BAGIAN ENAM
Aku sekilas mengintip wadah makan di meja Dina. Sambil lalu saja, sambil mengecek kehadiran anak buahku di ruang kerja besar itu. Penampakan makanan di wadah itu sedemikian menggoda, satu jenis hidangan tradisional yang kusuka. Sudah jam makan siang, perutku sudah cukup lapar sejak tadi. Aku kembali ke ruang kerjaku di pojok. Kukirimkan pesan singkat untuk sang pemilik makan siang.
[Mbak Dina bawa bekal makan siang apa? Menarik sepertinya
]
Dia membalas pesan itu dengan foto.
[Ini Pak. Cuma rebusan aja. Buru-buru tadi pagi, takut telat absen. Bapak mau? Aku bawakan besok kalo mau]
[Lha pengennya sekarang, masa harus nunggu besok]
[Ooohhh….maaf Pak. Saya bawakan ke ruangan nanti]
[Dikit aja. Cuma mau icip]
[Semua juga boleh Pak. Jatah maksi saya di kantin belum saya ambil kok]
[Jangan dong. Sesuai request tadi, sedikit saja. Lagian, lidah saya aja gak cocok sama masakan bu kantin. Dimaklumi lah kalo kamu juga gak doyan]
[Hehehe, iya Pak. Mending bawa bekal sendiri]
…
[Saya ke ruang Bapak sekarang ya]
[Silakan]
Tidak berselang lama, terdengar ketukan tiga kali di pintu ruanganku.
“Permisi Pak…”
Suara Dina yang lembut mengiringi pekikan suara engsel pintu yang terbuka.
“Masuk Mbak”
Mungkin karena lupa, tidak ada masker yang menempel di wajah Dina. Wajah ayu nya jadi pusat perhatianku untuk beberapa saat.
“Nah, ini yang aku mau,” ucapku. Pandanganku sama sekali tidak kuarahkan ke kotak makan plastik warna biru muda yang ia bawa. Fokus tertuju ke arah wajah Dina yang tampak merona, bersih, glowing. Memang ucapanku bisa bermakna dua hal.
Selalu ada perasaan aneh di dada setiap kali Dina menunjukkan wajah innocent itu. Kagum, bisa jadi. Nafsu, mungkin juga. Lebih-lebih karena aku hanya sering melihatnya separuh, tertutup pelindung mulut dan hidung. Terkadang bahkan hanya seperempat. Terganggu oleh kacamatanya, yang entah kenapa seakan mengurangi nilai kecantikannya. Mengonversi kekurangan itu dengan keimutan.
Tanpa kacamata = cantik.
Dengan kacamata = imut.
“Wah banyak banget ini Mbak,” spontan saat wadah itu tersaji di mejaku.
Aku beranjak dari kursi empukku, mengambil piring kecil di ujung ruangan, di samping tumpukan cangkir warna gelap, dekat dispenser.
Sedikit basa basi kulontarkan setelah aku duduk di sofa, sofa paling panjang, di sisi lain meja kerjaku. Ada meja pendek berikut dua sofa panjang yang sengaja kutaruh di situ. Tempat bersantai dan menerima tamu, juga tempat tidur siang saat staminaku drop dan butuh recharge.
“Tolong bawa sini aja mbak.”
Dina membawa wadah makan itu ke meja di depanku. Dia kemudian duduk di sofa yang lebih pendek.
Sebagian porsi kuambil dengan garpu. Kuicip dengan antusias.
Enak.
Gurih, asin, sedikit manis.
Ada aroma rempah.
Segar.
Krenyes-krenyes.
Beneran enak.
Aku memejamkan mata, menikmati sensasi
blowjob lezat yang sudah terlalu lama nggak mampir di lidah.
“Wow. Ini…. ini enak. Beneran masak sendiri?”
Wajah Dina makin merona. Wanita nggak pernah bisa menahan diri ketika mendapat pujian, betul?
Tampak jelas ada binar di mata cantiknya. Bola mata cokelat tua itu tampak membesar, mengembang sekian persen.
“Bang Iyan suka?”
“No,” ucapku sambil menggeleng. Kuambil lagi sejimpit makanan itu, kali ini langsung dengan tangan kosong. Segera kumasukkan mulut, berusaha menyusuli sensasi lezat yang masih tersisa.
“I love it,” ucapku. Tegas.
“Beneran?”
Kupicingkan mataku. Pertanyaan bodoh macam apa itu.
Momen selanjutnya tampak terlalu aneh. Aku lahap menyantap hidangan istimewa itu. Tentu mulutku tak bisa menahan diri untuk menjelaskan sensasi rasa, suatu siksaan nikmat yang kuderita. Sesekali kupuji juga sang chef. Di sisi sebelah, Dina duduk mati gaya menyaksikan atasannya ini rakus melahap satu kotak masakan rumahan itu. Dia nggak banyak gerak, diam, menonton dengan takjub atau takut?
Dua tegukan minum menutup adegan aneh siang itu.
“Semisal mbak masakin aku tiap hari gimana? Nggak gratis kok, tenang aja. Semacam catering gitu lah.” ujarku menawarkan bisnis baru untuknya. Aku tahu Dina sedang ada masalah keuangan. Aku dengar beberapa kali sudah dia mengajukan pinjaman lewat bendahara. Semua catatan ada di nota kepegawaiannya. Kupikir ini win-win solution.
Dina tampak menimbang-nimbang.
“Atau kita naikkan transaksinya?” tambahku.
Aku beranjak dari sofa gelap itu, mengambil map plastik warna merah maroon, data pegawai. Ada nama Dina di halaman pertama, lengkap dengan Nomor Induk dan Jabatan. Lusinan Posh it warna warni tercecer di berbagai titik. Berantakan sekali.
Satu lembar laporan presensi kuserahkan padanya. Ada coretan warna biru tua yang kububuhkan di baris awal. Mimik muka Dina berubah seketika. Jatah toleransi waktu keterlambatan perempuan berhijab itu hampir habis. Praktis jika mengikuti ketentuan konversi, seandainya Dina kembali terlambat beberapa menit (atau misal lupa tidak presensi satu kali lagi), maka surat peringatan akan turun.
Tidak ada kata-kata dariku, tidak juga darinya.
Kami sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sekian menit terlewat.
“Ini bukan hanya soal kamu, Mbak. Nantinya juga akan berimbas ke kami sebagai atasan. Jadi tolong diperhatikan betul. Memang, bukan hanya kamu yang terancam hukuman. Pak X dan Bu Y juga parah betul catatan disiplinnya. Tapi beliau berdua staf senior, nggak lama lagi pensiun. Nothing to lose,” jelasku.
Pandangan aneh Dina hadir kembali. Juga gestur, bahasa tubuhnya tampak jelas, menunjukkan kesan gugup.
“Masa depan mbak masih sangat panjang. Kariermu bisa dikata, bahkan belum dimulai. Masih CPNS loh. Aku kemarin sudah ketemu Pejabat Pengelola Kepegawaian. Aku sudah janji, ini terakhir kalinya catatan disiplin turun. So, mbak kuberi tanggung jawab baru. Akun presensiku silakan dipakai, setiap kali absen pagi dan sore, mbak sekaligus absen untukku. Dengan begini, laporan register bisa kudapat tiap hari. Semoga nggak ada laporan keterlambatan lagi.”
Dia diam. Aku tahu ide ini berisiko juga untukku, tapi yang paling penting presensinya bisa kupantau lebih dekat.
Aku juga menyampaikan padanya soal indikasi masalah keuangan yang sedang dialaminya. Kubuka semua catatan yang ada di map itu. Aku berharap akan ada alibi, alasan kuat yang ia sampaikan untuk membantah, atau setidaknya mempertahankan diri. Nyatanya respon pertama darinya bukan itu.
Dina menangis.
—
bersambung