Pecah Utak
Pertapa Semprot
------------------------------------------------------------------------------------
Cerita 50 – Gairahku [Part 2]
Aku meraih telapak tangan Bu Siska dan menciumnya sebagai rasa hormatku kepadanya.
Sebenarnya waktu ia mengatakan tau hubunganku sudah jauh itu, jantungku terasa mau copot.
Namun kelembutan belaian tangannya di pipi kiriku membuat aku jadi mengerti..
betapa ia sebenarnya benar-benar merestui hubungan kami.
“Terimakasih bu.. saya berjanji jika diberi umur panjang maka sayalah orang yang akan menjaga..
dan bertanggungjawab untuk Rani, sebenarnya saya malu mengatakan itu kepada ibu.
Karena tanpa masalah itu pun saya merasa sangat berhutang budi kepada ibu dan keluarga..”
Aku membelai kepalanya dan mencium kening wajah cantik jelita itu.
“Ada satu hal yang mengganjal di hati ibu Bud.. itu yang ingin ibu katakan kepada kamu.
Tapi besoklah, ibu tidak ingin Rani ata pun Rina mengetahui hal itu dulu.
Sebaiknya kita bicarakan besok saja di kantor.. karena hal ini butuh waktu yang lama untuk kita bicarakan..”
Ia beranjak bangun dan merapikan dasternya, Bu Siska lalu mencium pipiku dan beranjak pergi.
“ibu mau siapkan bahan kerja dulu.. besok sepulang sekolah tolong kamu telpon ibu ke kantor ya..
Tuh temeni istrimu bobo dulu..” katanya mengakhiri pembicaraan,
“Trims Bu..” aku mengangguk sambil berpikir apa yang akan dibicarakan oleh Bu Siska besok..
hingga harus merahasiakannya pada 'istriku' si Rani.
Adakah rahasia lain lagi yang akan ia katakan kepadaku..?
Ah.. aku melangkah gontai ke kamar 'kami'.. sejak sebulan ini aku memang tak pernah lagi tidur di kamarku.
Sejak perceraian Bu Siska.. aku tiap malam menemani Rani tidur.
Dan kami tentu saja secara rutin melakukan ‘ritual-ritual’ layaknya suami istri di kamarnya.
Kami sudah banyak punya koleksi blue film.. yang setiap habis belajar malam..
kami tonton berdua untuk selanjutnya dipraktekkan langsung.
Kami yang dulunya melakukan hubungan badan karena rasa cinta itu..
kini tak sekedar meresapinya.. tapi mengembangkannya dengan berbagai variasi.
Aku yakin.. dibandingkan pasangan lain di dunia ini mungkin aku dan Rani adalah pasangan yang paling aktif.
Bayangkan.. sehari rata-rata kami bermain 3 sampai 6 kali. Yang dalam tiap rondenya paling cepat 45 menit.
Dan Rani yang kutau adalah tipe wanita yang multi orgasme.
Dalam satu ronde permainan yang nonstop ia sanggup meraih 3 sampai 4 kali orgasme.
----oOo----
Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi.
Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu angkatku itu nanti.
Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk dalam otakku.
Padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir..
yang akan sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan.
Akhirnya jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama..
–karena kami pakai satu mobil antar jemput yang sama..–
Kini harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku..
yang lagi sakit keras dan absen beberapa hari.
Rani memang tak satu kelas denganku.. jadi ia tidak mungkin tau hal itu dan ia selalu percaya padaku.
Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin..
memasuki sebuah gedung pencakar langit.. mungkin yang tertinggi di Jakarta.
Aku sampai juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu.
Seorang petugas keamanan rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas.
Masih dengan seragam sekolah lengkap dengan tas pundak penuh buku..
aku masuk dengan perasaan yang masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan ibu angkatku ini.
Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat.. Satpam perusahaan tadi pamit melangkah keluar ruangan ibu.
Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.
“Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar..” katanya menyambutku dengan nada datar..
sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada di sana.
Tinggal aku yang masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku.
Namun hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya.
Dengan senyuman yang penuh misteri ia langsung duduk di sampingku.. memeluk.
Hal yang sangat biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.
“Sebenarnya ini bukan kehendak ibu untuk membicarakannya.. tapi sebagai orangtua..
ibu merasa tertuntut untuk mengajak kamu musyawarah..”
Itu kata pembuka dari ibu setelah mendaratkan ciuman hangat di pipi kananku.
“Dan karena kedekatan kalian.. ibu merasa tak ada orang lain yang lebih berhak..
untuk diajak bicara tentang Rani selain kamu.
Sebab.. kamulah orang yang paling dia sayangi saat ini..” lanjut ibu.
Tangan kanannya masih merangkul pundakku.
Sebuah cara yang selama ini yang menunjukkan bahwa aku adalah anak lelaki kesayangannya.
“Jadi ini tentang Rani, Bu..? Tapi kenapa ibu bilang ini rahasia kita berdua..? Saya bingung..”
Jawabku sambil menundukkan kepala ke arah dada ibu.
“Ini memang pendapat ibu sendiri yang ibu pikir tak boleh diketahui oleh Rani.
Dan ibu melakukannya karena ibu tau kalau Rani sendiri takkan sanggup mengatakannya kepada kamu..”
“Tentang apa sih bu..?” Aku tambah tak mengerti. Giliran aku memeluk pinggul ibu.
Kami jadi berdekapan.
“Ini tentang pendidikan Rani. Sejak SMP dulu.. dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya di luar negeri..?”
“Hahh..!?” Aku terhenyak kaget.
Tapi ibu yang mempererat pelukannya.
Kini malah membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya.
“Reaksi kamu itulah yang ditakutkan oleh Rani. Dia sangat sayang sama kamu..
tapi kamu kan tau juga kalau dia itu orangnya sangat haus ilmu. Kalian punya kemiripan.
Sama-sama haus ilmu.. sama-sama anak pintar.. dan itu membahagiakan ibu..”
“Jadi Rani takut mengatakan ini kepada saya langsung, bu..? Kenapa..?”
“Rani takut mengecewakan kamu dan ibu ..”
“Apa hubungannya bu..? Bukankah saya akan selalu menemaninya ke manapun..?”
Aku memotong sebelum ibu melanjutkan.
“Iya.. ibu tau itu. Tapi Rani juga memikirkan ibu yang akan ditinggal sendiri di sini..
dia sangat memikirkan keadaan ibu di sini..
sehingga merasa kasihan kalau harus meninggalkan ibu sendiri di sini..”
“Ah.. saya baru mengerti bu. Jadi Rani takut ibu kesepian.. tidak ada yang menemani di sini..
kalau saya juga ikut ke luar negeri. Tapi.. hmmmm, gimana ya..? Sulit juga masalahnya.
Saya juga tidak tega kalau harus membiarkan ibu sendiri di sini.. saya merasa wajib menjaga ibu..!”
“Terimakasih sayang, itulah masalahnya. Ibu pasti kesepian jika ditinggal sendiri.
Tapi ibu juga tidak boleh menghalangi niat anak-anak ibu untuk mendapatkan pendidikan yang kalian inginkan.
Jadi ibu bingung.. ibu sangat menyayangi kalian. Ibu pikir tak akan sanggup jauh dari kalian..”
Kembali ibu mencium pipiku. “Jadi bagaimana solusinya Bu..?
Saya rasa Rani juga berpikiran sama dengan ibu. Dia pasti tidak mau meninggalkan ibu sendiri di sini..”
“Tapi Rani juga sangat sayang pada kamu.. dan dia pasti sedih kalau.. mhm ..”
“Kalau apa bu..? Kalau kami berpisah..?” Aku tau arahnya meski ibu canggung sekali mengatakannya.
“Itu juga masalah, Bud. Kalian sudah sangat dekat..
Rani sepertinya takut kalau kalian jauh, kamu akan ..” ibu tak melanjutkan.
Canggung lagi rupanya.. karena jelas itu adalah tuduhan untukku.
Aku juga termenung sesaat memikirkan hal itu.
Bagaimana tidak.. aku dan Rani sudah layaknya suami istri. Bagaimana hari-hariku tanpa Rani..?
Apa iya aku bisa tahan rasa kangenku pada ‘istriku’ itu..?
Apa iya aku sanggup hanya membaca emailnya saja..?
Dan apa iya aku sanggup menahan rasa ingin melakukan ‘ritual rutin’ kami..? Ah aku bingung juga..!
Sepertinya ibu membaca pikiranku.
“Yang paling ibu takutkan adalah kalau hal ini sampai merusak hubungan pribadi kalian, Bud.
Ibu tidak mau itu terjadi. Ibu sangat berharap hubungan kalian ini bisa dipertahankan..” berhenti lagi.
Ibu yang sekarang menaikkan kepalaku dari dadanya.. dengan telapak tangannya yang lembut..
ia mendongakkan wajahku ke arahnya seolah meyakinkan aku untuk secara tegas menjawab pertanyaannya.
Aku pun semakin mengeratkan pelukanku di pinggang ibu.
Sesaat kami saling diam sambil menatap.. dengan pandangan penuh misteri.
Aku yang kemudian memindahkan pelukan tanganku ke pundak ibu.
Kepalaku bersandar di pangkal lehernya.. menghindari tatapan ibu.
“Ayo, sayang.. putuskan sekarang. Apakah kamu mau meninggalkan ibu untuk menemani istrimu..?
Atau kamu nggak tega meninggalkan ibu.. dan memilih menemani ibu dan melanjutkan kuliah di sini..?”
“Siapa yang akan menjaga Rani di sana Bu..?”
“Kan ada Rina.. daftarnya juga di Universitas yang sama....”
“Ooo.. begitu..” Aku terdiam lagi.
Membayangkan 'istriku' yang kurang dua minggu lagi akan meninggalkanku.
“Saya yang takut kehilangan Rani, Bu.
Saya memang tidak bisa melupakan Rani, tapi apa iya Rani juga begitu..?”
“Sebenarnya pertanyaan itu juga yang ada dalam benak Rani. Kalian memang saling menyayangi..
Rani juga takut kehilangan kamu.. dia takut kamu berpaling dari dia..”
“Aah.. nggak ada alasan..”
kataku keluar setengah bergumam sambil mencium pipi kanannya.
“Iih.. anak ibu.. kamu tuh nggak PD banget sih..? Liat tuh di cermin, hmm.. cakep kan..?
Perempuan mana sih yang nggak mau sama kamu..?”
Ibu mencubit kedua pipiku..
lalu mengarahkan wajahku ke arah cermin lebar di salahsatu dinding ruangan.
“Iih.. ibu, bikin GR aja..!” Aku berpaling ke arahnya dan mencubit..
bukan di lengannya seperti kebiasaanku kalau bercanda.
Tapi di pantatnya.. cukup keras karena aku gemas juga.
“Auu.. sakit sayang..!!” Ibu menjerit.. menatapku lucu sambil memonyongkan bibirnya.
“Hehehe.. ibu cantik deh kalau monyong begitu..” candaku.
Tangan ibu meraih remote control audio dari atas meja kerjanya. Menyalakan audio ruangan itu..
Dan jadilah kami berdansa pelan diiringi beberapa symphony bethoven & mozart yang romantis.
Aku memeluk pinggulnya dan ibu mendekap erat dadaku ke atas..
sehingga otomatis dada besarnya tersaji sedikit di bawah daguku.
Bu Siska memang lebih tinggi 3-4cm dari aku.
Entah karena romantisnya dansa kami.. atau gerakan ibu yang kadang menggoyang dadanya itu..
Penisku yang sedari tadi tidur itu.. mulai beranjak bangun dan mengeras..
Hingga menimbulkan cembungan yang rupanya dirasakan juga oleh Bu Siska.
Tapi ia diam saja.. saat aku membuka mata malah kulihat ia terpejam.. seperti menikmati suasana itu.
Pinggulnya justru semakin sengaja digerakkan..
menggesek cembungan di tengah selangkanganku itu.
Aku bingung harus bagaimana.
Apalagi aku adalah tipe pria yang cepat sekali terangsang.
Biasanya kejadian semacam ini hanya berlangsung sesaat saja..
dan ibu biasanya langsung mengelak kalau menyadari aku mulai terangsang.
Tapi ini kali berbeda..
ibu malah semakin membiarkan dadanya menggencet ketat di dadaku.
Adakah ini berarti Bu Siska juga sedang birahi..?
Sudah beberapa bulan hampir setahun setauku ibu tak mendapat sentuhan lelaki.
Di tengah batinku bertanya-tanya tentang keanehan itu, tiba-tiba ibu membuka matanya.
Lalu entah apa yang menggerakkan wajah itu mendekat ke arah bibirku.
Aku masih penasaran dan bingung.. kukecup pipi kirinya..
namun wajahnya seakan mengarahkan gerak yang lebih sensual dari biasanya..
Telapak tangannya kini mendekap kedua pipiku. Aku terdiam, memejam..
Dan hanya sesaat setelah itu.. kurasakan sebuah kelembutan menyentuh bibirku.
Aku pasrah saja tak berani menolak.. tapi tak hanya sampai di sana.
Sekujur badanku merinding.. merasakan gejolak aura lidahnya..
yang berusaha memasuki rongga mulutku.. bibirnya menjepit bibirku.
Aku biarkan saja ketika bibir itu kini berhasil menjepit dan menyedot lidahku.
Pikiranku masih berkecamuk antara percaya atau tidak terhadap apa yang kami lakukan saat ini.
Bu Siska sudah mulai mendesah.. terdengar nafasnya mulai memburu.
Dekapan tangannya di kepalaku sudah terlepas.. entah kapan..
Dan aku tak menyadari ketika membuka mataku.. belahan jas kerja Bu Siska ternyata sudah terbuka.
Sebelah tangannya menuntun tanganku ke arah gundukan payudara berlapis BH putih berenda..
yang ukurannya.. My God.. di atas rata-rata..!
“Bu.. Mmm..” aku mencoba bicara..
namun secepat itu pula ia kembali menyumbat mulutku dengan sebuah ciuman.
Dan lebih ganas dari sebelumnya.. Bu Siska sudah tidak lagi menahan desahannya.
Kali ini ikat pinggangku ia lepaskan, lalu zipper celana sekolah itu dan.. Ctasss..!!
Celana abu seragam SMA itu melorot sampai setengah paha.
“Ibu.. please..!” Aku kembali bicara.
Tapi tanganku malah memberi remasan lembut pada buah dadanya.
“Terussskan sayang aaauuuffffhhh..!!”
Hanya itu yang terdengar dari desahannya yang semakin keras saja.
Aku jadi tak berani lagi bicara.. kubiarkan ibu bertambah liar dengan melukar pakaianku.
Dan kalau pun aku mampu menolak.. hal itu tidak akan aku lakukan.
Karena beberapa saat kemudian otakku mulai dikuasai oleh egoisme birahi yang seakan bersorak.
Ayo, Bud, setubuhi perempuan cantik di depanmu..!!!
Bukankah selera seksualmu lebih besar pada wanita paruhbaya seperti ini..?
Dan kapan lagi kamu akan membalas jasa Bu Siska yang telah memberimu kehidupan mewah seperti ini..?
Petanyaan-pertanyaan tadi seperti menuntun tanganku untuk lebih jauh..
menuruti nafsu Bu Siska yang sudah pasti tidak dapat lagi dibendung.
Dan seperti mencari pembenaran atas kejadian itu.. batinku yang lain menjawab;
Sudahlah, Bud. Nikmati saja. Bukankah kamu juga tak kalah sayang pada Bu Siska..?
Kamu juga mencintainya kan..? Lupakan sejenak istrimu itu.. dua lebih baik daripada satu..
Dan yang ini adalah kunci masa depanmu..!!
Aku tak mampu lagi berpikir logis. Segala bayangan tentang Rani hilang entah ke mana.
Yang ada kini adalah kemolekan tubuh calon mertuaku.. ibu angkatku..
Yang mungkin juga akan segera jadi kekasih gelapku..!!!
Pakaianku terlepas sudah seluruhnya.. entah kapan Bu Siska mempretelinya dari tubuhku.
Aku telanjang dan terduduk di sofa panjang ruang kerja yang luas itu.
Kupejamkan mata.. tak berani melihat Bu Siska yang baru saja beranjak dari mengunci pintu ruang kerjanya.
Dan bak penari striptease..
dari arah pintu ia berjalan sambil melepaskan satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya.
Uhhfff.. kini aku yang terbelalak.
Sebelum melepaskan roknya.. Bu Siska sudah melepas celana dalam putih dan sesampainya di depanku..
dengan sekali langkah tubuh montok dan sedikit gemuk itu terpampang jelas di depanku.
Ia berjongkok tepat di hadapan tempat aku duduk, lalu kembali memeluk.
Kali ini aku yang menyambut dengan ciuman penuh kerinduan.
Kunikmati bibir Bu Siska yang terus mendesah.
Tanganku meraba dan sesekali meremas bongkahan payudara besarnya.
Memilin putingnya bergiliran, lalu mencium dan menjilati lehernya.
“Auhh.. ssshhh ahh.. hmm.. ouhh.. teruss sayaang..ohhh..!”
Hanya desahan itu yang bisa diucapkannya.
Tangan kiri Bu Siska meraih batang kemaluanku dan meremas lembut.
“Oouhh.. .Bu.. sshh.. auhh..” desahanku juga mulai keras. Dan kami semakin liar.
Kutarik tubuh ibu ke sofa. Ia berbaring sambil tersenyum.. sepertinya mengundang aku..
untuk segera memuaskan dahaga asmara yang sesungguhnya terlarang itu.
Baiklah.. ibu angkat.. aku bertekat akan membuatnya berteriak-teriak kenikmatan..
Dan memohon supaya aku segera.. dan lagi.. dan lagi menyetubuhinya..!!
Akan kubuat calon mertuaku ini mengemis.. untuk dipuasi oleh calon menantu..
Sekaligus anak angkatnya ini..!!! Akan kusetubuhi engkau dengan keras..!!!!
Dan sekarang terimalah birahi anak angkatmu ini..!!!
Bersiaplah untuk menampung cairan sperma yang biasanya hanya ditampung oleh anakmu..!!!
“Ayo.. sayang, kemari, sentuhlah ibu.. ibu mau sayang.. Ayoo.. uuhh..!”
Kali ini ibu memohon agar aku segera menindihnya.
Tapi nanti dulu.. bukankah ibu mau dipuaskan lebih dari apa yang kuberikan pada anakmu..?
Aku meraba pangkal paha Bu Siska.. Ahhh... sudah basah dan becek di sana.
Kasihan ibuku ini..
mungkin delapan bulan ini pemenuhan birahi tak sebanding dengan produksi sel telurnya.
Aku merunduk di situ.. dan dengan buas langsung membuka pahanya..
Kujulurkan lidahku dan menjilat permukaaan vagina yang berbulu sangat lebat itu.
Slruppp..! “Owhhh.. yess.. sayang.. ahh.. sshhh..!” Sontak bu Siska mendesah penuh nikmat.
Jari-jariku sibuk mengucel-ucel bibir kemaluannya.. lidahku terus menusuk-nusuk..
membelai dinding kemaluan wanita paruhbaya.. yang ternyata tak kalah menariknya dengan 'istriku' itu.
Sesekali bibirku menggigit pinggiran bibir kemaluannya yang cembung dan gemuk..
memberikannya sensasi kebuasan birahi anak angkatnya yang polos ini.
“Auww.. uohh.. geliiiii..! Sshh.. nakaalll kamu sayang.. Ahhh..!”
Jeritnya saat aku menggigit biji klitorisnya yang membengkak karena rangsangan hebat itu.
Aku tak peduli lagi pada teriakan histerisnya.. aku yakin dinding ruangan itu sedemikian tebalnya..
sehingga kalau pun ada yang menembakkan pistol di sini pasti akan terdengar sayup-sayup saja.
“Oohhh.. yess.. hhh gigit sayang ohh gigit lagi yyaahh..!!”
Ia malah minta aku meneruskan mengulum biji clitorisnya.
Aku asik saja.. cairan yang terus semakin deras mengalir dari liang vaginanya habis kusedot dan kuminum.
Seperti daerah vagina milik Rani.. kemaluan Bu Siska juga tampak sangat terawat.
Tak tampak noda kotor setitik pun pada bagian itu.
Hanya saja baru kali ini aku mengetahui.. bahwa ternyata lebatnya bulu kemaluan Bu Siska..
membuat penilaianku pada bentuk vaginanya lebih baik dari milik 'istriku' itu.
“Ayo sayang, setubuhi ibu sekarang, hooooouuuhhh.. ibu sudah ngga tahaan..!”
Pintanya memelas.
Aku menuruti.. meski pun biasanya kalau aku melakukannya dengan Rani..
tentu aku minta di-karaoke dulu sebagai imbalan aku menjilati vaginanya.
Tapi kali ini aku canggung untuk meminta..
Karena dalam keadaan begini aku masih menaruh rasa hormat pada ibu angkatku itu.
Kuambil posisi di atasnya.. Bu Siska perlahan mengangkangkan pahanya..
Sebelah kakinya menjuntai jatuh.. sebelah lagi dinaikkan ke sandaran sofa.
Ughhhh..!! Kemaluanku memang sudah tegang mengeras sejak tadi.. Plepp..!!
Kini sudah menempel.. berdenyut.. siap masuk dan mengoyak bibir vagina Bu Siska. CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------OOo-----------------------------------------------
Cerita 50 – Gairahku [Part 2]
Aku meraih telapak tangan Bu Siska dan menciumnya sebagai rasa hormatku kepadanya.
Sebenarnya waktu ia mengatakan tau hubunganku sudah jauh itu, jantungku terasa mau copot.
Namun kelembutan belaian tangannya di pipi kiriku membuat aku jadi mengerti..
betapa ia sebenarnya benar-benar merestui hubungan kami.
“Terimakasih bu.. saya berjanji jika diberi umur panjang maka sayalah orang yang akan menjaga..
dan bertanggungjawab untuk Rani, sebenarnya saya malu mengatakan itu kepada ibu.
Karena tanpa masalah itu pun saya merasa sangat berhutang budi kepada ibu dan keluarga..”
Aku membelai kepalanya dan mencium kening wajah cantik jelita itu.
“Ada satu hal yang mengganjal di hati ibu Bud.. itu yang ingin ibu katakan kepada kamu.
Tapi besoklah, ibu tidak ingin Rani ata pun Rina mengetahui hal itu dulu.
Sebaiknya kita bicarakan besok saja di kantor.. karena hal ini butuh waktu yang lama untuk kita bicarakan..”
Ia beranjak bangun dan merapikan dasternya, Bu Siska lalu mencium pipiku dan beranjak pergi.
“ibu mau siapkan bahan kerja dulu.. besok sepulang sekolah tolong kamu telpon ibu ke kantor ya..
Tuh temeni istrimu bobo dulu..” katanya mengakhiri pembicaraan,
“Trims Bu..” aku mengangguk sambil berpikir apa yang akan dibicarakan oleh Bu Siska besok..
hingga harus merahasiakannya pada 'istriku' si Rani.
Adakah rahasia lain lagi yang akan ia katakan kepadaku..?
Ah.. aku melangkah gontai ke kamar 'kami'.. sejak sebulan ini aku memang tak pernah lagi tidur di kamarku.
Sejak perceraian Bu Siska.. aku tiap malam menemani Rani tidur.
Dan kami tentu saja secara rutin melakukan ‘ritual-ritual’ layaknya suami istri di kamarnya.
Kami sudah banyak punya koleksi blue film.. yang setiap habis belajar malam..
kami tonton berdua untuk selanjutnya dipraktekkan langsung.
Kami yang dulunya melakukan hubungan badan karena rasa cinta itu..
kini tak sekedar meresapinya.. tapi mengembangkannya dengan berbagai variasi.
Aku yakin.. dibandingkan pasangan lain di dunia ini mungkin aku dan Rani adalah pasangan yang paling aktif.
Bayangkan.. sehari rata-rata kami bermain 3 sampai 6 kali. Yang dalam tiap rondenya paling cepat 45 menit.
Dan Rani yang kutau adalah tipe wanita yang multi orgasme.
Dalam satu ronde permainan yang nonstop ia sanggup meraih 3 sampai 4 kali orgasme.
----oOo----
Keesokannya saat sedang belajar di kelas, aku menjadi tak konsentrasi.
Pikiranku berkecamuk dan bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh ibu angkatku itu nanti.
Beberapa item pelajaran bahkan tidak sama sekali masuk dalam otakku.
Padahal sebulan lagi kami akan menghadapi ujian akhir..
yang akan sangat menentukan koordinat arah pendidikan tinggi yang diinginkan.
Akhirnya jam satu siang tiba juga, aku yang biasanya menunggu Rani untuk pulang bersama..
–karena kami pakai satu mobil antar jemput yang sama..–
Kini harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku harus ke tempat temanku..
yang lagi sakit keras dan absen beberapa hari.
Rani memang tak satu kelas denganku.. jadi ia tidak mungkin tau hal itu dan ia selalu percaya padaku.
Taksi membawaku menyusuri jaran lebar dan padat di Kawasan Thamrin..
memasuki sebuah gedung pencakar langit.. mungkin yang tertinggi di Jakarta.
Aku sampai juga di kantor ibu yang ada di lantai 28 gedung itu.
Seorang petugas keamanan rupanya sudah dipesan untuk mengantarku dari loby ke ruangannya yang luas.
Masih dengan seragam sekolah lengkap dengan tas pundak penuh buku..
aku masuk dengan perasaan yang masih bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan ibu angkatku ini.
Pintu ditutup perlahan dan dengan penuh hormat.. Satpam perusahaan tadi pamit melangkah keluar ruangan ibu.
Tinggal aku dan dia di dalam ruangannya.
“Duduk dulu Bud, ibu ke toilet sebentar..” katanya menyambutku dengan nada datar..
sambil berlalu membuka pintu kamar mandi yang ada di sana.
Tinggal aku yang masih termenung menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu denganku.
Namun hanya 5 menit kemudian ibu sudah keluar dari kamar mandinya.
Dengan senyuman yang penuh misteri ia langsung duduk di sampingku.. memeluk.
Hal yang sangat biasa ia lakukan terhadap satu-satunya anak angkat pria yang ia miliki ini.
“Sebenarnya ini bukan kehendak ibu untuk membicarakannya.. tapi sebagai orangtua..
ibu merasa tertuntut untuk mengajak kamu musyawarah..”
Itu kata pembuka dari ibu setelah mendaratkan ciuman hangat di pipi kananku.
“Dan karena kedekatan kalian.. ibu merasa tak ada orang lain yang lebih berhak..
untuk diajak bicara tentang Rani selain kamu.
Sebab.. kamulah orang yang paling dia sayangi saat ini..” lanjut ibu.
Tangan kanannya masih merangkul pundakku.
Sebuah cara yang selama ini yang menunjukkan bahwa aku adalah anak lelaki kesayangannya.
“Jadi ini tentang Rani, Bu..? Tapi kenapa ibu bilang ini rahasia kita berdua..? Saya bingung..”
Jawabku sambil menundukkan kepala ke arah dada ibu.
“Ini memang pendapat ibu sendiri yang ibu pikir tak boleh diketahui oleh Rani.
Dan ibu melakukannya karena ibu tau kalau Rani sendiri takkan sanggup mengatakannya kepada kamu..”
“Tentang apa sih bu..?” Aku tambah tak mengerti. Giliran aku memeluk pinggul ibu.
Kami jadi berdekapan.
“Ini tentang pendidikan Rani. Sejak SMP dulu.. dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya di luar negeri..?”
“Hahh..!?” Aku terhenyak kaget.
Tapi ibu yang mempererat pelukannya.
Kini malah membelai lembut kepalaku yang bersandar di dadanya.
“Reaksi kamu itulah yang ditakutkan oleh Rani. Dia sangat sayang sama kamu..
tapi kamu kan tau juga kalau dia itu orangnya sangat haus ilmu. Kalian punya kemiripan.
Sama-sama haus ilmu.. sama-sama anak pintar.. dan itu membahagiakan ibu..”
“Jadi Rani takut mengatakan ini kepada saya langsung, bu..? Kenapa..?”
“Rani takut mengecewakan kamu dan ibu ..”
“Apa hubungannya bu..? Bukankah saya akan selalu menemaninya ke manapun..?”
Aku memotong sebelum ibu melanjutkan.
“Iya.. ibu tau itu. Tapi Rani juga memikirkan ibu yang akan ditinggal sendiri di sini..
dia sangat memikirkan keadaan ibu di sini..
sehingga merasa kasihan kalau harus meninggalkan ibu sendiri di sini..”
“Ah.. saya baru mengerti bu. Jadi Rani takut ibu kesepian.. tidak ada yang menemani di sini..
kalau saya juga ikut ke luar negeri. Tapi.. hmmmm, gimana ya..? Sulit juga masalahnya.
Saya juga tidak tega kalau harus membiarkan ibu sendiri di sini.. saya merasa wajib menjaga ibu..!”
“Terimakasih sayang, itulah masalahnya. Ibu pasti kesepian jika ditinggal sendiri.
Tapi ibu juga tidak boleh menghalangi niat anak-anak ibu untuk mendapatkan pendidikan yang kalian inginkan.
Jadi ibu bingung.. ibu sangat menyayangi kalian. Ibu pikir tak akan sanggup jauh dari kalian..”
Kembali ibu mencium pipiku. “Jadi bagaimana solusinya Bu..?
Saya rasa Rani juga berpikiran sama dengan ibu. Dia pasti tidak mau meninggalkan ibu sendiri di sini..”
“Tapi Rani juga sangat sayang pada kamu.. dan dia pasti sedih kalau.. mhm ..”
“Kalau apa bu..? Kalau kami berpisah..?” Aku tau arahnya meski ibu canggung sekali mengatakannya.
“Itu juga masalah, Bud. Kalian sudah sangat dekat..
Rani sepertinya takut kalau kalian jauh, kamu akan ..” ibu tak melanjutkan.
Canggung lagi rupanya.. karena jelas itu adalah tuduhan untukku.
Aku juga termenung sesaat memikirkan hal itu.
Bagaimana tidak.. aku dan Rani sudah layaknya suami istri. Bagaimana hari-hariku tanpa Rani..?
Apa iya aku bisa tahan rasa kangenku pada ‘istriku’ itu..?
Apa iya aku sanggup hanya membaca emailnya saja..?
Dan apa iya aku sanggup menahan rasa ingin melakukan ‘ritual rutin’ kami..? Ah aku bingung juga..!
Sepertinya ibu membaca pikiranku.
“Yang paling ibu takutkan adalah kalau hal ini sampai merusak hubungan pribadi kalian, Bud.
Ibu tidak mau itu terjadi. Ibu sangat berharap hubungan kalian ini bisa dipertahankan..” berhenti lagi.
Ibu yang sekarang menaikkan kepalaku dari dadanya.. dengan telapak tangannya yang lembut..
ia mendongakkan wajahku ke arahnya seolah meyakinkan aku untuk secara tegas menjawab pertanyaannya.
Aku pun semakin mengeratkan pelukanku di pinggang ibu.
Sesaat kami saling diam sambil menatap.. dengan pandangan penuh misteri.
Aku yang kemudian memindahkan pelukan tanganku ke pundak ibu.
Kepalaku bersandar di pangkal lehernya.. menghindari tatapan ibu.
“Ayo, sayang.. putuskan sekarang. Apakah kamu mau meninggalkan ibu untuk menemani istrimu..?
Atau kamu nggak tega meninggalkan ibu.. dan memilih menemani ibu dan melanjutkan kuliah di sini..?”
“Siapa yang akan menjaga Rani di sana Bu..?”
“Kan ada Rina.. daftarnya juga di Universitas yang sama....”
“Ooo.. begitu..” Aku terdiam lagi.
Membayangkan 'istriku' yang kurang dua minggu lagi akan meninggalkanku.
“Saya yang takut kehilangan Rani, Bu.
Saya memang tidak bisa melupakan Rani, tapi apa iya Rani juga begitu..?”
“Sebenarnya pertanyaan itu juga yang ada dalam benak Rani. Kalian memang saling menyayangi..
Rani juga takut kehilangan kamu.. dia takut kamu berpaling dari dia..”
“Aah.. nggak ada alasan..”
kataku keluar setengah bergumam sambil mencium pipi kanannya.
“Iih.. anak ibu.. kamu tuh nggak PD banget sih..? Liat tuh di cermin, hmm.. cakep kan..?
Perempuan mana sih yang nggak mau sama kamu..?”
Ibu mencubit kedua pipiku..
lalu mengarahkan wajahku ke arah cermin lebar di salahsatu dinding ruangan.
“Iih.. ibu, bikin GR aja..!” Aku berpaling ke arahnya dan mencubit..
bukan di lengannya seperti kebiasaanku kalau bercanda.
Tapi di pantatnya.. cukup keras karena aku gemas juga.
“Auu.. sakit sayang..!!” Ibu menjerit.. menatapku lucu sambil memonyongkan bibirnya.
“Hehehe.. ibu cantik deh kalau monyong begitu..” candaku.
Tangan ibu meraih remote control audio dari atas meja kerjanya. Menyalakan audio ruangan itu..
Dan jadilah kami berdansa pelan diiringi beberapa symphony bethoven & mozart yang romantis.
Aku memeluk pinggulnya dan ibu mendekap erat dadaku ke atas..
sehingga otomatis dada besarnya tersaji sedikit di bawah daguku.
Bu Siska memang lebih tinggi 3-4cm dari aku.
Entah karena romantisnya dansa kami.. atau gerakan ibu yang kadang menggoyang dadanya itu..
Penisku yang sedari tadi tidur itu.. mulai beranjak bangun dan mengeras..
Hingga menimbulkan cembungan yang rupanya dirasakan juga oleh Bu Siska.
Tapi ia diam saja.. saat aku membuka mata malah kulihat ia terpejam.. seperti menikmati suasana itu.
Pinggulnya justru semakin sengaja digerakkan..
menggesek cembungan di tengah selangkanganku itu.
Aku bingung harus bagaimana.
Apalagi aku adalah tipe pria yang cepat sekali terangsang.
Biasanya kejadian semacam ini hanya berlangsung sesaat saja..
dan ibu biasanya langsung mengelak kalau menyadari aku mulai terangsang.
Tapi ini kali berbeda..
ibu malah semakin membiarkan dadanya menggencet ketat di dadaku.
Adakah ini berarti Bu Siska juga sedang birahi..?
Sudah beberapa bulan hampir setahun setauku ibu tak mendapat sentuhan lelaki.
Di tengah batinku bertanya-tanya tentang keanehan itu, tiba-tiba ibu membuka matanya.
Lalu entah apa yang menggerakkan wajah itu mendekat ke arah bibirku.
Aku masih penasaran dan bingung.. kukecup pipi kirinya..
namun wajahnya seakan mengarahkan gerak yang lebih sensual dari biasanya..
Telapak tangannya kini mendekap kedua pipiku. Aku terdiam, memejam..
Dan hanya sesaat setelah itu.. kurasakan sebuah kelembutan menyentuh bibirku.
Aku pasrah saja tak berani menolak.. tapi tak hanya sampai di sana.
Sekujur badanku merinding.. merasakan gejolak aura lidahnya..
yang berusaha memasuki rongga mulutku.. bibirnya menjepit bibirku.
Aku biarkan saja ketika bibir itu kini berhasil menjepit dan menyedot lidahku.
Pikiranku masih berkecamuk antara percaya atau tidak terhadap apa yang kami lakukan saat ini.
Bu Siska sudah mulai mendesah.. terdengar nafasnya mulai memburu.
Dekapan tangannya di kepalaku sudah terlepas.. entah kapan..
Dan aku tak menyadari ketika membuka mataku.. belahan jas kerja Bu Siska ternyata sudah terbuka.
Sebelah tangannya menuntun tanganku ke arah gundukan payudara berlapis BH putih berenda..
yang ukurannya.. My God.. di atas rata-rata..!
“Bu.. Mmm..” aku mencoba bicara..
namun secepat itu pula ia kembali menyumbat mulutku dengan sebuah ciuman.
Dan lebih ganas dari sebelumnya.. Bu Siska sudah tidak lagi menahan desahannya.
Kali ini ikat pinggangku ia lepaskan, lalu zipper celana sekolah itu dan.. Ctasss..!!
Celana abu seragam SMA itu melorot sampai setengah paha.
“Ibu.. please..!” Aku kembali bicara.
Tapi tanganku malah memberi remasan lembut pada buah dadanya.
“Terussskan sayang aaauuuffffhhh..!!”
Hanya itu yang terdengar dari desahannya yang semakin keras saja.
Aku jadi tak berani lagi bicara.. kubiarkan ibu bertambah liar dengan melukar pakaianku.
Dan kalau pun aku mampu menolak.. hal itu tidak akan aku lakukan.
Karena beberapa saat kemudian otakku mulai dikuasai oleh egoisme birahi yang seakan bersorak.
Ayo, Bud, setubuhi perempuan cantik di depanmu..!!!
Bukankah selera seksualmu lebih besar pada wanita paruhbaya seperti ini..?
Dan kapan lagi kamu akan membalas jasa Bu Siska yang telah memberimu kehidupan mewah seperti ini..?
Petanyaan-pertanyaan tadi seperti menuntun tanganku untuk lebih jauh..
menuruti nafsu Bu Siska yang sudah pasti tidak dapat lagi dibendung.
Dan seperti mencari pembenaran atas kejadian itu.. batinku yang lain menjawab;
Sudahlah, Bud. Nikmati saja. Bukankah kamu juga tak kalah sayang pada Bu Siska..?
Kamu juga mencintainya kan..? Lupakan sejenak istrimu itu.. dua lebih baik daripada satu..
Dan yang ini adalah kunci masa depanmu..!!
Aku tak mampu lagi berpikir logis. Segala bayangan tentang Rani hilang entah ke mana.
Yang ada kini adalah kemolekan tubuh calon mertuaku.. ibu angkatku..
Yang mungkin juga akan segera jadi kekasih gelapku..!!!
Pakaianku terlepas sudah seluruhnya.. entah kapan Bu Siska mempretelinya dari tubuhku.
Aku telanjang dan terduduk di sofa panjang ruang kerja yang luas itu.
Kupejamkan mata.. tak berani melihat Bu Siska yang baru saja beranjak dari mengunci pintu ruang kerjanya.
Dan bak penari striptease..
dari arah pintu ia berjalan sambil melepaskan satu per satu pakaian yang melekat di tubuhnya.
Uhhfff.. kini aku yang terbelalak.
Sebelum melepaskan roknya.. Bu Siska sudah melepas celana dalam putih dan sesampainya di depanku..
dengan sekali langkah tubuh montok dan sedikit gemuk itu terpampang jelas di depanku.
Ia berjongkok tepat di hadapan tempat aku duduk, lalu kembali memeluk.
Kali ini aku yang menyambut dengan ciuman penuh kerinduan.
Kunikmati bibir Bu Siska yang terus mendesah.
Tanganku meraba dan sesekali meremas bongkahan payudara besarnya.
Memilin putingnya bergiliran, lalu mencium dan menjilati lehernya.
“Auhh.. ssshhh ahh.. hmm.. ouhh.. teruss sayaang..ohhh..!”
Hanya desahan itu yang bisa diucapkannya.
Tangan kiri Bu Siska meraih batang kemaluanku dan meremas lembut.
“Oouhh.. .Bu.. sshh.. auhh..” desahanku juga mulai keras. Dan kami semakin liar.
Kutarik tubuh ibu ke sofa. Ia berbaring sambil tersenyum.. sepertinya mengundang aku..
untuk segera memuaskan dahaga asmara yang sesungguhnya terlarang itu.
Baiklah.. ibu angkat.. aku bertekat akan membuatnya berteriak-teriak kenikmatan..
Dan memohon supaya aku segera.. dan lagi.. dan lagi menyetubuhinya..!!
Akan kubuat calon mertuaku ini mengemis.. untuk dipuasi oleh calon menantu..
Sekaligus anak angkatnya ini..!!! Akan kusetubuhi engkau dengan keras..!!!!
Dan sekarang terimalah birahi anak angkatmu ini..!!!
Bersiaplah untuk menampung cairan sperma yang biasanya hanya ditampung oleh anakmu..!!!
“Ayo.. sayang, kemari, sentuhlah ibu.. ibu mau sayang.. Ayoo.. uuhh..!”
Kali ini ibu memohon agar aku segera menindihnya.
Tapi nanti dulu.. bukankah ibu mau dipuaskan lebih dari apa yang kuberikan pada anakmu..?
Aku meraba pangkal paha Bu Siska.. Ahhh... sudah basah dan becek di sana.
Kasihan ibuku ini..
mungkin delapan bulan ini pemenuhan birahi tak sebanding dengan produksi sel telurnya.
Aku merunduk di situ.. dan dengan buas langsung membuka pahanya..
Kujulurkan lidahku dan menjilat permukaaan vagina yang berbulu sangat lebat itu.
Slruppp..! “Owhhh.. yess.. sayang.. ahh.. sshhh..!” Sontak bu Siska mendesah penuh nikmat.
Jari-jariku sibuk mengucel-ucel bibir kemaluannya.. lidahku terus menusuk-nusuk..
membelai dinding kemaluan wanita paruhbaya.. yang ternyata tak kalah menariknya dengan 'istriku' itu.
Sesekali bibirku menggigit pinggiran bibir kemaluannya yang cembung dan gemuk..
memberikannya sensasi kebuasan birahi anak angkatnya yang polos ini.
“Auww.. uohh.. geliiiii..! Sshh.. nakaalll kamu sayang.. Ahhh..!”
Jeritnya saat aku menggigit biji klitorisnya yang membengkak karena rangsangan hebat itu.
Aku tak peduli lagi pada teriakan histerisnya.. aku yakin dinding ruangan itu sedemikian tebalnya..
sehingga kalau pun ada yang menembakkan pistol di sini pasti akan terdengar sayup-sayup saja.
“Oohhh.. yess.. hhh gigit sayang ohh gigit lagi yyaahh..!!”
Ia malah minta aku meneruskan mengulum biji clitorisnya.
Aku asik saja.. cairan yang terus semakin deras mengalir dari liang vaginanya habis kusedot dan kuminum.
Seperti daerah vagina milik Rani.. kemaluan Bu Siska juga tampak sangat terawat.
Tak tampak noda kotor setitik pun pada bagian itu.
Hanya saja baru kali ini aku mengetahui.. bahwa ternyata lebatnya bulu kemaluan Bu Siska..
membuat penilaianku pada bentuk vaginanya lebih baik dari milik 'istriku' itu.
“Ayo sayang, setubuhi ibu sekarang, hooooouuuhhh.. ibu sudah ngga tahaan..!”
Pintanya memelas.
Aku menuruti.. meski pun biasanya kalau aku melakukannya dengan Rani..
tentu aku minta di-karaoke dulu sebagai imbalan aku menjilati vaginanya.
Tapi kali ini aku canggung untuk meminta..
Karena dalam keadaan begini aku masih menaruh rasa hormat pada ibu angkatku itu.
Kuambil posisi di atasnya.. Bu Siska perlahan mengangkangkan pahanya..
Sebelah kakinya menjuntai jatuh.. sebelah lagi dinaikkan ke sandaran sofa.
Ughhhh..!! Kemaluanku memang sudah tegang mengeras sejak tadi.. Plepp..!!
Kini sudah menempel.. berdenyut.. siap masuk dan mengoyak bibir vagina Bu Siska. CONTIECROTT..!!
-------------------------------------------------OOo-----------------------------------------------
Terakhir diubah: