Tante Bunga membuka selimut. Dia meraih kepalaku dan menariknya ke susunya yang sebelah kiri. Lampu yang tidak terlalu terang membuat putingnya terlihat lebih hitam, kontras dengan kulitnya yang kuning langsat cenderung putih. Aku menghisap puting kirinya, dan tangan dia mengarahkan tanganku ke susu kanannya, dan aku meremas-remasnya sambil sesekali memilin pentolnya.
Tubuhnya nampak menggeliat dan terdengar desahan kecil. Setelah beberapa lama, dia membuka kakinya. Aku mendekatkan kepalaku ke lubangnya.
" Maaf aku lancang ya tan, aku hanya ingin memastikan. Tante punya penyakit kelamin nggak?"
"Ya nggak lah Bud, orang tante sudah lama tidak ngewe," jawabnya.
Aku melihat lubang itu dari dekat dan memperhatikannya. Tidak ada kutil maupun benjolan apapun, walau agak burik. Bibirnya tampak besar, tidak beraturan, dan berwarna gelap. Jujur saja bentuknya agak mengintimidasi, aku belum pernah melihat yang seperti ini. Lubangnya juga tampak sudah longgar. Entah mengapa bentuknya seperti itu.
"Jilatin dan hisap," kata tante.
"Ya sudah lah, bodo amat..." pikirku. Aku menghisap bibir lubangnya sambil menariknya dengan lembut. Sesekali kumasukan lidahku ke tengah lubangnya. Kali ini sudah tidak berbau menyengat seperti sebelum dicuci. Tubuh tante nampak menggeliat, dan dia menekan bagian samping atas lubangnya dengan jari telunjuk dan tengah.
Muncul tonjolan sebesar kacang tanah disana dan aku langsung menjilatnya. Aku memainkan lidahku keatas dan kebawah melewati kacang itu sambil sesekali menghisapnya dan gelambir di sekitarnya.
Tidak berapa lama, tubuh tante bergetar hebat diiringi dengan erangan. Aku lihat banyak cairan keluar membanjiri lubangnya sampai menetes keatas sprei. Tampak tante tidak berhenti mendesah dan sangat menikmatinya. Aku menontonnya sambil mengocok si joni yang sudah tegang. Setelah beberapa saat kemudian, tante nampak terlentang kelelahan, dan terlihat keringat disekujur tubuhnya.
Aku lalu tiduran disebelahnya dan dia berkata, "Enak sekali Bud jilatan kamu, tunggu sebentar ya, tante lemas sekali." Dia mengocok si joni dengan lambat seperti tidak bertenaga sambil sesekali membuang napas. Setelah beberapa menit dan napasnya normal kembali, dia menyuruhku menunggu lalu dia keluar kamar. Terdengar suara pintu ruang tengah terbuka dilanjutkan dengan suara benda beradu di dapur. "Mungkin dia sedang minum..." pikirku.
Dia kembali dengan membawa mangkuk lalu menuangkan isinya dimulai dari dadaku, si joni, terus ke mata kaki. Setelah aku perhatikan, cairan itu adalah madu. Dia lalu mulai menjilati dada dan putingku sampai bersih dari madu. Karena daerah sensitif tubuhku bukan disana, aku tidak merasakan apapun dan hanya diam saja. Lalu tante turun ke samping ranjang, dan menyuruhku untuk bergeser ke pinggir ranjang. Dia menjilati madu itu dimulai dari mata kaki.
Sesampainya di paha, aku merasakan geli yang amat sangat. Dia lalu menjilati biji sambil sesekali menyedot dan melepaskannya sampai terdengar bunyi "pop". Terasa geli dan sedikit linu saat biji itu masuk dan keluar dari mulut tante. Dia lalu menjilati sambil menghisap si joni, dengan palkon sebagai incaran utamanya.
Dengan teknik hisapannya yang lihai, dan rasa geli yang sudah aku tahan beberapa lama, membuat si joni tidak sanggup dan memuntahkan laharnya di dalam mulut tante yang sedang menghisap. Dia tidak berhenti menghisap dan rasanya jauh lebih geli 10x lipat jika sesudah keluar begitu masih dihisap. Badanku menggeliat, aku menarik kakiku dan mencoba menahan rasa geli ini.
"Enak nggak?" tanya tante yang ternyata menelan habis spermaku. "Enak tante," jawabku singkat. Di usia yang muda ini, ditambah dengan nafsu yang meledak, membuat si joni masih berdiri tegak walau sudah keluar. "Gila hebat kamu masih bisa berdiri, berbeda dengan yang seumuran tante," kata tante sambil naik ke tengah ranjang.
Dia lalu mengangkang dan aku tanpa banyak pikir duduk di depannya dan memasukan si joni ke lubang itu. "Hmmm... Sudah longgar, wajar sih dengan umur segitu, mungkin dia sudah digenjot banyak sekali pria, dan dia sudah pernah melahirkan juga," pikirku. Si joni merasakan daging bertekstur yang hangat dan licin di dalam lubang itu. Aku mulai menggenjotnya perlahan, dan lambat laun mempercepat iramanya.
Saat irama gerakanku sudah cepat, tante menutup mata, mendesah sambil membuka kedua tangannya lalu meremas sprei, dan kepalanya bergerak menoleh ke kanan dan kiri. Ada kepuasan tersendiri melihat tante keenakan seperti itu.
Selang berapa menit, dia menaruh tangannya dan mendorong perutku, memberi kode untuk berhenti. "Burung kamu ini bengkok, nggak enak pose begini soalnya menabrak dinding," kata dia sambil mengubah posisinya menyamping ke kiri dan merapatkan kakinya. "Kalau posisi seperti ini, burung kamu akan pas menggesek g-spot tante," lanjutnya. Aku tidak berkata apa-apa karena saat itu belum mengerti apa itu g-spot.
Lalu aku mulai memasukan si joni dengan perlahan. Kali ini terasa jauh berbeda, karena lubangnya terhimpit kedua kaki tante, terasa menjepit dan lebih nikmat. Aku meremas-remas susunya sambil menaikan irama goyanganku. Tante sesekali meremas lenganku sambil menggerakan kepalanya, seperti tidak bisa diam.
Tiba-tiba tante mengerang kesakitan, "Aduh sakit," ucapnya dengan gerakan tangan yang memberi kode untuk berhenti. Ternyata gerakanku yang cepat membuat gelambirnya tertilap dan terjepit ke dalam. Dia mengangkat kaki kirinya dan jarinya mengusap gelambirnya yang sebelah kiri. Setelah beberapa usapan, dia kembali menutup kakinya, namun kali ini jarinya menarik gelambir kirinya dan baru melepaskannya setelah si joni sudah masuk.
Aku memasukan si joni sampai mentok ke pangkalnya sambil mencondongkan badan dan melumat bibir tante. Setelah menggenjot perlahan, aku menghentikan ciuman dan menopang badanku dengan kedua tanganku. Lalu aku mulai menaikan irama genjotanku. Sesekali tangan tante menarik bagian luar gelambirnya, mungkin dia takut tertilap lagi.
Entah sudah berlangsung berapa lama, yang pasti tante nampak sudah kelelahan, gerakan tubuhnya sudah tidak seaktif sebelumnya. Aku terus menggenjotnya sampai terasa akan keluar. Aku cabut si joni, menarik badan tante agar terlentang, dan memasukan joni ke mulutnya. Dia menghisap kepala joni sambil sesekali memainkan lidahnya. Semua lahar putih itu ditelan tidak bersisa.
Aku lalu tiduran menyamping sambil melihat wajahnya, tante tampak lemas dan berkata sambil tersenyum, "Budi kamu bohong banget belum pernah ngewe..." "Kalau belum pernah, paling tiga celup sudah keluar," lanjutnya. Aku bosan mendengar kata kata itu, jadi aku tidak menjawabnya dan merubah posisi badanku menjadi terlentang.
"Gila aku nggak menyangka bisa mencicipi tante Bunga..." pikirku. Tante Bunga berbisik, "E...nak nggak... Bud..." Belum sempat aku jawab, aku menoleh ke samping dan melihatnya sudah tertidur. Lalu aku ke kamar mandi untuk membasuh badanku yang lengket karena madu dan jilatan tante Bunga. Aku tidak perduli dengan air yang dingin, rasa lengket ini membuatku tidak nyaman. Setelah mengeringkan badanku dengan handuk, aku kembali ke kamar.
Di kamar terlihat tante Bunga yang tertidur telanjang. Jiwa mudaku kembali meluap, si joni tegak lagi. Aku melihat celana dalamnya yang berada diatas sandaran kursi meja rias. Kuambil celana dalam itu dan ternyata ada noda berwarna kekuningan. "Mati aku, jangan-jangan ini nanah, jangan-jangan tante Bunga mengidap penyakit kelamin." Walau jijik, aku memberanikan diri untuk mencium celana dalam itu, ternyata ada bau pesing. "Mungkin karena faktor umur, saluran kencing tante sudah jebol, yang penting bukan nanah..." pikirku.
Aku kembalikan celana dalam itu ke atas sandaran kursi, dan tidak sengaja melihat sebotol body-lotion. Karena sebenarnya aku sebenarnya belum puas, aku menuangkan sedikit body-lotion itu ke si joni. Aku menggoyangkan kaki tante dengan maksud ingin membangunkannya dan memintanya mengocok si joni. Tapi ternyata dia tidak bangun. Jadi aku mengocok sendiri sambil memandangi tubuh tante Bunga. Aku ambil celana dalam tante Bunga dan kukeluarkan lahar putih di atasnya. Setelah puas, aku mematikan lampu, tiduran disebelahnya, lalu menutup badan kami berdua dengan selimut. Aku memeluk tubuhnya sampai ketiduran.
Keesokan harinya aku membuka mata, dan melihat di ranjang sudah tidak ada tante Bunga. Jam dinding menunjukan pukul 6:15. Aku membawa pakaianku dan berjalan telanjang menuju ke kamar mandi. Nampak tante Bunga sudah mandi dan mengenakan baju berwarna merah muda dan celana pendek. Dia sedang memasak mie goreng sambil bersenandung kecil. Dia tersenyum dan mencandaiku, "Eh si ganteng sudah bangun, mau dimandiin lagi?" "Nggak ah, mau mandi dan pulang," sahutku.
Setelah aku beres mandi dan berpakaian, aku berjalan ke arah ruang tamu. Terlihat di meja ruang tamu sudah ada mie goreng dan dua piring nasi. Tante Bunga ternyata sudah menungguku untuk makan bersama. Mataku tertuju ke putingnya yang menyembul karena dia tidak mengenakan bra.
Tante menyendokkan mie goreng ke piringku sambil membuka percakapan serius.
"Budi, jangan pernah ceritakan kejadian kemarin kesiapa pun, dan jangan pernah bahas lagi walau kita hanya sedang berdua."
Aku: "Aku ngerti tan, takut ketahuan kan?"
Tante: "Iya, kita kunci rahasia ini selamanya, dan kita jangan ngewe lagi untuk menghindari keteledoran."
Aku: "Ok tan, rahasia ini aman selamanya."
Aku sebenarnya agak kecewa karena aku tidak bisa menikmati tubuh tante lagi. Tapi disisi lain omongan tante ada benarnya, aku juga tidak mau kalau rahasia ini terbongkar. Semakin sering melakukannya, akan semakin banyak celah untuk terbongkar.
Sekalian mengetes apakah dia bisa jaga rahasia atau tidak, aku bertanya, "Tan, tante punya banyak rahasia ya? Siapa aja yang pernah ngewe tante selain aku?" Dia menjawab sambil tertawa, "Tante nggak pernah ngapa-ngapain Bud."
Nampaknya dia menyindirku dengan menyalin kata-kata dari jawabanku kemarin yang berpura-pura belum pernah enak-enak. Ada perasaan lega, karena sepertinya tante bisa menjaga rahasia ini. Setelah percakapan ringan dan kami selesai makan, tante berdiri sambil mengikat rambutnya dan berkata, "Makasih banyak ya Bud, mari tante antar ke depan."
Itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku ngewe dengan tante Bunga. Sepertinya aku hanya menjadi pemuas rasa penasaran dia saja. Sejak itu dia tidak pernah mengajak main lagi, begitu pun aku. Sejak itu hubungan kami agak canggung. Setiap bertemu tante Bunga, selalu muncul bayangan adegan saat kami melakukannya.
Bahkan jika ibu dan tante Bunga sedang mengobrol berdua, terkadang aku suka parno sendiri dengan apa yang mereka bicarakan. Tante Bunga sepertinya merasakan hal yang sama, karena dia tidak pernah lagi bercanda jorok denganku.
Masih ada pertanyaan besar dibenakku... Pertanyaan yang sampai kapan pun tidak akan terjawab...
"Siapa saja yang pernah ngewe dengan tante Bunga?... Apakah mereka orang yang kukenal?..."