan kemewahan duniawi. Bagaimana caranya? Aku sudah berusaha tapi masih saja gagal sampai sekarang. Sementara kamu, kenapa bisa? Padahal kalau kamu mau, kamu juga bisa beli semua yang kamu inginkan." Safira protes pada dirinya sendiri.

"Astaghfirullah ... istighfar, Safira. Aku juga manusia biasa. Aku juga punya keinginan, sama seperti kamu. Mungkin karena aku terbiasa hidup sederhana. Abi dan ibuku selalu memberi nasihat dan mengingatkan kalau aku mulai salah arah," balas Fania terus terang.

"Padahal kalau mau, Om Bambang beli mobil keluaran terbaru juga bisa. Kenapa masih saja naik motor?" tanya Safira penasaran.

Safira dan Fania sudah lama bersahabat. Safira pun tahu bagaimana keadaan keluarga Fania yang sesungguhnya. Bahkan kedua orang tua Safira juga mengenal dengan sangat baik dengan Bambang, mulai dari masa lalu dan juga pekerjaannya.

"Masih belum perlu. Kata abi sama ummi, nanti saja kalau sudah punya cucu baru beli mobil. Kalau sekarang naik taksi online saja. Anggap saja berbagi rizqi sama sopir online yang berjuang di jalanan." Jawaban Fania membuat Safira semakin kagum pada keluarga Bambang.

"Masyaa Allah, kalian itu memang keluarga hebat. Seandainya kamu punya kakak laki-laki, aku pasti mau jadi kakak iparmu." Ucapan Safira kembali membuat Fania tertawa.

"Hahaha ... Kamu itu ada-ada saja. Eh, tapi kamu bisa lho jadi kakak iparku. Nikah saja sama Alif." Safira langsung mengangguk setuju.

"Benar itu! Tapi dia terlalu lugu orangnya. Nggak mau melihatku kalau ketemu. Jangankan melihat, melirik aja nggak!" sahut Safira.

"Kalau kamu memang serius, nanti aku akan bilang sama Alif. Aku comblangin, deh! Insyaa Allah."

"Beneran? Tapi apa dia mau sama aku?" tanya Safira ragu.

"Siapa sih yang nggak mau sama cewek cantik dan baik hati serta tidak sombong seperti kamu?"

"Tapi sayangnya aku tidak pandai menabung!" Kedua gadis itu pun tertawa, mendengar ucapan konyol mereka.

"Hahaha ...."

Selama dalam perjalanan pulang, Fania dan Safira bercanda dan tertawa. Mereka berdua selalu seperti itu, tak pernah bertengkar dan tak pernah tersinggung. Saling mengingatkan kebaikan satu sama lainnya. Tak terasa, mereka pun sampai di depan rumah Fania.

"Eh, itu ada Alif di rumah. Yakin nggak mau mampir?" goda Fania, Safira pun melihat dari jendela mobilnya, Alif duduk di teras depan rumah sahabatnya itu.

"Oh iya. Ya sudah, aku ikut," sahut Safira dengan penuh semangat.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Kamu kok sudah pulang kerja?" tanya Fania penasaran.

"Iya, tadi minta ijin ngantar ummi ke dokter," jawab Alif.

"Tante Humaira sakit?" Alif mengangguk mengiakan.

"Iya, ummi demam dari kemarin. Semenjak Mak Ijah meninggal dunia, sepertinya ummi ketakutan. Malamnya badannya panas. Makanya aku ke sini mau minta tolong sama Tante Laras, barangkali saja Tante Laras bisa membantu." Kening Fania berkerut mendengar jawaban pemuda tampan yang ada di hadapannya.

"Membantu bagaimana?" tanya Fania tak mengerti.

"Maksud Alif, mungkin saja Ummi bisa mengajak Tante Laras ngobrol, barangkali ada yang dipikirkan." Laras keluar dari dalam rumah kemudian menjawab pertanyaan putrinya.

"Kalau begitu, Fania sama Safira mau ikut. Boleh, kan, lif?"

"Boleh, dong."

"Ya sudah, ayo kita berangkat sekarang, mumpung belum maghrib."

Mereka berempat berjalan bersama menuju rumah Alif. Setelah mengucapkan salam, Laras langsung masuk ke dalam kamar menemui Humaira. Sementara Alif duduk di ruang tamu bersama Fania dan Safira.

"Kamu kenapa, Humaira? Bicara saja terus terang. Kasihan Alif, dia khawatir sama kamu." Laras membujuk Humaira. Wajah Humaira pucat dan badannya terasa lemas.

"Nggak tahu, Mbak. Rasanya aku takut...."

"Takut apa?"

"Aku takut mati. Aku takut seperti Mak Ijah. Dosaku banyak, Mbak. Aku belum siap." Laras terkejut mendengar jawaban Humaira.

"Astaghfirullah ... istighfar, Humaira. Takut mati itu wajar, justru bagus itu. Tandanya kamu mendapatkan hidayah, insyaa Allah. Banyak orang yang tidak takut sama kematian. Mereka menganggap kematian itu main-main. Tapi saranku, jangan terlalu takut seperti ini. Yang penting perbanyak ibadah, sering-seringlah mengucap istighfar. Jangan sering berkumpul dengan ibu-ibu tukang gosip itu. Kamu tahu sendiri, ghibah itu salah satu dosa besar, meskipun kamu hanya mendengarkan saja." Laras berusaha menasihati Humaira dengan sabar.
"Insyaa Allah, Mbak. Mulai sekarang aku nggak mau lagi kumpul sama mereka. Lebih baik aku di rumah saja."

"Sebenarnya sesekali kumpul dengan tetangga itu boleh, yang penting kalau sudah membicarakan orang, kita lebih baik menghindar. Bagaimanapun kita harus bersosialisasi. Kita hidup bermasyarakat pasti membutuhkan tetangga."

"Insyaa Allah, Mbak. Aku akan mengingat nasihat Mbak." Laras tersenyum melihat Humaira yang sudah tidak sedih lagi.

"Nah, begitu. Ayo semangat. Apa kamu nggak mau melihat calon menantumu?" Laras tahu Safira suka dengan Alif. Meskipun sikap Alif terkadang membuatnya kesal, Laras setuju seandainya Alif menikah dengan sahabat putrinya itu. Keluarga Humaira adalah keluarga baik-baik. Hasan juga suami yang setia.

"Apa, calon menantu?" Humaira terkejut mendengar ucapan Laras.

"Iya, itu calon menantumu ada di depan.”

"Sebentar, Mbak. Aku mau ganti baju dulu. Aku nggak mau kelihatan jelek di depan calon menantuku. Kenapa Alif nggak bilang kalau dia membawa anak gadis orang?" Laras menahan tawa melihat Humaira yang sangat bersemangat.

Setelah Humaira sudah rapi, dia keluar kamar dan duduk di samping putranya. Fania dan Safira mencium punggung tangan Humaira dengan takzim. Humaira memandang wajah Safira tak berkedip. Senyum bahagia tak lepas dari bibir wanita berparas ayu itu. Alif heran melihat ekspresi wajah umminya yang ceria, tak pucat lagi.

"Ummi kenapa kok senyum-senyum gitu? Ummi sudah sembuh?" tanya Alif penasaran.

"Ummi nggak sakit, Ummi sehat. Kamu kok nggak bilang-bilang kalau bawa calon menantu buat Ummi?"

"Hah? Calon menantu??"

Alif kebingungan dengan pertanyaan Humaira. Sementara Safira tersipu malu, mengerti siapa yang dimaksud Humaira. Fania hanya bisa menahan tawa, melihat tingkah Alif yang lucu.

"Ayo kita pulang, biar Tante Humaira istirahat. Jangan lupa, hari Minggu kalian semua datang ke rumah." Laras berpamitan karena kasihan melihat Alif yang masih kebingungan.

"Insyaa Allah, Tante. Semoga besok papa sudah pulang. Memangnya ada acara apa, Tante?" tanya Alif penasaran.

"Hanya acara makan-makan. Yang penting kalian datang," jawab Laras sengaja menutupi.

"Insyaa Allah kami pasti datang," sahut Humaira mengerti.

Setelah mengucap salam, mereka bertiga meninggalkan rumah Humaira. Sesampainya di rumah, mereka melaksanakan kewajiban empat rakaat berjamaah.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Hatinya lagi berbunga-bunga, ya?" Fania menggoda Safira yang duduk di sampingnya.

"Tahu aja kalau hatiku lagi berbunga-bunga. Memangnya kamu saja yang ingin bahagia? Aku juga mau!" Fania tersenyum melihat tingkah absurd Safira.

"Alhamdulillah, apa perlu kita nikah bareng?"

"Hahaha ... nggak, ah. Aku lebih suka sendiri-sendiri. Nanti yang mau kondangan bingung terus amplopnya salah taruh gimana? Kalau kecampur jadi satu, rugilah aku." Fania mencubit kedua pipi Safira dengan gemas.

"Dasar! Belum apa-apa, uang kondangan yang dipikirin."

"Harus itu, biar balik modal! Hahaha ...."

"Safira ... Safira ... Kamu memang cocok sama Alif. Kamunya heboh, Alifnya lugu. Nggak bayangin aku kalau Alif nanti jadi suamimu. Kasihan dia, tiap hari dicerewetin sama kamu," ujar Fania terus terang,

"itu namanya saling melengkapi. Dia diem dapat aku yang bawel. Do'akan kita jodoh, ya. Semoga Alif mau sama aku," sahut Safira.

"Insyaa Allah, aku do'akan yang terbaik buat kamu. Kalau memang Alif jodoh terbaik, insyaa Allah kalian akan menikah."

"Aamiin Ya Allah ...."

"Hari Minggu kamu datang, kan?" tanya Fania. Safira menyesap teh hangat yang sudah disediakan Laras.

"Insyaa Allah, aku pasti datang. Aku juga mau ajak ummi sama Abi. Boleh, kan?" Fania mengangguk mengiakan. Tiba-tiba hatinya berdebar kencang, membayangkan banyak tamu yang akan datang.

"Iya, nggak apa-apa.”

"Ya, sudah aku pulang dulu. Sampai jumpa hari Minggu, ya. Jangan lupa dandan yang cantik. Pake make-up tipis-tipis plus lipstik. Pasti Fahri nanti langsung ngajak nikah. Hahaha..."

"Kamu itu! Bikin aku deg-degan, tahu nggak?" sahut Fania dengan cemberut.

"Lho kenapa?" tanya Safira heran. Fania menarik napas dalam sebelum memberikan jawaban.

"Aku takut kalau semua orang besok nyuruh langsung nikah," jawab Fania terus terang,

"Ya, bagus, dong. Niat baik harus disegerakan. Kamu nggak usah mikir yang aneh-aneh. Jangan-jangan kamu takut malam pertama, ya?" Kedua bola mata Fania langsung melotot ke arah Safira. Sahabat Fania itu pun terkekeh.

"Astaghfirullah ... Aku nggak semesum itu!"

"Iya iya, aku paham. Ya sudah, aku pulang." Safira beranjak dari duduknya kemudian berjalan mendekati Laras yang sedang duduk di depan televisi.

"Tante, aku pamit dulu. Sudah malam."

"Lho, nggak sekalian makan malam di sini?"

"Nggak usah, Tante. Di jalan tadi sudah makan terus. Kalau makan lagi, takutnya besok langsung naik dua kilo." Safira menolak tawaran Laras.

"Kamu itu bisa saja, Safira. Ya sudah hati-hati. Salam buat Ummi," balas Laras tak ingin memaksa.

"Insyaa Allah, Tante. Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Fania melepas Khimar dan cadarnya kemudian berjalan menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian Bambang pun pulang. Setelah makan malam bersama, mereka berbincang santai seperti biasanya. Bambang dan Laras memperhatikan wajah putrinya yang dari tadi terlihat murung.

"Wajahmu kenapa sedih begitu?" tanya Laras dengan lembut.

"Ummi, kalau besok Fahri langsung ngajak nikah, bagaimana? Fania takut, Ummi." Bambang mendesah perlahan, bibirnya mengucap istighfar.

"Astaghfirullah ... anak Abi ini, dari kemarin kok ngomongnya takuut terus. Padahal di luar sana banyak para orang tua yang pusing karena anak-anaknya pada pacaran dan ngebet pengen nikah."

"Ya beda dong, Abi. Anak Ummi ini 'kan anak rumahan bukan anak jalanan yang Sukanya pacaran. Jangan disamakan," sahut Laras tak terima.

"Kita lihat saja besok Minggu. Yang pasti kamu harus siap kalau sudah menentukan pilihan," tegas Bambang.

"Iya, Abi, insyaa Allah. Fania mau masuk kamar dulu," ucap Fania pasrah.

"Nggak nunggu sholat Isya' dulu?" Fania menggelengkan kepala.

"Fania lagi halangan, Ummi," jelas Fania, tak ingin kedua orang tuanya salah paham.

"Ooh, ya, sudah. Istirahat saja kalau begitu. Pasti badan kamu pegal-pegal. Apa mau Ummi pijitin?"

"Nggak usah, Ummi. Terima kasih. Fania mau langsung tidur saja."

"Ya sudah, jangan lupa minum vitaminnya."

"Iya, Ummi."

Fania beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Bambang dan Laras hanya diam tak berniat menghalangi. Mereka mengerti, Fania butuh waktu sendiri.

"Abi juga mau tidur, Ummi. Besok harus berangkat pagi-pagi mau lanjut mengerjakan laporan.”

"Ya sudah kalau begitu, Abi. Ummi mau ke kamar mandi dulu, sekalian mau lihat kue-kue dari Ummi Aini. Kata Fania tadi Fahri ke toko."
Mendengar ucapan istrinya, Bambang kembali menarik napas dalam. Hatinya was-was meskipun dia yakin Fania dan Fahri bisa menjaga diri.

"Sebaiknya memang kalau Fania menerima lamaran Fahri, mereka langsung menikah sirih dulu. Hari Senin baru mengurus surat-suratnya ke KUA. Abi juga nggak tenang kalau mereka sering ketemu," ucap Bambang terus terang,

"Sebaiknya memang begitu, Abi. Ummi juga setuju." Laras menimpali ucapan suaminya.

"Coba besok Ummi kasih tahu pelan-pelan. Abi hanya nggak mau Fania tertekan," pinta Bambang.

"Insyaa Allah, Ummi usahakan. Anak kita mungkin masih trauma melihat rumah tangga teman-temannya. Apalagi tadi Safira cerita, temannya satu kampus baru tiga bulan menikah terus bercerai." Bambang mengangguk mengerti.

"Padahal Fania itu biasanya tegar," sahut Bambang cemas.

"Tidak ada manusia yang sempurna, Abi. Sekarang saatnya kita bersabar karena Fania sedang menunjukkan sisi kelemahannya. Besok Ummi akan mengajaknya bicara dari hati ke hati," balas Laras, menenangkan perasaan sang suami.

"Terima kasih ya, Ummi. Abi bersyukur punya istri sebaik Ummi," puji Bambang. Kedua pipi Laras merona, tersipu malu sekaligus bahagia.

********


Pagi harinya, setelah mandi, Fania kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Bambang sudah berangkat bekerja terlebih dahulu. Laras masuk ke dalam kamar dan melihat putrinya meringkuk dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Fania, kamu nggak kerja?" tanya Laras cemas.

"Fania pusing, Ummi," jawab Fania dengan suara lirih. Laras memegang kening putrinya.

"Oalah, Nduk. Kamu demam. Pasti kamu kecapekan ini atau stress?"

"Mungkin kecapekan, Ummi. Apalagi Fania langsung haid, jadinya ya begini, langsung drop." Laras pun mengerti karena Fania selalu seperti itu.

"Ya sudah, makan dulu terus minum obat. Besok mau ada acara kok sekarang sakit."

"Qadarullah, Ummi."

"Iya, maaf, Ummi cuma khawatir saja sama kamu. Takutnya kamu stress. Sebenarnya kalau Ummi boleh tahu, jawaban kamu besok itu menerima apa menolak?" Laras penasaran dengan jawaban putrinya tentang lamaran Fahri.

"Insyaa Allah Fania menerima, Ummi."

"Lalu, kenapa kamu malah kelihatan stress begini, Nduk? Apa sebenarnya yang kamu pikirkan?"

Fania menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mengingat cerita Safira tentang perceraian teman-temannya, perasaan takut kembali melanda.

"Fania nggak tahu, Ummi. Fania hanya takut."

"Jangan takut, Nduk. Insyaa Allah Fahri dan Ummi Aini baik. Ummi yakin, kalua besok kalian menikah siri, Fahri pasti tidak akan memaksamu melayaninya. Dia hanya ingin menjaga pandangan dan menghindari dosa. Apalagi kalian akhir-akhir ini sering bertemu ...."
"Dan abi pasti setuju," sahut Fania. Laras mengangguk mengiakan.

"Tadi malam abi bilang sama Ummi begitu," balas Laras sambil tersenyum.

"Lihat besok saja, Ummi."

"Ya sudah, kamu sarapan dulu. Sebentar, Ummi bawakan sarapannya ke sini saja. Biar kamu nggak usah keluar kamar."

"Jangan, Ummi, biar Fania keluar saja. Fania tidak mau merepotkan ...."

"Sudah, Nduk, kamu diam saja di sini. Biar Ummi ambilkan. Ummi nggak merasa direpotkan." Fania pun pasrah karena tak ingin berdebat.

"Terima kasih, Ummi."

Laras segera beranjak menuju ruang makan. Sebuah nampan yang berisi sepiring nasi sayur bayam dan perkedel jagung, serta satu gelas teh lemon hangat, membuat Fania bersemangat. Laras tersenyum melihat putrinya makan dengan lahap. Fania adalah gadis yang mandiri dan tidak manja. Saat sakit, Fania pasti berusaha untuk sembuh dengan cepat. Makan yang banyak, minum obat dan vitamin, serta istirahat yang cukup, pasti akan Fania lakukan tanpa paksaan. Laras meletakkan bekas piring dan gelas kotor di dapur, setelah itu dia kembali ke kamar dan duduk di samping putrinya. Laras mencoba menasihati Fania dengan hati-hati, berusaha membuat Fania ikhlas dengan keputusannya.

"Fania, kamu tahu kenapa Ummi lebih setuju kamu dengan Fahri dibanding dengan Fauzan? Selain tentang keluarga tentunya." Fania menggelengkan kepalanya dengan lemah.

"Nggak tahu, Ummi. Apakah karena Fauzan anaknya Ummi Laila?" tanya Fania dengan suara lirih.

"Ya bukan karena itu, Nduk. Kalau memang kamu ternyata pilih Fauzan, meskipun dia anaknya Ummi Laila, Ummi juga nggak bisa berbuat apa-apa," balas Laras dengan tenang.

"Lalu alasan Ummi apa?" Fania penasaran.

"Kamu harus tahu, Nduk. Ummi lebih setuju kamu dengan Fahri dari sorot matanya. Mungkin karena kamu selalu menjaga pandangan, jadi kamu tidak memperhatikan. Sorot mata Fahri itu tajam tapi teduh. Dalam pandangannya tidak ada keinginan mesum sedikit pun. Itu yang Ummi lihat."

"Kalau Fauzan bagaimana?" Fania semakin penasaran.

"Kalau Fauzan, sorot matanya tajam tapi pandangan matanya kadang terlihat mesum. Ummi sampai berpikir dia pernah melihat wajahmu yang cantik ini. Makanya Fauzan terobsesi sama kamu."

Mendengar ucapan Laras, Fania menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Tiba-tiba dia merasa marah pada dirinya sendiri.
"Ummi... sebenarnya Fauzan memang pernah melihat wajah Fania." Fania terpaksa berkata jujur pada ibunya.

"Lho, kapan?" Laras terkejut mendengarnya.

"Waktu itu Fania habis dari kamar mandi di masjid kampus. Qadarullah cadar Fania jatuh dan basah, terpaksa Fania cepat-cepat mengambil cadar cadangan di tas. Fania pikir masjidnya sepi karena memang bukan waktu sholat. Qadarullah saat Fania ambil cadar di tas itu, Fauzan masuk. Alasannya dia sedang mencari temannya." Fania menceritakan semuanya pada Laras.

"Fauzan kok bisa masuk ke tempat sholat wanita?" tanya Laras kesal.

"Namanya saja masjid kampus, Ummi. Sudah biasa seperti itu. Fania yang salah," jawab Fania menyesal.

"Pantas saja Fauzan terobsesi sama kamu. Kalau begitu, Ummi setuju kalau kamu besok langsung menikah sirih sama Fahri," tegas Laras.

"Kita lihat saja situasinya besok."

"Ya sudah, kamu istirahat saja. Jangan mikir macam-macam. Tenangkan pikiran. Ummi mau sholat Dhuha dulu."

"Tapi, Ummi ... ada satu lagi," ucap Fania dengan gelisah.

"Katakan saja sama Ummi biar hatimu lega."

"Sebenarnya Fania pernah melakukan kesalahan, Fania bingung, Ummi. Fania pernah berjanji, siapa laki-laki yang melihat wajah Fania pertama kali, kalau dia melamar, Fania akan terima." Ucapan Fania sangat mengejutkan Laras.

"Astaghfirullah ... Kenapa kamu pernah berjanji seperti itu, Nduk?" tanya Laras tak percaya.

"Fania iseng saja, Fania belum mengerti soal nazar waktu itu," jawab Fania terus terang, Laras menarik napas lega.

"Kalau menurut Ummi, itu bukan nazar karena kamu belum tahu hukumnya saat mengatakannya. Coba nanti kita tanyakan dulu sama Abi. Sudah, kamu yang tenang. Istirahatlah," perintah Laras.

"Baik, Ummi."

Laras mencium kening putrinya dengan lembut sebelum meninggalkan kamar. Fania berusaha memejamkan mata, menenangkan pikiran dan mengistirahatkan badan yang mulai terasa lelah.

Malam harinya ....

"Menurut Abi, nazarmu itu nggak berlaku, Nduk. Pertama, kamu belum mengerti hukumnya. Yang kedua keluarga besar Fauzan juga menentang kalau kalian menikah. Dan yang paling penting jawaban istikharahmu atas lamaran Fahri adalah menerima. Itu sudah cukup membuktikan kalau kamu tidak perlu memikirkannya lagi. Paham?" Bambang menegaskan kembali jawaban atas pertanyaan Fania.

"Insyaa Allah Fania paham, Abi." Fania tersenyum lega. Rasa takut di hatinya perlahan mulai sirna, hanya ada rasa Ikhlas menerima.

*********


Hari Ahad pun tiba. Pagi hari Laras dan Bambang sibuk membersihkan dan merapikan rumah mereka. Fania sama sekali tidak dijjinkan membantu karena kondisinya masih belum fit. Hasan, Humaira, dan Alif pun ikut membantu mempersiapkan semuanya. Tepat pukul sembilan, Aini dan Fahri datang. Seorang pria paruh baya, ikut bersama mereka. Sebelum memulai acara, mereka berbincang santai sejenak. Faniamasih berada di dalam kamarnya dengan memakai gamis dan khimar warna maron lengkap dengan cadarnya. Laras duduk menemani putrinya.

"Bagaimana, Pak Bambang, apa jawaban Fania?" tanya Aini tak sabar.

"Alhamdulillah, sebelumnya kami selaku orang tua Fania sangat berterima kasih pada Ummi Aini dan juga Fahri yang telah memilih putri saya sebagai calon menantu dan calon istri. Fania menerima lamaran Fahri dengan ikhlas, tanpa paksaan."

Bambang menjawab pertanyaan Aini dengan tenang,

"Alhamdulillah ...."

"Tapi saya juga menyampaikan kalau Nak Fahri berhak melihat wajah Fania terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan. Silakan Ummi Aini, mohon Fahri didampingi melihat wajah putri saya di kamar. Istri saya juga ada di kamar mendampingi Fania." Bambang melanjutkan ucapannya.

"Terima kasih, Pak Bambang."

Aini segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamar Fania dengan tak sabar. Fahri mengikuti langkah Aini dengan jantung yang sudah berdetak kencang tak karuan. Kening dan kedua tangannya pun berkeringat.

"Assalamu'alaikum, Bu Laras, Fania," sapa Aini dengan ramah.

"Wa'alaikumussalaam ...."

Setelah Aini mencium kedua pipi Laras dan Fania, dia duduk di kursi yang sudah disiapkan bersama Fahri.

"Fania, ayo buka cadarnya, biar Fahri bisa melihat wajahmu," pinta Laras.

Fania mengangguk mengerti. Dengan tangan gemetar dan jantung yang berdebar, Fania membuka cadarnya di hadapan Aini dan Fahri.

"Masyaa Allah ...."

Aini tersenyum melihat putranya yang memandang wajah Fania tak berkedip. Fahri terpesona dengan kecantikan gadis bercadar itu. Sampai Fania memakai Kembali cadarnya, Fahri masih diam, sama sekali tak mampu bicara.

"Bagaimana Fahri, apakah lamaran ini akan diteruskan?" tanya Laras menggoda pemuda tampan di hadapannya. Fahri pun tersadar dari lamunannya.

"Tentu saja saya akan meneruskan lamaran ini, Tante!" tegas Fahri.

"Alhamdulillah kalau begitu. Ayo, kita semua duduk di depan. Karena Fania kurang enak badan, biar dia di kamar saja ...."

"Ummi, Tante, boleh bicara sebentar dengan Fania?"

Aini dan Laras mengangguk mengiakan. Fahri memandang Fania yang hanya diam, menunduk malu. Fahri memberanikan diri bicara pada Fania dengan sopan dan tenang, meskipun jantungnya saat ini sedang tidak baik-baik saja.

"Fania, bagaimana kalau kita langsung ijab kabul saja? Aku sudah membawa penghulu!"

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah!"

"Alhamdulillah ...

"Baakallahu laka wa baraka 'alaika wa jama'a bainakuma fi khairin ...."

Fania akhirnya menyetujui permintaan Fahri karena Bambang dan semua orang mendukungnya. Fahri dan Fania sekarang sudah sah menjadi suami istri dengan mas kawin dua puluh lima gram satu set perhiasan, yang sudah disiapkan oleh Fahri dari rumah. Bambang, Laras, Aini terharu menyaksikan putri dan putra mereka sudah resmi menikah. Fahri menelepon para pegawai restoran agar mengirimkan berbagai menu masakan ke rumah Fania. Para tetangga yang ada di Kampung Mangga diundang semua, tanpa terkecuali. Mulai dari yang kaya sampai yang miskin, tak ada yang dibedakan. Acara pernikahan dadakan yang tadinya sederhana akhirnya menjadi pesta yang meriah. Semua warga kampung ikut merayakan dengan menikmati makanan dan minuman dari restoran Fahri.

"Selamat ya, Fania, Fahri," ucap Alif.

Meskipun hati Alif masih terasa sedikit patah tapi dia bahagia melihat Fania. Fahri memeluk Alif dengan erat dan mengucapkan terima kasih.

"Tolong jaga Fania, jangan sakiti dia. Kalau sampai macam-macam, kamu akan berurusan denganku!" ancam Alif, Fania dan Fahri tersenyum.

"Insyaa Allah aku akan menjaganya dan setia. Aku sudah bukan remaja lagi, Alif. Aku memang berniat mencari istri dunia akhirat, bukan hanya buat mainan, apalagi iseng. Makanya aku harus sat set, dari pada Fania nanti diambil orang," balas Fahri membuat kedua pipi Fania merona di balik cadarnya.

"Betul! Aku salut sama kamu. Kamu benar-benar laki-laki jantan. Gue suka gaya Lo, Fahri!" sahut Alif. Kedua pemuda itu pun tertawa.

Safira berjalan dengan cepat menuju tempat di mana Fania duduk bersama Fahri dan Alif. Saat ini mereka bertiga berada di ruang tamu. Sementara Bambang, Laras, Aini, Hasan dan Humaira, menyambut tamu yang datang di halaman rumah. Berkat Fahri dan Aini, halaman rumah Bambang disulap menjadi ruang prasmanan yang terlihat luas dan teratur rapi.

"Fania, maaf, aku terlambat. Masyaa Allah ini acaranya kok jadi ramai begini? Padahal baru lamaran ...."

"Fania sama Fahri sudah menikah! Kamu dari mana saja? Sahabatnya married kok malah ngilang!" sahut Alif.

"Eh, aku nggak ngilang. Qadarullah tadi jalan macet banget, jadi maaf kalau aku terlambat. Sebentar ... Kamu tadi bilang apa, Mas? Fania menikah? Alhamdulillah, Ya Allah ... Selamat, ya. Aku ikut bahagia." Safira pun langsung memeluk erat Fania dengan bahagia. Bahkan Safira terharu dan meneteskan air mata, begitu juga dengan Fania.

"Ini kok acaranya jadi sedih gini? Harusnya 'kan bahagia." Fahri hanya tersenyum mendengar ucapan Alif.

"Kita ini menangis karena bahagia, bukan karena sedih," sahut Safira sembari mengusap sisa-sisa air mata.

"Ya sudah makan dulu kamu. Ada ayam bakar dari restorannya Fahri, tuh!" Safira bersorak, mendengar kata ayam bakar.

"Aku mau... Aku mau..."

" KH Samir dan Hj Farah nggak ikut?" Fania menanyakan kedua orang tua Safira.

"ikut kok, tadi ketemu sama Om Bambang di depan. Itu dia, pada ke sini semuanya." Jari telunjuk Safira terarah pada tiga orang dewasa yang berjalan ke arah mereka.

"Selamat ya, Fania. Tante ikut bahagia." Hj Farah, ibu Safira, memeluk dan mencium kedua pipi Fania.

"Terima kasih, Tante."

"Selamat ya, Fania, Fahri, semoga kalian menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah." KH Samir, ayah Safira menjabat tangan Fahri kemudian memeluknya.

"Aamiin ... Terima kasih, Om."

"Kenalkan ini Alif--anakku. Alif, ini KH Samir dan Hj Farah teman SMA ummi.

Humaira mengenalkan Alif pada kedua orang tua Safira. Alif bersalaman dengan KH Samir dan Hj Farah dengan sopan.

"Alif."

"Kalau ini putri bungsuku, Safira. Ayo Safira kenalkan, teman ummi, Tante Humaira." Hj Farah juga mengenalkan Safira pada ibu Alif.

"Ternyata kita sebentar lagi akan menjadi besan lho, Mbak Farah. Alif kemarin mengajak Safira ke rumah. Aku sangat setuju kalau Safira jadi menantuku.” Safira tersenyum dengan kedua pipi yang merona mendengar ucapan Humaira.

"Masyaa Allah, kita nggak usah repot cariin jodoh anak kita, Bi. Sudah ada Alif. Cakep lagi! Ummi setuju.” Hj Farah menimpali ucapan Humaira.

"Ternyata tante humaira kenal sama Hj Farah ?" tanya Fania senang.

"Iya, kami dulu teman SMA. Nggak nyangka kita bertemu di sini," jawab humaira sambil tersenyum senang.

"Gimana, lif?"

"Terserah sama ummi, aku nurut aja."

"Apa kalian menikah sekarang juga bareng Fania?"

"Nggak! Aku nggak mau nikah massal. Nanti aku nggak dapat amplopan.”

"Hahaha ...."

"Anakku yang satu ini memang malu-maluin."

"Nggak apa-apa, rumah kita jadi ramai kalau ada Safira."

Ekspresi wajah ceria terpancar dari semua orang-orang yang datang di pesta pernikahan Fania dan Fahri. Sebelum adzan dhuhur berkumandang, semua para tamu pun pulang dan sebagian langsung menuju musholla, begitu pula dengan Bambang dan yang lainnya. Setelah sholat ashar, Fahri dan Aini berpamitan pada Bambang dan Laras.

"Om, Tante ...."

"Kok masih panggil Om sama Tante?" protes Laras.

"Eh iya, maaf, maksud saya Abi, ummi, Saya sama Ummi aini mau pulang dulu," pamit Fahri.

"Kamu nggak menginap di sini?" Pertanyaan Bambang membuat Fahri bingung.

"Insyaa Allah nanti malam saya ke sini lagi. Kasihan Ummi, sepertinya kecapekan. Kalau saya ngajak Fania, dia masih nggak enak badan. Lagi pula saya tahu, Fania masih belum siap meninggalkan rumah ini," jelas Fahri dengan hati-hati. Dia tak ingin Bambang dan Laras salah paham.

"Masyaa Allah, terima kasih kamu sudah mengerti keadaan Fania. Baiklah, hati-hati di jalan. Dan terima kasih jamuan makan dan minumannya selama acara tadi." Bambang terharu dengan kebaikan Fahri dan Aini.

"Maaf, Abi, hanya acara sederhana saja. Kalau Abi sama Ummi minta diadakan pesta pernikahan di gedung, nanti saya siapkan." Fahri ingin membahagiakan Fania dan keluarganya.

"Tanyakan saja sama Fania. Kalau Abi sama Ummi, nggak perlu seperti itu. Kalian sudah sah saja, Abi dan Ummi sudah bahagia," balas Bambang sembari tersenyum.

"Baiklah, Abi, nanti akan saya tanyakan sama Fania. Ehmm ... boleh saya ke kamar Fania untuk berpamitan?" Pertanyaan Fahri membuat semua orang tertawa.

"Oalah, Nak Fahri. Langsung masuk saja, nggak usah sungkan. Maaf, ya, Fania memang masih belum sembuh betul," ucap Laras.

"Iya, Ummi, nggak apa-apa. Kalau begitu, saya ijin ke kamar Fania dulu." Fahri membuka pintu kamar Fania dengan perlahan. Fania yang sedang berbaring

"Boleh minta cium, nggak?"

"Boleh nggak?" Fahri kembali bertanya.

"Boleh," jawab Fania sambil tersenyum penuh arti.

Fania meraih tangan Fahri kemudian mencium punggung tangan suaminya dengan takzim.

"Sudah? Gitu aja?"

"Katanya minta cium. Kalau Abi mau berangkat kerja atau mau pergi, biasanya begitu. Ummi cium tangan bapak dulu," balas Fania dengan santai.

"Hemm ... Bener juga."

"Ya memang bener, Mas." Tangan kanan Fania menutup mulutnya menahan tawa.

"Ya sudah kalau begitu. Untuk sementara itu dulu. Nanti malam saja aku ke sini, baru cium yang lain," goda Fahri.

"Ish, mesum! Katanya tadi nggak maksa."

"Aku nggak maksa, cuma pengen cobain dikit." Fania berdecak kesal, bibirnya mengerucut membuat Fahri tertawa.

"Hahaha ... Jangan cemberut, tambah bikin aku gemes, tahu nggak? Kalau begitu aku pergi dulu. Istirahatlah. Sini, cium tangan lagi."

"Hemm ... Modus!"

"Hahaha ... Assalamu'alaikum, Sayang."

"Wa'alaikumussalaam ...."

Kedua pipi Fania lagi-lagi merona karena ulah Fahri. Dia sama sekali tak menyangka dengan statusnya yang sekarang. Fania senyum-senyum sendiri, mengingat panggilan sayang yang diucapkan Fahri.

"Astaghfirullah ... Alhamdulillah aku masih haid. Seandainya nggak, gimana jadinya ... Aku nggak bisa bayangin. Astaghfirullah ... Baru sehari jadi suami, Fahri sudah bikin pikiranku ternoda."

Fahri melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Bibirnya tak henti-hentinya tersenyum. Aini menggelengkan kepala melihat tingkah putranya itu.

"Senyum-senyum terusss! Awas kalau nyetir lihat depan, jangan bayangin Fania," ucap Aini menggoda putranya.

"Jangan khawatir, Ummi. Fahri fokus, kok," sahut Fahri santai.

"Kamu tadi lama banget sih di kamarnya Fania, ngapain aja?" tanya Aini penasaran.

"Ummi kepo!"

"Ummi tahu kalau Fania sedang datang bulan. Makanya Ummi tanya, kamu ngapain aja di kamar Fania?" Aini mengulang pertanyaan.

"Aku tadi cuma bilang kalau aku nggak maksa Fania tinggal bersama kita, Ummi," jelas Fahri.

"Ummi tadi juga bilang begitu sama Fania. Apalagi dia masih pucat. Alhamdulillah Fania sudah kamu halalkan, Ummi ikut bahagia. Ummi cuma mau bilang, Fania sepertinya berbeda dengan gadis lainnya. Ummi minta, kamu jangan memaksa Fania soal hubungan suami istri. Ummi sendiri pernah merasakan di posisi Fania." Aini kembali mengingatkan.

"Insyaa Allah, Ummi. Aku berjanji tidak akan memaksa kehendak dan sabar menunggu."

"Alhamdulillah, Ummi bangga sama kamu. Nanti malam kamu pulang ke rumah Fania, kan?"

"Iya. Tapi Ummi nggak apa-apa aku tinggal?"

Aini tersenyum mendengar pertanyaan Fahri. Mereka selama ini tak pernah berpisah kecuali saat Fahri kuliah ke luar negeri.

"Ya nggak apa-apa, kan ada Bi Inah. Temani Fania, dia sudah menjadi tanggung jawabmu."

"Siap, Ummi. Ummi juga tanggung jawabku."

"Terima kasih, Fahri. Kamu memang anak Ummi yang shalih."

*********
 
Bimabet
Plot ustazah Nisa dijual sama ustazah Haifa kok kayak familiar ya? Kayak pernah baca dimana gitu. 🤔 🤔 🤔

Apa cuma perasaan ane doang?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd