Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Bimabet
Malam ini aku ngecrot dua kali. Tidak dengan Ais. Tidak juga dengan istriku.

Kalimat itu terngiang di kepalaku semalam ini, puluhan mungkin ratusan kali. Dalam perasaan campur aduk, antara bangga, khawatir, sedih, bahagia, menyesal, ketagihan. Seakan setiap tegukan air es memindahkanku dari satu rasa ke rasa yang lain.

...

Ini kisahku setahun belakangan. Ingin segera kubagikan, mumpung masih hangat. Cerita tentang Ais, biarlah menunggu mood dan ingatanku membaik. Tunggu saja. Segera.
Tidak ada kata telat untuk nakal. Siapa lagi nih stlh Ais
 
Beberapa bulan pasca dimulainya pandemi gelombang pertama.

Sudah beberapa minggu aku tinggal sendiri di kota ini. Cukup jauh dari keluarga, sekitar 4 jam perjalanan. Surat Tugas dari Kepala Daerah, memaksaku memulai petualangan baru dengan bidang dan area kerja yang berbeda dari yang selama ini kugeluti. Tidak masalah, banyak hal positif yang bisa kudapat. Salah satunya, aku bisa sekalian memperdalam ilmu, mengikuti semacam program profesi. Kebetulan ada kolega dari lingkungan kampus yang membantuku, memperlancar urusan administrasi di salah satu kampus populer. Sedikit di luar kota, tapi cukup dekat dengan apartemen tempatku bermukim sementara.

Kantor baruku menangani satu proyek strategis nasional. Aku ditugasi untuk jadi pengawas, wakil pemerintah daerah, mengurusi berbagai hal teknis maupun non teknis, juga sebagai mediator kalau-kalau ada kendala. Maklum, proyek bersama yang melibatkan banyak pihak seperti ini, rawan konflik kepentingan.

Di dekat lokasi proyek sebenarnya disediakan penginapan. Semacam komplek perumahan. Bagi penyendiri sepertiku, bergaul sepanjang waktu dengan banyak orang, ya di kantor, ya di rumah, pastilah kuhindari. Aku lebih memilih untuk sedikit repot mencari tempat tinggal agak jauh yang bisa memanjakan ke-egoisan-ku, membuatku nyaman dengan kesendirian. Perjalanan kantor - apartemen yang lebih dari setengah jam, kadang bahkan satu jam, menurutku juga hal positif. Aku bisa menikmati waktu perjalanan, menjelajah hamparan pemandangan di lereng gunung, sesekali mampir di warung penjaja kuliner tradisional. Semua menyenangkan. Vitamin pagi jiwa.

Satu hal positif lainnya, selama pandemi ini aku merasa cukup bisa melindungi keluargaku. Setidaknya dengan jarangnya kami bertemu, berarti memperkecil risiko penyebaran. Aku yang tidak bisa mengikuti anjuran pemerintah untuk Kerja Dari Rumah, pastinya jadi golongan orang yang rawan terpapar. Sedangkan anak - istri yang lebih banyak aktivitas dalam rumah, tentu semakin kecil peluang terpapar.

Sementara ini dulu. Segera dilanjut.

*ditulis di satu jeda waktu, memakai smartphone, mohon maaf jika terlalu pendek/banyak salah tulis.
 
Terakhir diubah:
Beberapa bulan pasca pandemi gelombang pertama.

Sudah beberapa minggu aku tinggal sendiri di kota ini. Cukup jauh dari keluarga, sekitar 4 jam perjalanan. Surat Tugas dari Kepala Daerah, memaksaku memulai petualangan baru dengan bidang dan area kerja yang berbeda dari yang selama ini kugeluti. Tidak masalah, banyak hal positif yang bisa kudapat. Salah satunya, aku bisa sekalian memperdalam ilmu, mengikuti semacam program profesi. Kebetulan ada kolega dari lingkungan kampus yang membantuku, memperlancar urusan administrasi di salah satu kampus populer. Sedikit di luar kota, tapi cukup dekat dengan apartemen tempatku bermukim sementara.

Kantor baruku menangani satu proyek strategis nasional. Aku ditugasi untuk jadi pengawas, wakil pemerintah daerah, mengurusi berbagai hal teknis maupun non teknis, juga sebagai mediator kalau-kalau ada kendala. Maklum, proyek bersama yang melibatkan banyak pihak seperti ini, rawan konflik kepentingan.

Di dekat lokasi proyek sebenarnya disediakan penginapan. Semacam komplek perumahan. Bagi penyendiri sepertiku, bergaul sepanjang waktu dengan banyak orang, ya di kantor, ya di rumah, pastilah kuhindari. Aku lebih memilih untuk sedikit repot mencari tempat tinggal agak jauh yang bisa memanjakan ke-egoisan-ku, membuatku nyaman dengan kesendirian. Perjalanan kantor - apartemen yang lebih dari setengah jam, kadang bahkan satu jam, menurutku juga hal positif. Aku bisa menikmati waktu perjalanan, menjelajah hamparan pemandangan di lereng gunung, sesekali mampir di warung penjaja kuliner tradisional. Semua menyenangkan. Vitamin pagi jiwa.

Satu hal positif lainnya, selama pandemi ini aku merasa cukup bisa melindungi keluargaku. Setidaknya dengan jarangnya kami bertemu, berarti memperkecil risiko penyebaran. Aku yang tidak bisa mengikuti anjuran pemerintah untuk Kerja Dari Rumah, pastinya jadi golongan orang yang rawan terpapar. Sedangkan anak - istri yang lebih banyak aktivitas dalam rumah, tentu semakin kecil peluang terpapar.

Sementara ini dulu. Segera dilanjut.

*ditulis di satu jeda waktu, memakai smartphone, mohon maaf jika terlalu pendek/banyak salah tulis.

makasih sop-iler-nya @pendekarguolowo
 
Jika ada hal negatif, itu adalah (lagi-lagi) soal kesendirian. Iya, aku baik-baik saja, tapi pakai "saja", bukan baik-baik "banget". Pastilah sebagai pria dewasa, ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Sayang, aku tidak seberani itu untuk asal jajan. Tawaran apem sih banyak ya, murah-mahal-eksklusif, tapi no. Tidak begitu. Tidak dengan cara itu.

Mari kita lupakan sejenak soal Ais. Saat waktunya nanti, mungkin akan kuceritakan di bagian lain. Mungkin.

Urusan kerja dan sekolah profesi cukup menyita waktu ternyata. Lebih-lebih akibat pandemi yang membatasi banyak hal. Memang aku jadi tidak perlu sering-sering ke kampus. Digantikan dengan pertemuan di media daring, juga dengan begitu banyaknya tugas makalah. Beberapa hal kadang harus kudelegasikan ke staf, anak-anak muda yang lebih enerjik. Kupaksa mereka belajar. Biarlah, punya staf lebih pintar kan lebih baik.

Aku tidak mudah bergaul, jangan tanya caraku bersikap di depan perempuan, pastilah jauh dari luwes. Jadi, kupikir bakal sulit menjalin hubungan spesial dengan lawan jenis. Terlebih di tempat asing seperti ini. Sementara ini, begitulah keyakinanku. Keyakinan yang sore itu nyatanya terbukti.

Terbukti keliru.

...

Sejak pagi mobil harianku terasa kurang nyaman. Kupikir karena tekanan angin atau hal simpel lain. Sempat kubawa ke bengkel, asal saja di sepanjang jalan menuju lokasi proyek, tidak ketemu penyebabnya. Salah satu kru teknisi di lapangan juga kumintai tolong ngecek. Dia angkat tangan. Menurutnya lebih baik dibawa ke bengkel spesialis. Dia membagi info lokasi bengkel berikut nama teknisi yang dikenalnya.

Selepas makan siang, buru-buru kubawa sedan berwarna gelap itu ke bengkel yang dimaksud. Salah satu bengkel spesialis terkenal, setidaknya demikian klaim beberapa rekan kantor.

Sempat kucari info di internet sesiang tadi. Media sosialnya cukup aktif juga ternyata. Banyak review positif. Kukira pasti cukup valid-bonafit.

Lokasi bengkel tepat di tepi jalan besar. Bersih, rapi, besar, dengan beberapa alat yang tampaknya cukup canggih. Aku tak terlalu paham lah tentang alat alat itu. Tapi tampak keren aja gitu. Banyak panel-panel, berbagai indikator yang terlihat modern.

Kendaraan kuparkir di ujung, ada semacam ruang terbuka, mungkin bukan bagian dari komplek bengkel. Di dalam, kulihat ada 3-4 mobil yang sedang digarap. Ada satu mobil SUV yang jadi mobil impianku di sana. Tampak terawat, bersih, orisinil. Cantik sekali.

"Silakan dipakai maskernya, Pak," satu suara wanita membuyarkan lamunan singkat.

Aku baru sadar, maskerku tertinggal di mobil. Tangan si mbak ternyata sudah tanggap, sudah menawarkan satu masker yang dijulurkan ke arahku.

Aku tersenyum. Kuambil masker pasaran itu. Jenis masker yang dulu sempat diburu pelanggan panik.

Masker terpasang. Barulah aku bisa memandang si empunya suara.

Wow.

Perempuan, ah tidak, lebih tepatnya gadis muda. Berpenampilan ala SPG. Tampak cantik walau sebagian wajah tertutup masker kain merah-putih. Rambutnya menawan, warna agak kecoklatan, terurai, rapi, panjang sedikit bergelombang. Yang paling wow adalah bentuk badannya, tinggi, juga tampak seksi. Padat berisi. Pastinya dirawat dengan olahraga rutin. Mungkin aku bias, aku memang suka wanita berseragam formal-semi formal begitu. Dengan balutan seragam kerja itu, damage-nya luar biasa. Terakhir, soal parfumnya yang wangi, pas, tidak berlebihan. Aku suka.

Sejenak aku terkesima. Bahkan mungkin jedanya terlalu lama.

"Selamat datang di *xxx*. Ada yang bisa kami bantu, Pak?"

"Ooh,... iya mbak," jawabku sedikit gugup. Kesan pertama yang kacau balau. Jangan ditiru.

Pelan-pelan kuatur nafas. Kukendalikan diriku. Kujelaskan masalah di mobilku. Mataku berusaha tampak normal, kupaksa jaim, profesional, banyak kontak mata, sesekali diselingi gerakan tangan untuk melengkapi penjelasan.

Ayolah tenang kawan, ini hanya soal pelayan-pelanggan.

Sang wanita, yang kuyakin adalah petugas khusus, mungkin semacam customer service, tampak sibuk mencatat beberapa hal. Sesekali mengangguk dengan ucapan "Baik", "Ok", "Baik Pak".

Aduh mbak. Apanya yang baik sih. Pastinya lebih baik kalau mbak nungging, lalu ku-doggy.

Mmm... enak banget pasti.

Shit, hanya dengan fantasi sampingan begini, pentungan bawah mulai bereaksi.

Cepat tanggap, segera kugerakkan badanku, menjauh, berpaling, berusaha menunjuk ke arah mobilku di belakang sana.

Sempat kusampaikan pula nama teknisi yang tadi direkomendasikan pekerja kantorku.

"Baik pak, mohon tunggu sebentar. Silakan duduk dulu di ruang tunggu. Mohon jangan menempati sofa bertanda silang ya."

Kalimat itu menutup dialog awal.

Aku menuju ruang nyaman yang dia maksud. Dia berjalan ke arah lain, menuju seseorang yang tampak sedang serius mengerjakan satu hal, tepat di mobil impianku.

Dewi (*bukan nama sebenarnya)

Nama itu yang tadi kulihat di tanda pengenal. Akan kuingat betul. Tampaknya memang terlalu gampang diingat.
 
Mobilku mulai digarap. Belum bisa dibilang mulai sih sebenarnya, baru dicek apa-apa saja yang bermasalah.

Aku duduk di ruang tunggu, tidak jauh dari meja CS. Ada nama Dewi di situ, lengkap dengan foto formal di sebelah kanan. Foto serupa dengan foto di nametag yang kulihat tadi.

Fotonya kurang akurat. Wajahnya tampak sedikit berbeda, lebih tirus dari yang sebenarnya. Mungkin foto lama. Walaupun begitu, ada aura kecantikan yang tidak terbantahkan. Ya sewajarnya ujung tombak layanan, pastilah dipilih personil berpenampilan menarik.

Pun dari cara bicaranya tadi, tampak jelas dia cukup berpengalaman. Aku jadi kepikiran. Pastinya banyak pelanggan yang lebih nakal dari aku. Pasti ada beberapa yang berbuat lebih jauh. Mungkin minta nomor, mungkin ber-SSI, bahkan mungkin ada yang sudah berhasil mengajaknya HS.

Sesekali kulirik tingkah polah Dewi yang sibuk di sana. Kadang mengisi form, semacam menulis. Kadang membawa sparepart ke teknisi. Kadang memotret, entah apa. Tampak jelas lekuk tubuhnya yang aduhai boss, mantap kali!

Andai hari ini beraksi, bisa muntah berkali kali Meriam London-ku. Satu diantaranya, kupastikan crot dalam. Mengisi rahimnya.

Jancuk.

Kuseruput kopi gratisan di mejaku. Aku tak terlalu ingat rasanya. Bisa jadi lupa tak kucampur gula. Biarlah. Aku hanya ingin meredakan fantasiku.

Kucari sembarang bahan bacaan di sana. Kusibukkan diri membaca apa saja yang ada. Bermain HP pastinya kuhindari. Bisa-bisa malah terdampar di forum-dewasa-terlaknat yang justru membuat fantasi membumbung. Oh tidak. Tidak Jenderal. Tidak sekarang. Tidak saat ini.

"Pak Ian, silakan"

Suara Dewi lagi-lagi mengagetkanku. Dia menunjuk kursi pelanggan, tepat di depan meja CS. Oh, dia sudah siap melayaniku.

Aku patuh.

Kami kembali terlibat di interaksi pelayan-pelanggan. Dia jelaskan beberapa indikasi masalah di mobil tuaku. Diterangkan pula teknis pengerjaan, sparepart pengganti, berikut estimasi biaya.

Aku manfaatkan waktuku baik-baik. Kali ini aku ingin tampak seperti pelanggan yang profesional (tepatkah istilahku ini?)

Ya intinya aku memang ingin tau serinci mungkin sebelum memutuskan untuk setuju dengan rencana service yang Dewi tawarkan. Cukup lama kami berdiskusi. Bahkan sempat diajaknya aku ke ruang persediaan bahan, juga melihat langsung titik-titik penting di mobilku yang harus segera ditangani.

Lama, kurasa terlalu lama malah. Lebih dari setengah jam.

"OK Mbak, saya setuju, " ucapku mantap.

Deal.

"Baik, Bapak Ian. Nanti akan kami hubungi jika ada hal lain yang perlu dikonfirmasi"

...

Lokasi bengkel dengan apartemenku tidak bisa dibilang dekat, tapi tidak jauh juga. Sekitaran 15-20 menit perjalanan. Sembari menunggu pengerjaan, yang menurut Dewi, bisa berlangsung dua sampai tiga jam, sebenarnya masih logis jika aku pulang dulu. Tapi kupikir tidak terlalu efisien. Lebih baik kupakai untuk aktivitas bermanfaat lainnya.

Kuputuskan untuk memesan layanan ojol, pergi ke supermarket terdekat. Makan, berbelanja, dan mungkin mencari tempat nyaman untuk kerja kantoran, menyusun beberapa laporan. Mumpung masih siang. Dalam masa PPKM seperti ini, jam operasional tempat-tempat publik tidak bisa dipastikan.

Aku tengah video call dengan manajer proyekku saat muncul satu notifikasi pesan masuk. Nomor tidak dikenal.

"Sore pak, saya Dewi...."

Pesan itu menjelaskan berbagai hal soal pengerjaan di bengkel. Salah satunya soal tambahan biaya service karena ada masalah lain yang baru diketahui. Biasanya, akan kupastikan dulu, crosscheck berulang kali, untuk memutuskan hal seperti itu. Kali ini tidak. Aku balas singkat padat: Ya, silakan.

Aku terbius. Foto profil Dewi sedemikian membius. Menggoda, halus, tapi on point. Posenya jauh dari kata seksi. Elegan, menarik, fotogenik, cantik, cantik sekali. Kupandangi foto itu cukup lama.

Alay-nya, sempat pula kusimpan di memory HP.

Hal lain yang kuketahui adalah nama lengkap, tidak lengkap banget sih, cuma dua nama depan.

Modal berharga, yang membuatku cepat-cepat menyelesaikan urusan kerja. Browser di laptop kuisi media sosial tertentu. Kuketik dua nama itu.

Ketemu.

Ada profil Dewi.

Oh Wow.

Banyak foto-foto artistik. Aktif juga ini cewek. Jelas sekali dia nyaman dengan sorotan kamera. Bahkan kutemui ada sebagian kecil foto dengan pose cukup berani. Cukup saja, tidak sampai vulgar. Pengikutnya pun lumayan banyak. Layak disebut selebgram? Mungkin. Aku tak terlalu paham cara kerja media sosial. Aku kan anti sosial.

Cukup untuk sekarang. Bersambung...
 
OK sedikit lagi. Sembari menandaskan kopi, menunggu sepakmula UCL.

....

Jelang Maghrib, Dewi berkabar. Pengerjaan sudah selesai.

Aku cepat-cepat memesan taxi online, segera menuju bengkel terkenal itu. Di luar sudah mulai hujan. Aku tak mau terlalu lama di luaran, ingin cepat beres, pulang, mandi.

Begitu sampai bengkel, ternyata hujan makin deras. Sebagian besar pintu, terutama di bagian service sudah tertutup. Menyisakan satu sisi terbuka dengan penampakan bagian depan mobilku.

Kurasa, akulah pelanggan terakhir.

Bergegas aku menghindar dari tampias air hujan, langsung ke ruang tunggu. Lampu masih menyala. Dingin, ruangan itu terlalu dingin buatku. AC 16 derajat ini pasti. Duduk di meja CS, Dewi dengan... tubuh telanjangnya.

Ok ini sebatas imajiku. Kita kembali ke realita...

Dewi sudah memakai jaket. Mungkin sudah bersiap pulang.

"Kedinginan ya Mbak? Tau dingin gini kok AC nya rendah banget. Serasa di freezer loh ini, " kataku, spontan, sekenanya.

Dewi terseyum. Manis tersipu. Jelas terpampang, tanpa masker.

Kumaklumi saja, sepertinya ia tadi sedang minum cairan vitamin C botolan. Mungkin belum siap memakai masker.

Diraihnya remote AC. Diatur ke suhu normal ruangan.

"Itu UC juga dingin?" Aku menunjuk ke botol kecil di meja Dewi. Tampak ada embun di sekitar botol. Tidak perlu jadi Sherlock Holmes untuk mendeduksi fakta itu.

Senyum ringan kembali hadir. Kali ini dengan perubahan mimik muka. Seakan berkata "Ya, begitulah".

"Saya mah gak kuat yang dingin-dingin gini. Pengennya yang anget-anget. Pulang, mandi air hangat, selimutan." Kalimat aneh itu muncul begitu saja. Aku menjadi aku. Seperti biasa. Sungguh tidak jago SSI.

"Maaf saya gak pakai masker ya pak" ucapnya, seakan tidak peduli dengan kalimatku tadi.

"It's OK. Yang penting jaga jarak"

Dewi memberiku nota. Dia juga menjelaskan sesuatu. Entah apa. Aku mengangguk saja. Sok tau. Jarak kami cukup jauh. Suara dari hujan juga makin berisik, benar-benar mengganggu pembicaraan kami

Seingatku, penjelasan Dewi selesai tepat saat hujan mulai reda. Kutelusur sekitar, tampaknya hanya tersisa kami berdua di tempat itu.

Bengkel memang harusnya tutup dua jam yang lalu, tapi akibat request tambahan dariku tadi, kru bekerja ekstra. Aku merasa bersalah, kulayangkan permohonan maaf. Dewi jawab tak masalah, sudah SOP untuk menyelesaikan pekerjaan.

Menurutnya ada dua teknisi yang masih di bengkel. Tapi Dewi pun tak tau kemana mereka saat itu, mungkin sedang sholat atau mungkib makan malam di warung sekitar.

Ah, sholat. Aku juga belum. Aku berniat untuk segera pulang, saat tiba-tiba dua teknisi yang Dewi maksud, muncul dari balik pintu. Habis makan, kata mereka.

Kami berkemas, siap-siap pulang. Di luar masih hujan, tidak sederas tadi, tapi ya masih lumayan lah. Aku sudah duduk di kursi kemudi saat kulihat Dewi tampak gundah, galau.

Dua teknisi lain, sudah di atas motor, siap menerjang hujan. Dewi masih belum memakai helm. Tampak mereka bercakap. Aku menduga salah satu teknisi, pria paling muda, berbadan pendek gempal, menawarinya pulang bareng. Ada sedikit tawa di sana, kukira pastinya ada candaan terlontar.

Entah ide darimana, aku matikan mesin mobilku. Semacam ada feeling: Daripada diantar cecunguk itu, lebih baik aku saja yang turun tangan.

Mungkin naluri laki-laki. Atau naluri kebapakan? Beda tipis.

"Kenapa Mbak?" Tanyaku.

Justru si cecunguk yang menjawab, entah detailnya aku lupa. Intinya Dewi pengen nunggu hujan reda, tapi takut kemaleman.

"Kalo berkenan, dan kalo boleh. Bareng saya saja, gimana?" Aku tawarkan bantuan. Menurutku dia memang sedang kurang fit. Wajar saja, cuaca beberapa hari ini tak menentu.

Sang cecunguk tampaknya memilih mundur dari pertempuran, bergegas cabut dari arena. Tepat sebelum dia minggat, perempuan cantik di depanku mengangguk. Setuju atas proposalku.

....

Kami menembus jalanan kota. Ramai, padat merayap. Sewajarnya kota malam hari, sedikit di atas jam pulang kantor, kondisi hujan pula, pastinya jalanan dipadati kendaraan roda empat.

Berkali kali terjebak lampu merah. Di mobil kami... bermesum ria... tidak kawan. Ini juga imajinasi, kembali ke realita...

Kami banyak mengobrol. Ada bahan obrolan yang entah darimana mengalir begitu saja. Kukira setiap petugas CS seperti Dewi, pasti ada lah sejenis pelatihan public speaking atau teknis persuasi ke pelanggan. Mungkin keterampilan itu yang ia praktikkan. Hampir setengah jam perjalanan, obrolan kami tidak terputus. Bahkan tidak ada momen2 sungkan bin aneh yang biasa kuciptakan. Sebagian besar yang kami bicarakan masih relatif umum.

Kapan dia mulai kerja, pengalaman di bengkel, dan seputar kondisi mobilku. Sesekali ada material galian yang kutemui.

Dewi masih single, tinggal sendiri tanpa orang tua, lahir dan besar di kota ini, sempat bekerja serabutan di berbagai bidang. Usianya jauh lebih muda dariku. Wanita di usia matang (menurutku, pas ranum ranumnya). Mengaku suka difoto, beberapa kali terlibat di proyek artistik.

Di satu-dua kesempatan, dia mengenalkan titik-titik lokasi menarik sepanjang perjalanan itu. Ala-ala guide lah. Membuatku sadar, aku hanya tamu di kota itu, dia tuan rumah.

...

Jam tujuh lebih.

Kami sampai di rumah Dewi. Satu komplek perumahan kelas menengah di sisi utara, masuk agak jauh dari jalan besar. Bukan kelas premium atau elit, tapi kupikir masuk kategori menengah atas. Bentuk fasad rumahnya relatif seragam dengan kiri kanan. Masih ada halaman dan taman terbuka cukup asri di sekitar. Lingkungan yang nyaman yang layak untuk bermukim. Dia mengaku tinggal berdua dengan teman perempuan. Ngontrak katanya.

Masih gerimis.

"Masuk dulu, Mas." Katanya

Dia memanggilku mas sekarang. Aku memang tak terlalu suka dipanggil "Bapak". Usiaku belum setua itu. Uban di beberapa bagian harusnya bukan ukuran kebapakan kan?

Hampir saja aku iyakan, tapi aku cukup tau diri. Terlalu prematur. Aku tau ini sekadar basa basi. Masih banyak kesempatan lain.

"Nggak. Terima kasih. Lain kali saja. Masih harus lembur kerjaan kantor."

Dewi merespon dengan senyum. Aduh senyumnya muaniiiisssss rekkkk.

Nyesel gak??!!

Ada ucapan lirih di sana. Tepat sebelum jendela mobil kututup. Tentu saja aku tak terlalu jelas dengan perkataan terakhirnya. Aku ingin sekali menganggapnya berucap "I love you", tapi tampaknya lebih tepat "Thank You".

...

Sudahlah. Bersambung masbro.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd