Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[KOMPILASI] FROM OFFICE AFFAIR (CopasEdit dari Tetangga)

---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------

Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 9]

"Ya di situ itu
.. yang kemarin kita samperin tapi membingungkan itu, Ran..”
"Nyatanya nggak ada apa-apa kecuali tempat angker doang..” Ranu bersungut-sungut.

"Gue sendiri sampai sekarang masih heran lho. Bener kok. Tempo hari, gue dalam keadaan sadar masuk ke situ.
Dituntun ama dia. Tapi, waktu kita ke sana kok bisa nggak ada dia punya pintu kamar, ya..?"

Citra jadi ikut merenungkan kembali soal misteri kamar Gizma itu.
"Apa enaknya kita ke sana lagi, Ran..?"

"Kapan..? Sekarang..? Huh.. ogah. Mendingan disuruh maju ke medan perang daripada kebingungan di sarang hantu itu..”
Citra jadi tertawa geli. Jam tangannya menunjuk ke pukul 11 malam lewat 10 menit.

Citra akhirnya mengajak Ranu pulang.
Ranu memanggil pelayan untuk menghitung jumlah makanan dan minuman yang harus dibayar.

Tetapi pelayan lelaki itu bilang.. "Kan sudah dibayar, Bang..”
"Sudah dibayar..?" Ranu memandang Citra.

"Belum. Gue belum bayar kok..”
"Siapa yang bayar. Mas..?" Tanya Ranu.

“Itu.. Tante yang duduk di pojokan sana. Yang pakai jaket coklat, tuh..”
Mata Ranu dan Citra membelalak, lalu keduanya tersenyum.

Gizma sedang duduk sendirian menikmati minumannya. Ia melambai sewaktu Citra dan Ranu memandangnya..
Mereka berdua bergegas mendekati Gizma.

"Brengsek lu, Giz. Pasti udah daritadi nongkrong di sini, ya..?" kata Citra ikut duduk di samping Gizma.
"Sudah lama aku di sini. Sebelum kalian datang aku sudah nongkrong di sini..” kata Gizma.

"Kok nggak gabung ke kita..?" Kata Ranu. Gizma tersenyum manis, memandang minumannya. Ia berkata pelan..
“Takut mengganggu keasyikan kalian..”
"Ah, keasyikan apa..? Kami cuma ngobrol-ngobrol biasa..” sergah Citra.

"Eh, Giz.. ada yang naksir kamu..” bisik Citra. Ranu melengos karena mendengar bisikan itu.
Ranu malu juga kalau Citra menyampaikan soal kata-katanya tadi di depan dia sendiri.

Untung saat itu Citra bisik-bisik di telinga Gizma dan mereka berdua akhirnya jadi mengikik tertahan.
Ranu jadi salah tingkah.

Dengan suara kalem, tapi bisa didengar oleh mereka, Gizma berkata..
"Lelaki yang naksir aku adalah lelaki yang malang nasibnya..”

"Apa hatimu tertutup dan beku membatu..?" Sahut Ranu tiba-tiba.
Gizma hanya tersenyum getir. Ranu kembali tersipu, tak sadar ia terpancing oleh kata-kata Gizma.

Pada saat itu, ada dua pemuda yang mabuk yang jalannya sempoyongan.
Dari kejauhan mereka telah sama-sama ngoceh tak karuan. Sampai di meja Gizma mereka berdua berhenti.

Yang mengenakan topi berkata.. "Bob.. lihat tuh ada dua bidadari. Lu pilih yang mana..?"
Yang dipanggil Bob menjawab.. "Cakepan yang itu. Yang pakai jaket..”

"Hei, ngapain kalian di sini..? Ayo, sana..!" Usir Ranu.
"Emangnya ini Pujasera punya bapak moyang lu..?" Kata yang pakai topi.

Ranu nyaris menampar pemuda itu, tapi tangannya segera dipegangi Citra.
Gizma sendiri berkata kalem.. "Biarkan saja, Ranu..”

Yang tadi dipanggil: Bob, mendekati Gizma dengan mata merahnya. Ia membungkuk..
kedua tangannya berada di atas meja depan Gizma. Ranu menahan kemarahan.

Bob memandang Gizma sambil cengar-cengir, lalu berkata mengambang..
"Lu.. lu cakep banget deh. Mendingan lu jadi bini gue. Nggak bakalan gue kasi pakaian lu. Iih.. cakep banget..”

Bob menyentuh dagu Gizma, namun kontan ia menjerit.. "Aaaow..!!” Dan semua mata memandang Bob.
Ranu dan Citra merasa heran sekali. Jari-jari Bob yang dipakai menyentuh dagu Gizma menjadi terbakar.
Pendek dan ujungnya membara.

Jari itu seperti karet yang disentuhkan ke dalam bara yang amat panas.. langsung mengkerut, lumer.
Tapi mengeras lagi dalam keadaan telah cacat begitu.

Mata Ranu mengerjap, sepertinya tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Sisa asap masih mengepul dari jari telunjuk Bob, menguarkan bau daging terbakar.

Bob sendiri menjerit-jerit histeris dengan tangan segera diguyur air oleh temannya.
Sedangkan Gizma tenang-tenang saja. Seakan tidak melihat kejadian itu.
Ia bahkan berkata kepada Citra.. "Kita pulang yuk..?”

Ranu dan Citra seperti mengalami masa syok yang cukup lama.
Waktu mereka melangkah melintasi tempat parkir Pujasera, mereka sama-sama tetap terbungkam.

Hanya hati dan pikiran mereka yang saling berkecamuk sendiri-sendiri..
Memikirkan keajaiban yang terjadi di depan mata mereka. Nyata dan jelas.

Gizma memanggil taksi, lalu mereka bertiga pulang naik taksi tersebut.
Gizma duduk di samping sopir, sedangkan Ranu dan Citra ada di jok belakang.

Jantung Ranu masih berdebar-debar karena peristiwa tadi.. sehingga ia masih saja membungkam mulut..
sekalipun Gizma dan Citra sudah terjalin pembicaraan tentang rumah kontrakan Citra.

"Kapan kau datang ke rumahku, Giz..?"
"Mungkin lusa. Lusa aku ..” Gizma berhenti bicara. Ia Justru berbisik kepada sopir taksi.. "Pelan-pelan, Bang..”

Taksi berjalan pelan, agak ke pinggir. Citra dan Ranu menjadi heran. Apalagi Gizma segera menyuruh taksi berhenti.
Citra pun segera bertanya.. “Ada apa, Giz?"
“Kita turun di sini saja, Tra. Nanti gampang disambung pakai taksi lain..”

Sekalipun merasa tidak paham dengan maksud Gizma, tetapi Citra dan Ranu turun juga dari taksi itu.
Mereka bertiga berdiri di pinggir jalan, di bawah jembatan penyeberangan.

"Aneh. Maumu sebenarnya apa sih, Giz..? Kok kita turun di sini..?"
"Lihat pemuda yang berdiri di seberang jalan itu..?" Bisik Gizma.

Ranu mendengar bisikan itu, kemudian menyahut..
"Hei.. kalau nggak salah mereka itu anak-anak yang suka nongkrong di depan plaza kita ya, Tra..?"
"O, iya. Benar. Maksudmu.. mereka yang ada di halte seberang jalan itu, kan..?"

"Perhatikan mereka..” sahut Gizma.
"Mungkinkah mereka menunggu bis kota pada malam seperti ini..?"

Karena Citra dan Ranu tidak memberi jawaban, maka Gizma pun berkata lagi..
“Tiga pemuda itu pasti mencari mangsa yang akan dijadikan pemuas nafsunya..”

"Hei, Giz.. yang pakai baju hijau. Itu.. itu yang namanya Sam. Ya, aku ingat. Dia waktu itu juga ada, Giz..”
Ranu tak perlu bertanya, ia sudah mengerti maksud Citra.

Pasti yang dimaksud adalah preman-preman yang berhasil memperkosa Citra.
Ranu baru tau kalau pemuda berbaju hijau itu juga termasuk satu pemuda yang merusak kesucian Citra.

Padahal Ranu kenal dengan anak itu. Sam, nama panggilannya. Nama aslinya Samingun. Tetangga belakang rumah Ranu.
Dia memang dikenal paling brengsek di kampungnya, sebab itu Ranu berlagak tidak mengenal Samingun.

"Terserah kau, Tra. Apakah dia yang ingin kau lenyapkan, atau bersama-sama kedua temannya itu..?" Bisik Gizma.
Citra belum sempat memberi keputusan. Ia telah melihat ketiga pemuda Itu bergerak menaiki jembatan penyeberangan.

Gawat. Mereka pasti akan tiba di tempat Citra, Ranu dan Gizma berdiri.
Mungkinkah mereka sengaja mendekati Citra..? "Gawat, Giz. Mereka ..”

Citra menghempaskan napas lagi, sebab kali ini Gizma telah hilang.
Dan, badan Citra menjadi dingin lagi. Dingin sekali sampai kedua tangan Citra terlipat di dada.

"Mereka kemari, Tra. Lekas lari pergi..” bisik Ranu.
Tapi, Citra diam saja. Matanya mulai memandang tajam, memperhatikan langkah kaki mereka bertiga.

Ranu tak tau kalau di dalam dada Citra mulai bergemuruh..
karena teringat kelakukan Sam saat memperlakukan Citra seperti binatang betina saja.
Dendam itu makin membara, mata itu makin tajam memandang.

Ranu memperhatikan Citra, memandang mereka di jembatan, memperhatikan Citra lagi.
Memandang mereka lagi. Ranu kelihatan bingung, tapi juga penasaran..
ingin mengetahui apa yang dilakukan Citra saat itu.

Tiba-tiba, Sam yang berjalan sambil tangannya memegangi besi pengaman di jembatan itu, menjerit seketika.
"Haaah.. hah.. aaah..!!” Suara Sam menggema. Bunyi gaduh tinggal sisanya.

Lantai jembatan itu keropos dan Sam terjeblos ke dalamnya.
Tubuhnya melayang, karena temannya gagal menangkap tangan Samingun.

Pada saat itu, ada sebuah mobil sedan yang sedang dikejar mobil patroli polisi.
Mobil itu melintas di bawah jembatan penyeberangan.. tepat pada saat itu tubuh Sam terjeblos ke bawah.

Mobil itu tak sempat menghindar. Tubuh Sam pun menjadi sasaran telak, dihantam dalam kecepatan tinggi.
"Saaammm..!!” Teriak temannya yang masih di atas jembatan.

Tubuh Sam terlempar, melayang ke depan mobil dalam keadaan berlumur darah.
Begitu jatuh di aspal, ban mobil menggilas perutnya. D
ari mulut Sam terlihat menyemburkan darah, cairan dan makanan yang menjadi isi perutnya.

Mobil itu tetap melesat, ngebut tanpa peduli tubuh Sam yang kejet-kejetan di aspal.
Sedangkan mobil polisi yang mengejar mobil sedan tadi juga tak sempat menghindari tubuh Samingun.

Pletokkk..!! Terdengar bunyi seperti sesuatu yang pecah. Mobil polisi berhenti dengan bunyi rem menjerit.
Kedua teman Sam berlarian dari atas jembatan sambil berteriak-teriak.

Ranu lari ke atas jembatan untuk melihat keadaan Sam di aspal. Ia berseru kepada Citra.. "Kepalanya pecah..!!”
Sam tak berkutik lagi. Darah menghambur ke mana-mana. Kepalanya remuk. Pecah dilindas mobil polisi.

Seandainya tak ada mobil lain, Sam tetap saja meregang mati..
karena duakali dihantam dan diliiridas mobil sedan curian itu.

Citra menghempaskan napas lega. Satu lagi dendamnya telah pudar.
Ia tersenyum melihat kematian Sam yang begitu tragis. Kini tinggal Yon dan Tom yang tersisa.

"Tinggal dua, Citra..?" Bisik Gizma yang tau-tau ada di belakang Citra.
Badan Citra pun menjadi panas.Hangat seperti sediakala.

Citra mulai curiga dengan perubahan-perubahan yang ia rasakan setiap menjelang kematian musuh-musuhnya.
Badan dingin, Gizma pergi.. dan ia mampu mencelakai korban sesuai dengan kehendak hatinya.

"Jangan lupa, malam ini juga kuminta hadiahnya, Citra..”
"Giz, malam-malam begini mana bisa aku mencari lelaki untukmu. Bagaimana kalau besok..?"

"Tidak, Citra. Harus sekarang. Malam Ini juga. Dan, aku yakin.. kau pasti bisa..”
"Giz.. kau tau sediri.. kan.. aku ..”

"Ssst, Ranu datang..” bisik Gizma.
"Tapi.. oh, tidak.. aku tidak bisa mengorbankan Ranu, Giz..”

"Kau bebas memilih, dan aku bebas menagih..” bisik Gizma sambil tersenyum.
"Kalau sampai nanti pagi kau belum membayar upahku, maka kau harus melunasi dengan nyawamu.
Eh, ini sesuai perjanjian kita lho..” bisik Gizma.

Kalau sampai besok, berarti Gizma akan mengamuk dan membunuh Citra, karena dianggap Citra membohonginya.
Sedangkan malam itu, adalah malam yang sepi.. dan Citra melihat di jalanan itu tak begitu banyak lelaki.
Bahkan tak ada satu pun yang pantas diberikan kepada Gizma. Hanya Ranu yang paling pantas.

Karena itu, Citra pun segera berkata kepada Ranu..
"Bagaimana kalau malam ini kau pulang ke rumahku, Ran..? Tidur sana saja deh..”

Ranu memandang Citra dalam kebimbangan pilihan.
-----oOo-----

Pukul satu malam kurang beberapa menit, Citra tiba di rumah. Sendirian.
Ranu menolak tawaran Citra untuk bermalam di rumahnya..

Karena saat itu Ranu lebih mementingkan mengantar Gizma pulang ke rumah.
Citra jadi gelisah memikirkan upah buat Gizma.

Baru saja ia membuka pintu.. tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.
Oom Piet turun dari mobil. Sendirian. Perasaan Citra tambah gelisah. Cemas.

Ia ingat pesan yang dititipkan Nico tadi sore tentang Kensi yang diopname di rumah sakit.
Oh, pasti telah terjadi sesuatu pada diri Kensi, pikir Citra.

Karenanya, ia segera menyambut kedatangan Oom Piet dengan sedikit tegang.
"Bagaimana Kensi, Oom..?" Oom Piet tidak langsung menjawab.

Menurut Citra, wajah Oom Piet sengaja dibuat tegang..
mungkin dengan maksud supaya tidak mengundang kecemasan bagi Citra.
Karena itu, Citra mengambilkan segelas air putih buat Oom Piet.

"Ada berita apa, Oom..? O ya.. maaf, aku belum bisa menjenguk Kensi di rumah sakit Aku.. aku sibuk sekali, Oom..”
"Tak apa..” jawab Oom Piet. "Kensi besok sudah pulang. Cuma menjalani operasi kecil..”

"Sakit apa sih..?"
"Amandelnya dibuang..”

"Ooo..” Citra melegakan napas. Pada saat itulah, tubuhnya tiba-tiba kembali merasa dingin.
Pintu pun ditutup oleh Citra, supaya udara dingin tidak terlalu masuk ke dalam rumah.

Namun, nyatanya tubuh Citra masih tetap merasa dingin.
la sempat meremas-remas lengan dan pundaknya sendiri. Ia duduk di meubel dengan Oom Piet.

"Jadi, ada keperluan apa Oom Piet datang kemari malam-malam begini..?"
Lelaki setengah baya itu tersenyum nakal. Mulai genit.
Ada kemuakan di hati Citra, tapi rasa muak itu bagal terpojok. Tak terlalu menonjol.

"Mau pinjam duit buat nebus Kensi..? Ah, kurasa.. aku nggak punya tabungan lagi, Oom..”
"Aku sudah siapkan biaya buat Kensi. Tak perlu pinjam duit sama kamu, Citra..”

"Lalu, maksud Oom kemari mau apa..?"
"Aku nggak bisa tidur..”
"Sakit..?"
Oom Piet menggeleng dengan matanya mulai sayu memandang Citra.

"Aku.. aku terlalu banyak memikirkan kamu, Citra. Makanya aku nekat datang kemari..”
Citra tersenyum malu. Hati kecilnya merasa heran sendiri, kenapa ia tersenyum.

Biasanya ia benci dengan cara Oom Piet memandangnya begitu.
Citra ingin mendobrak keinginan batinnya yang mendesirkan hati sejak tadi, tapi ia tidak bisa berbuat banyak.

Justru ia menjadi sering merinding karena desiran-desiran lembut di hatinya..
yang mulai menjalar ke bagian-bagian tubuhnya yang sensitif.

"Kupikir, memang ada benarnya juga kamu pindah ke mari, Tra..” kata Oom Piet.
"Mengurangi anggaran makan di rumah, maksudnya..?"

"Mengurangi bahaya di rumah..” jawab Oom Piet sambil tersenyum nakal.
Citra mendesah malu. "Sebentar, ya Oom. Aku baru saja datang, belum ganti baju...I"

Citra membersihkan diri ke kamar mandi, lalu ke kamar tidur.. mengganti pakaiannya di kamar.
Ia hendak mengenakan gaun tidur yang lembut dan enak dipakainya.

Tapi, pada saat ia hendak mengenakan pakaian tidur itu, Oom Piet rupanya menyusul masuk ke kamarnya.
"Ada yang bisa kubantu, Tra..?" Sapa Oom Piet sebagai alasan ia datang ke kamar Citra.

"Ah, Oom.. di luar dulu. Aku mau ganti baju..” Citra menyeringai malu..
menutup badannya dengan gaun yang hanya ditempelkan saja. Belum dikenakan.

Oom Piet nekat. Ia justru berkata sambil mendekat, "Mari kubantu mengenakannya..”
Gaun itu diambil Oom Piet. Anehnya, Citra melepaskan gaun itu sambil tersenyum-senyum.

Padahal biasanya ia pasti meronta dan mencak-mencak jika didekati oleh Oom Piet.
"Tapi, kurasa kau lebih indah jika tidur tanpa gaun ini, Citra. Gerakanmu bisa bebas, tidak terganggu kain gaun..”
"Masa’ sih..?” Oom Piet mengangguk.

"Kau tidur sama siapa di sini..?" Bisiknya sambil menggeraikan rambut lurus Citra.
"Sendirian. Memangnya kenapa..?"

"Aku temani, ya..?"
“Tante bagaimana..?"

"Di menunggu Kensi di rumah sakit.. kutemani kau satu malam ini saja, ya..?"
"Ahhh..” Citra hanya mendesah, karena saat itu Oom Piet mulai mengecup pundaknya.

Kecupan itu merayap ke tempat-tempat lainnya. Citra tidak melarang, dan juga tidak mengelak.
“Tra, aku kangen banget. Aku kangen..” bisik Oom Piet sambil terus menciumi dan membelai punggungnya.

Nafsu mereka semakin menggelora. Malam yang mencapai dini..
memberi kesempatan Citra untuk merasakan kemesraan oomnya sendiri.

Dalam jiwanya terjadi pergolakan antara setuju dan tidak. Tetapi ia telah kehilangan akal sehatnya.
Ia diam saja ketika mulai dibaringkan ke tempat tidur.

Dengan lembut tangan Oom Piet menyusup ke bulatan buah dada Citra yang besar dan empuk.
Ia mengelusnya dengan rakus, meremas-remasnya pelan.

Citra hanya bisa pasrah. Tubuhnya sudah polos telanjang, dia tidak memakai beha.
Buah dadanya kelihatan putih dan menggunung indah.

Om Piet yang tak tahan lagi.. segera menciumi dan mengulum putingnya..
Ia juga langsung membenamkan wajahnya di sana sampai ia tidak bisa bernapas.

Sementara tangannya merogoh kemaluan Citra yang berbulu tebal.
Celana dalam gadis itu dipelorotkannya..
Dan Citra yang sudah keenakan.. meneruskannya ke bawah sampai terlepas dari mata kaki.

Dengan sigap Oom Piet melepaskan baju dan celana dalamnya.
Penisnya yang hitam terlihat sudah tegak menantang.

Ctap..!! Citra segera menggenggamnya.. dan tanpa perlu disuruh langsung mengocok-ngocok benda itu..
Mulai dari ujung hingga ke pangkalnya. "Ohhh.. erghhh..!" Oom Piet merintih..

Ketika merasakan sensasinya yang geli-geli nikmat, membuatnya jadi tak sabar lagi.
Segera ia naiki tubuh montok Citra.. keponakannya sendiri dengan bertelekan pada sikut dan dengkulnya.

Kaki Citra ia kangkangkan lebar-lebar..
sebelum kemudian membimbing masuk batang penisnya ke liang vagina Citra yang sudah basah kuyup.

Digesek-gesekkannya sejenak benda panjang itu di bibir kemaluan Citra..
cukup lama hingga jadi lengket, baru setelah itu mendorongnya masuk.

Slepp..!! Tusukannya pelan saja, tapi Oom Piet telah berhasil menggagahi Citra.
Semakin lama semakin dalam.. hingga akhirnya bleesepp..!

Batang kejal itu masuk semuanya ke dalam kemaluan Citra yang masih teramat sempit.
“Augh.. Ommhh..!” Citra memekik, sementara Oom Piet mulai bergoyang naik-turun dengan pelan dan teratur.

“Aduh..” Oom Piet merintih karena merasa nikmat sekali saat penisnya dijepit oleh kemaluan Citra.
Makin cepat ia mencoblos, semakin nafsunya naik ke ubun-ubun.

"Ahh..! Enak banget, Oom..! Yang cepaat.. terus..!!” Bisik Citra sambil mendesis-desis.
Oom Piet mempercepat lagi genjotannya, senang karena berhasil meniduri Citra untuk yang keduakali.

Liang vagina Citra yang mengeluarkan bunyi kecepak-kecepok.. kclokk.. clockk.. cleckk.. cleckk..
Justru malah semakin menambah semangat ngentotnya yang masih membara.

“Oom.. aku mau dapet..! Terus, Oom.. terus..!!” Jerit Citra tak karuan.
Tubuhnya yang menggelinjang turut memancing gairah Oom Piet semakin naik lagi.

Laki-laki itu mempercepat ayunan, apalagi setelah merasa kalau akan ikutan keluar.
Ia benamkan dalam-dalam batang penisnya ke dalam vagina Citra sampai amblas seluruhnya.

Nyutt.. nyutt.. nyutt..!! Pangkalnya sudah terasa berdenyut-denyut..
Sebelum kemudian.. crutt.. crutt.. crutt.. spermanya muncrat di dalam vagina sang keponakan.

Mereka berangkulan kuat-kuat, napas keduanya bagai berhenti.
Saking nikmatnya, dalam beberapa detik Citra ikut menyusul.
Seolah nyawanya melayang entah ke mana ketika cairan kewanitaannya ikut membanjir keluar.

Selesailah sudah. Kerinduan Oom Piet tercurah. Ia merasa lemas sekali tetapi sangat puas.
Plopp..! Ia mencabut penis dan berbaring di sisi Citra.

Mereka masih berpelukan, berusaha untuk mengatur napas masing-masing.
Tiada kata-kata yang terucap, kecuali hanya ciuman dan belaian yang berbicara.

Sampai tiba-tiba tulang-tulangnya dan persendian Oom Piet mulai terasa kaku. Seperti mau kram.
Oom Piet mengejang dan mengerang.

Citra buru-buru melepaskan diri, karena sadar dengan apa yang akan terjadi pada diri Oom Piet.
Tubuh Citra tak bisa menghindar dari rasa merinding.

Semua bulu di tubuhnya jadi meremang ketika ia melihat perubahan Oom Piet menjadi patung batu.
Dalam hati ia tak tega melihat nasib Oom Piet. Ia ingin mencegah segalanya, namun ia tak kuasa.

Akhirnya, sesuatu yang dari dulu dihindarinya, kini terjadi juga.
Oom Piet menikmati tubuhnya yang sintal dan hangat itu dengan risiko menjadi patung batu.

Air mata Citra mengalir ke pipi. Ia duduk di salahsatu kursi sambil terisak-isak..
melihat Oom Piet telentang di ranjang dalam keadaan menjadi patung batu.

"Lumayan juga dia, Citra..” suara itu tak lain dari Gizma yang tau-tau muncul di kamar dalam keadaan berkeringat..
Ia mengenakan gaun tipis.. rambutnya dilepas terurai panjang.

Tubuh Citra tidak lagi dingin, dan kini ia memperoleh kembali kesadarannya, sebagai Citra yang sebenarnya.
"Sudahlah, jangan dibiasakan menangis. Memang inilah risiko yang harus mereka tanggung..” kata Gizma.

“Ta.. tapi, dia adalah oomku sendiri, Gizma. Dia dulu pernah menanggung biaya kuliahku, sewaktu papaku meninggal.
Ohh.. kenapa aku lakukan hal ini..? Kenapa aku bercumbu dengan oomku sendiri..?
Padahal aku sudah menduga bahwa ia akan menjadi patung batu. Tapi aku tidak bisa menolak keinginannya..
Dan tak bisa mengekang diriku sendiri. Ini semua gara-garamu, Giz. Semua karena kamu..”

"Sudahlah, semuanya toh sudah terjadi dan sudah kita sepakati.." kata Gizma enteng. Memang. Sudah terjadi.
Sudah disepakati. Citra sendiri sudah bertekad untuk membalas sakit hatinya dengan cara apa pun. Mengapa harus disesali..?

Citra meredakan tangis sewaktu Gizma mengusap-usap rambutnya.
Matanya sesekali masih melirik patung yang terbujur di ranjangnya. Harinya trenyuh, gelisahnya menghadirkan resah.

"Aku tak tau harus bagaimana menghadapi tanteku..?
Bagaimana jika ada yang tau bahwa oomku datang kemari dan tak pernah keluar lagi..?"

"Itu soal mudah. Itu urusanku. Semuanya sudah kuatur supaya kau tidak semakin ditumpuki masalah..” hibur Gizma.
"Mengapa kau yang mengaturnya. Siapa kau sebenarnya, Gizma..?"

Wanita cantik berhidung mancung itu masih kelihatan tenang.
la duduk di tepi ranjang, mengamati patung Oom Piet sambil bicara dengan penuh wibawa.

"Aku adalah orang yang sangat dibutuhkan oleh para penderita sakit hati.
Aku dicari oleh orang yang mempunyai dendam, seperti halnya kamu..”

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
 
Bimabet
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------

Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 10]

Citra segera mendekati Gizma..
duduk di ranjang, dekat patung oomnya. "Jelaskan bagaimana, Gizma..?"

"Seperti kau ketaui, namaku: Gizma. Aku Dewi Pembalasan. Siapa yang mau bersahabat denganku..
Maka semua dendamnya bisa terlampiaskan.
Tugasku mencari dan menemukan jalan untuk mencapai pembalasan sahabat-sahabatku. Jelas..?"

Citra terbengong dengan jantung berdebar-debar mendengar pengakuan Gizma.
Sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya.. bahwa selama ini ia telah bersahabat dengan sosok makhluk cantik..
yang bertindak sebagai Demi Pembalasan.

Pantas kalau Citra pernah gagal mencari Gizma.. sebab kamar itu sebenarnya adalah tempat yang tak mudah terlihat..
oleh mata manusia biasa, kecuali atas seizin Gizma.

Pantas kalau selama ini Gizma selalu muncul dan menghilang secara misterius..
karena ia punya kuasa untuk menampakkan diri atau pun pergi dari sahabat-sahabatnya.
Citra nyaris menjadi kelu lidahnya sejak ia menyadari, bahwa dirinya berhadapan dengan Dewi Pembalasan.

"Kalau kau bisa mempunyai kekuatan pada matamu, bisa mengendalikan otak manusia, bisa mewujudkan kemarahanmu..
Karena aku ada di dalam ragamu, Citra.
Melalui ragamu juga aku dapat merasakan hadiah-hadiah manis yang selama ini kau pilihkan untukku..” Gizma tersenyum.

Citra masih tertegun bengong. Tangan Gizma mengusap lengan Citra perlahan-lahan..
bagai merupakan usapan penuh kasih sayang terhadap seorang sahabat Katanya lagi..

"Aku telah menolongmu, dan kau pun telah menolongku. Tanpa kamu, aku tidak bisa merasakan manisnya cinta, hangatnya asmara.
Tanpa orang-orang macam kamu, Citra.. yang kurasakan hanya gemuruhnya api dendam yang membara di seluruh jagad raya ini.
Tapi percayalah, kau tak perlu khawatir.. semasa kita tetap bersahabat, aku selalu melindungi sahabat-sahabatku.
Aku selalu menghindarkan masalah yang akan menyerang sahabat-sahabatku. Kau tak perlu cemas dengan persahabatan kita..”

"Bagaimana dengan Ranu..?" Tiba-tiba Citra ingat tentang diri Ranu yang terpaut pada Gizma.
Pertanyaan itu terlontar setelah Citra bungkam beberapa waktu lamanya.

"Ranu..? Ah, dia pemuda yang baik menurut pandanganku..” jawab Gizma.
"Ranu mencintaimu, Gizma..”

Senyum Gizma mekar dan ceria, tapi tetap kelihatan anggun dan wibawa. "Dia tidak akan memperoleh apa-apa dariku..”
"Dia sungguh-sungguh mencintaimu. Dia sangat mengagumimu, Gizma..”

"Katakan padanya, jangan biarkan hidupnya diracuni oleh cintanya sendiri. Dia akan kecewa nanti..”
"Kasihan dia, Giz. Apakah kau tak boleh bercinta dengan manusia seperti dia..?"
"Boleh. Tapi apakah dia bisa..?" Gizma ganti bertanya.

Sambil mengeringkan air mata di wajah Citra, Gizma berkata lagi.. "Kau ingat pemuda pemabuk yang menyentuh daguku..?"
"Ya. Tangannya terbakar seketika..”

"Seperti itulah yang akan diperoleh Ranu jika ia mencintaiku. Maksudku, boleh saja ia mencintaiku..
tapi ia tidak akan memperoleh apa-apa dariku. Dia tidak akan bisa bercumbu denganku, tidak akan bisa memeluk tubuhku..
karena setiap lelaki yang menyentuh tubuhku dia akan terbakar seketika.

Itulah sebabnya aku tidak bisa merasakan manisnya cinta, hangatnya asmara.. jika tidak lebih dulu menyatu dengan dirimu.
Melalui tubuh yang padat dan indah inilah, aku bisa merasakan debaran-debaran saat birahiku tiba..”

Tangan Gizma masih mengusap pelan tubuh Citra, seakan ia membersihkan keringat-keringat yang membekas di tubuh itu.
Citra hanya diam saja, tertegun dalam terawangnya tentang Dewi Pembalasan.

Pantas kalau selama ini Gizma selalu muncul dengan berkeringat jika Citra selesai bercumbu dengan pasangannya..
karena sebenarnya pada saat Citra bercumbu dan bergairah mesra itu Gizma turut merasakan kenikmatannya.

Birahi yang selama ini sering muncul dalam diri Citra, sesungguhnya adalah birahi Gizma..
Bukan birahi dari jati diri Citra yang sebenarnya.

"Nah, kau sudah jelas siapa aku, bukan..?" Gizma tersenyum manis.
"Sekarang pejamkan matamu, Sayang..” katanya dengan lembut.

"Kenapa aku harus ..”
"Pejamkan matamu, Citra Manis..” sahut Gizma dengan penuh kesabaran.

Maka Citra pun memejamkan mata sesuai perintah Gizma. Tak ada pesan dan tak ada suara apa pun dari Gizma.
Yang ada hanya kesunyian menembus waktu-waktu pagi yang hampir tiba.

Beberapa saat kemudian, Citra ingin tau apa yang terjadi jika ia membuka natanya.
Kalau biasanya.. jika ia memejamkan mata dari suatu tempat..
ia akan membuka mata kembali dalam keadaan sudah berada di kamarnya.

Sekarang dia berada di kamarnya memejamkan mata, apakah ia akan terlempar di suatu tempat..?
Di manakah kira-kira ia akan berada..? Oh.. ternyata Citra masih tetap berada di kamarnya. Seperti posisi semula.

Tak ada yang berubah pada dirinya. Yang berubah hanya Gizma dan patung Oom Piet.
Mereka hilang. Tak ada bekasnya sama sekali. Ranjang pun kelihatan tetap rapi, tidak acak-acakan seperti tadi.

Kamar pun berbau wangi, tidak berbau darah kejantanan lelaki yang langu. Tapi bagaimana dengan mobil Oom Piet..?
Setidaknya orang akan tau kalau di depan rumah Citra ada mobil tamu yang sejak saat ini hilang dan tak akan kembali lagi..?

Citra buru-buru ke ruang depan. Menguak gorden sedikit. Oh, ternyata mobil Oom Piet juga sudah tidak ada.
Entah dicuri orang atau ikut dibawa pergi oleh Gizma, yang jelas semuanya mempunyai kesan..

Ya.. seolah-olah Oom Piet tidak pernah datang kepada Citra..
Dan tidak pernah terjadi pergumulan hangat yang menabah Oom Piet menjadi sebuah patung batu.

Barangkali inilah yang dimaksud dengan Gizma.. bahwa semuanya sudah diatur olehnya..
supaya sahabatnya tidak ditambahi beban masalah apa pun dalam bekerjasama dengannya.
-----oOo-----

Di tempat kerjanya, Citra terkejut sewaktu ditarik Ranu ke suatu tempat dan Ranu berbisik kepadanya..
"Payah temanmu itu, Tra..”
“Teman yang mana..? Maksudmu, Gizma..?"

"Ho-oh. Semalam aku ingin mengantarnya ke rumah, sekalian ingin mengetaui di mana ia tinggal.
Dia sudah oke. Dia bilang nggak masalah, dia bilang malahan senang jika aku mau datang ke rumahnya.
Eh.. tau-tau taksinya berhenti di depan rumahku, Tra..”

“Terus..? Terus kau turun dari taksi..?"
"Enggak..” Ranu bersemangat.

"Kusuruh jalan lagi taksinya. Pokoknya, aku harus antarkan Gizma dulu sebelum aku kembali ke rumah.
Gizma menyuruh sopir taksi menuju alamat yang ia sebutkan. Sopir taksi bilang, dia udah tau.
Udah sering ke jalan yang dimaksud Gizma. Setelah beberapa saat, taksi itu berhenti..
ehhh.. di depan rumah gue lagi. Gila nggak..?"

"Kembali ke rumahmu lagi..?"
"He-eh. Itu sampai tigakali lho, Tra. Tiga kali muter-muter, ehh.. nongolnya di depan rumah gue lagi. Brengsek, kan..?"

"Akhirnya..?”
"Yah, mau nggak mau aku turun juga sih.
Jadinya, bukan aku yang nganterin dia, tapi dia yang nganterin aku sampai depan rumah. Sial. Kenapa jadi kebalik begitu, ya..?"

Citra tertawa ngikik, Ranu jadi tersipu-sipu. Di wajah Ranu terlihat rona kecewa yang tertahan.
Citra kasihan sebenarnya, tapi tak diwujudkan dalam sikap.
la hanya berkata.. "Ada yang perlu kita bicarakan tentang Gizma, Ran..”

"O, ya..? Mari kita bicarakan di caffetaria bawah..”
“Tidak sekarang. Nanti saja di rumahku..”

Ranu tak sabar. Ingin segera mengetahui apa yang akan dibicarakan Citra tentang Gizma.
Pukul tiga sore, Ranu sudah memburu-buru Citra agar lekas pulang.

Hari itu, Citra tugas dari pagi sampai siang, jadi bisa pulang pukul 13 sore.
Tetapi, giliran Citra sudah beres dan siap pulang, Ranu ada sedikit masalah dengan bagian stok barang..
sehingga ia minta supaya Citra menunggunya sesaat.

"Kutunggu di bawah aja, ya, Ran..?" Kata Citra. Ranu mengangguk.
Lalu, Citra pun turun ke lantai bawah. Ketika ia tiba di pintu utama plaza tersebut, hatinya berdesir.

Ia melihat Nico duduk di atas Vespa-nya, di bawah pohon. Oh, hati Citra jadi berdesir indah.
Ternyata Nico masih mau menjemputnya sekalipun ia kemarin kelihatan memendam kemarahan.

Citra yang sebenarnya sangat merindukan Nico, segera berlari menghampiri Nico sambil tersenyum-senyum ceria.
"Nggak sangka kalau kamu masih mau menjemputku, Nico. Eh, sudah lama..?"
"Lumayan..” jawab Nico dingin.

Citra sempat salah tingkah dipandang Nico dengan tatapan mata yang dingin.
Ia buru-buru ingin menjelaskan semuanya pada Nico.
Buru-buru ingin membawa Nico pulang dan mengadukan nasibnya selama ini.

"Yuk..?” Citra mengajak pulang dan hendak naik ke bocengan Vespa.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara Sarah berseru.. "Citra..!! Dompetmu ketinggalan di counter nih..”

"Astaga.. aku sampai lupa dengan dompet sendiri. Hihihi..” Citra menyongsong Sarah dan menerima dompetnya.
"Makasih ya, Rah..”

"Lain kali kalau mau pulang periksa barang masing-masing.. jangan sampai barang kita tertinggal..
ntar dicomot orang bisa bunting mendadak lho. Eh, aku duluan ya, Tra..”

"He-eh..” mulut Citra segera terbengong setelah menjawab begitu.
Matanya terbelalak melihat Sarah naik di boncengan Vespa.. dan Nico pun segera membawanya pergi..
Tanpa bilang ini-itu lagi kepada Citra. Rupanya Nico sengaja menjemput Sarah, bukan Citra.

Hal Itu membuat Citra nyaris pingsan, antara sedih, malu dan benci. Ia ingin menjerit.
Ingin menangis meraung-raung, tapi ia masih sadar akan situasi ramai di sekelilingnya.

Ia menahan tangis dan kemarahannya, sampai akhirnya ia jadi pusing. Pusing sekali.
Pandangan matanya gelap dan ia terhuyung-huyung. "Citra..!!” Pekik Ranu dengan cemas.

Ia segera berlari dan menangkap tubuh Citra yang hampir jatuh pingsan.
Segera diberhentikannya taksi dan Citra pun dibawa pulang oleh Ranu memakai taksi tersebut.

Di rumah, Citra baru bisa menangis meratap-ratap. Hatinya sakit sekali menghadapi kenyataan tadi.
Ia sama sekali tak menyangka, bahwa belakangan ini ternyata cintanya telah diambil alih oleh Sarah.

Nico dikuasai Sarah.. sehingga tadi siang Nico menampakkan kesetiaannya kepada Sarah, kekasihnya yang baru itu.
Di depan mata Citra yang masih mencintai Nico, pemuda itu tega memamerkan kesetiaannya dengan menjemput Sarah.

Ranu sibuk membujuk Citra supaya berhenti menangis.
Tapi sakit hati Citra tak mampu membekap mulut dan air matanya.

Ranu tersendat haru pada saat Citra mengadukan sakit hatinya sambil menangis terisak-isak.
Ia memeluk Ranu, seakan ingin membenamkan dukanya ke dalam hati Ranu.
Seakan Citra ingin agar duka yang amat pedih itu ditanggung pula oleh Ranu.

"Aku nggak kuat, Ranu.. aku nggak kuat menanggung duka ini..”
"Citra..” Ranu memeluknya erat, penuh kasih sayang seorang sahabat.

Ia pun berbisik kepada Citra.. "Biarkan aku menanggung dukamu, Citra.
Biarkan aku menghadapi Nico dan membuat satu perhitungan sendiri..”

"Jangan..” Citra menggeleng-geleng dalam tangisnya.
"Jangan kau apa-apakan Nico. Semua ini memang salahku..”

"Bukan salahmu. Semua ini kepicikan Nico..”
"Tidak. Nico tidak picik..!!” Teriak Citra.
"Dia sangat baik, Ranu..” seraya Citra kembali memeluk Ranu, menghamburkan tangisnya di sana.

Sejak saat Itu, Citra menjadi lemah. Ia jatuh sakit dan tak bisa masuk kerja selama dua hari.
Ranu selalu datang untuk menghibur Citra.

Kadang, sebelum berangkat kerja ia menyempatkan diri singgah ke rumah Citra.
Kadang dia juga yang memasakkan air untuk Citra nanti, atau memasakkan bubur sebagai pengisi perut Citra.

Andani dan Ninung juga mengunjungi Citra.
Mereka berdua ikut terharu mendengar cerita Ranu tentang Nico dan Sarah.
Bahkan, Ninung sempat berkata dalam geram di depan Citra..

"Sarah memang perlu diberi pelajaran. Kurasa selama Nico jauh darimu, dia banyak memberi hasutan..
dan ngomong yang nggak-nggak sama Nico.
Akhirnya Nico benci sama kamu, dan berbalik mencintai Sarah. Kurang ajar anak itu, memang..”

"Kita kerjain aja besok, yuk..!?” Ajak Andani. Tetapi, Citra segera mencegah niat mereka.
"Jangan. Biarkan mereka bahagia dengan caranya sendiri..”
Andani dan Ninung tidak bisa bilang apa-apa kecuali menghela napas panjang-panjang.

Ranu membuatkan kopi susu hangat buat Citra. Ia menjadi mirip sorang pelayan di rumah itu.
Malahan ia juga membuatkan minuman buat Andani dan Ninung.

"Nanti malam aku tidur di sini deh. Buat nemenin kamu..” kata Andani kepada Citra.
"Boleh aja. Tapi, apakah papa dan mama-mu mengizinkan kamu tidur di sini..?"
"Ah, itu soal gampang..”

Malam ini, Andani tidur di rumah Citra. Sebelum Ranu pulang, Andani sempat berbisik kepada Ranu..
"Kayaknya dia agak parah, Ran. Badannya panas sekali. Bagaimana kalau kau panggil dokter..?"

Ranu mengangguk. Dan, ia pun pergi memanggil dokter tanpa setau Citra. Panas badan Citra memang cukup tinggi.
Citra sendiri sempat terharu ketika seorang dokter datang dan memeriksanya.

Tak disangka perhatian Ranu dan Andani cukup besar, sampai-sampai Citra sendiri tidak mengetahui..
ada anak manusia yang masih mau memperhatikan dirinya yang telah kotor dan hina itu.

"Bagaimana, Dokter..?" tanya Ranu dengan cemas.
"Hem.. apakah.. apakah dia sudah bersuami..?"

"Belum. Emang kenapa, Dok..?" Desak Andani. "
Tidak. Tidak apa-apa. Cuma, kasihan saja keadaannya. Hm.. o, ya.. besok pagi saya akan melakukan pemeriksaan lebih intensif lagi.
Kira-kira pukul 7 pagi saya akan datang, sebelum saya berangkat kerja..”
"Kalau itu hal yang terbaik bagi dokter, silakan saja..”

Pagi-pagi sekali, pukul 6 kurang seperempat, Ranu sudah datang ke rumah Citra. Semalam, Andani tidur menemani Citra.
Dan, ketika Ranu tiba siap dengan pakaian kerja, karena ia masuk pagi, Andani pulang.
Ia juga butuh mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Dokter Siswara datang pada saat Andani belum kembali ke rumah Citra.

Pemeriksaan dilakukan beberapa saat dengan peralatan yang lebih lengkap dari kemarin malam.
Kemudian, di depan Citra, Dokter Siswara bertanya kepada Ranu.. "Anda kakak dari Nona Citra..?"

"O, bukan. Saya.. hm..”
"Pacarnya..?" Tebak Dokter Siswara.

Ranu nyengir. Ia berkata.. "Baru calon. Calon pacar. Eh, calon suami, ehhh..”
Dokter Siswara tertawa pendek, Citra tersenyum kaku dan Ranu garuk-garuk kepala.

"Bagaimana hasil pemeriksaan Anda, Dok. Boleh saya tau..?"
Dokter itu diam beberapa saat. Citra dan Ranu memandangnya dengan heran.

Kemudian, Dokter Siswara pun berkata dengan pelan tapi jelas, "Dia.. hamil..”
"Hahhh..!?” Ranu mendelik bersamaan dengan Citra.

"Tidak..!!” Teriak Citra. Ranu jadi panik.
"Aku tidak hamil. Tidak. Dokter bohong. Bo-hooong..!!”
-----oOo-----

Malam masih saja mengalunkan sepi yang makin menikam hati. Ranu sengaja tidak pulang.
Ia tau Citra dalam keadaan terguncang. Salah-salah, Citra bisa ambil jalan sesat jika ditinggal sendirian di rumah itu.

Biarlah kali ini Ranu tidur di situ..
terserah apa kata orang jika memang ada yang melihat dan mau memberi komentar, Ranu tidak peduli lagi.

"Sudah jam berapa, Ranu..?” Tanya Citra dengan lemah. Matanya bengkak akibat tangisnya tadi berkepanjangan.
"Hampir pukul sepuluh. Kenapa..?" Ranu melayani Citra dengan sabar.

Citra hanya mendesah. Memalingkan wajah ke arah lain. Ranu duduk di kursi dekat ranjang.
Ia menempelkan tangannya di kening Citra. Oh, panas badannya sudah menurun. Tapi, Citra masih kelihatan pucat.

"Mau telur setengah matang, Tra..? Kubikinkan, ya..?"
Citra menggeleng. Kemudian, suaranya yang parau terdengar, "Besok, tolong carikan dukun pijat..”
"Untuk apa..? Maksudku, kalau kau merasa capek, pegal, biar kupijat saja..”

Lama sekali tidak menjawab. Setelah beberapa saat baru Citra berkata..
"Aku ingin menggugurkan bayi dalam kandunganku..”

Ranu mengeluh. "Apakah itu jalan yang terbaik..? Apakah tak ada yang lebih baik lagi dari abortus..?"
Kepala Citra menggeleng. Tapi, ia segera berpaling pelan memandang Ranu.

Cukup mengharukan kesetiaan Ranu dalam menemani dan melayani Citra.
Hati Citra sendiri sempat trenyuh melihat wajah Ranu mulai kuyu.
Agaknya ia dilanda kecapekan juga, hanya saja tak dirasa.

"Bayi itu harus digugurkan. Bayi ini bayi haram. Bayi setan..!"
"Hush..! Nggak baik ngomong gitu, Tra..”

"Memang benar kok. Bayi ini pasti akibat pemerkosaan mereka. Entah, benih siapa yang jadi.
Lelaki mana yang berhak menjadi ayah bayi ini. Mungkin juga yang mati digencet mobil..
Mngkin juga yang mati jatuh dari lantai lima, mungkin.. yang mati dihancurkan kepalanya dengan rantai.
Ah.. aku sendiri tak tau yang mana ayah dari bayi yang kukandung..”

"Untuk sementara, jangan berpikir begitu sebelum kau bisa mengendalikan emosimu, Citra..”
"Aku tak bisa tenang lagi. Aku benci pada mereka, bahkan pada oomku sendiri..”

"Hahhh..? Jadi, Oom Piet itu juga.. juga ..?” Ranu tak tega melanjutkannya.
"Aku juga benci kepada Alex, yang pernah ketemu kita di halte bis itu. Aku benci pada Yammar, Oom Harllan..
Oohhh.. semuanya kubenci. Bahkan aku benci pada diriku sendiri, Ranu..”

Napas Ranu terasa berat dihela, namun ia tetap menjadi kestabilan jiwa Citra.
Beberapakali ia menghela napas dan menampakkan ketenangannya, supaya Citra terpengaruh dan menjadi tenang juga.

“Tra.. boleh aku tau, siapa itu Yammar..? Atau.. siapa itu Oom Harllan..?"
Setelah merenung sejenak, Citra menjawab.. "Mereka adalah hadiah.. Hadiah yang kuberikan kepada Dewi Pembalasan..”

"Maksudmu.. maksudmu, Gizma..?"
Citra mengangguk. "Dia bukan manusia..”
"Hahhh..!?” Ranu melebarkan mata.

"Kau tak mungkin bisa mencintainya, Ranu. Dia tak bisa menikmati pelukanmu..
Juga tak akan mampu menikmati ciuman hangatmu. Karena setiap lelaki yang menyentuhnya akan terbakar..
seperti saat kita di Pujasera itu. Ingat kau tentang pemabuk yang menyentuh dagu Gizma..?"

Ranu termenung beberapa saat lamanya. Kekecewaan dan penyesalan sepertinya begitu melekat di permukaan wajahnya.
Ranu sama sekali tak membayangkan keadaan Gizma seperti itu.

Kali ini ia hanya bisa terperangah, sambil sesekali mengusap tengkuk kepalanya yang merinding.
"Lalu, untuk apa kau memberi hadiah beberapa lelaki kepadanya..? Bukankah dia tidak bisa bercinta dengan lelaki manapun..?"

"Memang. Tapi, dia menggunakan ragaku. Dia masuk dalam ragaku dan menguasai segala emosi dan naluriku.
Dengan cara begitu, dia bisa menikmati manisnya cinta dan hangatnya kemesraan.
Itulah sebabnya.. mengapa aku mau bercumbu dengan Yammar dan yang lainnya.." papar Citra.

"Bukan semata-mata karena aku perempuan jalang yang brutal..
Tetapi karena di dalam diriku terdapat emosi lain.. yang tak bisa kukendalikan.
Itu sudah merupakan perjanjianku dengan Gizma yang membantuku membunuh Sam dan kawan-kawannya.
Tapi aku tidak mengerti kalau cara memberikan hadiah kepadanya seperti yang kualami ini..” lanjutnya pelan.

Kemudian, Citra menceritakan semuanya tentang Gizma dan lelaki-lelaki yang menjadi persembahan baginya.
Ranu bergidik beberapakali ketika Citra menceritakan patung-patung batu yang entah ke mana berada pada saat ini.

Terlalu fantastis.. gumam Ranu dalam hati. Ia menjadi sangsi terhadap cerita yang dituturkan Citra.
Ada dugaan..
Jangan-jangan Citra hanya mengarang serangkaian kisah fiktif untuk menutupi kelemahannya dalam bercinta.

Ah.. sungguh meresahkan semua itu. Ranu jadi tak bisa tidur sejak mendengar serangkaian kisah tentang Gizma.
Di sofa depan, Ranu mendesah beberapakali. Sebentar-sebentar ia membuka pintu kamar Citra..
sekadar melakukan pengawasan ringan saja.

Di sofa depan itu, Ranu sering dibuat merinding. Hawa dingin sesekali masuk lewat sela-sela jendela atau pintu.
Seharusnya ia tidur di dalam kamar yang satunya lagi, sebab rumah itu mempunyai tiga kamar tidur.
Tetapi, ia memilih tidur di sofa, dekat dengan pintu kamar Citra.

Ia bisa mengontrol suara yang ada di dalam kamar Citra, karena pintu kamar itu tidak ditutup dengan rapat.
Sewaktu-waktu Citra memanggilnya, ia dapat mendengar dan segera datang.

Tetapi, tidur di sofa cukup menjengkelkan juga bagai Ranu. Karena beberapakali la merasa tubuhnya merinding.
Ada rasa takut yang mencekam jiwanya, karena ia memang penakut.

Dan justru rasa takut itulah yang membuat Ranu semakin susah tidur. Lampu ruangan itu dimatikan.
Suasananya gelap. Hanya mendapat biasan dari lampu teras. Itu pun terhalang gorden dan jendela kaca.

Karena beberapakali ia bergidik merinding, maka lampu pun dinyalakan.
Barangkali dalam keadaan lampu terang, segala rasa takutnya bisa hilang.

Klikkk..!! Ruangan menjadi terang, dan Ranu terhenyak kaget.
Di kursi depan sofa tempatnya berbaring tadi, ternyata terdapat sesosok tubuh yang duduk dengan santai.

Hampir saja Ranu memekik kaget. Jantungnya nyaris copot.
Untung ia segera mengenali wajah orang yang duduk di situ dengan tenang.

"Gizma..” Ranu menyebut nama itu dengan nada mendesah tegang.
Perempuan cantik yang kali ini hadir dengan mengenakan gaun tipis warna merah pink itu tersenyum manis kepada Ranu.

Senyuman itu membuat jantung Ranu yang berdetak-detak menjadi gemetar.
Berdesir hatinya, bukan lantaran takut.. melainkan karena merasa girang. Indah sekali senyuman itu.
Serasi betul dengan kecantikan yang ada pada Gizma.. sehingga Ranu pun berani mendekat dengan hati-hati.

Ia duduk di sofa semula sambil matanya tak berkedip memandangi Gizma.
"Kau sukar tidur kelihatannya, Ranu..” ucap Gizma pelan. Lembut sekali.

Ranu nyengir. Salah tingkah sejenak. "Ya.. hm.. memang susah tidur..”
"Kenapa..? Kau punya masalah..?"

"Bet.. bet.. bet..”
"Betot..?”

"Anu, betul. Aku punya masalah..” katanya dengan gagap.
"Aku mau membantumu jika kau tidak berkeberatan. Apa masalahmu..?"

"Hm.. banyak. Satu di antaranya.. pikiranku tidak bisa tenang..”

CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd