Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KUCUMBU TUBUH INDAHMU

Bimabet
BAB 15


Setelah makan malam, Fahri dan Fania berpamitan pada Bambang dan Laras. Malam ini mereka akan menginap di rumah Aini, sekaligus berpamitan karena akan pindah rumah.

"abi, Ummi, insyaa Allah hari Sabtu besok, saya mau mengajak Fania pindah dan tinggal di rumah sendiri," ucap Fahri dengan sopan.

"Alhamdulillah, abi hanya berpesan, jaga baik-baik putriku. Tolong jangan sakiti dia. Kalau Fania salah arah, tolong kamu nasihati. Fania juga begitu, jangan lupa kewajiban. Meskipun kamu bekerja, jangan sampai melupakan tugasmu sebagai istri. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri, apalagi sampai cerita pada orang lain atau curhat di media sosial. Saling terbuka satu sama lain, selalu jaga komunikasi." Bambang menasihati putri dan menantunya.

"Insyaa Allah, abi," jawab Fahri dan Fania serempak.

"Tapi maaf, hari Sabtu besok abi harus lembur. Ada laporan yang harus diselesaikan untuk rapat hari Senin. Bapak usahakan pulang agak sore dan langsung ke rumah kalian." Fahri mengangguk mengerti.

"Nggak apa-apa, abi. Saya juga nggak ada acara syukuran. Nanti kita bagi nasi kotak saja pada tetangga sekalian berkenalan. Untuk barang-barang, insyaa Allah sudah siap semua. Mulai besok saya sudah menyuruh orang untuk beres-beres," balas Fahri. Dia mengerti mertuanya sibuk saat akhir dan awal bulan.

"Alhamdulillah kalau begitu. Jadi Ummi dan Abi nggak perlu bantu-bantu. Kita tinggal datang terus duduk manis, ya, abi," sahut Laras sembari tersenyum.

"Iya, Ummi sama Abi nanti ngobrol saja sama Ummi Aini. Bila perlu menginap di sana." Fania menimpali ucapan Laras.
"Hemm ... Ummi dan Abi nggak mau mengganggu pengantin baru." Ucapan Laras membuat Fania tersipu. Kedua pipinya merona karena malu.
"Ish, apaan sih Ummi ini." Semua orang yang ada di ruangan itu pun tertawa melihat ekspresi wajah Fania.

"Maaf, abi, ummi, malam ini saya mau mengajak Fania tidur di rumah Ummi, boleh?" tanya Fahri.

"Boleh, harus itu. Kalian jangan lupakan Ummi Aini. Fania, jangan lupa, selain bertanggung jawab pada istri, suamimu juga memiliki tanggung jawab pada umminya," jawab Bambang.

"Iya, abi, insyaa Allah Fania mengerti."

"Ya sudah, silakan kalau kalian mau berangkat, nanti keburu malam."

"Baik, abi."

Setelah merapikan kamar dan membawa beberapa pakaian, Fania dan Fahri segera berangkat menuju rumah Aini.

"Selamat datang menantu Ummi yang cantik. Ummi kangen," sambut Aini dengan ekspresi wajah bahagia.

Fania membalas pelukan Aini dengan penuh rasa sayang. Dia sangat bersyukur memiliki mertua sebaik Aini.

"Ummi sudah makan? Ini tadi dibawakan Ummi tumis ikan peda." Fania memberikan kotak transparan pada Aini.

"Masyaa Allah, ummimu ingat saja kalau Ummi suka ini. Kalian sudah makan?"

"Alhamdulillah sudah, Ummi. Kalau Ummi mau makan, biar Fania temani." Jawaban Fania membuat Aini senang,

"Terima kasih, Sayang. Ayo, kalau begitu temani Ummi makan."

"Kamu temani Ummi dulu, aku mau meletakkan tas ini ke kamar. Aku juga ada sedikit pekerjaan. Nggak apa-apa, kan?" Fahri bertanya dan Fania membalas dengan anggukan.

"Nggak apa-apa, Mas."

Fania menemani Aini makan malam sambil berbincang santai. Sesekali terdengar suara tawa mereka berdua, membuat Fahri penasaran. Dia pun keluar sebentar dari kamarnya dan memandang kedua wanita yang sangat dicintainya itu dari kejauhan. Fahri mengulas senyuman, perasaannya bahagia. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Fania dan Aini beranjak menuju kamar masing-masing. Mereka berbincang dan bercanda sampai lupa waktu. Fania membuka pintu kamar Fahri perlahan. Terlihat Fahri duduk di sofa dengan pandangan fokus pada layar laptop.

"Kalian berdua asyik banget ngobrolnya. Ummi cerita apa saja? Pasti cerita tentang aku waktu kecil," tanya Fahri penasaran.

"Kok Mas tahu?"

"Ya cerita apa lagi, selain menceritakan anaknya yang tampan ini," jawab Fahri sembari tersenyum lebar. Fania hanya menggelengkan kepalanya.

"Mas bisa saja."

"Kalau kamu ngantuk, tidurlah dulu. Aku mau lanjut sebentar, tinggal sedikit lagi."

"Iya, Mas."

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Fania merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kamar Fahri sangat nyaman, bersih, rapi dan wangi. Fahri menutup laptopnya, kemudian masuk kamar mandi. Setelah berganti piyama, dia mendekati Fania yang masih terjaga.

"Kenapa, nggak bisa tidur?" Fania mengangguk mengiakan.

"Fania memang seperti ini kalau baru pertama kali menginap di tempat baru. Nggak bisa tidur," jawab Fania terus terang,

"Kalau aku peluk, pasti langsung tidur," goda Fahri.

"Modus!"

"Tapi suka, kan?"

Fania tersenyum bahagia mendengar ucapan suaminya. Fahri berbaring di samping Fania kemudian memeluknya dengan erat.

"Mas, terima kasih. Fania bersyukur mendapatkan keluarga baru seperti Mas dan Ummi."

Fania membalas pelukan dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya. Fahri mengecup kening istrinya dengan lembut.

"Aku juga bersyukur memiliki istri sepertimu dan mertua sebaik abi dan Ummi. Aku mencintaimu, Fania."


*********


Hari Sabtu pun tiba, keluarga Alif berkunjung ke rumah Safira. KH Samir dan istrinya Hj Farah menyambut mereka dengan gembira. Safira masih sibuk memilih pakaian dan mematut diri di depan cermin di dalam kamarnya.

"Ayo, silakan masuk semua. Kita langsung saja ke ruang makan. Istriku dan Safira dari subuh tadi sudah sibuk di dapur memasak untuk kalian," sambut KH Samir dengan ramah.

"Ini masih jam sepuluh, lho. Belum waktunya makan siang," balas Humaira.

"Nggak apa-apa, sekali-kali kita makan nggak usah pakai waktu. Santai saja sambil ngobrol."

Mereka pun berjalan beriringan menuju ruang makan. Bau harum wangi masakan sudah tercium dari kejauhan, membuat perut kenyang kembali terasa lapar. Sampai di meja makan, penampakan berbagai menu makanan dan minuman yang tersaji, semakin menggugah selera.

"Istimewa sekali ini menunya, jadi nggak sabar," ucap Humaira membuat yang lainnya tertawa.

"Ayolah, kita serbu. Umi, Safira kok belum turun?" tanya KH Samir pada Hj Farah. Safira belum terlihat di ruangan itu.

"Sebentar lagi pasti turun. Biasa anak cewek 'kan begitu, dandannya lama. Kita makan saja dulu sambil ngobrol. Kalau Safira sukanya ngemil dia. Kalau pagi sudah sarapan nasi, nanti sore baru makan. Yuk, Alif, jangan malu-malu."

"Iya, Tante."

Sementara Safira masih sibuk di depan cermin. Setelah berganti lima kali, akhirnya dia memilih gamis bermotif bunga berwarna biru muda sangat khimar warna biru tua. Wajahnya dibiarkan tanpa make-up, hanya sedikit pemerah bibir agar tak terlihat pucat. Dengan mengulas senyum, Safira beranjak keluar menuruni anak tangga kemudian berjalan menuju ruang makan.

"Ini dia yang ditunggu-tunggu sudah datang. Kamu mau makan nasi atau apa?" tanya Hj Farah pada putrinya.

"Aku masih kenyang, mau makan buah saja, Ummi."

"Kata Hj Farah, kamu yang masak, ya?" Pertanyaan Humaira membuat Safira tersipu malu.

"Aku cuma bantuin mama kok, Tante."

"Tante kira kamu tipe gadis yang nggak suka di dapur. Ternyata pinter masak. Benar-benar cocok sama Alif yang doyan makan." Semua orang di ruangan itu pun kembali tertawa.

"Ish, Ummi, sukanya buka kartu," sahut Alif tak terima.

"Sebenarnya dulu dia nggak suka masak. Tapi semenjak kuliah dan tinggal di kos-kosan bersama Fania, akhirnya mau belajar masak. Apalagi Fania selalu menasihati dia. Alhamdulillah berteman dengan Fania, Safira bisa berubah lebih baik," ucap Hj Farah terus terang, menceritakan tentang persahabatan Safira dengan Fania.

"Kenapa dulu Alif nggak dijodohkan saja sama Fania?" tanya KH Samir penasaran.

"Nggak bisa, singkat cerita Alif dan Fania itu saudara sepersusuan." Humaira menjawab pertanyaan KH Samir dengan jujur.

"Ooh begitu. Semoga saja Alif dan Safira bisa berjodoh."

"Aamiin ...."

"Alif, Safira, kalian kalau sudah makan, kalau mau ngobrol berdua nggak apa-apa, Abi ijinkan, biar kalian saling kenal. Safira, ajak Alif ke taman belakang. Di sana 'kan ada Pak Ummit yang sedang bersih-bersih, jadi kalian nggak berduaan," perintah KH Samir pada putrinya.

"Baik, Bi. Ayo, Mas," ajak Safira. Alif pun mengangguk setuju.

Alif berjalan mengikuti langkah Safira menuju taman yang ada di bagian belakang rumah. Terlihat oleh mereka seorang pria paruh baya bertubuh tambun sedang merapikan rumput dan juga taman bunga. Mereka pun duduk berdua saling berhadapan. Safira yang biasanya ceria dan cerewet, hanya diam. Kepalanya menunduk, tubuhnya kaku, lidahnya pun kelu tak bisa bicara. Tak lama kemudian Alif pun mulai percakapan.

"Safira, apa kamu mau dijodohkan denganku?"

Safira mendongakkan kepala, memandang wajah tampan yang mulai membuat hatinya berdebar kencang seperti sekarang,

"Mas Alif sendiri mau nggak sama aku?" Safira menjawab dengan pertanyaan.

"Aku minder sama kamu. Aku bukan anak pesantren. Aku juga belum bisa mengaji dengan lancar. Aku masih harus banyak belajar, beda sama kamu. Apa kamu nggak malu punya suami seperti aku?" tanya Alif terus terang,

"Yang penting kamu mau belajar, Mas. Aku pernah dijodohkan sama anak temannya Abi, dia dulu juga anak pesantren tapi ternyata dia playboy. Padahal bilang ke papanya mau dijodohkan sama aku tapi aku mergoki dia sedang pacaran di kafe. Aku nurut Abi sama ummi saja, Mas. Aku juga nggak mau pacaran. Kalau memang kita beneran dijodohkan, bagaimana kalau kita sama-sama sholat istikharah." Mendengar jawaban Safira, Alif mengernyitkan keningnya.

"Gunanya apa sholat istikharah itu? Terus caranya bagaimana?" Pertanyaan Alif membuat Safira tersenyum.

"Shalat istikharah itu caranya seperti sholat biasa, jumlahnya dua rakaat. Boleh dilakukan setelah shalat rawatib, setelah shalat tahajud, atau setelah shalat dhuha. Gunanya ya biar kamu lebih mantap saja dalam mengambil keputusan, yakin nggak dengan perjodohan kita." Alif pun mengangguk mengerti.

"Ooh begitu ... Insyaa Allah akan aku lakukan. Sebenarnya nggak usah sholat istikharah juga nggak apa-apa. Mendengar kamu memberi penjelasan seperti ini tadi, aku sudah yakin kalau kamu calon istri yang baik. Justru kamu yang harusnya shalat istikharah, biar kamu yakin punya suami seperti aku." Safira kembali tersenyum mendengar ucapan Alif yang lugu.

"Biar adil, ayo kita sama-sama sholat. Okey?" Alif mengangguk setuju.

"Oke deh."

Mereka kembali diam. Namun beberapa saat kemudian, Safira memberanikan diri bertanya tentang perasaan pemuda itu.

"Mas ... apa kamu masih suka sama Fania?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Meskipun Alif tahu jawabannya tapi dia ingin Safira mengatakan alasannya dengan jujur.

"Aku tahu kamu itu suka sama Fania. Aku dengar sendiri kalau kamu mau melamarnya. Tapi karena kalian berdua saudara persusuan, akhirnya nggak bisa, kan?" Safira bertanya dengan ekspresi wajah biasa saja, tak terlihat cemburu, apalagi marah. Alif pun mengangguk mengiakan.

"Aku memang suka sama Fania, tapi mau bagaimana lagi kalau bukan jodoh. Aku masih belajar move-on dari dia. Jangan khawatir, seandainya kita nanti jodoh, insyaa Allah nama Fania akan hilang dari hatiku. Tenang saja, Safira, aku bukan cowok yang suka mempermainkan perasaan." Jawaban Alif membuat Safira tersenyum. Safira mengakui, ucapan Fania memang benar, Alif pemuda yang baik dan juga lugu.

"Aku percaya, kok, Mas. Jangan terlalu dipikirkan, aku tadi hanya bertanya. Alhamdulillah kamu mau bicara jujur. Aku tidak sakit hati karena kita juga baru kenal. Jangan khawatir, aku juga bukan tipe cewek yang mudah baper," balas Safira sembari tersenyum manis.

"Aku jadi yakin dengan perjodohan kita. Tapi aku mohon, kita jangan terburu-buru menikah, ya?" Ucapan Alif membuat perasaan Safira berbunga-bunga.

"Iya, Mas, jangan khawatir soal itu. Aku akan menunggu Mas Alif siap. Oh, ya, hari ini 'kan Fania pindah ke rumah baru." Safira tiba-tiba teringat dengan pesan Fania tadi malam.

"Benarkah? Aku nggak tahu berita itu," tanya Alif tak percaya.

"Bagaimana kalau kita ajak orang tua kita mengunjungi rumah Fania?"

"Ide yang bagus, aku setuju."

Alif dan Safira berjalan kembali ke ruang makan, kemudian menyampaikan keinginan mereka. Semua orang pun setuju. Setelah melaksanakan sholat dzuhur berjamaah mereka semua mengunjungi rumah baru fania.

*******


Sementara itu sebelum Fania pergi ke rumah barunya, gadis itu menyerahkan kotak perhiasan dari Fauzan pada umminya.

"Ummi, Fania ingin bicara sebentar."

"Ada apa, Nduk? Kita 'kan mau berangkat. Jangan bilang kalau kamu mau nangis lagi. Nangisnya dilanjutkan nanti malam saja," ucap Laras, menggoda putrinya.

"Nggak kok, ummi, Fania nggak ada niat nangis lagi. Fania ingin memberikan ini buat Ummi." Laras terkejut menerimanya.

"Ini dari siapa, Fania? Kenapa kamu memberikannya pada Ummi?" tanya Laras penasaran. Laras pun membuka kotak itu dan melihatnya dengan pandangan mata tak percaya. Satu set perhiasan emas yang dihiasi batu permata yang sangat indah, berada di tangannya.

"Ini dari Fauzan, Bu. Bingkisan yang kemarin itu isinya macam-macam dan salah satunya ini. Jadi perhiasan ini buat Ummi saja," jawab Fania dengan tersenyum.

"Tapi Fania, ini harganya pasti sangat mahal dan Fauzan membelinya khusus buatmu. Ummi tidak bisa menerimanya, Nduk."

Laras berusaha menolak pemberian Fania karena merasa tak pantas. Perhiasan dari Fauzan harganya melebihi perhiasan yang dibelikan Fahri.

"ummi, hanya Ummi yang pantas memakai perhiasan ini. Maaf, ummi, bukannya Fania tidak menghargai Ummi dengan memberikan hadiah Fauzan. Fania juga bukannya tidak menghargai pemberian Fauzan. Tapi Fania hanya ingin lebih menghargai suami Fania, ummi. Tidak pantas rasanya kalau Fania memakai perhiasan yang diberikan laki-laki lain, apalagi di depan suami." Mendengar penjelasan Fania, Laras pun mengangguk mengerti.

"Kamu memang benar, Nduk. Baiklah, ini biar Ummi simpan. Kalau Ummi ingin, ya nanti Ummi pakai. Terima kasih ya, Fania."

"Sama-sama, ummi. Kalau Ummi sudah siap, ayo kita berangkat," ajak Fania.

"Ummi sudah siap. Abimu nanti habis ashar baru ke sana. Barang-barangmu yang akan kamu bawa sudah semua?"

"Alhamdulillah sudah, ummi. Sudah dimasukkan Mas Fahri ke dalam mobil."

"Ya sudah kalau begitu, ayo kita berangkat. Suamimu pasti sudah menunggu." Mereka berdua keluar dari kamar dan mengunci pintu rumah, kemudian berjalan menuju kendaraan roda empat milik Fahri. Pemuda itu sudah duduk di belakang kemudi, menunggu dengan sabar.

"Sudah siap?" tanya Fahri sambil tersenyum pada kedua wanita itu.

"Sudah, Mas," jawab Fania.

Sesuai permintaan Laras, Fania duduk di depan di samping suaminya dan Laras duduk di kursi tengah sendiri. Fahri melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, menuju rumah yang akan menjadi tempat tinggal baru bersama istri cantiknya. Kendaraan Fahri berhenti tepat di halaman rumah yang sudah berganti warna, berbeda dengan yang dilihat Fania beberapa hari yang lalu. Dua orang laki-laki mendekati Fahri dan membantu membawa barang-barang dari mobil ke dalam rumah. Fania dan Laras berjalan masuk mengikuti langkah Fahri. Mereka berdua terpana melihat keadaan rumah yang sudah terlihat bersih dengan perabotan yang sudah tertata rapi.

"Masyaa Allah, sudah tertata rapi semuanya. Suamimu itu mirip sekali sama abimu. Nggak mau istrinya capek. Kamu harus bersyukur, jadi kamu juga harus pandai-pandai melayani suamimu dengan baik." Laras sedikit berbisik menasihati putrinya.

"Insyaa Allah, ummi," balas Fania dengan suara lirih sambil tersenyum.

Fania mengakui, Fahri begitu sayang dan perhatian padanya. Bahkan untuk masalah pindah rumah, suaminya yang mengurus semuanya. Fania hanya memilih perabot rumah tangga dan juga barang elektronik sesuai dengan keinginan mereka berdua. Laras kemudian berkeliling mengitari seluruh ruangan. Fahri mendekati istrinya yang masih berdiri di ruang tamu.

"Bagaimana, suka? Kalau nanti ada yang kurang dan nggak sesuai posisinya, bilang saja sama mereka berdua, biar dipindah. Mereka karyawanku juga di restoran, bagian maintenance. Aku yang minta tolong untuk mengecat dan merapikan semuanya," ucap Fahri sembari menunjuk ke arah dua orang laki-laki yang duduk di teras depan.

"Sudah bagus kok, Mas, Fania suka. Tidak perlu ada yang dipindah. Terima kasih ya, Mas. Kalau seperti ini, Fania nggak bantuin sama sekali." Fahri mengangguk dan tersenyum.

"Iya, sama-sama, Sayang. Aku nggak mau kamu capek." Kedua pipi Fania merona di balik cadarnya, mendengar panggilan Fahri.
"Nanti baju-bajunya biar Fania yang merapikan ke dalam lemari, Mas."

"Nanti aku bantu. Sekarang kita antar nasi kotak ini pada tetangga mumpung belum dhuhur. Sekalian kita kenalan sama mereka." Fania mengangguk setuju.

"Baiklah, Mas."

Meraka berdua berjalan keluar rumah mengunjungi tetangga satu per satu, dibantu kedua karyawan Fahri yang membawakan kotak nasi dan kue. Beberapa tetangga di sekitar rumahnya berada di rumah karena rata-rata lummir di hari Sabtu. Sampai di rumah bercat ungu berpagar minimalis, seorang wanita cantik dan bertubuh tinggi langsing menyambut kedatangan mereka. Pakaiannya yang sedikit ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang seksi.

"Lho, Fahri, kamu ternyata yang baru pindah? Kita jadi tetangga dong!"

"Tiara? Kamu tinggal di sini?" tanya Fahri tak percaya. Wanita cantik yang Bernama Tiara itu pun mengangguk dan tersenyum genit.

"Oh, iya, kenalkan ini Fania--istriku."

Fania dan Tiara berjabat tangan dan menyebutkan nama mereka masing-masing.

"Ayo masuk dulu. Kita sudah lama lho nggak ketemu."

Tiara dengan santai menggandeng tangan Fahri dan mengajaknya masuk ke rumahnya. Fahri sangat terkejut dengan sikap Tiara dan langsung melepas gandengan tangan mereka.

"Maaf, kami masih banyak urusan. Kami permisi dulu," ucap Fahri berusaha tenang.

"Ya sudah kalau begitu. Terima kasih, ya," balas Tiara tanpa merasa bersalah. Pandangan matanya masih tertuju pada Fahri.

Setelah mengucap salam mereka melanjutkan sampai ke beberapa rumah di sekitarnya. Setelah selesai, mereka pun kembali ke rumah. Laras terlihat sudah duduk berdua dengan Aini yang baru datang, Fania mencium punggung tangan Aini dengan takzim, kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Fahri mengikuti istrinya yang hanya diam selama dalam perjalanan pulang. Fahri memperhatikan Fania yang sedang merapikan pakaian. Istrinya masih saja diam, tak bicara. Hanya tangannya yang bergerak mengeluarkan pakaian-pakaian mereka dari koper dengan sedikit kasar. Fahri pun tahu istrinya sedang kesal.

"Fania ... Kamu marah?" Fahri duduk di samping Fania.

"Nggak kok. Ngapain marah?" Fahri tersenyum melihat bibir Fania yang mengerucut.

"Terus kenapa diam saja dari tadi?" Fania menghentikan aktivitasnya kemudian menarik napas dalam.

"Fania nggak marah, hanya kesal. Tangan cewek tadi itu nggak sopan banget. Masak Mas mau digandeng diajak masuk ke rumahnya. Memangnya dia nggak punya suami? Jangan-jangan dia janda lagi," ungkap Fania terus terang.

"Kok kamu tahu kalau dia janda," sahut Fahri sambil terkekeh, membuat Fania semakin kesal.

"Tuh, kan. Mas berarti sudah kenal akrab sama dia, sampai tahu kalau dia janda. Kelihatan banget kalau dia itu juga suka sama Mas."

"Sayang ... kalau cemburu bilang, dong. Kamu sudah cinta ya sama Mas?"

Fahri memperhatikan Fania yang menunduk. Kedua pipi istrinya merona karena malu mendengar pertanyaannya. Fahri merasa gemas, kemudian mencubit hidung mancung Fania sebelum memberi penjelasan.

"Dia itu anaknya Om Surya, tetangganya ummi. Tapi aku nggak tahu kalau dia tinggal di sini. Fania, kamu itu cantik. Jangan cemburu sama cewek modelan kayak Tiara gitu.Jangan khawatir, aku nggak akan tergoda. Sudah punya bidadari di sampingku kenapa harus tertarik dengan kuntilanak?" Ucapan Fahri membuat Fania tersenyum gel.

"Janji ya, Mas, jangan macam-macam lho. Fania nggak suka kalau Mas dekat-dekat sama dia. Cara mandangin Mas aja genit gitu. Senyumnya dummiat-buat biar manis. Astaghfirullah ... kenapa Fania jadi julid begini? Astaghfirullah ... ampuni Fania, Ya Allah..." Fania sadar dengan ucapannya yang mencela orang lain yang baru saja dikenalnya. Tak henti-hentinya bibirnya mengucap istighfar. Fahri semakin gemas melihat istrinya yang bertingkah seperti itu. Terlihat sekali kalau Fania selalu menjaga ucapan dan perbuatannya agar tidak terjerumus dalam dosa.

"Masyaa Allah, kamu memang baik. Nggak apa-apa julid dikit, itu tandanya kamu cemburu dan cemburu itu tandanya cinta. Nanti kalau sudah cinta, kita bisa ...."

"Bisa apa, Mas?" tanya Fania penasaran. Fahri sengaja menggodanya.

"Bisa ehem-ehem ...."

"Ish, Mas ini!"

Wajah Fania merah merona mendengarnya. Fahri memeluk dan mencium kening istrinya dengan lembut.

"Aku mencintaimu, Fania. Jangan biarkan hatimu yang bersih dipenuhi hal-hal yang tak penting yang akan membuat noda hitam di dalamnya. Insyaa Allah, suamimu ini akan selalu setia."

"Aamiin ... Terima kasih, Mas."

Mereka berdua berpelukan untuk beberapa saat, sampai terdengar suara adzan dhuhur berkumandang dari masjid.

"Aku mau sholat dulu. Kamu temani ummi dan Ummi ngobrol saja. Soal baju-baju ini bisa nanti malam atau besok pagi."

"Iya, Mas."

********


Fahri dan Fania beranjak keluar kamar. Fahri pergi ke masjid dan Fania duduk bersama ummi dan mertuanya. Aini tersenyum melihat menantunya yang duduk dan diam melamun.

"Kenapa, Sayang, ada masalah?" tanya Aini sambil tersenyum.

"Iya, pulang-pulang kok langsung ke kamar," sahut Laras yang sudah hafal dengan kebiasaan putrinya.

"Hanya masalah kecil, Fania yang salah," jawab Fania dengan lirih. Kepalanya tertunduk karena merasa malu.

"Pasti soal Tiara, ya?" Pertanyaan Aini membuat Fania mendongak, memandang mertuanya dengan heran.

"Ummi kok tahu?"

"Dia baru saja ke sini, memberi jeruk untuk Fahri katanya." Aini menunjuk ke arah kantong plastik transparan yang berisi buah jeruk di atas meja.

"Kok Ummi nggak manggil Mas Fahri?" tanya Fania tak mengerti.

"Fania, jangan memberi celah sedikitpun pada wanita lain dalam rumah tangga kita. Tapi jangan pula cemburu berlebihan. Beri kepercayaan pada suamimu, sekaligus tetap waspada. Kalau masalah Tiara, Ummi tadi sudah menegurnya. Kamu jangan khawatir, Tiara nggak mungkin berani macam-macam." Aini menasihati menantunya dengan sabar.

"Iya, Fania, dengarkan nasihat Ummi Aini. Cewek yang namanya Tiara tadi langsung takut sama Ummimu. Ummi yakin dia nggak akan berani mengganggu Fahri." Laras pun menimpali ucapan Aini.

"Terima kasih, Ummi. Fania jadi malu," ucap Fania, Aini terkekeh mendengarnya.

"Ummi malah senang kalau kamu cemburu. Pasti sebentar lagi kita akan punya cucu.

Betul nggak, Mbak?" Aini mulai menggoda menantunya.

"Betul itu. Ummi juga jadi nggak sabar melihat cucu Ummi. Nanti jangan hanya bikin satu lho, bikin dua atau tiga, biar bisa dibagi-bagi. Yang satu sama Ummi, satunya sama Ummi Aini. Biar kita nggak kesepian dan nggak berebutan," balas Laras tak mau kalah.

"Iya, Ummi setuju. Kalian berdua sama-sama anak tunggal. Jadi harus produksi lebih dari dua, biar keluarga kita jadi ramai," sahut Aini dengan semangat.

"Pasti cucu kita cantik dan tampan seperti mereka, ya? Jadi nggak sabar." Kedua wanita itu pun tertawa, Fania hanya menggelengkan kepala.

"Kenapa topik pembicaraannya jadi ngomongin cucu?" ucap Fania dalam hati. Dia merasa geli sendiri mendengar percakapan ummi dan mertuanya itu. Wajah Fania terasa panas karena Aini dan Laras tak berhenti menggodanya. Beberapa saat kemudian, Fania bersyukur karena suara salam dari Fahri menghentikan percakapan kedua wanita itu.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ...."

"Astaghfirullah, kita keasyikan ngobrol sampai belum sholat. Ayo, Ummi kita sholat dhuhur dulu," ajak Laras.

"Ayo, Mbak."

Kedua wanita itu berjalan bersama menuju kamar mandi yang ada di belakang. Mereka berdua melaksanakan sholat berjamaah di musholla kecil yang ada di dalam rumabh itu. Fahri duduk dan ingin mengambil jeruk yang ada di meja.

"Jeruk dari mana?" tanya Fahri penasaran.

"Kata Ummi dari Tiara tadi, waktu kita ngobrol di kamar."

Jawaban Fahri membuat tangannya mengurungkan niat mengambil jeruk itu. Dia segera mengembalikannya seperti semula.

"Ooh ... bungkus saja, sekalian sama nasi kotak dan kue. Biar dibawa pulang Ali sama Anton. Mereka sebentar lagi mau pulang," ucap Fahri dan Fania pun mengangguk mengerti.

"Iya, Mas, biar Fania siapkan kalau begitu."

Fania beranjak dari duduknya dan melakukan yang Fahri perintahkan. Fahri memberikan dua kantong plastik yang sudah disiapkan Fania kepada dua karyawannya itu, juga dua amplop yang berisi beberapa lembar uang merah sebagai ucapan terima kasih.


*******


Setelah kepergian mereka, dua buah mobil berhenti di depan pintu pagar rumahnya. Fahri dan Fania tersenyum saat melihat siapa yang datang. Begitu juga Aini dan Laras yang sudah selesai menjalankan kewajiban empat rakaat mereka.

"Assalamu'alaikum ...."

"Wa'alaikumussalaam ... Masyaa Allah, kalian kok bisa datang barengan?" Laras menyambut kedatangan mereka dengan heran.

"Iya, Mbak. Kami tadi main ke rumah KH Samir dan Hj Farah. Terus kata Safira, Fania sekarang pindahan, jadi kami ke sini sekalian," jawab Humaira terus terang,

"Terima kasih, ya. Yuk, kita masuk ke ruang keluarga saja, tempatnya lebih luas." Meraka semua berkumpul di ruang keluarga, berbincang santai sambil menikmati makanan dan minuman yang sudah disediakan oleh Fahri.

Sementara Fania dan Safira memilih berbincang berdua di teras depan.

"Apa abimu dan ummimu menjodohkan kalian?" tanya Fania penasaran.

"Ya begitulah."

"Bukankah itu yang kamu inginkan?" Pertanyaan Fania membuat kedua pipi Safira merona.

"Kamu tahu saja. Tapi Alif bilang nggak mau buru-buru menikah. Mungkin dia belum siap dan belum bisa move-on dari kamu." Fania menarik napas dalam sebelum membalas ucapan sahabatnya itu.

"Insyaa Allah, Fania yakin tak lama lagi pernikahan kalian akan terjadi. Berdo'alah pada Allah, mintalah petunjuk. Jika Alif memang jodohmu, pasti semuanya akan dimudahkan dan dilancarkan."

"Insyaa Allah. Bagaimana denganmu dan Fahri? Kamu sama sekali tak bercerita apa pun." Safira tersenyum, Fania terlihat bingung dengan ucapannya.

"Cerita soal apa lagi? Soal barang-barang dari Fauzan sudah Fania ceritakan. Pindah rumah juga tadi malam Fania sudah kirim pesan. Lalu, cerita yang mana lagi yang mau kamu dengar?" tanya Fania tak mengerti.

"Aku ingin dengar cerita unboxing," bisik Safira, menggoda gadis bercadar itu.

"Safira ... Kamu itu, ya? Jangan aneh-aneh, deh. Masak hal seperti itu diceritakan. Itu 'kan rahasia." Jawaban Fania membuat Safira terkekeh.

"Aku bercanda. Tapi aku juga penasaran. Memangnya sakit, ya?"

"Apanya yang sakit?" Pertanyaan Fania membuat kening Safira berkerut.

"Hemm ... Jangan-jangan kalian belum unboxing lagi," ucap Safira yang terlihat semakin penasaran.

"Sudahlah, nggak usah dibahas. Tadi Ummi laras sama Ummi aini, sekarang kamu," balas Fania dengan kesal.

"Namanya saja ngobrol sama pengantin baru, pasti seputar itu."

Fania hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan Safira. Apalagi Safira masih saja terus menggodanya. Beberapa saat kemudian, sebuah motor berhenti di depan rumah. Seorang pemuda berjalan mendekat dengan sebuah kotak besar yang terbungkus kertas kado dengan hiasan pita di atasnya.

"Permisi ... ada paket."

"Paket? Buat siapa ya, Mas?" tanya Fania dengan heran.

"Buat Fania."

"Iya, itu saya."

"Ini tolong ditandatangani, Mbak."

"Tapi, saya merasa nggak pesan apa-apa." Fania berusaha menolak.

"Tapi ini sudah dibayar lunas, Mbak. Tolong diterima."

"Baiklah."

Fania pun mengalah karena tak ingin mempersulit pekerjaan pemuda itu dan memperpanjang urusan. Dia meletakkannya di ujung ruang tamu dengan malas.

"Dari siapa?" tanya Safira penasaran.

"Biasa ... sudah yuk, kita masuk!"

Safira mengangguk mengerti dan tidak berniat bertanya lagi. Tak lama kemudian, mereka semua pun berpamitan. Aini dan Laras kembali duduk di ruang keluarga sambil menonton televisi.


******


Fania duduk di tepi ranjang dan melepas khimar dan cadarnya di depan meja rias. Fahri masuk ke dalam kamar sembari membawa kotak besar dan meletakkannya di dekat pintu.

"Paket dari siapa?" tanya Fahri sambil memandang wajah istrinya yang terlihat murung. Fahri pun mendekat dan melihat Fania yang mulai meneteskan air mata.

"Kenapa kamu menangis?" Fahri mengusap kedua pipi Fania dengan kedua tangannya.

"Sepertinya dari Fauzan lagi, Mas. Tapi dari mana dia tahu alamat rumah kita, Mas?" jawab Fania di sela-sela tangisnya. Fahri mendesah perlahan, menahan rasa cemburu.

"Aku kemarin sempat melihatnya waktu kita di toko elektronik dan sepertinya dia melihat kita. Mungkin dia bertanya pada karyawan toko itu."

Fahri merengkuh tubuh istrinya dalam dekapan. Tangis Fania pun semakin menjadi. Setelah puas menangis, Fania mengurai pelukan dan memandang suaminya dengan sedih.

"Mas, Fania nggak mau berurusan dengan Fauzan lagi. Semua barang-barang pemberiannya membuat Fania tertekan," jelas Fania, tak ingin suaminya salah paham. Fahri mengangguk mengerti.

"Sayang, jangan dipikirkan. Aku nanti akan mencoba bicara dengannya ...."

"Ayo, kita keluar kamar. Kamu cuci muka dulu, biar bekas nangisnya hilang. Nanti mereka curiga, dikira aku sudah nyakitin kamu lagi."

Kedua tangan Fahri mengusap kedua pipi Fania yang masih basah dengan lembut. Fania mengangguk dan tersenyum.

"Iya, Mas."

Setelah dari kamar mandi yang ada di dalam kamar, mereka beranjak menuju ruang keluarga. Bambang sudah datang dan duduk di samping Laras.

"abi kapan datang?" tanya Fahri dengan sopan. Fahri dan Fania mencium punggung tangan Bambang dengan takzim.

"Baru saja. Maaf, pekerjaan Abi tadi masih banyak dan nggak bisa ditinggal," jawab Bambang sambil tersenyum.

Aini memperhatikan wajah Fania yang sembab. Meskipun Fania sudah membasuh wajahnya tapi mata dan hidungnya masih terlihat merah karena terlalu lama menangis.

"Fahri, kamu apakan istrimu? Kok matanya sembab gitu? Kamu jangan macam-macam lho, jangan sampai menyakiti menantuku. Nikah belum ada satu minggu, sudah bikin nangis anak gadis orang!" hardik Aini tak terima.

"Astaghfirullah, Ummi. Aku nggak ngapa-ngapain Fania. Dia menangis karena ... karena ...." Fahri bingung mencari alasan.

"Mas Fahri tidak salah, Ummi. Fania saja yang cengeng. Fania merasa tertekan dengan pemberian Fauzan," sahut Fania terus terang.

"Ooh itu tadi kado dari Fauzan. Tapi kenapa kamu harus merasa tertekan?" tanya Aini tak mengerti.

"Dari kemarin Fauzan mengirimi Fania hadiah yang harganya sangat mahal. Apalagi Fania sekarang sudah menjadi seorang istri. Bagaimana perasaan Mas Fahri melihat barang-barang pemberian laki-laki lain?" Fania menjelaskan semuanya pada Aini. Laras dan Bambang mendengarkan.

"Fauzan ternyata masih belum bisa move-on, padahal Ummi dengar dia mau menikah. Kasihan istrinya kalau Fauzan terus seperti itu," balas Aini dengan nada sedih.

"Kamu sendiri bagaimana, Fahri?" tanya Bambang pada Fahri. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan menantunya itu untuk menghadapi masalah mereka.

"Insyaa Allah besok saya akan ke rumah Fauzan, abi. Saya akan bicara baik-baik dengannya." Bambang mengangguk setuju.

"Baguslah kalau begitu. Tapi ingat, jangan sampai kalian bertengkar apalagi sampai baku hantam. Kamu yang sabar menghadapi Fauzan. Mungkin dia masih belum terima Fania sudah menikah."

"Insyaa Allah, abi. Saya akan berusaha sabar," balas Fahri sambil tersenyum.

"Sudah, Fania. Kamu juga yang sabar. Kami tahu bagaimana perasaanmu. Insyaa Allah Fahri juga tidak akan berpikiran buruk padamu." Aini berusaha menenangkan perasaan Fania.

"Iya, Ummi."

Mereka melanjutkan percakapan sampai adzan berkumandang. Setelah sholat, Aini, Laras dan Bambang pulang,

Fania mengernyitkan dahi, melihat Fahri membuka kado dari Fauzan.

"Kenapa dibuka, Mas?"

"Aku penasaran dengan isinya."

Sebuah microwave dan mixer merk terkenal terlihat oleh mereka. Tubuh Fania membeku saat melihat kedua barang yang di hadapannya. Fania hanya menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Dia mencoba tak peduli dan segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Fahri menyadari perubahan sikap Fania. Tanpa banyak bicara, dia segera membawa hadiah pemberian Fauzan itu ke belakang dan meletakannya di dapur. Setelah keluar dari kamar mandi, Fahri merebahkan tubuhnya dan mendekap erat istrinya yang sudah terpejam. Fahri tahu Fania hanya berpura-pura tidur karena tak ingin mereka membahas masalah hadiah dari Fauzan. Fahri mengecup kening istrinya dengan lembut.

"Tidurlah, besok pagi-pagi aku akan pergi ke rumah Fauzan. Aku nggak mau istriku yang cantik ini menangis lagi."

Sesuai janjinya, setelah makan pagi, Fahri meninggalkan rumah pergi ke rumah Fauzan. Fania hanya pasrah karena dia juga tak mau Fauzan terus mengganggunya. Fauzan membuka pintu dan tersenyum saat melihat Fahri berdiri di hadapannya.

"Fahri? Tumben pagi-pagi sudah ke sini? Pengantin baru itu harusnya hari Minggu gini berduaan di kamar. Ayo, masuk."

Fahri mengikuti langkah Fauzan dan mereka berdua duduk berhadapan.

"Ini semua 'kan juga gara-gara kamu." Fahri membalas ucapan Fauzan dengan kesal.

"Hemm ... pasti masalah paket-paket kemarin," ucap Fauzan dengan tenang,

"Sebenarnya apa maksudmu mengirim Fania barang-barang itu, Zam?" tanya Fahri terus terang,

"Kan sudah aku jelaskan di dalam surat itu. Aku yakin kamu juga pasti membacanya. Fania tidak mungkin menyembunyikannya darimu," jawab Fauzan.

"Ya, itu aku tahu kalau yang itu. Lalu hadiah yang kemarin, kamu tahu alamat rumah kami dari mana? Dan apa tujuanmu? Kamu bahkan menyuruhku cepat-cepat menikahinya. Tapi kamu sendiri masih saja mengganggu kami." Fauzan hanya tersenyum mendengar pertanyaan Fahri.

"Sabar, Bro. Aku sama sekali tidak berniat mengganggu kalian. Apa kalian sudah membuka paket dariku?" tanya Fauzan penasaran.

"Sudah, aku yang membukanya. Dia bahkan menangis karena paket darimu." Jawaban Fahri membuat Fauzan terkejut.

"Astaghfirullah ... Aku minta maaf, Fahri. Aku sama sekali tidak berniat membuatnya menangis," balas Fauzan menyesal.

"Lalu, apa tujuanmu?"

"Saat melihat kalian di toko elektronik, aku teringat sesuatu. Aku pernah mendengar percakapan Fania dengan teman-temannya. Waktu itu dia bilang, kalau nanti sudah punya rumah sendiri, dia ingin membeli microwave dan menyebut salah satu merk. Dia ingin belajar membuat kue dan camilan sendiri untuk suami dan anak-anaknya nanti. Maaf kalau paket itu ternyata menyakiti hatinya." Fahri menarik napas dalam mendengar jawaban Fauzan.

"Kamu terlalu banyak menghabiskan uang untuk Fania. Harusnya kamu menyimpan uangmu untuk calon istrimu," jelas Fahri.

"Aku pasti memikirkan calon istriku. Tapi yang pasti, aku ingin menyenangkan hati Fania sebelum aku menikah. Maafkan aku kalau sudah lancang mencari informasi alamat rumahmu. Tolong terima hadiah dariku. Itu adalah pemberianku yang terakhir," ucap Fauzan memohon.

"Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, aku mau ke restoran dulu. Tolong pegang janjimu, hadiah kemarin adalah yang terakhir kalinya." Fauzan mengangguk mengerti.

"Insyaa Allah, aku pasti ingat janjiku."

Fahri pun menjabat tangan Fauzan sebelum pergi menuju restorannya.


********

Beberapa hari kemudian, Di sore hari itu hujan turun dengan amat deras – disertai suara petir dan guntur silih berganti, karena itu jalanan diluar sepi tak ada tukang jualan. Setelah makan malam sendirian, Laras masuk kamar tidurnya. Malam itu suaminya Bambang sedang lembur dan akan pulang larut malam.
Hujan yang sangat deras disertai bunyi petir dan guntur memudahkan dan menutup semua bunyi langkah kaki 2 orang pria ketika memasuki pekarangan rumah Laras dari belakang. Bahkan bunyi terputarnya kunci pintu belakang sama sekali tak dapat didengar oleh Laras yang merasa aman seorang diri di rumah dan sedang bersiap untuk mandi menghilangkan kepenatan tubuhnya. Baju tidur telah digantungnya di kamar mandi, demikian pula celana dalam bersih putih berbentuk segitiga kecil, sedangkan bh-nya yang berukuran 38B serta celana dalam yang dipakainya telah dilepaskan dan terletak di ranjang.

Hanya jilbab hitamnya masih menutup rambutnya yang sedikit bergelombang melewati bahu, sedangkan badan yang langsing namun sintal menggairahkan setiap lelaki dibalut dengan kain batik kemben. Sebagaimana pada umumnya wanita pedesaan yang akan mandi di sungai, maka kain kemben itu dibawah menutup setengah betis sedangkan bagian atas pas-pasan dilipat di tengah melindungi tonjolan buah dada. Dengan hanya terlindung balutan kain kemben itu Laras keluar dari kamar tidurnya untuk berjalan lima meter memasuki kamar mandi namun merasa aneh bahwa lampu di gang mati padahal dua menit lalu masih menyala ketika ia membawa celana dalam bersih, baju tidur dan handuk ke kamar mandi itu.

Disaat Laras meraba-raba dinding untuk mencari tombol lampu, tiba-tiba ia merasa tubuhnya disergap dari belakang dan sebelum ia sempat berteriak, mulutnya juga dibekap dan disumbat oleh seseorang. Meskipun sangat kaget, Laras langsung berontak sekuat tenaga dan berusaha menendang ke kiri dan ke kanan, namun pukulan tinju keras menghantam ulu hati, membuatnya kehilangan nafas dan menjadi lemas lunglai. Kesempatan ini segera dipakai oleh salah satu lelaki penyergapnya yaitu Bejo untuk menggendong dan membawa Laras ke kamar tidurnya sendiri yang memang letaknya paling dekat dengan kamar mandi.

Sementara itu Amir mengencangkan kembali sekring listrik yang tadi sengaja dikendorkan sehingga tak ada Aliran listrik, kemudian kembali ke kamar Laras untuk membantu Bejo menikmati mangsa mereka. Lampu yang telah menyala kembali kini memberikan cahaya cukup, menampilkan dengan jelas apa yang sedang terjadi di kamar tidur. Laras si cantik direbahkan di tengah ranjangnya sendiri yang cukup besar. Tubuhnya nan ramping namun sintal menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari tindihan Bejo. Bejo, yang penuh kerakusan sedang melumat bibir Laras dengan mulutnya. Terlihat Laras berusaha selama mungkin menahan nafas agar tak membuka bibirnya, namun akhirnya terpaksa menerima limpahan ludah Bejo serta lidahnya yang berusaha mengelak kini telah ditekan dan disapu-sapu oleh lidah Bejo yang kasar itu.

Akibat rontaan Laras maka kain batik kemben yang menutup tubuhnya hanya sampai batas atas dada itupun terlepas dan dengan mudah ditarik ke bawah oleh Bejo dan Amir, kemudian diloloskan melewati pinggul Laras yang bergeser menggeliat ke kanan dan ke kiri dengan tidak teratur sehingga kini tubuhnya polos bugil tanpa tertutup sehelai benangpun, menyebabkan kedua lelaki durjana itu makin bernafsu melihatnya. Laras mulai mengalirkan air mata karena sadar nasib apa yang akan segera menimpanya dan menyesali dirinya sendiri kenapa tak mengunci pintu rumah. Bejo tak perduli akan tangisan Laras karena nafsu birahi yang selama ini tertahan sudah naik ke ubun-ubunnya, didudukinya perut datar Laras hingga wanita itu jadi sukar bernafas dan kembali diciumi berulang-ulang bibir ranum Laras, kembali dijarahnya rongga mulut Laras yang hangat dengan lidah kasarnya.

“Eeeehmmm, emang dasar Wanita sholehah, mulut atasnya aja harum begini, gimana mulut bawahnya… sebentar lagi aku mau nyicipin, nyerah aja ya sayang, percuma teriak enggak ada yang denger,” demikian celoteh Bejo.

“Iya, percuma berontak, pasti cuma akan makin pegel dan sakit badannya. Ikut aja nikmati permainan kita berdua, pasti belon pernah main bertiga kan?” ujar Amir menyebabkan Laras semakin takut.

Sementara itu Amir tak mau kalah dan ikut beraksi. kedua kaki Laras yang menendang kesana-sini, ke kiri dan ke kanan, dengan sigap ditangkap dan dicekalnya di pergelangan sehingga Laras jadi sukar berontak lagi. Tak hanya sampai disini saja, telapak kaki Laras yang halus licin dan peka diciumi dan dijilat-jilatnya, membuat Laras terkejut dan semakin menggelinjang kegelian. Apalagi ketika satu persatu jari kakinya dikulum oleh Amir, celah jari kakinya juga dijilat-jilat, membuat ronta kegelian Laras semakin sukar dikendalikan, dan ini menambah nafsu birahi Bejo yang tengah menindih tubuhnya.

Kedua pergelangan tangan Laras direjangnya diatas kepala yang masih tertutup jilbab sehingga tampak ketiak tercukur licin yang menjadi sasaran ciuman dan gigitan Bejo sehingga mulai muncul cupangan-cupangan merah disana. Laras yang kini lepas dari ciuman buas Bejo berteriak sekuat tenaga, namun deras hujan angin disertai dentuman petir dan guntur menutup teriakan minta tolong memelas hati itu.

Bejo merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Laras diatas kepalanya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya kini mulai meremas-remas bukit gunung kembar di dada Laras yang amat menggemaskan itu. Buah dada putih montok kebanggaan Laras yang sampai saat ini tak pernah disentuh lawan jenis selain suaminya kini menjadi sasaran Bejo. selain diremas dan dipijit dengan kasar, putingnya yang berwarna merah tua kecoklatan itu juga diraba dan diusap-usap, sesekali juga ditarik, dipilin bahkan dipelintir ke pelbagai arah oleh Bejo, mengakibatkan rasa geli dan sekaligus juga ngilu tak terkira bagi Laras.

Laras tetap berusaha berontak sambil menangis sesenggukan, wajah cantiknya terlihat semakin ayu manis tetap di bawah jilbab hitamnya, tapi dirasakannya daya tahannya untuk melawan semakin berkurang. Bejo yang telah sering menggarap banyak perempuan entah yang telah bersuami, maupun janda dan bahkan juga perawan merasakan bahwa perlawanan Laras mulai menurun.

“Hehehe, mulai lemes ya, sayang? Gitu donk, pinter banget nih akhwat, ntar lagi diajak ngerasain apa itu surga dunia, tapi sekarang belajar dulu gimana ngisep sosisku. Nih sosis makin diisep makin jadi gede, ntar malahan bisa keluarin sari jamu awet muda, mau nyoba kan?” seringai Bejo.

Laras tidak langsung mengerti maksud kata-kata Bejo, ia merasakan tubuh Bejo yang hampir delapan puluh kilo itu kini tak menduduki perutnya, melainkan bergeser ke atas dan meletakkan kedua lututnya hampir setinggi lipatan ketiaknya, sehingga dalam posisi ini wajah cantik Laras langsung berhadapan dengan selangkangan Bejo.

Dengan tetap merejang dan menekan kedua pergelangan tangan Laras ke kasur dengan satu tangan kiri saja, Bejo kini dengan sigap melepaskan ikat pinggang serta resleting celananya. Sebagai wanita dewasa yang sudah menikah, Laras kini paham apa kemauan Bejo dan dengan penuh ketakutan berusaha mati-matian meronta. Tercium bau familiar dari celana dalam Bejo, yang mana segera diturunkan pula oleh Bejo dan bagaikan ular Cobra yang mencari mangsanya, keluarlah rudal kebanggaan Bejo. Kemaluan Bejo yang besar panjang berurat-urat serta di-khitan itu kini mengangguk-angguk di depan wajah Laras yang berusaha melengos ke samping. Ukurannya bahkan lebih besar dari milik Bambang. Reaksi penolakan semacam ini sudah biasa dialami dan ditunggu Bejo.

“Hehehe, biasa tuh perempuan, selalu malu-malu ngeliat barang lelaki, padahal dalam hati kecil udah pingin ngerasain ya. Tapi sebelumnya bikin si Otong makin binal, ayooh buka tuh bibir lebar-lebar, kulum, isep dan jilat dulu nih sosis alam sampe ngeluarin pejuh obat awet muda.”

Laras merasa amat jijik melihat penis Bejo dan tak mau menyerah begitu saja, namun Bejo sudah berpengalaman bagaimana mengatasi penolakan Perempuan, dicubitnya puting susu Laras yang telah tegak mengeras dengan memakai kukunya sehingga Laras menjerit kesakitan atas perlakuan sadis ini. Kesempatan ini telah dinantikan Bejo, segera alat kelelakiannya yang memang telah bersiap di depan wajah Laras ditempelkan ke bibirnya yang tentu saja Laras segera menutupnya kembali. Bejo menyeringai sadis dan kini jari-jarinya yang sedang mencubit puting susu Laras dipindahkan untuk memencét hidung mancung bangir milik Laras sehingga Laras kelabakan megap-megap mencari udara, otomatis tanpa dikehendaki mulutnya kembali membuka. Kali ini tanpa ada ampun lagi kejantanan Bejo menerobos masuk diantara kedua bibir basah merekah dan memasuki rongga mulut Laras yang hangat basah.

Laras merasa sangat jijik dan ingin mengeluarkan kemaluan yang sedang memerawani mulutnya itu, namun apalah dayanya sebagai perempuan lemah dikeroyok dua laki laki perkasa, apalagi kini Bejo kembali merejang kedua tangan ke atas kepalanya yang masih tertutup jilbab, sedangkan tangan satunya tetap memencét hidungnya hingga mulutnya tetap terpaksa untuk terbuka untuk mencari nafas. Bejo kini mulai memaju-mundurkan penisnya di mulut Laras, setiap gerakan maju selalu lebih dalam daripada sebelumnya, menyebabkan Laras tersedak setiap Kalinya, ingin batuk tapi tidak bisa.

“Hehehe… nah, gimana rasanya, Sayang, dirajah dan diperkosa mulutnya, enak kan? Aku enggak bohong kan! Iyaaa… mulai pinter nyepongnya, teruuus… iyaaa… gituuuu… kulum nyang bener! Aaaaaah… pinteer emang istri alim si bambang! Ayo, iseeeep nyang kuaaat… jilaaaat… iyaaa… aku udah mau keluaar nih, ooaaah!!!” akhirnya Bejo hanya berhasil memasukkan sekitar setengah dari penisnya ke mulut Laras.

Ujung kemaluan Bejo kini menyentuh, memukul-mukul dinding rahang Laras di ujung kerongkongannya, menyebabkan Laras berKali-Kali tersedak menahan rasa mual ingin muntah. Rasa ingin muntah itu mengalami puncaknya ketika alat kejantanan Bejo terasa semakin membesar dan berdenyut-denyut, hingga akhirnya…

“Aaaaaah… iyaaaaaaa… sayaaang… ini aku keluaaaaar! Pinter banget, sayang… ayo, jangan ada yang dibuang! Teguk, abisin semuanya, sayang… aaaah… iyaaaaa!!” Bejo menggeram bagai binatang buas disaat ia dengan penuh nikmat menyemprotkan lahar panasnya ke mulut Laras.

Berbeda dengan Bejo yang sedang dilanda orgasme, Laras merasa sangat terhina dan terpaksa menghirup sperma bejo yang saat itu sangat dibencinya. Cairan kental hangat itu bagai tak henti menyembur dari lubang di puncak kemaluan Bejo, memenuhi kerongkongan Laras, terasa sepat agak asin dengan bau khas sperma laki-laki. Pertama Kali merasakan sperma selain milik suaminya membuat wanita cantik berkudung ini tersedak ingin muntah. Namun Bejo bukan anak kemarin sore yang baru masuk usia belasan, kedua tangannya dengan sangat kuat segera memegangi kepala Laras yang berjilbab sehingga Laras jadi tak berkutik sama sekali, penis Bejo yang memang besar tetap memenuhi rongga mulut mangsanya dengan sempurna sehingga tak ada ruangan bagi Laras untuk melepehkan cairan yang dirasakannya sangat menjijikkan itu.

Laras hanya dapat mencakar-cakar lemah kaki Bejo dengan kukunya yang rapih terawat karena lengan atasnya telah ditindih dan ditekan ke kasur dengan kasar oleh lutut Bejo sehingga tidak banyak dapat digerakkannya untuk melawan. Teguk demi teguk air mani Bejo terpaksa harus ditelannya karena jika tidak maka pasti akan masuk memenuhi dan mencekik jalan nafasnya. Laras mengharapkan agar nasibnya dijarah kedua lelaki itu telah berakhir disini, namun dugaannya itu sia-sia belaka, ini baru babak pertama penderitaannya.
Setelah Bejo menarik penisnya dari rongga mulutnya, maka kini giliran Amir menagih bagiannya dengan tentunya mendapat bantuan dari Bejo. Bejo berlutut di samping kiri badan Laras dan tetap mencekal menekan kedua tangan Laras yang langsing diatas kepalanya yang masih tertutup jilbab dengan tangan kanannya ke kasur, sementara tangan kirinya kembali mengusap-usap buah dada korbannya, Bejo meremas-remas, memijit-mijit dan menyentil-nyentil puting Laras.

Serangan bertubi-tubi ini kembali menunjukkan hasilnya karena bagaimanapun Laras berusaha menekan gejolak birahinya, namun tubuhnya yang bahenol penuh dengan hormon kewanitaan kembali mulai mengkhianatinya. Kedua putingnya yang memang selalu mencuat ke atas dirasakannya semakin hangat gatal dan geli menginginkan ada tangan yang meremasnya. Namun karena tangannya sendiri di rejang ke kasur, maka yang dapat dilakukannya secara tanpa disadari adalah melentingkan tubuh bagian atasnya sehingga buah dadanya semakin membusung keatas.

“Hehehe, nikmat ya, sayang? Enggak usah malu-malu deh, enak ya pentilnya dirangsang, ntar lagi aku sama Amir pingin ngerasain susu asli, nih aku bantuin supaya keluar susunya,” Bejo bersenyum cabul lalu menundukkan kepalanya dan mulai menyusu di bongkahan payudara Laras, mulutnya menyedot-nyedot sambil sesekali menggigit puting susu Laras yang begitu merangsang.

“Aaah, auuw, oooh, udah dong pak… jangan diterusin, enggak mauu… jangaaaan, lepasiiin, iieeempppphh, eeehhmmmp, jangaaan!” keluh si akhwat cantik tanpa daya sambil terus menggeliat-geliat penuh keputus-asaan. Namun itu semua hanya makin memacu nafsu birahi dan kebuasan kedua lelaki pemerkosanya.

Sementara itu, Amir telah menempatkan diri diantara kedua paha Laras yang begitu halus mulus dengan kulit putih kuning langsat. Kedua tangannya tak henti-henti mengusap-usap betis belakang Laras, menyentuh dengan mesra kemudian meneruskan elusannya semakin naik ke arah paha, naik dan terus naik menuju ke arah selangkangan Laras. Nafas kedua lelaki jahanam itu semakin berat mendengus-dengus melihat indahnya bukit kemaluan Laras, bukit intim itu ternyata licin karena selalu dirawat dan dicukur tandas oleh sang empunya.

“Wuuiiih, memang lain ya istri sholehahbegini, memeknya kelimis begini, pasti sering diurut dan mandi spa ya?! Abang pengen nyicipi air celah memekmu, pasti manis madunya, betul enggak, sayang?” goda Amir.

Tanpa menunggu jawaban, Amir merebahkan diri diantara kedua paha Laras dan mendekatkan wajahnya ke arah selangkangan yang begitu merangsang nafsu setiap lelaki yang melihat itu. Amir menelungkupkan diri di antara kedua paha mulus yang dipaksa untuk dibuka lebar, betapapun Laras berusaha mengatupkannya, namun tenaganya kalah dengan kedua lengan Amir yang sangat berotot.

“Emmmhhhh… emang bener, harum banget nih mémék, pake sabun apa sih, Laras? Atau selalu diolesin minyak wangi ya?” tanya Amir sambil mulai mengecup dan menciumi bukit kemaluan Laras. Lidahnya yang kasar tak kalah dengan Bejo yang mulai menjelajahi bukit gundul kemaluan Laras, Amir menjilat dan membasahinya dengan ludahnya, telaten ia menelusuri celahnya yang masih rapat karena belum pernah diterobos siapapun selain suaminya. Bibir kemaluan luar pelindung celah kewanitaan Laras mulai dibuka oleh jari-jari Amir disertai dengan jilatan naik turun, sesekali berputar, merintis jalan memasuki bagian dalam yang berwarna kuning kemerahan.

“Jangaaan, udaaaaah, sialaaaan, anjiing semuanya, enggak malu dua lelaki main keroyokan dengan perempuan!! Oooooh, udaaaah, stoooop, jangan diterusin, aaaaaah!” Laras semakin menggeliat geli dan menahan gejolak naluri kewanitaannya yang semakin lemah menginginkan penyerahan total.

“Baguuus amat nih memek, haruuuum, enggak ada bau pesing sedikitpun, enggak seperti punya lonte, rejeki banget bisa ngerasain yang kaya begini,” Amir menjilat semakin ganas sambil menceracau tak karuan. Gerakan paha mulus Laras yang mengatup membuka tak teratur tak dipedulikannya karena penjelajahannya kini semakin dalam sampai lidahnya menemukan tonjolan daging kecil berwarna merah jambu yang tersembunyi diantara lipatan bibir kemaluan Laras bagian dalam.

“Ini dia yang gue cari dari tadi, horeeee akhirnya ketemu juga butir jagung paling lezat… eeeemh, cuppp, cupppp, legitnya nih daging… si neng rupanya enggak disunat ya, jadi ngumpet tuh butir jagung. Tapi udah ketemu nih, jadi perlu diberikan pelayanan extra ya, sayang.” demikian sindir Amir yang kemudian tak berkata-kata lagi karena asyik menjilati kelentit Laras yang semakin terlihat menonjol keluar.

“Aaaaaah, lepaaaaas, lepaaaaaskan, jangaaaan, enggaaaak mauuuuu, oooooooohh, emmmppfhhhh,” suara teriakan putus asa Laras menggema di malam yang dingin itu, namun tetap dikalahkan oleh bisingnya suara hujan menimpa atap rumah, ditambah pula semakin seringnya gema petir dan guntur yang menggelegar menakutkan.

Bejo yang kembali tak sanggup menahan syahwatnya melihat tubuh Laras yang telanjang bulat putih mulus meronta-ronta tak berdaya berusaha melawan rangsangan Amir yang dengan asyik melumat dan menggigit-gigit kelentitnya yang semakin lama semakin memerah, kembali mendekap dan menciumi mulut Laras itu sehingga teriakan Laras segera teredam.

Sementara itu Amir terus meningkatkan rangsangannya terhadap klitoris Laras, dijepitnya daging mungil amat peka itu diantara bibirnya yang tebal dan dower, kemudian dijilatinya dengan penuh nafsu dan semangat sambil sesekali digosok-gosoknya kelentit yang semakin membengkak itu dengan kumis baplangnya dan juga janggutnya. Terutama janggutnya yang hanya tumbuh beberapa milimeter, bagaikan sapu ijuk kaku sehingga sentuhannya dirasakan oleh Laras ibarat klitorisnya sedang digosok dengan sikat itu tak dapat ditahan lagi oleh pusat susunan syaraf Laras yang kini sedang dipenuhi oleh hormon birahi kewanitaannya.

Jutaan bintang kini meledak dihadapan matanya mengiringi gelombang orgasme bagaikan angin taufan menghempas tubuhnya yang melambung ke atas, Laras mengejang beberapa menit ibarat terkena Amirran listrik tegangan tinggi, jeritan yang seharusnya melengking, tertahan oleh mulut dan lidah Bejo, hingga akhirnya badan Laras melemas dan terhempas kembali ke atas ranjang , menggelepar bagaikan orang sekarat.

Inilah saat yang telah dinantikan oleh kedua lelaki itu. sampai taraf ini mereka akan meruntuhkan pertahanan Laras. Dari perempuan Alim berjilbab yang belum pernah disentuh lelaki selain suaminya menjadi wanita binal mendambakan kehangatan tubuh lelaki. Sesudah itu mereka akan bergantian dan juga sekaligus menikmati tubuh Laras namun dengan cara lebih mesra dan hanya dimana perlu akan sedikit saja dikasari secara halus. Mereka telah telah merencanakan siapa lebih dahulu menikmati lubang yang mana, bahkan mereka sebelumnya telah melakukan undian. Dalam undian itu Bejo akan pertama merajah mulut atas Laras dan memaksa menikmati air maninya, sedangkan Amir mengoral mulut bawah sehingga wanita malang itu mengalami orgasme pertamanya.

Setelah itu mereka akan bergantian tempat. Amir memaksa Laras mengoralnya dan menikmati lagi pejuh lelaki kedua dalam hidupnya sementara Bejo akan menyodok memek Laras. Dan babak terakhir mereka berdua akan threesome mengajarkan Laras untuk di sandwich. Bejo tetap berada di bawah dan menikmati kehangatan celah kewanitaan yang baru direnggutnya , sedangkan Amir akan merenggut keperawanan Laras yang kedua dengan menembus lubang bulat kecil di belahan pantatnya.

Dalam pelaksanaan maksud jahat mereka itu, keduanya telah sepakat bahwa Laras akan mereka telanjangi terkecuali jilbab di kepalanya. Ini akan memberikan lebih rasa kebanggaan dan ego yang tersendiri. mereka berhasil menjarah seorang wanita Alim dan taat tata susila, merebut keperawanan anusnya dan diakhir pergulatan mereka akhirnya si gadis menjadi wanita binal yang ke arah dunia luar tetap terlihat Alim berjilbab namun di dalam tubuhnya telah terbangun nafsu birahi bergejolak, membuatnya menjadi wanita binal.

Kedua lelaki ayah dan anak itu saling berpandangan penuh kepuasan melihat korban mereka tergelimpang lemah lunglai dilanda kenikmatan. Untuk beberapa saat bahkan keduanya tak perlu memegang, merejang atau bahkan menindih tubuh Laras, karena si gadis yang telah mandi keringat akibat orgasme pertamanya itu sedang “menderita” kelemasan. Tubuh Laras yang sedemikian sintal dan bahenol hanya kejang-kejang lemah tanpa busana disertai sesenggukan tangisnya – saat itu tak sadar harus melindungi auratnya yang sedang dijadikan kepuasan mata para pemerkosanya.

Kini Amir dan Bejo menukar posisi mereka untuk memulai babak kedua aksi mereka. Amir dalam posisi rebah setengah menyamping di sisi kiri Laras, memegangi kedua tangan Laras di atas kepala yang masih terhias jilbab satin hitam. Tangan kiri Amir kini mendapat kesempatan untuk ekspedisi naik turun gunung daging putih yang disana sini agak merah akibat jamahan kasar Bejo tadi. Sesuai dengan rencana maka Amir kini mempermainkan buah dada mangsanya dengan lebih halus daripada Bejo.

Amir meraba dan membelai payudara berkulit halus itu dengan penuh kemesraan. Ibarat seorang ahli benda purbakala sedang menilai cawan porselen dynasti Ming yang sangat langka, mengusap-usap dengan sangat hati-hati. Jari-jari tangan Amir menaiki lerengnya yang terjal dan dengan lembut menuju ke arah puncaknya yang berwarna merah kecoklatan, ia menyentuhnya sedemikian perlahan dan halus seolah ingin menambah kemancungan dan ketinggiannya. Dan memang Laras mulai mendesah mengeluh perlahan dengan mata masih setengah tertutup karena merasakan buah dadanya mengalami godaan yang sangat berbeda dengan kekasaran yang dialaminya tadi oleh Bejo.

“Wah, ini tetek emang betul yahud, legit dan kenyal banget. Bisa dijadikan guling nih, sambil nyusu anget, pasti lebih sehat dari susu kaleng. Enggak tahan lagi nih, mau netek dulu ah, boleh ya?” celoteh Amir sambil meremas kedua buah dada dan bergantian menyedot menggigit kedua puting merah mencuat milik Laras, menyebabkan Laras semakin menggelinjang meronta tapi semua sia sia saja.

Sementara itu Bejo telah menempatkan diri diantara paha Laras, mulutnya dengan bibir tebal berkilat karena berulang Kali dibasahi oleh lidahnya sendiri ibarat ular python telah menemukan mangsa. Laras masih di dalam keadaan setengah ekstase akibat orgasme menyadari apa yang akan segera dialaminya, ia berusaha lagi memberontak sekuat tenaga tapi tetap tak berdaya menghadapi kedua lawan yang demikian kuat dan sedang dipenuhi oleh hawa nafsu dan bisikan iblis. Bejo kini berusaha menekan nafsu iblisnya dan bertindak seolah seorang suami di malam pengantin akan merenggut mahkota kegadisan istrinya. Diciuminya secara bergantian telapak kaki Laras, jari-jari kakinya, betis langsing halus mulus, paha licin putih, naik melusur ke atas ke arah selangkangan Laras yang tercukur rapi.

Kini Laras mulai merasakan malu sehingga tak terasa pipinya yang basah airmata merona merah, malu karena tubuhnya tanpa dikehendaki dan diluar kemauannya sendiri mulai merasakan pengaruh rangsangan dari Bejo dan Amir. Selangkangan Laras yang masih terasa pegal kaku karena tadi dipaksa membuka oleh Amir, kini kembali dipaksa menguak. Kedua pahanya yang sekuat tenaga ingin dirapatkan, telah dipaksa lagi dipengkang sehingga terasa ngilu. Kedua lutut Laras menekuk dan diletakkan di bahu kiri kanan Bejo, sementara mulutnya semakin mendekati mengendus-endus lipatan paha Laras sampai akhirnya menempel di bukit Venus Laras itu.

“Duuuuh, sialaaan! Ini memek emang buatan alam kelas satu, enggak pernah ngeliat bukit gundul licin kayak gini. Pinter banget ngerawatnya, hmmh… kalo mau lonteku, ntar aku cukurin tiap hari, terus langsung dijilatin. Mau ya, sayang? Mmmmmh, udah keluar madu lagi, duuuh manisnya, sayang!” Bejo berceloteh sendiri sambil mulai menjilati kemaluan Laras. Lidahnya yang kasar menyapu dan menyelinap diantara celah bibir kewanitaan Laras, menjilati dinding yang telah licin akibat madu pelumas disaat orgasme beberapa menit lalu, ditelusurinya bibir bagian dalam vagina kemerah-merahan itu, menuju lipatan atas dan akhirnya menemukan apa yang dicarinya.

Kembali Laras diterpa rasa kegelian yang tak terkira, klitorisnya yang beberapa saat lalu menjadi sasaran lidah Amir sehingga memaksanya naik ke puncak orgasme, kini dilanjutkan dan diulang kembali. Ibarat seorang yang baru dipaksa mendaki, akhirnya mencapai puncak gunung, tapi tak diberikan waktu istirahat untuk menuruni tebing ke bawah, kini mulai lagi diseret dan dipaksa sekali lagi mendaki ke arah puncak. Laras tak rela diperlakukan seperti ini, dikutuknya kelakuan kedua lelaki yang sedang menjarahnya itu, namun apalah daya seorang wanita dalam keadaan seperti ini.

Laras berusaha menekan semua perasaan nikmat yang semakin menguasai tubuhnya, badannya yang sejak tadi meliuk meronta, kini dibiarkannya lemas lunglai, ia berharap bahwa dengan memperlihatkan reaksi “dingin” itu kedua pemerkosanya akan bosan dan menghentikan kegiatan mereka. Sayang sekali lawan yang dihadapinya, terutama Bejo bukan lelaki sembarang dan ingusan, ia telah mempunyai pengalaman cukup banyak dan tahu bagaimana memaksa bangun gairah seorang wanita yang sedang dikuasainya.

Bibir Bejo yang tebal kini mengecup dan melekat di kelentit idamannya, tak dilepaskannya sasaran utamanya itu, dicakupnya daging kecil berwarna merah jambu milik Laras diantara bibirnya, dipilinnya ke kiri dan ke kanan, ditekan dan dijepitnya dengan gemas diantara bibirnya, dilepaskannya sebentar dan digantinya dengan sapuan lidah ampuhnya, demikian terus menerus dan berulang-ulang. Diserang dengan cara sangat ampuh seperti ini, Laras akhirnya harus mengakui kekalahannya, rambutnya yang hitam bergelombang menjadi kebanggaannya telah acak-acakan tergerai, hanya jilbab penutupnya yang masih belum terlepas, disertai rintihan putus asa, tubuh sintal bahenolnya kembali kejang di orgasme keduanya.

“Toloooong, lepaaaaas, janggaaaan diterusiiiiiin, aaaauuuuuwww, aaaiiiihh, enggggggak maaauuu, tolooong, oooouuuuuuuw, eeemmmppffffhh!” kembali Laras melenguh menjerit putus asa berusaha menembus bisingnya deraian hujan menimpa atap rumah, dan kembali mulutnya tertutup oleh bibir Amir yang berusaha sejauh mungkin mencium mulut istri Bambang itu dengan penuh kemesraan.

Bejo merasa puas melihat hasil rangsangannya, ia tahu bahwa di saat ini Laras sedang dilanda badai orgasme lagi, dan saat ini adalah saat yang terbaik untuk menembus celah vaginanya. Tak ada rasa yang lebih nikmat bagi Bejo ketika menembus memek wanita pada saat otot-otot dinding vaginanya berdenyut berkontraksi karena orgasme. Saat itu adalah saat paling membahagiakan bagi pria berpengalaman, merasakan penisnya menembus liang kewanitaan wanita yang seolah dipijit diurut-urut oleh dinding nan licin basah namun masih sangat sempit dan penuh kehangatan. Semuanya itu disertai dengan wajah si wanita yang seolah-olah tak percaya dengan apa yang terjadi, nikmat sakit, sakit tapi nikmat.

Bejo kini telah berhasil menempatkan kepala penisnya yang keras, tegang berwarna hitam, dihiasi oleh pembuluh darah yang melingkar-lingkar menghiasi sepanjang batangnya. Kepala penisnya yang gundul bagaikan topi baja serdadu terlihat sangat gagah dengan lobang di tengah agak membuka seperti mulut ikan, mulai memasuki vagina Laras. Mili demi mili, sang penis maju menusuk membelah celah memek Laras disertai rasa kepuasan Bejo namun penderitaan bagi Laras yang menangis tersedu-sedu, menjerit, merintih memilukan hati mengiringi kehilangan miliknya yang selama ini sangat dijaga dan hanya akan diberikan kepada suami tercintanya. Habislah harapan Laras untuk menjaga kesucian pernikahannya yang utuh, punah sudah impiannya menjadi istri yang setia. Sesuai dengan rencana maka saat ini Bejo tak memperlakukan Laras dengan kasar, ia tidak menusuk secara brutal membabi buta ke dalam vagina Laras, melainkan agak diputar-putarnya gerakan maju mundur sang penis.

“Nikmaaat banged, sayang… sungguh nikmat, akuuu dikasiiiih hadiaaaah begini enaaak, ntar aku ajariiiin yang lebiiiiih mantaaaab lagi. Ayooooh goyaaaangin tuh pinggul, jangan dieeem aja. Aku cobaa masuuuk dalemaaaaan lagi, sayang… jangan berontaaak ya, ntaar sakit, terima pasraaah aja!!” dengus Bejo sambil dengan yakin memaju-mundurkan pinggulnya, ibarat pompa air berusaha mencari sumber di tempat yang semakin dalam. Sesekali disodoknya ke arah atas, kiri, kanan, bawah, lalu diulangnya lagi dari awal.

Gerakan ini menyebabkan dinding tempik Laras yang sedang mengalami pelecehan seolah diaduk, diulek dan digesek dengan penuh kemesraan. Sementara Amir tetap memegangi kedua tangan Laras sambil mulutnya tak kunjung berhenti menyusu di puting kiri kanan Laras yang tetap mengeras bagaikan batu kerikil. Kedua lelaki itu penuh kepuasan mengamati wajah Laras yang telah mendongak ke atas namun tetap menggeleng ke kiri dan ke kanan. Wajah cantik Laras semakin terlihat kuyu dan lemas, hidung bangirnya kembang kempis mendengus dan bernafas semakin cepat, sementara bibirnya yang mengkilat basah setengah terbuka.

“Auuummph, aaaaaoooohh, eeemmmpppph, eeeeeengghhh, aaaaaauuuww, ssssshhhhhh, udaaaah doong, aaaahhhh, udaaaaah, saaakiiiiiiit, ngiluuuuuu, ouuuuhhh, eeemmpphh, iiyyyaaaa, auuuuw, iyaaaaa,” tak sadar lagi Laras mengeluarkan suara khas wanita yang sedang dilanda kenikmatan birahi.

Bejo dan Amir yang rupanya telah beberapa Kali mengerjai wanita secara bersama, kembali saling berpandangan dan yakin bahwa pertahanan Laras telah hancur luluh dan kini tinggal dilanjutkan permainan seksual ini untuk mengubah Laras dari seorang istri yang Alim menjadi wanita binal yang bukan saja hilang rasa malunya bersenggama, namun sebaliknya bahkan tak segan-segan menagih jatah untuk selalu dipuaskan. Merasakan bahwa Laras telah tak sanggup melawan, maka mereka berdua mengganti lagi posisi badan mereka. Amir kini setengah terlentang dengan penis telah berdiri mengacung ke udara, Laras diangkat oleh Bejo dan diatur berlutut sambil menungging untuk “memanjakan” penis Amir, sedangkan dari belakang Bejo kembali mendorong dan memasukkan penisnya ke vagina Laras.

Meskipun telah demikian licin basah, namun memek laras yang masih sempit karna belum pernah melahirkan akibat mandul maka tetap terasa perih sakit disaat penis Bejo mulai masuk sehingga Laras tak sadar memekik dan melepaskan penis Amir yang sedang dikulumnya sambil menggoyang pinggul seolah ingin melepaskan diri dari penetrasi Bejo. Namun Bejo telah memegangi pinggang Laras yang ramping sehingga pinggulnya tak dapat digeser ke samping – sementara Amir juga dengan mantab menjambak jilbab putih dan menekan kembali kepala Laras untuk melakukan “service” ke rudalnya yang berukuran tak kalah dengan milik Bejo.

Ketika Bejo semakin dalam mendorong penisnya maka Laras kembali merasa perih ngilu kesakitan, mungkin karena memek Laras yang sempit dan ukuran penis Bejo jauh lebih besar dari milik Bambang. Laras berusaha mencakar paha sang pemerkosa dibelakang pinggulnya dengan kuku-kuku kedua tangannya, namun Bejo sudah siap dan terbiasa dengan reaksi perlawanan wanita dalam posisi seperti ini. Kedua tangan Laras yang menggapai ingin menyakar itu lekas ditangkap, dicekal pergelangan nadinya dan lalu ditelikung ke belakang.

Dalam kedua tangannya berada dipunggung dan ditelikung maka Laras tak dapat menunjang lagi badan bagian atasnya, namun ini justru memudahkan Amir yang sedang disepong untuk menjambak jilbab dan rambut Laras, lalu dengan ritme diturun-naikkan dengan irama yang sangat memuaskan kontolnya. Dengan satu tangan Bejo tetap menelikung tangan mangsanya sehingga Laras tak dapat mencakar, sementara tangannya yang lain meremas-remas buah dada Laras yang menggantung indah dan memilin serta memijit-mijit putingnya.

Tubuh Laras kembali mengkhianati, rasa ngilu, sakit, nyeri dan nikmat berkumpul lagi menjadi satu dan melanda semua bagian peka yang sedang dirangsang oleh Bejo dan Amir, memacu pusat orgasme di otaknya kembali bekerja. Bejo merasakan dinding vagina Laras kembali mulai berdenyut, semakin lama menjadi semakin cepat, mantap memijit kemaluannya, dan dengan sangat tak terduga oleh Laras, mendadak jari tengah Bejo yang baru saja memilin putingnya, pindah merantau menusuk masuk ke lubang anusnya.

Teriakan kaget dan kesakitan Laras teredam oleh penis Amir yang menancap di mulutnya, yang disaat sama berdenyut-denyut pula sambil menyemburkan lahar panas ke arah kerongkongannya. Kembali Laras merasakan tubuhnya bagai meledak mengalami orgasme untuk kesekian Kalinya, terutama disaat bersamaan Bejo juga menyemprotkan sperma hangatnya ke dalam rahimnya. Ketiga insan itu dalam waktu hampir bersamaan mengalami orgasme secara bersama-sama – ketiganya merasakan tubuh mereka mengejang beberapa menit sebelum terkulai lemas penuh dengan keringat beberapa saat kemudian.

Sementara Laras masih lemas setengah pingsan, Amir, dalam waktu singkat, hanya seperempat jam, telah mulai pulih kembali tenaganya, terutama ketika melihat tubuh Laras yang putih mulus, yang telanjang bulat setengah telungkup diatas tubuh Bejo. Betapa kontras warna kedua tubuh itu, Bejo yang agak gemuk berisi, sedangkan Laras bertubuh ramping langsing berkulit putih kuning langsat. Namun yang menarik perhatian Amir adalah bongkahan pantat Laras yang begitu sempurna, besar bulat tanpa cacat sedikitpun. Membayangkan betapa sempitnya lubang yang tersembunyi diantara belahan itu menyebabkan si ayam jago di selangkangan Amir mulai bangun dan siap untuk bertempur kembali.

Amir menyentuh kaki Bejo sehingga bejo membuka matanya, diberikannya tanda agar Bejo memeluk Laras secara ketat untuk mencegah jangan sampai wanita itu dapat berontak. Bejo segera mengerti apa maksud Amir, ia langsung meletakkan tubuh Laras diatas tubuhnya sendiri dengan sempurna, kemudian dipeluknya pinggang Laras yang langsing itu dengan kedua lengannya yang berotot sehingga Laras tak mungkin bergeser kemanapun.

Amir dengan perlahan mendekati tubuh Laras dari belakang, ditariknya pinggul Laras ke atas sehingga menjadi posisinya sekarang menjadi berlutut menungging tinggi dan sekaligus kedua paha Laras yang masih gemetar halus akibat sisa orgasme dibukanya lebar-lebar dan ditahan di kiri kanan oleh paha Bejo. Kini terpampang dengan jelas celah diantara belahan pantat Laras yang di bagian tengahnya terlihat cekungan berwarna coklat muda kemerahan dihiasi kerut-kerutan halus tipis menandakan masih sempurnanya tegangan otot lingkar yang melindungi anus Laras.

Amir mengolesi telapak tangannya dengan ludah lalu diratakannya ke ujung kepala penisnya sehingga benda itu jadi terlihat licin mengkilat, selanjutnya ia meneteskan ludahnya di cekungan anus Laras. Penuh kepuasan Amir melihat bahwa cekungan itu mulai berdenyut dan “menelan” tetesan ludahnya seolah ada sedotan kuat yang menarik ke dalam. Kejantanan Amir yang semula masih terlihat agak menggantung kini menjadi tegak penuh kegagahan karena sang empunya telah membayangkan betapa perlawanan sia-sia dari otot lingkar pelindung itu, namun jika telah ditembus dikalahkan maka justru secara alamiah akan menarik menyedot kemaluannya semakin dalam.

Dengan kedua tangannya Amir memegang dan agak menarik bongkahan pantat Laras ke kiri dan ke kanan, lalu mulailah ia menekan kepala penisnya di pintu gerbang paling intim dari Laras, istri dari bambang. Bagaikan disengat oleh hewan berbisa, Laras melonjak meronta dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Bejo yang kuat, anusnya terasa sangat panas dan perih bagai disayat pisau saat ada barang keras berusaha untuk masuk ke dalam sana.

“Aaaaaah, auuuuuuuuww, jangaaaan! Aduuuuuuh, jangaaaan! Sialaaaan! Ampuuuuuun, sakiiiiiiiiit, lepaaaas, tolooong lepaskan! Mmmphh, auuuuuuuuuww! Tolong, Pak, kasihani saya, saya enggak mau disodomi! Sakiiiiiit, Bang, udaaah!” Laras menjerit dan berteriak sekuat nafas yang dapat dikeluarkan dari paru-parunya, namun semua sia-sia dan terlambat karena tanpa rasa kasihan, Amir terus mendorong kemaluannya untuk menembus keperawanan Laras yang kedua.

Selama ini Laras hanya mendengar dari teman-teman dekatnya di pengajian bahwa suami mereka kadang menginginkan variasi dalam ML dengan memakai jalan belakang. Semuanya menceritakan secara sembarang saja apa yang dirasakan saat itu, namun Laras tak pernah membayangkan betapa sakit dan penderitaan yang dialami disaat ini. Berbeda dengan Amir yang diawal penetrasi juga merasakan betapa susah dan peretnya memasuki lubang anus istri Bambang itu, namun kini mulai terbiasa dan secara ritme memaju mundurkan pinggulnya untuk lebih menikmati penjarahannya itu.

Bejo melihat penuh kepuasan wajah cantik Laras yang kini dibasahi oleh air mata dan dari celah bibir mungilnya yang terbuka terdengar rintihan dan keluhan tiada henti menimbulkan iba. Suara rintihan Laras semakin lama semakin sesuai dan sinkron dengan dengusan Amir yang kini makin mempercepat gerakan pinggulnya. Dirasakannya bahwa semua lahar yang berkumpul di pelirnya makin mendidih dan akhirnya menyemburkan membasahi bagian dalam anus Laras yang sudah sedemikian peka sehingga dengan jeritan putus asa kesekian Kalinya, Laras jatuh pingsan kembali dan ambruk diatas tubuh Bejo.

Laras sebagai seorang istri solehah tentu saja sangat shock mendapat perlakuan sangat tak senonoh yang diperbuat oleh Bejo dan Amir. Setelah diperkosa habis-habisan di malam itu, maka Laras menangis semalaman di kamarnya sampai akhirnya tertidur. Bejo dan Amir mengancam Laras apabila melapor pada polisi stau siapapun maka video pemerkosaannya akan disebar. Esok harinya Laras jatuh sakit, badannya demam panas dingin, menggigil. Kepalanya terasa pusing melayang, perutnya bagaikan diaduk-aduk serta mual sehingga berKali-Kali ia muntah.

 
Aih warbiyasah double update dari subu @Marmut1991
gak nyangka akhirnya Laras mulai tenggelam terseret arus dan nanti pelan2 membinal
gak bs bayangin gmn luruhnya Fania nanti...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd