Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KISAH INDAH (KLASIK) PERKANTORAN

Siapa profil perempuan yang anda favoritkan dalam cerita ini hingga Chapter 16 terakhir?

  • 1. Merry

    Votes: 33 19,5%
  • 2. Mirna

    Votes: 66 39,1%
  • 3. Rachma

    Votes: 55 32,5%
  • 4. Winda

    Votes: 15 8,9%

  • Total voters
    169
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
KISAH INDAH (KLASIK) PERKANTORAN

Oleh:
ReynalWriter

29002509cf4bc675d64c851c75cf840c6204e3c6.jpg

(MIRNA - ilustrasi mendekati)

Chapter 12
POV JACKY


Ini termasuk persetubuhanku yang menguras fisik, emosi, rasa dan juga gairah. Juga mesti diakui termasuk yang sangat luar biasa. Terasa sangat luar biasa karena aku benar-benar menumpahkan banyak rasa dan banyak emosi disini. Bukan apa-apa, sepanjang hari sampai semalam, kami terus saja bercinta. Bahkan diakhir dengan mandi bersama dengan perasaan semanis madu.

Terus terang kuperlakukan Merry bagaikan memperlakukan istriku sendiri atau seperti sedang memperlakukan pasangan resmiku. Tidak kuperlakukan Merry sebagai seorang perempuan pengisi kekosongan atau pelampiasan semua persoalan atau rindu dendamku atas seseorang. Tidak. Sama sekali tidak begitu.

Tidak juga kuperlakukan dia seperti perempuan bayaran, ataupun sekedar perempuan yang darinya ingin kureguk kenikmatan dan tanpa memperdulikan emosi, perasaan dan hatinya.

Bercinta hebat dengan Merry sejak semalam sampai pagi ini, membuatku heran. Terutama karena dahulu sama sekali tidak pernah menduga dan menyangka jika kami berdua akan bisa berakhir seperti ini. Dulu, aku benar mengaguminya, cara dan corak berbicara, pilihan kata dan sportifitasnya. Juga gaya bergaulnya. Dia memang terkenal supel dan riang gembira. Tentu Juga karena dia smart, cerdas dan asyik diajak bicara. Meski harus kuakui, dia sering merasa kurang percaya diri kalau diskusi di ruang umum denganku. Kekurangannya memang jika harus berdebat secara ilmiah atau akademis di depan banyak orang. Hal ini terutama karena memang jenjang pendidikannya baru sampai D3, belum setingkat sarjana.

“Kamu gak khawatir yang...... ?“ lirikku ketika dia memeluk lenganku secara amat lepas pada saat kami keluar kamar dan bersama-sama menuju ke mobilku yang diparkir di halaman kostnya. Maklum, karena semalam dia amat khawatir kami ketahuan sebagai pasangan kekasih atau pasangan selingkuh. Hal itu saat kami akan berjalan memasuki kamar kostnya dengan melalui beberapa spot yang biasanya banyak penghuni kost itu. Akan tetapi, sekarang ini, pagi ini, justru dia yang tidak malu-malu dan seakan ingin memberitahu seisi kost nya, bahwa kami memang pasangan resmi.

Aneh bukan ?

“Gak lagi yang..... “ bisiknya manja, sepertinya dia sudah sepenuhnya menerima dan memperlakukan aku sebagai bagian dari hidupnya. Semalam saja kami bisa saling menerima dan saling memperlakukan secara demikian mesra. Tentu hal ini ikut membuatku merasa senang dan bahagia.

Sekali lagi, aku senang.

Karena itu, selanjutnya akupun tidak lagi mempersoalkannya dan kamipun sama segera memasuki mobil, karena memang sudah waktunya kami berangkat ke kantor. Buat apa lagi mempersoalkannya kan ? Lagipula, bukan sesuatu yang terlalu serius untuk terus dibahas dan dipersoalkan. Yang seperti itu sebaiknya dinikmati dan dijalani saja tanpa perlu banyak bertanya. Kareena tidak semua hal penting untuk dibicarakan, ada yang sebaiknya dialami saja.

Akan tetapi, meskipun kami bersama keluar dari kamar kost nya, namun dia tak kuantarkan dia kekantornya. Maklum, waktunya sudah setengah tujuh pagi, aku harus segera berada di kantor sebelum pukul delapan mempersiapkan beberapa pertemuan yang sudah diatur oleh Mirna. Karena semua hal penting harus diatur dan juga ditangani hari ini dan senin nanti, seusainya, aku harus ijin dan juga cuti karena hari penting untuk study doktoralku.

Begitu Merry turun dari mobilku untuk melanjutkan dengan taxi menuju langsung ke kantornya yang tidak terlampau jauh, aku memandanginya hingga memasuki taxi. Sesudahnya, ingatanku justru langsung terarah ke Mirna. Hal ini membuat aku sedikit tersenyum, meskipun terus terang juga rada was-was. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya atau bagaimana sikapnya apabila dia sampai tahu sudah sejauh sekarang hubunganku dengan Merry.

Maklum, Mirna ini selain istri teman dekatku semasa study Magister, juga orang yang mengajakku masuk ke perusahaan ini dan membantuku dengan total dan tidak banyak cingcong. Bahkan, study doktoralku tidak akan sesukses dan juga secepat sekarang jika dia tidak turun tangan dan membantu mem back up tugas penting di kantor kami. Selain itu, aku tahu betul jika dia dengan Merry memiliki hubungan yang juga sangat akrab dan dia sering bertindak sebagai mentor dan malah kakak bagi Merry.

Jika dia tahu bahwa hanya dalam waktu beberapa minggu saja, hubunganku dengan Merry sudah sampai sejauh sekarang ini - bahkan sudah sama saling mengaku sebagai kekasih, apa yang akan dia lakukan? Atau bagaimanakah gerangan reaksinya ? untungnya setahuku, perkembangan terakhir ini masih berada diluar jangkauan perkiraan dan pengetahuannya. Dan akan kucoba untuk tidak sampai dia mengetahui jalannya hubungan kami yang sudah demikian jauh saat ini. Setidaknya untuk saat ini.

“Hmmmm, dia pasti akan bisa mengerti kelak. Terutama jika tahu sesungguhnya apa yang sudah dan sedang terjadi.... “ desisku dalam hati dan merasa cukup punya alasan kelak jika memang Mirna sampai tahu apa yang terjadi denganku dan Merry saat ini. Aku meyakinkan diriku bahwa akan mampu dan sanggup jika memang tidak bisa ditolak, dia sampai tahu.

Bukannya tanpa alasan jika terngiang nama MIRNA. Karena memang beberapa kali Merry juga mengingatkanku akan nama itu. Selain, selama ini memang dia, sekali lagi, yang menata dan mengatur waktuku. Terutama sejak aku mulai memasuki paroh memabukkan dalam hal aku mengejar penyelesaian study doktoralku. Untuk hal ini, aku harus berterima kasih kepadanya. Ini tidak mungkin dan tidak bisa kutolak. Aku banyak berhutang budi kepadanya, meskipun Mirna juga melakukannya dengan rela hati dan atas dasar persahabatan kami.

Sungguh, aku sangat berterima kasih padanya.

Selain itu, Merry juga memberitahuku dan mengkonfirmasi apa yang juga sering disampaikan oleh Mirna sendiri. Bahwa memang benar jika Merry dekat dengan semua teman sekantor kami, akan tetapi dia dekat terutama tentu dengan Mirna. Dan Merry, bersama dengan Mirna, Rachma dan Winda merupakan staf dan juga pekerja utama yang mendukung semua progres dan project kami sejauh ini dengan hasil yang sangat memuaskan.

Bahkan pernah setahun yang lalu jika tidak keliru, mereka berempat sampai membentuk apa yang belakangan disebut sebagai “the fantastic four” di divisi kami – bahkan juga kantor kami. Ini terutama karena daya tarik dan kecantikan mereka yang di atas rata-rata, dan karena prestasi mereka berempat di divisiku yang memang terhitung melambung jauh selama 2 tahun terakhir. Karena itulah maka julukan mereka the fantastic four merupakan kombinasi dari prestasi kerja yang hebat serta kecantikan mereka yang memang menawan.

Mengenai Mirna sendiri, sesungguhnya dia bukanlah sekedar figur yang pada saat ini selalu menata dan mengatur jadwalku. Karena sesungguhnya dia jadi seperti executive secretary dengan beban yang bukan hanya administratif, tapi juga mengerjakan pekerjaan operasional yang adalah mandatory baginya. Tapi, memang belakangan bertambah dengan membantuku guna menyelesaikan hal-hal sepele yang tidak perlu kupelototi. Dan untuk pekerjaan seperti ini, dia itu memang sudah sangatlah ahli, karena dia bahkan sudah lebih lama menjalaninya beberapa tahun sebelum aku tiba dan bergabung dengan perusahaan ini. Langsung di divisi ini.

Mengingat namanya, akupun mengangkat tilpon dan tidak ragu segera menekan nama Mirna di contact hp ku. Bagaimanapun memang jadwalku pagi ini setahuku memang padat dan mesti kukonfirmasi dengannya. Tak lama,

“Halo Jack..... “ sekali lagi, jika bicara berduaan, dia menyapa dengan namaku saja, dan tak menggunakan kata PAK, BAPAK atau sejenisnya. Bahkan, kami berbicara dengan akrab dan tidak ada rahasia pekerjaan yang kusimpan dari dia, sedemikian juga Mirna kepadaku. Ini mungkin sekali karena memang Mirna yang memintaku dan memberitahuku informasi tentang pekerjaan di kantornya padaku dan menuntunku sampai diterima.

“Mir, jadwal hari ini tetap kan..... “?

“Tetap Jack, nanti dokumen review bisa ditemukan di mejamu..... “ suaranya empuk terdengar dan sepertinya dia sudah berada di kantor. Memang Mirna aku tahu terhitung sangat rajin dan amat jarang terlambat.

“Baik, makasih Mir..... “

“Sudah dimana sekarang Jack.... “?

“Masih di jalan, tapi sebelum setengah delapan sudah di kantor..... “ tegasku agar dia tidak mengkhawatirkan aku datang terlambat ke kantor.

“Thats sound good.... hikhkhik.... “ aku tahu dia tertawa, karena memang jarang aku tiba setengah delapan. Biasanya aku tiba tepat atau sedikit sebelum jam delapan, meskipun jam kerjaku kutambah satu jam pada sore hari nanti. Itupun jika tidak ada jadwal pertemuan sore hari. Dan kebiasaan seperti ini, sangatlah dikenal oleh Mirna, karena dia sendiri memang tidak jarang melakukannya. Tidak jarang menghabiskan waktu sampai satu atau dua jam dari jam normal pulang.

“Ok, see you there..... “

Sesungguhnya memang Mirna sejak awal sudah mendukungku penuh, dan baru belakangan Merry ikutan mendukungku sepenuhnya. Merry, sejak ku hire dua tahun lalu langsung klop dengan Mirna dan langsung menjadi team utamaku. Kutambahkan kemudian Rachma dan Winda. Tetapi, jika dibanding Merry dan terutama Mirna, maka dua nama terakhir masih sedikit ada di bawah kualitas bantuan dan sokongan terhadap pekerjaanku.

Terutama karena memang Rachma dan Winda berkonsentrasi di area lainnya dan tentu saja mereka sangat perform dengan pekerjaan mereka itu. Tidak ada banyak hal yang bisa kujelaskan dan kubantu buat mereka, karena pekerjaan utama mereka, sudah seperti itu dan diulang-ulang. Aku masuk dan sekedar memberi perspektif baru dan membawa sejumlah potensial klien baru melalui jaringan yang kubangun dan kumiliki.

Tentu saja, sebagai bos mereka pada empat tahun silam, akupun membawa skill yang baru dan tidak pelit kubagi dengan mereka semua. Pekerjaan mereka yang sebelumnya dan sudah nyaris otomatis mereka kerjakan, kubongkar semua dan kuberi perspektif baru. Bukan dirombak, akan tetapi kuberi muatan baru dengan perspektif baru yang memang sedang marak pada masa itu.

Selain itu, belakangan untuk tugas operasional non administratif, mesti kuakui jika aku akan merasa save dan aman jika ada Mirna dan atau Merry. Bakalan sedikit merasa ada kekurangan jika tanpa mereka berdua. Dan aku bukannya bodoh jika tidak tahu jika mereka berdua memang sangat dekat satu dengan yang lainnya. Setidaknya dibandingkan dengan dua nama lainnya, Winda dan Rachma. Kedekatan khusus mereka berdua, tidak mengurangi kekompakan mereka berempat – karena Winda dan Racha sendiripun sangatlah dekar.

Cantik dan menarik bukan ukuran utamaku, karena bahkan Merry bukannya aku yang merekomendasikan, tetapi bagian HRD dan kemudian Mirna yang terakhir menyodorkannya kepadaku. Melalui satu wawancara, aku langsung menentukan bahwa pilihan itu sudah benar. Sementara Rachma dan Winda, memang sudah berada dan bergabung dengan kantor ini dan divisi ini selama setahun terakhir sebelum aku bergabung dengan mereka.

Memang benar bahwa pada saat itu adalah aku yang mengajukan kualifikasi dan persyaratan untuk merekrut tenaga baru, namun yang melakukan seleksi secara administratif, melakukan wawancara awal dan mengusulkan nama Merry adalah dari bagian HRD. Setelah menetapkan nama Merry lulus dari bagian HRD, baru kemudian Mirna bersama jajaran atasannya di bagian HRD perusahaan datang dan menyodorkan nama, dan akhirnya kuputuskan.

Yang membuatku galau dengan Mirna, adalah jika dia sampai tahu hubunganku dengan Merry. Ini bisa mengganggu irama kerjaku. Jika itu terjadi dan Mirna murka padaku, bakalan muncul kerepotan maha besar bagiku, terutama untuk urusan pekerjaan dikantor. Bahkan, sangat berpotensi mengganggu kinerja lainnya yang kulakukan bersama beberapa kawanku.

Memang di tempat lain, sudah sejak lama kami membentuk perusahaan lainnya dengan bekerja menjadi konsultan untuk beberapa kementerian dan bahkan perusahaan asing. Sesungguhnya, justru penghasilanku utamaku lebih banyak datang dari sini. Tidak perlu aku turun tangan langsung, cukup beberapa staf dan tenaga level magister yang kami by project yang mengerjakannya atas nama kami. Beres. Tetapi tentu saja jika Mirna sampai ngadat, maka beberapa project di kantor konsultan kami ini, bisa goyah jadwalnya.

Karena itulah maka secara serius kuwanti-wanti Merry, agar tidak sampai dia membocorkan rahasia kami berdua. Setidaknya dalam waktu dekat ini, amat terutama pada saat aku tengah berjibaku dengan study doktoral yang sudah mendekati ujungnya.

Yang tidak diketahui Merry dan sedikit saja Mirna tahu adalah, keluargaku saat ini atau bahkan sudah lama, memang bermasalah. Akan tetapi, secara sengaja aku tidak mempergunakan dan tidak mengumbar masalah keluargaku kepada siapapun. Jelas tidak ada dari staf dan bawahanku yang tahu jika aku dan istriku sedang didalam persoalan yang agak berat. Setahu mereka, keluargaku baik saja dan tidak terdengar ada masalah.

Aku paham bahwa masalah keluargaku tidak boleh menjadi excuse bagi apapun yang terjadi dengan Merry dan dengan pekerjaanku. Karena toch sebelumnya, akupun sudah menjalani selingkuh yang sama sampai dua kali. Dan keduanya, sama-sama melibatkan hati dan melibatkan emosi. Ini tak kupungkiri. Mengakhiri hubunganku dengan kedua dosen dari daerah berbeda, bukanlah sesuatu yang mudah dan bukan sesuatu yang menyenangkan.

Sungguh tidak mudah.

“Prrrt, prrrrt...... “ hp ku berbunyi, tanda ada sms masuk.

Perlahan kuambil hp ku, saat itu kebetulan sedang di lampu merah dan antrian mobil cukup panjang dan akan makan waktu untuk berjalan kembali.

Begitu kubuka hp ku, ternyata dari Merry,

“Sayang, sudah sampai..... “?

“Masih di jalan yang..... kenapa ? sudah kangen.... “?

“So pasti yang. Gimana gak kangen, habis diobok-obok begitu.... “? nadanya sudah beda, sudah berani nakal dan genit Merry kepadaku. Ini membuatku jadi tersenyum senang dan nyaman.

“Kangen ML namanya itu yang....... “

“Awas ya..... “ ancamnya pura-pura marah, padahal kubayangkan sepaerti apa wajah mungilnya pada saat itu, pasti sangat menggemaskan.

“Hahahaha, sabar yang. Kamu pikir kamu aja yang kangen... “?

Setelahnya, mobilku harus jalan. Pupus waktu sms an kami pagi itu.

Perlahan-lahan bangun hubungan kami berubah menjadi sangat mesra serta juga semakin hangat atau bahkan hot. Kemesraan serta sms an yang lebih erotis sekalipun, perlahan mulai tercipta antara kami dengan tanpa rasa malu sama sekali. Tanpa disadari kami membangun suatu hubungan emosional yang sedemikian dekatnya. Layaknya suami-istri. Karena kini kami bisa saling merindukan, dan bisa saling mengutarakan keinginan dan kerinduan kami, termasuk kerinduan dan keinginan untuk bercinta sekalipun.

Aku tersenyum mengingat betapa cepatnya hubungan kami meningkat. Satu hal yang kupahami, sesungguhnya kami sudah menanam bibit emosi kedekatan itu selama dua tahun bekerja bersama dalam satu kantor. Dan ketika bibit emosi itu dipicu sedikit saja, langsung saja melambung jauh. Saat menemukan momentum bertumbuh, ternyata dia sudah berakar sangatlah kuat, sehingga dengan cepat bisa bertumbuh dan bertambah besar dan dalam. Begitu ada trigger, dengan sangat cepat menyeruak keluar, dan dengan sangat mudah bertemu dalam baluran hubungan hati dan raga yang dalam.

“Hmmmm, aku ingin kami punya tempat khusus berdua. Apakah Merry bersedia tinggal di sebuah apartmen atau kost exclusive... “? pikirku tiba-tiba. Awalnya aku memikirkannya sambil lalu, tetapi belakangan aku merasakan kebutuhan untuk membagi hari-hariku dengan orang khusus.

Akan tetapi, tentu saja aku harus bertanya dan meminta kesediaan Merry, dan itu tidak akan kulakukan tiba-tiba. Bagaimanapun aku harus merencanakan dan nanti saat melaksanakannya akan secara bertahap, dan menunggu kesiapan Merry. Baik kesiapannya secara emosi dan juga kesediaannya untuk berbagi kehidupannya dengaku. Kurasa dalam tahap sekarang ini, amat mungkin dia menolak, dan itu tidak kurharapkan. Karena keyakinan itu, maka saat yang tepat memang mesti dicari dan tidak boleh dipaksakan.

Saat ini aku memiliki sebuah apartemen yang sedang dalam pembangunan di daerah Tebet. Sesungguhnya apartemen itu bukanlah dibeli dari uangku, tetapi hasil kerja keras team konsultan kami. Dan group yang mempekerjakan kami, pada akhirnya menghadiahi aku dan temanku, masing-masing satu unit kamar apartment. Temanku yang menjadi pimpinan team, memperoleh kamar di sudut lantai 7, sedangkan aku persis di sampingnya. Kami berdua memang yang dulu memimpin team tersebut, membawa keuntungan yang besar bagi perusahaan sehingga bonusnya terasa menyenangkan.

Akan tetapi sudah tentu apartment ini masih belum bisa kugunakan jika ingin tinggal bersama Merry. Begitupun aku bisa mencoba mencari tempat yang tepat di daerah Mampang agar dapat dekat dengan kantor Merry. Ini kulakukan secara diam-diam, dan tanpa Merry tahu jika itu sedang kupersiapkan. Pada saat yang tepat akan kuajukan pada Merry, dan tentu menghitung momentum yang pas. Karena jika tidak, bakalan tak akan berhasil rencana itu.

Akan tetapi ternyata, masa-masa sebelum ujian disertasiku, tidaklah bakal dapat kulalui dengan mudah. Bukan soal persiapan dan kesiapanku secara tehnis, tapi karena ada persoalan atau pekerjaan lain yang mesti kuhadapi. Begitu tiba di kantor, belum lagi membaca beberapa memo dan catatan Mirna, Rachma telah mengetuk pintu ruangan dan memohon ijin bertemu,

“Selamat pagi pak..... “

“Eccch, Rachma, masuk..... “ anak itu, sebagaimana biasanya mengenakan jilbab yang menutupi bagian dadanya. Penampilannya pagi ini, seperti biasa, cantik dan juga menarik. Jika dia menganut kehidupan yang lebih aktif dan terbuka, jilbabnya disingkap, maka siapapun akan melihat betapa sexy dan merangsangnya anak ini. Untung dia sadar potensinya, dan secara sengaja dan selalu dia menutupi daerah keistimewaannya ini. Aku sendiri sudah lama tahu dan karena itu paham kelebihana anak itu.

Akan tetapi begitu masuk, Rachma tidak mengambil tempat duduk, tetapi dia langsung saja berbicara,

“Pak, ditunggu bos besar di ruangannya. Kak Mirna sudah disana..... “ demikian Rachma memberitahuku singkat saja.

Perkataannya itu membuatku tak sempat lama menikmati wajah sendu dan lembutnya, dan belum kukagumi bentuk tubuhnya yang bagus dan terbungkus dalam pakaiannya. Serta sebagaimana biasanya selalu tertutupi oleh jilbabnya area keistimewaannya, dan yang sekali ini jilbabnya berwarna hijau dan terlihat serasi dengan pakaiannya. Heran juga aku cepat menangkap impresi tentang dia saat ini. Tapi, segera aku berkata,

“Ada apa gerangan Rachma.... “? ekspresiku kutahu berubah agak sedikit kaget. Sebab tidak seperti biasanya, bahkan selama dua tahun terakhir, belum pernah bos besar kami itu datang dan langsung mengajak kami rapat. Biasanya dia akan menilponku lebih dahulu dan kemudian memintaku untuk bisa datang ke kantornya di gedung Kempinski. Tetapi sekali ini, dia justru langsung datang dan memintaku rapat dengannya.

“Ada apa gerangan..... “? aku bertanya-tanya dalam hati dan merasa seikit penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Dan ini kuajukan kepada Rachma dengan harapan dia akan bisa memberiku jawaban, dan bukan sekedar datang dan menghadiahiku pemandangan menarik tentang pesona kewanitaannya.

“Belum tahu pak, tapi Kak Mirna titip, begitu pak Jacky tiba, mesti langsung ikut dan bergabung kesana..... “

“Hmmmm, baiklah.... “ desisku setelah menatap beberapa saat dan membuat Racha jadi salah tingkah melihat kediaman diriku selama beberapa saat. Kendati bukan memikirkannya. Bukan pula mengagumi bodynya yang menawan ataupun wajah sendunya yang selalu tampil cool dan alim itu. Karena pada saat itu, terus terang aku mencoba untuk dapat memetakan hal apa kira-kira yang akan nanti disampaikan kepada kami pagi ini.

“Sebentar Rachma, apakah kamu dan Winda juga ikut.... “? tanyaku akhirnya untuk mengetahui lebih jauh.

“Iya pak, Winda sudah berada disana.... “

“Baiklah, ayo kita kesana..... “

Akhirnya toch aku memang harus ikut, karena tidak ada alasan lain. Semua yang wajib dan harus di kantor, memang tak boleh dihindari.

POV MIRNA

Kutatap wajah Jacky, meskipun tidak terlihat dan terdengar keluhannya, tetapi bisa kupastikan dia nantinya bakalan mengeluh padaku. It’s a matter of time mengingat kesibukannya yang lumayan berat akhir-akhir ini. Tapi inilah hebatnya dia pada saat-saat sedang menghadapi situasi yang agak sulit. Tidaklah nampak atau terlihat kekhawatiran atau kegalauan diwajahnya, atau tak nampak sejenis kepanikan ataupun penolakan atau perasaan lain. Selain optimisme atas apa yang akan dikerjakan nantinya.

Betapa tidak, bos besar datang dan meminta kami bersiap dan merancang suatu hal yang baru dan rada besar. Yakni Menteri Pertanian meminta kami untuk bisa menyiapkan dan mengatur sebuah konsultasi internasional mengenai ketahanan pangan. Dan acara itu akan dihadiri oleh setidaknya pejabat tinggi setingkat di bawah menteri pada 6 bulan kedepannya nanti. Konferensi itu akan diikuti oleh negara-negara Asia Pacific, dengan undangan khusus dari Eropa dan tentunya juga Amerika Serikat. Pembicaranya, sebagian besar bakal berlevel dan atau berstandar internasional, bukan nasional saja.

Kami harus menyiapkan bahan prsentasi dalam waktu 3 hari, padahal presentasi itu bukan masalah kecil. Karena kami mesti mendalami lebih dahulu dokumen tebal yang dititipkan dan diserahkan oleh bos besar kami. Belum lagi, tiga hari kedepan adalah waktu genting persiapan ujian promosi doktoral Jacky. Aku sungguh jadi menatapnya kasihan, meskipun tidak terlihat dia butuh dikasihani. Setidaknya pada saat itu. Karena dia masih saja bersikap sok optimis dan juga sok percaya diri sebagaimana biasanya. Kadang aku gemas juga, karena meski di permukaan dia yakin, tetapi ke akulah dia mengeluh nanti.

Masalahnya, dulu masih suka ada Merry yang bahu membahu denganku untuk memberi dia semangat dan mendukungnya. Sekarang ini tinggal aku seorang, sementara Winda dan Rachma sulit diharapkan untuk membantuku dalam hal mendukung Jacky untuk urusan kerja seperti saat ini.

Begitulah dia biasanya. Karena meski aku khawatir sebaliknya dia, dengan sikap khasnya yang terlihat tenang dan tegas, berkata kepada bos besar kami. Dan sama sekali tidak ada kekhawatiran dan keresahan dalam nada suaranya, seperti dia yang biasanya,

“Pak Hendra, akan kusiapkan segera bersama team. Kupastikan kita akan dapat dan siap pada tiga hari kedepan..... “ optimisme, meskipun dalam keadaan sulit. Ini salah satu hikmah dan juga pelajaran yang selalu diulang dan disampaikan Jacky padaku dan anak buah kami.

“Jack, pak Menteri langsung yang akan mendengarkan presentasimu. Bahkan, aku sendiripun tidak bakalan bisa menghadiri pertemuan itu. Tapi, nantinya ada orang kepercayaanku yang akan datang mewakiliku menghadiri presentasi nanti. Tapi konon, pak Dirjend yang mengusulkan namamu. Dan pak Menteri langsung yang kemudian menilponku. Karena itu, buatlah yang terbaik Jack.... “ berkata bos besar kami dengan senyum di bibirnya.

“Acccch, pak Zulhan.... “? desis Jacky untuk memastikan darimana atau siapa yang merekomendasikan pekerjaan ini bagi mereka.

“Benar, memang dia..... “

“Beliau sahabat kuliahku di UI pak..... “

“Bagus, kerjakan dengan baik. Kuyakin akan ada banyak keuntungan lainnya bagi kita kedepannya..... “ itu saja pesan Pak Hendra. Memang apalagi jika tak berhubungan dengan keuntungan bukan ? pak Hendra hanya akan sangat antusias juga berhitung soal keuntungan. Soal analisis politik dan ekonomi dia akan menyerahkannya kepada kami saja.

“Pasti kulakukan pak..... “

Kulihat senyum mengembang di wajah pak Hendra, bos besar kami. Jika atau berhadapan dengan direktur dari divisi lain, pak Hendra tidak akan sesungkan dan seserius berhadapan dengan Jacky. Ini kuakui, dan memang dalam bidang yang kami geluti, Jacky sungguh sangat perform. Kerjanya sangat bagus, malah jaringannya juga sangatlah luas dan membantu kantor dan kerja kami.

Belum lagi kami berenam keluar dari ruangan setelah pak Hendra tadi berlalu dengan mendahului kami, tiba-tiba...

“Kring.... kring.... kring..... “

Hand phone Jacky berbunyi. Kebetulan handphonenya berada di hadapanku, karena memang dalam pertemuan seperti ini, biasanya handphone Jacky ada di depanku dan jangkauanku. Tentu saja handpohone kerjanya saat ini, yaitu Nokia Communicator tipe terbaru yang canggih. Segera kulihat nama tertera di layar display, yakni nama ZULHAN Dirjend.

“Pak, tilpon dari pak Zulhan tuch..... “ aku berinisiatif memberitahunya, meski aku paham ini pasti harus diangkat setelah pertemuan tadi. Karena pasti akan ada banyak penjelasan lain dan penting.

“Angkat saja dulu Mir..... “ desis Jacky yang tadi mengantarkan pak Hendra saat keluar dari ruangan mendahului kami.

“Selamat pagi, dengan Mirna wakil pak Jacky..... “ kuangkat tilpon itu menjawab panggilan masuk dari pak Zulhan.

“Selamat pagi Mirna, bisakah saya berbicara dengan pak Jacky.... “? Suaranya menunjukkan bahwa dia sedang sangat butuh dan bukannya sedang bakal menurunkan titah atau perintahnya.

“Sebentar pak..... “ sambil kumelirik pak Jacky yang mengangguk. Karena pak Hendra, bos besar kami sudah berlalu dan masuk ke lift.

Tidak lama kemudian, Jacky mengambil hand phone dari tanganku dan langsung menjawab panggilan pak Zulhan,

“Pak Zul, selamat pagi. Apa kabarnya..... “?

Selanjutnya terdengar mereka bercakap cukup serius, akan tetapi nada saat mereka berbicara terdengar sangat akrab. Bahkan sesekali mereka tertawa dan menyiratkan jika hubungan mereka memang sangat dekat dan bisa amat bebas tertawa dan bertukar pikiran. Karena tidak akan mungkin Jacky berbicara dengan nada seperti itu jika dia tidak mengenal atau tidak berhubungan dekat dengan sang lawan bicaranya. Untuk hal ini, aku boleh dibilang sudah sangat hafal dan kenal dengan gaya dan cara bicara Jacky.

Akan tetapi ternyata, mereka tidak berbicara lama. Karena setelah dua tiga menit mereka bicara panjang lebar dan diselingi tawa berkali-kali, pada akhirnya mereka menutup percakapan cia tilpon. Dan kudengar diujung Jacky yang bicara untuk meyakinkan pak Zul,

“Baik pak Zul, akan kulakukan. Tapi, lain kali jangan di saat aku mempersiapkan disertasi untuk promosi minggu depan dong.... “

Percakapan merekapun terputus. Wajah Jacky yang tadi tersenyum dan malah tertawa-tawa bersama pak Zulhan, kini berubah sangat serius. Sudah kuduga, tak lama dia pasti akan memandangku. Dan benar saja. Sesaat setelah tilpon itu ditutup, setelah menatapku diapun berkata,

“Mir, kita punya kerjaan bagus, tetapi juga sangat berat. Jika kita mau sukses kali ini, maka harus segera percepat pengganti Merry, dan siapkan tenaga relawan berbahasa Inggeris yang fluent dan ahli utuk pekerjaan itu. Keuntungan finansial tidak akan terlampau besar, akan tetapi keuntungan publisitas dan utamanya hal citra perusahaan, sangat luar biasa. Dengan kata lain, nilai keuntungannya bisa tak ternilai, tergantung kreatifitas dan cara kita menangani acara itu.... “ Jacky menjelaskan dengan gaya dan cara yang menarik. Khas dia yang sangatlah kukagumi sejauh ini.

“Baik pak..... tapi.... “

“Yang lain kita diskusikan di ruanganku.... “

“Baik.... “ tukasku,

“Rachma dan Winda, kalian reschedule jadwal dengan mitra dan klien lainnya. Tak akan bisa konsentrasi jika kita diganggu oleh jadwal lainnya, alihkan nanti di minggu depan. Tapi, jangan mengganggu jadwal hari selasa dan rabu, karena di tanggal itu mau tak mau, aku harus cuti..... “

“Baik pak..... “ jawab Winda dan Rachma serentak.

“Jangan lupa, sebelum makan siang semua sudah ada di mejaku.... “ tegas Jacky sekali lagi mendorong dan mendesak Winda dan Rachma mempercepat pekerjaan yang dimintanya barusan.

Sebagaimana biasanya dengan cepat Jacky mengambil keputusan dan langsung saja membagi tugas. Bahkan dengan batas waktunya, karena dia tidak bakalan lupa dengan dead line dan bakalan memintanya. Jika tidak selesai, dia akan langsung mengerjakan sendiri dan membiarkan kami termenung malu karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan.

Sebagaimana dugaanku seusai pertemuan selesai, pastilah bakalan ada lainnya, atau pertemuan kami secara khusus divisi kami. Menilik urgensinya maka pasti akan segera dilakukan. Ini tak salah memang. Jacky langsung saja memberiku isyarat untuk merancang dan langsung mengundang semua orang didivisi kami untuk ke ruangan rapat guna membahas apa yang disampaikan bos besar tadi.

Dalam pertemuan itu kami membahas dan berupaya untuk mendetailkan semua yang tadi sudah diputuskan. Serta tentu yang terpenting adalah hal penyiapan presentasi di depan Menteri Pertanian pada beberapa hari kedepan, jika tidak salah waktu kami hanya 3 hari. Itu termasuk sabtu dan minggu, sebab saat ini hari rabu. Pertemuan nanti pada hari senin. Waktu kurasa sangat terbatas, tapi masalahnya Jacky sudah memberi persetujuan.

Akan tetapi, yang mengherankan akau adalah, tidak terlihat rasa panik dan juga perasaan tertekan di sikap dan pandangan mata Jacky. Dia terus terlihat santai dan serius, penuh vitalitas. Seperti biasanya, karena memang dia ini sangatlah menguasai bidang pekerjaannya, segera saja dia merinci apa yang amat perlu dikerjakan. Bahkan senyumnya mengembang, pertanda jika suasana hatinya sedang baik, mood nya sedang amat bagus.

Jikalau dibanding teman-temankuku yang lainnya, aku memang lebih mengenal Jacky. Maklum, karena kami sangat sering berdiskusi seperti yang akan kami lakukan nanti dan bagaimana detailnya kelak. Tak ada yang akan disembunyikan dan disimpannya dariku untuk urusan pekerjaan kami. Bahkan, masalah studynya sekalipun bisa kami bahas berlama-lama.

(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd