--------------------------------------------------------------
Chapter 9 – (Probably) The Last Session
Sampai saat-saat terakhir menjelang kepindahan pekerjaan Eksanti,, sejak ia mengajukan surat pengunduran dirinya dari kantorku..
– Gadisku, Hadirnya Orang Ketiga..– aku sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Yoga, pacar Eksanti.
Hingga di suatu sore.. dari kaca jendela ruang kerjaku di lantai 3, aku memergoki seseorang yang menjemput Eksanti selepas jam kantor.
Semula aku tidak pernah berpikir bahwa laki-laki itu adalah pacar Eksanti..
Namun karena dalam seminggu ini Eksanti dijemput oleh laki-laki yang sama.. barulah aku sadar bahwa laki-laki itulah yang bernama Yoga.
Aku mendengar dari teman-teman sekantorku yang lain, bahwa Yoga sedang mendapat training di Jakarta.. sehingga ia bisa menjemput Eksanti setiap saat.
Memang sejak kedatangan Yoga di Jakarta, hari-hari terakhir itu Eksanti terlihat semakin cantik karena dandanannya yang semakin modis.
Yang selalu tampak menarik bagiku adalah kulit mukanya yang semakin putih bersih..
sehingga sangat kontras dengan warna bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah.
Model rambutnya yang hitam sebahu.. sedikit terurai di dekat telinga dan diberi sedikit olesan jelly..
sehingga senantiasa kelihatan basah. Juga yang kelihatan sensual adalah cara berpakaiannya.
Eksanti selalu memakai blouse atau kaos yang agak ketat.. sehingga perutnya kelihatan ramping dan payudaranya terlihat agak menonjol.
Memang payudaranya sendiri tidak terlalu besar.. tetapi terlihat sangat seksi bila ia memakai baju kaos yang ketat..
walaupun sudah tertutup dengan stelan blazernya.
Satu lagi.. Yaa.. satu lagi yang sangat menarik.. bentuk kakinya yang kecil memanjang seperti kaki belalang.
Kulitnya putih mulus.. tanpa cela ditumbuhi bulu-bulu halus di sepanjang betis dan pahanya.
Ia sangat sadar dengan potensi yang dimilikinya itu.. sehingga ia sangat senang mengenakan rok span setinggi kira-kira 5 cm di atas lututnya.
oOo
Sudah lebih dari dua minggu ini Eksanti selalu pulang tepat pukul 17.00, karena Yoga selalu menjemputnya tepat waktu.
Namun dalam dua hari terakhir aku perhatikan sudah lebih dari pukul 17.30, Eksanti masih belum beranjak untuk pulang.
Karena penasaran aku menanyakan kepadanya.
“Santi.. kenapa sih aku perhatiin sekarang kamu pulang lebih malam.. emang nggak dijemput lagi..?”
“Yaachh.. abis yang njemput sudah nggak ada sih Mas..” sahutnya.
“Masa’ iya..? Ke mana Mas Yogamu itu..?” Tanyaku.
“Aaach.. Mas jangan nanya-nanyain dia deh. Janjinya Mas Yoga mau ditraining 2 bulan.. lalu langsung ditempatkan di Jakarta.
Tapi nyatanya baru sebulan ditraining udah disuruh balik lagi ke Malang, karena di sana ternyata kekurangan orang..” jawabnya dengan nada kesal.
“Sebenarnya sih Mas Yoga berhak untuk menolak permintaan bosnya yang genit itu.. tapi katanya ia cinta banget sama pekerjaannya..
jadi yaa.. diikutin aja perintah bosnya itu..” ujar Eksanti melanjutkan.
“Wah.. hebat dong, orang kayak Yoga. Ia pasti loyal banget sama kantornya dan itu mencerminkan tipe orang yang setia..” jawabku sekenanya.
“Loyal apaan.. Santi nggak ngerti ama dia. Sebenarnya dia lebih cinta sama Santi apa sama pekerjaannya sich..?”
Santi berujar sedikit ketus mendengar komentarku.
Aku tau dari jawabannya, hubungan mereka pasti sedang bermasalah lagi gara-gara persoalan ini.
Sebuah hal yang wajar untuk dua orang yang baru mulai berpacaran.. hingga akupun enggan untuk menanggapinya lebih lanjut.
Hmm.. tentu saja aku tidak mau mencampuri privacy mereka berdua.
oOo
Beberapa hari kemudian.. saat makan siang, aku baru saja datang setelah selesai melakukan meeting di luar kantor.
Kantorku sepi sekali, hanya seorang office boy yang sedang duduk di area receptionist di lantai bawah.
Ketika aku naik ke ruanganku di lantai tiga.. aku melewati area ruang makan kantorku, yang biasanya ramai pada saat jam makan siang seperti ini.
Secara kebetulan aku melihat di ruang itu cuma Eksanti yang sedang makan seorang diri.
Rupanya teman-temannya yang lain sedang makan di luar kantor. Segera aku menemaninya duduk di depan meja makan itu.
“Makan sendirian saja, San..?” Sapaku kepadanya.
“Iyaa.. Mas. Mas sudah makan..?” Sahutnya.
“Sudah. Tadi sekalian meeting sama klien..” jawabku singkat, sambil menarik kursi untuk duduk di depan kursinya.
Sambil makan, Eksanti melihat-lihat iklan bioskop di koran.
Tiba-tiba Eksanti berkata.. “Waah.. film ini bagus, Mas. Santi kepingin nonton.. tapi sayang nggak ada yang nemenin..”
“Kalau memang nggak ada teman.. emangnya Santi masih mau Mas temenin..?” Tanyaku menyelidik.
“Kalau Mas emang bersungguh-sungguh mau nemenin, kapan Mas bisanya..?
Asal jangan yang malam-malam. Paling lambat yang mulainya jam 8.. jadi sekitar jam 10-an kita sudah bisa pulang.
Soalnya, ntar nggak enak kalau ada yang ngelihat kita jalan sampai malam.. apalagi kalau ketemu temannya mas Yoga..” jelas Eksanti panjang lebar.
Aku tau.. ia sebenarnya masih dalam posisi yang bimbang antara menjaga kesetiaannya dengan Yoga, atau tetap bersamaku.
“Besok malam..? Kayaknya jadwal Mas besok nggak begitu padet.. jadi bisa ninggalin kantor cepet.
Kalau hari-hari berikutnya jadwal Mas sudah sangat padat dengan janji sama klien.. jadi nggak akan bisa pulang cepet.,.” kataku.
“Kalau gitu besok malam yaa, Mas..?” Ia memohon sambil matanya menatapku penuh harap.
“Boleh, Mas jemput jam berapa..?” Aku menyetujui permintaannya.
“Santi besok mau pulang cepet aja deh, jadi kira-kira bisa sampai di kost jam 6-an. Lalu mandi dulu. Jadi kira-kira pukul 7 sore kita berangkat yaa..”
katanya menjelaskan rencananya dengan rinci,
“Oke..” sahutku singkat.
oOo
Besok sorenya.. setelah acara di kantor selesai.. sengaja aku mandi di kantor lalu siap berangkat ke rumah kost Eksanti di daerah Selatan Jakarta.
Untung jalanan belum terlalu macet.. sehingga pukul 7 kurang 5 menit.. aku sudah sampai di depan pintu kamar kostnya.
Sampai di sana ternyata Eksanti belum selesai berdandan.. sehingga aku harus menunggu selama beberapa menit.
Ketika ia selesai.. kami langsung berangkat karena takut terlambat. Jakarta memang sedang macet-macetnya pada jam-jam itu.
Akhirnya setelah dengan sedikit ngebut.. kami sampai juga di Grand Wijaya Theater jam 8 malam tepat.
Untung ticket box-nya masih buka. Setelah membeli tiket.. kami langsung masuk tanpa sempat lagi membeli snack dan minuman.
Aku memang sengaja meminta tempat duduk yang di pinggir.
Entah kenapa.. sampai saat film dimulai penontonnya hanya sedikit sekali.. sehingga ruangan teater tersebut menjadi bertambah dingin.
Artis-artis pemain film-nya memang sexy-sexy.. apalagi film yang kami tonton ini terhitung banyak juga adegan panasnya yang sangat berani.
Ketika adegan yang panas muncul di layar.. Eksanti tiba-tiba memegang tanganku.
Suatu saat.. ketika adegan filmnya mulai memanas lagi.. sebelum tangan Eksanti beraksi meremas tanganku..
aku mendahuluinya dengan memegang telapak tangannya erat-erat.
Sejenak kemudian.. walaupun adegan panas sudah berlalu dari layar film itu, jemari tangannya yang lentik masih tetap berada erat dalam genggamanku.
Perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati.. bersamaan dengan gerakan tanganku.. tangan Eksanti kutumpangkan di atas pahanya.
Saat itu Eksanti masih diam saja atas aksi yang aku lakukan ini. Aku menahan nafas menunggu reaksinya.
Lalu dengan sedikit perasaan was-was.. ujung-ujung jemariku mulai mengelus lembut pahanya yang sedikit terbuka..
karena bagian bawah roknya yang pendek itu agak tersingkap pada saat ia duduk tadi.
Beberapa menit hal itu aku lakukan.. Eksanti pun masih tetap diam tanpa melakukan reaksi. Kenekatanku semakin bertambah..
dengan menarik tangan Eksanti lebih arah ke atas.. sekaligus untuk menyingkap ujung bawah roknya supaya semakin naik ke pangkal paha.
Aku melirik ke arah roknya yang kini telah tersingkap sampai hampir ke pangkal pahanya..
sehingga pahanya yang putih mulus itu terlihat remang-remang dengan penerangan cahaya dari pantulan layar film saja.
Aku pura-pura diam sebentar. Kebetulan muncul adegan panas lagi di layar film dan seluruh telapak tanganku segera meraba lembut pahanya.
Eksanti mulai bereaksi dengan memegang bagian atas tanganku.
Kukira Eksanti akan melarang kegiatan tanganku ini.. tetapi ternyata perkiraanku salah. Tangannya hanya ditumpangkan saja di atas tanganku.
Melihat reaksinya yang seolah memberikan sinyal positif.. aku memberanikan lagi operasi ini.
Perlahan mulai kuusap-usapkan lembut tanganku ke kulit pahanya dari atas lutut sampai ke bagian atas dekat pangkal pahanya.
Sudah lebih dari 5 menit aku melakukan belaian ini.. bergantian paha kanan dan kirinya..
tapi Eksanti tetap diam.. hingga nafasku sendiri yang mulai memburu.
Akhirnya kuberanikan telapak tanganku untuk mengusap pahanya sampai ke arah selangkangannya..
sehingga ujung jariku berhasil menyentuh pinggir renda celana dalamnya.
Bibir kewanitaannya mulai aku gelitik dengan 2 jemariku. Saat itu Eksanti kelihatan mendesah sambil membetulkan posisi duduknya.
Aku menggelitik terus celah lembut kewanitaannya dengan jari.. slepp..
terkadang jemariku kulesakkan ke dalam lubang kewanitaannya yang ternyata sudah basah juga.
Belum beberapa lama, Eksanti menggeliat di atas tempat duduknya dan berbisik seolah merintih.
“.. Mas, jangan digitukan nanti basah semua celana dalam Santi..”
Mendengar desahannya itu, tanganku aku tarik dan aku pindahkan ke pahanya saja. Lalu berbisik di telinganya.
”Aku suka melakukan yang tadi. Kalau Santi juga suka.. nanti lain kali Mas terusin lagi yaa..?”
Eksanti mengangguk dan berkata pelan. “Minggu depan saja kita jalan lagi..
soalnya kalau keseringan pergi malam-malam.. ntar nggak enak sama teman-teman di kost. Apalagi yang kenal dengan Mas Yoga..”
Ia terlihat masih saja dalam posisi kebimbangannya.. antara harus bersikap setia dengan Yoga, atau menikmati kebersamaan percumbuannya denganku.
Setelah film selesai diputar, sambil berjalan keluar gedung teater..
Kurangkul pundaknya.. Eksanti memeluk pinggangku sambil kepalanya disandarkan ke bahuku.
Kuajak Eksanti makan malam, sekalian sambil mengobrol macam-macam. Sudah cukup lama kami tidak pernah melakukan hal itu.
Selesai makan, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku harus segera mengantarkan Eksanti pulang.
Sebelum turun dari mobil.. di depan pagar rumah kostnya.. aku memeluknya..
Diapun membalasnya dengan merangkul leherku kuat-kuat untuk menerima ciuman dan kecupan-kecupan pada bibirnya.
Selesai melakukan kecupan mesra itu, dengan sedikit teknik yang sangat halus.. tanganku menyambar dan memijit lembut payudaranya.
“Acch.. Mas nakal!..! katanya manja.
“Abis Mas kangen sama yang itu.. Bye.. bye..” ujarku dengan senyum simpul
Keesokan harinya.. aku bertemu Eksanti lagi di kantor.. kami bersikap biasa-biasa saja..
sehingga tidak ada teman yang curiga kalau kami telah melakukan sedikit kemesraan semalam.
oOo
Suatu siang di hari Rabu.. kira-kira seminggu setelah acara kami menonton bersama..
Eksanti datang ke ruanganku dengan membawa laporan-laporan yang harus aku tandatangani.
"Mas, nanti malam Mas ada acara..?” Eksanti bertanya.
“Kenapa..?” Aku bertanya dengan sikap yang berpura-pura acuh.
Padahal sejujurnya.. dalam hati aku berkata, saat-saat seperti inilah yang paling aku nantikan.
“Kalau Mas ada waktu.. Eksanti kepingin makan di luar.. tapi sayangnya lagi nggak ada teman..” sahutnya bersungguh-sungguh.
Aku memang tidak salah sangka.. pucuk di cinta ulam tiba.
“Oke. kalau Santi mau, Mas bersedia nemenin Santi jalan. Jam 5 sore Mas mau meeting dulu dengan klien di Shangrila..
jadi kira-kira jam 7 seperti minggu lalu, Mas jemput di tempat kost kamu yaa..?” Kataku memberikan tawaran .
“Terimakasih yaa.. Mas..” ia langsung menyetujui tawaranku, matanya nampak berbinar-binar senang.
Sore itu aku sungguh tidak sabar untuk segera menyelesaikan acara meeting dengan klienku.
Jam 18.15 sore aku sudah siap berangkat dari Hotel Shangrila, langsung menuju ke rumah kost Eksanti.
Eksanti memang sengaja pulang dari kantor lebih awal dari biasanya.. sehingga ia telah sampai di rumah kostnya lebih dulu dari kedatanganku.
Sesampainya di sana.. aku menunggu di ruang tamu dan baru kira-kira 10 menit kemudian Eksanti keluar dari kamarnya.
Aku sempat terpesona beberapa saat. Penampilan Eksanti sore ini benar-benar lain dari kesehariannya.
Biasanya ia memakai rok mini, yang dipadukan dengan blouse atau kaos pendek terbuat dari bahan yang agak ketat..
dan tertutup rapi dengan setelan blazernya.
Kali ini ia tampil dengan memakai gaun panjang warna ungu.. dengan belahan yang agak tinggi di bagian paha sebelah kirinya.
Saat ia berjalan.. pahanya kirinya nan putih bersih itu kelihatan dengan jelas.
Bahkan dalam posisi tertentu.. bagian dalam paha kanannya juga nampak samar-samar mengintip dari belahan gaunnya.
Ahh.. Sungguh, makhluk cantik ini kelihatan sexy sekali sore itu. “Ckkk.. ckkk.. ckkk..” komentarku.
Eksanti tersenyum mendengar pujianku, sambil memutarkan tubuhnya.
Sungguh lebih mempesona lagi pemandangan yang aku saksikan..
karena ternyata punggungnya terbuka lebar sampai ke bawah dengan model huruf V sampai ke atas pinggulnya.
Aku yakin sekali kalau Eksanti pasti tidak mengenakan bra saat itu.
Tanpa sempat duduk lagi, Eksanti langsung mengajak aku berangkat.
Aku merangkul pinggangnya, Eksanti menjadi agak kikuk. Ia takut kalau teman-teman kostnya menyaksikan kemesraanku kepadanya.
Begitu masuk ke dalam mobil.. karena sudah tidak tertahankan lagi..
aku memohon agar diijinkan untuk mengecup bibirnya yang merah merekah dan selalu tampak basah itu.
Kulit mulus punggungnya yang terbuka itu aku belai lembut dengan jemari tanganku dan aku memeluknya erat. Ternyata dugaanku benar.
Saat dadanya kutekan erat-erat ke arah dadaku, Ughh.. terasa gumpalan daging yang kenyal tanpa terlindungi bra menempel erat di dadaku.
Denyut jantungku langsung berdetak cepat.
Kemudian mobil mulai aku jalankan dan tangan Eksanti diletakkannya di atas paha kiriku sambil kadang-kadang memijit pahaku.
“Mau makan di mana, Santi ..?” Aku bertanya untuk meminta usulannya.
“Terserah Mas, deh” jawabnya pendek.
“Kalau makan steak, Santi suka nggak..?” Tanyaku lagi.
“Mau Mas, malah sebenarnya Santi sudah agak lama nggak pernah makan steak..” katanya.
“Ke Tonny Roma’s, setuju..?” Aku bertanya lagi untuk menegaskan keinginannya.
“Okay, Mas..”,Ia mengangguk, sambil tersenyum
Akhirnya kami menuju ke sebuah restoran di sekitar bundaran Ratu Plaza.
Saat turun dari mobil dan masuk ke dalam restoran itu, entah mengapa, kali ini malah Eksanti yang tanpa canggung selalu merangkul pinggangku.
Eksanti duduk di sebelah kananku. Memang aku sudah mengatur posisi duduk kami sedemikan rupa..
supaya tangan kananku bisa selalu berdekatan dengan paha kirinya yang terbuka sampai ke atas.
Aku berencana untuk memulai ‘kenakalanku’, dari sejak saat makan malam ini.
Malam itu sikap Eksanti sungguh sangat berbeda dengan sikapnya sewaktu kami menonton film beberapa hari yang lalu.
Kali ini Eksanti tampak begitu ceria dan manja.
Saat makan.. sengaja dalam posisi duduknya Eksanti merapatkan tubuhnya ke tubuhku serta tangannya selalu memegang pahaku.
Sebelum memulai aksiku di atas kulit mulus pahanya.. tanganku kugunakan untuk mengusap-usap kulit lembut punggungnya yang terbuka.
Untung saat itu rumah makan masih sepi pengunjung.. sehingga tanganku agak bebas ‘berkarya’.
Setelah puas meraba-raba punggungnya.. sambil seolah-olah merangkul pinggangnya, dengan lincah aku susupkan tanganku ke dalam roknya.
Selanjutnya dengan perlahan merayap ke daerah pinggang, meremas-remas lembut di sana sebentar.
Kemudian sedikit turun merayap ke depan, kini tanganku bisa merasakan karet atas celana dalam yang menjepit di atas perutnya.
Beberapa saat kemudian tanganku kutarik untuk bergerak ke atas.. kini menyusup ke bawah ketiaknya dan akhirnya menuju ke samping depan.
Aku rasakan ujung jari-jemariku dapat menyentuh bagian samping payudaranya yang benar-benar masih kenyal.
Pekerjaaan tanganku berhenti saat waitress membawa makanan ke arah meja kami.
Pada saat makan, tanganku mulai lagi meraba pahanya kiri yang terbuka itu. Eksanti betul-betul penuh pengertian.
Saat-saat tangan kananku sibuk meremas gemas pahanya.. ia membantuku memotong-motong kecil daging di atas piringku..
kemudian menyuapkannya ke dalam mulutku.
Tanganku benar-benar ia beri keleluasaan untuk bermain di sepanjang paha mulusnya..
Bahkan mengakses sampai ke bibir kewanitaannya pun sempat aku remas gemas dengan penuh kemesraan.
Supaya tidak tampak terlalu mencurigakan.. teradang tangan kananku kupakai pula untuk menyendok makananku lagi..
tetapi memang lebih sering kugunakan untuk 'berkarya' di sekujur paha dan pangkal kewanitaannya.
Eksanti masih terus menyuapiku dengan makanan.. hingga suatu saat Eksanti mendesah..
Tangannya memegang tanganku erat-erat seraya berkata.. “Ssshhh.. Masss.. jari tangan Mas benar-benar hebat, bisa membuat Eksanti basah..”
"Hmm..?" Mulanya aku tidak percaya.. maka kuraba kembali kewanitaannya. Wow.. Ternyata benar.. celana dalam Eksanti terasa sangat lembab.
Apalagi di sekitar lubang kewanitaannya. Tiba-tiba aku mendapat ide gila yang mungkin agak jorok.
Ujung jari telunjukku aku masukkan ke lubang surgawinya.. agar bisa mengait lendir yang menempel di bibir kewanitaannya.
Ternyata usahaku berhasil. Kulihat ada lendir kental bening mirip santan menempel di ujung telunjukku.
Slrup.. segara kujilat lendir itu dan kutelan bersama makanan yang disuapkan oleh Eksanti.
Aku betul-betul merasa 'hot' makan daging steak dicampur lendir kenikmatan Eksanti.
Kudekatkan mulutku ke telinga Eksanti sambil berbisik,, “Santi, Mas sayang kamu..” Eksanti tampak tertegun sejenak melihat ulah nekatku.
Namun ia tersenyum manis dan menjawab lembut sambil mencium pipiku.. “Mas, sabar yaa.. Sebentar lagi.
Malam ini Santi akan menjadi milik Mas sepenuhnya. Santi akan memberikan segalanya yang terbaik untuk Mas nanti. Percayalah..”
oOo
Selesai acara makan malam.. karena aku merasa sudah mendapat lampu hijau dari Eksanti.. maka tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu..
aku langsung mengarahkan stir mobilku menuju motel favorit kami di daerah Selatan Jakarta.
Motel itu berjarak tidak terlampau jauh dari tempat kami makan sebelumnya.
Begitu sampai di gerbang kompleks motel itu, segera kubelokkan mobilku dan langsung memasuki sebuah garasi..
yang memang sudah disiapkan oleh petugas di sana untuk mobilku.
Sepertinya mereka sudah cukup hapal dengan plat mobilku.. sehingga merekapun tau letak kamar favorit kami berdua.
Begitu pintu garasi tertutup.. aku melirik Eksanti untuk melihat ekspresi wajahnya, ia sedikit tersenyum.
Dengan tidak sabar, kami langsung keluar dari mobil menuju kamar.
Eksanti dengan manjanya berjalan merangkul pinggangku, badannya digayutkan ke tubuhku sepenuhnya.
Aku segera membereskan administrasi motel.. memberi sedikit tips kepada petugas yang telah selesai menyiapkan air minum..
sabun dan handuk untuk kami dan langsung mengunci pintu.
Ketika kami tinggal berdua di dalam kamar motel, Eksanti tiba-tiba bertanya.. “Mas, ‘pengin banget’ ya..?”
“Kepingin apa..?” Aku balik bertanya dengan nada bercanda.
“Nggak tau ach..!” Eksanti tersipu malu.
Kucubit hidungnya.. kami bercanda dengan penuh kemesraan.
Walaupun gelora birahiku sebenarnya sudah sangat ingin aku ledakkan, tetapi aku masih bertahan untuk tidak segera mengumbar nafsuku.
Kali ini aku ingin lebih berlama-lama bercanda, bercerita.. bermesraan, menikmati saat-saat terakhirku dengan Eksanti.
Aku benar-benar tidak ingin terlalu terburu-buru.
Tak terasa 1 jam sudah kami berada di kamar motel hanya mengobrol, benar-benar hanya mengobrol, tanpa melakukan aktifitas fisik apa-apa.
Entah mengapa, dari obrolan-obrolan yang kami lakukan.. kurasakan bahwa Eksanti yang saat ini berada di depan mataku adalah milik Yoga.
Milik orang lain.
Aku ingin.. kalaupun malam ini akan terjadi percintaan di antara kami berdua, penegasan itu muncul dari mulut Eksanti..
bahwa iapun sungguh-sungguh menginginkannya.
Aku tidak mau dikasihani. Dan aku juga tidak mau memaksa, walaupun sebenarnya aku sangat ingin melakukannya.
Sampai akhirnya.. tiba-tiba.. “Mas, tidak ingin bermesraan dengan Santi malam ini..?” Katanya sambil memelukku.
Aku melihat, kali ini mimik wajahnya serius.
“Aku ingin sekali, Santi, sungguh aku ingin sekali. Tetapi aku takut, kalau kamu masih bimbang untuk menerima keberadaanku bersamamu malam ini.”
“Lakukanlah Mas.. Santi rela dan benar-benar mengharapkan belaian Mas..”
Aku terharu mendengarnya dan tanpa membuang waktu lagi, aku memeluk erat tubuhnya.
Dua buah gunung kembarnya terasa mengganjal di dadaku, menghantarkan aliran gairah yang bergejolak.
Rrrrbbb.. Kejantananku langsung mengeras dan membesar.
Eksanti merangkul leherku erat-erat hingga permainan ciuman mulut, bibir dan lidah kami berlangsung dengan hangat dan penuh kemesraan.
Saat aku menciumnya, aku mengecup dalam-dalam bibirnya dengan penuh perasaan..
sehingga Eksanti bukan hanya merasakan kenikmatan saja tetapi juga merasakan kasih sayangku.
Dengan penuh perasaan, aku menciumi seluruh wajahnya yang cantik.
Eksanti membalasnya dengan penuh gairah. Bibir kami saling melumat dan mengisap.
Tanganku mulai beraksi meremas buah dadanya, mengusapnya lembut. Eksanti pun balas meremas batang kejantananku.
Beberapa saat setelah berciuman dengan mesranya, tanganku mulai meraba lembut kulit punggungnya yang terbuka.
Kurasakan tubuh Eksanti yang hangat di belakang sana. Tanganku beralih memegang tali gaun di kedua bagian pundaknya..
Srttt.. lalu kutarik ke samping. Eksanti membantu dengan meluruskan tangannya ke atas.. sehingga gaun bagian atasnya langsung terlepas.
Blubb. Payudaranya yang masih kenyal dan hangat terlihat dengan jelas di depan mataku.
Putingnya kelihatan mulai membesar dan menegang dengan warna merah padma.. membuat aku semakin terpesona.
Sambil terus berciuman, satu persatu pakaian Eksanti terlepas dan terhempas ke lantai.
Kini Eksanti hanya menyisakan celana dalam yang membalut tubuhnya saja.
Tubuh Eksanti kuangkat.. lalu kubaringkan di atas ranjang dengan masih memakai celana dalam saja.
Tapi hal itu tak berlangsung lama, aku segera melepaskan penutup terakhir tubuh Santi itu.
Tampak kewanitaannya yang seperti bukit kecil itu tertutup oleh rambut yang cukup lebat.
Aku kemudian melepas T-shirt dan celana panjangku..
sambil memandangi tubuh indah Eksanti yang terbaring di atas ranjang dengan pose yang sangat menggiurkan.
Eksanti pun tidak mau kalah.. segera ia melepas penutup terakhir tubuhku.
“Occh.. gemes sekali deh Mas, kalau Santi ngelihat yang ini..!” Matanya berbinar-binar tajam menatap tajam ke arah kejantananku.
“Memangnya punya Mas Yogamu ..?” Aku belum sampai pada ujung kalimat pertanyaanku dan langsung dipotong oleh Eksanti..
“.. Paling separohnya..! Achh, Mas jangan ngomongin dia lagi sekarang ach..!!” Jawabnya dengan nada kesal.
Meskipun kekesalan Eksanti itu diucapkannya dengan nafas yang memburu dan wajah yang sedikit memerah menahan gairah..
namun aku bisa merasakan bahwa kejantanan Yoga mungkin relatif lebih kecil dibandingkan milikku.
Tetapi dalam kondisi seperti saat ini, untuk apa aku harus membanding-bandingkannya, masa bodoh saja.
Dalam keadaan tanpa sehelai benangpun, kami terus saling memberikan rangsangan ke titik-titik gairah yang semakin membakar birahi kami.
Aku merebahkan tubuh ramping Eksanti ke atas ranjang.. kupandangi tubuhnya yang indah.
Payudaranya yang mencuat menantang.. kulit putih mulusnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus..
rambut kewanitaannya nampak hitam berjejer rapi layaknya barisan semut sampai ke pusarnya, membuat nafsuku semakin memuncak.
Aku mendekati kepala Eksanti.. kemudian mulai mencium wajah cantiknya.
Sementara tanganku menjelajahi seluruh lembah dan bukit puncak payudaranya.
Jari-jemariku merayap ke bawah membelai lembut sampai ke pusar dan perut rampingnya.
Ciumanku beranjak turun, segera lidahku mulai menelusuri lehernya yang jenjangnya.
Terus turun.. menuju ke bukit-bukit payudaranya yang sangat menantang.. kuciumi dengan lembut bergantian yang kiri lalu yang kanan.
Putingnya yang tampak telah menegang dan memerah warnanya itu.. aku isap, kujilati dan kadang kugigit-gigit pelan dengan jepitan bibirku.
Sementara tanganku semakin liar beraksi di sekitar celah kewanitaan dan pahanya.
Sekali-kali rambut kewanitaannya aku usap-usap lembut perlahan.. sambil jari tengahku menggelitik daging kecil di antara celahnya.
Kacang kecil itu mulai nampak memerah, berdenyut cepat, mengembang mengempis seperti jantung manusia.
Eksanti makin mendesah hebat, “Aaach..!!” Kepalaku semakin turun ke arah bawah tubuh indah Eksanti.
Lidahku mulai menyapu-nyapu perutnya, pelan.. makin ke bawah sampai pubis di daerah sekitar kewanitaannya.
Kugoyangkan kepalaku ke kanan dan kiri.. hingga bibirku ikut membasahi kulit mulus kedua pahanya.
Tanganku terus mengusap-usap dan memijit betis serta telapak kakinya.
Ciuman dan jilatan lidahku semakin beranjak turun menuju ke lututnya, kemudian turun lagi ke betis, tumit kaki, lalu berakhir di telapak kakinya.
Jari-jemari kakinya pun aku isap satu persatu, hingga semuanya basah oleh air liurku.
Eksanti kegelian. Kepalaku beranjak naik. Bibirku mulai mengisap daerah selangkangan Eksanti dengan membuka lebar-lebar kedua pahanya.
Lalu dengan sedikit kasar, daerah di antara anus dan kewanitaan itu aku cium.. aku kecup.. aku jilat.. aku gigit.. semuanya.
Eksanti mendesah-desah nikmat dan terasa mulai ada cairan lendir bening yang menetes keluar dari celah surgawinya.
"Masss..! Terus.. mass..!” Eksanti mulai meracau, pertanda bahwa birahinya sudah makin memuncak.
Aku semakin bersemangat, seluruh lekuk tubuh Eksanti tidak ada yang lolos dari jilatan lidahku.
Kepalaku masih berada di bagian bawah, terjepit di antara kedua paha mulusnya. Jemari tanganku menyibakkan bulu kewanitaannya yang hitam.
Lidahku mulai asyik menjilati kacang kecilnya dan kadang menerobos, mengoyak, mencabik celah kewanitaannya.
Eksanti semakin mengerang nikmat, rambutku diremas-remas kuat saat klitorisnya aku isap-isap lembut dengan jepitan bibirku.
“Sudah Mass.. Santi nggak tahan..!” Tetapi aku masih belum merasa puas menikmati keindahan gelinjang tubuh dan ekspresi nikmat di wajah Eksanti.
Lidahku semakin asyik bermain di liang senggamanya dan aku ingin lebih dari itu .
Aku mulai memasukkan satu jariku ke dalam rongga kewanitaannya, sementara lidahku terus menjilati klitorisnya.
Jari-jemariku berputar mencari titik g-spotnya. Tanganku yang lain asyik meremas payudaranya dan memilin-milin putingnya sampai mencuat mengeras.
Seluruh tubuh Santi meliuk-liuk menahan kenikmatan yang aku berikan.
Hampir setengah jam aku tiada henti memainkan emosi jiwa dan birahi Eksanti.
Hingga akhirnya tubuh Eksanti mengejang kaku dan berteriak panjang melepas orgasmenya yang pertama.
Terlihat dari lubang kewanitaannya mengalir deras cairan cintanya.
Mulutku langsung mencucup ke arah lubang itu dan aku sedot kuat-kuat.. hingga sruuuttt.. lendir birahinya masuk ke dalam mulutku.
Aku menggelitik terus selangkangannya supaya cairan cintanya keluar lebih banyak lagi.
Ternyata benar, Eksanti masih mengeluarkan lebih banyak lagi cairan cintanya yang langsung masuk semuanya ke dalam mulutku.
Rasanya agak asin-asin, asam dengan bau yang sangat khas. Birahiku menjadi lebih panas, berkobar-kobar lebih hebat setelah meminum lendir cintanya.
Eksanti diam sejenak, mungkin menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja dialaminya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Eksanti tiba-tiba berdiri dan mendorong tubuhku hingga terlentang di atas kasur.
Langsung saja Eksanti aku ajak bermain dengan pose 69.
Aku segera naik ke atas tubuhnya dan kejantananku aku posisikan di persis hadapan mulut Eksanti.
Ia dengan sigap mulai mempermainkan batang keperkasaanku dengan lidah dan mulutnya.
Aku sendiri kembali menyingkap bulu-bulu pubisnya yang rimbun itu.
Aku menjilat-jilat liar klitorisnya, menggigit-gigit lembut dan kadang-kadang aku kembali menarik-nariknya dengan jepitan bibirku.
Eksanti tampak terangsang sekali dengan permainan mulutku di daerah kewanitaannya itu.
Apalagi pahanya sekarang aku buka lebar-lebar dan daerah selangkangan antara anus dan kewanitaannya aku gosok terus dengan jari-jemariku..
kadang-kadang aku jilati lagi.
Begitu klitorisnya aku getar-getarkan dengan ujung lidahku yang bergerak begitu cepat..
hanya semenit saja Eksanti sudah berontak dengan kaki dan pantatnya digerakkan ke sana ke mari.
Ia kemudian mengaduh keras, “Occhhh mass.. Santi nggak tahan.. Santi keluarrr.. lemas masss.. ouchhh..”
Srrr.. srrr.. srrr.. srrr.. Saat itu terasa lendirnya meleleh deras dan kembali membasahi ujung hidungku.
Segera mulutku kembali mencucup lubang kewanitaannya.. kusedot semua lendir cinta yang keluar dari lubang surgawinya.
Sungguh.. akupun juga merasakan nikmat dari lelehan lendirnya itu.
Kewanitaan Eksanti menjadi basah semua, campuran antara air liurku dengan lendir cintanya.
Setelah gelombang birahinya mereda, aku sekarang membelai rambutnya dan mengusap keringat yang banyak muncul membasahi keningnya..
seraya bertanya, “Eksanti, kamu sudah capai..?”
“Belum Mas, Eksanti cuma lemas saja karena nggak kuat menahan kenikmatan yang luar biasa dari permainan lidah Mas tadi.
Rasanya sampai ujung rambut dan ujung kaki Mas..” sahutnya.
“Kalau begitu kita bercinta lagi yaa..?” Pintaku.
Eksanti mengganggukan kepala sambil tersenyum.. “Mas tadi curang, ntar Santi mau balas..!” Ia menambahkan.
Lalu dengan lincahnya lidah Eksanti yang hangat mulai menelusuri tubuhku. Sekarang aku yang mendesah tak karuan.
Apalagi dengan ganasnya Eksanti menjilat-jilat puting dadaku.
Diisapnya pelan dan kadang digigit, sementara tangannya dengan lembut mengocok kejantananku yang kian membengkak dan mengeras.
“Santiii.. Mas sudah nggak tahan..!” Erangku menahan kenikmatan.
Tetapi sepertinya Eksanti tidak peduli. Kini kejantananku sudah berada di dalam mulutnya yang mungil..
sementara jari-jarinya tetap mengelus-ngelus dadaku dan menjentik-jentik puting dadaku..
membuat seluruh aliran darahku bergejolak menahan kenikmatan yang luar biasa.
Tanganku dengan gemas meremas pinggul dan buah pantat Santi yang kenyal. Payudaranya juga terus aku elus dan putingnya aku pilin lembut.
Nafsu Eksanti kembali bangkit dan ia langsung menduduki kejantananku yang sudah basah oleh lumasan air liurnya.
Jari-jemarinya membimbing kejantananku memasuki celah kewanitaannya.
Berapakali sudah kepala kejantananku meleset dan mengenai buah pantat Eksanti.
Dalam posisi seperti ini memang agak sulit, karena bibir kewanitaan Eksanti agak mengering.
Cairan cintanya telah habis terkuras tadi, apalagi lobang kewanitaan Eksanti memang masih tampak sangat rapat.
Jari-jemariku saja tadi masih terasa terjepit keras oleh denyutan dinding-dinding kewanitaannya, apalagi kejantananku nanti..
“Mas di atas deh..!” Akhirnya Eksanti menyerah.
Aku membuka paha Eksanti lebar-lebar, bulu kewanitaannya yang hitam aku sibakkan ke samping.
Slepp.. slepp..slepp.. Dengan perlahan-lahan kejantananku aku gosok-gosokkan di sekitar daging kecil merahnya.
Eksanti dengan rasa tidak sabar langsung saja memegang batang kejantananku dan mengarahkan ujung kepalanya ke sasaran.
“Tekan Masss..! Yang kerass..” pandunya padaku.
Segera memajukan pinggulku sedikit.. Blessshh..! “Achhh..” Eksanti menjerit lirih saat kepala kejantananku terbenam.
“Kenapa Santiii..? Sakit..?” Aku kuatir Eksanti merasa kesakitan. Eksanti hanya menggeleng dan semakin erat memelukku.
Oughh.. Jepitan bibir kewanitaan Eksanti di batang kejantananku sungguh luar biasa nikmatnya.
Benar-benar sesak.. membuat kejantananku semakin membengkak dan mengeras.
Perlahan aku mulai memompa, setengah kejantananku terdorong masuk, lalu aku tarik kembali, masuk lagi, tarik lagi, begitu seterusnya.
Sementara erangan dari mulut Eksanti semakin tidak jelas..
Dengus nafas kami berdua sudah seperti lokomotif tua menahan kenikmatan yang kian menyerang tubuh kami.
Gerakanku semakin cepat dan tidak beraturan.
“Oh.. masss.. nik.. mat..! Santi mau keluar..!”
“Tahan Santii..! Mas juga mau keluar..”
Akhirnya saat kejantananku aku sentakkan kuat, hingga amblas sedalam-dalamnya, sekujur tubuh Eksanti bergetar hebat.
Kedua tangannya menahan pantatku agar menusuk semakin dalam, kedua kakinya yang mulus menjepit kuat pundakku.
“Aacchhh.. Masss..” Santi sudah orgasme lagi.
Kejantananku terasa hangat akibat semburan air cinta dari dalam kewanitaan Eksanti..
sementara aku sendiri mencoba bertahan sekuat mungkin agar spermaku jangan sampai keluar terlebih dahulu.
Terjanganku semakin melambat untuk memberikan keleluasaan bagi Eksanti menikmati sisa-sisa orgasmenya.
Aku diamkan sejenak kejantananku di dalam kewanitaan Eksanti, menikmati denyutan-denyutan lembut di seluruh batang kejantananku.
“Mas.. Santi puas sekali, multi orgasme Santi datang betubi-tubi..” Santi mengerang lirih.
“Memangnya, sebelumnya Santi nggak pernah ngalamin yang seperti ini..?”Aku sedikit heran mendengar ungkapannya.
“Entahlah.. sepertinya yang ini lain. Mas, belum keluar ya..?” Eksanti balik bertanya kepadaku.
“He-eh..” aku mengangguk.
“Kenapa..? Nggak enak, ya..?” Eksanti merasa bersalah.
“Enggak, bukan itu. Malam ini aku hanya ingin memberikan kepuasan yang maksimal untuk Santi..!” Kataku sambil mengecup lembut keningnya.
“Jangan begitu dong.. Mas kan belum..? Ayo dong..! Keluarin..!” Eksanti merengek manja.
“Kamu masih kuat..?” Tanyaku.
“He-em..” Eksanti mengangguk mantap.
Kejantananku yang masih menegang di dalam kewanitaan Eksanti mulai aku naik-turunkan kembali.
Dengan lembut namun bertenaga kudorong batang kejantananku pelan-pelan ke lubang kewanitaannya.
Kemudian aku tarik keluar lagi pelan-pelan. Setelah masuk.. keluar.. masuk.. keluar.. dengan lancar berulang-ulang..
Jlebb.. lalu kejantananku langsung aku benamkan seluruhnya ke dalam kewanitaannya.
Eksanti menghela napas panjang menahan sakit dan nikmatnya akibat masuknya terlalu cepat ke dalam.
Karena itu aku gerakkan pantatku memutar searah jarum jam. Pelan tapi pasti, Eksanti mulai terbawa nafsu kembali.
Luar biasa.. padahal Eksanti sudah 3-4 kali menikmati orgasmenya, tapi ternyata dia masih menginginkannya lagi. Aku semakin bersemangat.
Eksanti menjerit-jerit nikmat karena klitorisnya tergesek oleh bulu-bulu pubisku..
dan dinding dalam kewanitaannya tergesek-gesek oleh otot-otot kekar batang kejantananku yang mengeras.
Dan akhirnya Eksanti pun kembali mampu dengan lincah menggoyang-goyangkan pinggulnya mengimbangi tusukan-tusukan kejantananku.
Ia berbisik lirih.. “Ouucchh.. Masss.. nikmattt.. rasanya luar biasa. Aku mau sampaiii.. lagi mass..”
Mendengar bisikannya itu, aku langsung mencium payudaranya yang sebelah kiri..
karena Eksanti sering mengatakan payudara kirinya lebih sensitif daripada yang kanan. Putingnya langsung aku getarkan lagi dengan ujung lidahku.
Tidak beberapa lama kemudian, hanya beberapa detik, terasa kewanitaannya mencengkeram kejantananku dan berdenyut-denyut cepat.
Kembali ada lendir hangat yang menyiram kejantananku. Eksanti sudah mencapai klimaksnya yang kesekiankali, ia tampak terkulai lemas.
“Capek, Santi..?” Tanyaku.
“Iya.. Mas..” sahutnya lirih manja.
“Tolong Mas, please.. Eksanti mau merasakan air maninya Mas di kewanitaanku..” pintanya.
“Sekarang ..?” Tanyaku
“Iya.. mas..” ia menjawab mantap.
“Tahan sebentar lagi yaa.. nanti aku semprotkan..” aku semakin bersemangat.
Limabelas menit kembali berlalu.. peluh sudah membasahi seluruh tubuh kami
Berbagai gaya sudah aku jalani dan Eksanti sungguh pandai mengimbanginya.
Apalagi waktu doggy style.. goyangan pantatnya sungguh nikmat sekali. Aku hampir tidak tahan.
Aku segera membalikkan Eksanti ke posisi konvensional, saling berhadapan, sambil terus menusuk.
Kuisap ganas kedua bukit payudara Eksanti yang sexy. Putingnya yang tegang mencuat, aku isap kuat-kuat.
Eksanti mengerang hebat dan dia membalas dengan mengusap-usap pula puting dadaku. Ternyata disinilah kelemahanku.
Rasa nikmat yang aku terima dari dua arah, dada dan kejantananku, membuat seluruh sumsumku bergetar hebat.
“Sannti.. Mas mau keluar.. Santiiiii..!”
“Bareng, Mas..! Ayoo lebih cepat..!”
Dengan menguras seluruh kemampuanku, aku terus mempercepat tusukanku. Clebb-clebb-clebb-crebb-crebb-crebb-clebb-clebb..
Erghh.. Kepala kejantananku rasanya sudah menggembung menahan sperma yang akan muncrat.
Gerakan pantatku sudah tidak beraturan lagi.. hingga akhirnya.. saat tusukanku semakin keras..
ditambah puting dadaku dipilin keduanya oleh jemari lentik Eksanti.. aku merasa akan segera melepaskan puncak ejakulasiku.
Aku mengkonsentrasikan segenap pikiranku pada segala keindahan tubuh Eksanti yang ada di depan mataku.
Ekspresi wajahnya sangat sensual, bibirnya yang merah basah tampak semakin merangsang.
Kugenjot terus.. menggerakkan kejantananku naik-turun di liang vaginanya.. semakin lama semakin cepat.
Clebb-slebb-clebb-srebb-crebb-crebb-slebb-clebb-clebb-clebb..
Sampai suatu saat Eksanti menggeliat, menggelinjang tak keruan sambil menarik lepas sprei dan meremas-remasnya.
Dan akhirnya.. plass.. plass.. plass.. cratt..cratt..crett..crett..crett..
Air maniku tumpah ruah, sambil aku tekankan dan benamkan kejantananku dalam-dalam di kewanitaannya.
Eksanti merasakan semburan kehangatan yang sangat ia inginkan di dalam rongga rahimnya.
“Achhh..! Aku keluar Santiii..!”
“Ssshhh.. aaccchhh, Eksanti merasakan kehangatan yang luar biasa dari air manimu, mas”
Eksanti pun orgasme lagi untuk yang ke sekian kalinya. Kejantananku kembali merasakan bibir kewanitaannya berdenyut-denyut.
Kuku-kuku jemari tangannya menancap keras di pundakku dan tubuhnya mengejang kaku.
“Achhh..!” Eksanti menjerit keras seiring dengan gerakan pinggulku yang terakhir.
Yah.. kami orgasme bersamaan. Ugh.. betapa nikmatnya..
oOo
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Eksanti merebahkan kepalanya di dadaku.
Aku hanya mampu membelai-belai lembut rambutnya. Aku mencium mesra keningnya dan kami berdua tekulai lemas berpelukan.
Setelah beberapa saat, tidak terasa kami tertidur lelap bertindihan sambil berpelukan. Tiba-tiba Eksanti terbangun.
Jam telah menunjukkan pukul 1 dinihari. Eksanti cepat-cepat beranjak dari pembaringan..
menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari segenap cairan cinta kami yang membasahi kewanitaannya.
Setelah selesai, ia mengambil handuk yang dibasahi dengan air hangat lalu membersihkan kejantananku.
Aku masih tetap terlelap di atas tempat tidurku. Begitu aku merasakan kehangatan di bawah sana, akupun terbangun.
Eksanti menatapku dengan tersenyum manis.
Setelah kejantananku bersih, sesaat ia mengecup ujung kepalanya lalu Eksanti bergegas memakai gaunnya kembali.
Celana dalamnya tidak ia kenakan, hanya dilipat dan dimasukkan ke dalam tas kecilnya.
Celana dalam itu masih basah terkena lendir saat aku permainkan kewanitaannya di restoran tadi malam.
Demikian pula denganku, aku segera mengenakan pakaian dan bersiap untuk keluar dari motel ini
oOo
“Santi, kapan kamu benar-benar effektif off dari kantor kita..?” aku bertanya kepada Eksanti dalam perjalanan kami pulang.
“Mungkin minggu depan, saat akhir bulan. Surat persetujuan pengunduran diri dari personalia sudah Santi terima.
Perusahaan yang baru juga sudah menyiapkan segala kebutuhanku di tempat baru..” ia menjawab pertanyaanku dengan mata menerawang.
“Terus.. Santi, jadi menikah dengan Yoga..?” Aku kembali bertanya mengagetkannya. Ada sedikit nada cemburu dalam pertanyaanku itu.
“Entahlah, mungkin masih 2-3 bulan baru sempat mikir persiapannya..” tatapan mata Eksanti semakin menerawang.
“Kenapa..?” Tanyaku dengan berhati-hati.
“Santi menunggu persetujuan penempatan Yoga di Jakarta dulu..” sahutnya tegas.
Tiba-tiba Eksanti merebahkan kepalanya ke bahuku sambil berkata.
“Eksanti sengaja nggak akan kawin cepat-cepat dulu kok Mas, nunggu kalau mungkin ada suatu mukjizat..”
“Maksud Santi..?” Tanyaku keheranan.
“Siapa tau suatu saat aku mendapat kabar gembira dari Mas. Dan akhirnya kita, aku dan Mas malah bisa menikah, bukan aku dengan Yoga..
Malam ini aku benar-benar merasakan kenikmatan yang sangat dari Mas. Lebih dari itu, Santi merasakan Mas menyayangi Santi dengan penuh kasih..
Kemesraan yang Mas ungkapkan kepada Santi, seperti layaknya kemesraan sepasang suami istri yang dipenuhi rasa cinta,
Bukan hanya sekedar nafsu semata..” ia menjelaskan dengan sesekali menghela nafas panjang.
“Benar..?” Aku menukas ucapannya dengan tersenyum.
“Semoga benar begitu, yaa.. Mas. Echh.. kapan-kapan kalau Eksanti kepingin.. masih boleh ‘kan merasakan kasih sayang Mas lagi..?”
Ia memohon sambil mencium mesra pipiku.
“Kapan saja Eksanti merasa kangen, Mas selalu akan bersedia nemenin. Tetapi Eksanti harus benar-benar mengatur waktunya..
jangan sampai hubunganmu dengan Yoga terganggu yaa..” pesanku.
Ia mengangguk, sambil sekali lagi menghela nafas panjang. Aku merasakan, ada suatu kebimbangan yang melanda fikirannya dengan hebat.
Saat mobilku sampai d depan pagar rumah kostnya, Eksanti tidak segera turun. Ia malah merangkul leherku dan menarik keras kepalaku.
Ia mencium seluruh wajahku dengan penuh perasaan. Terlihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Aku menjadi trenyuh dibuatnya.
Kubelai rambutnya.. juga kuusap matanya yang mulai berair.. sambil berbisik lirih.. ”Eksanti jangan sedih.
‘Kan kalau kamu mau.. setiap saat kita masih bisa bertemu. Santi malam ini sudah capek ‘kan..? Nanti langsung istirahat yaa..
Jangan melamun macam-macam yaa.. sayang..?” Aku berpesan sambil membelai lembut rambutnya.
Eksanti pun kemudian turun dari mobilku dengan tersenyum kecil.
Kuharap rasa gundahnya sedikir mencair.. setelah ia mendengarkan kata-kataku yang terakhir.
oOo
Seminggu sejak kejadian malam itu, Eksanti akhirnya benar-benar mengundurkan diri dari kantorku.
Ia pindah ke perusahaan lain, walaupun masih tetap berada di Jakarta.
Ia masih menjadi kekasih Yoga dan bahkan akan segera merencanakan pernikahannya.
Walaupun demikian, aku juga masih menjadi kekasih gelapnya.
Ia sering mengaku.. tidak pernah mencapai kepuasan dan kebahagiaan dari Yoga seperti yang ia peroleh dariku.
Tetapi bagaimanapun.. menurutku Eksanti memerlukan status yang jelas dan masa depan yang lebih pasti.
Sejujurnya.. aku tidak mau mengganggunya lagi. Tetapi, sanggupkah aku menahan rasa itu..? Entahlah.. Ahhh.. (. ) ( .)
-----------------------------------------------------------------------