Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 5
REDUPNYA ASA SANG PENDEKAR






“Maafkan aku yang terlambat datang, Pendekar. Aku baru mendengar berita ini dari penjaga istana. Bagaimana keadaan istrimu?” Raden Randu Panji buru-buru duduk di samping Banyu Langit dengan wajah khawatir.

Mereka berdua duduk di luar kamar sementara Anom Kinasih beristirahat di dalam.

Kondisi penginapan menjadi lebih tertata setelah serangan malam meluluhlantakkan sebagian bangunan dan banyak perangkat bertebaran di pekarangan. Anggota Kelabang Sewu sendiri sudah tidak nampak sejauh mata memandang, mereka seperti terhisap oleh gelapnya malam, menghilang ditelan kabut jahanam.

Tubuh-tubuh rakyat kecil yang tak bersalah bergelimpangan tanpa nyawa, tangis menyayat hanya sendu dilantunkan, takut mengganggu keheningan malam di tengah kehadiran Randu Panji. Hal itu pula yang tengah mendera Banyu Langit yang pucat, sungguh dia mengkhawatirkan istrinya, tapi tentu dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Randu Panji, karena khawatir akan merepotkan sang punggawa kadipaten lebih dari yang diharuskan.

“Mohon maaf telah merepotkan njenengan, Raden. Sesungguhnya tidak apa-apa. Kejadian ini benar-benar di luar kuasa kita semua. Tidak ada yang menyangka bahwa Kelabang Sewu akan menyerang kami dengan demikian ganas. Mereka datang secara tiba-tiba dan menyerang tanpa alasan,” ucap Banyu Langit sambil menundukkan kepala, “Istri hamba yang terkena naas, Raden. Dia pingsan tersambar racun dari jarum Kelabang Sewu.”

“Tabib Wu.”

Sendiko dhawuh.”

Seorang pria yang sepertinya berasal dari negeri asing datang menghampiri Randu Panji, orang ini sejak awal sudah datang bersama sang raden. Wajah Tabib Wu unik dengan kumis panjang yang licin sampai ke dada. Rambutnya hanya ada di bagian belakang kepala dan dikucir silang temali. Tapi herannya, bahasa dan logat sudah sangat fasih seperti halnya orang lokal. Orang ini adalah Tabib kepercayaan Kadipaten Paku Sentono, Tabib Wu.

“Tolong periksa istri sang pendekar. Mereka berdua adalah sahabat kadipaten. Jika perlu pengobatan diusahakan dengan cepat. Pastikan sang pendekar wanita bisa sembuh dalam waktu singkat.” Perintah Randu Panji tegas. “Aku tidak ingin kita main-main dalam mengatasi masalah ini.”

Sang tabib menjura dan meminta ijin pada Banyu Langit. “Mohon izinkan saya memeriksa istri Pendekar.”

Banyu Langit mengangguk dan mempersilahkan Randu Panji serta Tabib Wu masuk ke dalam ruang tempat Anom Kinasih dibaringkan. Wajah si cantik itu pucat pasi, keringatnya mengalir deras. Lengan yang terkena racun mulai membiru – tercetak jelas di kulitnya yang putih mulus.

Tabib Wu geleng-geleng kepala melihat kondisi Anom. Pria tua itu lantas duduk di samping Anom Kinasih, memegang pergelangan dan menyentuhkan punggung tangan di dahi sang pendekar wanita. Tangannya bergerak lincah dan dengan gerakan tegas menotok beberapa pembuluh darah.

Tkk! Tkk! Tkk!

Ia kembali memegang pergelangan tangan Anom, lalu membaca detak jantungnya dan mulai memperkirakan bagaimana kondisi tubuh sang pendekar wanita. Setiap titik nadi diperiksa, denyut ditelisik, dan aliran darah ditelusuri.

Hingga pada akhirnya sang tabib mencapai sebuah kesimpulan.

Tabib itu kembali ke depan kamar untuk menemui Randu Panji dan Banyu Langit.

“Racunnya benar-benar ganas.” Tabib Wu menggeleng-gelengkan kepala, ia kemudian menarik napas panjang. “Mohon maaf. Tapi saya rasa saya tidak akan mampu menyelamatkan nasib pendekar wanita ini, mohon maaf tapi kemampuan saya sangat terbatas. Saya hanya bisa memperlambat laju racunnya, bukan menghentikannya.”

“Apa maksudmu, Tabib!” Randu Panji berseru marah, “bukankah kamu Tabib paling terkenal dari negeri seberang yang sudah sangat kami percayai? Apa maksudnya tidak bisa menyelamatkan pendekar wanita ini? Jangan main-main! ini perintah langsung dari Kadipaten! Kedua orang ini sahabat Paku Sentono! Kamu harus bisa menyelamatkannya! Ojo ngawur!

Tabib Wu kembali memberikan hormatnya pada Randu Panji dan Banyu Langit, “maafkan hamba yang kurang wawasannya ini, Raden. Bukan karena hamba tidak hormat pada Kadipaten Paku Sentono, tapi karena memang pendekar wanita ini telah terkena racun ganas yang disebut Kelabang Roso – racun paling mematikan dari kelompok Kelabang Sewu.”

“Lalu, kamu tidak bisa melakukan apa-apa, begitu!? Memalukan!”

“Ampun, gusti. Untuk dapat menghentikan kekejaman racun Kelabang Roso dalam tubuh, seseorang harus mendapatkan obat pemunahnya langsung dari kelompok Kelabang Sewu. Sudah tentu hingga saat ini kita tidak tahu mereka sebenarnya dari mana, ada di mana, dan juga siapa yang menyimpan obat pemunah tersebut.”

“Lalu apa saranmu, Tabib?” kali ini Banyu Langit yang bertanya, “berapa lama istri saya dapat bertahan dari racun ini?”

Tabib Wu melirik ke dalam ranjang Anom Kinasih sekali lagi dan menggelengkan kepala. “Maaf Pendekar, hanya dua purnama. Tidak kurang tidak lebih.”

Banyu Langit terbelalak. Ia menggelengkan kepala. Pendekar itu duduk bersimpuh di hadapan Randu Panji dan Tabib Wu. Hanya dua bulan saja?

“Tidak...! Tidak...! Tidak mungkin! Tidak bisa! Kita harus mencari cara, Tabib! Aku mohon! Bantulah saya! Berikan jalan keluarnya! Sembuhkan istri saya!”

Randu Panji menggebrak meja, “jangan macam-macam, Tabib! Beri jalan keluarnya! Selamatkan nyawa sang pendekar wanita ini!”

“Hanya ada satu cara dan dua orang yang bisa memunahkan racun tanpa penawar. Tapi orang yang satu sudah jadi legenda yang lenyap ditelan bumi, hanya tinggal yang satu lagi – dia yang teramat ahli tapi berwatak aneh, orang yang berjuluk Kakek Segala Obat,” Tabib Wu menjelaskan. “Mereka tinggal tak jauh dari sini. Yaitu di atas Bukit Angkara.”

Banyu Langit berpandangan dengan Randu Panji, suami Anom itu kemudian mengangguk. Dia segera berkemas-kemas.

“Hamba tidak boleh buang waktu lagi, Raden.”

Randu Panji menghela napas panjang, tapi memaklumi. Ia pun keluar dari kamar bersama Tabib Wu.

Tak seberapa lama kemudian, Banyu Langit yang sudah menenteng semua perlengkapannya dan Anom Kinasih berjalan ke depan penginapan untuk mengambil kedua kuda mereka. Randu Panji dan Tabib Wu ada di sana.

“Sudah kau pikirkan masak-masak?” Randu Panji mencegat Banyu Langit.

“Sudah, Raden. Hamba tidak ada jalan lain lagi, harus segera menemukan sosok Kakek Segala Obat yang sanggup menyembuhkan istri hamba. Mohon dukungannya, Raden.”

“Tapi bagaimana dengan pesan... maksudku surat dari Perguruan Seribu Angin?”

“Ah iya, untuk hal itu...” Banyu Langit agak sedikit ragu-ragu.

Randu Panji melihat wajah sang pendekar yang tiba-tiba saja berubah, “ah, iya. Sebelum membicarakan hal tersebut... aku punya sesuatu untukmu.”

“A-apa itu, Raden?”

“Kalian tidak akan dapat mencapai kediaman Kakek Segala Obat dengan menggunakan kuda kalian yang kelelahan, pun dengan kondisi pendekar wanita yang sedemikian,” ujar Randu Panji. Ia bertepuk tangan dan dari balik gedung muncul satu kereta dengan dua ekor kuda gagah yang siap dipacu. Sang sais menyerahkan kereta itu pada Banyu Langit. Randu Panji menepuk pundak sang pendekar muda, “Hanya inilah yang bisa diberikan oleh Kadipaten Paku Sentono untuk kalian sepasang pendekar, sengaja sudah kami persiapkan. Kami hanya dapat memberikan ini dan menghunjukkan doa semoga pendekar berdua diberi keselamatan dan kesehatan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi entah beberapa purnama kemudian.”

Banyu Langit terbata-bata. “E-Entah untuk keberapa kalinya hamba harus menyampaikan terima kasih hamba, Raden.” Banyu Langit sekali lagi kembali memberikan hormatnya. “Hamba mohon sampaikan pesan dari guru kami pada gusti Adipati, tidak ada orang yang lebih kami percayai untuk menyampaikan pesan ini selain Raden Randu Panji.”

Banyu Langit bersimpuh hormat untuk mencium kaki Randu Panji. Tapi sang Raden mencegahnya.

“Eh! Jangan! Jangan lakukan itu, Pendekar. Apa yang aku lakukan tidak lebih dari hormat kami dari Kadipaten akan jasa Perguruan Seribu Angin yang selama ini telah mendukung Kadipaten Paku Sentono. Selama kami dapat membantu, pasti akan kami bantu. Sekarang berangkatlah, jangan tunda waktu lagi – demi keselamatan istrimu.”

Banyu Langit mengangguk, serat dalam wadah bambu dari Eyang Guru pun diserahkan kepada Raden Randu Panji supaya diberikan pada Adipati Paku Sentono.

Banyu Langit membopong tubuh lemas Anom Kinasih dan meletakkannya dengan nyaman di dalam kereta kuda. Istrinya hanya bisa mengerang kesakitan dalam pingsannya, entah sudah berapa kali Anom tenggelam dalam pingsan hari ini.

Banyu Langit menjura. “Kami pamit, Raden, Tabib Wu. Sampaikan salam kami pada paduka Adipati, kami mohon maaf tidak bisa menemui beliau secara langsung.”

“Tidak usah dipikirkan. Semoga kalian selamat selama di perjalanan dan kita dapat bertemu kembali di lain waktu.” Tabib Wu menjawab.

Usai berpamitan, Banyu Langit tak buang waktu lagi.

Tali disentakkan, kereta kuda kuda pun berangkat.

Melihat debu-debu terbang mengangkasa seiring kepergian kereta kuda yang membawa Banyu Langit dan istrinya, Randu Panji menimang-nimang surat dalam wadah bambu yang dititipkan oleh sang pendekar angin.

Seulas senyum tipis di wajah Randu Panji berubah menjadi senyum sinis. Surat itu tentu saja adalah titipan dari guru agung Perguruan Seribu Angin. Sekarang ada di tangannya! Surat sudah dalam genggaman! Putus sudah komunikasi antara sang Adipati dan Perguruan Seribu Angin. Tak ada lagi kerikil tajam baginya untuk melancarkan rencana yang sudah disusun. Randu Panji yang bersenang hati lantas berdendang singkat sambil berjalan menuju Ndalem Kadipaten. Nyanyian disemai dalam alunan lirih.

“Langit seakan muram, malam beranjak temaram.
Sang pendekar melaju diam, sang kekasih bernasib kelam.”


Tabib Wu berkacak pinggang di samping sang Raden dan bertepuk tangan pada puisi yang dibacakannya, seakan-akan karyanya adalah puisi paling indah sejagad. “Luar biasa memang Raden Randu Panji, seorang ksatria pilih tanding dari Kadipaten Paku Sentono yang kemampuannya tiada duanya. Cerdas dalam ilmu, cerdas dalam sastra.”

“Dasar kamu penjilat, wahai Tabib. Aku tidak suka orang-orang penjilat. Lagipula memeriksa orang saja kamu tidak becus, jadi pujianmu pasti palsu.” Randu Panji tertawa dan menepuk pundak Tabib Wu, “Kerjamu tadi sangat bagus, sangat meyakinkan. Terima kasih sudah membantuku mengusir kedua orang itu dari Paku Sentono.”

“Apapun untuk Raden Randu Panji.” Tabib Wu memelintir kumisnya sambil manggut-manggut, pria keturunan asing itu menatap ke arah kemana kereta kuda pergi, “mereka sedang menuju ke arah kehancuran jiwa dan raga. Sungguh disayangkan masa depan mereka yang cerah akan hancur begitu bertemu Kakek Segala Obat. Hahaha.”

Randu Panji turut tertawa.

Terlebih saat Tabib Wu kemudian melepaskan penyamarannya. Kumis dilemparkan, topeng yang luar biasa apiknya terpasang dilepas. Pakaian yang dikenakan sang tabib pun digantikan oleh pakaian hitam.

Tabib Wu berubah menjadi Kelabang Suto.

“Kakek Segala Obat dan Nyai Pandan harus berterima kasih padaku karena telah aku mengirimkan daging segar untuk mereka lahap. Ahhahaahaha.” Kembali Tabib Wu palsu menambahkan. “Entah apakah Nyai Pandan masih tetap gemar menyantap korban-korbannya dengan bumbu sambal atau tidak. Hahaha.”

“Kakek Segala Obat dan Nyai Pandan adalah pasangan yang nggilani, menjijikkan, sekaligus mengerikan. Cukup hanya sekali dua berjumpa dengan kedua tokoh golongan hitam itu.”

Kedua insan yang ternyata berpadu dalam rencana keji itu tertawa bersama.

Nasib seperti apakah yang akan mendera Banyu Langit dan Anom Kinasih?





.::..::..::..::.





Suro Wanggono memeluk Arum Kinanti di pembaringan yang berderak. Keduanya sudah sama-sama tanpa busana. Sang durjana tersenyum menatap ayunya wajah sang dewi pujaan, nikmat ini sungguh sejak lama ia nantikan. Mata Arum terpejam, tak kuasa ia melawan, tak kuasa pula ia menahan, apalagi memandang wajah sumringah sang musuh bebuyutan.

Suro yang bertubuh gemuk, buncit, dan buruk rupa baik di luar maupun dalam hatinya bagaikan langit dan bumi jika bersanding dengan Arum yang ayu dan semampai. Hitam dan putih, gelap dan terang. Bukan pasangan yang nyaman dilihat.

Bibir dan lidah sang durjana turun ke bawah untuk mencium, mengelus, menjelajah, dan menjajah setiap sisi bibir indah sang dewi pujaan. Ranjang kian berderak, saat Suro memeluk erat tubuh telanjang Arum Kinanti.

Lidah beradu dengan lidah, bibir bertemu dengan bibir, tangan meremas dada dengan kencang, kaki saling mengelus dan membelit, batang kejantanan digesekkan di selangkangan.

Arum tak mau membuka mata, tapi rintihannya jelas dan nyata. Tiap remasan di payudara membuatnya melenguh dan mendesah, meski tak ingin, meski hendak meronta. Ia hanya bisa pasrah menerima apa pun yang dikehendaki sang durjana pada tubuhnya.

Penampakan tangan besar dan kasar Suro Wanggono seakan tak pantas meremas buah dada selembut dan seputih milik Arum Kinanti, yang besar, yang kencang, yang membulat, yang membuat perhatian terserap.

Meski memejamkan mata, Arum merintih pedih tiap remasan di bongkahan kenyal dadanya dilakukan oleh sang durjana. Demi sang dewi tak merasa sakit, Suro pun menangkup bibir mungilnya dengan mulut buasnya. Menahan setiap erangan rasa sakit dengan ciumannya.

“Hmmmmhhh! Hmmmhhh!” lenguh Arum yang tak bisa mengeluarkan suara.

Suro makin membuas, tangannya bergerak tanpa perlu disuruh, meremas, memilin, memijat, menarik, mengulur, memainkan ujung puting payudara Arum dengan girangnya. Indah, nikmat, dan sangat merangsang. Suro melakukan itu semua sambil terus menangkup dan menciumi bibir sang dewi pujaan.

“Salah sendiri kenapa kamu begitu indah, Arumku sayang,” ucap sang durjana sesaat setelah ia melepas ciumannya.

“Ba-bajingan! Bedebah!!” Arum menolak mentah-mentah, tapi tubuhnya terlalu lemas untuk melawan, terlebih desakan obat perangsang yang membuatnya takluk tak berdaya dan justru menerima dengan lapang dan terbuka.

“Aku mencintaimu, sayang. Terimalah seluruh rasa sayangku.” Suro menenggelamkan kepalanya di antara buah dada sempurna sang janda muda. Arum menjerit lirih kala bibir sang durjana bermuara di puting payudaranya. Mencium, mengecup, menarik, menggigit, dan menjilatinya. Harum wangi khas tubuh sang pendekar wanita membuat Suro makin bersemangat menikmati tubuh Arum Kinanti.

Tak sejenak pun Suro melepas sentuhannya dari tubuh Arum. Ia meraba dan menyentuh dari sisi ke sisi, dari ujung kaki sampai ujung kepala, sebagian ia cium dan jilat, sebagian ia kecup dan gigit penuh hasrat. Menimbulkan jejak-jejak memerah di sekujur badan Arum Kinanti.

Lidah Suro bergerak bebas di perut rata sang bidadari, tubuh lemas Arum bergerak, menggelinjang, merasakan sekujur tubuhnya dilahap dengan nikmat oleh sang durjana yang merenggut kebahagiaannya. Keringat Arum Kinanti deras mengucur, tak terbayangkan bagaimana perasaannya harus menerima semua serangan dari Suro Wanggono yang tak bisa ditolaknya ini.

Tubuhnya, badannya, hingga ke bagian intimnya, semua menghendaki belaian dan tumpahan kasih sayang Suro. Tapi dia jelas tidak menginginkannya! Tidak mungkin ia menginginkannya! Dia diperkosa! Bajingan ini telah memperkosanya! Seandainya bebas, dia akan menebas kepala sang durjana busuk saat ini juga!

Sesaat kemudian, Arum tersentak. Ba-bajingan itu!

Suro Wanggono membentangkan kaki sang bidadari, lalu dengan jari-jemarinya melebarkan bibir kewanitaan Arum Kinanti yang telah basah dengan cairan pelumasnya. Ah, ini dia kekasih hati Suro Wanggono, liang cinta paling wangi yang selalu ia impikan di tiap malam penuh bintang. Sang durjana pun lantas mengecup bibir kewanitaan sang bidadari, membuat tubuh Arum menggelinjang tak mampu menahan serangan.

“Haaaasssstttthh... eeemmmhhhhhh!!!” desah sang dewi.

“Bersiaplah, Arum Kinanti kekasihku,” ujar Suro sambil menggesekkan batang besar kejantanannya di bibir liang cinta sang pujaan hati.

Napas Arum menderu, ia mencoba menolak mati-matian, tapi tubuhnya sama sekali tak bergerak, beringsut pun tidak. Ia malah menggelinjang nikmat merasakan gesekan batang kejantanan sang durjana di bibir kemaluannya.

Arum menggigit gigir bawahnya. “Eeeeeehmmmm! Esssst! Aaaaaaaahh! Aaahh! Sialan kau Suro! Sialan kauuu!! Bedebaaaah!!”

Suro Wanggono tersenyum, ia menarik badannya ke belakang sedikit, dan dengan satu desakan kencang yang kuat ia pun melesakkan kemaluannya dalam-dalam ke liang cinta sang bidadari.

Arum menjerit. “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh!!”

Leleh air mata Arum. Sekali lagi ia telah diperkosa oleh Suro Wanggono, pria yang paling ia benci.

“Aaaah, nikmat bukan? Enak kan? Bagaimana rasanya? Pasti lebih perkasa dibandingkan milik suamimu itu.” ejek Suro sambil tertawa, “apalagi sekarang dia sudah mati! Kamu sudah tidak ada siapa-siapa lagi yang akan mengisi lubang nikmatmu. Daripada menganggur lebih baik aku gunakan saja.”

“Bajingaaaaan kaauuuu!”

“Aaaaooouughhhh!”

Suro melenguh dan setelahnya menggemeretakkan gigi karena nikmat yang ia rasakan saat dinding-dinding sempit liang cinta sang dewi menjepit dan meremas batang kejantanannya. Suro meremas payudara Arum sambil menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan kecepatan tinggi.

“Buah dadamu ranum sekali, Arum Kinanti sayangku, selamanya akan aku remas dan aku nikmati. Liang cintamu nikmat bukan main, menjepit batangku seperti masih perawan. Kamu memang wanitaku yang paling menawan, paling indah dan paling matang.”

“Ahaaaaagkkkhh!! Surooooo!!”

Manja desah Arum yang pikirannya dikuasai oleh obat. Ia sadar namun tak bisa menguasai dirinya sendiri. Nikmatnya percintaan ia rasakan, pahitnya kehidupan juga ia rasakan. Tapi tak ada satu hal pun yang bisa ia lakukan selain mengerang dan mendesah tanpa perlawanan.

“Surooooo!! Tidaaaaak bisaaa! Terlalu besaaaaarr!! Aaaakhhhh!!”

Suro Wanggono bahagia, itu artinya batang kejantanannya jauh lebih besar dari milik mendiang Bima Soka dulu. Janda satu ini memang pandai sekali membuatnya kian bernafsu. Ia menggerakkan kemaluannya dengan irama yang makin mendaki, makin lama makin kencang, makin dipacu untuk terus menjadi-jadi.

Gila, masih sempit sekali liang cinta sang dewi pujaan ini, Suro merasakan batang kemaluannya dipijat, dielus, dan ditekan oleh sempitnya lubang surgawi milik Arum Kinanti. Tangan sang durjana meremas-remas bulat pantat mulus Arum.

“Hnngghhhh!! Hnngghhhh!! Hnngghhhh!! Hnnnnnnngghhhh!!”

Tiap desahan, tiap lenguhan, tiap rintihan, tiap-tiap suara yang keluar dari bibir manis Arum Kinanti bagaikan petikan sitar di bawah sinaran bulan, membuat Suro Wanggono kian meradang, merangsek, dan menyerang.

Wajah yang jelita, kulit seputih pualam, tubuh indah bak bidadari khayangan, apalagi yang diminta oleh Suro Wanggono? Semua ada di Arum Kinanti.

“Kekasihku sayang...” bisik Suro sembari menjilati daun telinga indah sang dewi. “Aku akan membuatmu nyaman dan tenang. Aku akan memberikan semuanya, kekasihku. Aku akan memberikan dunia dan seisinya untukmu. Asal kau bersanding di sisiku.”

“Ti-tidak akaaaaannnn!! Aaaakkkghhhhh!!”

Erangan kencang Arum tidak digubris oleh sang durjana yang sudah gelap mata. Suro malah justru mempercepat gerakannya, makin menggoyang kencang kemaluannya di dalam liang cinta sang pendekar wanita. Mengusik, menyelip, menjajah, dan berkuasa.

“Ahaaaakgghhh! Aaaahhhh!! Aaahhh!” Arum melemparkan kepalanya ke kanan dan kiri dengan mata terpejam. Batinnya menolak, tapi tubuhnya terus bergerak. Ia melawan, tapi liang cintanya berkehendak. Bagaimana ini? Bagaimana ia bisa menyingkirkan dan melawan Suro Wanggono? Bagaimana ia bisa lepas dari nasib buruk yang sedang ditimpakan padanya? Apa yang harus ia lakukan? Dewata yang agung, bagaimana ia bisa bebas dari kekejian ini?

Bongkahan dada Arum bergerak naik turun seiring genjotan sang durjana di dalam liang cintanya. Suro Wanggono tentunya sangat menikmati, ia memeluk, meremas, mengelus, dan menggilas. Tubuh Arum Kinanti sudah menjadi miliknya! Sudah berhasil ia jadikan sarang cintanya, sekarang dan selamanya!

“Aaakkkkhhh!! Akkkkhhhh!!! Suroooo!!”

Suro Wanggono mempercepat sodokan pinggulnya dengan napas yang kian memburu saat mendengar Arum memanggil namanya. Buah dada lembut sang dewi pujaan bergoyang kencang, kenyal, tapi juga merangsang. Indah nian tubuhmu wahai Arum Kinanti, siapa yang mengira bahwa dirimu ini sebenarnya sudah menjadi seorang ibu? terlalu indah tubuhmu. Terlalu terawat dan apik untuk diberikan pada durjana bedebah seperti Suro Wanggono.

Gemetarnya tubuh sang dewi membuat Suro tersenyum. ia merunduk dan mencium bibir mungil janda Bima Soka itu, mencumbunya, mengaitkan lidah, menggulirkan kecupan.

“Eeehmmm... aaahhhh... eeeehhhmmmmm...” Arum Kinanti mendesah tak tertahan. Rangsangan yang ia terima membuatnya tak mungkin menolak dan mengelak. Tubuhnya bergejolak, berontak, tapi juga merasakan nikmat yang menggelora dari ujung kaki sampai naik ke otak. “Ja-jangaaaan... eemmmhh... jangaaaan...”

Suro Wanggono mengejang, ia makin mendekati puncak yang dinanti. Keindahan wajah dan tubuh Arum membuatnya tak bisa lama menahan diri.

“Harrrrrghhhkkkkkkkkkhhh!!”

Suro Wanggono melesakkan batang kejantanannya dalam-dalam di liang cinta sang janda jelita. Ia sodokkan penuh tenaga, hingga ujung gundulnya mentok ke sisi terdalam yang tak pernah dijelajahi oleh siapapun.

Ah. Lepas sudah.

Suro terengah dalam kepuasan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, kalau memang sudah jodoh memang tak akan lari kemana. Arum Kinanti yang jelita memang sudah terlebih dahulu dipetik oleh Bima Soka, tapi pada akhirnya jatuh juga ke pelukannya.

“Ke-kejaaaam...” lirih suara Arum yang tak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali. “Ka-kau kejam sekali, bedebah busuuuuk.”

Suro tertawa puas. Ia melepas cairan cinta bertubi ke dalam liang kewanitaan sempit sang dewi pujaan. Ia merunduk, memeluk tubuh Arum, dan mencium bibirnya dengan lembut. Pelan-pelan saja, tidak perlu terburu-buru. Lambat laun Arum akan takluk padanya. Kalau tidak sekarang, suatu hari nanti.

“Malam ini aku akan menyetubuhimu lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Jangan harap kamu akan lolos hanya dengan sekali saja bermain cinta seperti ini. Hehehe, tidak akan kubiarkan tubuh indahmu istirahat, sayang.”

Ada leleh air mata di pipi sang pendekar wanita yang sudah kalah.

Entah seperti apa nasib suami dan anaknya.

Entah seperti apa nasibnya.





.::..::..::..::.





Bara menjelajah ke dalam gua, pendar terang kadang membuatnya takut. Aneh memang, di dalam kegelapan ia justru merasa nyaman. Bocah kecil itu masih belum paham bagaimana mungkin ada cahaya bisa masuk ke dalam gua gelap ini. dengan apa Kakek Tua itu menciptakan terang? Bagaimana mungkin terang diciptakan tanpa obor dan api?

Bocah itu melalui jalan yang tidak tersentuh terang, beringsut dalam gelap, mencoba menelusuri jalur terdalam gua yang ternyata sangat berliku. Akankah dia ingat jalan untuk kembali ke depan? Ataukah dia akan tersesat selamanya di dalam gua terkutuk ini? Tidak, dia tidak boleh tersesat dia tidak boleh mati. Dia harus hidup untuk dapat membalaskan dendam kematian ayahnya pada Suro Wanggono dan kawan-kawan! Dia harus menyelamatkan ibundanya!

Doa dan kekuatan dari kedua orangtua Bara seakan menyelimutinya, memberikannya kehangatan, memberinya panduan untuk terus berjuang dan tidak menyerah. Demi apa dia akan menyerah semudah ini! Tidak akan!

Bara kecil melihat dan menghapalkan posisi tempat buah-buahan merambat yang menjadi bahan makanan utamanya di tempat ini, dia hapalkan semua posisi palung cekung alami tempat disimpannya air murni yang segar dan menjadi penghapus dahaga. Yang jelas di dalam gua ini dia tidak akan mati kelaparan dan kehausan, itu pasti. Yang harus dia khawatirkan cuma si kakek aneh yang kadang kelakuan dan wataknya berubah-ubah.

Hingga sampailah Bara di sebuah tempat yang cukup luas. Atapnya berlubang kecil, tidak cukup untuknya pergi dari gua ini dan posisinya teramat tinggi. Tapi cukup lumayan untuk menghirup udara segar. Bara menarik napas dalam-dalam.

Ah. Betapa rindu ia akan dunia luar.

“Duduk di sini, bocah.”

Bara terhenyak kaget. Ia sama sekali tidak mengira kakek tua aneh yang tadi ia hindari ternyata sudah berada di tempat itu. Duduk bersantai di depan sebuah batu landai di tengah ruangan. Batu itu sepertinya adalah tempatnya berbaring sehari-hari.

“Tidak apa-apa, datanglah kemari,” ucap sang tua dengan nada yang lebih tenang dan teratur. “Kita akan tinggal di tempat ini cukup lama. Bahkan mungkin seumur hidup, jadi tidak ada salahnya kita saling mengenal satu sama lain.”

Bara masih takut.

“Aku tahu kadang-kadang sifatku berubah. Itu karena aku melakukan kesalahan dalam berlatih ilmu kanuragan sehingga menciderai kepala dan jiwaku. Aku tidak dapat lagi berpikir jernih dan hilang ingatan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan kapan.”

Bara melangkah maju perlahan. Ruangan yang sebenarnya gelap itu menjadi terang di pandangan Bara kala sang Kakek mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan lebih lembut. Ia bahkan dapat melihat senyum terukir di wajah tua sang Kakek, di balik jenggot dan kumis putihnya yang tebal.

“Sini, duduklah di depanku. Marilah kita berbincang.”

Bara duduk bersila di depan sang kakek tua dengan penuh kewaspadaan dan takut-takut.

“Nah, siapa namamu, bocah? Dari mana asalmu? Kenapa kamu sampai masuk ke sini?”

“Na-namaku Bara Sembrani Watulanang – putera dari Bima Soka Watulanang dan Arum Kinanti, cucu murid Kakek Pendekar Angin Sakti dari Perguruan Seribu Angin. Aku masuk kemari karena tidak sengaja terjatuh setelah dikejar-kejar musuh yang mengeroyok dan menyelakai ayah dan bundaku.”

Kakek itu mengelus-elus jenggotnya.

“Ka-kalau Kakek? Siapa Kakek?” giliran Bara yang bertanya.

Sang Kakek tertawa, “hahaha. Aku sendiri sudah lupa siapa namaku dan dari mana asalku. Ilmu kanuragan yang aku pelajari membuatku kehilangan semuanya. Tapi semakin banyak yang aku lupa, semakin banyak pula aku ingat hal-hal baru. Jadi tidak masalah bukan? Panggil saja aku Kakek Gila, karena otakku sudah linglung.”

“Kok begitu?” Bara tidak habis pikir.

“Apa maksudmu?”

“Ka-kalau memang ilmu kanuragan yang dipelajari membuat kehilangan semuanya, kenapa dilanjutkan? Bukankah tujuan kita menempa diri untuk mempelajari ilmu kanuragan itu justru untuk menjadi pelindung yang lemah, dan untuk menjaga orang-orang yang kita cintai?”

Kakek Gila tertawa lagi.

“Pikiranmu tidak salah, justru sangat benar. Tapi aku sudah tidak lagi bisa menjaga orang-orang yang aku cintai karena mereka sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jadi aku sudah tidak perlu khawatir lagi apakah ilmu kanuragan ini akan membuatku hilang ingatan atau tidak, karena aku sudah tidak peduli lagi hidup dan matiku. Kalau aku hidup, aku akan menjadi orang yang nomor satu di dunia persilatan. Kalau aku mati, aku akan menyusul orang-orang yang aku cintai di alam baka. Hahaha. Tidak ada penyesalan! Tidak ada penyesalan!!”

Bara mengerutkan kening. “Kenapa begitu?”

“Apalagi maksudmu sekarang?”

“Kalau Kakek memang berniat mati, kenapa juga harus repot-repot belajar ilmu kanuragan dan ingin menjadi orang nomor satu segala? Bukankah itu tindakan sia-sia belaka? Kalau aku – aku ingin hidup. Aku ingin berlatih ilmu agar bisa mengalahkan lawan-lawan yang telah mencelakakan ayah dan bundaku. Aku tidak perlu menjadi orang nomor satu, aku hanya ingin mengalahkan mereka saja. Aku saja punya tujuan hidup, masa Kakek tidak?”

Kakek Gila kembali tertawa, terbahak-bahak kini.

“Bocah! Kamu luar biasa!” Kakek itu mengacungkan jempol. “Aku hanya berandai-andai saja. Seandainya aku bisa keluar dari tempat ini, aku pasti menjadi jawara pilih tanding! Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan tempat ini karena belum menuntaskan apa yang aku tekuni. Lihat apa yang aku temukan di sini!”

Sang Kakek mengambil sesuatu dari balik batu landai. Seruas bambu yang ditutup di ujung lubangnya. Sang kakek membuka tutupnya, dan mengambil beberapa barang. Selembar kulit kambing kering dan beberapa carik gulungan kertas. Kulit kambing itu memiliki dua sisi, sisi yang satu berbulu dan sisi yang lain mulus dan licin. Ruang yang sedikit terang membuat Bara sanggup menyaksikan apa yang terdapat pada kertas dan kulit kambing kering itu.

Tidak ada apa-apa.

Kosong melompong.

“Ini hanya kertas dan kulit kambing biasa, Kek. Tidak ada istimewanya sama sekali.”

Kakek Gila tergelak penuh tawa. Ia mengambil satu buah yang ada di dinding gua. Ia menggigitnya, dan dari getah yang muncul dari buah aneh itu, sang kakek mengoleskannya ke bagian licin dari kulit kambing. “Coba kau lihat lagi.”

Bara melirik ke arah kulit kambing dan terbelalak. Di sana muncul rangkaian kata-kata sepanjang olesan getah buah.

“I-ini apa?”

“Bocah. Inilah rangkaian petunjuk dari ilmu kanuragan yang akan mengantarkanmu menjadi jawara, untuk menghadapi mereka yang penuh angkara murka mencelakai ayah dan bunda,” ucap Kakek Gila sambil terkekeh. “Inilah Serat Sepuluh Gapura, pembuka Nawalapatra 18 Naga. Rangkaian ilmu kanuragan Kidung Sandhyakala. Hanya bisa dibuka dengan buah istimewa yang tumbuh dalam gua.”

“A-apa itu Kidung Sand... sanadyan... apa itu tadi.”

“Kamu akan tahu seiring berjalannya waktu. Karena akan aku serahkan padamu untuk kau pelajari. Bagaimana? Kita bisa mempelajarinya bersama-sama seumur hidup kita di dalam gua terkutuk ini!”

Welah, tunggu sebentar! Kenapa jadi aku harus belajar ilmu ini juga? Aku tidak mau, Kek! Aku hanya mau belajar ilmu dari Kakek Guru Angin Sakti! Ilmu kedua orang tuaku! Aku tidak mau belajar dari tempat lain lagi! Apalagi kalau ujung-ujungnya hanya menjadi orang gila.”

“Bocah... bocah... sekarang mana kakek gurumu itu? Kapan kamu akan bertemu dia?”

Bara terdiam, ia cemberut.

“Hadapi kenyataannya saja, Bocah. Kamu mungkin bahkan tidak akan bisa keluar dari tempat ini seperti aku – karena kedatanganmu telah menutup satu-satunya jalur masuk! Kita berdua senasib! Terjebak selama-lamanya dalam kegelapan. Hanya berteman tikus, kecoak, kelelawar, ular, dan sesekali musang. Satu-satunya harapan bagimu untuk bertahan hidup hanyalah makan daging mereka, makan buah-buahan yang ada, dan minum air jernih yang mengalir di seluruh gua!”

Bara lemas. “Jadi bagaimana kita bisa keluar? Apa yang harus kita lakukan di sini, Kek?”

“Kita berdua tidak bisa apa-apa lagi di tempat ini selain mengasah kemampuan. Aku? Aku sudah tua, aku sudah tidak ada keluarga, tidak ada sanak saudara, tidak dibutuhkan, dan tidak membutuhkan. Aku tidak butuh keluar dari tempat ini! Aku ingin mendalami ilmu kanuragan sampai mati! Aku tahu kamu tidak memiliki kemampuan apa-apa. Kalaupun ada dasar-dasar ilmu, aku lihat bekal tenaga dalam yang kamu miliki sudah cukup lumayan. Mungkin dialirkan sebagai tinggalan oleh kakek guru dan orangtuamu. Tapi hanya itu saja bekalmu! Percuma kamu keluar sana dan menantang orang-orang itu jika tanpa kemampuan!”

“Jadi kita sebenarnya bisa keluar?”

“Gapura memang megah, tapi gapura sesungguhnya diperlukan untuk masuk ke ruang utama.” Kakek Gila tersenyum. Ia melambaikan lembaran-lembaran kertas kosong. “Nawalapatra 18 Serat Naga. Di sini semuanya! Di sini intinya! Di sini semua tujuannya! Hahaha! Tapi kenapa tidak bisaaa!? Tahu kamu?!! Tidak bisaaaa!!”

Bara mengerutkan kening saat melihat lembaran-lembaran kertas di tangan Kakek Gila, “tapi itu kan kosong? Apakah harus pakai getah buah lagi untuk membacanya?”

“Tidak. Tidaaaak!! Aku pikir juga begitu, tapi ternyata tidak!” Suara sang Kakek berubah. Matanya menjadi jalang. Ia menggeram, menggerutu, bergumam, dengan urat nadi keluar karena amarah. “Tidak! Tidak ada cara! Aku sudah mencari segala macam cara untuk menemukan rahasia 18 Serat Naga, tapi tidak ditemukan! Tidak bisa didapatkan! Segala macam cara! Getah buah! Air! Darah! Keringat! Tidak ada yang bisa membuka rahasianya! Tidak ada kunci untuk membuka jalan menuju 18 Serat Naga. Tidak adaaaaaa!!! Hahahahahahaha!! Tidak adaaa caranyaaaaaaaaaaa!!!”

Kakek Gila kembali terpapar kegilaannya. Dia berteriak, lalu lari menuju dalamnya gua. Ke dalam kegelapan sambil mendendangkan syair yang tak terdengar. Berlari kesana kemari seperti anak kecil yang bermain-main. Mungkin kegilaan ini timbul sebagai akibat dari kegagalannya membuka rahasia 18 Serat Naga. Bisa sebegitunya ya?

Bara masih bersila, terpekur heran ke arah kepergian sang Kakek Gila, ia tak habis pikir kenapa orang bisa menjadi gila hanya gara-gara hendak mempelajari sebuah ilmu saja. Ia menatap lembaran kulit kambing di tangannya. Bocah itu penasaran, lalu mengambil buah yang tadi sudah dibuka oleh Kakek Gila dan mengoleskannya ke lembaran licin kulit kambing.

Tampak gambar dan juga tulisan. Luar biasa. Buah apa sebenarnya yang ada di dalam gua ini? Siapa yang secara khusus menciptakan tulisan pada kulit kambing yang hanya bisa dibaca dengan mengoleskan getah buah aneh dalam gua?

Bara membentangkan kulit kambing dan mencoba mendalaminya.

Ini nampaknya tidak sulit dibaca. Nampaknya sih. Kakek Guru sering memberikannya bacaan-bacaan yang jauh lebih sulit dan butuh sejenak dipahami. Serat ini nampak lebih sederhana apalagi dilengkapi dengan gambar, kata-katanya jelas meski kadang kabur di bawah terang yang hanya seadanya.

Tapi ternyata itu hanya nampaknya saja. Karena jika dibaca lebih lanjut, ternyata serat ini sangat rumit dan penuh misteri. Banyak yang tidak tersurat dan hanya tersirat. Kata-katanya juga rumit dipahami. Tulisan dan gambar yang terpampang pada kulit kambing itu mengajarkan cara untuk mendalami ilmu kanuragan yang diberi nama Serat Sepuluh Gapura. Kesepuluh gapura ini akan membuka jalan bagi penggunanya untuk menguasai Nawalapatra 18 Serat Naga.

Salah satu keistimewaan Bara adalah, dia dapat menghapal sesuatu dengan cepat hanya dengan sekali baca. Ingatannya yang mengagumkan ini dilatih juga oleh Kakek Guru dulu di Perguruan Seribu Angin, itu sebabnya dia sering dijejali berbagai bacaan.

Di sisa malam yang makin pekat, Bara mulai mengikuti panduan pada paparan kulit kambing.

Bocah itu tidak akan pernah tahu bahwa apa yang dipelajarinya malam itu akan mengubah hidupnya selamanya.





.::..::..::..::.





Perguruan Seribu Angin terletak di tengah hutan Kapukrandu di lereng gunung menjulang, perguruan yang didirikan di tepian tebing itu menjadi lokasi terdekat dengan gunung yang masih gagah berdiri meski terkadang batuk. Dari posisi berdirinya padepokan, Perguruan Seribu Angin menjadi wilayah yang tepat untuk menjadi lokasi pantau gunung, hutan, dan lingkungan luas sejauh mata memandang.

Berdasarkan manfaat lokasi dan posisinya pula, tempat berdirinya Perguruan Seribu Angin menjadi ajang perebutan banyak pihak yang saling bersaing.

Seindah lokasinya, sebahaya posisinya.

Seorang pemuda melayang anggun untuk sampai di atas menara pantau tertinggi yang terbuat dari batang pohon kayu yang disusun rapi di tepian tebing. Sebetulnya ada tangga kayu yang akan membawa seseorang naik ke atas dari bawah, tapi sang pemuda sama sekali tidak membutuhkan tangga kayu dengan ringan tubuhnya yang mengagumkan.

Di atas, sudah berdiri sesosok pria tua berbaju serba putih dengan rambut dan janggut panjang melambai-lambai diterbangkan oleh angin. Ia berdiri dengan santai di atas sepucuk bambu, menatap jauh ke arah kaki gunung, menyaksikan kota yang berada di kejauhan.

Sang pemuda memberikan hormat dan berdehem untuk menyadarkan sang pria tua dari lamunannya. “Apa kiranya yang menjadi pikiran guru malam ini?”

Sang guru tersenyum saat menyadari kehadiran sang murid, “tempat ini indah bukan, Adi Karang?”

Adi Karang mengangguk. Pemuda berusia pertengahan dua puluh itu sudah menghabiskan hampir seluruh umurnya di tempat ini, dan ia setuju dengan sang guru. Tempat ini memang luar biasa indah. Bahkan di kala malam sekalipun – di kejauhan nampak jejak-jejak obor mengular mengarahkan jalur jalan Perguruan Angin Sakti ke jalan besar di ujung jalan setapak.

“Sangat indah, Guru. Saya tidak pernah ada pikiran untuk meninggalkan tempat ini sekali pun. Saya memang tidak lahir di sini, tapi saya pasti akan mempersembahkan hidup mati saya di sini.”

Sang Pendekar Angin Sakti tersenyum pada sang murid terkasih. Ia pun menghampirinya. “Hidup, mati, jodoh kita sudah ada yang menentukan. Yang kita lakukan hanyalah mengikuti arus perjalanannya. Jadi jangan kau berandai-andai untuk sesuatu yang kita masih belum pahami dan jalani.” Sang guru menunjuk ke arah jauh, “nama perguruan kita adalah Perguruan Seribu Angin, jadi aku sedang bertanya pada angin yang berhembus malam ini. Apakah yang akan terjadi esok hari. Karena untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, kita berada dalam keadaan yang serba membingungkan.”

Adi Karang menatap haru pada sang guru. Ada nada kesedihan dalam ucapannya. Betapa tidak, murid-muridnya terkasih dari Pendekar Angin Sakti satu persatu pergi dan sepertinya tak kembali. Nama-nama teratas di jajaran murid Perguruan Angin Sakti tergerus masa. Suro Wanggono melakukan tindak kejahatan dan diusir dari padepokan; Bima Soka Watulanang dan Arum Kinanti berkeluarga, mengundurkan diri dari perguruan, dan memilih tinggal di sebuah tempat yang jauh bersama putra mereka; yang terakhir pasangan suami istri muda Banyu Langit dan Anom Kinasih diutus untuk mengantarkan surat penting pada Adipati Paku Sentono dan tidak mengirim kabar hingga saat ini.

Ada kelelahan di wajah tua sang Pendekar.

Adi Karang merasa kasihan, “Mungkin guru sebaiknya istirahat, kami yang akan berjaga untuk menggantikan guru. Mohon maaf jika ada salah-salah kata, tapi saya melihat adanya keletihan terbias dari wajah guru. Tidak baik rasanya jika...”

“Aku tidak lelah, aku hanya...”

“Guru.” Adi Karang tahu pasti kalau sang guru tengah mengkhawatirkan semua murid-murid kesayangan sekaligus cucu murid yang amat ia kasihi, Bara Sembrani. “Ada baiknya beristirahat dahulu, kami membutuhkan guru untuk membimbing adik-adik murid esok hari.”

Pendekar Angin Sakti menatap ke arah Adi Karang, ketulusan sang murid menggetarkan jiwa dan sanubari sang lelaki tua. Betul juga, esok hari dia sudah harus mengajar para murid pemula yang usianya bahkan belum belasan tahun. Sang guru akhirnya tersenyum dan mengangguk, tangannya menepuk pundak Adi Karang. “Kabari aku kalau ada apa-apa.”

“Siap, Guru.”

Pendekar Angin Sakti terbang ke bawah dengan anggun, seperti kapas yang lepas dari pohonnya. Melayang ke kanan dan ke kiri berpijak di dahan dan ranting, untuk sampai ke tanah bagaikan turun dari tangga. Lembut dan anggun gerakannya. Sebenarnya penuh tenaga, tapi tak payah dikeluarkannya.

Angin menggelayut di tepian malam, melambaikan rambut Adi Karang yang panjang tergerai sebahu. Pemuda itu memegang tepian bambu menara pantau. Menatap ke arah kejauhan, di mana seharusnya berdiri Kadipaten Paku Sentono. Adi Karang menatap arah itu dengan sepintas mata yang sayu.

Satu tangan Adi Karang masuk ke dalam kantong bajunya, mengambil secarik kertas yang tadi dibawa merpati.

Ia lalu mengeluarkan tenaga dalamnya.

Api berwarna biru muncul dari tangan sang pemuda, membakar secarik pesan itu dengan mudah, dan menebarkan abunya ke arah mata angin. Adi Karang tersenyum dalam kegelapan.

“Selamat datang kembali, Suro Wanggono.”





BAGIAN 5 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 6
 
Bimabet
Sekedar angin lalu
This is just amazing I put it back as the binal poet ..... continue to make Arum Kinanti suffer with sexual torture by Suro Wanggono's penis ... until pregnant ... and Arum was forced to give birth to a child Suro Wanggono who eventually becomes a black character the evil and the terrible sex predator even raped his own mother ... because he was separated from childhood by Suro Wanggono to learn ... / ala Sangkuriang and dayang sumbi ...
the ending is all exterminated by the embers of the true kasatria ... thank you for the update ...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd