Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah Lendir Di Sekolah

Bantuin pak rahmat naya. Sbagai sahabat dan teman masa kecil anaknya kmu harus bntu.
Bantuinnya ngapain? 😆
Kapan nih inaya di eksekusi sama pak Rahmat
Sabar
Takuynya naya di exe sama ibnu duluan ini
Kalo iya kenapa? 😆
Klo mau suhu aku siap persatu cerita byr 10k
Aku suka cerita kyak gini bukn yg brutal
Klo bsa mohon di buatkn ilustrasi nya
Siap suhu, thanks. Ilustrasinya pake imajinasi dulu, ya. 😆
Pake mulustrasi gk sih
Untuk sementara pake imajinasi dulu
 
Klo pake image jangan nanggung hu, kayak mulustrasi cerita2nya suhu topi jerami & suhu pujangga binal selalu seger dipandang wkwkwkw
 
Ayooo inaya, bantuin... Ahahhaha...

Dikit2 dulu, cipokan dulu, grepek2, sepong2 dulu... Nelen2 pejuh dimuluy dulu g pa2. Ahhahahaha
 
Part 6. Penyembuh Luka

Saat ini Inaya sedang merebahkan dirinya di atas tempat tidur di samping Bara yang tengah memeluk perut ratanya setelah lelah bercinta.

Bara memejamkan mata meskipun belum terlelap tidur. Inaya menatap wajah tenang suaminya lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan bara.

"Mas..."

"Hmm?!" Bara membuka mata. Memandang Inaya dengan tubuh masih polos dan hanya ditutupi dengan selembar selimut.

"Mau minta lagi?" ucap Bara usil. "Enggak, aku mau nanya mas. Boleh?

"Mau nanya apa?" Bara menarik tubuh Inaya lalu mencium ceruk leher istrinya itu.

"Ihh, mas udah. Dua kali emang kurang?" ucap Inaya sembari mendorong Bara menjauh. "Kalo sama kamu, mas gak akan pernah puas. Selalu pengin nambah terus," jawab Bara sambil terkekeh yang membuat muka Inaya bersemu merah.

"Udah tadi mau nanya apa?" Bara menelentangkan badannya. Menaruh kedua tangannya di belakang kepala.

"Gini, mas. Kemarin waktu kita lagi marahan kan mas gak jadi dapet jatah dari aku. Rasanya gimana?" tanya Inaya dengan serius.

"Rasanya?" Inaya mengangguk. "Iya, rasanya gak dapet jatah dari aku?"

"Emm..." Bara berpikir sejenak menatap langit-langit kamarnya. "Rasanya gak enak, pusing, stress. Pokoknya menderita banget. Pokoknya aku kapok!" ungkap Bara dengan nada sedikit lebay.

Inaya termenung. "Mas Bara yang baru sehari gak dapet jatah aja kayak gitu, gimana pak Rahmat yang udah hampir setahun enggak dapet?"

"Kenapa emangnya? Kok tiba-tiba kamu nanya gitu?" Bara membuyarkan lamunan Inaya. "Enggak papa, kok. Aku cuma nanya." Inaya kembali terdiam. Dia merenungi ucapan suaminya itu yang kini sudah terlelap tidur karena kelelahan.

Keesokan harinya seperti biasa Inaya menjalani pekerjaannya sebagai guru di SMA Dirgantara. Seperti biasa, pak Rahmat membuka briefing pagi kepada seluruh guru yang ada di situ. Tapi berbeda dari hari-hari sebelumnya, pak kepala sekolah tampak tidak terlalu bersemangat seperti biasanya. Dia hanya menjelaskan detail-detail kecil yang menjadi rutinitas guru saat mengajar.

Pak Rahmat yang biasanya juga selalu menyapa Inaya sekarang hanya tersenyum sekilas lalu masuk ke dalam ruangannya. Inaya merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh pak Rahmat. Senyum hangat yang selalu ia terima kini seperti hilang dari wajah lelaki itu.

Seperti saat ini. Ketika jam istirahat Inaya membawa data absensi kelas yang dia ampu untuk diserahkan kepada kepala sekolah. Inaya masuk ke ruangan pak Rahmat setelah dipersilahkan.

Pak Rahmat masih sibuk dengan menandatangani beberapa surat. "Permisi, pak. Saya mau mengantar data absensi untuk kelas 3 IPA 3."

"Taruh di situ aja Bu Naya. Nanti saya kroscek," ujar pak Rahmat sembari menunjuk ke arah sebuah meja depan bolpoin yang dia pegang tanpa menatap ke arah Inaya sama sekali. "Sekarang malah manggil Bu Naya. Biasanya cuma manggil nama. Jadi berasa aneh."

Inaya tertegun, namun akhirnya mengangguk. Dia kemudian menaruh lembaran itu di tempat yang semestinya. Awalnya, dia pikir pak Rahmat akan memanggilnya seperti biasa. Sekedar menanyakan kabar atau membahas tentang suatu hal di luar pekerjaan sudah menjadi kebiasaan mereka. Tapi sampai Inaya melewati pintu ruangan itu, pak Rahmat sama sekali tak bersuara.

"Pak Rahmat lagi kenapa, sih?" batin Inaya. Dia meninggalkan ruangan pak Rahmat tanpa ada sebuah obrolan yang berarti.

Inaya mencoba untuk menepiskan pikiran buruk. Tapi itu tidak mudah. Buktinya, sepanjang dia mengajar, pikirannya terus terpaku kepada perubahan sikap pak Rahmat kepadanya. Ada yang aneh, dan Inaya tidak menyukainya.

Inaya ingin pak Rahmat kembali seperti biasa. Menyapanya, melontarkan lelucon yang membuat dirinya tertawa terbahak-bahak. Inaya yang memang sejak kecil kurang dekat dengan ayahnya lantaran sibuk, kini jadi kembali merasakan hilangnya sosok ayah.

Saat pulang mengajar, Inaya tidak sengaja berpapasan dengan pak Rahmat. Inaya tersenyum. "Sudah mau pulang, pak?" sapanya. Pak Rahmat membalas senyum. "Iya."

Setelah itu pak Rahmat melewati Inaya begitu saja menuju ke mobilnya. Inaya melongo hampir tidak percaya. Dia lalu memutar badannya menatap punggung pak Rahmat yang perlahan menjauh dari pandangan. "Pak Rahmat! Jangan cuekin aku!" gerutu Inaya kesal sambil berkacak pinggang.

Karena suasana hatinya sedang kesal, Inaya lalu memutuskan untuk pulang. Dan muncul satu hal lagi yang sama sekali tidak membuat moodnya kembali baik. "Naya, kamu mau pulang?" Itu suara dari Ibnu.

Inaya langsung melirik tajam. "Enggak! Aku mau nginep di sekolah!" ucap Inaya sambil ngomel-ngomel lalu pergi begitu saja. Ibnu hanya bisa meringis sambil menggaruk kepalanya. "Buset, dah. Naya lagi pms kali, ya? Galak amat."

Inaya pulang ke rumah dengan perasaan kesal. Entah kesal karena apa. Apa karena dia diabaikan oleh pak Rahmat atau karena Ibnu yang tidak pernah jera mendekatnya. Kalau itu soal apn Rahmat, tidak juga. Dia tidak betul-betul diabaikan. Pak Rahmat masih menjawab pertanyaannya dengan ramah, hanya saja terkesan singkat dan tidak ingin buang-buang waktu.

Inaya merebahkan badannya di atas ranjang sejenak untuk menenangkan diri. Suaminya belum pulang, jadi dia bisa santai sedikit. Setelah beberapa menit, Inaya merubah posisinya menjadi terungkap. Membuka aplikasi pesan singkat berwarna hijau.

Dia kembali merengut. Tidak ada pesan dari pak Rahmat. Biasanya dia selalu mengirim pesan hanya sekedar menanyakan apakah dirinya sudah sampai di rumah atau belum. Tapi sekarang ponselnya hanya diisi dengan notifikasi grup yang tidak penting-penting amat.

Biasanya Inaya biasa-biasa saja melihat notifikasi-notifikasi itu. Tapi sekarang jadi kesal sendiri. "Ih! Heboh banget ini grup! Kenapa gak dari pak Rahmat aja, sih!" gerutu Inaya dalam hati. "Apa aku coba wa duluan, ya?" pikirnya.

Inaya lalu membuka sebuah riwayat pesan yang tidak ada foto profilnya. Pak Rahmat memang jarang sekali menyematkan sebuah foto di profil miliknya.

"Duh, aku kirim pesan apa, ya?" Inaya memikirkan ide.

Inaya
"Apa kabar, pak?"


Buru-buru Inaya menghapusnya. "Arghhh...enggak! Kan baru ketemu tadi. Masa nanya kabar sih?" Inaya geleng-geleng kepala. Dia kembali mengetikan sebuah kalimat.

Inaya
"Udah makan belum, pak?"

"Duh, basa-basi banget, deh."
Inaya kembali mengubah isi pesannya.

Inaya
"Pak sebenernya tadi bapak kenapa? Kok cuekin Naya? Naya ada salah?"


Inaya menggelengkan kepalanya. "Enggak! Ketauan banget kalo aku ngerasa dijauhi." Wanita itu sama menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Pak, aku minta maaf kalo ada salah."

"Pak, jangan diemin Naya kayak tadi, Naya gak suka."

"Pak, hobi bapak apa?"
Inaya terdiam sesaat. "Eh, kok tiba-tiba nanya hobi, sih?" Perempuan itu kesal sendiri. Semua chat itu dia hapus.

Inaya mengubah posisinya lagi dengan menekuk kedua lututnya sehingga sekarang posisinya sudah mirip seperti kodok.

"Arghhh...kenapa sih, nyari kata-kata buat ngechat pak Rahmat aja susah amat!" Inaya sudah seperti ABG yang hendak memulai chat dengan gebetannya.

Inaya
"Pak, bapak tau bedanya bapak sama fisika? Kalo fisika itu susah dihafalin kalo bapak susah dilupain."

"Pak, l love you!"

"Arghhh...!!!"
Inaya tiba-tiba menjatuhkan ponselnya di atas kasur. Dia memegangi kepalanya yang mendadak kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih. "Ihhh...bapak! Kenapa aku malah ngelantur, sih!"

Inaya sampai memukul-mukul kasurnya karena frustasi. Tak berselang lama tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Mata Inaya sontak membulat melihat nama pak Rahmat muncul di layar pipih itu.

Pak Rahmat
"Dari tadi mengetik mulu gak dikirim-kirim :v."
Isi pesan itu dengan diakhiri emot tertawa di akhir chat.

Inaya langsung bersorak girang. Dia membetulkan posisi duduknya, membacanya berkali-kali. Inaya membungkam bibirnya yang sedang tersenyum lebar dengan telapak tangannya.

Tidak pernah dia sesenang ini ketika mendapatkan pesan dari orang lain. Baru pak Rahmat yang bisa melakukannya.

Inaya
"Hehehe...enggak papa kok, pak. Eh, gimana kabar ibu? Sehat, kan?"
balas Inaya cepat.

Pak Rahmat
"Alhamdulillah sehat."

Inaya
"Emm...kalo bapak gimana? Sehat?"


Inaya meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Suara ketukan pintu membuat Inaya harus beranjak dari duduknya.

"Assalamualaikum," ucap Bara yang baru pulang kerja. "Waalaikumusalam." Inaya mencium punggung tangan suaminya.

Setelah itu Inaya kembali ke kamarnya dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya. "Mau kemana, Nay?" tanya Bara yang merasa aneh dengan sikap istrinya itu. Biasanya mereka duduk dulu dan mengobrol, atau Inaya membuatkan minuman untuk Bara.

"Aku ke kamar dulu, mas. Duh, aku lupa bikinin teh lagi."

"Enggak papa, Nay."

Inaya langsung bergegas ke dalam kamar. Bara pun sedikit curiga dengan gelagat Inaya.

Di dalam kamar, dengan cepat Inaya menyaut ponselnya. Wajahnya langsung berubah kecewa ketika tidak ada pesan balasan dari pak Rahmat.

"Nay, kamu kenapa?" Inaya terkejut saat Bara tiba-tiba masuk ke kamar menyusul dirinya.

"Enggak kenapa-napa, kok. Mas, aku ke toilet dulu, ya. Tiba-tiba perutku mules." Inaya cepat pergi ke toilet. Bara dibuat semakin bingung. "Ke toilet bawa hp? Ngapain?"

Di dalam kamar mandi, Inaya duduk di atas toilet. Dia menggigit kukunya dengan cemas menanti balasan dari pak Rahmat. Satu menit, dua menit, tiga menit, sampai sepuluh menit sama sekali tidak ada balasan.

Inaya pun membuka pesannya lagi. Dan lagi-lagi dia dibuat kecewa karena status pesannya centang dua biru. "Ih, cuma dibaca doang. Aku kan juga pengin tau kabarnya bapak."

"Hemmm..."
Inaya menghela nafas dalam. Entah kenapa dirinya dibuat galau seperti ini. Mungkin karena seumur hidup dia tidak pernah ada yang ngambek kepadanya, terlebih ini adalah pak Rahmat yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri. Jadi dirinya sangat cemas jika didiamkan seperti itu.

Keesokan harinya Inaya bangun lebih dulu daripada suaminya. Hari itu hari Sabtu, mereka libur. Mereka sudah berencana untuk pergi ke rumah mertua Inaya alias orang tua Bara.

Wanita itu menyiapkan sarapan untuk dia dan suaminya. Dilihatnya lagi ponsel yang sejak semalam belum ia buka sama sekali. Ternyata ada notifikasi dari pesan pak Rahmat. Buru-buru dia buka pesan itu.

Pak Rahmat
"Nay, hari ini kamu ada acara, gak?"

"Ibu minta ketemu sama kamu. Ini bapak sama ibu lagi di rumah sakit. Semalem kondisi ibu drop."


Mata Inaya membulat membaca pesan yang dikirimkan oleh pak Rahmat. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan seraya bola matanya berkaca-kaca. "Astaghfirullah, Bu Aminah kenapa?" Inaya langsung mengetikan balasan.

Inaya
"In syaa Allah bisa, pak. Rumah sakitnya dimana?"


Tak berselang lama pak Rahmat mengirimkan lokasi tempat Bu Aminah dirawat. Inaya meletakkan ponselnya di atas meja. Perasaannya jadi tidak tenang. Dia bahkan menyiapkan sarapannya secara terburu-buru.

"Sayang."

"Iya, mas?"

"Oh ya. Hari ini kita mau ke rumah ayah sama ibu, kan? Nanti kita berangkat sekitar jam delapan, ya," ucap Bara.

Inaya langsung tertegun. Dia bingung harus menjelaskan bagaimana kepada suaminya jika dirinya tidak bisa menepati janji untuk pergi bersama. Inaya takut Bara akan marah kepadanya.

"Enggg...anu, mas." Inaya menunduk. Meremas kaos yang ia kenakan. Bara yang semula sedang menggulir layar HP-nya pun menoleh.

"Kenapa?" Bara mengernyitkan dahinya. "Itu, mas. Kayaknya kita gak jadi ke rumah orang tua mas, deh."

Deggg...

Inaya membeku khawatir dengan respon suaminya. Bara hanya menatap datar ke arah Inaya. Namun jauh di lubuk hatinya Inaya tahu jika Bara pasti merasa kecewa.

"Gak jadi? Kenapa? Kita udah ngerencanain dari minggu lalu, loh."

"A...anu. barusan pak Rahmat ngabarin kalo Bu Aminah masuk rumah sakit. Katanya pengin ketemu sama aku, mas."

Bara menegakkan badannya hingga bersandar di kursi yang ia duduki. Dia menarik nafas dan menghembusnya kuat. Inaya dapat melihat percikan kemarahan dari suaminya.

"Selalu aja dia. Kemarin kamu telat pulang juga dari rumah dia, kan? Sekarang kamu batalin janji kita juga karena dia. Apa mereka lebih penting daripada aku sama keluargaku? Iya?!" bentak Bara. Dadanya bergemuruh karena emosi.

"Mas, bukan gitu. Ini darurat, mas. Bu Aminah masuk rumah sakit. Kondisinya drop, dia pengin ketemu sama aku. Apa salah? Besok kan masih bisa kita ke rumah ayah sama ibu, mas."

"Kita janjiannya kapan? Sekarang apa besok?! Kamu kan tau aku ini paling gak suka sama yang namanya telat dan ingkar janji. Lagian mereka siapa, sih? Kenapa kamu begitu memprioritaskan mereka daripada suami kamu sendiri?!"

Inaya hanya bisa menunduk dan menangis. Begitulah kalau Bara sedang emosi. Semua omongannya benar-benar menyakiti hatinya. Padahal semasa perkenalan dulu Bara tidak pernah membentak sama sekali, tapi setelah menikah justru kelihatan sifat aslinya.

"Hiksss...ya udah, mas. Aku ikut mas aja. Aku gak jadi nengokin Bu Aminah," ucap Inaya seraya mengusap air matanya yang mengalir ke pipi.

"Alah, gak usahhh...kamu pergi aja sana! Gak usah peduliin keluargaku. Toh kamu gak nganggep orang tuaku penting juga, kan? Mereka lebih penting. Kalo perlu kamu nginep aja di sana sekalian!" balas Bara yang membuat Inaya terguncang.

Lelaki itu menggebrak meja lalu menendang kaki meja tersebut hingga bergeser. Inaya pun terkejut karena Bara bisa semarah ini padanya. Bara bangkit menghampiri Inaya yang ketakutan.

Bughhh...

"Aduhhh..." Inaya tersungkur setelah mendapatkan bogem mentah dari Bara di sudut bibirnya. Tidak terlalu keras namun meninggalkan sebuah warna biru dan goresan luka di sana.

Sejenak Bara terdiam karena reaksi spontannya yang meledak membuat dia menyakiti istrinya. Sebenarnya ia ingin menolong Inaya tetapi egonya melarang dia untuk melakukan itu.

Kalut, akhirnya Bara memutuskan untuk pergi begitu saja dengan menggunakan mobil meninggalkan Inaya yang terus saja menangis di atas lantai.

"Astaghfirullah, hiksss...kenapa mas Bara kayak gitu? Aku gak nyangka." Isak tangis Inaya menggema di dalam rumah itu.

•••

"Pak, Naya kok belum ke sini juga? Perasaan ibu gak enak," ucap Bu Aminah.

"Sabar, Bu. Tadi dia bilang mau ke sini, kok. Tungguin aja. Ibu gak usah banyak pikiran, nanti drop lagi." Bu Aminah diam tidak menanggapi ucapan pak Rahmat.

Hanya berselang setengah jam, pintu ruangan ber-AC itu diketuk dari luar. Pak Rahmat yang membukakan pintu dan muncul orang yang mereka tunggu-tunggu. Inaya.

"Assalamualaikum, pak, Bu," ucap Inaya memberi salam. "Waalaikumusalam, Alhamdulillah Naya, akhirnya kamu dateng juga. Sini, Nay. Duduk di sebelah ibu." Senyum Bu Aminah langsung terukir di bibirnya kala melihat Inaya datang.

Inaya yang datang dengan mengenakan masker duckbill itu lalu duduk di kursi sebelah brankar Bu Aminah. Dia menaruh sebuah tas kresek berisikan buah-buahan di atas nakas rumah sakit.

"Gimana keadaannya, Bu? Udah baikan?" tanya Inaya dengan nada sedikit melirih.

"Semalem sempet drop, tapi sekarang udah gak papa," jawab Bu Aminah. "Kemarin kamu kemana, kok gak ke rumah?" lanjutnya.

"Kemarin Naya lagi banyak kerjaan, Bu. Jadi gak sempet mampir." Bu Aminah mengangguk mengerti. Dia tahu kalau Inaya sudah menikah dan waktunya pasti lebih banyak dihabiskan dengan suaminya.

"Bu, Nay. Bapak keluar dulu, ya. Mau cari udara segar." Pak Rahmat berpamitan. Inaya menatap pak kepala sekolahnya itu dengan intens. "Masih menghindar," batinnya pelan.

Setelah pak Rahmat keluar kamar, Inaya dan Bu Aminah berbincang-bincang akrab seperti biasa. Inaya sebisa mungkin menutupi perasaannya yang sedang hancur karena suaminya.

"Nay, kenapa maskernya gak dilepas?" tanya Bu Aminah. "Aku lagi agak flu, Bu. Apalagi di rumah sakit. Takut nular ke yang lain," alasan Inaya.

Untung saja Bu Aminah percaya. Setelah berbincang cukup lama, Bu Aminah akhirnya tertidur. Inaya lalu pindah duduk di sofa ruang VVIP yang masih satu ruangan dan hanya dipisahkan oleh tirai yang mengelilingi brankar milik Bu Aminah.

Inaya duduk bersandar sambil memejamkan mata. Tak terasa air matanya kembali menetes. Entah berapa lama, sampai-sampai dia tidak menyadari ada orang yang masuk ke ruangan itu. Inaya baru sadar ketika merasakan sofanya bergetar.

Dia membuka mata. Buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya. "Enggak usah ditutupi. Bapak udah liat, kok," ucap pak Rahmat sambil mengupas jeruk yang ada di atas meja.

Inaya diam saja memperhatikan jari-jari pak Rahmat menguliti jeruk tersebut. "Buka," ujar pak Rahmat. Awalnya Inaya tidak mengerti. Tapi ketika pak Rahmat menunjuk ke arah masker yang dia kenakan, Inaya langsung menggeleng.

"Buka," ucapnya lagi seraya menyodorkan satu pis jeruk ke mulutnya. Inaya terpaksa menurunkan masker miliknya dan memakan buah jeruk yang disuapkan oleh pak Rahmat.

"Bibirnya kenapa?" tanya pak Rahmat yang melihat ada area biru di sudut bibir Inaya. Wanita itu menaikkan kembali maskernya. "Enggak papa kok, pak."

Pak Rahmat tidak menimpali. Dia berjalan ke arah kotak P3K. "Sini bapak obati." Pak Rahmat mengambil kapas, alkohol, dan obat merah dari dalam.

"Enggak usah, pak. Udah enggak papa, kok," tolak Inaya.

"Nanti infeksi, Nay. Tenang aja, bapak nyentuh pake kapas, kok. Enggak pake tangan langsung." Entah apa maksud dari pak Rahmat, tapi Inaya merasa tersentil karena menganggap pak Rahmat berpikir jika dirinya tidak mau disentuh oleh lelaki itu.

Inaya pasrah. Dia kembali menurunkan maskernya, bahkan melepaskannya. "Aduhhh...ssshhh..." rintih Inaya sambil memejamkan sebelah matanya. Pak Rahmat mengobati Inaya dengan telaten.

Diam-diam Inaya memandang wajah pak Rahmat yang sedang fokus ke lukanya. Kumisnya yang tebal, kulitnya yang penuh keriput, dan kepalanya yang botak. Entah kenapa terlihat begitu menggemaskan di mata Inaya.

"Udah selesai, Nay." Pak Rahmat menutup kembali botol alkohol itu dan meletakkannya kembali ke dalam kotak P3K. Sesuai janji pak Rahmat, dia tidak menyentuh Inaya sama sekali.

"Makasih, pak," balas Inaya singkat. "Sebenernya kamu kenapa sampe luka kayak gitu? Kalo kamu mau cerita bapak dengerin, tapi kalo enggak bapak gak maksa."

Sejenak Inaya terdiam. Ditatapnya pak Rahmat lekat-lekat. Namun semakin lama dia justru tidak tahan untuk mewek. "Pak, hiksss..." Secara spontan Inaya memeluk pak Rahmat.

Lelaki itu terkejut, namun hanya sebentar. Inaya membenamkan wajahnya di dada pak Rahmat. Tangisnya pecah. Inaya akhirnya mengeluarkan semua uneg-unegnya kepada pak Rahmat. Tentang perilaku suaminya yang main tangan.

Respon pak Rahmat? Dia menasehati tanpa emosi yang menggebu-gebu. Malah dia menawari untuk menjadi penengah antara Inaya dan suaminya. Di sini Inaya dapat melihat sikap kepemimpinan pak Rahmat yang begitu dominan. Menyelesaikan masalah tanpa emosi. Inaya begitu kagum kepada pak Rahmat.

"Iya, pak," ucap Inaya setelah mendapatkan wejangan dari pak Rahmat. Hatinya menjadi plong setelah mengungkapkan isi hatinya kepada pak Rahmat.

"Ya, udah. Jangan nangis lagi. Kalo kamu butuh apa-apa, gak usah sungkan sama bapak. Bapak akan bantu sebisa mungkin."

Inaya tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Kini dia mulai kembali ceria. "Ada satu lagi, pak."

"Apa itu?"

"Bapak, akhir-akhir ini menghindar dari aku, ya?" tanya Inaya dengan nada sedikit menuntut.

"Emmm...iya," jawab pak Rahmat santai. Dia bahkan menjawabnya sambil memakan sebiji jeruk yang tadi dia kupas.

Inaya menggembungkan pipinya kemudian bertanya. "Kenapa?" Pak Rahmat melirik sekilas lalu tersenyum.

"Bapak cuma mau menghindari kejadian kayak waktu itu. Bapak kan udah pernah cerita waktu di ruangan kepala sekolah. Bapak khilaf, bapak hampir aja kelepasan. Kenapa? Karena bapak udah lama kebutuhan biologis bapak gak terpenuhi. Bapak cuma gak mau kamu dalam bahaya. Bapak juga gak tahu sampai kapan bapak bisa tahan kayak gini. Jadi, daripada bapak ambil resiko mending bapak menghindar dari kamu," jelas pak Rahmat.

"Hati-hati, Nay. Laki-laki kalo syahwatnya udah gak bisa dibendung dia bisa ngelakuin apa aja. Termasuk bapak." Pak Rahmat kembali mengupas jeruk yang kedua. Tanpa dia sadari Inaya terus saja memperhatikan wajahnya yang menyiratkan kefrustasian.

"Pak," panggil Inaya. "Hmm?" Pak Rahmat bergumam tanpa menoleh sedikitpun ke arah Inaya.

Wanita itu menggeser badannya semakin dekat dengan pak Rahmat. Tangan kirinya menarik rahang pak Rahmat hingga mereka saling berhadapan. Dan...

Cuppp...

Mata pak Rahmat membulat sempurna saat merasakan bibirnya bersentuhan dengan bibir Inaya. Iya, wanita cantik itu yang menciumnya duluan. Bahkan dia menempelkannya cukup lama karena pak Rahmat sama sekali tidak bergerak.

"Pak," panggil Inaya setelah dua pasang bibir mereka terlepas. Dia mengusap pipi pak Rahmat yang bersemu merah.

"Nay. Kamu ngapain?" Pak Rahmat tidak percaya dengan apa yang terjadi. Semuanya sangat mendadak baginya.

Inaya justru tersenyum manis dengan lesung pipi yang menghiasi wajahnya. Teramat sangat manis hingga membuat setiap lelaki pasti akan terpesona melihatnya.

"Pak, bapak udah baik banget sama aku. Selalu ada waktu aku punya masalah. Orang pertama yang bantu aku waktu aku kesusahan. Aku gak bakal biarin bapak pendem masalah bapak sendiri. Jadi..."

Ucapan Inaya menggantung. Dia lebih suka menjelaskan dengan sebuah tindakan. Maka dari itu Inaya kembali mendekatkan wajahnya ke wajah pak Rahmat.

"Eeemmmppphhh..." Inaya terkejut karena pak Rahmat tiba-tiba saja menyambar bibirnya. Hanya sebentar sebelum Inaya berhasil mengendalikan dirinya.

Pak Rahmat menyosor bibir Inaya. Mengulum, mengemut, serta menjilat seluruh bagian di luar maupun di dalam bibir Inaya hingga bagian sekitar bibirnya hingga hidungnya basah karena saliva pak Rahmat.

Inaya dapat merasakan betapa pak Rahmat layaknya singa kelaparan yang sudah lama tidak diberi makanan.

"Emmmhhh...ssslllrrrppp...msssppp..." Inaya yang mendapatkan serangan bertubi-tubi semakin lama semakin terlena dengan apa yang dilakukan pak Rahmat. Dia membalas ciuman itu hingga membuat pak Rahmat semakin bersemangat.

Kepala Inaya dikunci oleh tangan kiri pak Rahmat. Untuk mundur pun susah, tapi memang tidak ada niatan sama sekali bagi Inaya untuk melepasnya. Dia sudah sepenuhnya tenggelam dalam lautan birahi yang diciptakan oleh dirinya sendiri dan dibawa berlayar oleh pak Rahmat.

Inaya tersentak kala tangan pak Rahmat hinggap dan meremas payudaranya sebelah kiri. Namun dia tidak menolak. Inaya meletakkan tangannya di lengan pak Rahmat sebagai respon untuk melanjutkan aktivitasnya.

Pak Rahmat semakin kuat meremas payudara Inaya. Bibir mereka hanya terlepas saat keduanya mencari nafas. Selebihnya, hanya suara kecipakan yang terdengar seantero ruangan.

"Emmmhhh...ssslllrrrppp...msssppp..." Tanpa sepengetahuan pak Rahmat, Inaya membuka kancing kemejanya satu persatu mulai dari atas hingga setengah badan dan meninggalkan dua kancing bagian bawah yang masih tertaut.

Inaya melebarkan kemejanya ke kiri dan ke kanan. Pak Rahmat yang sudah mengetahuinya, melepaskan ciuman mereka. Dia tarik bra Inaya yang berwarna hitam itu ke bawah hingga terlihat payudara kiri Inaya yang dihiasi nipple berwarna pink cerah sangat menggoda.

"Ammmhhhh..." Inaya membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangan ketika hampir saja dia kelepasan mendesah.

Iya, pak Rahmat mencaplok puting payudaranya. Membuat rasa geli di area itu menjalar di sekujur tubuh Inaya. "Acchhh...pakkk...ssshhh..." Wanita itu meringis entah karena sakit atau enak. Hanya Inaya yang dapat merasakannya.

Yang jelas, Inaya seperti cacing kepanasan. Dia sampai menggigit punggung jari tengahnya untuk setidaknya menetralisir rasa yang sulit diungkapkan.

"Engghhh...pakkk..." lenguh Inaya manja. Dia memeluk kepala pak Rahmat sambil meremas rambut yang hanya tumbuh di bagian belakang ketika pak Rahmat menyedot-nyedot putingnya sambil menggigit kecil benda kenyal itu.

To Be Continue...
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd