Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Kesepianku sebagai Istri

Pasang tenda dluuu wkwk
Jgn lupa bikin index hu biar gampang ntar klo udah rame hehehe
 
Birahi Ilham

Bagaimanapun Ilham adalah pria dewasa. Dia bukan anak remaja lagi. Namun, pola tingkahnya kepadaku betul-betul seperti adik yang ingin dimanja. Dia kadang terlihat dewasanya. Suatu momen terlihat kekanakkannya. Dia itu sudah menikah, punya istri. Mengapa cari perhatiannya kepadaku. Ya Tuhan! Bagaimana jika istrinya tahu bahwa Ilham kerap cari perhatian kepadaku. Setiap ia mau pulang malam demi ngobrol bersamaku. Ia selalu cari akal agar diperbolehkan oleh istrinya. Ketika aku tanya, apa alasan dia bisa menemaniku mengobrol sepulang kantor. Dia jawab singkat, ya sudah diizinkan. Aku tak lekas percaya. Dia sahut alasannya adalah ngobrol dengan Mbak Maya yang sudah dianggap sebagai kakak sendiri oleh Ilham dan juga istrinya, yang bernama Winda.

Ya, ya, aku tak masalah sudah dianggap sebagai seorang kakak perempuan. Akan tetapi, Aku harap-harap cemas ketika beberapa kali Ilham mengaku sudah izin pulang telat kepada istrinya, istrinya menanyakan kepadaku apakah betul ilham sedang banyak kerjaan dan ia jadi sering pulang terlambat ke rumah. Damn! Itu berarti Ilham berbohong, tidak sepenuhnya jujur selama ini bertemu denganku. Gawat! Karena aku, Ilham rela membohongi istrinya.

"Kamu kok enggak jujur sih, Ham"
"Aku kan jadi enggak enak sama Winda"

"Kalau enggak alasannya gitu mba, aku enggak akan diizinin"

"Kamu jujur saja, mengapa kalau jujur?"

"Repot Mba kalo jujur"

"Repot? Repot kenapa?"

Ilham terdiam, tak mampu menunjukkan alasan sebenarnya.

"Kalau begitu ya udah besok-besok gue gak usah nemenin lo lagi sepulang kantor"

Sejujurnya jawaban Ilham barusan membuatku sangat dilema. Aku sudah terlanjur nyaman dengan sosok Ilham yang mengurangi rasa kesepianku. Jawabannya justru menimbulkan kesan ancaman, bahwa aku akan kehilangan rasa nyaman yang telah didapat. Di sisi lain, aku harus sadar diri Ilham sudah mempunyai istri yang menantinya di rumah. Dengan keadaan sudah seperti itu, aku menemukan jalan keluar yang adil.

"Begini aja, kenapa kamu enggak ajak Winda ikut ngobrol di sini?"
"Tambah ramai kan tambah seru"

"Gak mungkin"

"Kenapa gak mungkin?"

"Ribet mba jelasinnya"

"Ribet kenapa, tinggal jelasin aja"
"Pasti ada sesuatu ya?"

"Enggak ada"

Ilham malah bertele-tele. Ia kemukakan seandai jujur juga, dia tidak bisa ngobrol lama-Iama denganku. Ilham jelas menyembunyikan sesuatu. Akhirnya obrolan yang berlangsung di kafe tersebut tetap berjalan seperti biasa. Bodohnya, aku membiarkan kondisi seperti itu berhari-hari, berbulan-bulan demi egoku mendapatkan kenyamanan dari Ilham. Aku melupakan perasaan Winda yang menanti Ilham pulang ke rumah. Namun, Aku betul-betul tidak mampu mengubah keadaan agar kesepian tidak lagi membayangi hari-hariku. Di kantor, aku membenci rekan-rekan pulang tepat waktu. Aku perlu keramaian. Tersisa Ilham yang pada akhirnya menjadi teman setia.

"Bagaimana Mba perihal suami lo? Sudah mau dibujuk dia supaya mau ke Jakarta?"

"Masih gitu-gitu aja"

"Gitu bagaimana?"

"Ya seperti yang kemarin aku ceritakan"

"Kalau menurut gue, buru-buru segera diselesain Mba"
"Stres lo kalau dibiarin berlarut-larut. Kasian anak lo juga"

"Iya maunya aku juga gitu, perlu ada waktu ngomong empat mata dengan suami"
"Kamu doakan saja"

"Selalu aku dukung dan doakan kamu, Mba"

"Terima kasih ya, Ham..."

"Iya, tapi kalau menurut gue loh ya, maaf ya sebelumnya"
"Lo itu masih cantik dan muda mba, masih banyak yang mau"
"Banyak laki-laki di luar sana"

"Aduh, aku kasian dengan anakku, Ham!"

"Ya lo gak lebih kasian lagi sama anak lo dan diri lo kalau posisi begini melulu?"

"Gue udah terbiasa sejak tinggal di Bandung"

"Lo mau biasain hidup dengan kondisi stres? Sakit jiwa lo bisa bisa"

"Aku ngerti, aku lagi upayakan rekonsiliasi dengan suamiku"

"Ya semoga sukses"

"Ucapanmu tadi itu..."

"Iya, ya, ya... Maaf..."

Di satu sisi Ilham mendukungku, sisi lain ia seperti mendorongku agar berpisah dengan suami. Aneh. Tidak jelas. Fakta yang tidak bisa ditutupi. Sikap Ilham perlahan membuat aku bingung. Ia menganggapku sebagai kakak perempuannya. Namun, sikapnya sudah jauh melebihi hal itu. Mulai dari chat yang kerap menyelipkan pembahasan soal seks. Ia kadang bertanya kehidupan seksku dengan suami. Tanggapan terhadap istilah istilah yang aku tidak ketahui apabila tidak browsing Om Google, seperti cuckold, threesome, fetish, dan sebagainya. Apakah aku pernah berfoto pose seksi atau bugil lalu dikirim ke suami. Apakah aku sebelum nikah pernah berhubungan dengan laki-laki lain terkait seks. Apakah aku punya pandangan terbuka. Beberapa pertanyaan yang diajukan, aku jawab dan tidak. Ilham memaklumi, tidak memaksa, namun ia selalu menagih alasan mengapa tidak dijawab. Sekalinya aku balikkan pertanyaan dia berani-beraninya mengatakan.

"Enggh... Aku mau jadi TTM kamu Mba, boleh?"

"Sssssssttt, enggak boleh! Kamu udah punya istri. Inget!"

"Kan cuman Temen... Tapi... Mesra"

"Esensinya apa?"

"Ya selama ini kita saling berbagi perhatian loh, bukannya itu sudah TTM?"

"Aku takut kamu berharap lebih, atau kamu baper, aku baper..."
"Ada yang disakiti, pliss jangan rusak hubungan kita selama ini"

"Temen Tapi Mesra aja Mba, gak mesti sampai bagaimana-bagaimana"

"Iya, tetep aja, kamu berani jamin enggak ada yang baper? Kalau baper?"

"Ya jalanin aja"

"Kamu enak ngomongnya begitu, tapi aku kan perempuan, Ham..."

"Ya jangan sampai ada yang baper"

"Enggak sesederhana kamu bilang"

"Kan belum dicoba"

"Ilham!"

"Yaudah deh"

Ilham kembali pasrah tidak memaksa. Secara ucapan ya tidak memaksa. Namun, secara sikap, ia memperlakukanku betul-betul selayaknya Teman Tapi Mesra. Munafiknya diriku. Aku nyaman dengan perlakuan Ilham seperti memberi perhatian, menanyakan aku lagi apa dan sesekali ia menyapaku sayang. Awalnya aku bisa menegaskan kepadanya untuk tidak sesekali menyapaku dengan kata sayang. Aku tidak nyaman. Namun, sisi lainku, justru sedikit senang menerimanya. Kasihan diriku yang miskin perhatian ini.

Perubahan sikap Ilham mencapai puncaknya saat perjalanan dinas ke Yogyakarta, yang mengubah jalan cerita pertemananku dengan Ilham. Ketika tangan kami saling berulah, berpegangan, mencengkeram, lalu mengelus. Aku tidak tahu apa yang ada dibenak Ilham dan yang merasuki dirinya, sampai-sampai dia berupaya meraba pahaku. Aku betul-betul kaget. Namun, aku juga tidak bisa menyangkal aku merasa nyaman dan menikmati yang barusan kami lakukan, meski diakhiri dengan tidak baik.

Setelah aku dan rekan-rekan sampai ke hotel, di dalam kamar aku merenung apa yang barusan terjadi antara aku dan ilham. Pantaskah kami berbuat demikian? Sungguh aku benar-benar sedang kesepian. Bisa-bisanya aku melakukan hal itu. Aku buru-buru menghubungi suami, melepas kesepian yang sudah membludak ini kepada seseorang yang mutlak sah dan pantas. Namun lagi-lagi suamiku ini susah sekali dihubungi. Dalam keadaan krisis begini, aku sangat benci dia. Sepertinya benar kata Ilham, rumah tanggaku sudah diujung tanduk.

"Ayah?"
"Ayah?"
"Ayah? Kebiasaan deh gak dijawab"
"Ayah lagi apa?"
"Ayah sudah makan?"
"Anak kita sedang apa?"
"Ayah di sini hotelnya bagus loh"
"Ayah?"

Di dalam kamar hotel, berkali-kali aku mengirim chat ke suamiku, tidak dibalas. Aku telepon dia berulang-ulang, tidak dijawab. Rasa rindu dan kangen itu berubah ingin kuluapkan dengan membanting ponselku ke tembok, lantai, atau entah kemana supaya bisa batin dan pikiranku yang sedang kacau balau ini segera mendapat ketenangan.

Sebaliknya, tiba-tiba Ilham justru yang menghubungi aku. Aku terdiam sejenak. Mengapa harus dia lagi dan dia lagi yang datang ketika kondisiku kritis rindu. Aku tidak punya pilihan lain saat ini. Aku hanya ingin ditenangkan. Hilang rasa batin yang sedang gelisah.

"Mba, lagi apa?"

"Lagi main hape aja, kenapa?"

"Aku main ke kamarmu ya?"

"Iih mau ngapain..."

"Kamu ngobrol sama pegangan tangan kayak tadi lagi"

"Emangnya Kamu gak malu pegangan tangan sama ibu-ibu yang udah nikah dan punya anak satu?"

"Kok ngomongnya begitu? Kamu tuh udah kuanggap keluargaku loh Mba Maya, itu kenapa aku selalu peduli dan sayang dengan kamu. Tanya kabar, jalan sama kamu, bahkan aku rela ajak kamu ke Yogya ini selain kerja juga, supaya kamu seneng"

Jawaban Ilham meruntuhkan kebekuan hati yang sedang kritis rindu dan sayang. Aku lantas menitikkan air mata, entah terharu atau sedih terhadap kondisiku. Aku terdiam.

"Halo Mba, gimana? Boleh gak?"

"Iya, boleh, tapi jangan macam-macam ya"

"Iya, tenang sik. Cuman ngobrol aja"

Karena tak ada rekan yang satu lantai dengan kamarku, aku tak menyadari apa yang kukatakan barusan kepada ilham lewat telepon. Tidak beberapa lama, seseorang mengetuk pintu kamar, bersamaan itu chat ilham masuk.

"Mba, aku di depan kamar kamu nih"

Beranjak dari kursi, aku membukakan pintu untuk Ilham. Ia buru-buru masuk menyelinap, khawatir ada orang lain yang melihat dan menimbulkan kecurigaan. Di dalam kamarku, ilham duduk tersenyum di sisi ranjang tempat tidur sambil menonton acara televisi. Aku berdiri memandangnya, menunggu alasan ia kemari.

"Kenapa malah ngelihatin gue?"

"Ya lihatin, nungguin alasan kamu ke sini apa?"

Ilham tiba-tiba menarik tanganku dan memintaku duduk di sebelahnya, menonton televisi bersama. Aku sontak bergeser menjaga jarak, memandangi Ilham yang masuk ke kamarku hanya mengenakan celana pendek dan t-shirt hitam. Ia sudah berganti pakaian. Ilham lalu meraih dan mencengkeram tanganku. Kami kembali saling menggenggam tangan. Lagi-lagi sensasi nyaman dan kehangatan merasuk ke dalam tubuhku yang rindu sentuhan laki-laki.

"Kamu mau cerita apa?"

"Duh dingin juga ya di sini"
"Gue mau melepas lelah setelah kegiatan kita akhirnya selesai juga"

"Jangan lupa bikin laporannya"

"Hahaha, bisa nanti belakangan"

"Asal jangan kelupaan"

"Iya Beres, Mba. Oh ya lo habis ini langsung pulang ke rumah atau bagaimana?"

"Belum tahu"

"Kalau iya, nanti supirnya bisa anterin lo"

"Enggak usah, terima kasih"

Aku sebetulnya sungkan dengan kehadiran Ilham. Kami berdua lalu malah terpaku sejenak menyaksikan drama korea yang tampil di layar televisi berlangganan hotel. Ilham masih mencengkeram tanganku. Mengelus punggungnya dengan jari jempol yang berukuran menggelitik telapaknya. Tanganku berupaya menjinakkan agar tangan ilham tidak bergerak semakin liar. Namun yang terjadi aku malah berbalik mengelus telapak tangan Ilham. Telapak tangan Ilham tidak bisa kalem. Ia lepas dari genggamanku. Kembali buas menyerbu menggelitik telapak tanganku. Kemudian Ia mengarahkan telapak tanganku ke hidungnya. Ia endus punggung tanganku. Lalu berkata,"harum tanganmu Mba".

Aku membuang muka, pura-pura menonton televisi. Aku membiarkan Ilham bermain dengan telapak tanganku. Ia endus dan ciumi berkali-kali, lalu cengkeram mengelus lagi. Aku kegelian, membuatku sedikit merinding gemetaran.

Barangkali karena aku tak cegah, Ilham semakin berani. Kemudian Ia mencengkeram salah satu lengan gempalku. Sebab Aku tak mengelak, Ia remas seraya mengurutnya. Aku sekilas coba menepuk tangan Ilham agar tidak berada di sana. Namun, tangan tersebut kembali mencengkeram lenganku. Ilham bersikukuh memijatnya. Aku pun pasrah menikmati pijatan itu, sampai lupa bahwa Ilham yang datang dengan kelelahan bukan aku.

"Bagaimana? Enak gak pijatan gue?"

"Enak...", jawabku tanpa melihat wajah Ilham.

"Kayaknya kamu yang lebih cape ya Mba. Aku paham kok. Yang sabar Mba Maya. Aku yakin suatu saat suami kamu luluh juga"
"Aku akan selalu mendukung kamu"

"Sudah, sudah...", ucapku meminta Ilham berhenti memijat. Namun yang terjadi ia pindah duduk membelakangiku. Kini kedua lenganku yang dicengkeram olehnya. Ia melakukan hal yang sama. Astaga tubuhku semakin menghangat. Aku justru jadi tak menginginkan Ilham untuk berhenti. Badanku bergetar pelan, terdongak ke depan. Nafasku menderu.

"Bagaimana Mba? Enakkan?"

"Iya, bagian punggung tolong"

"Siiip"

Ilham kemudian memijat punggungku, memukulnya sedikit dengan sisi telapak tangan. Sampai detik ini, tak ada tanda-tanda Ilham berupaya mencari kesempatan sembari memijatku. Aku sekarang meyakini Ia sepenuhnya hendak membikin badanku ringan, hilang pegal-pegal walau tak begitu yakin. Kemudian Ilham mengurut tengkukku. Ia sibakkan rambut panjangku yang digerai ke bahu sebelah kiri. Sedikit geli dan sakit. Leherku meronta. Pijatannya luar biasa. Entah belajar dan dapat ilmu dari mana Ilham. Aku tertegun kebaikannya. Namun, aku ingin pijatan ilham segera disudahi. Aku mulai merasakan hal yang lain. Sentuhan Ilham membuat nafasku semakin berat. Astaga aku mulai bergairah.

"Sudah, Ham, sudah..."

"Bentar, belum ini..."

"Udahan, cukup"

"Belum, dikit lagi"

"Udaaaaahhhh...", aku coba menjauh, bangkit berdiri. Namun, Ilham memegang kedua lenganku begitu kuat. Ia menahanku. Dugaanku kini mulai berubah. Ilham sepertinya bukan lagi Ilham yang pertama kali berniat memijat. Jangan-jangan dia mulai berniat menggoda birahiku. Namun, apapun itu, aku sudah terlambat. Ilham berhasil memunculkan gairah yang biasanya timbul ketika mendapatkan sentuhan suami. Yang bisa aku lakukan hanyalah mencegah Ilham bertindak lebih gila. Akan tetapi, aahhh... Aku tidak bisa berbohong. Aku menginginkan sentuhan yang lain. Bukan dipijat saja. Aku
menginginkan yang lain dari Ilham.

Aku lekas membalik badan, mendorong tubuh Ilham sekuat tenaga hingga terlentang di atas tempat tidur. Aku lekas menduduki perutnya yang agak buncit. Kucekik lehernya dan menginterogasi benar atau tidak Ilham masuk ke kamarku dengan niat menggoda. Aku tatap kedua matanya serius.

"Kamu tahu gak yang kamu lakukan itu gak baik?"

"Tahu, tapi aku kan cuman mijet"

"Bohong!"

"Beneran!", sahut Ilham tersenyum.

"Yaudah kalau gitu", ucapku sambil ingin beranjak menjauh dari atas perut Ilham. Akan tetapi, Ilham mencegah, menarik tanganku

"Kalau niatnya bukan mijet kenapa?"

"Ya kamu yang tahu"

"Gue mau pelukan sama lo Mba, boleh gak?"

"Emmmmh...." Mendadak sulit aku beri jawaban. Ilham tak berlangsung lama lantas memeluk pinggangku. Damn! Salah satu pahaku tak sengaja berantukan dengan benda keras nan hangat. Aku merasakan batang kejantanan Ilham yang telah mengeras mengenai paha, kebetulan aku sedang mengenakan legging tipis. Ia menyadari. Kemudian bokongku disergap dan diremas-remasnya.

"Aaaaihhh..."

"Boleh gak? Kok diem?"

"Iya, sebentaran aja tapi yah..."

"Hehehe, toket lo beneran gede ya, pantes banyak yang curi pandang", ucap Ilham kedua bukit kembarku yang bersembunyi di balik t-shirt hendak diraba oleh tangannya

"Aaahhh jangan dipegang! Katanya pelukan ajah!"

"Oke hehehe, maaf"

Aku segera menjauh dari perut Ilham. Kami duduk berhadapan di atas ranjang. Kami berpelukan kurang lebih 10 menit. Aku mengira Ilham sudah jinak. Ia mendadak mendekap, mencumbu bagian bahuku. Aku pasrah dengan yang dilakukan Ilham selanjutnya. Ia menggeser sisi leher t-shirt, dicumbulah bahu dan daerah sekitarnya. Ia bermain-main dengan tali bra, berupaya menyingkirkan agar lebih leluasa menciumi. Kemudian ia mengendus leher, memelukku semakin erat. Nafasnya dihembuskan di sana. Ilham lalu mencumbu leherku sembari salah satu tangan kami saling berpegangan. Ambruklah diriku ditindih Ilham.

"Ham, sudah, cukup, Ham..."

"Sebentar Mba, sebentar..."

"Hhhhhhsss....."

"Harum badanmu Mba..."

Pujian Ilham membikin aku melayang. Kemudian Ilham memandangku, lekas mencium pipiku, mengendusnya. Saling bersentuhanlah kedua pipi kami. Aku mengira ia lanjut akan mencium bibirku, tetapi ia justru mengatakan,"aku tidak akan menyentuh bagian yang bukan hakku Mba, jangan khawatir"

"Maksudnya?"

"Bibirmu dan vaginamu adalah hak suamimu, aku hanya ingin meluk kamu", ucap Ilham menenangkan diriku yang takut. Aku sontak sambut dengan merangkul tubuhnya. Aku sentuh punggung Ilham. Karena tak lagi khawatir Ilham bertindak kebablasan, aku membiarkan Ilham menyelesaikan apa yang diinginkan.

"Aaaaahhhh.. sudah cukup, jangan yang itu"

"Gue mau lihat tetek lo Mba", ujar Ilham meremas payudaraku. Ia berkeinginan melihat bentuk payudaraku.

"Plisss jangan, sudah cukup begini saja. Aku takut kamu melanggar ucapan kamu sendiri"

"Tenang Mba, tenang..."

Ah sial, Ilham menyingkap bagian depan t-shirt yang aku kenakan. Aku tak mau memandangi wajahnya. Aku tak bisa. Jantungku berdegup kencang. Ilham benar-benar kurang ajar. Akan tetapi, aku entah mengapa aku tak bisa mencegahnya. Kakiku tak berkenan menendang ilham agar menjauh. Tanganku tak ada maksud memukul Ilham agar ia berhenti berbuat.
Aku harus tenang. Dia tidak akan bertindak melampaui batas. Takdirku memiliki payudara berukuran besar, berdampak laki-laki sangat penasaran. Ini yang terjadi pada Ilham.

"Aaaaaaaahhh, Ilham cukup!"

Ilham membenamkan wajahnya di antara gunung kembarku. Sensasi yang kudapatkan luar biasa. Aku lama tak mendapatkan ini semenjak tidak bertemu suami. Atau bahkan suamiku tidak pernah melakukan hal yang dilakukan Ilham. Aduh. Sambil wajah Ilham merasai kehangatan dijepit sepasang payudaraku. Aku tidak sadar kedua pahaku membuka lebar. Selangkangan yang lama tak dijamah ini tersundut kepala burung Ilham. Batang kelamin adik angkatku itu bergesekkan dengan liang senggamaku. Sepertinya aku harus segera mendesak Ilham untuk berhenti.

"Ilham, sudah Ilham! Sadar! Sadar Ilham!"

"Bentaran lagi Mba"

"Cukup Ilham, cukup!", Salah tanganku menepuk-nepuk pipi Ilham, berharap ia segera insyaf apa yang sedang dilakukan. Namun, yang terjadi. Ilham membuka salah satu cup bra, dan menghisap puting susu yang terakhir dihisap oleh suami dua bulan yang lalu.

"Aaaaaaahhh"

"Emppphhh...Keras banget pentil tetek lo, gue isep dikit ya..."

"Ilham, plisss, berhenti, stoppp"

"Iya, Mba, iyah", Ilham membetulkan bra dan kaos yang aku kenakan. Namun, aku menyangka ini sudah berakhir, tetapi Ilham masih menindih tubuhku. Ia memandangiku. Wajahku yang kesepian. Wajah yang mungkin dilihat Ilham kurang belaian, kurang sentuhan.

"Ilham berhenti, pliss, jangan lagi"

"Gue cuman mau gesekkin kepala penis gue Mba di selangkangan lo"

"Jangan, jangan! Cukup! Nanti kebablasan!"

"Enggak! Cuman gesekkin doang!"

"Bagi kamu iya, tetapi kalau aku di luar kendali akan beda ceritanya, ham!"
"Mba mohon, jangan!", pintaku sambil menggeleng kepala.

Ilham tidak menggubris. Ia tampaknya yakin tidak akan berbuat lebih jauh sesuai janjinya. Sayangnya jika janji ilham bisa dipegang. Aku cemas terhadap diriku yang telah menerima bertubi rangsangan dari Ilham. Aku khawatir, aku yang kebablasan. Ya Tuhan. Ilham mendengus-dengus ketika kelamin kami saling bersentuhan. Kami berdua seakan sudah lupa pasangan kami masing-masing di rumah. Kami lebih ingat kenikmatan di depan mata. Astaga Ya Tuhan!

"Ilhaaaammm! Stoppp!", gertakku keras membuat Ilham kecut dan berhenti.

"Oke, oke, oke, aku berhenti..."

Ilham turun dari kasur. Aku membalik badan ke samping. Menutup wajahku dengan bantal. Aku ingin melupakan apa yang terjadi barusan. Apakah aku sudah mengkhianti suamiku? Apakah aku sudah berzina? Apakah aku telah melampaui batas. Aku mendadak menyesal mengenal Ilham. Mendadak menyesal ikut ke Yogyakarta. Kebahagiaan itu menguap menjadi penyesalan. Aku memejamkan mataku rapat-rapat. Aku tidak mau melihat Ilham sekejap. Aku memerintahkannya untuk keluar dari kamarku segera.

"Ilham keluar! Keluar!"

"Ya mba, ya, maafkan aku ya"

"Keluar!"


Sampai jumpa di bagian berikutnya. Terima kasih banyak sudah membaca tulisan ceritaku.
 
Bimabet
Tegang baca nya sambil nonton bola indonesia vs timor leste
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd