---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------
Cerita 080 – Semua Karena Nafsu..!.. [Part 10]
Citra segera mendekati Gizma.. duduk di ranjang, dekat patung oomnya. "Jelaskan bagaimana, Gizma..?"
"Seperti kau ketaui, namaku: Gizma. Aku Dewi Pembalasan. Siapa yang mau bersahabat denganku..
Maka semua dendamnya bisa terlampiaskan.
Tugasku mencari dan menemukan jalan untuk mencapai pembalasan sahabat-sahabatku. Jelas..?"
Citra terbengong dengan jantung berdebar-debar mendengar pengakuan Gizma.
Sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya.. bahwa selama ini ia telah bersahabat dengan sosok makhluk cantik..
yang bertindak sebagai Demi Pembalasan.
Pantas kalau Citra pernah gagal mencari Gizma.. sebab kamar itu sebenarnya adalah tempat yang tak mudah terlihat..
oleh mata manusia biasa, kecuali atas seizin Gizma.
Pantas kalau selama ini Gizma selalu muncul dan menghilang secara misterius..
karena ia punya kuasa untuk menampakkan diri atau pun pergi dari sahabat-sahabatnya.
Citra nyaris menjadi kelu lidahnya sejak ia menyadari, bahwa dirinya berhadapan dengan Dewi Pembalasan.
"Kalau kau bisa mempunyai kekuatan pada matamu, bisa mengendalikan otak manusia, bisa mewujudkan kemarahanmu..
Karena aku ada di dalam ragamu, Citra.
Melalui ragamu juga aku dapat merasakan hadiah-hadiah manis yang selama ini kau pilihkan untukku..” Gizma tersenyum.
Citra masih tertegun bengong. Tangan Gizma mengusap lengan Citra perlahan-lahan..
bagai merupakan usapan penuh kasih sayang terhadap seorang sahabat Katanya lagi..
"Aku telah menolongmu, dan kau pun telah menolongku. Tanpa kamu, aku tidak bisa merasakan manisnya cinta, hangatnya asmara.
Tanpa orang-orang macam kamu, Citra.. yang kurasakan hanya gemuruhnya api dendam yang membara di seluruh jagad raya ini.
Tapi percayalah, kau tak perlu khawatir.. semasa kita tetap bersahabat, aku selalu melindungi sahabat-sahabatku.
Aku selalu menghindarkan masalah yang akan menyerang sahabat-sahabatku. Kau tak perlu cemas dengan persahabatan kita..”
"Bagaimana dengan Ranu..?" Tiba-tiba Citra ingat tentang diri Ranu yang terpaut pada Gizma.
Pertanyaan itu terlontar setelah Citra bungkam beberapa waktu lamanya.
"Ranu..? Ah, dia pemuda yang baik menurut pandanganku..” jawab Gizma.
"Ranu mencintaimu, Gizma..”
Senyum Gizma mekar dan ceria, tapi tetap kelihatan anggun dan wibawa. "Dia tidak akan memperoleh apa-apa dariku..”
"Dia sungguh-sungguh mencintaimu. Dia sangat mengagumimu, Gizma..”
"Katakan padanya, jangan biarkan hidupnya diracuni oleh cintanya sendiri. Dia akan kecewa nanti..”
"Kasihan dia, Giz. Apakah kau tak boleh bercinta dengan manusia seperti dia..?"
"Boleh. Tapi apakah dia bisa..?" Gizma ganti bertanya.
Sambil mengeringkan air mata di wajah Citra, Gizma berkata lagi.. "Kau ingat pemuda pemabuk yang menyentuh daguku..?"
"Ya. Tangannya terbakar seketika..”
"Seperti itulah yang akan diperoleh Ranu jika ia mencintaiku. Maksudku, boleh saja ia mencintaiku..
tapi ia tidak akan memperoleh apa-apa dariku. Dia tidak akan bisa bercumbu denganku, tidak akan bisa memeluk tubuhku..
karena setiap lelaki yang menyentuh tubuhku dia akan terbakar seketika.
Itulah sebabnya aku tidak bisa merasakan manisnya cinta, hangatnya asmara.. jika tidak lebih dulu menyatu dengan dirimu.
Melalui tubuh yang padat dan indah inilah, aku bisa merasakan debaran-debaran saat birahiku tiba..”
Tangan Gizma masih mengusap pelan tubuh Citra, seakan ia membersihkan keringat-keringat yang membekas di tubuh itu.
Citra hanya diam saja, tertegun dalam terawangnya tentang Dewi Pembalasan.
Pantas kalau selama ini Gizma selalu muncul dengan berkeringat jika Citra selesai bercumbu dengan pasangannya..
karena sebenarnya pada saat Citra bercumbu dan bergairah mesra itu Gizma turut merasakan kenikmatannya.
Birahi yang selama ini sering muncul dalam diri Citra, sesungguhnya adalah birahi Gizma..
Bukan birahi dari jati diri Citra yang sebenarnya.
"Nah, kau sudah jelas siapa aku, bukan..?" Gizma tersenyum manis.
"Sekarang pejamkan matamu, Sayang..” katanya dengan lembut.
"Kenapa aku harus ..”
"Pejamkan matamu, Citra Manis..” sahut Gizma dengan penuh kesabaran.
Maka Citra pun memejamkan mata sesuai perintah Gizma. Tak ada pesan dan tak ada suara apa pun dari Gizma.
Yang ada hanya kesunyian menembus waktu-waktu pagi yang hampir tiba.
Beberapa saat kemudian, Citra ingin tau apa yang terjadi jika ia membuka natanya.
Kalau biasanya.. jika ia memejamkan mata dari suatu tempat..
ia akan membuka mata kembali dalam keadaan sudah berada di kamarnya.
Sekarang dia berada di kamarnya memejamkan mata, apakah ia akan terlempar di suatu tempat..?
Di manakah kira-kira ia akan berada..? Oh.. ternyata Citra masih tetap berada di kamarnya. Seperti posisi semula.
Tak ada yang berubah pada dirinya. Yang berubah hanya Gizma dan patung Oom Piet.
Mereka hilang. Tak ada bekasnya sama sekali. Ranjang pun kelihatan tetap rapi, tidak acak-acakan seperti tadi.
Kamar pun berbau wangi, tidak berbau darah kejantanan lelaki yang langu. Tapi bagaimana dengan mobil Oom Piet..?
Setidaknya orang akan tau kalau di depan rumah Citra ada mobil tamu yang sejak saat ini hilang dan tak akan kembali lagi..?
Citra buru-buru ke ruang depan. Menguak gorden sedikit. Oh, ternyata mobil Oom Piet juga sudah tidak ada.
Entah dicuri orang atau ikut dibawa pergi oleh Gizma, yang jelas semuanya mempunyai kesan..
Ya.. seolah-olah Oom Piet tidak pernah datang kepada Citra..
Dan tidak pernah terjadi pergumulan hangat yang menabah Oom Piet menjadi sebuah patung batu.
Barangkali inilah yang dimaksud dengan Gizma.. bahwa semuanya sudah diatur olehnya..
supaya sahabatnya tidak ditambahi beban masalah apa pun dalam bekerjasama dengannya.
-----oOo-----
Di tempat kerjanya, Citra terkejut sewaktu ditarik Ranu ke suatu tempat dan Ranu berbisik kepadanya..
"Payah temanmu itu, Tra..”
“Teman yang mana..? Maksudmu, Gizma..?"
"Ho-oh. Semalam aku ingin mengantarnya ke rumah, sekalian ingin mengetaui di mana ia tinggal.
Dia sudah oke. Dia bilang nggak masalah, dia bilang malahan senang jika aku mau datang ke rumahnya.
Eh.. tau-tau taksinya berhenti di depan rumahku, Tra..”
“Terus..? Terus kau turun dari taksi..?"
"Enggak..” Ranu bersemangat.
"Kusuruh jalan lagi taksinya. Pokoknya, aku harus antarkan Gizma dulu sebelum aku kembali ke rumah.
Gizma menyuruh sopir taksi menuju alamat yang ia sebutkan. Sopir taksi bilang, dia udah tau.
Udah sering ke jalan yang dimaksud Gizma. Setelah beberapa saat, taksi itu berhenti..
ehhh.. di depan rumah gue lagi. Gila nggak..?"
"Kembali ke rumahmu lagi..?"
"He-eh. Itu sampai tigakali lho, Tra. Tiga kali muter-muter, ehh.. nongolnya di depan rumah gue lagi. Brengsek, kan..?"
"Akhirnya..?”
"Yah, mau nggak mau aku turun juga sih.
Jadinya, bukan aku yang nganterin dia, tapi dia yang nganterin aku sampai depan rumah. Sial. Kenapa jadi kebalik begitu, ya..?"
Citra tertawa ngikik, Ranu jadi tersipu-sipu. Di wajah Ranu terlihat rona kecewa yang tertahan.
Citra kasihan sebenarnya, tapi tak diwujudkan dalam sikap.
la hanya berkata.. "Ada yang perlu kita bicarakan tentang Gizma, Ran..”
"O, ya..? Mari kita bicarakan di caffetaria bawah..”
“Tidak sekarang. Nanti saja di rumahku..”
Ranu tak sabar. Ingin segera mengetahui apa yang akan dibicarakan Citra tentang Gizma.
Pukul tiga sore, Ranu sudah memburu-buru Citra agar lekas pulang.
Hari itu, Citra tugas dari pagi sampai siang, jadi bisa pulang pukul 13 sore.
Tetapi, giliran Citra sudah beres dan siap pulang, Ranu ada sedikit masalah dengan bagian stok barang..
sehingga ia minta supaya Citra menunggunya sesaat.
"Kutunggu di bawah aja, ya, Ran..?" Kata Citra. Ranu mengangguk.
Lalu, Citra pun turun ke lantai bawah. Ketika ia tiba di pintu utama plaza tersebut, hatinya berdesir.
Ia melihat Nico duduk di atas Vespa-nya, di bawah pohon. Oh, hati Citra jadi berdesir indah.
Ternyata Nico masih mau menjemputnya sekalipun ia kemarin kelihatan memendam kemarahan.
Citra yang sebenarnya sangat merindukan Nico, segera berlari menghampiri Nico sambil tersenyum-senyum ceria.
"Nggak sangka kalau kamu masih mau menjemputku, Nico. Eh, sudah lama..?"
"Lumayan..” jawab Nico dingin.
Citra sempat salah tingkah dipandang Nico dengan tatapan mata yang dingin.
Ia buru-buru ingin menjelaskan semuanya pada Nico.
Buru-buru ingin membawa Nico pulang dan mengadukan nasibnya selama ini.
"Yuk..?” Citra mengajak pulang dan hendak naik ke bocengan Vespa.
Tetapi, tiba-tiba terdengar suara Sarah berseru.. "Citra..!! Dompetmu ketinggalan di counter nih..”
"Astaga.. aku sampai lupa dengan dompet sendiri. Hihihi..” Citra menyongsong Sarah dan menerima dompetnya.
"Makasih ya, Rah..”
"Lain kali kalau mau pulang periksa barang masing-masing.. jangan sampai barang kita tertinggal..
ntar dicomot orang bisa bunting mendadak lho. Eh, aku duluan ya, Tra..”
"He-eh..” mulut Citra segera terbengong setelah menjawab begitu.
Matanya terbelalak melihat Sarah naik di boncengan Vespa.. dan Nico pun segera membawanya pergi..
Tanpa bilang ini-itu lagi kepada Citra. Rupanya Nico sengaja menjemput Sarah, bukan Citra.
Hal Itu membuat Citra nyaris pingsan, antara sedih, malu dan benci. Ia ingin menjerit.
Ingin menangis meraung-raung, tapi ia masih sadar akan situasi ramai di sekelilingnya.
Ia menahan tangis dan kemarahannya, sampai akhirnya ia jadi pusing. Pusing sekali.
Pandangan matanya gelap dan ia terhuyung-huyung. "Citra..!!” Pekik Ranu dengan cemas.
Ia segera berlari dan menangkap tubuh Citra yang hampir jatuh pingsan.
Segera diberhentikannya taksi dan Citra pun dibawa pulang oleh Ranu memakai taksi tersebut.
Di rumah, Citra baru bisa menangis meratap-ratap. Hatinya sakit sekali menghadapi kenyataan tadi.
Ia sama sekali tak menyangka, bahwa belakangan ini ternyata cintanya telah diambil alih oleh Sarah.
Nico dikuasai Sarah.. sehingga tadi siang Nico menampakkan kesetiaannya kepada Sarah, kekasihnya yang baru itu.
Di depan mata Citra yang masih mencintai Nico, pemuda itu tega memamerkan kesetiaannya dengan menjemput Sarah.
Ranu sibuk membujuk Citra supaya berhenti menangis.
Tapi sakit hati Citra tak mampu membekap mulut dan air matanya.
Ranu tersendat haru pada saat Citra mengadukan sakit hatinya sambil menangis terisak-isak.
Ia memeluk Ranu, seakan ingin membenamkan dukanya ke dalam hati Ranu.
Seakan Citra ingin agar duka yang amat pedih itu ditanggung pula oleh Ranu.
"Aku nggak kuat, Ranu.. aku nggak kuat menanggung duka ini..”
"Citra..” Ranu memeluknya erat, penuh kasih sayang seorang sahabat.
Ia pun berbisik kepada Citra.. "Biarkan aku menanggung dukamu, Citra.
Biarkan aku menghadapi Nico dan membuat satu perhitungan sendiri..”
"Jangan..” Citra menggeleng-geleng dalam tangisnya.
"Jangan kau apa-apakan Nico. Semua ini memang salahku..”
"Bukan salahmu. Semua ini kepicikan Nico..”
"Tidak. Nico tidak picik..!!” Teriak Citra.
"Dia sangat baik, Ranu..” seraya Citra kembali memeluk Ranu, menghamburkan tangisnya di sana.
Sejak saat Itu, Citra menjadi lemah. Ia jatuh sakit dan tak bisa masuk kerja selama dua hari.
Ranu selalu datang untuk menghibur Citra.
Kadang, sebelum berangkat kerja ia menyempatkan diri singgah ke rumah Citra.
Kadang dia juga yang memasakkan air untuk Citra nanti, atau memasakkan bubur sebagai pengisi perut Citra.
Andani dan Ninung juga mengunjungi Citra.
Mereka berdua ikut terharu mendengar cerita Ranu tentang Nico dan Sarah.
Bahkan, Ninung sempat berkata dalam geram di depan Citra..
"Sarah memang perlu diberi pelajaran. Kurasa selama Nico jauh darimu, dia banyak memberi hasutan..
dan ngomong yang nggak-nggak sama Nico.
Akhirnya Nico benci sama kamu, dan berbalik mencintai Sarah. Kurang ajar anak itu, memang..”
"Kita kerjain aja besok, yuk..!?” Ajak Andani. Tetapi, Citra segera mencegah niat mereka.
"Jangan. Biarkan mereka bahagia dengan caranya sendiri..”
Andani dan Ninung tidak bisa bilang apa-apa kecuali menghela napas panjang-panjang.
Ranu membuatkan kopi susu hangat buat Citra. Ia menjadi mirip sorang pelayan di rumah itu.
Malahan ia juga membuatkan minuman buat Andani dan Ninung.
"Nanti malam aku tidur di sini deh. Buat nemenin kamu..” kata Andani kepada Citra.
"Boleh aja. Tapi, apakah papa dan mama-mu mengizinkan kamu tidur di sini..?"
"Ah, itu soal gampang..”
Malam ini, Andani tidur di rumah Citra. Sebelum Ranu pulang, Andani sempat berbisik kepada Ranu..
"Kayaknya dia agak parah, Ran. Badannya panas sekali. Bagaimana kalau kau panggil dokter..?"
Ranu mengangguk. Dan, ia pun pergi memanggil dokter tanpa setau Citra. Panas badan Citra memang cukup tinggi.
Citra sendiri sempat terharu ketika seorang dokter datang dan memeriksanya.
Tak disangka perhatian Ranu dan Andani cukup besar, sampai-sampai Citra sendiri tidak mengetahui..
ada anak manusia yang masih mau memperhatikan dirinya yang telah kotor dan hina itu.
"Bagaimana, Dokter..?" tanya Ranu dengan cemas.
"Hem.. apakah.. apakah dia sudah bersuami..?"
"Belum. Emang kenapa, Dok..?" Desak Andani. "
Tidak. Tidak apa-apa. Cuma, kasihan saja keadaannya. Hm.. o, ya.. besok pagi saya akan melakukan pemeriksaan lebih intensif lagi.
Kira-kira pukul 7 pagi saya akan datang, sebelum saya berangkat kerja..”
"Kalau itu hal yang terbaik bagi dokter, silakan saja..”
Pagi-pagi sekali, pukul 6 kurang seperempat, Ranu sudah datang ke rumah Citra. Semalam, Andani tidur menemani Citra.
Dan, ketika Ranu tiba siap dengan pakaian kerja, karena ia masuk pagi, Andani pulang.
Ia juga butuh mempersiapkan diri untuk berangkat kerja. Dokter Siswara datang pada saat Andani belum kembali ke rumah Citra.
Pemeriksaan dilakukan beberapa saat dengan peralatan yang lebih lengkap dari kemarin malam.
Kemudian, di depan Citra, Dokter Siswara bertanya kepada Ranu.. "Anda kakak dari Nona Citra..?"
"O, bukan. Saya.. hm..”
"Pacarnya..?" Tebak Dokter Siswara.
Ranu nyengir. Ia berkata.. "Baru calon. Calon pacar. Eh, calon suami, ehhh..”
Dokter Siswara tertawa pendek, Citra tersenyum kaku dan Ranu garuk-garuk kepala.
"Bagaimana hasil pemeriksaan Anda, Dok. Boleh saya tau..?"
Dokter itu diam beberapa saat. Citra dan Ranu memandangnya dengan heran.
Kemudian, Dokter Siswara pun berkata dengan pelan tapi jelas, "Dia.. hamil..”
"Hahhh..!?” Ranu mendelik bersamaan dengan Citra.
"Tidak..!!” Teriak Citra. Ranu jadi panik.
"Aku tidak hamil. Tidak. Dokter bohong. Bo-hooong..!!”
-----oOo-----
Malam masih saja mengalunkan sepi yang makin menikam hati. Ranu sengaja tidak pulang.
Ia tau Citra dalam keadaan terguncang. Salah-salah, Citra bisa ambil jalan sesat jika ditinggal sendirian di rumah itu.
Biarlah kali ini Ranu tidur di situ..
terserah apa kata orang jika memang ada yang melihat dan mau memberi komentar, Ranu tidak peduli lagi.
"Sudah jam berapa, Ranu..?” Tanya Citra dengan lemah. Matanya bengkak akibat tangisnya tadi berkepanjangan.
"Hampir pukul sepuluh. Kenapa..?" Ranu melayani Citra dengan sabar.
Citra hanya mendesah. Memalingkan wajah ke arah lain. Ranu duduk di kursi dekat ranjang.
Ia menempelkan tangannya di kening Citra. Oh, panas badannya sudah menurun. Tapi, Citra masih kelihatan pucat.
"Mau telur setengah matang, Tra..? Kubikinkan, ya..?"
Citra menggeleng. Kemudian, suaranya yang parau terdengar, "Besok, tolong carikan dukun pijat..”
"Untuk apa..? Maksudku, kalau kau merasa capek, pegal, biar kupijat saja..”
Lama sekali tidak menjawab. Setelah beberapa saat baru Citra berkata..
"Aku ingin menggugurkan bayi dalam kandunganku..”
Ranu mengeluh. "Apakah itu jalan yang terbaik..? Apakah tak ada yang lebih baik lagi dari abortus..?"
Kepala Citra menggeleng. Tapi, ia segera berpaling pelan memandang Ranu.
Cukup mengharukan kesetiaan Ranu dalam menemani dan melayani Citra.
Hati Citra sendiri sempat trenyuh melihat wajah Ranu mulai kuyu.
Agaknya ia dilanda kecapekan juga, hanya saja tak dirasa.
"Bayi itu harus digugurkan. Bayi ini bayi haram. Bayi setan..!"
"Hush..! Nggak baik ngomong gitu, Tra..”
"Memang benar kok. Bayi ini pasti akibat pemerkosaan mereka. Entah, benih siapa yang jadi.
Lelaki mana yang berhak menjadi ayah bayi ini. Mungkin juga yang mati digencet mobil..
Mngkin juga yang mati jatuh dari lantai lima, mungkin.. yang mati dihancurkan kepalanya dengan rantai.
Ah.. aku sendiri tak tau yang mana ayah dari bayi yang kukandung..”
"Untuk sementara, jangan berpikir begitu sebelum kau bisa mengendalikan emosimu, Citra..”
"Aku tak bisa tenang lagi. Aku benci pada mereka, bahkan pada oomku sendiri..”
"Hahhh..? Jadi, Oom Piet itu juga.. juga ..?” Ranu tak tega melanjutkannya.
"Aku juga benci kepada Alex, yang pernah ketemu kita di halte bis itu. Aku benci pada Yammar, Oom Harllan..
Oohhh.. semuanya kubenci. Bahkan aku benci pada diriku sendiri, Ranu..”
Napas Ranu terasa berat dihela, namun ia tetap menjadi kestabilan jiwa Citra.
Beberapakali ia menghela napas dan menampakkan ketenangannya, supaya Citra terpengaruh dan menjadi tenang juga.
“Tra.. boleh aku tau, siapa itu Yammar..? Atau.. siapa itu Oom Harllan..?"
Setelah merenung sejenak, Citra menjawab.. "Mereka adalah hadiah.. Hadiah yang kuberikan kepada Dewi Pembalasan..”
"Maksudmu.. maksudmu, Gizma..?"
Citra mengangguk. "Dia bukan manusia..”
"Hahhh..!?” Ranu melebarkan mata.
"Kau tak mungkin bisa mencintainya, Ranu. Dia tak bisa menikmati pelukanmu..
Juga tak akan mampu menikmati ciuman hangatmu. Karena setiap lelaki yang menyentuhnya akan terbakar..
seperti saat kita di Pujasera itu. Ingat kau tentang pemabuk yang menyentuh dagu Gizma..?"
Ranu termenung beberapa saat lamanya. Kekecewaan dan penyesalan sepertinya begitu melekat di permukaan wajahnya.
Ranu sama sekali tak membayangkan keadaan Gizma seperti itu.
Kali ini ia hanya bisa terperangah, sambil sesekali mengusap tengkuk kepalanya yang merinding.
"Lalu, untuk apa kau memberi hadiah beberapa lelaki kepadanya..? Bukankah dia tidak bisa bercinta dengan lelaki manapun..?"
"Memang. Tapi, dia menggunakan ragaku. Dia masuk dalam ragaku dan menguasai segala emosi dan naluriku.
Dengan cara begitu, dia bisa menikmati manisnya cinta dan hangatnya kemesraan.
Itulah sebabnya.. mengapa aku mau bercumbu dengan Yammar dan yang lainnya.." papar Citra.
"Bukan semata-mata karena aku perempuan jalang yang brutal..
Tetapi karena di dalam diriku terdapat emosi lain.. yang tak bisa kukendalikan.
Itu sudah merupakan perjanjianku dengan Gizma yang membantuku membunuh Sam dan kawan-kawannya.
Tapi aku tidak mengerti kalau cara memberikan hadiah kepadanya seperti yang kualami ini..” lanjutnya pelan.
Kemudian, Citra menceritakan semuanya tentang Gizma dan lelaki-lelaki yang menjadi persembahan baginya.
Ranu bergidik beberapakali ketika Citra menceritakan patung-patung batu yang entah ke mana berada pada saat ini.
Terlalu fantastis.. gumam Ranu dalam hati. Ia menjadi sangsi terhadap cerita yang dituturkan Citra.
Ada dugaan..
Jangan-jangan Citra hanya mengarang serangkaian kisah fiktif untuk menutupi kelemahannya dalam bercinta.
Ah.. sungguh meresahkan semua itu. Ranu jadi tak bisa tidur sejak mendengar serangkaian kisah tentang Gizma.
Di sofa depan, Ranu mendesah beberapakali. Sebentar-sebentar ia membuka pintu kamar Citra..
sekadar melakukan pengawasan ringan saja.
Di sofa depan itu, Ranu sering dibuat merinding. Hawa dingin sesekali masuk lewat sela-sela jendela atau pintu.
Seharusnya ia tidur di dalam kamar yang satunya lagi, sebab rumah itu mempunyai tiga kamar tidur.
Tetapi, ia memilih tidur di sofa, dekat dengan pintu kamar Citra.
Ia bisa mengontrol suara yang ada di dalam kamar Citra, karena pintu kamar itu tidak ditutup dengan rapat.
Sewaktu-waktu Citra memanggilnya, ia dapat mendengar dan segera datang.
Tetapi, tidur di sofa cukup menjengkelkan juga bagai Ranu. Karena beberapakali la merasa tubuhnya merinding.
Ada rasa takut yang mencekam jiwanya, karena ia memang penakut.
Dan justru rasa takut itulah yang membuat Ranu semakin susah tidur. Lampu ruangan itu dimatikan.
Suasananya gelap. Hanya mendapat biasan dari lampu teras. Itu pun terhalang gorden dan jendela kaca.
Karena beberapakali ia bergidik merinding, maka lampu pun dinyalakan.
Barangkali dalam keadaan lampu terang, segala rasa takutnya bisa hilang.
Klikkk..!! Ruangan menjadi terang, dan Ranu terhenyak kaget.
Di kursi depan sofa tempatnya berbaring tadi, ternyata terdapat sesosok tubuh yang duduk dengan santai.
Hampir saja Ranu memekik kaget. Jantungnya nyaris copot.
Untung ia segera mengenali wajah orang yang duduk di situ dengan tenang.
"Gizma..” Ranu menyebut nama itu dengan nada mendesah tegang.
Perempuan cantik yang kali ini hadir dengan mengenakan gaun tipis warna merah pink itu tersenyum manis kepada Ranu.
Senyuman itu membuat jantung Ranu yang berdetak-detak menjadi gemetar.
Berdesir hatinya, bukan lantaran takut.. melainkan karena merasa girang. Indah sekali senyuman itu.
Serasi betul dengan kecantikan yang ada pada Gizma.. sehingga Ranu pun berani mendekat dengan hati-hati.
Ia duduk di sofa semula sambil matanya tak berkedip memandangi Gizma.
"Kau sukar tidur kelihatannya, Ranu..” ucap Gizma pelan. Lembut sekali.
Ranu nyengir. Salah tingkah sejenak. "Ya.. hm.. memang susah tidur..”
"Kenapa..? Kau punya masalah..?"
"Bet.. bet.. bet..”
"Betot..?”
"Anu, betul. Aku punya masalah..” katanya dengan gagap.
"Aku mau membantumu jika kau tidak berkeberatan. Apa masalahmu..?"
"Hm.. banyak. Satu di antaranya.. pikiranku tidak bisa tenang..”
CONTIECROTT..!!
---------------------------------------------------oOo---------------------------------------------------